• Tidak ada hasil yang ditemukan

M. Saoki Oktava Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "M. Saoki Oktava Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UnizarLawReview

Volume 4 Issue 1, June 2021 E-ISSN: 2620-3839

Nationally Accredited Journal (Sinta 5), Decree No. 200/M/KPT/2020 Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index

KORELASI ETIKA ANTAR LEMBAGA NEGARA PADA

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

ETHICAL CORRELATIONS BETWEEN STATE INSTITUTIONS ON THE

IMPLEMENTATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISIONS IN

TESTING LAW

M. Saoki Oktava

Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram Email : m.saokioktava@gmail.com

Khairul Aswadi

Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Email : Adynaufal87@gmail.com

Abstrak

Problematika memunculkan kembali pasal yang pernah di uji di Mahkamah Konstitusi dan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 merupakan sesuatu yang dilematis, melihat legalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). Ini bukan sekedar persoalan hukum ketatanegaraan semata tetapi juga persoalan etika konstitusional antar Lembaga Negara khususnya Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Berdasarakan kajian, dapat disimpulkan bahwa mendegradasikan Rule of law and Rule Of Ethics merupakan kelemahan yang berimplikasi pada abuse of power dan dengan tidak mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi memicu tindakan in konstitusional.

Kata Kunci: Etika Antar Lembaga Negara; Putusan Mahkamah Konstitusi; Pengujian UU Abstract

The problem of bringing back articles that have been tested in the Constitutional Court and have been declared contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is a dilemma, considering the legality of the authority of the Constitutional Court in examining laws whose decisions are final and binding. This is not just a matter of constitutional law, but also a matter of constitutional ethics between state institutions, especially the House of Representatives, the President and the Constitutional Court. The research method used is a normative research method with a statutory approach, a concept approach, and a case approach. Based on the study, it can be concluded that degrading the Rule of law and the Rule Of Ethics is a weakness that has implications for abuse of power and not implementing the decisions of the Constitutional Court triggers unconstitutional actions.

(2)

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 merupakan produk hukum yang berasal dari MPR yang semula merupakan Lembaga Tertinggi Negara, kini setelah amandemen UUD menjadi lembaga Tinggi Negara yang sejajar kedudukannya dengan Lembaga Negara lain (DPR, DPD, MAHKAMAH KONSTITUSI, MA, BPK dan Presiden). Tujuan adanya UUD 1945 sebagai bentuk pengaturan kewenangan dan pembatasan kekuasaan eksekutif, legisatif dan Yudikatif yang ketiga lembaganya mempunyai kedudukan yang sejajar.

Perwujudan dalam penyetaraan kedudukan Lembaga Negara tersebut sebagai bentuk agar tiap-tiap Lembaga Negara dapat saling mengontrol atau mengawasi atau yang dikenal dengan mejalankan fungsi check and balances. Sehingga setiap penyelenggara Negara dalam menjalankan fungsi Lembaga Negara Wajib untuk menjujung nilai-nilai konstitusi (rule of law and rule of ethics). Sehingga disampaikan kembali bahwa Fungsi control dilakukan sebagai upaya untuk menjaga nilai etika berdasarkan konstitusi, agar supaya tidak terjadi abuse of

power. Tentu sangat berbahaya jika penyelenggara Negara menjalankan fungsi tiap Lembaga

tidak mengacu UUD NRI tahun 1945. Di sinilah pentingnya dari negara menjalankan aturan hukum (rule of law) dan aturan etika (rule of ethics) karena keduanya saling berkesinambungan. Indonesia sebagai Negara Hukum dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Sangatlah prinsip bahwa konsekuensi dari Negara hukum adalah adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara wajib dilaksanakan sebaik-baiknya. Dengan demikian, ciri khas dari Negara Hukum juga dapat dilihat dari adanya Lembaga Kekuasaan kehakiman yang merdeka mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Pelaksanaa fungsi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Tinggi Negara dalam system Ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.1

Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (Empat) Kewenangan dan 1 (satu) kewajiban. Salah satu dari 4 (empat) kewenangan Mahkamah Konstitusi yang paling sering dilaksasanakan yakni Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang dapat dilakukan dengan dua cara, pertama pengujian formal yaitu pengujian terhadap proses terbentuknya suatu undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiel. Kedua pengujian materiel yaitu pengujian terhadap bagian dari undang-undang yang meliputi Pasal, Ayat atau anak kalimat dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang. Artinya Jika

(3)

suatu norma dalam undang-undang bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 maka norma tersebut dapat dicabut.

Namun yang menjadi persoalan dalam praktik ketatanegaraan dari Lembaga-Lembaga Negara dalam hal ini Presiden adalah memunculkan kembali suatu muatan pasal dalam UU. Misalnya saja, Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian, yaitu pada Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).2 Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Namun, ternyata pemerintah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2005 Tetang harga jual eceran BBM Domestik, yang justru pengaturan tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.3 bunyi pasal tersebut

dimunculkan kembali dalam aturan yang baru, mekipun pengaturannya melalui Perpres. Di dalam perpres tersebut tidak mencantuMahkamah Konstitusian putusan Mahkamah Konstitusi pada bagian konsideran. Tentu hal tersebut merupakan pengaburan terhadap aturan hukum

rule of law dan aturan etik rule of ethics. Entah itu sengaja atau tidak, yang jelas hal tersebut

menimbulkan problematic. Ini menarik untuk dikaji. Apakah ada korelasi Rule Of Law And

Rule Of Ethics terhadap kewenangan antar lembaga Negara (DPR, Presiden dan Mahkamah

Konstitusi) dalam perspektif konstitusi?dan Bagaimana implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD oleh DPR dan Presiden?

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normative. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pandekatan perundang-undangan (statue approach) yang terkait dengan permasalahan yang dikaji serta pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach).

C. PEMBAHASAN

Korelasi Rule Of Law And Rule Of Ethics Kewenangan Antar Lembaga Negara (DPR, Presiden dan MAHKAMAH KONSTITUSI) Dalam Perspektif Konstitusi

Pada tataran konstitusi menjunjung Aturan hukum (rule of law) dan aturan Etika (rule

of ethics) antar Lembaga Negara baik DPR, Presiden maupun Mahkamah Konstitusi

penting untuk selalu di laksanakan, mengingat kesetaraan kedudukan antar lembaga Negara

2 Bachtiar, (2015) Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang Terhadap

Undang-Undang Dasar, Jakarta: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup). Hlm. 13

(4)

menimbulkan saling control dan saling mengawasi (checks and balances). Oleh karenanya, sesuai dengan perintah konstitusi dalam menjalankan tugas dan fungsi antar masing-masing Lembaga Negara tersebut selalu di control oleh Lembaga yang lain. Mengutip pendapat dari Yusril Ihza Mahendra, konstitusi itu dibentuk dengan maksud agar penyelenggara Negara mempunyai arah yang jelas dalam menjalankan kekuasaannya.4 Sehingga aturan hukum dan

etika constitusional terus mengiringi jalannya penyelenggara Negara.

Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah berkata, “law

floats in a sea of ethics, hukum mengapung di atas samudra etika. Hukum tidak dapat berdiri

tegak, jika samudera etika itu tidak mengalir. Artinya ada hubungan sinergi antara hukum dan etika. Etika lingkupnya luas dari pada hukum.5 Sehingga, penting menjujung tinggi

aturan hukum dan aturan etika dalam keseimbangan melaksanakan tugas dan fungsi dari penyelenggara Negara agar selalu dalam koridor konstituti. Oleh karena itu, menurut hemat kami, bahwa Pengaburan terhadap nilai etika dan hukum yang berdasar pada konstitusi, sama halnya dengan menggerogoti landasan nilai-nilai moral dalam bernegara.

Lebih lanjut, pelaksanaan Checks and balances yang dijalankan oleh setiap lembaga Negara merupakan efek dari hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945. Ada beberapa hal yang prisip dan mendasar yang dipakai sebagai dasar pemikiran dalam menata struktur lembaga Negara dan penyelenggaraan kekuasaan lembaga Negara agar tetap dalam koridor konstitusi antara lain :6

a. System konstitusi menghendaki adanya keseimbangan dalam menjalankan kekuasaan dari masing-masing Lembaga Negara (checks and balances) sehingga kekuasaan dibatasi oleh UUD maupun UU sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga;

b. Setiap lembaga mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar di bawah UUD NRI 1945; c. Menata kembali lembaga Negara yang sudah ada sebelumnya dan membentuk lembaga baru

agar sesuai dengan perkembangan system ketatanegaraan yang konstitusional dalam prinsip Negara demokrasi dan prinsip Negara hukum.

d. Penyempurnaan kedudukan dan kewenangan masing-masing Lembaga Negara yang disesuaikan dengan perkembangan Negara demokrasi

Prinsip konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan Negara oleh konstitusi dalam ajaran Locke setidaknya membawa dua implikasi mendasar dalam teori ketatanegaraan. Pertama,

4 Bachtiar, (2015) Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang Terhadap

Undang-Undang Dasar, Jakarta: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup). Hlm. 9

5 Jimly Asshiddiqie, (2015) Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Barun Tentang ‘Rule Of Law And Rule Of

Ethics’ And Constitutional Law and Constitutional Ethics’, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 232

6 Ismail MZ, Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara dan Sistim Penyelenggaraan Kekuasaan Negara

Repub-lik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Jurnal Ganec Swara, 13 (2):

(5)

adanya pengakuan atas kedudukan konstitusi sebagai norma tertinggi yang berlaku dalam Negara, yang berarti semua cabang kekuasaan Negara dan setiap warga masyarakat sipil tanpa harus kecuali tanpa terikat dan wajib mematuhi norma tertinggi tersebut. Kedua, perlu Suatu mekanisme yang akan menjamin dan melindungi kaidah-kaidah konstitusi sebagai norma tertinggi. Mekanisme ini juga diperlukan untuk memaksa setiap penyelenggara Negara mematuhi konstitusi. Pengujian UU terhadap UUD merupakan salah satu opsi untuk maksud tersebut.7

Pelaksanaan kekuasaan Lembaga tetap dalam koridor konstitusi sebagai bentuk pembatasan kekuasaan Lembaga –Lembaga Negara. Dalam artian bahwa tugas dan fugsi yang dilaksanakan sesuai dengan perintah UUD NRI 1945. Mengutip gagasan “moral reading” Ronal Dworkin dalam bukunya. Konstitusi harus dilihat dengan kacamata moral yang menekan cara pandang menggabungkan filsafat moral dengan prinsip-prinsip Hukum Tata Negara (constitutional

law). Karena, konstitusi itu sendiri dianggap berisi kandungan prinsip-prinsip dasar politik

dan mengatur kekuasaan dan tugas-tuas setiap pemerintahan, sejalan dengan kode moral atau etik yang menuntun ke arah prilaku yang diidealkan dalam kehidupan bernegara. 8 Hubungan

Rule Of Law And Rule Of Ethics tercermin dalam mengimplementasikan putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap pengujian UU oleh Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Dalam mematuhi peritah konstitusi.

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD oleh DPR dan Presiden

Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga baru yang kewenangannya diatur di UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen yang ke 3 (tiga). Terbentuknya Lembaga Makamah Konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003, menjadikan indonesia sebagai Negara yang ke 78 dalam membentuk lembaga Judicial tersebut. Mahkamah Konstitusi mempunyai peranan penting dalam mengawal konstitusi sebagaimana dapat dipahami fungsi dari Mahkamah Konstitusi:9

1. Sebagai Pengawal konstitusi; 2. Sebagai Penafsir konstitusi;

3. Sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia; 4. Sebagai Pelindung hak konstitusional; 5. Sebagai Pelindung Demokrasi;

7 Benny K Harman, (2013) Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, sejarah Pemikiran Pengujian UU Terhadap UUD,

Jakarta : PT Gramedia. Hlm. 19-20

8 Jimly Asshiddiqie, (2015) Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Barun Tentang ‘Rule Of Law And Rule Of

Ethics’ And Constitutional Law and Constitutional Ethics’, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 235

9 M. Saoki Oktava, (2019), Paradoks Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Dalam Prinsip Negara Hukum. Jurnal Media

(6)

Dari uraian tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berperan sebagai Judicial untuk saling mengimbagi antara dirinya dengan lembaga-lembaga lain termasuk DPR dan presiden. Merujuk pada rule of law and rule of ethics lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam melaksanakan kewenanganpun selalu mengacu pada UUD NRI 1945 (Konstitusi) sebagaimana dalam mengeluarkan produk hukum (UU) kedua lembaga ini saling berhubungan. DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang yang di beri amanat oleh UUD, begitupun jugan dengan presiden mempuanyai hak untuk mengajukan rancangan Undang-Undang. Pun demikian Mahkamah Konstitusi menijau UU yang berasal dari kedua lembaga tersebut di atas.

a. Kewajiban DPR dan Presiden Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi

Sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal menguji UU terhadap UUD menjadikan Lembaga pembentuk undang-undang (DPR) untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Dasar konstitusional final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam Pasal 24C Ayat 1 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum.

Dari uraian Pasal 24C Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD tersebut di atas dapat dipahami bahwa ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan suatu pasal dalam UU maka DPR dan Presiden berkewajiban untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya implementasi putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan Presien sebagai upaya untuk tidak memunculkan atau menghidupkan kembali pasal yang telah dibatalkan di UU, dalam artian mengatur kembali dalam UU yang baru. Tentu tidaklah deamikian, melainkan Kewajiban bagi DPR berssama Presiden untuk mengimlementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi. Kewajiban tersebut diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu Pasal 10 Ayat (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi :a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c.Pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. Tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau, e. Pemenuhan kebutuan hukum dalam masyarakat. Dan ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR dan Presiden.

(7)

Dari bunyi pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 jelas bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi wajib dilakukan oleh DPR dan Presiden. Sehingga proses terbentuknya suatu UU jelas dan terukur dengan tidak mengtur kembali pasal yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dalam praktiknya indikasi dalam memunculkan kembali bunyi pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi rupanya ada, misalnya saja dalam RUU KUHP dalam Pasal 263- Pasal 264 kembali memuat tindak pidana penghindaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Ancaman atas tidak pidana tersebut paling lama 5 Tahun bagi setiap orang yang menghina presiden dan Wakil Presiden lewat berbagai sarana maupun media. Meskipun aturan tersebut masih bersifat ius

constituendum masih sebuah RUU.

Irmanputra Sidin menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden sudah di hapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 silam. Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan pemerintah dan DPR tidak lagi merumuskan norma itu dalam RUU KUHP. 10Dalam kajian hukum tata

negara, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Adapun UUD 1945 adalah konstitusi tertulis yang tekstual. Antara putusan Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945 memiliki derajat yang sama sehingga setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus dilakukan dan tidak perlu ditawar lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah mengunci perdebatan bernegara tentang perlu tidaknya Pasal Penghinaan Presiden. Pejabat negara, apalagi presiden diharapkan tidak mundur kembali sebagaimana belum keluar putusan Mahkamah Konstitusi. Irman mengkhawatirkan usulan pemerintah ini bisa berdampak serius. Sebab bisa ditafsirkan oleh DPR jika Presiden telah melakukan percobaan tindakan inkonstitusional. 11

Perlu diketahui bahwa jika RUU KUHP disahkan menjadi UU dan menjadi hukum positif (ius constutum) tentu Pasal 263 dan 264 akan di ajukan lagi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya Pasal tersebut. Mahkamah Konstitusi secara kewenangannya memang berwenang untuk menguji UU. Tetapi perlu ditegaskan kembali disini bahwa jika suatu pasal telah di cabut atau di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya DPR dan Presiden tidak memunculkan kembali pasal yang telah dibatalkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung mempunyai kekuatan hukum tetap, berlaku sejak putusan itu diucapkan dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum serta tidak ada peluang upaya hukum lagi yang dapat ditempuh terhadapa putusan Mahkamah

10 Irman Putra Sidin, 2015 RUU KUHP Pasal Penghinaan Presiden Akan Dihidupkan Lagi, Ahli: Robohkan

Saja MK. Avail-abe https://news.detik.com/berita/d-2985934/pasal-penghinaan-presiden-akan-dihidupkan-la-gi-ahli. robohkan-saja-mk [Di akses 13 Maret 2021].

(8)

Konstitusi.12 Lagi pula, ada asas yang mengatakan sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi

menandakan sejalan dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 dan dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi maupun pada bagian penjelasan dari pasal 10 UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sehingga, Asas putusan mengikat secara erga omnes tercermin melalui kalimat sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi. Erga omnes berasal dari bahasa latin yang artinya berlaku untuk setiap orang (toward every one). Asas erga omnes atau perbutan hukum berlaku bagi setiap individu, orang atau Negara tanpa perbedaan. Suatu hak atau kewajiban yang berifat erga omnes dapat dilaksanakan atau ditegakkan terhadap setiap orang atau lembaga, jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut atau tidak memenuhi suatu kewajiban.13 Tegasnya, tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan

juga Presiden sebagai tidakan yang konstitusional karena sejalan dengan peritah Konstitusi, UU, maupun asas erga omnes.

b. Mahkamah Konstitusi menyapaikan salinan Permohonan Pengujian UU Kepada (DPR dan Presiden)

Mahkamah Konstitusi menerima pokok permohonan pengujian UU yang telah diregistrasi ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dan dinyatakan lengkap setelah di beri nomor perkara, Panitera Mahkamah Konstitusi memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan pengujian undang-undang. Selanjutnya mahkamah menyampikan salinan Permohonan Kepada DPR dan Presiden guna memberitahukan bahwa suatu UU akan diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/P/MAHKAMAH KONSTITUSI/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, mahkamah menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden melalui surat yang ditandatangani panitera untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Hal ini bertujuan agar DPR dan Presiden mengetahui bahwa produk hukum UU yang berasal dari kedua lembaga tersebut akan di uji oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga DPR dan Presiden mengetahui dan memahami fungsi kontrol sedang berjalan. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada lagi tindakan-tindakan Lembaga Negara yang mencoba mereduksi Putusan Final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi meskipun Mahkamah Konstitusi tidak memliki alat untuk menegakan putusan. Tetapi perlu di pahami bahwa etika antar lembaga Negara memahami hubungan

12 Nuruddin Hady, (2010). Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Paham Konstitusialisme Demokrasi Pasca

Amande-men UUD 1945, Malang : Setara Press. hlm. 168.

13 Fajlun Budi Sulistyo Nugroho, (2019) Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi Putusan Mahkamah

(9)

dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan konstitusi sudah menjadikan dasar bahwa konstitusi sebagai landasan dalam membatasi kekuasaan yang inkonstitusional.

D. KESIMPULAN

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai betuk untuk mengontrol produk hukum UU yang dikeluarkan Lembaga DPR dan Presiden Dalam upaya Checks and balances. Pelanggaran terhadap Rule of Law and Rule of Ethics oleh lembaga Negara berpotensi pada tindakan inkonstitusional. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD sesuatu yang konstitusional dan wajib bagi Lembaga DPR dan Presiden karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Secara yuridis tidak ada celah bagi Lembaga Pembentuk undang-undang untuk mengidupkan kembali pasal yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Daftar Pustaka A. Buku

Bachtiar, 2015. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian

Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Jakarta: Raih Asa Sukses

(Penebar Swadaya Grup).

Benny K Harman, 2013 Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, sejarah Pemikiran

Pengujian UU Terhadap UUD, Jakarta : PT Gramedia.

Jimly Asshiddiqie, 2015 Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Barun Tentang ‘Rule

Of Law And Rule Of Ethics’ And Constitutional Law and Constitutional Ethics’,

Jakarta : Sinar Grafika.

Nuruddin Hady, 2010. Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Paham Konstitusialisme

Demokrasi Pasca Amandemen UUD 1945, Malang : Setara Press.

Zulkarnaen & Beni Ahmad Saebani, (2012). Hukum Konstitusi, Bandung : (CV Pustaka Setia).

B. Jurnal

Fajlun Budi Sulistyo Nugroho, 2019 Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi

Putusan Mahkamah Konstitusi, Gorontalo Law Review, 2 (2).

Ismail MZ, Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara dan Sistim Penyelenggaraan

Kekuasaan Negara Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Jurnal Ganec Swara, 13 (2).

M. Saoki Oktava, (2019), Paradoks Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Dalam Prinsip

Negara Hukum. Jurnal Media Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum, 10 (2).

(10)

Irman Putra Sidin, 2015 RUU KUHP Pasal Penghinaan Presiden Akan Dihidupkan Lagi, Ahli: Robohkan Saja MAHKAMAH KONSTITUSI. Avail-abe https://news.detik.com/ berita/d-2985934/pasal-penghinaan-presiden-akan-dihidupkan-lagi-ahli. robohkan-saja-Mahkamah Konstitusi [Di akses 13 Maret 2021].

D. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, UUD NRI Tahun 1945

Indonesia, UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

Indonseia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Indonesia, UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Referensi

Dokumen terkait

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang

Menurut Muzid (2008:E-61) mengatakan bahwa penyakit pada seorang wanita yang sedang hamil merupakan penyakit yang sangat perlu diperhatikan. Karena hal ini menyangkut

1) Dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Strategi Bertahan Pedagang Asongan pada Paguyuban Kinanti (Studi Deskriptif di Terminal Colo Desa Colo Kecamatan Dawe

Yang berperan sebagai guru adalah praktikan sendiri dan yang berperan sebagai peserta didik adalah teman satu kelompok yang berjumlah 10 (sepuluh) dengan satu orang

belum bisa mengisi kesepian dalam hati manusia. 1) Pesan Dakwah Lirik Keempat Lagu Lubang di Hati.. 94 Ketika kita sama-sama bertanya kepada akal, kita sering

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai angka lekosit terhadap prognosis outcome klinis stroke iskemik akut berdasarkan skala