• Tidak ada hasil yang ditemukan

AUDIT KINERJA PROSES PENGOLAHAN PADA PABRIK GULA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AUDIT KINERJA PROSES PENGOLAHAN PADA PABRIK GULA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

AUDIT KINERJA PROSES PENGOLAHAN

PADA PABRIK GULA

Nyimas Dewi Sartika

1

ABSTRACT

Generally on BUMN sugar factory the rendement is lower than private sugar factory. The audit purpose is to know processing system description and hopefully will be able to deliver suggestion and recommendation to management to improve the processing system. Auditee is one of BUMN sugar factory in East Java with 3000 TCD (ton cane per day) milling capacity, Auditee produce sugar with 6, 20% average rendement and side product such as, bagasse, molasses, and blotong. According to the audit we can conclude the low rendement is caused by low quality of sugar cane plant and processing system on the factory.

Keywords: audit process, rendement, sugar processing

ABSTRAK

Rendemen yang diperoleh pabrik gula BUMN umumnya lebih rendah dari pabrik gula swasta. Audit kinerja proses pengolahan ini bertujuan memperoleh gambaran lengkap mengenai proses pengolahan pada pabrik yang diaudit dan diharapkan dapat memberikan rekomendasi perbaikan kepada manajemen pabrik. Auditee merupakan salah satu pabrik gula BUMN yang terletak di Jawa Timur, dengan kapasitas giling rata-rata sebesar 3.000 TCD (ton cane per day). Auditee menghasilkan produk utama berupa gula dengan rendemen rata-rata sekitar 6,20% dan produk samping berupa bagasse, molasse, dan blotong. Dari hasil audit disimpulkan bahwa rendahnya nilai rendemen gula disebabkan antara lain oleh kualitas tebu yang rendah dan proses pengolahan dalam pabrik yang belum optimal.

Kata kunci: audit kinerja, rendemen, proses pengolahan gula

1

Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, UBiNus, Jakarta dan Peneliti pada Pusat Audit Teknologi, BPPT, Jakarta.

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan pangan nasional adalah ketidakseimbangan antara jumlah produksi nasional dan jumlah kebutuhan gula dalam negeri. Pada tahun 2004, industri gula nasional hanya mampu memproduksi sekitar 1,7 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri mencapai sekitar 3,6 juta ton. Untuk menutupi kekurangan itu, pada tahun yang sama Indonesia harus mengimpor gula sekitar 1,8 juta ton. Beberapa faktor yang mempengaruhi terpuruknya industri gula nasional, antara lain adalah lahan perkebunan rakyat yang ditanami tebu semakin lama semakin berkurang, serta kualitas tebu yang semakin lama semakin buruk, peralatan yang dimiliki oleh pabrik gula (khususnya pabrik gula BUMN) masih sangat konvensional dan proses pengolahan belum dilakukan secara optimal.

Salah satu indikator keberhasilan dari kinerja pabrik gula adalah rendemen, yaitu perbandingan berat kristal gula yang diperoleh dengan berat tebu yang digiling. Mulai dari tahun 1975 hingga tahun 2003, rendemen yang diperoleh pabrik gula milik BUMN yang berlokasi di Jawa rata-rata menurun tajam dari 12% menjadi 5-7%. Sementara rendemen yang diperoleh pabrik baru milik swasta yang berlokasi di luar Jawa saat ini mencapai 8–10%.

Untuk itu, dipandang perlu melakukan audit kinerja proses pada salah satu pabrik gula milik BUMN yang bertujuan memperoleh gambaran lengkap mengenai proses pengolahan pada pabrik yang diaudit dan pada akhirnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi perbaikan kepada manajemen pabrik. Auditee merupakan salah satu pabrik gula BUMN yang terletak di Jawa Timur, dengan kapasitas giling rata-rata sebesar 3.000 TCD (ton cane per day). Sebagai bahan baku digunakan tebu yang berasal dari perkebunan tebu rakyat yang berada di daerah sekitar pabrik. Selain produk utama berupa gula, Auditee menghasilkan produk samping berupa molasse (tetes tebu), bagasse (ampas tebu) dan blotong. Molasse dijual ke industri alkohol dan MSG, bagasse dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk keperluan internal pabrik, sementara blotong sampai saat ini belum dimanfaatkan.

PEMBAHASAN

Proses pengolahan mulai dari bahan baku berupa tebu hingga menjadi produk utama berupa gula secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam lima stasiun pengolahan utama berikut.

 Stasiun penggilingan  Stasiun pemurnian  Stasiun penguapan  Stasiun pemasakan  Stasiun putaran

(3)

Stasiun Penggilingan

Pada stasiun penggilingan berlangsung proses ekstraksi yang bertujuan mengekstraksi nira dari tebu sebanyak mungkin dan menekan sekecil mungkin kehilangan gula dalam ampas. Tahapan ekstraksi ini sangat menentukan nilai rendemen gula yang akan dihasilkan, semakin banyak nira yang diekstraksi maka semakin tinggi rendemen gula yang akan dihasilkan.

Pertama tebu diangkat dan diletakkan di atas meja tebu, kemudian dimasukkan ke unit unigator untuk dicacah dan ditumbuk. Selanjutnya, tebu digiling dengan menggunakan serangkaian mesin giling yang bekerja secara serial. Pada prinsipnya, semakin banyak jumlah mesin giling yang digunakan maka semakin banyak jumlah nira yang dapat diekstraksi dari tebu, tetapi konsekuensinya akan semakin banyak pula energi yang diperlukan untuk menggerakkan mesin-mesin tersebut. Auditee menggunakan 4 buah mesin giling dengan tenaga penggerak berupa turbin uap dengan tekanan uap sekitar 15 – 17 kg/cm2. Untuk menekan kehilangan gula yang tertinggal dalam ampas, dilakukan penambahan air imbibisi pada suhu 70oC sebanyak 230% berat sabut yang disemprotkan pada gilingan terakhir (ke-4). Selanjutnya nira yang dihasilkan dialirkan secara counter current dengan tebu, artinya: nira mengalir dari gilingan terakhir (ke-4) ke gilingan sebelumnya (ke-3) dan seterusnya, sementara tebu mengalir dari gilingan pertama (ke-1) ke gilingan berikutnya (ke-2) dan seterusnya.

Pada akhir proses ekstraksi, diperoleh cairan keruh yang berwarna hijau kecoklatan yang disebut nira mentah. Sebelum diproses ke stasiun pemurnian, nira mentah disaring agar bebas dari kotoran kasar, kemudian dipompakan ke timbangan boulogne dan dipanaskan dari 30oC hingga 100oC pada pemanas I.

Sebagai sisa penggilingan, diperoleh bagasse sebanyak 36,5% dari total berat tebu, dengan kadar sabut sekitar 16%. Bagasse dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada unit boiler dengan nilai kalor sebesar 1.825 kcal/kg bagasse, sementara nilai kalor bahan bakar residu sebesar 9.500 kcal/liter residu.

Stasiun Pemurnian

Proses pemurnian bertujuan menghilangkan bahan-bahan bukan gula sebanyak mungkin dari nira, baik secara kimia maupun secara fisika. Proses pemurnian ini sangat menentukan proses pengolahan gula secara keseluruhan. Semakin tinggi tingkat kemurnian nira yang diperoleh, maka semakin tinggi pula nilai brightness dan rendemen gula yang akan dihasilkan. Auditee menggunakan teknologi pemurnian secara sulfitasi, yaitu suatu proses pemurnian yang dilakukan dengan cara mengendapkan kotoran dalam nira, dengan bahan kimia pembantu berupa Ca(OH)2, H3PO4 dan SO2.

Sebagaimana diketahui bahwa reaksi kimia sangat bergantung pada kondisi operasi, seperti pH, suhu, dan waktu. Oleh karena itu, proses pemurnian yang melibatkan reaksi

(4)

kimia ini hanya akan efektif apabila berlangsung pada kondisi operasi yang akurat. Penambahan susu kapur dilakukan sedemikian rupa sehingga pH nira mentah dari 6,3–6,5 akan naik menjadi pH=7 pada defecator I dan II, serta mencapai pH=9 pada defecator III. Proses pengendapan bertahap ini difungsikan pada suhu sekitar 75oC dan waktu tinggal sekitar 1 - 2 menit pada masing-masing tahapan.

Ca(OH)2 dan H3PO4 akan bereaksi dan membentuk inti endapan Ca3(PO4)2, dimana

pengontrolan pH nira dilakukan dengan indikator BTB (Brom Tymol Blue) dan PP (phenolptalein).

3 Ca2+ + 2 PO4

3-  Ca 3(PO4)2

Keluar dari defecator, kelebihan susu kapur dalam nira kemudian dinetralkan dengan gas SO2 pada unit sulfitasi I.

SO2 (g) + H2O (l)  H2SO3

H2SO 3 + Ca(OH)2

 CaSO

3 + 2 H2O

Endapan yang terbentuk berupa CaSO3 akan menyerap kotoran yang melayang

dan memerangkapnya ke dalam inti endapan. Di samping itu, pemakaian gas SO2 dapat

mengurangi intensitas warna (sebagai pemucat), sehingga nira menjadi lebih bening. Hasil dari unit sulfitasi I disebut nira yang tersulfitir, selanjutnya dipanaskan ke pemanas II dari 70 oC hingga mencapai 75oC. Selanjutnya nira jernih dimasukkan ke door clarifier untuk mengendapkan kotoran atau floc dalam nira. Sehingga nira akan terpisah menjadi dua bagian, yaitu nira encer pada bagian atas dan nira kotor pada bagian bawah. Nira encer akan diproses lebih lanjut di stasiun penguapan, sementara nira kotor dialirkan ke rotary vacuum filter agar nira tapis terpisah dari blotong. Nira tapis di-recycle ke dalam unit penggilingan, sementara blotong dipisahkan.

Stasiun Penguapan

Nira encer yang masih banyak mengandung air akan dipekatkan pada stasiun penguapan. Proses pemekatan dilakukan dengan cara menguapkan air sebanyak mungkin air dari nira, hingga mendekati titik jenuh (nilai brix sekitar 64%). Nilai brix menunjukkan tingkat kepekatan nira, yang didefinisikan sebagai berat zat padat (gula dan bukan gula) yang terkandung dalam 100 g larutan. Di sini, nira encer yang masuk ke stasiun penguapan memiliki nilai brix = 12,21, sementara nira kental yang keluar dari stasiun ini ditargetkan memiliki nilai brix = 64,84.

Stasiun penguapan merupakan unit proses yang paling banyak mengkonsumsi uap pada pabrik gula. Untuk menghemat penggunaan energi, Auditee mengoperasikan 4 buah quadruple effect evaporator, yang berarti satu bagian uap digunakan untuk

(5)

menguapkan empat bagian air atau dengan kata lain 1 kg uap dapat menguapkan 4 kg air. Hanya evaporator pertama yang memerlukan masukan uap, sementara evaporator lainnya memanfaatkan uap dari evaporator sebelumnya. Hasil penguapan dari evaporator I berupa uap nira I yang kemudian akan dipakai sebagai pemanas pada evaporator II, begitupula dengan cairan nira mengalir ke evaporator II, dan proses yang sama terjadi pada evaporator berikutnya.

Proses penguapan berlangsung pada tekanan rendah (vacuum), dimana semakin ke belakang tekanan vacuum evaporator semakin tinggi, tekanan vacuum IV>III>II>I. Uap air nira dapat mengalir karena adanya tarikan vacuum dari evaporator berikutnya. Sebagaimana diketahui bahwa tekanan berbanding lurus dengan suhu. Oleh karena itu, semakin ke belakang tekanan evaporator harus dibuat semakin rendah, agar titik didih nira semakin rendah sehingga pengentalan berjalan lebih cepat.

Nira kental yang diperoleh dari evaporator terakhir umumnya berwarna kuning kecoklatan karena adanya garam-garam ferri, karamelisasi serta kenaikan kepekatan nira. Oleh karena itu, nira kental dimasukkan ke unit sulfitasi II untuk pemucatan warna, dengan cara mereduksi garam ferri menjadi garam ferro yang tidak berwarna.

SO2 (g) + H2O (l)  H2SO3

2 Fe3+ + H2O + SO3

2-  2 Fe2+

+ 2 H+ + SO4

2-Permasalahan yang sering dijumpai pada stasiun ini adalah timbulnya kerak pada dinding evaporator sebagai hasil reaksi dari phosphate dan air yang mengandung silikat yang dapat menurunkan daya hantar panas. Oleh karenanya, evaporator harus disekrap secara berkala dan menggunakan caustic soda.

Stasiun Kristalisasi

Pada stasiun kristalisasi, dilakukan penguapan air yang masih tersisa dalam nira kental hingga mencapai kejenuhan tertentu. Dalam stasiun masakan, diharapkan akan terjadi pembentukan kristal molekul-molekul sakarosa. Secara umum, proses kristalisasi berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu pembentukan inti, pembesaran kristal dan perapatan kristal.

Karena terjadinya proses penguapan, jarak molekul-molekul sakarosa menjadi semakin dekat hingga mencapai kesetimbangan (berada pada daerah tepat jenuh). Dengan makin mengentalnya larutan, akan terbentuk rantai sakarosa yang kemudian bergabung membentuk suatu pola kristal yang berukuran mikron. Untuk mempercepat pembesaran kristal, sakarosa harus ditempelkan pada inti kristal yang sudah ada, dengan cara memberikan mother liquor (bibit). Pada daerah yang lebih encer kristal akan mencair, sementara pada daerah yang lebih pekat nira akan membentuk kristal palsu yang dapat mengganggu proses selanjutnya. Proses kristalisasi umumnya dilakukan dalam keadaan

(6)

vacuum sekitar 60-65 cmHg untuk menurunkan titik didih nira menjadi 50-60oC. Pada suhu rendah, molekul sakarosa lebih mudah menempel satu sama lain, sehingga proses kristalisasi menjadi semakin cepat.

Auditee memiliki sembilan buah vacuum pan yang berfungsi secara batch dan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis pan, yaitu: A, C dan D, dimana pan A menghasilkan gula A yang layak konsumsi, sementara pan C dan D menghasilkan gula C dan gula D berkualitas rendah dan umumnya digunakan sebagai bibit pada pan A.

Pada akhir siklus masakan, akan diperoleh massecuite yang mengandung kristal gula dan stroop, untuk selanjutnya dituangkan ke dalam palung pendingin (crystallizer), dan kemudian dikirim ke stasiun putaran.

Stasiun Putaran

Setelah didinginkan hingga mencapai suhu kamar, massecuite A dimasukkan ke dalam stasiun putaran untuk memisahkan kristal gula dan stroop dari massecuite dengan menggunakan centrifugal machine. Peralatan yang dimiliki oleh Auditee pada stasiun putaran terdiri dari : 7 buah HCG (High Grade Centrifugal) dan 8 buah LCG (Low Grade Centrifugal). Unit HCG menghasilkan produk utama berupa gula SHS (nilai brix = 99,93 dan HK = 99,86), sementara LCG menghasilkan gula C dan gula D, serta menghasilkan produk samping berupa molasse (nilai brix = 88,66 dan HK = 33,9).

Gula SHS yang dihasilkan selanjutnya diayak, kemudian dikeringkan dengan udara panas, didinginkan, dikemas dan disimpan di gudang, sementara gula C dan D yang berkualitas rendah (raw sugar) dilarutkan kembali ke dalam mother liquor yang digunakan sebagai bibit masakan A.

Hasil Audit

Data proses pengolahan yang diperoleh pada saat kegiatan audit berlangsung secara ringkas dapat disampaikan sebagai berikut.

Tabel 1 Debit Bahan pada Stasiun Pengolahan

Uraian Debit (ton/jam) % Berat thd Tebu Tebu 122,73 100,00 Gula SHS 7,61 6,20 Molasse 6,29 5,12 Bagasse 45,10 36,75 Blotong 3,88 3,16

(7)

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa nilai rendemen gula rata-rata pada pabrik Auditee adalah 6,20%. Nilai rendemen tersebut masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan rendemen yang diperoleh pada beberapa PG lain yang berlokasi di wilayah yang berdekatan yang sudah mencapai 7%.

Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui sejauhmana proses pengolahan pada sebuah pabrik gula sudah berlangsung efektif adalah nilai pol, yang didefinisikan sebagai berat sakarosa (gula) yang terkandung dalam 100 g larutan. Selama kegiatan audit berlangsung, nilai-nilai pol pada pabrik Auditee dapat disampaikan sebagai berikut.

Tabel 2 Nilai Pol pada Pabrik Auditee

Uraian Data Aktual Data Normal (Benchmark)

Pol dalam Tebu 8,67 > 12,00

Pol dalam Nira Perahan Pertama 11,64 > 14,00

Pol dalam Nira Mentah 7,83 NA

Pol dalam Bagasse 2,32 1,50 – 2,50

Pol dalam Blotong / % Tebu 0,99 1,10

Pol dalam Molasse / % Tebu 16,70 17,30

Pol dalam Kehilangan / % Tebu 2,24 1,70

Pol dalam Gula / % Tebu 72,75 70,70

Berdasarkan tabel 2, dapat ditarik simpulan berikut.

a. Nilai pol pada input proses, yaitu pada tebu dan nira perahan pertama berturut-turut adalah 8,67 dan 11,64, sementara batas nilai normalnya adalah 12,00 dan 14,00. Perbedaan nilai pol yang cukup signifikan ini menunjukkan bahwa kualitas tebu yang diolah tergolong buruk.

b. Nilai pol pada produk samping baik pada ampas, blotong maupun tetes masih terletak pada batas normal. Dengan melakukan optimasi pada proses pengolahan, nilai pol ini masih dapat diturunkan lagi.

Tabel 3 Berat Pol dalam 100 ton Tebu

Uraian Berat Pol (dalam 100 ton Tebu)

Prosentase (thd Pol dalam Tebu)

Tebu 8,67 100,00 Nira Mentah 7,83 90,31 Bagasse 0,84 9,69 Blotong 0,086 0,99 Molasse 1,448 16,70 Taksasi/Perkiraan 0,205 2,36 Kehilangan 0,194 2,24 Gula Kristal 6,307 72,75

(8)

Berdasarkan tabel 3, dapat ditarik simpulan berikut.

a. Berat gula yang terkandung dalam 100 ton tebu sebesar 8,67 ton, sementara berat gula yang diperoleh dalam bentuk gula kristal sebesar 6,307 ton, atau sekitar 72,75% dari berat gula dalam tebu.

b. Dengan memperhitungkan berat gula dalam taksasi dan dalam kehilangan, diperoleh bahwa berat gula yang terbawa/terikut dalam produk samping berjumlah 2,374 ton atau sekitar 27,38%, dengan rincian sebagai berikut.

o Berat gula terbawa dalam molasse sebesar 1,448 ton atau sekitar 16,70% o Berat gula terbawa dalam bagasse sebesar 0,84 ton atau sekitar 9,69% o Berat gula terbawa dalam blotong sebesar 0,086 ton atau sekitar 0,99 %

Beberapa faktor penyebab terbawanya gula dalam produk samping, antara lain sebagai berikut.

1. Proses ekstraksi yang belum optimal dan keterlambatan proses penggilingan (tebu layu) menyebabkan banyak gula yang akan terbawa dalam bagasse. Pada pabrik yang diaudit, terjadi kekurangan tenaga uap sehingga mesin penggiling tidak dioperasikan secara optimal. Pada stasiun penggilingan, terjadi antrian yang cukup panjang (mencapai lebih dari 24 jam) mengakibatkan tebu menjadi alot sehingga sulit untuk diperah.

2. Kualitas tebu yang buruk (di bawah normal) dan proses pemasakan yang belum optimal akan menyebabkan banyak gula yang akan terbawa dalam molasse. Nira yang berasal dari tebu yang belum cukup matang akan sulit mengkristal menjadi gula. Begitupula dengan proses pemasakan yang tidak dilakukan pada kondisi yang tepat (pH, suhu dan tekanan) akan mengakibatkan kristal gula sulit terbentuk.

(9)

PENUTUP

Selain kualitas tebu yang semakin menurun, rendahnya nilai rendemen yang diperoleh dan tingginya kandungan gula yang terbawa dalam produk samping menunjukkan bahwa kinerja proses pengolahan pada pabrik gula yang diaudit masih rendah.

Untuk meningkatkan kinerja proses pengolahan, disampaikan beberapa rekomendasi perbaikan sebagai berikut.

a. Kapasitas produksi uap pada unit boiler agar lebih ditingkatkan untuk mengoptimalkan kinerja stasiun penggilingan.

b. Manajemen persiapan bahan baku agar lebih mendapat perhatian (antrian tebu sebaiknya tidak melebihi 24 jam) untuk menekan besarnya jumlah tebu layu.

c. Manajemen tebang tebu agar lebih mendapat perhatian untuk mendapatkan kematangan tebu yang relatif merata.

d. Stasiun pengolahan yang selama ini dioperasikan secara manual sebaiknya dilengkapi dengan peralatan control yang otomatis atau semi otomatis untuk mencapai kondisi operasi yang akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Cabe, Mc. 84.nit Operation of Chemical Engineering. London: McGraw-Hill.

E, Hugot. 1975. Hand Book of Cane Sugar Engineering. Second completely revised edition. Amsterdam-London-New York: Elsivier Publishing Company.

Santoso, Bambang Eddy. 2001. Diktat Pelatihan Penentuan Rendemen Tebu. ISTECS dan P3GI.

Referensi

Dokumen terkait

• Introducing personal participant; I, my group, etc • Using chronological connection; then, first, etc • Using linking verb; was, were, saw, heard, etc • Using action verb; look,

Kalau kita melihat tema yaitu bagaimana Mewujudkan Kota Jayapura Sebagai Toleransi Di Tanah Papua, kalau kita melihat beberapa pekan terakhir sebelum melaksanakan

Substansi dari Program Kerja Pemerintah Kota Depok Tahun 2016 tersebut merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan program unggulan serta program andalan Kota Depok yang

program pembangunan, mengkordinasikan, memantau masyarakat untuk berpartisipasi serta mengevaluasi pelaksanaan pembangunan di desa. Selain itu masyarakat Desa Tolonuo sangat

Untuk mengetahui peningkatan keprofesionalan dilihat dari peningkatan kualitas hasil pengembangan perangkat perkuliahan ( teaching material ), kemampuan penguasaan

Menimbang, bahwa alat bukti P-9, merupakan akta autentik telah memenuhi syarat formil dan materiil pembuktian, telah diakui dan dibenarkan oleh Termohon, hanya

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu mulai bulan September 2015 sampai dengan.. Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan dengan

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor seperti gender dan kepribadian mempengaruhi perencanaan keuangan pribadi