• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut H.R. Otje Salman Soemadingrat (2002:173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Emile Durkheim mengatakan bahwa “ ikatan kekeluargaan (perkawinan) dengan suasana tradisi dan adat-istiadat oleh karena adanya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akan bergeser ke arah kontrak berdasarkan pengaturan oleh Negara” (Doyle,1990). (1) Goncangnya lembaga perkawinan akibat dari poligami (permaduan). (2) Melunturnya Cinta Suami Isteri. (3) Faktor penghambat luar keluarga yaitu keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, hukum perundang-undangan yang mentolerir perceraian, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari struktur patriarkhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung pasif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks (BKKBN, 2004).

Pendidikan bagi sebagian orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, sebaliknya pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual dan moral yang menjadi tanggung

(2)

jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Kegiatan pendidik merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan dirinya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat.

Pendidikan sebagai usaha pewarisan dari generasi ke generasi. Menurut ahli sosiologi, pendidikan adalah sesuatu yang terjadi di masyarakat yang disebabkan tiga hal tentang umat manusia. Pertama, mempelajari semua yang meliputi cara hidup suatu masyarakat atau kelompok orang. Tidak ada yang diwariskan secara biologis. Kedua, manusia sangat peka terhadap pengalaman. Maksudnya, ia mampu mengembangkan rentangan kepercayaan tentang dunia sekitarnya keterampilan dalam memanipulasinya. Ketiga, bayi yang baru lahir dan dalam waktu yang cukup lama selalu tergantung pada orang lain. Ia idak mampu mengembangkan kepribadiannya tanpa banyak pertolongan orang lain, baik secara kebetulan maupun dengan sengaja.

Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Anak

Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama mempunyai peranan penting dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak secara mendasar. Menurut Hasan Langgulung ada empat bidang pendidikan yang dapat dikembangkan oleh orang tua dalam rangka pendidikan keluarga yaitu:

1. Pendidikan jasmani dan kesehatan

Keluarga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan fungsi fisiknya. Serta untuk menciptakan kesehatannya. Fungsi dari jasmani adalah memperoleh pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan, kebiasaan, dan sikap yang

(3)

harus dimiliki oleh anak. Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan sebelum bayi lahir (pre-natal), yaitu pemeliharaan terhadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan sehat selama mengandung.

2. Pendidikan akal (intelektual)

Walaupun pendidikan akal telah diperoleh oleh institusi khusus, tetapi peranan keluarga masih tetap penting, terutama orang tua mempunyai tanggungjawab sebelum anak masuk sekolah. Tugas keluarga dalam pendidikan intelektual adalah untuk menolong anak-anaknya, menentukan, membuka, dan menumbuhkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, minat, dan kemampuan anaknya. Tugas yang lain adalah memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut.

3. Pendidikan agama dan spiritual

Pendidikan agama tumbuh dan berkembang dari keluarga, sehingga peran orang tua sangat penting. Pendidikan agama dan spiritual berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri pada diri anak yang disertai kegiatan upacara keagamaan. Begitu juga memberi bekal anak-anak dengan pengetahuan agama dan sejarah, disertai dengan cara-cara pengalaman keagamaan.

4. Pendidikan sosial anak

Pendidikan sosial anak melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka meningkatkan iman, memberi kasih sayang dan selalu mementingkan dan mendahulukan orang lain.

Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan keberadaan sekolah agar tetap lebih lama (survive), diharapkan peranan orang tua cukup peka terhadap finansial, dalam arti mengembangkan semangat solidaritas. Semangat solidaritas yang harus dibangun adalah yang berkemampuan diharuskan membantu yang kekurangan, jangan sampai peserta didik

(4)

yang gagal sekolah disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua membiayai sekolah anaknya. Begitu juga terhadap infrastruktur yang lain, sungguh sangat ideal jika kesadaran orang tua dan masyarakat mempunyai solidaritas sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing untuk terus-menerus menghidupi sekolah dalam banyak aspek, sehingga sekolah tersebut akan terus eksis.

Keluarga diharapkan menyediakan lingkungan yang kondusif dan sekaligus sebagai sarana yang efektif untuk terjadinya proses pembelajaran. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian sebagaimana dinyatakan Subino Hadi Subroto yaitu, bahwa keluarga hendaknya menjadi tempat tinggal yang membetahkan, menjadi tempat berbagi rasa, dan pikiran, menjadi tempat mencurahkan suka dan duka, tidak menjadi tempat bergantung bagi anak-anak akan tetapi sebagai tempat berlatih mandiri, tidak menjadi tempat menuntut hak, menjadikan tempat menumbuhkan kehidupan religius dan akhirnya menjadi tempat yang aman karena aturan main antar anggota ditegakkan. Pendidikan dalam keluarga atau di rumah tangga termasuk pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan. Pendidikan sekolah yang tidak dilembagakan yaitu proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak teratur atau tidak sistematis sejak seseorang lahir sampai mati. Biasanya anak-anak yang berasal dari keluarga tingkat menengah menharapkan agar anak-anak mereka dapat menyelesaikan sekolah setinggi mungkin, sebab mereka mengetahui faedah pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu materi yang diajarkan dalam keluarga biasanya sesuai dengan yang diajarkan disekolah. Sebaliknya anak-anak yang berasal dari keluarga tingkat sosial rendah banyak mengalami kesulitan dalam bertingkah laku disekolah sebab nilai-nilai, tingkah laku, dan biasanya yang diajarkan dalam keluarga berbeda dengan yang diajarkan disekolah. Disamping itu orang tua mereka masih ragu-ragu tentang kegunaan atau faedah pendidikan dalam kehidupan sehari-hari.

(5)

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama didalam keluarga. Dikatakan utama karena pendidikan yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya. Para ahli sependapat bahwa betapa pentingnya pendidikan keluarga ini. Mereka mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga, membawa pengaruh terhadap lingkungan pendidikan selanjutnya, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Tujuan dalam pendidikan keluarga atau rumah tangga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, akal, dan rohani. Yang bertindak sebagai pendidik dalam rumah tangga ialah ayah dan ibu si anak.

Dalam arti yang luas, pendidikan merupakan proses yang menghasilkan ketiga hal ini. Pendidikan adalah cara seseorang memperoleh kemampuan fisik, moral dan sosial yang dituntut daripadanya oleh kelompok tempat ia dilahirkan dan harus berfungsi. Ahli sosiologi menyebut hal ini sebagai sosialisasi. Istilah ini berlaku karena dua hal. Pertama, istilah ini menekankan bahwa proses ini bersifat sosial; prose situ terjadi pada konteks sosial, dan dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan kelompok. Kedua, segi ‘kemanusiaan’ pola perilaku dan nilai yang member ‘arti’ kepadanya, merupakan dua pusat perhatian utama sosiologi.

Pendidikan merupakan pelantikan pendatang baru dalam masyarakat. Pendidikan itu berjalan terus sebagai tanggapan terhadap nilai-nilai tentang bagaimana anggotanya harus bertindak dan ide-ide tentang apa yang harus mereka pelajari.

Sehubungan dengan hal ini Coombs (1973) membedakan pengertian ketiga jenis pendidikan itu sebagai berikut:

(6)

a) Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, bertingkat/berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk kedalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan professional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.

b) Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa.

c) Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya. (http://zandradw.blogspot.com/2011/11/perbedaan-pendidikan-formal-informal.html diakses tgl 19 sept 2012, 07:39)

(7)

McClelland (dalam Sukadji etd, 2001) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan (standard of excellence). Menurut Murray (dalam Beck, 1998), motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, melatih kekuatan, dan untuk berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin. Sementara itu Atkinson (dalam Petri, 2001) menyatakan bahwa motivasi berprestasi individu didasarkan atas dua hal, yaitu tendensi untuk meraih sukses dan tendensi untuk menghindari kegagalan. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi berarti ia memiliki motivasi untuk meraih sukses yang lebih kuat daripada motivasi untuk menghindari kegagalan, begitu pula sebaliknya. Dari uraian mengenai motivasi berprestasi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan kemampuan pribadi setinggi mungkin, untuk mengatasi rintangan-rintangan, dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dalam suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya atau dapat pula prestasi orang lain.

2.2. Anak dalam Aspek Sosiologis

Dalam aspek sosiologis, anak senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Menurut kodratnya, anak manusia adalah anak makhluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna.

Dalam pandangan Kartini Kartono, anak manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat atau tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang, dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia. Anak tidak akan terlepas dari lingkungan

(8)

orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Anak manusia bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan ke dalam lingkungan manusia sehingga memperoleh pemahaman akan pendidikan.

2.3. Sosialisasi

Sosialisasi adalah sebuah proses pengajaran atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari suatu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Hal ini disebabkan dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.

2.3.1. Jenis Sosialisasi

Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosiolog, E. Goffman berpendapat bahwa kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total. Yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal (M. Poloma, 2000:238).

1. Sosialisasi Primer

Peter L. berger dan Luckman mendefinisikan sosialisai primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan oranglain di sekitar keluarganya.

(9)

Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebag seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan keluarga terdekatnya.

2. Sosialisasi sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama.

2.4 Proses Sosialisasi menurut George Herbert Mead

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut (G. Ritzer 2007:282).

1. Tahap Persiapan ( Preparatory Stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

Contoh: Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan “mam”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.

2. Tahap Meniru (Play Stage)

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak meniru peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak

(10)

mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentu. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).

3. Tahap Siap Bertindak (Game stage)

Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

4. Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized Stage / Generalized other) Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secra luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa

Referensi

Dokumen terkait

Sekuritas akan berkorelasi hanya jika sekuritas-sekuritas tersebut mempunyai respon yang sama terhadap return pasar. Sekuritas akan bergerak menuju arah yang sama hanya

Dilihat dari volume pengaduan yang masuk, yang menggambarkan kepedulian para pelapor terhadap isu keamanan Internet menjadi tanggung jawab pihak-pihak terkait dengan

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Basuki Hari Prasetyo, M.Kom Lestari Margatama, M.Kom Agus Umar Hamdani, M.Kom Lestari Margatama, M.Kom Dani Anggoro, M.Kom Sejati Waluyo, M.Kom Sejati Waluyo, M.Kom Sakur, M.Kom

Dari berbagai teori tentang prinsip-prinsip latihan, maka prinsip-prinsip latihan shooting yang digunakan peneliti meliputi: (a) prinsip spesialisasi latihan: latihan shooting

mengkaji perubahan sosial ekonomi petani jeruk di desa

Proses merubah heater pada washer mesin Bardi yang bekerja secara manual menjadi otomatis ini adalah sebagai berikut:I. Mempelajari sistem kelistrikan dan mekanik pada