• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN GEDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN GEDUNG"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BUPATI FLORES TIMUR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 02 TAHUN 2014

TENTANG BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, perlu penataan bangunan dan lingkungan;

b. bahwa sejalan dengan laju pertumbuhan pembangunan yang berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang wilayah, sehingga perlu diatur penataan bangunan dan lingkungan;

c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4), Pasal 98 ayat (3), Pasal 108 ayat (2), Pasal 109 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana

(2)

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Ijin Mendirikan Bangunan

(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 276);

7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/ M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR dan

BUPATI FLORES TIMUR MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores Timur. 3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Flores Timur. 5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah

Kabupaten Flores Timur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang Bangunan Gedung.

6. Perencana bangunan adalah orang atau badan hukum yang memiliki surat ijin di bidang perancangan dan perencanaan bangunan.

7. Pelaksana bangunan adalah orang atau badan hukum yang memiliki surat ijin di bidang pelaksanaan bangunan.

8. Pengawas bangunan adalah orang atau badan hukum yang memiliki surat ijin di bidang pengawasan bangunan.

9. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya

(3)

berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus, termasuk di dalamnya bangunan bukan gedung.

10. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.

11. Bangunan rumah tinggal adalah bangunan tempat tinggal atau kediaman keluarga.

12. Bangunan campuran adalah bangunan dengan lebih dari satu jenis penggunaan.

13. Bangunan permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dan umur bangunan dapat bertahan lebih dari 15 (lima belas) tahun.

14. Bangunan semi permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dan umur bangunan dapat bertahan antara 5 (lima) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun.

15. Bangunan sementara/darurat adalah bangunan yang konstruksi utamanya dari kayu dan sejenisnya dan umur bangunan dapat bertahan kurang dari 5 (lima) tahun.

16. Bangunan bertingkat adalah bangunan yang mempunyai lantai lebih dari 1 (satu).

17. Bangunan tidak bertingkat adalah bangunan yang mempunyai 1 (satu) lantai pada permukaan tanah.

18. Bangunan rumah adat adalah bangunan yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat atau tradisi masyarakat serta kearifan lokal sesuai dengan budayanya.

19. Standard Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standard yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.

20. Kapling/pekarangan adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan.

21. Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan sebagian atau seluruhnya, termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan tersebut.

22. Mengubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan atau menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut. 23. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan sebagian

atau seluruh bangunan gedung, komponen, bahan bangunan dan atau prasarana dan sarananya.

24. Tinggi bangunan adalah tinggi bangunan yang diukur dari rata-rata perrmukaan tanah hingga puncak atap atau puncak dinding, diambil yang tertinggi di antara keduanya.

(4)

26. Jarak bangunan adalah jarak terkecil dari sisi dinding luar bangunan satu ke sisi dinding luar bangunan lain yang letaknya berdampingan atau bertolak belakang.

27. Jarak bebas muka bangunan adalah jarak terpendek bangunan antara garis sempadan pagar ke garis muka bangunan.

28. Jarak bebas samping bangunan adalah jarak terpendek antara batas persil samping ke garis samping bangunan yang berhadapan.

29. Jarak bebas belakang bangunan adalah jarak terpendek antara batas persil belakang ke garis belakang bangunan.

30. Garis sempadan adalah garis pada halaman pekarangan perumahan yang ditarik sejajar dengan garis as jalan, tepi sungai, tepi pantai atau as pagar dan merupakan batas antara bagian kapling/pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun bangunan.

31. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Bupati kepada pemohon untuk membangun baru, rehabilitasi/renovasi dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

32. Permohonan ijin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan ijin mendirikan bangunan gedung.

33. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

34. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. 35. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka

prosentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. 36. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka

prosentase perbandingan antara luas tapak basemen dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. 37. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat

RTRW adalah rencana tata ruang Kabupaten Flores Timur.

38. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten yang selanjutnya disebut RDTR Kabupaten adalah rencana tata ruang di wilayah kabupaten yang menggambarkan zonasi/blok pemanfaatan ruang, struktur dan pola ruang serta sarana dan prasarana dan persyaratan teknik pengembangan tata ruang.

39. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.

40. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta

(5)

kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

41. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung dan pengguna bangunan gedung.

42. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

43. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

44. Tim ahli bangunan gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut. 45. Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi

persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.

46. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kecuali bangunan dengan fungsi khusus.

47. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.

48. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.

49. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

50. Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.

51. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

52. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

(6)

53. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

BAB II

ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2

Asas penyelenggaraan bangunan gedung berlandaskan: a. kemanfaatan;

b. keselamatan;

c. keseimbangan; dan

d. keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Pasal 3

Tujuan pengaturan bangunan gedung yaitu:

a. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

b. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan; dan

c. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

Pasal 4 Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi: a. fungsi dan klasifikasi bangunan gedung; b. persyaratan bangunan gedung;

c. penyelenggaraan bangunan gedung; d. perijinan bangunan gedung;

e. ketentuan teknis bangunan gedung; f. peranserta masyarakat; dan

g. pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. BAB III

FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Fungsi Bangunan Gedung Pasal 5

(1) Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya, maupun keandalan bangunan gedungnya.

(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. hunian;

b. keagamaan; c. usaha;

(7)

e. fungsi khusus.

(3) 1 (satu) bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 6

(1) Fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah tinggal susun dan rumah tinggal sementara.

(2) Fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan ibadah yang meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara dan bangunan kelenteng.

(3) Fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha yang meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan.

(4) Fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, laboratorium, dan bangunan gedung pelayanan umum.

(5) Fungsi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e, mempunyai fungsi utama bukan sebagai tempat tinggal manusia

yang meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.

Pasal 7

Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat resiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian dan/atau kepemilikan.

Pasal 8

Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW dan/atau RDTR Kabupaten.

Bagian Kedua Klasifikasi Bangunan

Pasal 9

(1) Penentuan klasifikasi bangunan gedung atau bagian dari gedung ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan atau perubahan yang diperlukan pada bangunan gedung. (2) Klasifikasi bangunan menurut fungsinya, terdiri dari:

a. bangunan tempat tinggal; b. bangunan keagamaan;

(8)

d. bangunan industri; e. bangunan pergudangan; f. bangunan perkantoran; g. bangunan transportasi;

h. bangunan pelayanan umum; dan i. bangunan khusus.

BAB IV

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Umum Pasal 10

(1) Setiap bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. status hak atas tanah dan/atau ijin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung; dan c. IMB gedung.

(3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan

bangunan gedung.

Bagian Kedua

Persyaratan Administratif Bangunan Gedung Paragraf 1

Status Kepemilikan Hak Atas Tanah Pasal 11

(1) Setiap bangunan gedung hanya dapat didirikan di atas tanah milik sendiri yang bersertifikat atau atas ijin tertulis dari pemegang hak lainnya.

(2) Bangunan gedung yang karena budaya atau tradisi setempat harus dibangun di atas sungai, laut atau danau harus mendapat ijin dari Bupati.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perijinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2

Status Kepemilikan Bangunan Gedung Pasal 12

(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Bupati.

(2) Penetapan status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada saat proses IMB untuk keperluan tertib

(9)

pembangunan, tertib pemanfaatan dan kepastian hukum atas kepemilikan bangunan gedung.

Pasal 13

(1) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

(2) Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan surat keterangan bukti kepemilikan baru.

(3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan

hak kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mendapat persetujuan pemilik tanah.

(4) Penerbitan surat keterangan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (2), dikeluarkan oleh Dinas.

Pasal 14

Status kepemilikan rumah adat pada masyarakat hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat berdasarkan norma dan kearifan masyarakat setempat.

Bagian Ketiga

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Paragraf 1

Persyaratan Tata Bangunan Pasal 15

Persyaratan tata bangunan gedung meliputi: a. persyaratan peruntukan;

b. persyaratan intensitas; c. persyaratan arsitektur; dan

d. persyaratan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 16

(1) Persyaratan peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, merupakan persyaratan peruntukan lokasi yang bersangkutan sesuai dengan RTRW dan RDTR Kabupaten.

(2) Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam RTRW dan RDTR Kabupaten. (3) Setiap mendirikan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah tanah,

air, dan/atau prasarana/sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.

(4) Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air,

dan/atau prasarana/sarana umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengajuan permohonan IMB dilakukan setelah mendapatkan

(10)

Pasal 17

(1) Dalam hal terjadi perubahan RTRW dan RDTR Kabupaten yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan. (2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 18

Persyaratan intensitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, meliputi persyaratan kepadatan, ketinggian dan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

Pasal 19

(1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melebihi ketentuan maksimal kepadatan dan ketinggian yang ditetapkan dalam RTRW dan RDTR Kabupaten.

(2) Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk KDB maksimal.

(3) Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk KLB dan/atau jumlah lantai maksimal.

(4) Penetapan KDB didasarkan pada luas kapling/persil, peruntukan atau fungsi lahan dan daya dukung lingkungan.

(5) Penetapan KLB dan/atau jumlah lantai didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya dukung lingkungan, keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan besaran kepadatan dan ketinggian bangunan gedung diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 20

(1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW dan RDTR Kabupaten.

(2) Penetapan garis sempadan bangunan gedung dengan tepi jalan, tepi sungai, tepi pantai, tepi danau dan/atau jaringan tegangan tinggi didasarkan pada pertimbangan keselamatan dan kesehatan.

(3) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah didasarkan pada jaringan utilitas umum yang ada atau yang akan dibangun.

(4) Ketentuan jarak bebas bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:

a. Garis sempadan dari as jalan untuk bangunan yang terletak di tepi jalan arteri sekunder minimal 7 (tujuh) meter;

b. Garis sempadan dari as jalan untuk bangunan yang terletak di tepi jalan kolektor sekunder minimal 4 (empat) meter;

c. Garis sempadan dari as jalan untuk bangunan yang terletak di tepi jalan lokal sekunder minimal 3,5 (tiga koma lima) meter;

d. Garis sempadan untuk bangunan warung, toko, supermarket dan klasifikasi bangunan menurut fungsinya sebagai bangunan

(11)

perdagangan yang terletak di tepi jalan ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima) meter dari tepi jalan;

e. Garis sempadan muka bangunan jalan-jalan buntu atau jalan-jalan gang ditetapkan minimum setengah lebar jalan atau minimum 3 (tiga) meter;

f. Untuk bangunan rumah tinggal atau perumahan, batas kiri kanan dan belakang bangunan harus berjarak dengan bangunan lainnya yang sudah ada, sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter;

g. Antara blok toko, ruko atau bangunan yang satu dengan yang lain di sebelah menyebelahnya (kiri-kanan) harus disediakan gang untuk keperluan pencegahan kebakaran, sekurang-kurangnya 5 (lima) meter; dan

h. Ketentuan garis sempadan samping bangunan bertingkat ditentukan sebagai berikut:

1) persil yang lebarnya sampai dengan 10 (sepuluh) meter, tidak dikenakan garis sempadan samping bangunan, tetapi harus mengikuti ketentuan KDB;

2) persil yang lebarnya lebih dari 10 (sepuluh) sampai dengan 20 (dua puluh) meter, dikenakan garis sempadan samping bangunan pada salah satu sisinya dengan ketentuan:

a) untuk bangunan toko dan perkantoran, sekurang-kurangnya memiliki garis sempadan samping bangunan sebesar 3 (tiga) meter; dan

b) untuk bangunan jasa komersial dan hiburan, sekurang-kurangnya memiliki garis sempadan samping bangunan sebesar 5 (lima) meter.

3) persil yang lebarnya >20 (dua puluh) meter, dikenakan garis sempadan samping bangunan pada salah satu sisinya dengan ketentuan:

a) untuk bangunan toko dan perkantoran, sekurang-kurangnya memiliki garis sempadan samping bangunan sebesar 3 (tiga) meter;

b) untuk bangunan jasa komersial dan hiburan, sekurang-kurangnya memiliki garis sempadan samping bangunan sebesar 5 (lima) meter; dan

c) untuk bangunan umum dan sosial, sekurang-kurangnya memiliki garis sempadan samping bangunan sebesar 3 (tiga) meter.

Paragraf 2

Ketersediaan Lahan Parkir Pasal 21

(1) Setiap bangunan, kecuali bangunan rumah tinggal, diwajibkan menyediakan lahan parkir dalam lokasi masing-masing bangunan.

(2) Pengaturan parkir dipersyaratkan tidak menimbulkan gangguan lalulintas.

(12)

Paragraf 3

Ketinggian Pagar Bangunan Pasal 22

(1) Ketinggian pagar depan yang berhubungan dengan jalan umum disyaratkan setinggi-tingginya 2 (dua) meter dari dasar halaman datar dan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) harus dibuat tembus pandang.

(2) Tinggi pagar belakang dan samping setiap bangunan ditetapkan setinggi-tingginya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tertinggi di halaman bangunan.

(3) Dalam hal yang khusus Bupati dapat menetapkan syarat-syarat mengenai susunan, sifat dan tinggi pemagaran halaman bangunan.

Paragraf 4

Kenyamanan Dalam Bangunan Pasal 23

(1) Dalam merencanakan bangunan rumah tinggal atau perumahan dan gedung harus memperhatikan:

a. ketersediaaan halaman dan taman; b. ketersediaan pembuangan sampah; c. sirkulasi saluran air;

d. jarak antara rumah dengan rumah; e. kenyamanan ruang gerak;

f. kenyamanan hubungan antarruang; g. kenyamanan kondisi udara;

h. kenyamanan pandangan; dan

i. kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran.

(2) Perencanaan lantai, dinding, langit-langit dan atap yang membentuk suatu ruangan dalam bangunan harus dapat memenuhi kebutuhan fungsi ruang dan memenuhi persyaratan kesehatan, keselamatan dan keamanan bangunan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Paragraf 5

Keamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pasal 24

Setiap bangunan menurut klasifikasinya harus terjamin keamanannya terhadap bahaya kebakaran dengan menyediakan peralatan pemadam kebakaran.

Paragraf 6

Pembuangan Air Hujan Pasal 25

(1) Air hujan yang turun langsung dari atap atau pipa talang bangunan tidak boleh jatuh ke luar batas pekarangan dan harus dialirkan ke saluran umum kota.

(13)

(2) Jika saluran umum kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum tersedia, maka air hujan dialirkan ke sumur resapan pada lahan bangunan.

Pasal 26

Persyaratan arsitektur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c, meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

Pasal 27

(1) Persyaratan penampilan bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.

(2) Persyaratan penampilan bangunan gedung di kawasan cagar budaya harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian.

(3) Persyaratan penampilan bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan gedung yang dilestarikan harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk dan karakteristik dari arsitektur bangunan gedung yang dilestarikan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penampilan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 28

(1) Persyaratan tata ruang dalam harus mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung dan keandalan bangunan gedung.

(2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi dan efektivitas tata ruang dalam.

(3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan tata ruang dalam terhadap kaidah-kaidah arsitektur bangunan gedung secara keseluruhan.

(4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan tata ruang dalam.

Pasal 29

(1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

(2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.

(14)

Pasal 30

(1) Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(2) Setiap mendirikan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting harus didahului dengan menyertakan analisis mengenai dampak lingkungan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 31

(1) Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah wajib memenuhi persyaratan:

a. sesuai dengan RTRW dan RDTR Kabupaten; b. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

c. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawah tanah;

d. kesehatan sesuai dengan fungsi bangunan gedung;

e. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan gedung; dan

f. mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

(2) Pembangunan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah air, wajib memenuhi persyaratan:

a. sesuai dengan RTRW dan RDTR Kabupaten;

b. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan;

c. tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;

d. tidak menimbulkan pencemaran; dan

e. telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan dan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung.

(3) Pembangunan bangunan gedung di atas prasarana dan/atau sarana umum wajib:

a. sesuai dengan RTRW dan RDTR Kabupaten;

b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya;

c. tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya; dan

d. memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung.

(4) IMB gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3), wajib mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat.

(5) Pembangunan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana/sarana umum mengikuti standard teknis.

(15)

Paragraf 7

Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Pasal 32

Persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi: a. persyaratan keselamatan;

b. persyaratan kesehatan;

c. persyaratan kenyamanan; dan d. persyaratan kemudahan.

Pasal 33

Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a, meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.

Pasal 34

(1) Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan kuat/kokoh dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

(2) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa dan angin.

(3) Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.

(4) Struktur bangunan yang direncanakan secara daktail pada kondisi pembebanan maksimum, sehingga pada saat terjadi keruntuhan, kondisi strukturnya masih memungkinkan penyelamatan diri penghuninya. (5) Pembebanan pada bangunan gedung harus dianalisis dengan memeriksa

respon struktur terhadap beban muatan tetap, beban sementara atau beban khusus yang mungkin bekerja selama umur pelayanan dengan menggunakan SNI atau standard baku dan/atau pedoman teknis.

(6) Struktur atas bangunan gedung meliputi konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi kayu, konstruksi bambu, konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus dilaksanakan dengan menggunakan SNI, sebagai berikut:

a. konstruksi beton: SNI 03-1734-1989, SNI 03-2847-1992, SNI 03-3430-1994, SNI 033976-1995, SNI 03-2834-2000, SNI 03-3449-2002, tata cara perencanaan dan palaksanaan

konstruksi beton pracetak dan prategang untuk bangunan gedung. Metoda pengujian dan penentuan parameter perencanaan tahan gempa konstruksi beton pracetak dan prategang untuk bangunan gedung dan spesifikasi sistem dan material konstruksi beton pracetak dan prategang untuk bangunan gedung.

(16)

b. konstruksi baja: SNI 03-1729-2002, tata cara pembuatan dan perakitan konstruksi baja dan tata cara pemeliharaan konstruksi baja selama masa konstruksi.

c. konstruksi kayu: SNI 03-2407-1944, tata cara perencanaan konstruksi kayu untuk bangunan gedung dan tata cara pembuatan dan perakitan konstruksi kayu.

d. Konstruksi bambu: mengikuti kaidah perencanaan konstruksi berdasarkan pedoman dan standard yang berlaku.

e. konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus.

(7) Standard konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, sampai dengan huruf c, disesuaikan dengan perubahan SNI.

Pasal 35

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, wajib dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif.

(2) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai dan/atau dengan jumlah penghuni tertentu harus memiliki unit manajemen pengamanan kebakaran.

(3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran meliputi sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif, persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran, persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah keluar dan sistem peringatan bahaya, persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung, persyaratan instalasi bahan bakar gas dan manajemen penanggulangan kebakaran.

(4) Penerapan sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada fungsi/klasifikasi risiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

(5) Penerapan sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

(6) Persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran meliputi perencanaan akses bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran dan perencanaan dan pemasangan jalan keluar untuk penyelamatan sesuai dengan SNI.

(7) Persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah keluar dan sistem peringatan bahaya dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pengguna gedung dalam keadaaan darurat untuk menyelamatkan diri sesuai dengan SNI.

(8) Persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung di dalam menyediakan sistem komunikasi untuk keperluan internal maupun untuk hubungan keluar pada saat terjadi kebakaran atau kondisi lainnya harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(9) Perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif serta penerapan manajemen pengamanan kebakaran mengikuti pedoman dan standard teknis.

(17)

Pasal 36

(1) Setiap bangunan gedung yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk, ketinggian dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir harus dilengkapi dengan instalasi penangkal petir.

(2) Sistem penangkal petir yang dirancang dan dipasang harus dapat mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir terhadap bangunan gedung dan peralatan yang diproteksinya, serta melindungi manusia di dalamnya.

(3) Perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem penangkal petir mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 37

(1) Setiap bangunan gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik termasuk sumber daya listriknya harus dijamin aman, andal dan ramah lingkungan.

(2) Perencanaan, pemasangan, pemeriksaan dan pemeliharaan instalasi listrik mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 38

(1) Setiap bangunan gedung fungsi khusus harus dilengkapi dengan sistem pengamanan yang memadai untuk mencegah terancamnya keselamatan penghuni dan harta benda akibat bencana bahan peledak.

(2) Perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem pengamanan mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 39

Persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b, bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan bangunan gedung.

Pasal 40

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem penghawaan, setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/ buatan sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.

Pasal 41

(1) Ventilasi mekanik/buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat.

(2) Ventilasi alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), wajib memenuhi ketentuan bukan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela, sarana lain yang dapat dibuka dan/atau dapat berasal dari ruangan yang bersebelahan untuk memberikan sirkulasi udara yang sehat.

(18)

(3) Penerapan sistem ventilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung.

(4) Persyaratan teknis sistem dan kebutuhan ventilasi wajib mengikuti SNI, standard tentang tata cara perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem ventilasi dan/atau standard teknis terkait.

Pasal 42

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan, setiap bangunan gedung wajib mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan dan bangunan pelayanan umum wajib mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.

(3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.

(4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib direncanakan berdasarkan tingkat penerangan yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.

(5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipasang pada bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.

(6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.

(7) Persyaratan teknis sistem pencahayaan wajib mengikuti SNI dan/atau standard teknis.

Pasal 43

Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan gedung wajib dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.

Pasal 44

(1) Sistem air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, wajib direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan sumber air bersih dan sistem distribusinya.

(2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau sumber air lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan gedung harus memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.

(4) Persyaratan air minum dalam bangunan gedung harus sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(19)

Pasal 45

(1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, wajib direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.

(2) Pertimbangan jenis air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk pemilihan sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang dibutuhkan.

(3) Pertimbangan tingkat bahaya air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk sistem pengolahan dan pembuangannya.

(4) Perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 46

(1) Sistem pembuangan kotoran dan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, wajib direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.

(2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah pada masing-masing bangunan gedung, yang diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni dan volume kotoran dan sampah.

(3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan lingkungannya.

(4) Perencanaan, pemasangan dan pengelolaan fasilitas pembuangan kotoran dan sampah pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 47

(1) Sistem penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, wajib direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah dan ketersediaan jaringan drainase.

(2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya wajib dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan.

(3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan wajib diresapkan ke dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Bila belum tersedia jaringan drainase ataupun sebab lain yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan wajib dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang berwenang.

(5) Sistem penyaluran air hujan wajib dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.

(6) Persyaratan penyaluran air hujan wajib mengikuti ketentuan SNI dan standard tentang tata cara perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem penyaluran air hujan pada bangunan gedung atau standard baku dan/atau pedoman teknis.

(20)

Pasal 48

(1) Persyaratan instalasi gas medik wajib diberlakukan di fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas hiperbank, klinik bersalin dan fasilitas kesehatan lainnya.

(2) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem perpipaan gas medik dan sistem vacum gas medik harus dipertimbangkan pada saat perancangan, pemasangan, pengujian, pengoperasian dan pemeliharaannya.

(3) Persyaratan instalasi gas medik wajib mengikuti SNI atau penggantinya dan/atau standard baku/pedoman teknis.

Pasal 49

(1) Untuk memenuhi persyaratan penggunaan bahan bangunan gedung, setiap bangunan gedung wajib menggunakan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

(2) Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung harus tidak mengandung bahan-bahan berbahaya/ beracun bagi kesehatan dan aman bagi pengguna bangunan gedung. (3) Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak negatif terhadap

lingkungan wajib:

a. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi pengguna bangunan gedung lain, masyarakat dan lingkungan sekitarnya;

b. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu lingkungan di sekitarnya;

c. mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi; dan

d. mewujudkan bangunan gedung yang serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungannya.

(4) Pemanfaatan dan penggunaan bahan bangunan lokal harus sesuai dengan kebutuhan dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

(5) Penggunaan bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 50

Persyaratan kenyamanan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c, meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan.

Pasal 51

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan:

a. fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/peralatan, aksesibilitas ruang di dalam bangunan gedung; dan

b. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(2) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antar ruang, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan:

a. fungsi ruang, aksesibilitas ruang dan jumlah pengguna dan perabot/ peralatan di dalam bangunan gedung;

(21)

c. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(3) Perencanaan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 52

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban.

(2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan:

a. fungsi bangunan gedung/ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan dan penggunaan bahan bangunan;

b. kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan

c. prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.

(3) Perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 53

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu dalam bangunan gedung.

(2) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan:

a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan dan rancangan bentuk luar bangunan;

b. pemanfaatan potensi ruang luar bangunan gedung dan penyediaan ruang terbuka hijau; dan

c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.

(3) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam bangunan, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan: a. rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan, dan

rancangan bentuk luar bangunan gedung; dan

b. keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitarnya.

(4) Perencanaan kenyamanan pandangan pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis.

Pasal 54

(1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan dan/atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan gedung.

(2) Perencanaan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

(22)

Pasal 55

(1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung wajib mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan dan/atau sumber bising lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan gedung.

(2) Setiap bangunan gedung dan/atau kegiatan yang karena fungsinya menimbulkan dampak kebisingan terhadap lingkungannya dan/atau terhadap bangunan gedung yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan yang ditimbulkan sampai dengan tingkat yang diijinkan.

(3) Perencanaan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 56

Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d, meliputi kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.

Pasal 57

(1) Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(2) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas wajib mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal dan vertikal antar ruang dalam bangunan gedung, akses evakuasi, termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan persyaratan lingkungan lokasi bangunan gedung.

Pasal 58

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut. (2) Jumlah, ukuran dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan

berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang dan jumlah pengguna ruang. (3) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan

berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan.

(4) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antar ruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang dan jumlah pengguna.

(5) Perencanaan pintu dan koridor mengikuti pedoman dan standard teknis. Pasal 59

(1) Setiap bangunan gedung bertingkat wajib menyediakan sarana hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut berupa tersedianya tangga, ramp, lift, tangga berjalan/eskalator dan/atau lantai berjalan/travelator.

(23)

(2) Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan gedung, luas bangunan dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan pengguna bangunan gedung.

Pasal 60

(1) Setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas 5 (lima) lantai wajib menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lift.

(2) Jumlah, kapasitas dan spesifikasi lift sebagai sarana hubungan vertikal dalam bangunan gedung harus mampu melakukan pelayanan yang optimal untuk sirkulasi vertikal pada bangunan, sesuai dengan fungsi dan jumlah pengguna bangunan gedung.

(3) Setiap bangunan gedung yang menggunakan lift wajib menyediakan lift kebakaran atau tangga darurat.

(4) Lift kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa lift khusus kebakaran atau lift penumpang biasa atau lift barang yang dapat diatur pengoperasiannya, sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran.

(5) Perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan lift mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 61

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, wajib menyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi yang dapat menjamin kemudahan pengguna bangunan gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam bangunan gedung secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.

(2) Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah dan kondisi pengguna bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman.

(3) Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus dilengkapi dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas.

(4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai dan/atau jumlah penghuni dalam bangunan gedung tertentu harus memiliki manajemen penanggulangan bencana atau keadaan darurat. (5) Perencanaan sarana evakuasi mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 62

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk ke dan keluar dari bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri. (2) Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi

toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka, pintu, ramp, tangga dan lift bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(3) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas dan ketinggian bangunan gedung.

(24)

(4) Ukuran, konstruksi, jumlah fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standard teknis.

Pasal 63

(1) Setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum wajib menyediakan kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung, meliputi ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi untuk memberikan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung dalam beraktivitas dalam bangunan gedung.

(2) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi dan luas bangunan gedung, serta jumlah pengguna bangunan gedung.

(3) Perencanaan dan pemeliharaan kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung mengikuti pedoman dan standard teknis.

Pasal 64

Rumah adat harus dibangun berdasarkan kaidah hukum adat atau tradisi masyarakat hukum adat sesuai dengan budaya dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat hukum adatnya.

Pasal 65

(1) Perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga swasta atau lembaga Pemerintah Daerah dapat menggunakan idiom/simbol/unsur tradisional pada Bangunan Gedung baru yang terdapat pada bangunan gedung adat untuk digunakan pada bangunan gedung yang akan dibangun atau direhabilitasi atau direnovasi.

(2) Penggunaan idiom/simbol/unsur tradisional yang terdapat pada bangunan gedung adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus tetap sesuai dengan makna idiom/simbol/unsur tradisional yang digunakan dan sistem nilai yang berlaku pada pemanfaatan bangunan gedung.

Bagian Keempat

Bangunan Gedung di Lokasi Yang Berpotensi Bencana Alam Paragraf 1

Di Lokasi Pantai Pasal 66

(1) Penyelenggaraan Bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana yang berasal dari laut harus sesuai dengan Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Rawan Gelombang Pasang.

(2) Bupati dapat menetapkan suatu lokasi sebagai daerah bencana dan menetapkan larangan membangun pada batas waktu tertentu atau tak terbatas dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan demi kepentingan umum atau menetapkan persyaratan khusus tata cara pembangunannya apabila daerah tersebut dinilai tidak membahayakan. (3) Potensi bencana yang bersumber dari potensi laut sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dapat berupa abrasi pantai, luapan air laut atau tsunami.

(25)

Paragraf 2

Di Lokasi Jalur Gempa Pasal 67

(1) Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana gempa bumi harus sesuai dengan Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Bencana Alam Geologi.

(2) Potensi bencana gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa gempa bumi tektonik dan gempa bumi vulkanik.

(3) Dalam hal Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Bencana Alam Geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat menentukan lokasi yang berpotensi bencana alam geologi. (4) Penentuan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan

dengan Keputusan Bupati.

BAB V

PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Pembangunan Paragraf 1

Umum Pasal 68

(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.

(2) Pembangunan bangunan gedung wajib dilaksanakan secara tertib administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur,

fungsional, prosedural, dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Paragraf 2 Perencanaan Teknis

Pasal 69 Perencanaan teknis terdiri atas:

a. perencanaan arsitektur; b. perencanaan konstruksi; dan

c. perencanaan utilitas yang disertai dengan Rencana Kerja dan Syarat-syarat pekerjaan.

Pasal 70

(1) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, dilaksanakan oleh perencana.

(2) Perencana teknis bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan ketentuan:

(26)

a. Perencanaan bangunan rumah tinggal satu lantai dengan luas kurang dari 50 (lima puluh) m2 dapat dilakukan oleh orang yang ahli/

berpengalaman;

b. Perencanaan bangunan sampai dengan dua lantai dapat dilakukan oleh orang yang ahli yang telah mendapatkan surat ijin bekerja dari Bupati; dan

c. Perencanaan bangunan lebih dari dua lantai atau bangunan umum atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh badan hukum yang telah mendapat kualifikasi sesuai dengan bidang dan nilai bangunan. (3) Ketentuan Perencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak

berlaku bagi perencanaan:

a. bangunan yang sifatnya sementara dengan syarat bahwa luas dan tingginya tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas terkait; dan

b. pekerjaan pemeliharan/perbaikan, antara lain:

1. memperbaiki bangunan dengan tidak mengubah konstruksi dan luas lantai bangunan;

2. pekerjaan memplester, memperbaiki retak bangunan dan memperbaiki lapis lantai bangunan;

3. memperbaiki penutup atap tanpa mengubah konstruksinya; 4. memperbaiki lubang cahaya/udara tidak lebih dari 1 (satu) m2;

5. membuat pemisah halaman tanpa konstruksi; dan

6. memperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan lain.

(4) Perencana bertanggung jawab bahwa bangunan yang direncanakan telah memenuhi perencanaan teknis dan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 71

(1) Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setelah mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli.

(2) Pengesahan rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat pertimbangan teknis tim ahli.

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bersifat ad hoc, terdiri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan kompleksitas bangunan gedung yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Paragraf 3 Pelaksanaan

Pasal 72

(1) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh IMB.

(2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan.

(3) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung berupa pembangunan bangunan gedung baru, perbaikan, penambahan, perubahan dan/atau pemugaran bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung.

(27)

Pasal 73

(1) Kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung meliputi: a. pemeriksaan dokumen pelaksanaan;

b. persiapan lapangan; c. kegiatan konstruksi;

d. pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi; dan e. penyerahan hasil akhir pekerjaan.

(2) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan keterlaksanaan konstruksi (constructability) dari semua dokumen pelaksanaan pekerjaan.

(3) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi sumber daya dan penyiapan fisik lapangan.

(4) Kegiatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan, pembuatan laporan kemajuan pekerjaan, penyusunan gambar kerja pelaksanaan (shop drawings) dan gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang dilaksanakan (as built drawings), serta kegiatan masa pemeliharaan konstruksi.

(5) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja.

(6) Kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi pemeriksaan hasil akhir pekerjaan konstruksi bangunan gedung terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan.

(7) Penyerahan hasil akhir pekerjaan pelaksanaan konstruksi berwujud bangunan gedung yang laik fungsi termasuk prasarana dan sarananya yang dilengkapi dengan dokumen pelaksanaan konstruksi, gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang dilaksanakan (as built drawings), pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung, peralatan serta perlengkapan mekanikal dan elektrikal bangunan gedung serta dokumen penyerahan hasil pekerjaan.

Pasal 74

(1) Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan sampai dengan dua lantai dapat dilakukan oleh pelaksana perorangan yang ahli.

(2) Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan dengan luas lebih dari 500 (lima ratus) m2 dan/atau bertingkat lebih dari dua lantai dan/

atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh pelaksana berbadan hukum yang memiliki kualifikasi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Paragraf 4

Pengawasan Konstruksi Pasal 75

(1) Pengawasan konstruksi bangunan gedung berupa kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi atau kegiatan manajemen konstruksi pembangunan bangunan gedung.

(28)

(2) Kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengawasan biaya, mutu dan waktu pembangunan bangunan gedung pada tahap pelaksanaan konstruksi, serta pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.

(3) Kegiatan manajemen konstruksi pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengendalian biaya, mutu dan waktu pembangunan bangunan gedung, dari tahap perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.

(4) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), meliputi pemeriksaan kesesuaian fungsi, persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan, terhadap IMB yang telah diberikan.

(5) Tata cara pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standard teknis.

Paragraf 5

Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung Pasal 76

(1) Dinas terkait akan menerbitkan SLF terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.

(2) SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku selama 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, serta berlaku 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut prosedur dan tata cara penerbitan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 77

(1) Untuk bangunan yang telah ada, khususnya bangunan umum, wajib dilakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kelaikan fungsinya. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Dinas

terkait dengan ketentuan:

a. untuk bangunan gedung setiap 5 (lima) tahun sekali; dan b. untuk bangunan non gedung setiap 1 (satu) tahun sekali.

(3) Atas hasil pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dinas terkait mengadakan penelitian mengenai syarat-syarat administrasi maupun teknis.

(4) Dinas terkait akan memberikan SLF apabila bangunan yang diperiksa telah memenuhi persyaratan teknis dan administratif.

Pasal 78

(1) Perpanjangan SLF bangunan gedung dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan fungsi bangunan gedung sesuai dengan IMB gedung.

(2) Pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung wajib mengajukan

permohonan perpanjangan SLF kepada Pemerintah Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum masa berlaku SLF berakhir.

(29)

(3) SLF bangunan gedung diberikan atas dasar permintaan pemilik untuk seluruh atau sebagian bangunan gedung sesuai dengan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.

(4) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis bangunan gedung, kecuali untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 79

(1) Dalam rangka pengawasan penggunaan bangunan, petugas Dinas terkait dapat meminta kepada pemilik bangunan untuk memperlihatkan SLF beserta lampirannya.

(2) Dinas terkait dapat menghentikan penggunaan bangunan apabila pemilik bangunan tidak memiliki SLF dan/atau penggunaan bangunan tidak sesuai dengan SLF.

(3) Penghentian penggunaan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat peringatan

tertulis.

(4) Apabila pemilik bangunan tidak mengindahkan surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dinas terkait dapat mencabut SLF. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Ketiga

Pemanfaatan Paragraf 1

Umum Pasal 80

(1) Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam IMB, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan secara berkala.

(2) Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi.

Paragraf 2 Pemeliharaan

Pasal 81

(1) Pemeliharaan bangunan gedung wajib dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dan dapat menggunakan penyedia jasa pemeliharaan bangunan gedung yang memiliki sertifikat sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Pemeliharaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembersihan, perapian, pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan/atau penggantian bahan atau perlengkapan bangunan gedung dan kegiatan sejenis lainnya berdasarkan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Persyaratan ruang sempadan depan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) huruf b harus mengindahkan keserasian lansekap pada ruas jalan yang

bangunan bukan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (d) wajib disesuaikan dengan arahan pemanfaatan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang

(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR,

BAB III FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Pasal 5 1 Fungsi Bangunan Gedung merupakan ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan teknis Bangunan Gedung ditinjau dari segi

(3) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung sesuai

(2) Pengguna Barang wajib menyerahkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan

(1) Persyaratan ruang sempadan depan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b harus mengindahkan keserasian lansekap pada ruas jalan

(2) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung