• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

9

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Jalan Tol

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005, yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Tujuan diselenggarakannya jalan tol adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. Namun, jalan tol dibatasi hanya untuk pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih.

Syarat-syarat teknis jalan tol sesuai PP No. 15 Tahun 2005 adalah sebagai berikut :

a. memiliki tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada;

b. dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi;

c. didesain berdasarkan kecepatan rencana 80 km/jam untuk lalu lintas antar kota dan 60 km/jam untuk wilayah perkotaan;

d. didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling rendah 8 (delapan) ton;

e. harus dilakukan pemagaran di setiap ruasnya dan dilengkapi dengan fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan;

(2)

f. harus diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol; dan

g. wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas.

Selain syarat-syarat teknis tersebut di atas, spesifikasi yang harus dimiliki oleh setiap jalan tol secara umum adalah sebagai berikut :

a. tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan prasarana transportasi lainnya;

b. jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara penuh;

c. jarak antarsimpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan;

d. jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah; e. menggunakan pemisah tengah atau median; dan

f. lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat.

Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah, sedangkan untuk pengusahaannya bisa dilakukan oleh Pemerintah atau badan usaha yang memenuhi persyaratan. Adapun kegiatan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. Di Indonesia, beberapa jalan tol dikelola oleh badan

(3)

usaha (operator) yang bertanggung jawab atas ruas-ruas jalan tol tertentu. Tabel 2.1 dan 2.2 berikut merupakan daftar nama Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) beserta ruas tol kelolaannya di Indonesia berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

Tabel 2.1 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia

No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol

1 PT. BINTARO SERPONG DAMAI Serpong - Pondok Aren

2 PT. BOSOWA MARGA NUSANTARA Ujung Pandang Tahap 1 3 PT. CITRA MARGA NUSAPHALA PERSADA TBK Harbour - Road

Ir. Wiyoto Wiyono, Msc 4 PT. CITRA MARGATAMA SURABAYA

Ss Waru - Bandara Juanda

Waru (Aloha) - Wonokromo - Tg. Perak

5 PT. JALAN TOL SEKSI IV Makassar Seksi IV

6 PT. JASA MARGA

Lingkar Dalam Kota Jakarta

Padalarang - Cileunyi Jakarta-Cikampek Jakarta-Tangerang Semarang Seksi A, B, C Surabaya-Gempol Cikampek-Purwakarta-Padalarang

Prof.DR Ir. Soedyatmo (Cengkareng)

Palikanci

JORR E1-3,W2-S2,E3,E1-4

JORR Seksi E1 Selatan (Taman Mini-Hankam Raya)

JORR Selatan (Pd. Pinang - Taman Mini)

Jakarta-Bogor-Ciawi

Belmera

JORR E2 (Cikunir-Cakung)

JORR W2 Selatan (Pd.Pinang-Veteran)

Ulujami - Pondok Aren

Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran

Gempol - Pasuruan

Semarang - Solo

JORR W2 Utara

7 PT. MARGABUMI MATRARAYA Surabaya - Gresik

8 PT. MARGA MANDALA SAKTI Tangerang - Merak

(4)

Tabel 2.2 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia (lanjutan)

No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol

10 PT. CITRA WASPPHUTOWA Depok - Antasari

11 PT. JAKARTA LINGKAR BARAT SATU JORR Seksi W1

12 PT. KRESNA KUSUMA DYANDRA MARGA Bekasi - Cawang - Kp. Melayu

13 PT. LINTAS MARGA SEDAYA Cikampek-Palimanan

14 PT. MARGABUMI ADHIKARAYA Gempol - Pandaan

15 PT. MARGA HANURATA INTRINSIC Kertosono - Mojokerto

16 PT. MARGA NUJYASUMO AGUNG Surabaya - Mojokerto

17 PT. MARGA SARANA JABAR Bogor Ring Road

18 PT. MARGA SETIAPURITAMA Semarang - Batang

19 PT. MARGA TRANS NUSANTARA Kunciran - Serpong

20 PT. MTD CTP EXPRESSWAY Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing)

21 PT. PEJAGAN PEMALANG TOL ROAD Pejagan - Pemalang

22 PT. PEMALANG BATANG TOL ROAD Pemalang - Batang

23 PT. SEMESTA MARGA RAYA Kanci - Pejagan

24 PT. TRANS JABAR TOL Ciawi - Sukabumi

25 PT. TRANS-JAWA PAS PRO JALAN TOL Pasuruan - Probolinggo

26 PT. TRANSLINGKAR KITA JAYA Cinere - Jagorawi

2.2 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol

BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) sebagai lembaga yang berwenang dalam hal jalan tol mempunyai tugas dan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam PP No. 15/2005 Tentang Jalan Tol, antara lain :

a. merekomendasikan tarif awal dan penyesuaian tarif tol kepada Menteri; b. melakukan pengambilalihan hak pengusahaan jalan tol yang telah selesai

masa konsesinya dan merekomendasikan pengoperasian selanjutnya kepada Menteri;

c. melakukan pengambilalihan hak sementara pengusahaan jalan tol yang gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan kembali pengusahaannya;

d. melakukan persiapan pengusahaan jalan tol yang meliputi analisis kelayakan finansial, studi kelayakan, dan penyiapan amdal;

(5)

e. melakukan pengadaan investasi jalan tol melalui pelelangan secara transparan dan terbuka;

f. membantu proses pelaksanaan pembebasan tanah dalam hal kepastian tersedianya dana yang berasal dari Badan Usaha dan membuat mekanisme penggunaannya;

g. memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dilakukan oleh Badan Usaha; dan

h. melakukan pengawasan terhadap Badan Usaha atas pelaksanaan seluruh kewajiban perjanjian pengusahaan.

Berdasarkan PP No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, pengawasan jalan tol terbagi menjadi 2 (dua), yaitu pengawasan umum dan pengawasan pengusahaan jalan tol. Pengawasan umum dilakukan oleh Menteri dan meliputi beberapa hal berikut :

a. pengawasan penyelengaraan jalan tol, b. pengembangan jaringan jalan tol,

c. fungsi dan manfaat jaringan jalan tol, serta d. kinerja jaringan jalan tol.

Sedangkan pengawasan pengusahaan jalan tol lebih dititikberatkan kepada pengawasan terhadap BUJT dalam memenuhi apa yang telah disepakati dalam Perjanjian Pengusahan Jalan Tol (PPJT).

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas pengusahaan jalan tol, BPJT melakukan kegiatan pengawasan yang difokuskan pada hal-hal yang tercantum dalam PPJT. Berdasarkan Peraturan Pemerintah, hal-hal yang

(6)

sekurang-kurangnya tercantum dalam PPJT adalah Lingkup Pengusahaan yang terdiri atas:

a. masa konsesi pengusahaan jalan tol; b. tarif awal dan formula penyesuaian tarif;

c. hak dan kewajiban, termasuk risiko yang harus dipikul para pihak, yang didasarkan pada prinsip pengalokasian risiko secara efisien dan seimbang; d. perubahan masa konsesi;

e. standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat; f. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian

pengusahaan;

g. penyelesaian sengketa;

h. pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan; i. aset penunjang fungsi jalan tol;

j. sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia; dan

k. keadaan kahar di luar kemampuan para pihak.

Dalam mengelola jalan tol, setiap operator atau penyelenggara jalan tol harus memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol yang dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum sesuai Permen Nomor 392 /PRT/M/2005. Standar Pelayanan Minimal ini adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol agar sesuai dengan spesifikasi yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol meliputi substansi pelayanan berikut :

a. Kondisi Jalan Tol;

(7)

c. Aksesibilitas; d. Mobilitas;

e. Keselamatan Lalu Lintas; dan

f. Unit Pertolongan, Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan.

Tabel 2.3 dan 2.4 berikut merupakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang dilampirkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005.

Tabel 2.3 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol

NO SUBSTANSI

PELAYANAN INDIKATOR

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

CAKUPAN / LINGKUP TOLOK UKUR

1 Kondisi Jalan Tol Kekesatan Seluruh Ruas Jalan Tol > 0,33 mm Ketidakrataan Seluruh Ruas Jalan Tol IRI ≤ 4 m/km Tidak ada Lubang Seluruh Ruas Jalan Tol 100% 2 Kecepatan

Tempuh Rata-rata

Kecepatan Tempuh Rata-rata

Jalan Tol Dalam Kota ≥1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol

Jalan Tol Luar Kota ≥1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol

3 Aksesibilitas Kecepatan Transaksi Rata-rata

Gerbang Tol sistem Terbuka

≤ 8 detik setiap kendaraan Gerbang Tol sistem

Tertutup :

- Gardu masuk ≤ 7 detik setiap kendaraan - Gardu Keluar ≤ 11 detik setiap

kendaraan

Jumlah Gardu Tol Kapasitas Sistem Terbuka ≤ 450 kendaraan per jam per Gardu Kapasitas Sistem Tertutup :

- Gardu Masuk ≤ 500 kendaraan per jam

- Gardu Keluar ≤ 300 kendaraan per jam 4 Mobilitas Kecepatan Penanganan Hambatan Lalu Lintas Wilayah Pengamatan/ observasi Patroli

30 menit per siklus pengamatan Mulai Informasi diterima

sampai ke tempat kejadian :

≤ 30 menit

Penanganan Akibat Kendaraan Mogok

Melakukan penderekan ke Pintu Gerbang Tol terdekat/ Bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis) Patroli Kendaraan Derek 30 menit per siklus

(8)

Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol (lanjutan)

NO SUBSTANSI

PELAYANAN INDIKATOR

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

CAKUPAN / LINGKUP TOLOK UKUR

5 Keselamatan Sarana Pengaturan Lalu

Lintas :

· Perambuan Kelengkapan dan Kejelasan Perintah dan Larangan serta Petunjuk

100%

· Marka Jalan Fungsi dan Manfaat Jumlah 100 % dan Reflektifitas ≥ 80 % · Guide Post/

Reflektor

Fungsi dan Manfaat Jumlah 100 % dan Reflektifitas ≥ 80 % · Patok Kilometer

setiap 1 km

Fungsi dan Manfaat 100%

Penerangan Jalan Umum (PJU) Wilayah Perkotaan

Fungsi dan Manfaat Lampu Menyala 100%

Pagar Rumija Fungsi dan Manfaat Lampu Menyala 100% Penanganan

Kecelakaan

Korban Kecelakaan Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan Kendaraan Kecelakaan Melakukan penderekan

gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol)

Pengamanan dan Penegakan Hukum

Ruas Jalan Tol Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam 6 Unit Pertolongan/ Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan

Ambulans Ruas Jalan Tol 1 Unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan Paramedis) Kendaraan Derek Ruas Jalan Tol :

- LHR > 100.000 kend/hari 1 Unit per 5 km atau minimum 1 unit - LHR < 100.000 kend/hari 1 Unit per 10 km atau

minimum 1 unit Polisi Patroli

Jalan Raya (PJR) Ruas Jalan Tol : - LHR > 100.000 kend/hari 1 Unit per 15 km atau minimum 1 unit - LHR < 100.000 kend/hari 1 Unit per 20 km atau

minimum 1 unit Patroli Jalan Tol

(Operator)

Ruas Jalan Tol 1 Unit per 15 km atau minimum 2 unit Kendaraan

Rescue

Ruas Jalan Tol 1 Unit per ruas Jalan Tol (dilengkapi dengan peralatan

penyelamatan) Sistem Informasi Informasi dan Komunikasi

Kondisi Lalu Lintas

(9)

Selain sebagai standar yang harus dipenuhi oleh setiap Badan Usaha Jalan Tol, SPM ini juga merupakan parameter kinerja jalan tol yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan prasarana jalan tol sebagai upaya menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan seperti dituangkan dalam Pasal 23 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2.3 Kondisi Jalan Tol

Pada substansi pelayanan Kondisi Jalan Tol di dalam SPM, ada 3 (tiga) kriteria yang menjadi tolok ukur atau parameter dalam penilaian, yaitu kekesatan, kerataan, dan tidak ada lubang.

a. Kekesatan Jalan

Kekesatan jalan adalah kondisi tahanan gesek antara permukaan jalan dengan ban kendaraan sehingga tidak mengalami selip atau tergelincir baik pada kondisi basah (waktu hujan) ataupun kering (Sukiman, 1992). Dengan kata lain, kekesatan jalan adalah suatu besaran yang menyatakan tingkat ketahanan gesek lapis permukaan perkerasan jalan terhadap ban kendaraan. Satuan untuk kekesatan ini adalah µm.

Menurut Suwardo (2004), tahanan gesek dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :

• variasi bentuk profil permukaan dan kondisi ban, • tekstur permukaan jalan,

• kondisi cuaca, dan • kondisi mengemudi.

(10)

Berdasarkan SNI 6748:2008, cara pengukuran kekesatan permukaan perkerasan menggunakan alat yang biasanya disebut Mu-meter, yaitu alat yang digunakan untuk menentukan kekesatan permukaan perkerasan, dalam satuan MuN, dan pada saat pengujian harus ditarik dengan kendaraan penarik yang dilengkapi tangki air.

Dalam SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol, besarnya nilai kekesatan permukaan jalan harus lebih besar dari 0,33 µm.

b. Kerataan Jalan

Menurut Suwardo (2004), tingkat kerataan jalan (International Roughness Index/IRI) merupakan salah satu faktor/fungsi pelayanan dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh terhadap kenyamanan pengemudi (riding quality).

Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang umum digunakan adalah :

• Metode NAASRA (SNI 03-3426-1994) • Roling Straight Edge

Slope Profilometer (AASHO Road Test) CHLOE Profilometer

Roughometer

Di Indonesia, metode NAASRA dan Roughometer adalah yang paling sering digunakan untuk mengukur kerataan permukaan jalan. Dalam studi kasus yang dilakukan oleh Suherman yang dimuat dalam Jurnal Teknik Sipil Volume 8 No. 3 (Juni 2008), untuk mengukur kerataan permukaan jalan, alat Roughometer NAASRA dipasang pada kendaraan jenis station wagon atau pickup dengan penutup bak. Selain itu, diperlukan alat bantu

(11)

lainnya yaitu Dipstick Floor Profiler sebagai alat pengukur perbedaan elevasi, Odometer sebagai alat pengukur jarak tempuh, dua buah beban masing-masing seberat 50 kg dan alat pengukur tekanan ban. Pengukuran dilakukan dengan menjalankan kendaraan survei dengan kecepatan 30 km/jam untuk mencatat ketidakrataan permukaan jalan. Gambar 2.1 adalah alat ukur kerataan NAASRA sesuai dengan SNI 03-3426-1994.

Gambar 2.1 Alat Ukur Kerataan NAASRA (SNI 03-3426-1994) Di dalam SPM, ketidakrataan permukaan jalan yang disyaratkan yaitu tidak boleh melebihi 4 m/km (pada kecepatan 100 km/jam). Pemenuhan kriteria ini terhadap jalan tol yang sudah beroperasi diberikan tenggat waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/ tahun 2005 tentang SPM ditetapkan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 8.

(12)

c. Tidak Ada Lubang (Zero Pothole)

Pada kriteria tidak ada lubang (zero pothole), artinya permukaan jalan di sepanjang jalan tol harus bebas dari lubang 100%. Tujuannya adalah untuk menghindari benturan keras pada ban kendaraan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada kendaraan, pengemudi hilang kendali, hingga kecelakaan fatal. Ketentuan di dalam SPM mensyaratkan permukaan jalan tol harus 100% tidak ada lubang. Untuk mendapatkan data tersebut, maka dilakukan survei kondisi visual untuk mengamati adanya alur, retak, amblas, lubang, atau tambalan yang rusak.

2.4 Kecepatan Tempuh Rata-rata

Pada substansi pelayanan kecepatan tempuh rata-rata, yang menjadi tolok ukur adalah kecepatan tempuh rata-rata, yaitu :

a. Jalan Tol Dalam Kota harus lebih besar atau sama dengan 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol.

b. Jalan Tol Luar Kota harus lebih besar atau sama dengan 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol.

Yang dimaksud jalan non tol yang dijadikan acuan atau patokan dalam menentukan besarnya kecepatan tempuh rata-rata adalah rute jalan yang memiliki kriteria sebagai berikut :

a. mempunyai panjang rute yang relatif sama dengan rute jalan tol yang ditinjau;

b. merupakan rute alternatif terdekat dengan rute jalan tol; dan

(13)

Menurut tinjauan operasional PT Jasa Marga (Persero) selaku operator jalan tol terhadap SPM, pengukuran kecepatan tempuh rata-rata dilakukan dengan metode Test-Car Runs/Test Vehicle menggunakan average car dimana surveyor memilih kecepatan kendaraan yang sesuai, yang dapat mewakili kecepatan kendaraan untuk setiap titik/lokasi dan waktu (traffic stream's speed). Waktu pelaksanaan survei dilakukan pada jam-jam padat dan jam-jam kosong pada hari kerja maupun hari libur sehingga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pada waktu-waktu melewati rute-rute tersebut.

2.5 Aksesibilitas

Kriteria yang menjadi penilaian di dalam substansi pelayanan Aksesibilitas adalah Kecepatan Transaksi Rata-rata dan Jumlah/Kapasitas Gardu Tol. Standar dan pengukuran kedua kriteria tersebut dibedakan berdasarkan jenis gerbang tol. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, ada 2 (dua) sistem pengumpulan tol yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan membayar tol pada saat melewati gerbang masuk atau gerbang keluar, sedangkan sistem tertutup adalah sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan mengambil tanda masuk pada gerbang masuk dan membayar tol pada gerbang keluar.

Untuk memudahkan transaksi di gerbang tol, saat ini sudah mulai diterapkan gerbang tol otomatis (GTO) yaitu sistem elektronik yang akan mempermudah pengguna jalan tol baik pada sistem gerbang terbuka mapun sistem gerbang tertutup. Pada sistem terbuka, pengguna gerbang tol otomatis dapat melakukan pembayaran tol menggunakan kartu prabayar elektronik dengan sistem tapping.

(14)

Pada sistem tertutup, biasanya gerbang tol otomatis terdapat di gerbang masuk untuk mengeluarkan kartu tanda masuk kepada pengguna jalan tol dan pada gerbang keluar untuk melakukan pembayaran.

Pengembangan sistem gardu otomatis ini ke depannya akan menggunakan on board unit (OBU) yang dipasang di setiap unit kendaraan (mobil). Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, sistem e-toll pass ini akan menggunakan pemancar di setiap gardu yang akan menangkap sinyal OBU dari setiap unit mobil. Dengan demikian, setiap mobil yang akan lewat tidak perlu berhenti, melainkan hanya cukup mengurangi kecepatan saja agar palang terbuka. Sistem buatan dalam negeri ini sudah mulai ditempatkan di tiga titik pintu tol di DKI Jakarta yaitu gerbang tol Cengkareng, Kapuk dan Cililitan milik PT Jasa Marga. Ke depannya, Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk Adityawarman menjelaskan, hingga akhir tahun 2013 nanti, diharapkan 500.000 kendaraan yang melewati tol Jasa Marga sudah terpasang OBU. Hal ini juga sebagai salah satu cara untuk meningkatkan Aksesibilitas di jalan tol agar sesuai dengan yang disyaratkan di dalam SPM jalan tol.

Gambar 2.2 Gerbang Tol Otomatis a. Kecepatan Transaksi Rata-rata

Untuk mengukur kecepatan transaksi rata-rata di gardu tol, perlu dibedakan berdasarkan jenis gerbang tol, yaitu :

(15)

• Pada gerbang sistem terbuka, kecepatan transaksi rata-rata harus kurang dari atau sama dengan 8 detik per kendaraan.

• Pada gerbang sistem tertutup, kecepatan transaksi rata-rata harus kurang dari atau sama dengan 7 detik per kendaraan di gardu masuk dan 11 detik per kendaraan di gardu keluar.

b. Jumlah/Kapasitas Gardu Tol

Pengukuran jumlah/kapasitas gardu tol berguna untuk menjaga panjang antrean kendaraan di setiap gerbang tol agar tidak terjadi penumpukan. Pada kriteria ini juga dibedakan berdasarkan jenis gerbang tol, yaitu :

• Pada gerbang sistem terbuka, kapasitas harus kurang dari atau sama dengan 450 kendaraan per jam di setiap gardu.

• Pada gerbang sistem tertutup, kapasitas harus kurang dari atau sama dengan 500 kendaraan per jam di setiap gardu masuk dan 300 kendaraan per jam di setiap gardu keluar.

Data jumlah/kapasitas gardu berdasarkan data hasil pengukuran kecepatan transaksi di setiap gardu.

2.6 Mobilitas

Istilah mobilitas yang dimaksud dalam substansi pelayanan SPM adalah kecepatan penanganan hambatan lalu lintas di jalan tol. Peranan mobilitas ini sangat penting dalam menjaga kelancaran arus kendaraan karena akan sangat mempengaruhi penilaian substansi pelayanan lainnya, seperti Kecepatan Tempuh Rata-rata. Dalam penerapannya, unit Patroli Jalan Raya (PJR), Patroli Jalan Tol, dan Kendaraan Derek yang memiliki peranan penting. Untuk itu,

(16)

beberapa tolok ukur dalam penilaian substansi pelayanan Mobilitas jalan tol adalah sebagai berikut :

a. Wilayah pengamatan/observasi patroli yaitu 30 menit per siklus pengamatan, baik oleh PJR maupun operator jalan tol.

b. Response time atau selang waktu (interval) antara mulai informasi diterima oleh pihak sentral komunikasi (senkom) sampai petugas patroli tiba di tempat kejadian yaitu harus kurang dari atau sama dengan 30 menit.

c. Penanganan akibat kendaraan mogok dengan melakukan penderekan ke pintu gerbang tol terdekat/bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis).

d. Patroli kendaraan derek yaitu 30 menit per siklus pengamatan.

Berdasarkan tinjauan operasional PT Jasa Marga (Persero) terhadap SPM, yang dimaksud satu siklus pengamatan adalah satu kali putaran pengamatan yang dilakukan oleh petugas patroli/kendaraan patroli sampai kembali ke posisi semula.

2.7 Keselamatan Lalu Lintas

Untuk mengantisipasi dan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas, perlu ada pemahaman khusus dari para pengguna jalan tentang keselamatan lalu lintas. Berdasarkan PP No. 32 tahun 2011, keselamatan lalu lintas adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan. Dengan kata lain, keselamatan lalu lintas merupakan suatu upaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan setiap pengguna jalan yang dapat dicapai melalui program keselamatan tertentu. Beberapa aspek penting dalam keselamatan berlalu lintas antara lain :

(17)

a. Manusia, artinya bahwa manusia sebagai subyek pengguna jalan harus memahami benar-benar setiap peraturan lalu lintas yang berlaku di jalan dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk mematuhinya. Tidak hanya itu, manusia juga berperan sebagai obyek lalu lintas di mana setiap pelanggaran yang terjadi tidak hanya mengakibatkan kerugian materi namun juga korban jiwa. Dengan demikian peranan ini harus dipahami benar-benar oleh para pengguna jalan baik pengemudi kendaraan, penumpang, maupun pejalan kaki.

b. Jalan, artinya bahwa lalu lintas sangat bergantung pada jalan yang ada. Dengan keragaman jenis jalan berdasarkan ukuran, fungsi, dan bentuk geometrinya, perlu diperhatikan faktor-faktor pendukung keselamatan di jalan sehingga resiko kecelakaan dapat diminimalkan. Selain itu, pemeliharaan jalan juga sangat penting untuk menjaga kelayakan jalan yang dilalui oleh para pengguna jalan.

c. Kendaraan, artinya bahwa lalu lintas di jalan sangat dipengaruhi oleh kendaraan. Setiap jalan memiliki kriteria kendaraan khusus yang boleh melaluinya. Oleh karena itu, kendaraan harus melalui uji kelayakan dan inspeksi khusus agar dapat dikendarai di jalan. Pengemudi juga harus mengenali dan mengerti tentang spesifikasi kendaraannya agar dapat mengurangi resiko yang dapat terjadi di jalan. Alat pengaman pada kendaraan wajib digunakan dengan benar selama berkendara.

d. Peraturan dan Rambu Lalu Lintas, artinya bahwa manajemen lalu lintas perlu kejelasan dalam pengaturan dan penindakan terhadap para pelanggar. Untuk itu, perlu ada peraturan lalu lintas dan rambu-rambu yang dipasang di jalan untuk memberikan informasi kepada para pengguna jalan. Setiap rambu

(18)

harus mudah dimengerti dan ditempatkan di tempat yang mudah terlihat sehingga dapat memfasilitasi para pengguna jalan dengan baik. Adanya marka jalan juga sangat penting untuk menjaga sirkulasi arus kendaraan berjalan dengan baik dan benar. Pengawasan peraturan dan penegakan hukum lalu lintas menjadi kewenangan pihak kepolisian.

e. Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, artinya bahwa keselamatan lalu lintas masih dapat dilanggar dan mengakibatkan kecelakaan, sehingga perlu ada penanganan kecelakaan lalu lintas yang dapat mengakomodasi korban kecelakaan. Ketersediaan petugas kepolisian maupun paramedis menjadi sangat penting dalam hal darurat seperti kecelakaan lalu lintas, maka perlu ada akses mudah dalam menghubungi kedua pihak tersebut. Selain itu dibutuhkan mobilitas tinggi agar korban kecelakaan bisa segera dievakuasi dan ditangani secara medis untuk mengurangi resiko kehilangan nyawa ataupun tambahan korban materi dan jatuhnya korban jiwa lainnya.

Gambar 2.3 Himbauan tentang Keselamatan Berlalu Lintas (diakses pada 05 Maret 2013 dari http://www.jasaraharja.co.id) Dengan memahami aspek keselamatan lalu lintas tersebut, diharapkan terwujud sistem manajemen lalu lintas yang dapat bekerja secara terintegrasi di jalan.

(19)

Dalam kaitannya dengan SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol, keselamatan lalu lintas memiliki 5 (lima) kriteria yang menjadi tolok ukur penilaian, yaitu Sarana Pengaturan Lalu Lintas, Penerangan Jalan Umum, Pagar Rumija, Penanganan Kecelakaan, serta Pengamanan dan Penegakan Hukum.

a. Sarana Pengaturan Lalu Lintas

Pengukuran dari masing-masing tolok ukur dalam kriteria Sarana Pengaturan Lalu Lintas adalah sebagai berikut :

• Perambuan harus memenuhi persyaratan kelengkapan dan kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk (bobot pencapaian 100%). Ketentuannya diatur dalam Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan No. 01/P/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga dengan ketentuan penempatan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga mudah terlihat dengan jelas bagi pemakai jalan dan tidak merintangi lalu-lintas kendaraan atau pejalan kaki. Rambu ditempatkan di sebelah kiri menurut arah lalu-lintas, di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau jalur lalu-lintas kendaraan. Selanjutnya dengan pertimbangan teknis tertentu sesuatu rambu dapat ditempatkan disebelah kanan atau di atas manfaat jalan. Perambuan yang dimaksud meliputi :

o rambu peringatan, o rambu larangan, o rambu perintah, o rambu petunjuk, o rambu sementara, dan o papan tambahan

(20)

• Marka Jalan atau Tanda Permukaan Jalan adalah sebagian dari tanda-tanda jalan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1965 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang meliputi tanda garis membujur, garis melintang, kerucut lalu-lintas (lane divider) serta lambang-lambang lainnya yang ditempatkan pada atau di atas permukaan jalan.

Di dalam ketentuan SPM jalan tol, marka jalan harus berjumlah 100% dan memiliki tingkat reflektifitas lebih besar atau sama dengan 80%. • Guide Post/Reflektor berfungsi sebagai tanda sisi atau tepi jalan yang

manfaatnya paling dirasakan pada waktu cuaca gelap, berkabut, atau malam hari terutama pada segmen jalan yang tidak memiliki penerangan.

Ketentuan di dalam SPM jalan tol mensyaratkan jumlah guide post/reflektor harus 100% dengan tingkat reflektifitas harus lebih besar atau sama dengan 80%

• Patok km (kilometer) berfungsi untuk menandakan lokasi atau segmen jalan tertentu di sepanjang ruas jalan tol. Penempatan patok km umumnya di median pembatas jalan agar dapat terlihat dari kedua arah/jurusan.

SPM mensyaratkan jumlah patok km yaitu 100% setiap 1 (satu) kilometer.

b. Penerangan Jalan Umum (PJU)

Berdasarkan Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan Perkotaan No. 12/S/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga, lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat

(21)

diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah (underpass, terowongan).

Lampu penerangan jalan umum (PJU) memiliki fungsi sebagai berikut : • untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengendara,

khususnya untuk mengantisipasi situasi perjalanan pada malam hari. • memberi penerangan sebaik-baiknya menyerupai kondisi di siang hari. • untuk keamanan lingkungan atau mencegah kriminalitas.

• untuk memberikan kenyamanan dan keindahan lingkungan jalan. Sebagaimana telah diatur, ada 2 (dua) sistem penempatan lampu penerangan (susunan penempatan/penataan lampu yang satu terhadap lampu yang lain), antara lain :

• Sistem penempatan menerus, yaitu sistem penempatan lampu penerangan jalan yang menerus/kontinyu di sepanjang jalan/jembatan. • Sistem penempatan parsial (setempat), yaitu sistem penempatan lampu

penerangan jalan pada suatu daerah-daerah tertentu atau pada suatu panjang jarak (segmen) tertentu sesuai dengan keperluannya.

Di dalam SPM jalan tol mensyaratkan lampu penerangan jalan umum (PJU) harus menyala 100%.

c. Pagar Rumija

Pagar Rumija (ruang milik jalan) adalah pembatas antara badan jalan dengan tepi atau sisi jalan. Fungsinya di jalan tol antara lain untuk membatasi akses pejalan kaki dari luar badan jalan dan sebagai antisipasi

(22)

terhadap kecelakaan agar kendaraan kecelakaan tidak sampai keluar dari badan jalan. Untuk itu, pagar rumija harus terbuat dari bahan yang kuat dan difungsikan untuk mampu menahan benturan keras kendaraan.

Di dalam SPM, pagar rumija harus ditempatkan di sepanjang jalan tol dengan bobot 100%. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 8, pemenuhan kriteria pagar rumija untuk jalan tol yang sudah beroperasi diberikan tenggang waktu paling lama 3 (tiga) tahun dengan pelaksanaan dilakukan secara bertahap.

d. Penanganan Kecelakaan

Di dalam SPM, penanganan terhadap kecelakaan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu terhadap :

• Korban kecelakaan dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan, dan • Kendaraan kecelakaan diderek gratis sampai ke pool derek (masih di

dalam jalan tol)

Penanganan kecelakaan ini dilakukan oleh unit pertolongan, penyelamatan, dan bantuan pelayanan yang meliputi ambulans, kendaraan derek, kendaraan rescue, polisi patroli jalan raya (PJR), dan patroli jalan tol. e. Pengamanan dan Penegakan Hukum

Ketentuan di dalam SPM mensyaratkan pengamanan dan penegakan hukum harus mencakup seluruh ruas jalan tol dan dilakukan oleh polisi Patroli Jalan Raya (PJR). Tolok ukur dari kriteria ini adalah keberadaan petugas PJR yang siap panggil 24 jam.

(23)

2.8 Unit Pertolongan, Penyelamatan, dan Bantuan Pelayanan

Substansi pelayanan yang berkaitan langsung dengan keselamatan lalu lintas yang disyaratkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) jalan tol yaitu unit pertolongan, penyelamatan, dan bantuan pelayanan. Di dalamnya mencakup 6 (enam) kriteria, yaitu : Ambulans, Kendaraan Derek, Polisi Patroli Jalan Raya (PJR), Patroli Jalan Tol (Operator), Kendaraan Rescue, dan Sistem Informasi Kondisi Lalu Lintas.

a. Ambulans

Ambulans sebagai unit darurat yang berperan sangat penting terutama pada kejadian kecelakaan di jalan tol memiliki syarat jumlah yaitu 1 (satu) unit per 25 km atau minimal 1 (satu) unit dengan dilengkapi standar P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) dan paramedis.

b. Kendaraaan Derek

Sebagai unit pertolongan dalam penanganan hambatan lalu lintas seperti kendaraan mogok maupun kendaraan kecelakaan, unit kendaraan derek memiliki syarat jumlah sebagai berikut :

• Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) > 100.000 kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 5 (lima) km atau minimal 1 (satu) unit.

• Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) < 100.000 kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 10 (sepuluh) km atau minimal 1 (satu) unit.

c. Polisi Patroli Jalan Raya (PJR)

Unit PJR yang berperan penting dalam pengamanan dan penegakan hukum di sepanjang ruas jalan tol memiliki syarat jumlah sebagai berikut :

(24)

• Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) > 100.000 kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 15 km atau minimal 1 (satu) unit.

• Jalan tol dengan Lintas Harian Rata-rata (LHR) < 100.000 kendaraan/hari harus memiliki 1 (satu) unit per 20 km atau minimal 1 (satu) unit.

d. Patroli Jalan Tol (Operator)

Untuk mengawasi pergerakan lalu lintas kendaraan dan memfasilitasi pengguna dengan informasi kondisi lalu lintas, unit patroli jalan tol dari operator memiliki syarat jumlah yaitu 1 (satu) unit per 15 km atau minimal 2 (dua) unit.

e. Kendaraan Rescue

Unit kendaraan rescue berperan sangat penting dalam situasi darurat di jalan tol seperti kejadian kecelakaan lalu lintas sebagai unit penyelamatan. Syarat jumlah unit kendaraan rescue yaitu 1 (satu) unit per ruas jalan tol dan wajib dilengkapi dengan peralatan penyelamatan.

f. Sistem Informasi Kondisi Lalu Lintas

Untuk memantau kondisi lalu lintas dan sebagai sarana informasi kepada pengguna jalan tol, sistem informasi kondisi lalu lintas harus ditempatkan di setiap gerbang masuk jalan tol dan terintegrasi dengan sentra komunikasi (senkom).

2.9 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Dalam setiap aspek kehidupan, kita seringkali dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang krusial dan menentukan. Pilihan-pilihan-pilihan tersebut harus diputuskan

(25)

sebijak mungkin dengan alasan yang ilmiah, logis dan terstruktur. Hal ini juga sering terjadi dalam dunia teknik sipil, contohnya ketika pemerintah sebuah daerah ingin memutuskan untuk menggunakan jasa kontraktor untuk mengerjakan proyek pembangunan jalan, tentunya pihak pemerintah harus menyeleksi kontraktor-kontraktor yang ada berdasarkan kriteria-kriteria yang objektif dan relevan dengan proyek yang bersangkutan. Permasalahan seperti ini dapat diselesaikan dengan suatu metode matematika yaitu metode analytical hierarchy process (AHP).

Metode AHP ini dikembangkan oleh seorang ahli matematika, Thomas L. Saaty sejak tahun 1970. Dengan metode ini, pengambilan keputusan atas permasalahan yang kompleks akan disederhanakan dengan memecah-mecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya, lalu disusun menurut tingkatannya (hierarki), kemudian dinilai atau diberi bobot secara numerik (berskala) mengenai tingkat kepentingan (importance) dari setiap kriteria, sehingga diperoleh hasil berupa kriteria yang menjadi prioritas tertinggi dan memiliki pengaruh lebih besar pada kondisi tersebut. Dengan demikian, suatu keputusan (khususnya yang bersifat multikriteria dan perlu dinilai oleh banyak pihak) akan menjadi lebih efektif dengan didasari metode ini.

Menurut Saaty, dalam menentukan kriteria dari setiap permasalahan yang akan dinilai perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Lengkap, artinya setiap kriteria harus mencakup semua bagian yang penting, yang tentunya relevan dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan.

(26)

b. Operasional, artinya setiap kriteria tersebut harus bermakna atau berdampak bagi pengambil keputusan sehingga dapat benar-benar dipahami.

c. Tidak berlebihan, artinya setiap kriteria disusun sewajarnya dan tidak memiliki arti atau pengertian ganda.

d. Minimal, artinya dalam pemilihan jumlah kriteria harus seminimal mungkin agar permasalahan dapat menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami.

Saaty dalam teorinya juga mendeskripsikan bahwa ada 4 prinsip dalam mengambil keputusan secara AHP (Analytic Hierarchy Process), yaitu :

a. Decomposition, yaitu mengurai suatu permasalahan yang kompleks ke dalam bagian-bagiannya secara hierarki.

b. Comparative judgments, yaitu membandingkan setiap pasangan elemen atau kriteria di dalamnya dengan skala numerik (angka) untuk menghasilkan tingkat kepentingan atau prioritas dari masing-masing elemen. Skala yang digunakan adalah angka 1-9 dengan penjelasan seperti pada Tabel 2.5.

(27)

Tabel 2.5 Skala Kepentingan dalam Input AHP Intensitas

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua elemen memberikan kontribusi yang sama terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak pada sebuah elemen dibanding elemen lainnya

5

Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya

Pengalaman pertimbangan secara kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasinya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting dari yang lainnya

Bukti yang mendukung bahwa suatu elemen memiliki tingkat penegasan tertinggi atas elemen lainnya sangat jelas dan dominan 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara diantara dua

pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan jika diperlukan adanya kompromi antara nilai-nilai diatas.

Kebalikan dari nilai diatas, jika aktivitas i mendapat satu angka tertentu (1-9), bila dibandingkan dengan aktivitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

c. Synthesis of Priority, yaitu penentuan prioritas di setiap tingkatan elemen mulai dari kriteria yang paling kecil yang disebut prioritas lokal. Untuk mendapatkan prioritas global, maka perlu dilakukan sintesis antara prioritas lokal.

d. Logical Consistency, yaitu pengujian tingkat konsistensi pada input untuk setiap kriteria agar menjadi relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini dilakukan untuk menghindari data masukan yang tidak konsisten sehingga dapat menyebabkan analisis menjadi kurang valid.

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, metode AHP ini memiliki landasan aksiomatik berikut :

a. Resiprocal Comparison, artinya bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A

(28)

adalah n kali lebih penting daripada B, maka B adalah 1/n kali lebih penting dari A.

b. Homogenity, artinya dalam melakukan perbandingan harus membandingkan sesuatu yang sejenis atau se-level. Misalnya, membandingkan apel dengan bola tenis tidak mungkin dalam hal rasa, namun akan lebih relevan jika membandingkannya dalam hal berat atau ukuran.

c. Dependence, artinya setiap tingkatan (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) satu sama lain walaupun mungkin ada hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy).

d. Expectation, artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif

Langkah kerja proses pengambilan keputusan berdasarkan metode AHP adalah sebagai berikut :

a. Menentukan tujuan atau menetapkan alternatif yang akan dipilih maupun disusun prioritasnya.

(29)

Gambar 2.4 Struktur Hierarki

c. Memberikan penilaian dari setiap perbandingan berpasangan antar kriteria.

d. Menghitung bobot dari setiap kriteria dengan matriks perbandingan berpasangan dengan susunan seperti pada Tabel 2.6 :

Tabel 2.6 Matriks Perbandingan Berpasangan

C1 C2 ... Cn

C1 P11 P12 ... P1n

C2 P21 P22 ... P2n

... ... ... ... ...

Cn Pn1 Pn2 ... Pnn

C adalah kriteria, P adalah nilai perbandingan antar kriteria berpasangan, dan n adalah banyaknya kriteria yang dibandingkan. Untuk mendapatkan matriks normalisasi, kuadratkan matriks tersebut, jumlahkan nilai di setiap baris, kemudian hitung totalnya. Bobot (eigenvector) dari setiap kriteria adalah persentase di masing-masing baris. Susunannya seperti pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Menghitung Bobot Setiap Kriteria

C1 C2 ... Cn Jumlah Baris Bobot

C1 P11 P12 ... P1n T1 = P11+P12+...+P1n T1/A

C2 P21 P22 ... P2n T2 = P21+P22+...+P2n T2/A

... ... ... ... ... ... ...

(30)

T adalah hasil penjumlahan nilai kriteria di setiap baris dan A adalah hasil penjumlahan dari semua nilai T.

e. Menentukan CI (Consistency Index) dengan persamaan berikut :

... 2.1

f. Menentukan rasio konsistensi (CR) dengan cara membagi indeks konsistensi (CI) dengan indeks random (RI).

... 2.2

Tabel 2.8 berikut adalah nilai rata-rata indeks random (RI) untuk setiap ordo matriks tertentu berdasarkan perhitungan Saaty dengan menggunakan 500 sampel.

Tabel 2.8 Indeks Random (RI)

Ordo 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59

g. Matriks perbandingan dikatakan konsisten jika nilai rasio konsistensi lebih kecil atau sama dengan 0,10 atau 10%.

Menurut Bernardus dkk. (2012), keuntungan dari menyusun analisis masalah ke dalam bentuk hierarki adalah :

a. Mempresentasikan sistem yang dapat digunakan untuk memperjelas bagaimana perubahan tingkat kepentingan elemen – elemen pada tingkat hierarki di bawahnya.

b. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap atas struktur dan fungsi dari sistem dalam tingkatan yang lebih rendah dan memberikan gambaran faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tujuan-tujuan pada tingkat yang lebih tinggi.

(31)

c. Lebih efisien dari pada analisis secara keseluruhan.

d. Stabil dan fleksibel. Stabil dalam hal perubahan yang kecil akan memberikan pengaruh yang lebih kecil pula. Sedangkan fleksibel dalam hal penambahan terhadap struktur hierarki tidak akan merusak atau mengacaukan performa hierarki secara keseluruhan.

Dalam artikel mengenai Analytical Hierarchy Process, Nadja Kasperczyk dan Karlheinz Knickel (2010) merangkum beberapa kelebihan metode AHP menurut para peneliti lainnya, di antaranya sebagai berikut :

a. Keuntungan dari AHP dibanding metode multi-kriteria lain adalah fleksibilitas dan daya tarik intuitif bagi para pengambil keputusan dan kemampuannya untuk memeriksa inkonsistensi (Ramanathan, 2001). Umumnya, pengguna metode ini berpendapat bahwa input data dalam bentuk perbandingan berpasangan lebih mudah dan nyaman.

b. Selain itu, metode AHP memiliki keuntungan yang berbeda yang mengurai suatu pemecahan masalah menjadi bagian-bagian penyusunnya dan membangun sebuah hierarki dari kriteria. Di sini, kepentingan setiap elemen (kriteria) menjadi jelas (Macharis et al., 2004).

c. AHP membantu menangkap penilaian evaluasi baik secara subyektif maupun obyektif. Selain itu, AHP juga menyediakan mekanisme yang berguna untuk memeriksa konsistensi dari penilaian evaluasi dan alternatif, sehingga AHP dapat mengurangi keragu-raguan dalam pengambilan keputusan.

d. Metode AHP mendukung pengambilan keputusan berkelompok melalui konsensus dengan menghitung rata-rata geometris dari perbandingan berpasangan individu (Zahir, 1999).

(32)

e. AHP diposisikan secara unik untuk membantu pada situasi model ketidakpastian dan berisiko karena mampu menurunkan skala penilaian-penilaian yang biasanya tidak ada (Millet & Wedley, 2002).

Dalam bukunya yang berjudul “Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk”, Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. (2009) juga menguraikan beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP, yaitu :

a. Kesatuan, artinya AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

b. Kompleksitas, artinya AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

c. Saling ketergantungan, artinya AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

d. Penyusunan hierarki, artinya AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

e. Pengukuran, artinya AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.

f. Konsistensi, artinya AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas. g. Sintesis, artinya AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang

(33)

h. Tawar-menawar, artinya AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

i. Penilaian dan konsesus, artinya AHP tidak memaksakan konsesus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.

j. Pengulangan proses, artinya AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, beberapa pengamat menyatakan ada beberapa kelemahan dari metode AHP ini, di antaranya sebagai berikut :

a. Banyak peneliti telah lama mengamati beberapa kasus di mana penyimpangan peringkat dapat terjadi ketika AHP atau beberapa variannya digunakan. Triantaphyllou (2001) membuktikan bahwa pembalikan peringkat tidak mungkin terjadi apabila menggunakan varian perkalian AHP.

b. Menurut Belton (1986) dan Gear (1997), masalah utama dari kebalikan peringkat AHP adalah interpretasi terhadap bobot kriteria. Namun, AHP dan beberapa variannya dianggap oleh banyak orang sebagai metode MCDM (Multi Criteria Decision Making) yang paling dapat diandalkan. c. Metode AHP dapat dianggap sebagai metode agregasi lengkap dari jenis

aditif. Masalah dari agregasi tersebut adalah bahwa dapat terjadi kompensasi antara skor yang baik pada beberapa kriteria dan skor buruk pada kriteria lain. Informasi yang rinci dan seringkali penting dapat hilang oleh agregasi tersebut.

(34)

d. Dengan AHP masalah keputusan didekomposisi menjadi beberapa subsistem, sehingga ada sejumlah besar perbandingan berpasangan harus diselesaikan. Pendekatan ini memiliki kelemahan bahwa jumlah perbandingan berpasangan yang akan dibuat, dapat menjadi sangat besar (n (n-1) / 2), dan dengan demikian akan menjadi pekerjaan yang memakan waktu (Macharis et al., 2004).

e. Kelemahan lain yang penting dari metode AHP adalah keterbatasan penggunaan skala 9 angka. Kadang-kadang, pembuat keputusan mungkin kesulitan untuk membedakan di antara skala. Juga, metode AHP tidak dapat mencakup fakta apabila alternatif A ternyata 25 kali lebih penting daripada alternatif C (Murphy, 1993; Belton dan Gear, 1983; Belton, 1986). Dari diskusi tentang pembatasan skala ini, Hajkowicz et al. (2000) memodifikasi prosedur dalam studi mereka dengan menggunakan skala 2 angka, karena kendala waktu dari pengambil keputusan. Jadi para pengambil keputusan hanya menunjukkan apakah kriteria yang satu lebih atau kurang penting atau sama pentingnya daripada kriteria yang lainnya. Dalam penelitian ini, AHP menjadi metode yang sangat efektif dalam mengolah data penilaian di dalam penentuan prioritas dari setiap substansi pelayanan yang ada di dalam SPM (standar pelayanan minimal) jalan tol berdasarkan hasil pengumpulan data kuesioner. Analisis data tersebut akan menghasilkan susunan prioritas (peringkat) untuk menentukan tindak lanjut pengambil keputusan dalam pemenuhannya, sehingga setiap keputusan yang diambil bersifat kalkulatif dan diharapkan dapat sesuai dengan penilaian responden.

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia
Tabel 2.2 Daftar Badan Usaha Jalan Tol di Indonesia (lanjutan)
Tabel  2.3  dan  2.4  berikut  merupakan  Standar  Pelayanan  Minimal  (SPM)  Jalan  Tol  yang  dilampirkan  dalam  Peraturan  Menteri  Pekerjaan  Umum  Nomor  392/PRT/M/2005
Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru memberikan penjelasan materi Segitiga-segitiga yang sebangun berupa bahan ajar yang dibuat dengan power point dan video pembelajaran kepada peserta didik melalui google

dari perbuatan yang salah. h) Dalam situasi kelompok para anggota menemukan bahwa mereka tidak perlu mengutuk dirinya sendiri karena memiliki masalah.. i) Melalui balikan dari

perubahan laba bersih, perubahan arus kas operasi, perubahan arus kas investasi, perubahan arus kas pendanaan, dan Earning Per Share berpengaruh signifikan terhadap harga saham

Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai fungsi

For all students of SMAN Englishindo, we announce English Speech Contest.. Time : Saturday, 22

Upaya untuk mengatasi permasalahan ketika kepala sekolah harus menghadiri rapat kedinasan sehingga waktu pelaksanaan supervisi harus ditunda maka diadakan kerjasama dengan guru

Setiap minggunya ada lebih dari 50 siswa yang melanggar tata tertib di sekolah SMK Diponegoro Banyuputih dan disetiap pelanggarannya mempunyai bobot pengurangan poin

bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk menyeimbangkan antara beban kerja dengan tugas pokok dan fungsi perangkat daerah, maka dipandang perlu