• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING PADA MASYARAKAT MIGRAN KHUSUSNYA PELAJAR/MAHASISWA. PERSPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSELING PADA MASYARAKAT MIGRAN KHUSUSNYA PELAJAR/MAHASISWA. PERSPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

85

Dr. M. Jumarin, M.Pd.

Staf Pengajar Prodi. Psikologi Pendidikan dan Bimbingan IKIP PGRI Wates

ABSTRAK

Sepanjang peradaban manusia, selalu berlangsung peristiwa migrasi, dengan berbagai bentuk dan motivasi, termasuk karena motivasi pendidikan yang banyak dilakukan oleh para pelajar/mahasiswa yang umumnya berasal dari berbagai budaya. Ditempat baru, para migran umumnya memiliki harapan/kebutuhan baru, serta menghadapi berbagai permasalahan, baik terkait dengan fisk/biologis, masalah personal/psikologis, masalah penyesuaian social/budaya, maslaah akademik dan sebagainya. Agar para migran dapat memenuhi harapan di tempat yang baru, maka perlu dibantu, diantaranya melalui layanan bimbingan dan konseling (BK) yang berwawasan multicultural atau budaya. Layanan BK diharapkan mampu membantu para migran untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru dan mampu mengembangkan diri secara optimal. Fungsi layanan BK dapat bersifat pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan/pengembangan. Konselor hars memiliki kompetensi personal dan professional serta didukung dengan adanya kesadaran budaya dan empati budaya, serta memerlukan jaringan kerja. Bidang layanan terkait dengan bidang pribadi, social, akademik, karir. Kegiatan layanan dapat dilakukan mealui program layanan dasar, layanan responsive, perencanaan individual, dukungan system. Teknik layanan dapat dipilih dengan mempertimbangkan latar belakang konseli, tuntutan di tempat baru, ketersediaan sumber daya. Diperlukan kreativitas dan fleksibilitas dalam menggunakan teknik layanan, dan teknik konseling dapat berbasis keilmuan/teknologi, berbasis budaya dan berbasis spiritual.

Kata kunci: konseling, migran, lintas budaya

Pendahuluan

Peristiwa perpindahan penduduk telah berlangsung sejak awal peradaban manusia sampai sekarang, dengan berbagai alasan migrasi. Migrasi telah menjadi suatu faktor yang mempengaruhi peradaban dunia, dari peradaban yang paling mutakhir yakni Amerika, hingga yang paling tua yakni Sumeria telah dimapankan lewat migrasi-migrasi (Ali Syari’ati, 1986).

Era informasi/globalisasi, perdagangan bebas, kemajuan teknologi komunikasi, dan berbagai kebijakan pembangunan seperti transmigrasi, imigrasi, urbanisasi telah menjadikan peristiwa migrasi semakin terbuka. Migrasi dapat ditinjau dari letak geografis yang dituju, kesamaan atau perbedaan kebudayaan, lamanya tinggal, dan motivasi melakukan migrasi. Ada berbagai bentuk migrasi, seperti transmigrasi, urbanisasi, imigrasi, perantauan, pengungsi dan sebagainya. Salah satu bentuk migrasi kususnya terkait dengan dunia pendidikan adalah pelajar/mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di tempat lain, atau negara lain. Pusat pendidikan, pendidikan yang berkualitas umumnya berada di suatu daerah, hal ini disebabkan karena belum meratanya akses dan kualitas pendidikan.

(2)

86

Di Indonesia, persebaran penduduk yang belum merata, pusat pertumbuhan ekonomi dan bisnis berada di daerah tertentu, akses dan kualitas pendidikan yang belum merata serta pusat-pusat pendidikan erada di suatu daerah, banyaknya bencana alam dan sebagainya mendorong terjadinya migrasi penduduk. Kusus di bidang pendidikan, akses dan kuaitas pendidikan masih berpusat di kota kota Pulau Jawa, sehingga banyak mahasiswa, pelajar, santri datang dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa. Pada jenjang Pendidikan Tinggi (PT), umumnya mahasiswa berasal dari luar daerah, bahkan ada yang dari luar negeri, dengan berbagai latar belakang budaya. Para mahasiuswa umumnya tinggal disekitar kampus, dan masyarakat sekitar kampus menyediakan jasa tempat tinggal (indekost), jasa makanan dan sebagainya. Beberapa Satuan Pendidikan SLTP dan SLTA, serta pendidikan yang bercorak kusus yang menyelenggarakan system Boarding School, umunya para siswa berasal dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang budaya. , mereka tinggal bersama dalam satu asrama.

Banyak para migran, kususnya para pelajar/mahasisa diawal migrasi, menghadapi berbagai masalah, seprti terpisah dengan keluarga, merasa kesepian, homesick, masalah penyesuaian atau adaptasi dengan situasi baru, baik terkait alam, fisik, psikologis, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya. Kondisi seperti tersebut juga dialami para mahasiswa asing di Amerika, kususnya yang berasal dari Asia Timur sebagaimana dilaporkan Klein dkk (2002). Migran pengungsi akan mengalami baanyak masalah yang lebih kompleks, yang umumnya merupakan migrasi dengan motif sangat terpaksa, karena tekanan politik, keamanan, musibah dan sebagainya. Mereka berpindah membawa beban ketakutan, tekanan dan trauma yang bersifat fisik, psikologis, sosial, ekonomi. Meski tidak sekompleks pengungsi, para pelajar/mahasiswa yang baru memasuki daerah lain, juga akan menghadapi berbagai persoalan, baik terkait dengan adaptasi dengan lingkungan baru, tuntutan akademik, dan berpisahnya dengan keluarga serta lingkungan sebelumnya.

Sejalan dengan berkembangan waktu, migran kususnya pelajar/mahasiswa di tempat yang baru semakin mampu berakulturasi atau berasimilasi, bahkan mampu meraih prestasi yang gemilang, serta kesuksesan lain, namun banyak pula migran yang mengalami kesulitan di tempat yang baru, bahkan mengalami konflik di tempat yang baru. . Para pelajar/mahasiswa migran di tempat baru mereka membentuk conation (paguyuban serumpun), paguyuban daerah untuk memberikan jaminan perlindungan dan rasa aman. Banyak kasus yang dialami pekerja migran Indonesia di luar negeri yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Adakalanya migran bersikap eksklusif, menempati wilayah tertentu untuk memperjuangkan kepastian budaya dan kepastian wilayah (cultural imperative and teritorial imperative). Banyak migran menjadi kelompok minoritas yang kadang diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil oleh budaya lain yang dominan.

Persoalan para migran kususnya pelajar/maasiswa seperti di atas harus mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah asal, pemerintah di tempat yang baru, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Secara umum banyak program untuk menangani migrasi terutama pengungsi, baik oleh masyarakat, LSM, pemerintah, maupun lembaga PBB (UNHCR). Pelayanan terhadap migran kususnya pelajar/santri/mahasiswa telah dilakukan oleh masyarakat dan lembaga pendidikana termasuk melalui layanan konseling, meskipun layanan konseling terhadap migran kususnya para pelajar/mahasiswa migran belum optimal. Oleh karena itu diperlukan optimalisasi layanan konseling pada migran, kususnya pelajar/santri/mahasiswa migran. Umumnya migran berasal dari beragam latar

(3)

87

belakang etnik dan budaya, maka diperlukan layanan konseling yang berwawasan multicultural.

Permasalahan utama dalam makalah ini adalah bagaimana layanan bimbingan dan konseling yang berwawasan multikultural pada migran kususnya pelajar/mahasiswa? Tujuan pembahasan adalah diperolehnya gambatan layanan konseling multicultural terhadap migran terutama pelajar/mahasiswa migran.

Migran, Pelajar /Mahasiswa migran dan Permasalahannya

Migran, kususnya pelajar/mahasiswa

Istilah migrasi sulit didefinisikan secara ketat, mengingat beragamnya mobilitas manusia dari tempat ke tempat lain. Rozy Munir (1981: 116) menyatakan migrasi adalah “perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari satu daerah ke daerah lain”. Ada dua dimensi yang penting tentang perpindahan penduduk, yaitu dimensi tempat dan dimensi waktu. Dimensi tempat menunjukkan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Dimensi waktu menunjukkan ukuran lamanya seseorang melakukan perpindahan, sehingga disebut migran. Ada orang yang berpindah secara menetap (selamanya), tetapi ada yang sifatnya sementara. Dalam dimensi tempat perlu diperhatikan istilah tempat tinggal yang tetap, dan tempat tinggal sementara.

Rozy Munir (1985: 117) mengemukakan beberapa bentuk perpindahan tempat, yaitu: perubahan tempat yang bersifat rutin, perubahan tempat yang bersifat sementara, dan perubahan tempat tinggal dengan tujuan menetap selamanya. Biro Sensus Amerika Serikat (dalam Herr, 1985) membedakan istilah migrant dan movers. Migran adalah orang yang berpindah ke suatu daerah baru, sedang movers adalah mereka yang berpindah ke suatu rumah tangga baru, apakah melintasi batas daerah atau tidak.

Murphy (1977) mencatat ada dua bentuk migrasi, yaitu “force dan free”. Migrasi force meninggalkan tempat asal dengan keterpaksaan, sedikit bahkan tanpa persiapan, ketidakpastian dan sebagainya. Migrasi free adalah orang yang meninggalkan tempat asal dengan penuh kesadaran, perencanaan yang matang, dan bekal yang cukup. Yusmar Yusuf (1991: 85) melihat tiga tipologi migrasi, yaitu: (1) Jarak geografis, ada migrasi yang jaraknya dekat, sedang dan jauh, (2) Aspek perbedaan budaya ada migrasi yang antara kebudayaan asal dengan kebudayaan yang dituju sama, tetapi ada yang kebudayaannya berbeda. (3) Aspek lamanya menetap, ada migrasi yang lama sekali, tetapi ada yang sifatnya sementara. Tipologi migrasi tersebut dapat dikombinasikan antara satu dengan yang lain.

Motif migrasi terkait erat dengan tipe-tipe migrasi. Motif tersebut bisa desakan lingkungan alam yang mendorong untuk meninggalkan tempat asal (misalnya bencana, keadaan alam yang tidak subur). Motif migrasi juga bersumber dari kebijakan tentang migrasi yang ada, seperti kesediaan Amerika Serikat dan Australia untuk menerima imigran dari Asia, program transmigrasi pemerintah Indonesia dari pulau Jawa ke pulau lain. Migrasi dapat pula dilihat dari keterkaitan hubungan manusia dengan norma, seperti migrasi untuk memenuhi aspirasi, seperti para ahli, pedagang yang pindah ke tempat lain, karena akses yang dikehendaki untuk mendukung usahanya tersedia.

(4)

88

Problem yang dihadapi para migran, khususnya pelajar/mahasiswa

Setiap pendatang di tempat baru dituntut mengadakan penyesuaian aau adaptasi, sebagaimana peribahasa “Dimana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. Banyak permasalahan migran berkaitan dengan penyesuaian antara migran dengan penduduk di tempat baru. Penduduk asli menuntut pendatang harus menyesuaikan diri dengan keadaan di tempat baru, sementara para migran tidak dapat begitu saja melepaskan budaya di tempat asal, bahkan ada kecenderungan ingin melestarikan.

Para migran memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi di tempat asal, dan mereka punya harapan di tempat baru kebutuhannya lebih terpenuhi, kehidupannya lebih menyenangkan. Meski demikian tidak jarang para migran menghadapi permasalahan yang lebih kompleks di tempat yang baru. Apapun bentuk dan motivasi migran, kususnya pelajar/mahasiswa di tempat baru, mereka tetap menghadapi persoalan-persoalan seperti: a. Masalah fisik/biologis (masalah kesehatan, MCK, seks, dan kebutuhan biologis lainnya). b. Masalah ekonomi (kekurangan bahan makan, tempat tinggal, pekerjaan, upah yang rendah) c. Masalah sosial-budaya (penyesuaian dengan sesama migran, penyesuaian dengan budaya penduduk asli). d. Masalah psikologis (ketakutan, psikologis, stress, rendah diri, keterasingan dan gangguan psikologis lainnya). e. Masalah pendidikan, (tuntutan akademik. f Masalah keluarga.

Yusmar Yusuf (1991: 85) mencatat beberapa persoalan para migran antara lain: keterkejutan budaya (cultural shock), stress psikosomatik, persoalan marjinalitas, kesehatan mental. Selain itu persoalan yang dihadapi migran Cina di Amerika sebagaimana dilaporkan oleh Kuo (1976) antara lain: isolasi sosial, keguncangan budaya, stress dalam pencapaian tujuan, serta perubahan budaya. Beberapa kasus pekerja migran Indonesia di luar negeri yang sering muncul adalah: kurang adanya perlindungan hukum, sasaran penipuan dan pemerasan, pelecehan seksual dan sebagainya. Linn dan Kitano (1996) mengutip beberapa hasil kajian dan penelitian misalnya dari Lin & Son mencatat problem utama migran/pengungsi dari Asia Selatan di Amerika Serikat menunjukkan resiko yang tinggi terkena depresi dan gangguan-gangguan stress.

Sebagai migran pelajar/mahasiswa dari luar daerah, mereka juga mengalami masalah yang dihadapi migran pada umumnya, akan tetapi karena umumnya motivasinya disengaja, lama waktu dapat diprediksi, tentu masalahnya tidak sekompleks migran pada umumnya, apalagi pengungsi. Peneitian Mitaseri dan Itikomayati (2019) terkait problem mahasiswa luar Jawa di Universitas Tribuwana Tunggadewi Malang, yaitu masalah finansial, makanan, bahasa, dan iklim. Alexandr dkk (Pedersen dkk, 1996) melaporkan penelitian di Amerika Serikat, bahwahwa mahasiswa asing banyak mengalami cultural schock ketika menghadapi stuasi yang berbeda, mereka menderita karena kehilangan status dari Negara asal, menghadapi tekanan akademik, mudah terluka, mereka kehilangan budaya, mereka t\cenderung tertutup. Menglalami hambatan persahabatan antar budaya. Secara klinis mereka mengalami stress kultural, depresi, kecurigaan dan sebgainya.

Pelajar/mahasiswa migran tentu berusaha melakukan penyesuaian dengan cara beragam, sesuai latar belakang kehidupannya, tuntutan lingkungan serta sumber-sumber yang tersedi di lingkungannya. Ada yang aktif bidang akademik, orhanisasi, kelompok seni, bidang keagamaan dan sebagainya. Banyak mahasiswa yang bergabung dalam satu paguyuban daerah, conational dalam upaya mencari pegangan perlindungan sosial.

(5)

89

Salah satu masalah kesehatan mental bagi para migran khususnya pengungsi adalah masalah kaitannya dengan akulturasi. Para migran yang memasuki tempat baru dengan budaya yang berbeda, mengalami kesulitan dalam berakulturasi. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh trauma sebelum migrasi. Mollica dkk, yang dikutip oleh Chung dan Bornemann (1996: 248) mengemukakan empat kategori trauma, yaitu (1) Kehilangan bahan makan dan tempat tinggal, (2) Siksaan dan luka secara fisik, (3) Penahanan dan perlakuan dalam kamp pengungsi, (4) Menyaksikan pembunuhan dan penyiksaan.

Pengalaman traumatik tersebut mempengaruhi proses penyesuaian dan adaptasi migran.

Faktor penting lain yang mempengaruhi penyesuaian di tempat yang baru yaitu adanya keputusan yang ambivalen tentang relokasi. Banyak pengungsi yang kehilangan kontrol dalam membuat keputusan tentang pilihan tempat tinggal, kesempatan kerja, dan jaringan sosial. Seringkali juga muncul kebencian dari para pengungsi terhadap penduduk di tempat yang baru, misalnya pengungsi dari Asia Selatan (Vietnam) di Amerika, menganggap Amerika bangsa penjajah.

Beberapa problem penyesuaian para migran/pengungsi, adalah:

a. Hambatan bahasa. Bahasa memegang peranan yang penting dalam penyesuaian bagi migran (Chung & Bornemann, 1996). Bahasa merupakan jembatan paling berguna untuk berpartisipasi dalam lembaga sosial dan ekonomi masyarakat (Berry dkk, 1999). Kesulitan bahasa di tempat baru ini banyak dialami para migran, sehingga mengganggu penyesuaian.

b. Pendidikan dan pekerjaan. Banyak migran yang mengalami masalah pndidikan dan pekerjaan. Pendidikan dan jabatan di tempat asal tidak dapat ditransfer atau diterapkan di tempat baru, karena kondisinya berbeda, sehingga para migrani benar-benar mulai dari awal. Banyak migran yang status sosial ekonominya turun, harga dirinya rendah, merasa tidak berarti. Kein dkk (1996) menyebutkan bahwa mahasiswa asing di Amerika yang di neara asal umumnya kelompok professional, orang cerdas, punya status, ditempat baru status tersebut hilang.

c. Perubahan. Di tempat baru, dengan suasana, aturan, budaya baru juga merubah hdup. Disiplin, budaya dan aturan-aturan lain yang sebelumnya diterapkan di daerah asal sulit diterapkan di tempat baru.

Disamping itu masih banyak masalah yang dialami migrani, seperti masalah rumah/tempat tinggal, penyesuaian dengan norma-norma sosial dan moral di tempat yang baru, masalah kesehatan, perlakuan diskriminatif, dan sebagainya.

Layanan Konseling bagi Pelajar/Mahasiswa Migran

Meskipun menghadapi banyak permasalahan, para migran kususnya

pelajar/mahasiswa, satu sisi memiliki potensi-potensi yang sangat positif, seperti kemampuan berfikir, semangat, motivasi, visi kedepan, dukungan keluarga, bahkan secara ekonomi kemungkinan memiliki kemampuan. Oleh karena itu layanan konseling satu sisi harus mengoptimalkan potensi posiifnya, dan sisi lain memperkecil sisi masalahnya.

(6)

90

Tujuan konseling

Secara umum tujuan layanan konseling adalah agar subyek dilayani dapat memahami diri, menerima diri, menyesuaikan diri, membuat pilihan/keputusan, mengatasi masalah, mengarahkan diri, merealisasikan diri, mengembangkan diri sehingga dapat merasakan kebahagiaan. Tujuan tersebut dapat bersifat kognitif, behavioral, maupun afektif. Tujuan konseling bagi migran kuusunya pelajar/mahasiswa akan sangat tergantung dari tipologi migrani. Meski demikian secara umum tujuan layanan konseling bagi para migran khususnya pelajar mahasiswa, adalah bagaimana mereka dapat merasakan kebahagiaan hidup, melalui terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup, kemampuan menyesuaikan diri dan pengembangan diri.

Dengan layanan konseling diharapkan para migran pelajar/mahasiswa dapat mengatasi masalah penyesuaian sosial/budaya, psikologis, keamanan, perlindungan, sosial, karir/ekonomi, dan masalah pendidikan. Secara lebih khusus tujuan layanan BK bagi para migran dan pengungsi adalah: (a). Dalam bidang pribadi, dapat mengatasi persoalan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesehatan jasmani, dapat mengadakan penyesuaian diri, terbebas dari gangguan dan problem psikologis, serta memiliki keimanan dan ketakwaan yang mantap. (b). Di bidang sosial, dapat mengadakan penyesuaian sosial dan budaya di tempat yang baru, baik dalam keluarga, antar sesama migran, maupun dengan masyarakat di tempat yang baru, dan mampu melakukan akulturasi dengan budaya baru. (c) Di bidang karir, diharapkan migran dapat memecahkan masalah karir, seperti merencanakan karir yang tepat (d) Di bidang belajar, dapat mengatasi permasalahan pendidikan, baik menyangkut pelatihan ketrampilan baru, belajar bahasa/budaya baru. Konselor pada masyarakat migran

Dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi migran terutama

pelajar/mahasiswai, maka konselor memerlukan suatu team work yang terdiri dari berbagai unsur, profesi untuk membantu mereka. Konselor harus memiliki kompetensi personal dan professional, Aspek personal tidak berbeda dengan konselor di sekolah atau pada populasi lain, seperti kehangatan, ketulusan, kesungguhan, penerimaan, kesabaran dan sebagainya. Suatu hal yang perlu ditekankan konselor adalah adanya kepekaan dan emphaty budaya terhadap para migran, yang umumnya mereka dalam kondisi stres, labil. Kepekaan dan emphati tersebut akan menjadi modal awal terbangunnya hubungan baik dan kepercayaan konseli terhadap konselor.

Carol A. Dahir (2009) menyebut konselor masa depan harus mampu membangun cara baru sebagai pemimpin, kolaborator, advokator, dan agen perubahan yang sistemik dalam tatanan dunia pendidikan, globalisasi masyarakat dan ekonomi, dan keragaman kebutuhan siswa

Konselor pada migran harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang migran, yang umumnya memiliki budaya yang berbeda dengan konselor, memiliki pengetahuan tentang konseling lintas budaya, dan keterampilan khusus (skill) dalam kaitannya dengan migran. Oleh karena itu diperlukan penyiapan dan pelatihan khusus. Dalam hal pelayanan konseling bagi migran di Amerika Serikat (AS), Kitano & Maki (1996: 129) mengutip pendapat Lin, bahwa pelayanan konseling pada migran memerlukan pemahaman akan latar belakang budaya dan suasana yang membawanya ke AS. Dalam hal pemahaman terhadap konseli, Leong dan Chou (1996: 228) mengemukakan pemahaman yang harus dimiliki oleh

(7)

91

konselor, yaitu: pemahaman terhadap latar belakang budayanya sendiri, training, pemahaman terhadap latar belakang konseli, dan pengetahuan konselor akan konseling lintas budaya.

Konselor professional dengan segala kompetensi professional dan personalnya, belum menjamin berhasilnya layanan konseling pada migran, sebab dalam kondisi yang serba bermasalah, kadang konseli migran kurang membutuhkan bahkan tidak membutuhkan layanan konseling, apalagi kalau sebelumnya mereka belum pernah berhubungan dengan layanan konseling. Apalagi kalau konselornya asing, berbeda budaya berbeda bahasa dengan konseli migran.

Sering dijumpai hambatan dalam konseling bagi konselor yang berbeda budaya dengan klien migran/pengungsi, misalnya hambatan budaya, stereotipe (kecenderungan menilai tertentu), etnik, bahasa (bahasa verbal atau non verbal), dan sebagainya. Hambatan juga dapat muncul karena perbedaan sistem nilai dan kepercayaan Hal ini seringkali menjadikan kesenjangan antara konselor dengan klien dalam memandang masalah.

Model konselor berikut ini memungkinkan layanan BK pada migran akan lebih efektif, yaitu: (a) Konselor yang sama etnis, memiliki budaya yang sama, atau berasal dari lingkungan konseli. (b) Konselor professional yang berbeda etnik, budaya dan lingkungan dengan migran/pengungsi tetap efektif memberikan layanan BK asal memiliki pemahaman, sensitivitas, emphati budaya, dan keterampilan konseling lintas budaya. , (c) Konselor professional memberikan pelatihan kepada relawan yang memiliki budaya yang sama dengan migran untuk memberikan layanan BK pada migran.

Dalam hal pelayanan konseling terhadap migran konselor hendaknya lebih banyak bekerja dalam suatu tim (team work) dengan pihak-pihak lain, mengaktifkan jaringan layanan alih tangan, sehingga permasalahan konseli dapat tertangani secara tuntas.

Proses konseling

Suasana, prosedur atau langkah-langkah layanan BK pada migran sama dengan layanan BK pada subyek yang lain, yaitu mulai dari penerimaan klien sampai tindak lanjut. Meski demikian mengingat adanya keunikan, seringkali layanan BK tidak harus dilakukan secara formal dan prosedur yang baku. Dalam proses penerimaan konseli, konselor harus bersifat proaktif, sebab para migran kadang tidak mengetahui sumber pelayanan konseling, Dalam pertemuan awal, konselor harus mampu menciptakan good rapport dengan menunjukkan kepekaan dan empati terhadap konseli migran, menstruktur hubungan konseling, sehingga klien memiliki kepercayaan kepada konselor, merasa aman dan nyaman, klien mau terlibat secara penuh (involve) dalam konseling. .

Fungsi layanan

Layanan BK yang diberikan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para migran/pengungsi. Layanan BK dapat bersifat remidiatif, preventif dan pengembangan. Prayitno (2004), Myric (dalam Muro & Kottman: 1995) menyebut fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan/ pengembangan. Fungsi layanan tersebut harus diberikan secara simultan dan terpadu. Casas dan Vasques (1996: 170) yang mengutip pendapat Drum dan Lawler, menyatakan “developmental intervention facilitate normal development by adding new skills or dimensions or by providing, strategies for resolution of critical issues”.

(8)

92

Program layanan BK

Program layanan BK harus berangkat dari kebutuhan subyek yang dilayani, tujuan yang dirumuskan, karakteristik subyek yang dilayani, serta faktor-faktor lain, seperti kondisi di tempat baru, budaya masyarakat setempat, ketersediaan konselor dan sumber-sumber referral. Jika mengacu pada layanan BK pola Tujuh Belas, maka program BK pada migran/pengungsi, yaitu (1) Di bidang pribadi, (2) Bidang sosial, (3) Bidang belajar, bantuan dalam hal kesuksesan akademiki, belajar dengan budaya baru, belajar keterampilan baru. (4) Bidang karir, yaitu bantuan dalam perencanaan karir. Bidang-bidang tersebut dapat dilakukan melalui program layanan dasar, layanan, responsive, peminatan/perencanaan individual dan dukungan system (system support) (Myrick dalam Muro & Kottman, 1995) Teknik konseling

Layanan BK pada migran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, model dan teknik. Morril, Otteng dan Hurs (1978) mengetengahkan, tiga dimensi BK yaitu: target of intervention (individual, primary group, associational group, community group), purpose of interventions (remidiation, prevention, development), method of interventions (direct service, consultations/training, media). Untuk menentukan teknik BK yang tepat, di antaranya perlu memperhatikan tiga faktor penting, yaitu latar belakang budaya dan kepribadian subyek, masalah, kebutuhan dan tujuan konseling, serta budaya masyarakat di tempat baru, dan kebijakan-kebijakan resmi ditempat yang baru. Konselor harus memilih dan menggunakan teknik konseling yang tepat dan fleksibel. Konselor harus dapat memadukan berbagai teknik, baik teknik yang berdasar keilmuan, maupun teknik-teknik yang diangkat dari budaya dan keyakinan para migran.

Casas dan Vaques (1996), mengutip pendapat Atkinson, Thompson, dan Grant, bahwa peran konselor dalam layanan BK pada migran minoritas perlu melihat: tingkat akulturasi, penyebab masalah, dan tujuan pelayanan. Mereka mengidentifikasi delapan peran konselor/terapis, yaitu: sebagai advisor, sebagai advocate, Sebagai fasilitator of indigenous support system, sebagai fasilitator of indigenous healing systems, sebagai consultant, sebagai change agent, sebagai konselor, sebagai psychotherapist. Chung dan Bornemann (1996: 255) mengemukakan metode Multilevel Model (MLM) dalam konseling pada pengungsi. Untuk menerapkan model tersebut perlu memperhatikan beberapa aspek agar konseling pada migran efektif yaitu variabel yang terlibat yaitu konselor dan klien. Dalam model multilevel terdapat empat tahap dalam konseling pada migran yaitu: tahap pertama konseling terkait pendidikan kesehatan mental. Tahap kedua konseling yang bersifat individual, kelompok dan keluarga, Tahap ketiga pemberdayaan budaya. Tahap keempat model mengintegrasikan model metode penyembuhan dari budaya barat dengan budaya asli pengungsi. Keempat tahap tersebut saling terkait dan dapat diterapkan secara bersamaan atau simultan, dengan mempertimbangkan kondisi yang dihadapi.

Banyak teknik konseling berbasis keilmuan, budaya dan spiritual yang dapat dipilih untuk digunakan dalam layanan konaseling bagi migran, kususnya pelajar/mahasiswa migran, seperti: teknik berorientasi psikoanalisis, behaviorisme, kognitifisme, teknik berbasis budaya (permainan, seni), berbasis spiritual. Layanan BK juga dapat dilakukan dengan menggunakan media yang tepat, baik media berbasis teknologi informasi, media berbasis budaya, media berbsis spiritual. Hegel (1994) mengemukakan empat aspek dalam konseling yang dapat dilakukan dengan menggunakan penyembuhan budaya asli migrani, yaitu:

(9)

93

treatment secara fisik, metode penyembuhan secara medis/mistis, konseling, dan penyembuhan/pengobatan.

Kesimpulan

Peristiwa migrasi selalu berlangsung sepanjang jaman, meskipun teknologi komunikasi sudah sangat maju. Migrasi dapat dilihat dari aspek bentuk, tempat, waktu, perbedaan budaya, alasan atau motivasi. Salah satu bentuk migrasi adalah perpindahnya pelajar/mahsiswa ke suatu daerah karena motivasi menuntut ilmu/pendidikan yang umumnya berasal dari berbagai latar belakang budaya. Ditempat baru, para migran umumnya memiliki harapan/kebutuhan baru, serta menghadapi berbagai permasalahan, baik terkait dengan fisk/biologis, masalah personal/psikologis, masalah penyesuaian social/budaya, maslaah akademik dan sebagainya. Ara migran sangat memerlukan banytuan, diantaranya melalui layanan Bimbingan dan Konseling yang berwawasan budaya. Layanan BK memiliki fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pengambangan. Konselor perlu memiliki wawasan, kesadaran dan empati budaya. Teknik konseling harus mempertimbangkan budaya, dapat berbasis keilmun/teknologi, budaya, spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Alexader, AA. Et. al (1996). Psychotherapy and the Foreign Student in Counseling Across Culture (Edited by Pedersen et. Al). New York.

Ali Syariati. (1986). Panji syahadah (terjemahan). Yogyakarta: Shalahuddin Press.

Berry, J. W. , Poortinga, Ype H. , Segal, Marshall HD. , Pierre R. (1999). Psikologi lintas-budaya riset dan aplikasi (terjemahan Edy Suhardono). Jakarta: Gramedia.

Casas, M. J. , Vasquez, Melba JT. (1996). Counseling the Hispanic: a guiding framework for a deverse populations. In counseling across culture, Pedersen et. Al. (Eds). California: Sage Publications.

Chung, R. C. Ying, & Bornemann T H. (1996). Counseling and psychotherapy with refugees. In counseling across culture, Pedersen et al (Eds). California: Sage Publications. Dahir, C. A. (2009) School Counseling in gthe 21st century: What Lies the Future. In Journal

of Counseling and Cdevelompment Vol. 87, Number 1 Winter 2009.

Kitano, HH. L. , Maki, MT. (1996). Continuity change, and diversity counseling Asian American. Dalam Pedersen et. All (Eds) Counseling across culture. California: Sage Publications.

Leong, FT. , Chou, EL. (1996). Counseling international student. Dalam Pedersen et. al (Eds) Counseling across culture. California: Sage Publications.

Loo, CT B. & True R. (1989). A bitter bean: Mental health status in Chinatown. Journal of community psychology, 17, 283-286.

Mitaseri. Z, & Istikomayanti Y. (2019). Studi Pola Penyesuaian Mahasiswa Baru Luar Jawa di Universitas TriBuwana Tungga Dewi Malang. (Penelitian) Tidak diterbitkan.

Morril, W. E. , Oetting, dan Hurst. J. (1974). Dimensions of counseling functioning. In personal and guidance journal, 1974, 52, 355-359.

(10)

94

Murphy, H. B. (1977). Migration, culture and mental health. Psychological medicine, 7, 677-684.

Muro, J. J. , & Kottman, T. (1995). Guidance and Counseling in Elementary and Midle Schools. Iowa: Brown & Benhmark

Prayitno, dan Erman Amti. (1995). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta: Dirjen Dikti.

Rozy Munir. (1981). Migrasi, dalam dasar-dasar demografi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Yusmar Yusuf. (1991). Psikologi antar budaya. Bandung: Rosda Karya.

Zane, N. , & Sue, S. (1991). Culturally responsive mental health service for Asia Americans: Treatment and training issues. In H. Meyers, P. Wohlford, P. Guzman, & R. Echemendia (Eds), Ethnic minority perspective on clinical trining and service in psychology (pp. 49-58). Washington DC: APA.

Referensi

Dokumen terkait

pihak pemerintah untuk mencabut syarat tersebut, karena untuk membuka kota Banyumas dari jalur trem akan memakan biaya yang sangat besar, sementara keuntungan

3ROLNOLQLN 3HQ\DNLW 'DODP WHUEDJL GDODP GXD SROL UDZDW MDODQ \DLWX SROL XPXP \DQJ GLWDQJDQL ROHK UHVLGHQ GRNWHU XPXP GDQ SROL NKXVXV \DQJ GLWDQJDQL UHVLGHQ GRNWHU VSHVLDOLV 3DVLHQ

Konsep Tungku Tigo Sajorangan diterapkan kedalam perancangan Pusat Seni dan Kebudayaan di Kuantan Singingi dengan melakukan transformasi Arsitektur tradisional rumah

 Sedangkan graf berarah dari relasi yang bersifat setangkup dicirikan oleh: jika ada busur dari a ke b , maka juga ada busur dari b ke

(2) Rencana Pola Ruang laut Pulau Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 45 digambarkan dalam peta rencana Pola Ruang laut dengan skala 1: 50.000 (satu

Dalam rangka mendukung terwujudnya agenda pembangunan Kabupaten Sumedang serta tercapainya Visi dan Misi sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Dari defenisi-defenisi pengendalian intern yang dirumuskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengendalian intern adalah suatu proses yang dituangkan dalam suatu

Kesalahan yang paling fatal saat awal wawancara dengan para santri adalah mereka menganggap perilaku bullying adalah hal yang lumrah, sehingga menjadi wajar bila