• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR. Pendahuluan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

memilih untuk menjual hasil tangkapan kepada pengambek dibanding pedagang besar/perusahaan. Kemampuan pengambek untuk membayar lunas harga hasil tangkapan para nelayan dibandingkan pedagang besar menjadi alasan nelayan dalam menjual hasil tangkapan.

4

EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG

MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA

TIMUR

Pendahuluan

Armada pancing dengan menggunakan rumpon di Puger baru berkembang pada awalnya beberapa unit saja. Armada pancing ini biasanya menangkap ikan-ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis penting seperti tuna. Hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan rumpon selalu memberikan keuntungan maksimal, maka nelayan yang menggunakan armada pancing ini juga semakin bertambah. Nelayan Puger mengakui bahwa penangkapan ikan menggunakan rumpon menunjukkan hasil tangkapan yang besar, sehingga penggunaan armada pancing terus berkembang di wilayah Perairan Puger.

Penggunaan armada pancing yang semakin meningkat dapat menyebabkan penangkapan tuna disekitar rumpon semakin besar sehingga produksi ikan juga bertambah. Apabila peningkatan jumlah armada ini terus berlangsung, maka sumberdaya tuna akan terus dimanfaatkan secara berlebihan. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan sumberdaya ikan di perairan tersebut, serta berdampak pada lingkungan sosial dan ekonomi.

Ikan tuna dan sejenisnya sampai saat ini masih mendominasi ekspor produk perikanan Indonesia. Namun sama halnya dengan ikan lain, tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah tertangkap jika tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang sering dijumpai pada armada pancing di Puger adalah penanganan ikan tidak menggunakan sistem rantai dingin selama transportasi menuju tempat pendaratan maupun pendistribusian menuju hinterland nya. Kualitas hasil tangkapan tuna yang rendah akan menyebabkan harga ikan tersebut juga rendah. Kualitas ikan tidak mampu bersaing dengan pasar dari luar daerah.

Oleh karena peranan armada pancing dengan rumpon di Perairan Puger yang sangat berkontribusi pada penangkapan tuna dalam jumlah besar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap perikanan pancing yang menggunakan rumpon ini. Evaluasi dilakukan dengan menentukan produktivitas pada armada pancing tersebut, komposisi dan kualitas hasil tangkapan yang didaratkan, serta konflik antar nelayan dan stakeholder terkait.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2003, produktivitas kapal penangkap ikan adalah tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per tahun. Penentuan apakah sumberdaya mengalami pertumbuhan dari segi ekologi selain berdasarkan catch per unit effort (CPUE), juga dapat dilihat berdasarkan komposisi ikan tuna yang didaratkan. Analisis komposisi bertujuan untuk

(2)

mengetahui kelayakan ikan tuna yang didaratkan berdasarkan ukuran panjang dan berat yang sesuai kriteria layak tangkap dan kriteria produk ekspor.

Penentuan apakah sumberdaya mengalami pertumbuhan dari segi ekonomi juga dapat dilihat berdasarkan analisis kualitas hasil tangkapannya. Analisis kualitas bertujuan untuk mengetahui kelayakan kualitas hasil tangkapan ikan tuna. Hal ini dapat menentukan apakah ikan tuna hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Puger sudah dilakukan penanganan yang baik. Penanganan ikan yang baik dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi nelayan serta dapat mengembangkan perikanan pancing di daerah Puger.

Analisis konflik sosial dilakukan dengan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat nelayan Puger yang berpotensi menimbulkan konflik. Dalam kehidupan sosial, konflik selalu ada sebagai tanda bahwa terjadi kehidupan sosial yang sehat dan dinamis. Pranata sosial yang hidup di nelayan Puger sangat erat hubungannya dengan mekanisme penyelesaian konflik (solusi konflik) agar keharmonisan sosial masih tetap terjaga. Konflik yang terjadi di Puger dapat disebabkan oleh armada yang digunakan nelayan, kondisi perairan yang bersifat open access, serta keberadaan rumpon.

Metode Penelitian Cara pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengambilan data sekunder dan primer. Pengambilan data produktivitas dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari dinas TPI (Tempat Pendaratan Ikan), dan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Jawa Timur. Data yang diambil adalah data produksi ikan tuna dari tahun 2007 sampai 2011 dan data jumlah kapal pancing yang ada di PPI Puger.

Pengambilan data komposisi dan kualitas hasil tangkapan dilakukan secara langsung dengan mengukur panjang berat, menentukan jenis, dan menilai kualitas dari ikan tuna yang didaratkan. Data ikan yang diambil saat kapal mendarat kemudian dicatat pada data sheet. Sampel ikan diambil secara purpossive sampling dari 4 kapal yang mendarat di PPI Puger. Pengambilan sampel sebanyak 4 unit ini dikarenakan jumlah tersebut merupakan jumlah armada kapal yang melaksanakan kegiatan penangkapan pada saat penelitian berlangsung.

Gambar 4.1 Pengukuran fork length ikan Fork length

(3)

Data konflik yang dikumpulkan berupa hasil wawancara terhadap beberapa responden. Wawancara responden dilakukan dengan teknik purpossive sampling. Pengambilan sampel sebanyak 16 responden yang berperan penting dalam suatu komunitas nelayan. Responden sebanyak 9 orang merupakan para pemilik kapal sekaligus nakhoda, sebanyak 4 orang merupakan nakhoda, 2 responden mewakili dinas BPPPI Puger, serta 1 orang responden yang merupakan Kepala Desa Kecamatan Puger. Kuesioner terkait konflik nelayan yaitu mengenai opini para responden terhadap potensi-potensi yang dapat menyebabkan timbulnya konflik dan penyebab terjadinya konflik.

Analisis data

Analisis data yang dilakukan yaitu: 1. Produktivitas armada pancing

Produktivitas armada penangkap ikan (pancing) per tahun ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah produksi hasil tangkapan dalam satu tahun dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan.

) ( E (kg) h P    unit Keterangan :

P = Produktivitas (kg/unit) ∑ E = Upaya penangkapan (unit) ∑ h = Produksi hasil tangkapan (kg)

2. Komposisi hasil tangkapan

Analisis komposisi hasil tangkapan dilakukan dengan menghitung persentase kelas ukuran panjang dan berat menggunakan persamaan Sturgess (1982) dalam Yulius (2013), adapun tahapannya yaitu:

K = 1+ 3,3 Log N (1)

Keterangan:

K = Jumlah kelas N= Jumlah sampel

P = R/K (2)

Keterangan:

P = Selang kelas

R = Sebaran (panjang atau lebar terendah hingga tertinggi) K = Jumlah kelas

P = Ki/K x 100% (3)

Keterangan:

P = Persentase kelas ukuran ikan ke-i K = Jumlah total individu ikan seluruh kelas 3. Kualitas hasil tangkapan

Analisis kualitas dilakukan dengan membandingkan nilai organoleptik pada bagian ikan dengan standar yang ditetapkan BSN (2006). Nilai organoleptik diuji

(4)

pada setiap ekor ikan per kapal dan dihitung nilai rata-rata organoleptiknya. Kemudian dilakukan perhitungan persentase nilai organoleptik yang diperoleh.

4. Konflik sosial nelayan

Analisis konflik sosial dilakukan secara deskriptif dengan membuat diagram permasalahan yang terjadi di PPI Puger. Permasalahan tersebut melibatkan para stakeholders yang terkait dengan perikanan pancing, serta penyebab timbulnya suatu permasalahan. Berdasarkan diagram permasalahan yang telah dibuat, kemudian akan dipaparkan alternatif solusinya. Identifikasi sifat konflik dilakukan dengan pendekatan Louis A. Pondy (1989) dalam Basri S (2011), yaitu:

(1) Latent conflict, merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain mengenai posisi sebenarnya. Konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak.

(2) Perceived conflict, merupakan konflik yang dianggap ada oleh masing-masing unit namun kondisi ini tidak berdampak secara emosional diantara pihak-pihaknya.

(3) Felt conflict, merupakan konflik yang dimiliki masing-masing orang/kelompok dan kondisi ini berdampak secara emosional diantara pihak-pihaknya.

(4) Manifest conflict, Model ini menjelaskan bagi sejumlah perilaku konflik yang telah bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka, perkelahian, serta perang mulut.

Hasil Produktivitas armada pancing

Salah satu penentuan tingkat produktivitas suatu alat tangkap yaitu dengan menghitung produksi penangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE). Dalam usaha meningkatkan produktivitas perikanan tangkap di PPI Puger terutama pada perikanan pancing ini, perlu diketahui produktivitas dari armada pancing per tahun.

Tabel 4.1 Produktivitas armada pancing periode 2007-2011

Tahun ∑ Armada pancing Produksi tuna (Kg) Produktivitas (Kg/Unit) % Perubahan 2007 208 36800 176.923 2008 222 394000 1774.775 903.13 2009 222 415200 1870.270 5.38 2010 310 401500 1295.161 -30.75 2011 458 946400 2066.376 59.55 Rata-rata 284 438780 1436.701

Sumber: Pengolahan data

Produktivitas armada pancing (CPUE) di sekitar rumpon dari tahun 2007 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.1. Produksi hasil tangkapan terbesar oleh armada pancing terdapat pada tahun 2011 ini yaitu sebesar 946400 kg, dan

(5)

nilai CPUE sebesar 2066.376 kg/unit. Sedangkan produksi hasil tangkapan terkecil terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 36800 kg, dan CPUE sebesar 176.92 kg/unit. Nilai produktivitas tersebut menunjukkan bahwa setiap unit armada pancing mampu menangkap ikan sebesar 2066.376 kg di tahun 2011 dan sebesar 176.92 kg di tahun 2007.

Produktivitas rata-rata armada pancing dari tahun 2007 sampai 2011 sebesar 1436.7 kg/unit. Peningkatan terjadi pada tahun 2008 sebesar 903% dan tahun 2009 sebesar 5%. Namun pada tahun 2010, nilai produktivitas armada pancing menurun sebesar 30.75% menjadi 1295.16 kg/unit. Artinya, peningkatan armada pancing menyebabkan penurunan hasil tangkapan sebesar 30.75%, dan setiap unit armada pancing hanya mampu memproduksi ikan sebesar 1295.161 kg.

Gambar 4.2 Produktivitas armada pancing periode 2007-2011

Gambar 4.2 menunjukkan grafik perubahan nilai produktivitas armada pancing periode 2007 hingga 2011. Grafik tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hasil tangkapan cenderung terjadi secara linear dengan armada pancing yang meningkat. Pada tahun 2010 terjadi penurunan produktivitas, sehingga peningkatan jumlah alat tangkap menyebabkan penurunan produksi ikan. Penurunan tersebut tidak berlanjut di tahun 2011 karena nilai CPUE alat tangkap pancing kembali naik sebesar 59.55%.

Komposisi hasil tangkapan armada pancing

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di Perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 kapal dengan total berat tuna adalah sebesar 493 kg. Total berat sampel tuna yang diambil dari 4 kapal adalah sebesar 87.7 kg. Jumlah sampel tuna yang diambil sebanyak 35 ekor. Berikut ini disajikan gambar komposisi berat dan ukuran sampel tuna yang diambil.

(6)

Gambar 4.3 Sebaran berat sampel tuna

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa berat sampel tuna didominasi oleh ukuran antara 0 sampai 2.5 kg sebesar 80%. Berdasarkan analisis berat ikan layak ekspor, didapatkan bahwa seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor. Tabel sebaran berat ikan dapat dilihat pada Lampiran 8

Penangkapan ikan yang belum dewasa masih banyak dilakukan oleh nelayan Puger. Kondisi ekonomi yang masih rendah menjadi penyebab masih dilakukannya penangkapan. Biaya operasional yang dikeluarkan akan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika tidak dilakukan penangkapan. Pada saat kondisi paceklik, para nelayan tetap melakukan penangkapan ikan ukuran apapun untuk menutupi modal operasional yang telah dikeluarkan.

Gambar 4.4 Sebaran panjang sampel ikan tuna

Panjang sampel tuna pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sebaran panjang ikan tuna yang tertangkap dominan berada pada panjang antara 41 sampai 56 cm yaitu sebanyak 21 ekor. Berdasarkan analisis length at first maturity menurut Fishbase (2010), didapatkan hasil bahwa seluruh ikan tuna yang didaratkan memiliki ukuran yang tidak layak tangkap.

Ukuran layak tangkap (lebih besar dari length at first-maturity) untuk yellowfin tuna adalah minimal 120 cm. Jumlah ukuran ikan tidak layak tangkap ini dapat terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di Perairan Selatan Jawa. Hal ini dapat membuktikan bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran dewasa telah dibatasi dengan adanya peningkatan penangkapan.

(7)

(a) Yellowfin tuna (b) Ikan tuna yang akan didistribusikan Gambar 4.5 Hasil tangkapan armada pancing

Kualitas hasil tangkapan

Kualitas ikan dipengaruhi oleh penanganan hasil tangkapan baik di atas kapal maupun di darat. Penanganan terhadap mutu ikan sangat penting dilakukan sebab ikan merupakan produk perikanan yang bersifat highly perishable (mudah busuk).

(a) Kondisi insang tuna (b) Kondisi mata tuna

(c) Kondisi daging tuna (cacat saat penanganan) Gambar 4.6 Kualitas hasil tangkapan

(8)

Analisis organoleptik ikan dilakukan dengan melihat secara langsung kondisi fisik ikan yang didaratkan, meliputi: mata, insang, tekstur, dan bau. Penilaian organoleptik ditentukan melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti sendiri. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kualitas ikan tuna yang didaratkan di PPI Puger dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tabel 4.2 Nilai organoleptik ikan tuna di PPI Puger No Nilai Organoleptik Jumlah ikan

(ekor) Persentase (%) 1 5 6 17.1 2 6 17 48.6 3 7 8 22.9 4 8 4 11.4

Sumber: Olahan data

Hasil penelitian yang dinyatakan pada Tabel 4.2 dinyatakan bahwa ikan tuna di PPI Puger memiliki nilai organoleptik antara 5 hingga 8. Ikan tuna yang memiliki nilai organoleptik 6 paling besar jumlahnya dibandingkan dengan nilai lainnya. Nilai organoleptik 5 diperoleh sebanyak 6 ekor (17.1%), nilai organoleptik 6 sebanyak 17 ekor (48.6%), untuk nilai organoleptik 7 dan 8 masing-masing sebanyak 8 ekor (22.9%) dan 4 ekor (11.43%).

Tuna yang diperoleh pada kapal 1 memiliki nilai organoleptik lebih baik dari kapal lainnya. Nilai organoleptik yang baik ini disebabkan ketersediaan es didalam palkah/box sangat mencukupi untuk menjaga kualitas ikan hingga pendaratan. Selain itu jumlah ikan didalam box juga tidak terlalu berlebihan sehingga muatan box dapat menampung ikan. Penyusunan ikan juga tertata dengan baik. Hal ini menyebabkan kualitas daging yang diperoleh pun bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan kapal lain (Lampiran 3).

Kondisi organoleptik kapal 2 (Lampiran 4), kapal 3 (Lampiran 5), dan kapal 4 (Lampiran 6) memiliki nilai rata-rata yang hampir sama yaitu sekitar 6. Kondisi ini berada pada taraf dibawah standar ikan yang layak ekspor. Ikan tuna ekspor harus memiliki nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006). Berdasarkan pengamatan di lapangan, penanganan tuna pasca penangkapan yang kurang memperhatikan prosedur menjadi penyebab turunnya kualitas/mutu ikan. Intensitas terkena matahari yang cukup tinggi, kurangnya pasokan es dalam palkah, serta pembongkaran ikan tanpa adanya perlindungan terhadap ikan merupakan hal yang sering terlihat di Puger. Secara keseluruhan, hasil tangkapan ikan tuna di Perairan Puger lebih di dominasi oleh ikan-ikan dengan kondisi fisik yang kurang segar.

Konflik sosial nelayan

Konflik yang terjadi pada nelayan skoci/pancing bermacam-macam. Seringkali konflik mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kondisi yang mengakibatkan bentrokan, keresahan, perasaan tidak aman, dan lain-lain. Gambar 4.7 menjelaskan beberapa konflik dan akar masalah terjadinya konflik.

(9)

Gambar 4.7 Diagram akar permasalahan konflik nelayan rumpon di Puger Konflik nelayan dengan TPI timbul karena tidak pernah ada pendaratan tuna di pelabuhan sehingga tidak pernah dilakukan pelelangan ikan tuna di TPI. Ketiadaan proses pelelangan di TPI menyebabkan tidak adanya retribusi yang masuk kepada TPI. Pelelangan ikan yang tidak dilakukan di TPI disebabkan karena adanya monopoli yang dilakukan oleh pengambek kepada nelayan pancing akibat adanya keterikatan yang kuat antara nelayan dan pengambek. Keterikatan ini terjadi karena pengambek merupakan sumber dana pinjaman para nelayan. Pinjaman yang dilakukan nelayan tidak hanya untuk biaya operasional melaut, namun juga untuk biaya kehidupan sehari-hari dan biaya lainnya. Konflik ini bersifat laten karena belum terjadi konflik terbuka antara nelayan dan pihak TPI. Konflik ini tetap berpotensi menjadi konflik yang muncul dipermukaan jika tidak diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak.

Konflik antar nelayan rumpon terjadi karena adanya kecemburuan sosial terkait dana bantuan rumpon. Dana bantuan ini dapat diberikan apabila nelayan rumpon membentuk suatu kelompok. Kelompok tersebut akan mengajukan permohonan bantuan dana kepada pemerintah. Namun, beberapa kelompok nelayan lainnya tidak pernah mendapat dana bantuan dari pemerintah. Mereka menganggap bahwa dana bantuan tidak diberikan secara merata sebab kriteria dan syarat penerima bantuan tidak jelas. Penyaluran dana bantuan tidak transparan. Terdapat juga beberapa kelompok nelayan yang tidak mengajukan permohonan dana bantuan kepada dinas, sehingga dana bantuan pun tidak pernah turun kepada mereka. Konflik ini dianggap sebagai felt conflict sebab menimbulkan dampak reaksi emosional antar pihak terkait. Hal ini menimbulkan sikap-sikap yang sudah mulai bertentangan antar satu pihak dengan pihak lain sehingga masalah kecil mulai berkembang.

(10)

Konflik nelayan rumpon dengan pemerintah setempat juga dianggap sebagai felt conflict. Konflik ini terjadi akibat pembagian dana rumpon yang tidak merata kepada nelayan. Hal ini disebabkan karena sebagian nelayan menganggap tidak pernah ada kejelasan mengenai dana bantuan yang turun kepada nelayan. Program dana bantuan rumpon merupakan salah satu program pemerintah dalam membantu meringankan biaya operasional pembuatan rumpon. Namun implementasinya, bantuan yang diberikan tidak merata. Bantuan tersebut selalu diberikan kepada orang yang sama setiap tahunnya, sehingga kesempatan untuk kelompok nelayan lain tidak pernah ada.

Konflik nelayan rumpon dengan nelayan lain terjadi karena adanya persaingan terhadap sumberdaya perairan yang menyebabkan hasil tangkapan nelayan lain berkurang. Hal ini disebabkan karena ikan di daerah penangkapan lain tertahan di rumpon. Sebagai tambahan, Konflik juga terjadi karena adanya perebutan dalam mengakses alat bantu rumpon yang merupakan milik kelompok nelayan lain. Konflik ini dianggap sebagai manifest conflict sebab wujud konflik ini telah menimbulkan adanya penyerangan, perkelahian, dan kekerasan fisik.

Konflik nelayan di Puger dapat dibedakan berdasarkan sifatnya serta penyelesaian yang diharapkan dapat dilakukan untuk meredakan konflik. Sifat dan penyelesaian konflik di Puger tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.

(11)

Tabel 4.3 Jenis dan sifat konflik, dan penyelesaian terhadap konflik nelayan rumpon di Perairan Puger

Jenis konflik Sifat Konflik Penyelesaian konflik

1) Konflik nelayan dengan TPI.

Banyaknya nelayan pancing yang tidak mendaratkan hasil tangkapan ke TPI sehingga tidak adanya pembayaran retribusi dari nelayan serta menyebabkan susahnya pendataan produksi hasil tangkapan tuna di perairan Puger.

Latent conflict

 TPI konsisten melaksanakan perannya dalam mengambil alih fungsi pengambek sehingga ikan dapat dilelang

 TPI lebih melayani dalam memberikan pinjaman modal kepada nelayan dengan mudah serta menyelesaikan masalah keterkaitan hutang para nelayan dengan pengambek.

 Perlu adanya TPI yang dibangun pada jalur alternatif kapal yang masuk sehingga memudahkan ikan didaratkan.

2) Konflik antar nelayan rumpon. Adanya perebutan dana bantuan rumpon.

Felt conflict

Membentuk dan mengaktifkan perkumpulan kelompok sosial nelayan rumpon untuk mengetahui proses dan syarat penerimaan dana bantuan rumpon.

3) Konflik nelayan pancing dengan pemerintah.

Terkait masalah bantuan rumpon dari pemerintah.

Felt conflict

Beberapa nelayan tidak memperoleh dana bantuan tersebut sebab tidak adanya kejelasan mengenai dana yang turun. Penyelesaian yang mungkin dapat dilakukan yaitu pemerintah memberikan kejelasan terkait dana bantuan yang ada agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

4) Konflik nelayan rumpon dengan nelayan lain.

Perebutan sumberdaya di perairan dan konflik penggunaan rumpon.

Manifest conflict

Pemerintah harusnya lebih mengatur posisi antar pemasangan rumpon (jarak antar rumpon tidak terlalu dekat) sehingga penyebaran ikan dapat merata.

(12)

Pembahasan Produktivitas armada pancing di Perairan Puger

Perairan Puger termasuk kedalam wilayah Perairan Selatan Jawa yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia. Produktivitas armada pancing rumpon di Perairan Puger dalam lima tahun terakhir selalu meningkat. Hal ini berarti bahwa kemampuan kapal untuk memperoleh hasil tangkapan juga meningkat. Oleh karena itu, penggunaan armada pancing semakin dimanfaatkan oleh nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Kondisi demikian berarti bahwa penangkapan ikan di Perairan Puger masih tetap tinggi. Jika hal ini masih terus dilakukan, maka dikhawatirkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar Perairan Puger akan cenderung mengarah pada penangkapan berlebih. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi ikan tuna akan menurun dalam beberapa tahun kedepan. Wilayah Perairan Selatan Jawa pada umunya telah mengalami kegiatan penangkapan berlebih. Hal ini disampaikan Nikijuluw (2008) dalam publikasinya bahwa kondisi sumberdaya ikan tuna di sekitar perairan Indonesia, terutama di perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah full-exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada over-exploited atau telah dimanfaatkan melebihi potensi lestarinya. Kegiatan penangkapan yang dilakukan telah melampaui batas daya dukung lingkungannya akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali pada kondisi semula.

Produktivitas pada tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas pada tahun 2008 sedangkan jumlah armada keduanya sama besar. Kondisi ini salah satunya dapat disebabkan karena jumlah hari operasi di laut pada tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2008. Artinya, sumberdaya ikan di Perairan Puger semakin dimanfaatkan secara intensif oleh nelayan. Sebagaimana dikatakan oleh Saputra (2011) bahwa peningkatan jumlah hari operasi di Samudera Hindia saat ini semakin tinggi dibandingkan dengan peningkatan jumlah armada.

Produksi ikan di suatu pelabuhan perikanan tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah armada saja tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan ikan di wilayah perairan tersebut. Keberadaan ikan dapat dipengaruhi oleh musim dan pola tingkah laku makan ikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Kurnia (2012), yaitu berfluktuasinya produksi ikan diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola berkumpulnya ikan disekitar rumpon yang tidak merata, pola tingkah laku makan ikan, dan rantai makanan yang terjadi di sekitar rumpon. Pola tingkah laku makan ikan dipengaruhi oleh waktu atau musim. Kondisi ini akan mempengaruhi keberadaan ikan di sekitar rumpon. Pada saat tertentu kelimpahan ikan akan rendah dan disaat lainnya kelimpahan ikan akan tinggi. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi jumlah hasil tangkapan nelayan.

Dalam mengatasi over-exploited, pengaturan alat tangkap dan rumpon perlu diperhatikan dalam pemanfaatannya menciptakan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Perlunya pengaturan jarak rumpon di wilayah tertentu yaitu sekitar 10 mil dan harus memiliki perizinan dalam pemasangannya. Pengaturan rumpon ini didasarkan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan KEP.30/MEN/2004. Masalah perizinan dan jarak rumpon (baik jarak dari pantai maupun jarak antar rumpon) masih belum dipenuhi di banyak lokasi pemasangan

(13)

rumpon. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terkait persoalan ini, kemudian dilakukan sosialisasi mengenai pemahaman aturan rumpon dengan fokus terhadap permasalahan yang ada di daerah tersebut. Selanjutnya membuat sistem hukuman pada pemilik rumpon yang melanggar aturan yang sudah ada. Jika sudah ada zonasi pengaturan rumpon, hal ini dapat diintegrasikan didalam dokumen rencana pengelolaan kawasan (management plan) (Aryogagautama 2012).

Komposisi hasil tangkapan armada pancing

Hasil tangkapan tuna keseluruhan yang diperoleh merupakan jenis Madidihang atau yellowfin tuna. Tuna jenis ini merupakan jenis tuna kosmopolitan yang hidup di kawasan sub tropis Samudera Hindia, Pasifik, dan Atlantik dan berasosiasi dalam gerombolan yang sama dengan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan juvenil tuna mata besar (Thunnus obesus). Oleh karena itu, ketiga jenis tuna ini sering tertangkap oleh alat tangkap yang sama.

Hasil tangkapan nelayan lebih banyak berukuran tidak layak tangkap. Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa nilai produktivitas armada pancing semakin mengalami peningkatan, artinya produksi ikan semakin meningkat. Nilai produktivitas armada pancing tinggi dan ukuran hasil tangkapan yang diperoleh masih belum layak tangkap, maka ini menunjukkan bahwa kelestarian sumberdaya ikan telah menurun yang ditandai dengan ukuran ikan hasil tangkapan cenderung mengecil (Monintja 1995 dalam Nurdin 2012). Jumlah ikan tidak layak tangkap ini dapat terjadi karena tingginya intensitas penangkapan di Perairan Puger. Hal ini dapat membuktikan bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran dewasa telah dibatasi dengan adanya peningkatan penangkapan. Hal yang sama juga terjadi di Perairan Atlantik (Venezuela dan Teluk Guinea) dimana rata-rata ukuran ikan yang tercatat belum mencapai tingkat matang gonad, serta daerah perairan timur Brazil dimana ukuran yellowfin tuna terus menurun secara kontinu menjadi dibawah 140 cm (Lessa 2004).

Ukuran ikan yang masih sangat kecil juga dapat disebabkan karena pada saat penelitian (Bulan Januari dan Mei) merupakan periode pemijahan ikan. Nikijuluw (2008) mengatakan bahwa periode pemijahan ikan ini dimulai pada bulan Desember hingga Maret di perairan sekitar khatulistiwa sampai 100 LS. Oleh karena itu dapat diduga bahwa pada saat periode pemijahan, sumberdaya ikan yang tersedia di Perairan tersebut didominasi oleh juvenil tuna.

Selain itu, musim juga mempengaruhi hasil tangkapan tuna. Pada saat musim puncak (Juni hingga September), hasil tangkapan lebih besar dibandingkan dengan musim paceklik (Desember hingga Maret). Saat musim transisi, kelimpahan ikan juga masih sedikit sehingga berdampak pada jumlah hasil tangkapan yang dibawa/didaratkan oleh nelayan. Dari hasil wawancara, sejumlah besar nelayan mengatakan bahwa ikan tuna yang didaratkan sejak tahun 2010 ini memiliki ukuran yang kecil. Sejumlah kecil nelayan berpendapat bahwa banyaknya ikan tuna yang diperoleh dengan ukuran kecil (<25 kg) karena pada saat tersebut sedang terjadi musim paceklik.

Penangkapan ikan tuna yang berukuran relatif kecil merupakan penangkapan yang tidak bertanggung jawab. Ikan tuna masih berkesempatan untuk berkembang dan melakukan pemijahan agar siklus hidupnya dapat berjalan dengan baik. Penangkapan tuna dengan ukuran kecil sangat dipengaruhi oleh pola

(14)

pikir nelayan terhadap penangkapan tuna yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Penggunaan pancing layangan dan prawean untuk penangkapan tuna tidak layak dari sisi ekologi sebab pancing tersebut tidak dapat menjangkau habitat hidup ikan tuna dewasa. Pancing prawean dan layangan hanya menangkap ikan tuna yang berukuran kecil. Hal ini diperkuat oleh Barata (2011) yang mengatakan bahwa penggunaan rawai tuna dengan tipe permukaan akan memungkinkan tertangkapnya tuna dari berbagai variasi ukuran, sehingga perlu adanya perubahan pemasangan pancing untuk mencegah tertangkapnya tuna yang berukuran kecil. Penelitian Josse et al. (2000b) yang menunjukkan bahwa ikan tuna kecil bergerombol/schooling pada strata kedalaman antara 10 hingga 50 m.

Permasalahan penangkapan ikan yang belum layak tangkap dapat dicegah dengan melakukan sosialisasi daerah mengenai keberlanjutan sumberdaya tuna. Pada umumnya nelayan Puger berpendapat bahwa tidak pernah adanya sosialisasi atau himbauan dari dinas setempat mengenai penangkapan tuna yang bertanggung jawab dan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan. Oleh karena itu, sistem kelembagaan (POKMASWAS) atau lembaga swadaya juga harus digerakkan. Lembaga tersebut bertugas mengatur jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, alat tangkap yang dapat digunakan, serta melaksanakan program pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu. Adanya aturan tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan baik. Agar program tersebut dapat berjalan dengan baik, lembaga swadaya juga harus dapat melakukan pendekatan kepada masyarakat nelayan dengan baik. Apabila program berjalan dengan baik, maka para nelayan juga ikut berpartisipasi dalam melaksanakan penangkapan ikan yang bertanggung jawab.

Kualitas hasil tangkapan

Ikan tuna merupakan produk yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat di ekspor, sehingga ikan tuna membutuhkan cara penanganan khusus. Proses penanganan ikan merupakan hal yang paling penting agar hasil tangkapan tetap segar saat ikan ditangkap hingga didaratkan di pelabuhan. Ikan tuna yang layak dijadikan produk ekspor khusunya Jepang (sebagai fresh sashimi) adalah ikan yang memiliki nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006c). Ikan tuna yang didaratkan di PPI Puger lebih banyak tidak memiliki peluang ekspor sebab nilai organoleptik tuna masih dibawah 7. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kualitas ikan tuna yang rendah di Puger sangat dipengaruhi oleh penanganan ikan saat di palkah dan setelah di daratkan.

Sistem penanganan ikan tuna menurut Poernomo (2002) tidak diterapkan dengan baik, baik pada saat kapal telah sampai di pelabuhan maupun saat pembongkaran. Cara pembongkaran palka pendingin ikan tuna menurut Poernomo (2002), yaitu:

1) Saat ikan dikeluarkan dari palka, sangat disarankan ikan dibungkus dengan kain pendingin (biasanya kain terpal atau karung tebal yang selalu dalam keadaan basah dan dikaitkan pada mata katrol). Diatas lubang palka dipasang semacam tenda untuk melindungi ikan dan isi palka dari sinar matahari. Ikan harus dijaga agar tidak menyentuh lubang palka, harus diusahakan sehalus mungkin tanpa tonjolan-tonjolan yang mungkin dapat merusak kulit dan tubuh ikan.

(15)

2) Ikan dapat diturunkan dari kapal ke dermaga secara manual. Sebaiknya juga diberi tenda pelindung dari sinar matahari. Ikan harus diberi pelindung dengan plastik/kain/karung tebal.

Tuna yang didaratkan di PPI Puger, diletakkan di tanah tanpa diselimuti oleh kain atau plastik pelindung. Pengangkutan ikan dari kapal ke darat dengan tidak hati-hati masih sering terjadi di PPI Puger ini. Hal tersebut menyebabkan ikan mudah terkena benturan dan terkontaminasi dengan benda lain. Benturan dan kontaminasi dapat mempengaruhi kondisi fisik ikan tuna. PPI Puger tidak memiliki cold storage yang berguna untuk menampung ikan tuna setelah didaratkan. Penyimpanan ikan di dalam cold storage untuk menjamin kesegaran ikan dan tidak mudah mengalami degradasi mutu.

Quang (2005) mengatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan selama penanganan saat pembongkaran hingga pengangkutan. Suhu ikan harus selalu dingin, memperkecil sentuhan fisik, menghindari sinar matahari langsung, serta memperkecil terjadinya kontaminasi merupakan hal yang perlu diperhatikan saat penanganan ikan.

Walaupun ikan yang didaratkan di Puger belum mengalami pembusukan, namun nelayan di Puger banyak mengabaikan hal-hal paling prinsip yang perlu diperhatikan selama penanganan ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009) menjelaskan bahwa hasil tangkapan tuna sudah dalam keadaan tidak baik sejak berada diatas kapal dan penanganan yang buruk sampai hinterland. Cara penanganan ikan yang masih bersifat tradisional dan belum memanfaatkan teknologi masih sering terlihat di PPI Puger. Penanganan tuna mulai dari pendaratan hingga pendistribusian masih dilakukan secara manual.

Peningkatan kualitas mutu ikan harus diterapkan di PPI Puger sebab kualitas ikan yang tinggi akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang tinggi pula. Sosialisasi kepada nelayan, pedagang, atau pengusaha agar tercipta penanganan hasil tangkapan yang higinis dan sanitasi yang baik harus dilakukan secara intensif serta pemantauan terhadap kegiatan pendaratan, pembongkaran, pemindahan ikan tuna. Penangkapan ikan sebaiknya dilakukan bukan berdasarkan kuantitas, melainkan berdasarkan kualitas ikan yang tetap terjaga hingga pendaratannya.

Ikan tuna yang memiliki kualitas rendah seharusnya masih dapat diolah agar menghasilkan produk olahan yang dapat dijual dan tetap memberikan nilai ekonomi. Hal ini dapat dilakukan apabila di darah Puger memiliki industri pengolahan ikan. Nilai yang dihasilkan dari produk olahan ini nantinya akan memberikan pemasukan bagi daerah. Hal ini dapat terwujud jika ada dukungan dari pemerintah untuk membangun kawasan industri perikanan agar dapat mendukung kegiatan perekonomian.

Konflik sosial nelayan di PPI Puger

Konflik yang terjadi di masyarakat nelayan Puger dan pihak lainnya disebabkan karena adanya pemikiran atau visi yang tidak sejalan. Jenis dan sifat konflik dapat dilihat pada Tabel 4.3. Konflik antara nelayan dengan TPI yaitu mengenai pendaratan tuna yang tidak dilakukan di TPI. Konflik tersebut masih bersifat latent conflict. Menurut Nurdayasakti (2011), konflik yang masih bersifat laten dan belum tampak dipermukaan karena masih berupa benih-benih yang suatu saat dapat muncul kepermukaan. Penyelesaian konflik yang bersifat laten

(16)

masih cenderung membiarkannya sebab nelayan tidak menginginkan adanya pertentangan fisik. Sikap pembiaran seperti ini pada akhirnya akan merugikan pihak TPI dan nelayan secara umum karena ikan tidak dapat dilelang serta harga akan terus dimonopoli oleh pengambek. Pihak TPI juga tidak dapat melakukan pendataan produksi hasil tangkapan tuna di Perairan Puger.

Konflik antar nelayan terkait rumpon bantuan merupakan felt conflict sebab konflik yang ada sudah berdampak secara emosional namun tidak sampai menimbulkan perpecahan antara kedua belah pihak. Konflik tersebut dapat meluap menjadi kekerasan jika tidak adanya peningkatan komunikasi diantara mereka. Oleh karena itu, penyelesaian yang dapat dilakukan adalah pengaktifan kelompok sosial nelayan rumpon sebagai wadah untuk menampung aspirasi, keluhan, serta masalah yang terjadi (terutama terkait bantuan rumpon). Kemudian dilakukan musyawarah antar kelompok nelayan. Musyawarah tersebut nantinya dapat mengetahui bagaimana proses dan syarat pengajuan dana rumpon kepada dinas sehingga mempermudah kelompok nelayan dalam menerima bantuan.

Jahan et al. (2009) mengatakan bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam membangun kesepakatan antara pihak yang saling bertentangan. Oleh karena itu, harapan dari penyelesaian konflik yaitu adanya tindakan dari stakeholders baik masyarakat maupun instansi untuk membangun musyawarah terkait kejelasan dana bantuan rumpon.

Konflik yang sudah nyata terjadi di masyarakat nelayan yaitu: konflik nelayan rumpon dengan nelayan lain akibat perebutan sumberdaya di perairan, konflik antar nelayan terkait penggunaan alat tangkap. Konflik ini disebut sebagai konflik manifest dimana konflik tersebut sudah nyata terjadi di masyarakat nelayan (Nurdayasakti 2011). Penyelesaian konflik ini membutuhkan pendekatan secara hukum dalam pengaturan jarak antar rumpon. Sebagaimana dikatakan oleh Mappamiring (2005) bahwa dampak rumponisasi dapat dicegah dengan melakukan penguatan sistem kelembagaan pengelolaan rumpon di suatu perairan.

Konflik nelayan dengan aparat pemerintah yang terjadi di Pantai Puger bersifat felt conflict. Mekanisme penyelesaian konflik ini masih belum banyak dilakukan di Puger sebab posisi antara nelayan dan pemerintah yang jauh dari kesetaraan sehingga dapat berpotensi menimbulkan konflik yang lebih luas. Dampak dari konflik ini jika dibiarkan yaitu akan menimbulkan terjadinya aksi anarkis masyarakat nelayan terhadap pemerintah seperti demonstrasi di depan kantor pemerintah. Selain di Indonesia, konflik dalam perikanan juga terjadi di Bangladesh. Hal yang menjadi pemicu terjadinya konflik adalah persaingan akses penangkapan, dan konflik antara stakeholders dengan lembaga berbeda akibat tumpang tindihnya fungsi serta lemahnya sturktur institusi (Jahan et al. 2009).

Kesimpulan

Produktivitas rata-rata armada pancing dalam lima tahun terakhir sebesar 1436.7 kg/unit dengan perkembangan yang cenderung meningkat. Produktivitas armada pancing yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 176.923 kg/unit. Sedangkan produktivitas armada pancing tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 2066.376 kg/unit.

Gambar

Tabel 4.1  Produktivitas armada pancing periode 2007-2011  Tahun  ∑ Armada  pancing  Produksi  tuna (Kg)  Produktivitas (Kg/Unit)  %  Perubahan  2007  208  36800  176.923  2008  222  394000  1774.775  903.13  2009  222  415200  1870.270  5.38  2010  310  4
Gambar 4.3 Sebaran berat sampel tuna
Tabel 4.2  Nilai organoleptik ikan tuna di PPI Puger  No  Nilai Organoleptik  Jumlah ikan
Gambar 4.7  Diagram akar permasalahan konflik nelayan rumpon di Puger

Referensi

Dokumen terkait

dapat dilihat bahwa tingkat persentase penetasan siste relatif sama bahkan menurun artinya penggunaan larutan ini tidak memberikan pengaruh yang baik, hal

pada mahasiswa FKIP Universitas Lampung angkatan 2014 yang berasal dari. luar Propinsi Lampung dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Menindaklanjuti apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksud, Pemerintah Kota Mataram melalui Badan Kepegawaian Daerah telah menetapkan jumlah pejabat

Pengambilan data di SMKN 7 sangat terbantu oleh pihak sekolah karena mereka rasa bentuk evaluasi dalam hal masukan sangat mereka butuhkan. Skore yang didapat

Perlu diingat bahwa unsur-unsur tubuh sedimen dasar yang ada dalam sistem ini sama dengan unsur-unsur tubuh sedimen yang ada di muara sungai

Dengan adanya pendistribusian database nama host dan alamat IP, maka tiap organisasi yang memiliki jaringan di dalam domain tertentu hanya bertanggung jawab terhadap database

Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda dengan klon