• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pusat Pemerintahan

Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu dilema karena kota dan kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatanannya dari segi hirarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).

Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu memindahkan ibukota dari sebelumnya berada pada wilayah Kota Padangsidimpuan ke wilayah perencanaannya ke Kecamatan Sipirok, salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan

(2)

meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).

Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melalui perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administratif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal- hal mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).

Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melalui perancangan kawasan pemerintahannya (Purba, 2005).

Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:

a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk menjadikan ibukota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak

(3)

saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk kepentingan kegiatan ekonomi sosial.

b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya. c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang

memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.

Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).

2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan

Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat sentral aktifitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang lebih berfariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi

(4)

kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah hinterland-nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara wilayah (Sukirno, 1976).

Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan. Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat setempat maupun pendatang untuk beraktifitas di dalam kota, walaupun dia bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).

Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau lebih dikenal dengan sentral place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah- daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.

Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut- larut maka akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:

(5)

1) Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan (skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

2) Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.

3) Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota utama dengan kota menengah/ kecil.

2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota

Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi, dan lain-lain (Tarigan, 2006).

Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari

(6)

pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan.

Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri. Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status administrasinya, yakni :

1) Kawasan perkotaan berstatus administratif daerah kota;

2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten; 3) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang

mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan

4) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).

Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006), sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/ distribusi komoditas dan kota

(7)

sebagai kode yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan hirarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah- pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2) memungkinkan adanya differensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3) sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.

Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi dasar kota/ perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods processing (manufacturing), Residential subcenters.

2.2.2. Model Perkembangan Kota

Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan

(8)

pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi. Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.

Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota. Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).

Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; (2) ketidakefektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/ persepsi tentang rencana tata ruang.

2.3. Teori Pusat Pelayanan

Pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar dapat menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka tinggal di suatu wilayah. Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang merupakan

(9)

kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat) dimana permintaan dari penduduk yang menggunakannya. Gagasan sentral membenarkan clustering di tempat yang sama jasa produksi dan tingkat yang sama dari rentang yang sama ditujukan pada populasi yang tersebar di wilayah yang saling melengkapi (atau daerah pengaruh), pelanggan yang terpolarisasi oleh pusat (Hartshorn, 1980).

2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan

Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good. Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal konsumen, yang diukur dari jarak tempat tinggal konsumen menuju ke pusat pelayanan.

Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas. Hartshorn (1980), jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan.

(10)

Guna memenuhi kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri.

Hasil penelitian Christaller (dalam Hartshorn, 1980) menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarki pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah. Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi, dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good.

Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good) adalah perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut mendapatkan ideal outer range sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer range dilayani secara bersama sehingga real outer range mengecil.

2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Beberapa teori lain dengan penerapan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location Theory), teori pusat (Sentral Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembangan (Growth Pole Theory).

(11)

Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.

b. Teori Pusat Pelayanan

Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).

c. Teori Kutub Pertumbuhan

Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli geografi, teori kutub pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industri), konsep polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect). Tarigan (2006), teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber- sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/ kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.

(12)

2.4. Pengembangan Wilayah

Sampai sekarang visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian pertumbuhan wilayah regional, perkotaan, dan perdesaan yang diselenggarakan secara holistik, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Termasuk didalamnya permukiman untuk semua orang, yang layak huni, terjangkau, berjati diri dan mendorong produktifitas warganya.

Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang melimpah.

(13)

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan propinsi. Persoalan dalam penataan ruang umumnya muncul karena adanya ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan, makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan kriteria yang secara umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Propinsi antara lain: pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik, swasembada, keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.

Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (propinsi, kabupaten), dan perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan. Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak dapat mengabaikan perkembangan wilayah di mana kota tersebut berada. Di dalam perencanaan kota, perencanaan wilayah (propinsi, kabupaten) berperan dalam menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan

(14)

seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas–fasilitas apa yang harus disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya.

2.5. Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif atau logica verbal analysis digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa, menyintesa, menjabarkan, dan menghubungkan fenomena riil dengan hasil analisis yang dilakukan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang realistis.

Dalam pendekatan ini manusia menjadi focus of analysis yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya (human oriented disipline) yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities (Yunus 2005). Penempatan manusia sebagai focus of analysis salah satunya melalui pendekatan actor-oriented analysis.

Walaupun tidak selalu keputusan yang dikambil terkesan merugikan, namun sering kali yang menonjol adalah nuansa politis dari pada teknis. Informan untuk analisis ini merupakan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dan masyarakat (akademisi, dunia usaha, dan masyarakat umum).

2.6. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity, dan Treatment) adalah suatu metode analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk

(15)

merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Oppurtunity, namun secara bersamaan dapat menimbulkan kelemahan (weakness) dan ancaman (Treatment). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, misi, tujuan, strategi, dan kebijakan (Rangkuti,1997).

2.7. Penelitian Sebelumnya

Beberapa Penelitian serupa yang telah dilakukan berkaitan dengan pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan serta kaitannya dengan pengembangan wilayah antara lain :

Bonar (2010) yang menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya dengan metode deskriptif dalam menganalisis tingkat lapangan kerja dan analisis uji beda rata-rata (t-test) untuk menganalisis tingkat pendapatan masyarakat sebalum dan sesudah relokasi pusat pemerintahan di Kabupaten Simalungun. Setelah relokasi di tinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan, kecukupaan pelayanan, dan kesesuaian pelayanan belum sepenuhnya terpenuhi, dan pendapatan rata-rata nominal berbeda tetapi tidak signifikan. Lapangan kerja yang yang bekerja di sektor pertanian menurun dan masyarakat yang bekerja di sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan.

(16)

Kabupaten Pekalongan menggunakan metode deskriptif meliputi data PDRB Kabupaten Pekalongan serta pendapatan perkapita dan jumlah penduduk per kecamatan menyimpulkan bahwa pemindahan ibukota memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan pada masing-masing kecamatan, meskipun juga menimbulkan dampak negatif yang juga perlu diperhatikan.

Penelitian Haris (2005), tentang evaluasi kriteria lingkungan dalam pemilihan ibukota baru: studi kasus pemindahan ibukota Kabupaten Bima menggunakan metode skala Guttman dan Likert, dimana penilaian dari segi kependudukan, segi kelengkapan fasilitas dan tingkat aksesibilitas antar wilayah perencanaan, menyimpulkan: (a) berdasarkan kriteria umum pemilihan lokasi ibukota Kabupaten Bima Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi. Dengan demikian kecamatan Woha dipilih sebagai lokasi ibukota baru Kabupaten Bima, (b) berdasarkan kriteria lingkungan alami dan lingkungan sosial Kecamatan Bolo memiliki nilai tertinggi sedangkan berdasarkan lingkungan binaan Kecamatan Woha memiliki nilai tertinggi, (c) kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan ibukota baru tidak mencerminkan dan mempertimbangkan kriteria lingkungan secara komprehensif, (d) ibukota terpilih yang dikaji berdasarkan kriteria umum tidak memenuhi syarat lingkungan khususnya aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Penelitian Soenkarno (1999), yang mengkaji tentang proses pemindahan ibukota Kabupaten (Studi Kasus Kabupaten Bekasi-Cikarang). Setelah dilakukan kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan

(17)

rujukan pada proses pemindahan ibukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundangundangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan ibukota Kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal".

Penelitian Bahsan (2005), tentang sikap masyarakat Kecamatan Natar terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan menggunakan metode penelitian deskriptif, menyimpulkan bahwa dari aspek kognitif ternyata 53% responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan. Dari aspek afektif 35% responden memilih pro dalam menanggapi rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan. Sedangkan dari aspek konatif diketahui 29% responden bertingkah laku positif dalam menindaki rencana pemindahan ibukota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar Lampung Selatan.

Studi Hardjasaputra (2003), tentang pemindahan ibukota Kabupaten Tasikmalaya dalam perspektif historis, menyimpulkan bahwa pemilihan tempat untuk ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya perlu didasarkan atas hasil kajian dua aspek. Pertama, hasil kajian aspek fisik, yang telah dilakukan oleh LAPI-ITB. Kedua, hasil kajian sejarah mencakup aspek sosial budaya, atau kajian sosial budaya dengan pendekatan sejarah. Kajian kesejarahan dan sosial budaya akan memperkuat/ menunjang hasil kajian aspek fisik. Perpaduan hasil kajian kedua aspek itu akan

(18)

tempat, dan dasar yang kuat pula bagi DPRD dalam membuat keputusan mengenai penetapan tempat bakal ibukota baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu berarti, pemilihan dan penetapan tempat untuk ibukota baru itu dilakukan secara objektif dan proporsional.

2.8. Kerangka Pemikiran

Pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan didasarkan pada dikeluarkannya Undang Undang 37 dan 28 Tahun 2007 yang dijelaskan pada pasal 21 ditetapkan pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok dan 18 (delapan belas) bulan setelah Undang Undang ini diundangkan. Pada hakikatnya masih berada di Kota Padangsidimpuan sudah 4 (empat) tahun lebih Undang Undang tersebut diundangkan.

Kelayakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan dari Kota Padangsidimpuan ke wilayah Kecamatan Sipirok untuk menjadikan tempat baru sebagai pusat pelayanan pemerintahan sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Sebagai ibukota kabupaten yang baru diharapkan memenuhi tiga prinsip berdasarkan sentral place theory (Haggett, 2001) yaitu: keterjangkauan (affordability), kecukupan (recoverability) dan kesesuaian (replicability) dijadikannya ibukota kabupaten. Menurut analisis faktor dan indikator dalam rangka pembentukan daerah otonom baru dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan,

(19)

penghapusan dan penggabungan daerah yang dipakai dalam menenentukan ibukota kabupaten diseluruh kabupaten di Indonesia.

Adanya rencana pemindahan pusat pemerintahan sesuai dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan dan faktor eksternal dan faktor internal dalam potensi ketersediaan wilayah tempat pemindahan daerah ibukota baru. Setelah dilakukan kajian dapat diamati paling sedikit ada 6 (enam) tahapan yang dapat dijadikan rujukan pada proses pemindahan ibukota Kabupaten meliputi: a) dasar pertimbangan dilakukannya pemindahan, b) persyaratan normatif, c) peraturan dan perundangundangan yang terkait, d) ketersediaan lahan, e) implikasi keputusan pemindahan ibukota kabupaten, dan f) aspek pengaruh kekuatan "eksternal" (Soenkarno 1999).

Kerangka pikir dalam penelitian ini didasarkan pada penetapan Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan pemerintahan terhadap perkembangan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di Sipirok. Hal ini dapat dilihat pada penduduk wilayah yang semakin meningkat setiap tahun dan kebutuhan yang semakin kompleks dan beragam. Kebutuhan didasarkan untuk mencapai kesejahteraan dari daerah kota sampai ke daerah pelosok.

Kecamatan Sipirok juga menyimpan banyak potensi, antara lain di bidang perikanan, perkebunan, indusri kecil dan kerajinan tangan, agroindustri dan pariwisata. Potensi tersebut dapat dikembangkan guna menarik investor dan dapat dijadikan keunggulan komparatif bagi Kecamatan Sipirok sehingga diharapkan dapat

(20)

memenuhi peran ibukota Kecamatan Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Untuk mengetahui kondisi wilayah baik dari faktor pendukung dan faktor yang tidak mendukung dilakukan identifikasi diantaranya identifikasi wilayah pengaruh, identifikasi dengan interaksi wilayah ibukota kecamatan dengan wilayah belakangnya dan identifikasi ketersediaan pusat pelayanan. Hasil pengolahan data yang diperoleh dari identifikasi kemudian dianalisis dengan metode deskriptif dan analisis SWOT. Dari analisis tersebut akan diketahui peran Sipirok sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan pemerintahan wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan dan kebutuhan yang dibutuhkan dalam rencana stategi pengembangan wilayah Sipirok selanjutnya. Setelah tahapan analisis, akan diberikan temuan penelitian, kesimpulan penelitian dan rekomendasi yang diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan.

(21)

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Lahirnya UU 37 dan 38 Tahun 2007 ditetapkannya Pemindahan Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok yang sampai

sekarang masih berada di Kota Padangsidimpuan

Keterjangkauan (Affordability) • Rentang kendali - Jarak - Kelancaran Faktor Eksternal Faktor Internal

Strategi Pengembangan Wilayah Analisis Kesiapan (PP 78 Tahun 2007) Kecukupan (Recoverability) • Kependudukan • Sosial budaya • Sosial Politik • Luas daerah • Pertahanan • keamanan • Fasilitas – fasilitas publik Kesesuaian (Replicability) • Kemampuan ekonomi • Potensi daerah • Kemampuan keuangan • Tingkat kesejahteraan masyarakat SWOT

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Seperti dijelaskan bahwa suatu organisasi memiliki struktur yang menjadi satu kesatuan antara satu bagian dengan bagian lainnya karena ini merupakan suatu sistem,

Struktur organisasi harus dapat menjelaskan secara rinci pemisahan fungsi- fungsi yang berkaitan dengan pengembangan, pemeliharaan, dan operasi dari sistem

Menurut Iswanto (2006), beberapa fungsi ruang publik secara umum antara lain adalah: (1) sebagai pusat interaksi untuk kegiatan-kegiatan masyarakat baik formal maupun informal

Hal ini berkaitan dengan fraud diamond theory, dimana terdapat peluang akibat sistem pengendalian internal yang lemah dan rasionalisasi bagi pegawai terhadap

Dari beberapa defenisi diatas, sistem dapat disimpulkan sebagai sekumpulan perangkat komponen yang saling berhubungan sehingga dapat membentuk satu kesatuan,

Dengan pendekatan komponen sistem dapat didefenisikan sebagai kumpulan komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk satu kesatuan untuk mencapai

Menurut Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal dalam SPAI (2004;19) menyatakan : Penanggungjawab fungsi audit internal harus mengelola fungsi audit internal secara

mana seluruh benda di dunia ini dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya sebagai bagian dari satu kesatuan pada sistem terpadu menggunakan jaringan