• Tidak ada hasil yang ditemukan

sifat-sifat yang berbeda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "sifat-sifat yang berbeda."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA 1.1.Letak Suku Toraja

Suku Toraja berada di jazirah selatan Pulau Sulawesi atau Provinsi Sulawesi Selatan bersama tiga suku bangsa lainnya, yakni suku bangsa Bugis, Makassar, dan Mandar. Sekarang ini suku Toraja “dialamatkan” kepada mereka yang mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Namun menurut antropolog Belanda: A. C. Kruyt, bahwa masyarakat Toraja sebagai satu etnis sesungguhnya lebih luas dari pada yang tinggal mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Ihromi mengutip penelitian A. C. Kruyt, mengatakan: gugusan golongan etnis Toraja dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu:

a) Orang Toraja Timur, tinggal disekitar Poso (Sulawesi tengah), yang disebut Toraja bare’e, karena kata yang digunakan untuk “tidak” adalah bare’e.

b) Orang Toraja Barat, mendiami daerah sekitar Palu Sulawesi Tengah. Menurut Kruyt, suku-suku Toraja Timur menunjukkan lebih banyak sifat-sifat keseragaman dari pada orang Toraja Barat. Diduga orang-orang Toraja Barat terlalu lama saling terpisah sehingga walaupun tadinya merupakan suatu golongan yang homogen, namun dalam waktu yang terisolasi itu berkembanglah sifat-sifat yang berbeda.

c) Orang Toraja Selatan, mendiami daerah yang kini disebut Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (Provinsi Sulawesi

(2)

Selatan). Kruyt menyebutnya Toraja Tae’, karena kata yang digunakan untuk meniadakan adalah tae’; juga sering disebut Toraja Sa’dan, sebab wilayah ini dialiri sungai Sa’dan.

Kruyt menganggap ini satu golongan etnis yang sangat besar, dia menyebutnya “orang Toraja”. Sesuai dengan pengelompokan rumpun etnis, budaya, dan bahasa di Sulawesi Selatan dikenal empat kelompok rumpun seturut dengan konsep budaya “Tallu Bottona, A’pa’ Pada-pada” (tiga pucuk, empat bersama). Dalam bahasa Bugis “Tellu Boccoe, Appa’ Pada-pada” diturunkan dari makna keturunan Lakipadada, yakni 3 putra dan seorang putri dalam 4 bersaudara yang mula-mula mengembangkan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah yang menjadi leluhur kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan.

Setiap etnis, suku, ras, atau golongan suatu kelompok masyarakat dapat diketahui tingkat kekerabatannya berdasarkan hubungan dan kemiripan pada aspek budaya dan pendukungnya. Karena itu suku Toraja dapat digolongkan menjadi lima kelompok yaitu: Toraja Enrekang (Toraja selatan) yang berdomisili di Kabupaten Enrekang, Toraja Sa’dan (Toraja Tengah) sekarang ini mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, Toraja Bare’e (Toraja Utara) yang berdomisili di Provinsi Sulawesi Tengah, Toraja Mamasa (Toraja Barat) yang berdomisili di Provinsi Sulawesi Barat, Toraja Ala’ (Toraja Timur) yang berdomisili di sepanjang pesisir teluk Bone termasuk daerah Babo di Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Di daerah pesisir timur Sulawesi dihuni oleh To

(3)

Luwu’ (orang Luwu’, penghuni Luwu’), secara etnis dan linguistis termasuk kelompok Toraja, tetapi mayoritas orang Luwu’ menganut agama Islam dan sudah sejak lama berada dibawah pengaruh Bugis dari selatan. Di Luwu’, bahasa Bugis dan bahasa Toraja merupakan bahasa komunikasi; di mana-mana di Luwu’ bahasa Toraja bisa dipergunakan, sekalipun dengan aksen dan dialek yang berbeda-beda. Sebaliknya, bahasa Bugis hanya digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu, terutama mereka yang asal Bugis. Dengan demikian secara antropologi, sosial dan budaya tidaklah tepat ‘mengalamatkan’ suku Toraja hanya kepada mereka yang berada dalam wilayah atministrasi pemerintahan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara sekarang ini, sebab secara etnisitas suku Toraja itu sangat luas sekali.

c).2. Aluk Sebagai Sistem Religi Masyarakat Toraja

Aluk mengkonstruksi sistem religi masyarakat Toraja dan upacara keagamaan. Menurut orang Toraja, aluk diciptakan oleh para dewa dan dimulai di langit sebab pada mulanya yang ada hanyalah aluk (aluk tipondok do tanggana langi’). Seluruh kehidupan di langit tidak terlepas dari kaidah aluk (naria sukaran aluk), bahkan Puang Matua sendiri pun serta para dewa berada di bawah ketentuan aluk.

Puang Matua yang menciptakan langit dan bumi. Langit dan bumi ini kemudian menikah dan melahirkan tiga dewa yang disebut: Anakna Langi’ Anakna Tana, Anakna Lino artinya anak langit, anak tanah dan anak bumi. Dalam mitologi Toraja diceriterakan:

(4)

langit dan bumi berpisah, bumi di bawah dan langit di atas saling menatap dari jauh, maka tampaklah dataran luas serta sungai-sungai, lahirlah anak langit dan bumi kembar tiga dewa (titanan tallu = konsep trinitas versi Aluk), subur pertumbuhannya serta diberi nama: Pong Tulak Padang, Pong Banggai Rante dan Gaun Tikembong.

Ketiga dewa tersebut mengadakan kombongan kalua’ (musyawarah besar) di langit. Setelah mereka bermusyawarah, maka mereka menciptakan matahari, bulan dan bintang-bintang.

a) Pong Banggai Rante, yang bermukim dan berkuasa atas permukaan bumi.

b) Pong Tulak Padang, yang bermukim dan berkuasa di bawah permukaan bumi yang disebut tokengkok.

c) Gaun Tikembong, yang bermukim dan berkuasa di atas bumi (bumi di atas) yang disebut to palullungan.

Melalui proses perkawinan rumit antara para dewa-dewi di langit, lahirlah manusia yang pertama di langit yang bernama Puang Bura Langi’. Sebagai manusia, tempat Puang Bura Langi’ bukan di langit, melainkan di bumi. Karena itu ia diperintahkan oleh Puang Matua untuk turun ke bumi. Jadi menurut mitos orang Toraja, nenek moyang mereka berasal dari langit, dari alam dewa-dewi. Karena nenek moyang itu turun dari langit ke bumi, maka ia disebut To Manurun di Langi’, artinya orang yang turun dari langit.

Ketika To Manurun (yang disebut juga Pangala Tondok) turun ke bumi, ia membawa Aluk sola Pemali, artinya agama atau pegangan hidup dan pantangan. Aluk sola Pemali berjumlah 7.777.777 buah, dalam perjalanannya ke bumi dipikul oleh seorang hamba namanya Pong Pakulando. Karena begitu banyaknya beban

(5)

ini, hamba tersebut tidak sanggup memikulnya, oleh karena itu sebagian tinggal di langit dan yang sampai ke bumi Cuma 7.777 buah. Tetapi yang tinggal di langit sewaktu-waktu dapat diambil bila diperlukan.

Sebagaimana dituturkan dalam Passomba Tedong (PT) yang merupakan ‘buku suci’ Aluk, ke-7.777 aluk inilah yang mengatur seluruh kehidupan orang Toraja, baik kehidupan keagamaan, maupun kehidupan kemasyarakatan. Aluk merupakan tata hidup yang holistik. Aluk ini dikristalisasikan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan atau tradisi, lalu melembaga dalam, bentuk adat. Sebab itu dikalangan orang Toraja, aluk dan adat tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terayam dengan erat, bahkan boleh dikatakan keduanya jadi sama. Aluk Sanda Pitunna berasal dari langit, dan realitas ini beserta seluruh aspek kehidupan berada dibawa kuasa dan pengawasaannya. Berdasarkan konsepsi dasar ini, dapat disimpulkan bahwa aluk jelas merupakan falsafah hidup holistik, yang memanifestasikan diri di dalam adat sebagai cara hidup (adat lihat 3.4).

Sedangkan upaya manusia mengekspresikan dirinya sebagai cara hidup, itu merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan adalah produk aluk dan adat, tidak dapat dipisahkan darinya (kebudayaan lihat 3.5). Kehidupan ini totalitasnya adalah aluk, dan “integratif”, mempersatukan segalanya menjadi satu kesatuan. Jadi, dalam kosep Toraja, aluk, adat dan kebudayaan tidak bisa dipilah-pilah, usaha untuk memilah sangat tidak mungkin sebab kebudayaan mencakupi kehidupan spiritual dan material.

(6)

Aluk dan adat ini diwujudkan dalam dua jenis upacara, yang lazim disebut Aluk silau’ eran simuane tallang, artinya upacara yang bertingkat-tingkat dan saling berpasangan. Aluk silau’eran simuane tallang ini terdiri atas:

a) Aluk Rambu Tuka’ (rambu = asap, tuka’ = mendaki, naik) atau sering pula disebut aluk rampe matallo (rampe = sebelah, matallo = timur). Upacara ini dilakukan disebelah Timur rumah tongkonan dan diselenggarakan pada waktu matahari mulai naik di sebelah Timur. Upacara ini berhubungan dengan kesukaan, yaitu berupa penyembahan kepada Puang Matua.

b) Aluk Rambu Solo’ (solo’ = turun), atau sering pula disebut aluk rampe matampu’ (matampu’ = Barat). Upacara ini dilakukan disebelah Barat rumah tongkonan dan diselenggrakan saat matahari mulai condong ke sebelah Barat. Upacara ini berhubungan dengan kedukaan, yakni upacara pemakaman orang mati. Upacara ini berupa penyembahan kepada arwah orang mati. Kedua jenis upacara ini bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat kasta seseorang dalam masyarakat. Pelaksanan Aluk Rambu Solo’ dan Aluk Rambu Tuka’ itu di bawah bimbingan to minaa (imam aluk). Itu berarti upacara tersebut sangat berhubungan dengan struktur sosial masyarakat (diuraikan dibagian 3.3).

Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan (disebut juga Aluk sola Pemali). Aluk

(7)

mengatur kehidupan bermasyarakat, dan ritual keagamaan. Tata cara aluk bisa berbeda antara satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya. Ritual kematian (Aluk Rambu Solo’) dan ritual kehidupan sukacita (Aluk Rambu Tuka’) pelaksanaannya harus dipisahkan. Sebab orang Toraja percaya bahwa ritual Aluk Rambu Solo’ akan mengganggu keharmonisan kehidupan jika pelaksanaannya digabung dengan ritual Aluk Rambu Tuka’. Walaupun kedua ritual tersebut sama pentingnya. Contoh, jika di tongkonan masih ada jenazah yang belum dimakamkan, maka di tongkonan itu belum bisa diadakan ritual rambu tuka’. Sebelum agama monoteis masuk ke Indonesia, agama dan adat tidak pernah bertentangan (dalam ketegangan), karena keduanya merupakan dua aspek dari satu hal yang sama. Adat selalu merupakan buah dari agama kuno.

Tetapi setelah agama monoteis masuk Indonesia, semuanya berubah. Misalnya Islam menegaskan, ada adat yang baik ada pula yang buruk, yang baik dikukuhkan dan yang buruk dihapuskan, hal ini menjadi salah satu tugas kedatangan Islam. Demikian halnya sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke Toraja, aluk dan adat adalah satu. Contohnya dalam upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ seekor babi atau kerbau dipilih untuk dipersembahkan. Sebelum kerbau itu disembelih, maka lebih dahulu diimbo = doa dengan kata-kata sastra (bersifat keagamaan). Ketika hewan itu dipotong-potong (diiris) diambil sediki-sedikit di bagian-bagian tertentu (dititi’-dikiki’-disadi) untuk dipersembahkan sebagai sesajen kepada para dewa. Kemudian danging yang sisah dipotong-potong dan dibagikan kepada hadirin sesuai dengan status sosialnya (aturan aluk dan adat).

(8)

b).3. Struktur Sosial dan Kepemimpinan Masyarakat Tradisional Toraja

Menurut mitos orang Toraja, nenek moyang mereka berasal dari langit dan membawa Aluk sola Pemali (3.2 di atas). Aluk inilah yang mengatur seluruh kehidupan manusia Toraja, baik secara individu maupun komunal. Saat to manurun di langi’ (manusia dari langit) tiba di bumi, ia mendirikan rumah yang disebut tongkonan dan hambanya mendirikan pondok dibelakang tongkonan itu. Tongkonan itu disebut tongkonan layuk, artinya tongkonan yang mulia. Setelah anak-anaknya dewasa, anak-anak itu pindah ke tempat lain dan di sana mereka mendirikan tongkonan baru dan menjadi penguasa di wilayah tersebut. Tongkonan tersebut sering disebut tongkonan pangala tondok, artinya tongkonan yang merintis pembukaan wilayah baru. Fungsinya sama dengan fungsi tongkonan layuk. Masing-masing tongkonan tersebut berkuasa di wilayahnya dan mengklaim seluruh wilayah sekitarnya, termasuk isinya menjadi miliknya.

Keturunan yang lahir dari tongkonan layuk disebut anak tongkonan atau anak Patalo (anak menang), juga sering disebut Tedong Pariu’ (kerbau penarik). Masyarakat yang berada di dalam wilayah kekuasaan tongkonan layuk disebut to umpentionganni tongkonan layuk atau to naonganni tongkonan layuk (umpentionganni = bernaung di bawah; naonganni = dinaunggi oleh), yaitu orang–orang yang berlindung di bawah kekuasaan tongkonan layuk. Dengan demikian tongkonan layuk merupakan sumber dan pusat kehidupan sosial suku Toraja, sebab oleh dan di dalam tongkonan inilah Aluk sola Pemali dipelihara,

(9)

ditegakkan dan diselenggarakan. Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja sebab melambangkan hubungan dengan leluhur, karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta dalam setiap kegiatan di tongkonan. Singkatnya, tongkonan layuk adalah pemilik Aluk sola Pemali. Hal ini Nampak dalam ungkapan masyarakat Toraja:

“Aluk tongkonan dipoaluk, Uainna tongkonan ditimba, Kayunna tongkonan dire’tok, Padangna tongkonan dikumba’ Utanna tongkonan dikalette’.

Secara harafia ungkapan tersebut berarti: aluk (agama) tongkonan dianut, air milik tongkonan ditimba, kayu milik tongkonan dipergunakan untuk seluruh keperluan hidup, sayur milik tongkonan dipetik, dan tanah milik tongkonan diolah. Itulah falsafah tongkonan yang mencerminkan kehidupan bersama itu diawasi dengan ketat oleh tongkonan. Alat pengawasnya ialah aluk, ini menunjukkan bahwa tongkonan merupakan benteng kepemimpinan tradisional.

Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Wilayah kekuasaan sebuah tongkonan layuk mempunyai istilah atau nama yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan nama Bua’, Penanian, Kaparengngesan, atau Lembang. Kepemimpinan tongkonan ini dijelmakan dalam jabatan Parengnge’. Pada hakekatnya, semua anak tongkonan berhak menduduki jabatan yang tertinggi dalam kepemimpinan tradisional Toraja tersebut. Tetapi keturunan yang lahir dari

(10)

sebuah tongkonan layuk tertentu banyak, karena itu salah seorang dari antara mereka dipilih menjadi parengnge’. Syarat-syarat untuk memangku jabatan parengnge’ adalah:

a) Bida, artinya keturunan murni To Manurun di langi’ yang mendirikan tongkonan layuk, strata atas tana’ bulaan = kasta bangsawan murni.

b) Sugi’, artinya kaya

c) Manarang sia kina, artinya pintar, bijaksana, baik hati, bermoral, berbudi luhur

d) Barani, artinya berani dan tegas membela keadilan dan kebenaran.

Pemilihan dan penentuan pemegang jabatan parengnge’ ini dilaksanakan di tongkonan layuk tersebut melalui proses kombongan kalua’ (musyawarah besar). Pada diri Parengnge’ ini bertumpuk beberapa panduan fungsi, yaitu menjadi to mina (imam atau pemimpin ritual aluk) di tongkonan, menjadi ahli hukum dan sekaligus hakim, menjadi pemerintah serta pemimpin rapat atau pertemuan (kombongan kalua’) keluarga tongkonan. Parengnge’ menjadi figur sentral, yang melaksanakan seluruh fungsi kepemimpinan dalam masyarakat, baik fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun keamanan. Tegasnya, ia berfungsi memelihara, melaksanakan dan menegakkan Aluk sola Pemali. Ini berarti sistem kepemimpinan dan pemerintahan tradisional Toraja, yaitu “Tongkonankrasi”, yang bersifat absolutis, otokratis, oligarkis dan paternalistis. Meskipun hanya anak patalo yang berhak dicalonkan untuk kepemimpinan “tongkonankrasi”, bukan

(11)

berarti di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri demokratis. Sebab rakyat, termasuk kaum budak, ikut serta dalam kombongan kalua’ (musyawarah besar) pemilihan pemimpin (to parengnge). Tanpa “persetujuan” rakyat, keputusan anak patalo tidak dapat diberlakukan.

“Tongkonankrasi” merupakan “demokrasi sosio-religius yang terpimpin”, dengan penetapan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam ketentuan aluk dan adat. Jadi, oligarki itu terikat pada ketentuan aluk dan adat. Menjamin pemberlakuan ketentuan-ketentuan aluk dan adat itu termasuk kewajiban pemimpin tongkonan. Pemimpin dan seluruh komunitas persekutuan tongkonan, wajib hidup menurut ketentuan-ketentuan aluk dan adat. Pemimpin tongkonan adalah to siriwa aluk sola pemali (pemangku/penanggungjawab agama dan etika) serta to sikambi’ sukaran aluk (pengawal agama dan etika). Model aslinya sudah diciptakan sebelumnya di langit.

Ini menegaskan bahwa tongkonan sangat penting bagi masyarakat Toraja, tongkonan menjadi simbol identitas suku Toraja. Secara sosial tongkonan pun berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah kehidupan keluarga secara internal menurut garis keturunan dari tongkonan tersebut. Tongkonan pun berfungsi sebagai tempat duduk bermusyawarah atau sidang tentang persoalan keluarga atau masyarakat melalui wadah kombongan atau kombongan kalua’. Tongkonan sebagai tempat berkumpul mendengarkan penerangan, informasi atau perintah adat dari pemangku adat di tongkonan itu; sebagai tempat mengatur dan melaksanakan pemerintahan adat, dan tempat tinggal penguasa adat atau sebagai istana pemangku adat. Tongkonan pun berfungsi sebagai pusat budaya, pusat

(12)

pembinaan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, pusat motivator dan stabilisator sosial di masing-masing wilayah kekuasaan adat. Tongkonan tempat mempraktekkan kehidupan solidaritas kolektif dalam balutan aluk, sehingga integrasi sosial tetap berjalan dalam kehidupan yang damai dan rukun.

Sistem sosial politik wilayah kekuasaan adat (setiap kampung atau daerah) di Toraja bersifat otonom, tetapi dalam bentuk konfederasi sub-sub etnis. Wilayah adat tidak saling membawahi, karena tidak ada penguasa tunggal di suku Toraja (tidak pernah ada seorang raja berkuasa di Toraja). Tetapi Kepemimpinan dan pemerintahan tradisional suku Toraja berada di setiap tongkonan parengnge (syarat dan cara pemilihan pemimpinnya telah diuraikan di atas).

Dari uraian di atas nampak bahwa rakyat biasa dan para hamba tidak mempunyai akses untuk jadi pemimpin tradisional Toraja, mereka hanya tunduk sepenuhnya. Hal ini dapat dimaklumi, sebab masyarakat Toraja terbagi dalam beberapa kasta dan menganut closed sosial stratification yang merupakan ciri dari masyarakat feodalistik. Pada awalnya, pelapisan sosial dalam masyarakat Toraja hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu tuan dan hamba. Tetapi karena masyarakat itu semakin berkembang dan adanya perkawinan-perkawinan antara tuan dan hamba, muncullah pelapisan sosial yang baru, lalu dilembagakan dalam sistim kasta (tana’). Pelapisan sosial dalam masyarakat Toraja Utara melembaga dalam tana’ (kasta) empat lapisan, yaitu:

a) Tana’ bulaan (bulaan = emas), bangsawan murni keturunan To Manurun di langi’.

(13)

c) Tana’ karurung (karurung = rujung enau) yaitu masyarakat kebanyakan

d) Tana’ kua-kua (kua-kua = sejenis gelagah yang biasa tumbuh di tempat yang berair, biasa di tanam di pematang sawah supaya tahan runtuh), yaitu para hamba.

Sedangkan di bagian Toraja Selatan (sebutan lain, tallu lembangna) dikenal hanya tiga macam Tana (kasta):

a) Tana’ bulaan (bulaan = emas), yaitu, bangsawan tinggi yang masih murni keturunan To Manurun di langi’.

b) Tana’ bassi (bassi = besi), yaitu orang merdeka (masyarakat kebanyakan)

c) Tana’ karurung (karurung = rujung enau), yaitu para budak Di utara para budak (kaunan) diklasifikasi sebagai berikut:

a) Kaunan garonto’, uaka’ tabaro (budak dasar, akar sagu)

b) Kaunan mengkaranduk (budak yang dalam masa sulit memohon perlindungan pada seseorang)

c) Kaunan diorongi (budak yang ditebus dari tuan lain, orang lain)

d) Kaunan indan (menjadi budak karena tidak dapat membayar utangnya).

Di selatan (tallulembangna) budak (kaunan) diklasifikasi sebagai berikut: a) Kaunan garonto’, kaunan bulaan (budak ontologis, berasal dari

(14)

b) Kaunan mengkaranduk (budak karena situasi darurat mencari perlindungan)

c) Kaunan diorongi (budak yang ditebus dari orang lain) d) Kaunan dialli (budak yang dibeli)

e) Kaunan indan atau sandang (budak yang tidak dapat membayar hutang).

Menurut mitos Toraja, struktur tuan dan budak dibuat di langit melalui penciptaan nenek moyang para budak yang dibawah ke bumi. Itu sebabnya struktur sosial dikaitkan dengan tatanan penciptaan (baca 3.2 di atas). Dengan demikian, struktur sosial itu bersifat transendental-ontologis, jadi, tidak boleh diubah. Struktur sosial merupakan bagian dari Aluk, jadi tidak bisa dihilangkan. “Apabila struktur sosial dihilangkan, maka tidak ada lagi kebudayaan Toraja”.

Para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status keturunan mereka. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat mempengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki dan banyaknya padi di lumbung menunjukkan banyaknya kepemilikan sawa.

e).4. Adat

Ungkapan: “ada’ sipori padang, senga’ oi tondok senga’ oi serekan bane’na”, paralel dengan peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Artinya, setiap daerah mempunyai adat-istiadat yang berbeda, atau dapat

(15)

juga diartikan bahwa setiap daerah memiliki aturan masing-masing yang tidak sama. Itu sebabnya di setiap wilayah kekuasaan adat, sulit untuk menemukan yang bersifat seratus persen sama. Meskipun demikian orang Toraja sepakat bahwa “aluk dan adat merupakan satu kesatuan; keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Harus pula ditekankan, bahwa aluk adalah sumber bagi adat.”

Istilah ada’ (Toraja) atau adat (bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Arab dan pada abad 17 baru muncul dalam perbendaharaan bahasa Toraja setelah orang Toraja menjalin hubungan perdagangan kopi dengan orang Bugis yang menerima pengaruh kebudayaan dan agama Islam dari Arab. Makin populer pada tahun 1946, sejak Luwu dan Toraja dipisah menjadi dua Swapraja. Pemisahan itu segera diikuti dengan pembentukan sebuah lembaga adat yang disebut Tongkonan ada’ (mengikuti istilah lembaga adat Luwu). Sejak saaat itu boleh dikatakan adat telah menggeser fungsi aluk. Dalam berbagai upacara orang tidak lagi memakai kata aluk, melainkan kata ada’ = adat (meskipun yang dimaksud adalah pelaksanaan aluk). Orang Toraja menerima perubahan itu, upacara aluk disamakan dengan upacara ada’ (adat), karena dianggap tidak berbeda. Nama berganti tetapi isi dan pelaksanaannya tidak ada yang berubah.

Sebelum orang Toraja menjalin hubungan dengan orang Bugis, mereka tidak mengenal istilah “adat”. Kendati demikian, di Toraja bukan tidak ada “adat”. Adat tidak hanya kebiasaan, tetapi sekaligus Aluk. Aluk adalah tertib kebiasaan-kebiasaan, tradisi, ketentuan-ketentuan adat berdasarkan ketentuan-ketentuan dari langit, Aluk Sanda Pitunna (7777), beserta sanksinya (disebut Aluk sola Pemali).

(16)

Adat dipandang sebagai pangkal ketertiban dan keserasian dalam masyarakat, himpunan norma-norma yang sah harus dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Jadi adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau diizinkan dan yang dilarang. Dalam perspektif inilah sulitnya memisahkan antara adat dengan agama, teristimewa di dalam agama-agama suku. Adat mencakup segala-galanya, termasuk bentuk peraturan tindakan seremonial, kultus agamaniah, tata hukum yang mengatur seluruh interaksi individu, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.“Adat adalah padanan aluk”, tetapi pada level implementatif, adat bertumpang tindih dengan aluk sebab adatlah yang mengatur kehidupan”. Sebab itu, adat merupakan pelaksanaan aluk. Adat menyangkut perilaku esensial “dalam kehidupan dan kebersamaan” (im Da – und Mit-sein). Hubungan aluk dan adat erat sekali, dapat dikatakan bahwa aluk bersendikan adat, dan adat bersendikan aluk. Contoh perpaduan aluk dan adat: aluk rambu solo’ sering juga disebut ada’/adat Toraja, yakni cara menguburkan orang mati.

e).5. Kebudayaan

Dalam kosa kata Toraja, istilah “kebudayaan” tidak dikenal. Begitu pula dengan istilah adat yang berasal dari bahasa Arab. Kendati demikian, wawasan adat atau ketentuan-ketentuan yang mengatur cara hidup orang Toraja sudah ada sebelum istilah Arab itu mulai digunakan. Kebudayaan adalah “hasil cipta manusia, baik material maupun spiritual”. Jadi, yang disebut kebudayaan Toraja ialah segala sesuatu yang menyangkut aluk dan tata cara pergaulan dan kehidupan sehari-hari baik di dalam kehidupan sosial, ekonomi, kesenian, politik dan

(17)

sebagainya. Kebudayaan bagi orang Toraja sangat berhubungan dengan aluk dan adat, bisa juga disebut tiga kaki tungku.

Pada mulanya aluk mengawasi kehidupan di langit. Lalu ia diturunkan ke bumi. Implementasi aluk menghasilkan adat. Selanjutnya kehidupan di dunia ini diatur oleh adat berdasarkan aluk. Hidup menurut adat berarti membiarkan diri dipimpin oleh aluk dan adat dalam berpikir, merasa dan bertindak. Jadi, kebudayaan adalah produk aluk dan adat, tidak dapat dipisahkan darinya. Inilah yang dimaksud aluk yang bersifat “holistik” dan “integratif”. Dia mempersatukan segalanya menjadi satu kesatuan. Sebab implementasi aluk dan adat dengan sendirinya menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan menampakkan diri di tiga bidang kehidupan:

a) Kebudayaan sebagai gagasan (idea), nilai atau keyakinan b) Kebudayaan sebagai aktivitas

c) Kebudayaan sebagai pencapaian secara teknis

Ketiga unsur kebudayaan ini tidak terpisahkan. Ketiganya menyangkut cara hidup yang holistik dan inklusif.

Sebelum agama monoteis muncul, pada umumnya kebudayaan di dunia bercorak religious, bahkan berasas pada agama. Telah diuraikan di atas bahwa aluk, adat dan kebudayaan saling berkaitan dan betapa ketiganya tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lainnya. Adat adalah aluk dalam pengamalan aluk, sedangkan kebudayaan, baik seginya yang spiritual maupun yang material adalah produk aluk dan adat. Tidak satupun kebudayaan, termasuk kebudayaan yang rasionalistis-sekunder yang dapat dibayangkan terlepas dari agama atau paling

(18)

tidak terlepas dari salah satu keyakinan. Oleh sebab itu masalah kebudayaan juga merupakan masalah agama dan keyakinan.

Kebudayaan dalam bahasa Toraja modern, disebut pa’pana’ta’, yang merupakan istilah modern, tetapi merujuk ke “barang lama”. Kata dasarnya adalah a’ta’, yang berarti “merentangkan”. Pa’pana’ta’ adalah kata benda dan mengungkapkan “sesuatu yang direntangkan”. Pa’pana’ta’ adalah sesuatu yang dipelihara, diatur, dijaga, dikembangkan, yang merupakan hasil suatu pekerjaan. Dengan demikian, pa’pana’ta’ mengandung arti “kebudayaan”, “hasil kegiatan yang berdasarkan gagasan atau keyakinan”.

Salah satu contoh budaya Toraja, yaitu budaya kombongan kalua’ tahun 1947 dalam rangka penetapan usulan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II, yang diangkat sebagai kasus untuk distudi dalam tesis ini. Sebelum kasus ini diuraikan lebih jauh (di bagian 3.7), maka terlebih dahulu digambarkan secara ringkas tentang budaya kombongan (bagian 3.5.1.) dan asal usul kata “Toraja” (bagian 3.6.).

c).5.1. Budaya Kombongan (ma’kombongan) c).5.1.1. Nilai Dasar

Budaya kombongan merupakan budaya bermusyawarah dalam masyarakat Toraja, dan dalam tingkatan musyawarah besar disebut kombongan kalua’. Sampai sekarang, masyarakat Toraja masih memelihara dan melakukan budaya ini untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Budaya kombongan menjadi sarana berdemokrasi dalam masyarakat Toraja. Nilai-nilai yang mendasari pelaksanaan budaya kombongan, yaitu: Pertama, dasar teologis, dalam kepercayaan Aluk

(19)

diceritakan bahwa sebelum penciptaan dilakukan, maka para dewa (Pong Banggai Rante, Pong Tulak Padang, dan Gaun Tikembong) mengadakan kombongan kalua’ di langit. Kombongan kalua’ tersebut berlangsung lama (liku lambe’na kombongan kalua’). Musyawarah ini dianggap sebagai prototype musyawarah untuk mufakat, dan sebagai model demokrasi yang asli oleh masyarakat Toraja.

Kedua, dasar filosofis, penelitian antropolog mengatakan bahwa nenek moyang orang Toraja itu adalah to lembang (manusia perahu) gelombang proto Melayu yang berasal dari Tongkin, Cina. Mereka berlatar belakang pelaut, datang dengan membawa peradaban sendiri. Hal ini dapat dilihat dari bentuk tongkonan (rumah adat) menyerupai perahu kerajaan Cina zaman dahulu. Di perahu (lembang) menuntut selalu terjadinya musyawarah, keputusan tidak bisa diambil sendiri, melainkan oleh semua penghuni perahu. Masyarakat Toraja merupakan hasil proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang imigran dari Teluk Tongkin (daratan China). Proses akulturasi tersebut, berawal dari berlabuhnya imighran Indo China dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang (Rura Bamba Puang), kemudian para imigran ini, membangun pemukiman di daerah tersebut. Dari sana lama-kelamaan menyebar ke wilayah lain, termasuk ke wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara sekarang ini.

Sejak zaman dahulu nenek moyang orang Toraja membutuhkan kebersamaan untuk menghadapi kondisi-kondisi alam dan dinamika manusia. Ini membuat mereka berkumpul untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan bersama. Itu sebabnya masyarakat Toraja sekarang inipun, ketika hendak

(20)

melakukan ritus Rambu Solo’ (upacara kedukaan), ritus Rambu Tuka’ (upacara sukacita), menyelesaikan konflik atau merancang peraturan bersama, maka terlebih dahulu dilakukan budaya kombongan (musyawarah).

c).5.1.2. Manfaat Budaya Kombongan Manfaat budaya kombongan bagi masyarakat Toraja, yaitu:

a) Sebagai wadah musyawarah bagi rumpun keluarga dan masyarakat sebelum melakukan upacara dukacita (Aluk Rambu Solo’) atau upacara sukacita (Aluk Rambu Tuka’), untuk membicarakan pelaksanaan acara tersebut.

b) Sebagai wadah musyawarah untuk merancang kegiatan bersama dalam masyarakat, misalnya menyangkut: kebijakan peraturan atau norma bersama.

c) Sebagai wadah solusi jika ada konflik atau perselisihan dalam masyarakat, maka kombongan dilakukan agar integrasi sosial tetap terpelihara dan kehidupan masyarakat tetap harmonis. Ada ungkapan mengatakan: “kombongan untesse batu cadas” (menjadi alat solusi masalah apapun).

d) Sebagai wadah peradilan dan penentuan sanksi bagi yang melanggar Aluk sola Pemali, norma-norma masyarakat, dan konsensus yang diputuskan dalam semua tingkatan kombongan (lihat 3.5.1.4.). Ini menunjukkan bahwa dari dahulu masyarakat Toraja tidak mengenal hukum rimba dalam menyelesaikan masalah. Juga menegaskan bahwa dalam masyarakat Toraja,

(21)

keputusan tidak bisa diambil sendiri, tetapi harus melalui musyawarah bersama (kombongan).

e) Sebagai wadah pemersatu masyarakat, sebagai salah satu pilar demokrasi dan penopang pranata sosial masyarakat Toraja. f) Sebagai wadah untuk memilih pemimpin adat (to parengnge)

dalam masyarakat atau pemimpin di tongkonan (lihat bagian 3.3). Ini menunjukkan bahwa budaya kombongan merupakan demokrasi ala Toraja.

f).5.1.3. Kesepakatan dalam Budaya Kombongan Puncak dari pelaksanaan kombongan disemua tingkatan (bagian 3.5.1.4.) yaitu tercapainya konsensus (basse) yang dikukuhkan melalui upacara ritual aluk ma’pesung (memberi sesajen kepada dewa dan arwah leluhur). Karena aluk sangat mempengaruhi pelaksanaan kombongan, makanya biasa pula disebut sebagai kombongan aluk (musyawarah religi). Inilah yang membuat basse (konsensus) itu menjadi sakral. Konsekuensinya, jika terjadi pelanggaran terhadap basse kombongan, itu bukan hanya menjadi persoalan sosial tetapi juga menjadi persoalan religious. Karena itu, dalam perspektif budaya Toraja, konsensus (basse) yang dikukuhkan dengan Aluk bertujuan untuk memelihara hubungan yang baik dengan para dewa dan relasi sosial tetap harmonis.

Selanjutnya ketika “legalisasi” kata adat = ada’ dalam masyarakat Toraja semakin kuat dan maknanya “dianggap” menyatu, sama dan sangat berkaitan dengan aluk (bagian 3.4 di atas), maka kombongan yang dilaksanakan biasa juga dinamakan kombongan ada’. Di setiap tongkonan dan wilayah kekuasaan adat ada

(22)

tokoh adat (pemimpin adat) yang berperan memimpin pelaksanaan kombongan ada’. Keputusan yang dicapai menjadi keputusan adat yang harus ditaati bersama.

f).5.1.4. Jenis Kombongan

Kombongan dilaksanakan secara berjenjang menurut tingkatnya, yaitu: a) Kombongan Tongkonan

Ini merupakan kombongan yang berada ditingkat terendah, karena hanya dilaksanakan oleh anggota rumpun keluarga (rapu tallang) yang ada di suatu tongkonan (rumah adat). Membicarakan segala persoalan yang berkaitan dengan anggota rumpun keluarga di tongkonan tersebut, biasanya menyangkut ritual Rambu solo’ atau ritual Rambu Tuka’. Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh keluarga yang ada di tongkonan tersebut.

b) Kombongan Saroan atau Penanian.

Kombongan ini dilaksanakan oleh kampung kecil (setingkat RT), dan biasanya dilaksanakan di tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan warga Saroan atau Penanian). Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, maka selanjutnya masalah itu dibawa ke kombongan Karopi (tingkat dusun). Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh anggota Saroan atau Penanian.

(23)

Di laksanakan di tingkat dukuh atau dusun, dan biasanya dilaksanakan di tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan warga Bua’ atau Karopi’). Biasanya dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus terjadi dalam masyarakat. Kombongan dilaksanakan secara demokratis, sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parengnge’ = peminpin (lih footnote no 30 Bab III) atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parengnge’. Yang dibahas biasanya kemungkinan merubah, mencabut aturan-aturan adat yang dianggap tidak relevan lagi lalu merumuskan aturan adat yang dianggap bisa diterima masyarakat dan diberlakukan. Karena itu, semua proses berasal dari usulan masyarakat dan jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka masalah itu diajukan ke kombongan sang lembangan (tingkat distrik-luak). Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh warga Bua’ atau Karopi’ yang bersangkutan.

d) Kombongan sang Lembangan

Kombongan ini dilaksanakan di tingkat distrik (luak), dan biasanya dilaksanakan di tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan warga Lembang). Ini merupakan kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan (nama kecamatan). Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal-hal khusus yang dianggap penting. Dihadiri oleh To Parengnge’, tokoh agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat. Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh warga Lembang yang bersangkutan.

(24)

e) Kombongan Kalua’

Kombongan kalua’ atau musyawarah besar etnis Toraja (sang Torayan) untuk merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang, atau hal-hal yang menyangkut eksistensi seluruh etnis Toraja (sang Torayan). Dalam perjalanan sejarah suku Toraja, ada beberapa kali dilakukan kombongan kalua’ antara lain: peristiwa tonna tallan (peristiwa tenggelamnya) Londong di Rura, kombongan kalua’ tahun 1680, dan tahun 1710, kombongan kalua’ tahun 1947, kombongan kalua’ tahun 1953, dan kombongan kalua’ tahun 1958. Namun yang distudi dalam tesis ini yaitu kombongan kalua’ tahun 1947 (selanjutnya akan dibahas dibagian 3.7.).

Puncak pelaksanaan kombongan kalua’ yaitu tercapainya konsensus (basse), dan sanksi jika ada yang melanggar basse, dilanjutkan dengan melakukan ritus ma’pesung, untuk mengukuhkan konsensus (basse). Karena itu konsensus (basse) yang dihasilkan merupakan konsensus sakral, maka jika ada yang melakukan pelanggaran terhadap konsensus kombongan kalua’, itu bukan hanya menjadi persoalan sosial tetapi juga menjadi persoalan religious. Kombongan kalua’ yang dibuat manusia, merupakan prototype kombongan kalua’ yang dibuat para dewa di langit sebelum melakukan penciptaan (lihat footnote no 10 Bab III).

Sesuai tingkatan urgensinya, maka kombongan kalua’ dapat dihadiri oleh representasi masyarakat Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka setiap distrik atau wilayah kekuasaan adat yang ada di Toraja masing-masing dapat mengutus wakilnya. Biasanya yang diutus adalah to parengnge (pemimpin) wilayah adat. Kombongan kalua’ biasanya dilaksanakan di lapangan terbuka atau

(25)
(26)
(27)

e).5.2. Kesakralan Konsensus Kombongan Kalua’

Dalam perspektif Aluk, pelaksaan kombongan kalua’ itu mempunyai dasar kepercayaan aluk, karena kombongan kalua’ pertama kali dimulai oleh para dewa: Gaun Tikembong, Pong Banggai Rante, dan Pong Tulak Padang mengadakan “kombongan kalua” di langit (lihat footnote no 10 Bab III). Ini menjadi inspiring model kombongan kalua’ yang dibuat oleh manusia di bumi. Karena legitimasi aluk itulah yang membuat orang Toraja menganggap kesakralan konsensus (basse) kombongan kalua’ itu luar biasa.

Upacara ritus dipimpin oleh To Minaa (imam Aluk) ditandai dengan adanya penyembelihan korban babi atau kerbau untuk ritus ma’pesung. To Minaa

(28)

mengucapkan mantar doa dan sumpah sakti yang isinya tekad untuk setia kepada konsensus (basse) kombongan kalua’ serta sanksi bagi yang melanggar konsensus (basse), lalu memberikan korban sesajen kepada dewa dan arwah leluhur. Ritus ma’pesung diikuti oleh peserta kombongan kalua’. Ritus ma’pesung menjadi tanda legitimasi kesakralan konsensus (basse) dengan darah korban (dipato’doi rara). Yang melanggar konsensus ini kena sanksi hukuman yang dianggap sangat manjur karena bersifat langsung dan objektif, yaitu tulah dari para dewa atau arwah leluhur. Ini menunjukkan bahwa kekuatan moral, kepercayaan, ritus dan komunitas (umat), sangat berkontribusi kuat mengkonstruksi kekutan basse (konsensus) dalam kombongan kalua’ menjadi sangat sakral.

e).5.3. Sanksi Bagi Pelanggaran Konsensus Kombongan Kalua’ Prinsip tiga kaki tungku, yaitu aluk, adat dan kebudayaan dianggap menyatu dan mewujud dalam seluruh kehidupan orang Toraja (lihat 3.2). Artinya, seluruh kehidupan ini merupakan totalitas dari aluk, dan ini bersifat integratif, sehingga ketaatan dan kesetiaan kepada Puang Matua, bukan hanya pada level seremonial ritus saja melainkan totalitas kehidupan ini. Karena itu konsensus kombongan kalua’, harus ditaati sebab berada dalam pengawasan aluk.

Sanksi bagi yang melanggar konsensus kombongan kalua’ ada dua macam yaitu: Pertama, oleh karena konsensus dikukuhkan melalui ritus aluk, maka yang melanggar konsensus itu bukan hanya merupakan masalah sosiologis tetapi juga merupakan masalah religious. Dalam konteks aluk, sanksi bagi yang melanggar konsensus diyakini ada yang bersifat langsung kena tulah dari dewa atau arwah leluhur. Kedua, ada pula sanksi yang diputuskan dalam kombongan

(29)

kalua’ yang dihadiri oleh para pemangku aluk dan adat, bentuk sanksi tergantung bobot pelanggaran yang bersangkutan. Sanksi yang diberikan bisa berupa pembinaan dengan membayar denda: berupa ayam, babi, atau kerbau; ada sanksi dalam bentuk dipasung, diali lanmai tondok (diusir keluar dari kampung), dilammu’ diong salu (ditenggelamkan di sungai), diekke barokona (dicekik lehernya), ditunu (dibakar), atau sebagai korban seperti hewan dalam adat barata.

Adat barata masih berjalan sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda (awal abad 19) di Toraja. Barata bukanlah aluk, tetapi hanya sebagai adat yang dinilai ‘tidak manusiawi’ oleh Belanda karena itu dilarang. Saat ini masih ada beberapa tongkonan di Toraja yang menyimpan tengkorak kepala manusia kurban barata. Ini sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan tersebut adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat barata. Tongkonan demikian mempunyai status yang tinggi dalam masyarakat, merupakan tongkonan penguasa dan pemberani.

e).5.4. Pemulihan Setelah Pelanggaran

Pemulihan terhadap pelanggar norma dalam masyarakat atau konsensus kombongan harus ditetapkan kembali melalui kombongan untuk mengetahui tingkat pelanggarannya terhadap Aluk sola Pemali, dan kemungkinan untuk diberikannya pemulihan bagi si-pelanggar. Istilah yang digunakan dalam hukum sebab-akibat yaitu dipaolai salunna, atas dasar inilah To mina dan To Parengnge’ mengadakan upacara pemulihan dengan mengadakan ritus massuru’ (pengakuan dan pembersihan dosa). Hewan yang dikorbankan dalam upacara pemulihan itu ditanggung oleh oknum yang telah melakukan pelanggaran.

(30)

e).6. Asal Usul Kata Toraja

Menurut N. Adriani dan A.C. Kruyt; H. van der Veen, juga Hetty Nooy-Palm, para peneliti antropolog, linguis dan etnolog lainnya dari Barat, Toraja dilokalisasi di Sulawesi bagian tengah dan selatan. Daerah pesisir Sulawesi Selatan dan Tengah pada umumnya dihuni oleh orang-orang Bugis. Ketika peneliti itu tiba, mereka mendengar dari orang Bugis bahwa penghuni pedalaman, dalam hal ini daerah pengunungan, adalah “orang Toraja”. Mereka dinamakan To Ri-aja; To = tau = orang; Ri-aja = di (dari) atas. Jadi, Toraja adalah orang-orang dari atas yang bermukim di pegunungan, orang-orang gunung. Penamaan demikian tidak ada salahnya, namun dalam pemakaiannya nama itu mendapat konotasi negatif, semacam “orang terbelakang”, “primitif”. Ada pula yang mengatakan bahwa kata “Toraja” berasal dari paduan kata to dan Rajang, yang berarti “orang-orang dari sebelah Barat”. To Rajang mungkin diberikan oleh orang Bugis yang bermukim di daerah pesisir Luwu, sebelah Timur kawasan pegunungan Toraja.

Versi yang lain mengatakan bahwa nama Toraja diberikan oleh orang Makassar di Kerajaan Gowa untuk menyebut seorang raja yang berasal dari daerah pengunungan di utara, mereka menyebutnya: “tau raya” (tau = to = orang; raya berasal dari kata Maraya = besar, tapi dalam bahasa Makassar raya = utara), jadi Toraja berarti “orang besar atau bangsawan yang datang dari utara”. Secara linguistis, kata Maraya atau maraja turun dari kata raya atau raja, yang berarti “mulia”; to maraya atau to maraja berarti “yang sangat mulia”; padanannya dalam bahasa Indonesia “maharaja” (raja mulia, raja di atas raja); pakaraya berarti: memuliakan, memuji.

(31)

Hal ini didukung oleh Prof. A. Zainal Abidin dalam bukunya: Wajo Abad XV, yang dikutip oleh Frans B. Palebangan mengatakan bahwa: kebangsawanan Bugis tidaklah lengkap tanpa Toraja. Hal yang sama (di dalam Lontara = naskah sejarah tulisan asli bahasa Bugis) diungkapkan oleh raja-raja kerajaan di Sidenreng, Barru, Sengkang, dan beberapa raja kerajaan kecil Sulsel lainnya, selain Kerajaan Gowa, Luwu dan Bone, bahwa darah biru yang mengalir di dalam tubuh mereka berasal dari Toraja. Versi ini didukung oleh mitologi Puang Lakipadada (ceritera singkatnya di footnote no 3 Bab III) yang mengisahkannya sebagai leluhur para raja dari beberapa suku yang ada di Sulawesi Selatan. Para leluhur itu berasal dari daerah sebuah keluarga bangsawan di daerah Toraja yang disebut Tana Toraja, ‘negeri para raja’. Pandangan ini diperkuat dengan ciri dominan kebudayaan Toraja: dari dahulu sampai sekarang derajat kebangsawanan masih nampak dalam masyarakat.

Versi yang lain mengatakan, di sebelah barat Luwu’, di mana dataran pantai yang sempit, beralih menjadi daerah pegunungan, terdapat wilayah yang bernama Raja. Daerah ini terletak di “Basse Sangtempe’”, yang pernah memainkan peran besar dalam sejarah Luwu’. Sanggalangi’ (seorang pahlawan) menolong Datu (Raja) Luwu’ dalam pertikaian dengan Bone, lalu sebagai tanda terima kasih Datu Luwu’ dan Sanggallangi’ mengadakan perjanjian dengan nama “Basse Sangtempe’”. Wilayah ini sering pula diberi nama “nasipi’ batu batoa”, karena ia terletak antara dua batu (kekuatan), yaitu Luwu’ dan Sangalla’; ma’tau Sangalla’, dan ma’tana Luwu’, artinya: “orang dari Sangalla’ dan tananya adalah Luwu’”.

(32)

Di Basse Sangtempe (kini satu kecamatan) terletak teritorium yang namanya Raja. Bisa saja orang Luwu’ telah menggunakan “Toraja” sebagai penamaan terhadap orang-orang yang datang dari Raja sebagai satu daerah, tetapi dapat juga berarti: orang yang datang dari “atas”. Di Tana Toraja para penghuni dari Raja dengan sendirinya disebut To Raja; to (tau) lo’mai (lau’ mai) Raja, artinya orang dari Raja yang ada dibagian selatan. Di sebelah selatan Toraja, di Kabupaten Enrekang, ada Kecamatan yang bernama Anggeraja, artinya: “sampai di sini Raja, batas Raja”.

Menurut Kobong, ‘orang Toraja Selatan’ yang disebut dalam penelitian A.C. Kruyt, justru menamakan diri “Toraja”. Sekarang, daerah yang menamakan “Toraja” yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Meskipun, sebutan peneliti bagi ‘orang Toraja Selatan’ itu adalah mereka yang mendiami daerah aliran sungai Sa’dan, sehingga sering disebut Toraja Sa’dan, yaitu Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, Massendrengpulu’ (Endrekang), Luwu, Polewali, Mamasa dan Mandar.

Nama (kata) Toraja baru dikenal sejak abad ke-17 Masehi, sejak adanya perdagangan kopi dari Toraja dengan daerah di sekitarnya, utamanya daerah kerajaan Bugis Luwu’ dan Bugis Sidendreng. Tetapi ketika pemerintah kolonial Belanda ke Toraja pada 12 Maret 1906, yang didorong oleh politik kolonisasi untuk berdagang kopi Toraja. Belanda pun mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Kemudian pada tahun 1909 Belanda-lah yang

(33)

memakai nama Toraja untuk menamai suku ini, sekaligus “melegitimasi” nama yang diberikan oleh suku Bugis. Menurut Bigalke, baru pada tahun 1934 untuk pertama kali orang Toraja memakai bentuk tulis kata “Toraja” untuk memberikan perhatian pada (suku) bangsa dan daerah orang Toraja. Nama Toraja pun makin melekat bagi suku Toraja.

Untuk menumbuhkan kesadaran etnis bagi orang Toraja, maka pada tahun 1936 didirikanlah Perserikatan Toradja Christen (P.T.C.) yang diketuai oleh J. Sampe Pongrante, dan organisasi-organisasi lainnya tumbuh oleh orang-orang muda di tahun 1930-an yang kembali dari Jawa dipengaruhi oleh ide nasionalisme, dan demam “sumpah pemuda” 1928. Meskipun demikian, baru zendinglah kemudian Gereja Toraja yang memberi makna kepada konsepsi Toraja itu. Sejak 1937, zending mendiskusikan pendewasaan Gereja Toraja; mereka bahkan telah memilih nama tersebut (Gereja Toraja) sebagai cikal bakal gereja mandiri itu. Tahun 1947 nama gereja Toraja itu secara resmi disahkan dalam persidangan sinode I (25 – 28 Maret 1947 di Rantepao). Menurut Bigakle, nama “Toraja” muncul dalam usaha PI (Pekabaran Injil) di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yang bercita-cita mengkristenkan seluruh wilayah Sulawesi tengah (termasuk daerah Toraja Selatan). Bigalke menduga sangat kuat bahwa Adriani dan Kruyt yang mencetuskan dan mendorong pemakaian nama itu.

Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara sebagai dua daerah atministratif sekarang ini, tidak boleh diidentikkan dengan etnis “Toraja”, sebab akan mengerdilkan makna “Toraja” itu sendiri. Sesungguhnya wilayah etnis “Toraja” itu memiliki cakupan yang lebih luas dari pada Kabupaten Tana Toraja

(34)

dan Kabupaten Toraja Utara, sebab Toraja dalam arti yang lebih luas ini meliputi pula daerah Kota Madya Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Polewali, Kabupaten Mamasa dan Massenreng Pulu’ (Kabupaten Enrekang). Bahkan menurut antropolog Belanda Kruyt dan Adriani, Toraja itu sampai ke wilayah Sulawesi Tengah (lihat 3.1.). Batasan wilayah etnis Toraja pun dapat dibandingkan dengan wilayah pelayanan gereja Toraja yang tidak terbatas pada Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara, tetapi mencakup semua orang yang menyebut dirinya “Toraja” artinya sama dengan suku Toraja, tanpa menjadi eksklusif.

Sebelum nomenclature ‘Toraja’ muncul, sebenarnya daerah ini diberi nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, artinya “Negeri dengan bentuk Pemerintahan dan Kemasyarakatannya merupakan suatu kesatuan yang bulat bagaikan Bulan dan Matahari“. Filosofi yang mendalam terhadap pengertian ini mencakup suatu negeri yang bentuk pemerintahan dan masyarakatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat dan tak terpisahkan sepanjang masa bagaikan matahari disiang hari dan bulan dimalam hari. “Tondok Lepongan Bulan” (bumi berbentuk bulan) adalah “bumi sempurna” yang disimbolkan dengan idiom “lepongan” (= lingkaran) berkonotasi sejajar dengan makna “kesempurnaan”. Di sisi lain, dengan gelarnya sebagai “Tana Matari’ Allo” yang berarti “negeri matahari bersinar”, wilayah ini dipandang sebagai “negeri abadi”. Pandangan itu terungkap dari simbol makna kata “Matari’ Allo” (= ”cahaya matahari”) yang dipertalikan dengan konotasi makna kata “keabadian”.

(35)

Gelar “bumi sempurna” dan “negeri abadi”, memang menunjukkan ciri khas daerah Toraja yang harmonis dan penduduknya ramah, sekaligus sebagai corak dan warna kehidupan bagi setiap manusia Toraja yang memiliki motivasi kehidupan yang tinggi dalam simbol “barre’ allo” (matari’ allo = cahaya matahari), ini merupakan salah satu motif ukiran rumah adat Toraja = tongkonan dan lumbung = alang. Sementara “lepongan bulan” (= lingkaran bulan) mengungkapkan makna simbolik bahwa orang Toraja memiliki norma-norma dan etika bermasyarakat, taat dan sopan santun terhadap sesama dan seluruh makhluk bumi. Karenanya, kedua simbol ini disatukan menjadi nama gelaran bagi daerah Toraja yaitu “Tondok Lepongan Bulan - Tana Matari’ Allo” yang selalu dilekatkan pada bagian depan rumah (tongkonan) dan lumbung (alang), agar selalu terukir dan melekat dalam hati sanubari setiap orang Toraja yang lahir dari dalam rumah Tongkonan itu, atau bagi setiap generasi orang Toraja.

Nama Tondok Lepongan Bulan - Tana Matari’ Allo, mempunyai latar belakang yang bermakna persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai wilayah adat. Akibatnya, Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa (raja) tunggal, tetapi masing-masing wilayah kekuasaan adat (distrik) diperintah oleh pemangku adat-nya masing-masing, bersifat otonom di wilayah kekuasaan adat. Namun tahun 1906 pasukan penjajah Belanda menjajah Toraja. Pada tahun 1925 daerah ini dijadikan sebagai Onderrafdeling dibawah Selfberstuur Luwu di palopo yang terdiri dari 32 Landschaap (distrik) dan 410 kampung dan sebagai controleur yang pertama yaitu H.T. Manting.

(36)

e).7. Studi Kasus Kombongan Kalua’ dalam Rangka Penetapan Nama Tana Toraja

Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, tepatnya tanggal 16 Oktober 1946 dengan Besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld. 1946 Nomor 105) Onderrafdeling Makale - Rantepao dipisahkan dari Swapraja Luwu yang berdiri sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’, yang terdiri dari 32 Landschaap (distrik) dan 410 kampung. Saat itu yang berperan sebagai controleur adalah K. van Liejf, dibantu asistennya Adrial Duma Andilolo (Puang Makale = pemimpin adat Makale saat itu). Pada saat Pemerintahan berbentuk Serikat (RIS) tahun 1949, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotan 7 (tujuh) orang dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 (lima belas) orang.

Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 diadakan serah terima Pemerintahan kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale -Rantepao, yaitu kepada Wedana Andi Achmad, dan pada saat itu wilayahnya terdiri dari 32 Distrik, 410 Kampung yang kemudia dirubah menjadi 15 Distrik dan 133 Kampung. Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuk Kabupaten Tana Toraja, yang peresmiannya dilakukan pada tangga 31 Agustus 1957 dengan Bupati Kepala Daerah pertama bernama Lakitta.

Sebelum terbentuknya Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja, maka pada tahun 1947 dilaksanakan budaya kombongan kalua’ untuk menentukan nama

(37)

Kabupaten Tana Toraja. Controleur adalah K. van Liejf, dibantu asistennya Puang Adrial Duma Andilolo sebagai pengurus Tongkonan Ada’ mengundang tokoh-tokoh agama (Aluk, Islam dan Kristen), para pemimpin 32 wilayah adat/distrik (laki-laki dan perempuan) untuk mengadakan kombongan kalua’ di kota Makale, dengan agenda tunggal penetapan nama Tana Toraja sebagai nama usulan ke pemerintah Provinsi dan pemerintah Pusat untuk menjadi nama acuan dalam rangka pembentukan Kabupaten Derah Tingkat II Tana Toraja.

K. van Liejf dibantu asistennya puang Adrial Duma Andilolo memimpin acara kombongan kalua’ saat itu. Ada dua usulan nama yang serius diperdebatkan oleh peserta yaitu: antara Tondok Lepongan Bulan dan Tana Matari’ Allo, kedua usulan nama ini memang secara sosial budaya, filosofis, historis dan Aluk Toraja punya dasar yang kuat (sebagaimana diuraikan 3.6 di atas). Namun kedua usulan nama itu ditolak oleh orang Toraja Barat, karena menganggap Matari’ Allo = ‘matahari terbit’, sedangkan mereka berada di Barat, tempat terbenamnya matahari. Selanjutnya disetujui untuk mengangkat 7 disktik utama yang bakal menjadi BPH untuk mengusulkan nama. Ketujuh distrik utama itu ialah: Nanggala, Pangala, Kesu’, Madandan, Sangalla, Makale, dan Ulu Salu.

Kombongan kalua’ berjalan sampai tiga hari tetapi belum berhasil memutuskan nama. Dalam kondisi lelah dan nyaris belum ada titik temu, maka datanglah Tandi Karrang (seorang klerk = juru tulis Kruyt dan Adriani, antropolog Belanda), kebetulan membawa dua buku tentang Toraja dalam bahasa Belanda yang ditulis oleh Adriani Nicolaus, en Alb. C. Kruyt, De Bare sprekende Toradjas van Midden-Celebes, (Batavia: Landsdrukkerij, 1912); dan bukunya A.C. Kruyt,

(38)

“De Bua’’ en enige andere feesten der Toradja’s van Rantepao en Makale” (1921). Berdasarkan inspirasi dari buku itulah, dan didorong oleh keprihatinan melihat kondisi kombongan kalua’ belum juga ada titik temu, maka ia membisikkan kepada puang A. Duma Andilolo dan K. van Liejf agar daerah ini dinamakan: ’Tondok Toraya’.

Mendengar itu, controleur K. van Liejf mengatakan: goed, goed, goed..., lalu disampaikan kepada 32 pemimpin wilayah adat (to parengnge): Apakah semua to parengnge setuju nama Tondok Toraya diusulkan kepada pemerintah provinsi dan kepada pemerintah pusat, menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II? Lalu serempak semua peserta berteriak setuju. Selanjutnya K. van Liejf menjelaskan visinya tentang nama itu agar dapat diterima oleh orang Toraja yang Islam dan orang Toraja yang berada di luar 32 distrik (Makale-Rantepao) yaitu mereka yang ada di Poso, Masenrengpulu dll, maka K. van Liejf mengusulkan agar kata ’Tondok’ diganti ’Tana’ dan kata ’Toraya’ diganti ’Toraja’, jadi Tondok Toraya menjadi Tana Toraja. K. van Liejf menegaskan bahwa dengan nama Tana Toraja, ini menjadi kampung halaman (tongkonan) bagi semua etnis Toraja baik yang ada di 32 distrik (Makale-Rantepao) maupun mereka yang ada di luar distrik itu, pun bagi orang Toraja yang Islam. Tana Toraja menjadi kampung halaman (tongkonan) yang dirindukan oleh semua yang merasa menjadi etnis Toraja dimanapun berada. Semua peserta kombongan kalua’ menerima dan menyetujui penjelasan K. van Liejf tentang visi nama Tana Toraja.

Kombongan kalua’ berhasil membuat konsensus (basse) tentang nama Tana Toraja. Konsensus (basse) yang dihasilkan selanjutnya dikukuhkan dalam

(39)

upacara ritus Aluk ma’pesung, diakhiri dengan penanaman pohon lamba’, di kota Makale. Berdasarkan konsensus (basse) kombongan kalua’ 1947 inilah, maka diusulkan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II. Akhirnya, Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja diresmikan pada tanggal 31 Agustus 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957. Selanjutnya pada tanggal 26 Nopember 2008 diresmikan Kabupaten Toraja Utara berdasarkan Undang–Undang No 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja sebagai Kabupaten induk.

e).8. Makna yang Terkandung dalam Budaya Kombongan Kalua’ Semboyan orang Toraja yaitu: “misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” menyemangati pelaksanaan budaya kombongan kalua’. Demikian kuatnya semboyan itu, sehingga menguatkan integrasi sosial dan solidaritas sosial masyarakat Toraja, sebagaimana diungkapkan dalam lagu daerah: Basseta Toraya. Lagu itu membantu orang Toraja menikmati makna yang terkandung dalam budaya kombongan kalua’. Adapun makna yang terkandung dalam budaya kombongan kalua’, antara lain:

a) Integrasi Sosial

Sejak dahulu kala sistem “sosial politik” wilayah kekuasaan adat etnis Toraja bersifat otonom, masing-masing punya pemimpin, karena itulah tidak ada satu Raja yang berkuasa di Toraja, tetapi berada dalam bentuk konfederasi sub-sub etnik. Tetapi pada tahun 1925 daerah ini dijadikan sebagai Onderrafdeling dibawah Selfberstuur Luwu di palopo yang terdiri dari 32 Landschaap (distrik)

(40)

dan 410 kampung. Meskipun demikian, semangat integrasi sosial yang selalu dijunjung tinggi ketika melakukan kombongan kalua’. Hal itu dibuktikan ketika melaksanakan kombongan kalua’ tahun 1947, walaupun berjalan sangat alot selama tiga hari tetapi semua peserta setia menjalaninya tanpa ada yang memaksakan kehendak sampai menghasilkan konsensus bersama penetapan nama Tana Toraja. Hal tersebut sangat dipengaruhi nilai kerukunan, kedamaian dan keharmonisan (karapasan) yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja, sehingga ketika kombongan kalua’ dilakukan nilai-nilai tersebut menjiwai suasana kombongan kalua’. Nilai-nilai tersebut sangat berkontribusi kuat menciptakan integrasi sosial masyarakat Toraja.

b) Kolektifitas (kohesi sosial)

Walaupun bentuk “sosial politik” 32 wilayah kekuasaan adat masyarakat Toraja itu bersifat otonom dan berbentuk konfederasi sub-sub etnik, tetapi semboyan: “misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) mampu memperlihatkan kohesi sosial yang sangat kuat dalam masyarakat Toraja. Hal itu dibuktikan ketika kombongan kalua’ tahun 1947 telah mencapai konsensus bersama, semua peserta menerima tanpa ada yang memprotes. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan (trust) dari masyarakat Toraja kepada setiap perwakilan wilayah adat yang terlibat dalam kombongan kalua’, karena konsensus (basse) yang dihasilkan dinilai itulah yang baik. Partisipasi dari masyarakat dengan menerima dan menghargai konsensus (basse) kombongan kalua’ menegaskan adanya trust dari masyarakat kepada proses yang berlangsung dalam budaya kombongan kalua’.

(41)

Konsensus yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ 1947 mampu menciptakan persekutuan yang kuat (kohesi sosial) masyarakat Toraja. Hal itu sejalan dengan nilai “kedamaian demi persekutuan” yang sangat diprioritaskan dalam masyarakat Toraja. Nilai persekutuan (kohesi sosial) sangat diapresiasi masyarakat Toraja, bahkan rela berkorban demi mempertahankan persekutuan. Makna kehidupan persekutuan ialah hidup dalam kedamaian dan keharmonisan (karapasan). Simbol persekutuan itu berbasis di Tongkonan. Persekutuan yang kuat itu, diwujudkan dalam hidup gotong-royong dan tolong menolong.

c) Penghargaan Eksistensi

Penghargaan terhadap apapun eksistensi dan latar belakang orang yang terlibat dalam kombongan kalua’ menunjukkan kesetiaannya kepada Puang Matua. Lalu diwujudkan dalam sikap saling menghormati, sehingga kombongan bisa mengambil keputusan dengan damai. Sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat Toraja menjunjung tinggi penghargaan terhadap perbedaan dan pluralitas yang ada dalam masyarakat. Peserta yang hadir dalam kombongan kalua’ tahun 1947 dari latar belakang yang heterogen, yaitu ada yang beragama Aluk, Islam, Kristen, secara gender tokoh adat yang hadir ada laki-laki dan perempuan, ada pula orang Belanda controleur K. van Liejf (bahkan ia yang memimpin acara tersebut). Mereka saling menghargai dan menghormati sehingga menghasilkan konsensus bersama tentang nama Tana Toraja. Sikap seperti itu sangat mendukung terwujudnya integrasi sosial masyarakat Toraja.

Dalam proses bermusyawarah (kombongan), banyak ungkapan-ungkapan dalam masyarakat Toraja yang punya nilai penghargaan terhadap eksistensi orang

(42)

lain, misalnya: tidak boleh memotong pembicaraan (tang umpantarai sadangna tau), menginterupsi dengan cara sopan (tabe’ = maaf tangkupolo basami atau tabe’ tangkudoloi tua’mi). Hal-hal itu sangat berkontribusi bagi tercapainya konsensus (basse) dalam kombongan kalua’ dengan tenang dan damai.

d) Sakral

Menurut kepercayaan Aluk, kombongan kalua’ yang dibuat di bumi ini merupakan prototype kombongan kalua’ para dewa di langit. Karena itu, konsensus (basse) yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ diyakini memiliki nilai sakral. Makna sakral ini diaktualisasi dalam sikap hidup: dalam kesetiaan, kejujuran dan kedamaian (harmoni), memelihara keutuhan masyarakat, integrasi sosial, menghargai eksistensi orang lain dan tidak menonjolkan diri. Hal itu dilakukan sebagai respons terhadap keyakinan otoritas Puang Matua yang turut mengawasi konsensus (basse). Inipun menegaskan bahwa, totalitas hidup itu harus sakral karena berada dalam pengaturan aluk.

Dalam konteks kombongan kalua’ tahun 1947, kesakralan konsensus (basse) yang dihasilkan yaitu adanya pengakuan kesetaraan bagi semua peserta yang hadir walaupun dari berbagai latar belakang agama (Aluk, Islam dan Kristen), bahkan orang Belanda controleur K. van Liejf banyak berperan dalam kombongan kalua’ itu dihargai, sehingga bisa menghasilkan kesepakatan bersama tentang nama Tana Toraja. Ini menegaskan bahwa budaya kombongan kalua’ mampu mengintegrasikan semua kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga kehidupan sosial masyarakat Toraja tidak ambruk.

(43)

d).9. Hubungan Kombongan Kalua’ dan Integrasi Sosial Masyarakat Toraja

Orang Toraja sangat mengapresiasi persekutuan sebagai nilai yang sangat tinggi. Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) sama dengan ungkapan Inggris: “united we stand, divided we fall”, itu adalah maslah hidup atau mati. Prinsip ini mempengaruhi pikiran masyarakat Toraja ketika melaukan kombongan kalua’ dan melakukan dengan jujur dan setia konsensus (basse) yang dihasilkan. Misalnya ketika tercapainya konsensus (basse) kombongan kalua’ To Pada Tindo di abad 17 untuk bertekad melawan invasi kerajaan Bone ke Toraja, maka To Pada Tindo dan masyarakat Lepongan Bulan (Toraja) saat itu berhasil mengalahkan kerajaan Bone walupun Bone dibantu oleh kerajaan Gowa dan Mandar, sementara itu Toraja hanya dengan persenjataan yang sangat sederhana dan pasukan terbatas. Berikutnya, ketika kombongan kalua’ tahun 1947 berhasil mencapai konsensus (basse) penetapan nama Tana Toraja, maka semua masyarakat Toraja yang berada di 32 distrik wilayah adat yang otonom itu menerima dan menghargai keputusan tersebut. Nama Tana Toraja mengintegrasikan masyarakat yang berada dalam 32 distrik dengan berbagai macam agama (ada Aluk, Islam dan Kristen).

Hal ini menunjukkan bahwa kuatnya nilai konsensus (basse) yang dihasilkan dalam budaya kombongan kalua’, berkorelasi positif terhadap kuat dan tingginya integrasi sosial dalam masyarakat Toraja, dan berhubungan pula terhadap kuatnya kohesi sosial masyarakat Toraja. Karena itu, sangat logis ketika budaya kombongan (musyawarah) dan kombongan kalua’ (musyawarah besar)

(44)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu wilayah di Kota Ternate yaitu Kampung Makasar Timur yang sebagian besar penduduknya bermukim diatas air sehingga mengesankan daerah ini terlihat kumuh karena

Media pembelajaran merupakan salah satu unsur penting dalam suatu proses belajar mengajar. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mendefinisikan media sebagi alat bantu

Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan yuridis empiris pendekatan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan

Produk usaha TehMu belum banyak dikenal dan baru akan dikembangkan maka perlu strategi branding dan packaging yang tepat sehingga menarik konsumen karena branding pada sebuah

Pada bab ini akan dilakukan analisa dari data yang telah diperoleh oleh penulis. dari

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PENINGKATAN KETERAMPILAN BERCERITA MELALUI PENERAPAN MODEL QUANTUM TEACHING PADA ANAK KELOMPOK B2 TKIT MIFTAHUL JANNAH MASARAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh beban kerja (waktu kerja, jenis kegiatan) dan asupan kalori terhadap status gizi pekerja peternakan ayam broiler di

Secara nasional, 29,8% dari angka baru kasus malaria berasal dari kelompok pekerjaan petani/pengolah kebun (Riskesdas 2010). Proporsi kelompok kerja untuk kasus malaria baru