INFEKSI Brucella suis SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS
ADIN PRIADIBalai Penelitian Veteriner
Jl. RE. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK
Brucellosis pada babi yang disebabkan oleh B. suis merupakan penyakit penting secara ekonomi amupun dari segi kesehatan masyarakat. Pada babi, infeksi Brucella suis menyebabkan orchitis pada babi pejantan, abortus pada induk babi dan pada manusia penyakit ini menyebabkan demam yang hilang timbul. Di Indonesia, brucellosis pada manusia yang disebabkan oleh B. suis telah dilaporkan dan merupakan penyakit yang timbul dari resiko pekerjaan. Dari hasil survey serologis diperoleh persentase infeksi yang relatif tinggi pada pekerja di peternakan babi atau rumah potong babi di pulau Jawa. Dari data epidemiologis dan bakteriologis terlihat bahwa kasus pada manusia disebabkan oleh penanganan babi yang terinfeksi. Gejala klinis umumnya tidak menciri. Infeksi biasanya tidak dikenali dan tidak bergejala karena pekerja biasanya harus tetap aktif. Data serologi tahun 2002 dan 2003 memperlihatkan bahwa tingkat infeksi brucellosis pada babi di peternakan masih tinggi. Tingginya tingkat infeksi brucella pada babi ini harus menjadi perhatian serius karena penyakit ini berdampak ekonomis dan kesehatan manusia.
Kata kunci: Infeksi Brucella suis, zoonosis
PENDAHULUAN
Brucellosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia maupun hewan. Penyebab penyakit ini adalah kuman genus Brucella yang merupakan
mikroorganisme intraseluler dan dapat menyebabkan aborsi dan ketidaksuburan (orchitis dan epididymitis) pada ternak domba, sapi, kambing dan babi. Penyakit ini pada manusia dikarakterisasi dengan adanya kelemahan, demam, mengigil, berkeringat, sakit pada persendian, sakit kepala dan sakit pada seluruh tubuh (RAY, 1978, PRIADI et al.,
1992). Dari berbagai spesies Brucella,
Brucella melitensis (B. mellitensis) adalah yang
paling patogen untuk manusia, sedangkan B.
suis dapat sama atau terkadang melebihi
potegenisitas B. melitensis. B. abortus dan B.
canis kurang patogen untuk manusia. (ELBERG, 1981). Brucellosis pada ternak dan kontaminasi produk ternak oleh kuman Brucella adalah sumber utama infeksi terhadap manusia. Cara penularan ke manusia adalah dengan cara melalui saluran pencernaan, pernafasan, kontak konjungtiva dan kontak kulit (ELBERG, 1981).
Diagnosis brucellosis yang didasarkan atas ditemukannya dan dapat diidentifikasi kuman
waktu yang cukup lama untuk dapat menumbuhkannya. Oleh sebab itu, pada umumnya diagnosis brucellosis dibuat berdasarkan uji serologis untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap antigen polisakarida dinding sel spesies Brucella tertentu (BUNDLE
et al., 1989).
Adanya infeksi B. suis sebagai penyakit zoonosis di Indonesia telah dilaporkan oleh PRIADI et al. (1992). Sedangkan di Amerika Serikat, penyakit ini juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (HENDRIKS, 1971, BUCHANAN et al., 1974, HEINEMAN dan DZIAMSKI,1976). Infeksi B. suis di Australia juga dilaporkan oleh ALTON dan GULASEKHARAM (1974). ARAMBULO et al.,
(1970) juga melaporkan adanya hasil pemeriksaan serologis yang menunjukkan adanya brucellosis pada pekerja di rumah potong babi di Manila, Filipina.
Penelitian secara serologis pada babi di Indonesia menunjukkan tingginya angka reaktor terhadap brucellosis. Brucellosis pada babi masih merupakan masalah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat (SAPARDI
et al., 2004). Penyakit ini masih tetap menjadi
masalah di banyak negara di dunia baik karena dampak ekonominya maupun karena dampak
AGEN PENYEBAB: BRUCELLA SUIS Brucellae adalah bakteri Gram negative, berbentuk coccobacilli atau batang pendek dan berukuran panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebarnya 0,5 – 0,7 µm. Bakteri ini tidak membentuk spora, tidak berkapsul atau flagella, sehingga bakteri ini nonmotil. Membran sel luar serupa dengan basilus Gram negatif lainnya dengan komponen lipopolisakarida (LPS) yang dominan dan 3 kelompok utama protein. Kandungan G+C dari DNA adalah 55 – 58 moles/cm. Tidak ada spesies Brucella yang ditemukan mengandung plasmid secara alami meskipun dapat menerima berbagai plasmid dari luar.
Metabolisme Brucellae bersifat oksidatif dan sedikit memfermentasi karbohidrat pada media konvensional. B. suis bersifat aerob.
Multiplikasi lambat pada suhu 37oC dan
enrichment media perlu untuk mendukung
pertumbuhan yang baik. Koloni bakteri dapat dilihat pada media padat yang sesuai sesudah 2-3 hari. Koloni galur yang smooth adalah kecil, bulat, konveks tetapi disosiasi. B. suis bersifat oksidase dan urease positif.
Kultur dapat diidentifikasi dalam genus Brucella berdasarkan morfologi koloni, pewarnaan, uji aglutinasi dengan serum anti Brucella, smooth atau rough. Diferensiasi sampai biovar dapat berguna dan dapat dilihat pada Tabel 1. Uji metabolisme oksidatif untuk asam amino dan karbohidrat tertentut telah dikembangkan. Uji modern DNA hibridisasi menunjukkan homologi yang tinggi untuk spesies yang telah ada.
Tabel 1. Diferensiasi biovar untuk Brucella suis (ALTON dan FORSYTH, 2005)
Tumbuh pada zat warnaa Aglutinasi dalam serumb
Biovar Kebutuhan CO2 Produksi H2S
Thionine Basic Fuchsin A M R
1 - + + -c + - -
2 - - + - + - -
3 - - + + + - -
4 - - + - + + -
5 - - + - - + -
aKonsentrasi zat warna: 20 µg/ml dalam medium serum dextrose (1:50.000).
bA: antiserum monospesifik A, M: antiserum monospesifik M, R; antiserum Brucella rough. cBiasanya positif pada isolasi pertama
Identifikasi hingga tingkat spesies Brucella menggunakan antibodi monoklonal pernah dilaporkan oleh VIZCAINO dan FERNADEZ -LAGO (1992). Uji ini menggunakan metoda koaglutinasi dan dapat mengidentifikasi dengan cepat semua spesies smooth Brucella. BRICKER dan HALLING (1994) mengembangkan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dapat membedakan Brucella
abortus biovar 1, 2 dan 4, B. melitensis, B. ovis
dan B. suis biovar 1. Pemakaian teknik biologi molekuler telah memungkinkan dilakukan teknik kloning dan karakterisasi beberapa gen yang mengkode protein membran luar, penggunaan PCR untuk mengidentifikasi adanya DNA Brucella pada tingkat genus dan spesies dan juga dapat memperlihatkan pola spesifik B. suis dengan Restriction Fragment
Length Polymorphism (RFLP). Dengan telah
dikembangkannya uji-uji tersebut di atas, maka uji diagnostik akan dapat lebih dikembangkan. Demikian juga vaksin akan dapat dikembangkan dengan hasil yang lebih baik (ALTON dan FORSYTH, 2005). Biovar 1 dan 3 merupakan biovars patogen yang penting pada infeksi hewan dan manusia.
INDUK SEMANG B. SUIS BIOVARS 1 DAN 3
Induk semang B. suis biovar 1 dan 3 adalah babi terutama yang sudah diternakan, meskipun mungkin juga pada babi liar. Infeksi
B. suis pada sapi juga penting untuk
diperhatikan. Walaupun sapi resisten terhadap infeksi umum oleh B. suis, terkadang terjadi infeksi yang tidak terlihat. Pada kasus infeksi
dalam usaha pembebasan brucellosis pada sapi akan menunjukkan hasil positif. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan metoda yang dapat membedakan antara infeksi B. suis dan B.
abortus. Sapi juga peka terhadap amstitis
akibat infeksi B suis. Babi hutan diasumsikan dapat menjadi sumber penularan. Telah dilaporkan juga B suis dapat menginfeksi kambing, domba dan anjing. Pada anjing, infeksi terjadi karena makanan yang berupa daging baibi mentah. Biasanya infeksinya tidak bergejalaklinis tetapi dapat juga terjadi orchitis dan epididimitis (ALTON, 1990).
EPIDEMIOLOGI
Reservoir dari brucellosis akibat B. suis adalah hewan liar, dan babi. B suis dapat ditemukan pada daerah pemeliharaan babi. Infeksi pada ternak babi yang mula-mula bebas brucelosis biasanya dimulai dengan adanya pembelian babi jantan atau betina yang terinfeksi, atau penggunaan pejantan babi unggul secara bersama-sama. Pejantan dapat menularkan penyakit secara mekanis karena mengekskresi B. Suis dalam semennya meskipun pejantan terlihat dalam keadaan sehat. Penyebaran B. suis pada ternak yang dikembangbiakan secara inseminasi buatan juga sering terjadi. Cara penularan lain adalah dengan memberikan sisa dapur yang mengandung daging mentah ke pada babi.
Anak babi biasanya mendapat infeksi dari induknya. Infeksi dapat terjadi sewakti dilahirkan, atau menyusus pada induk yang terinfeksi. Penyebaran penyakit secara umum serupa dengan penyebaran brucellosis pada ruminansia, yaitu kontaminasi pakan atau lingkungan oleh sekresi hewan terinfeksi terutama asal uterus. Infeksi utama biasanya terjadi secara per oral. Babi biasanya juga makan fetus dan membrannya yang diabortuskan. Selain itu, infeksi melalui konjungtiva atau luka juga mungkin terjadi. B
suis juga telah dibuktikan dapat berada pada
beberapa arthropoda seperti caplak. Tetapi penularan melalui cara ini tidak umum terjadi.
B. suis dan spesies Brucella lainnya
kelihatannya mempunyai daya hidup dan kepekaan terhadap desinfektans yang sama pada kondisi alam (ALTON, 1990).
INFEKSI BRUCELLA SUIS PADA BABI DAN HEWAN LAINNYA
Berdasarkan sifat biokimiawi, B. suis dapat digolongkan dalam 5 biovar (Tabel 1). B. suis biotipe 1 dan 3 sangat umum menginfeksi babi, tersebar di Asia dan Amerika Latin (PRIADI 1985; ALTON et al., 1988; SUDIBYO 1998; NICOLETTI, 1990: CORBEL, 1997; PAULO et al., 2000). Umumnya biotipe ini menyerang babi peliharaan tetapi dibeberapa wilayah dapat menyerang babi hutan. Brucellosis pada babi berbeda dari brucellosis pada sapi, domba dan kambing dimana infeksi B. suis cenderung menghasilkan reaksi granuloma. Reaksi ini menyebar lebih luas hingga terlokalisir pada tulang dan persendian. Disamping itu uterus dari babi yang tidak buntingpun dapat terinfeksi, keguguran akibat infeksi B. suis umunya terjadi pada akhir kebuntingan (ENRIGHT, 1990). Pada brucelosis babi, pejantan terutama ditularkan oleh babi pejantan (HUTCHINGS et al., 1946).
Pola infeksi umum brucellosis babi adalah terjadinya infeksi kelenjar limfe pada tempat awal masuknya kuman. Pada infeksi alam 74% isolat B. suis dapat diisolasi dari kelenjar limfe retroparingealis dan submaksila (PRIADI et al., 1985). Empat hingga enam minggu setelah infeksi buatan kuman terdistribusi pada kelenjar limfe retroparingealis, submaksila, femoralis, suprascapularis, supramamaris dan limpa (SUDIBYO, 1998). Pada infeksi yang kronis, kuman dapat ditemukan pada limpa, ginjal dan otak (ENRIGHT, 1990). Di Indonesia kejadian brucellosis pernah dilaporkan pada beberapa propinsi (Tabel 2). Propinsi Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota, dan Jawa Tengah merupakan propinsi dengan seroprevalensi yang tinggi. Secara serologi, brucellosis pada babi juga dilaporkan di propinsi Sulawesi Utara dan Jawa Timur. Karanganyar merupakan kabupaten dengan tingkat prevalensi yang paling tinggi.
Tabel 2. Kejadian brucellosis pada babi di Indonesia
Tahun Wilayah % Kejadian Uji Sumber
1968 – 1972 - 33,8 Serologi SOEROSO dan TAUFANI (1972)
1983 – 1984 Sumatera Utara 15 Serologi PRIADI et al., 1985
1985 DKI 10 Isolasi PRIADI et al., 1985
Jawa Barat 80 Serologi
1996 DKI 89 Serologi SUDIBYO, 1996
2002 Jawa Tengah - - SAPARDI et al., 2004
Karanganyar 30,8 Serologi Sragen 4 Serologi Sukoharjo 5,2 Serologi Banyumas 34 Serologi Semarang 4,4 Serologi Jawa Timur Mojokerto 10 Serologi Surabaya 8,3 Serologi
2003 Jawa Barat SAPARDI et al., 2004
Bandung 40 Serologi Kuningan 27,8 Serologi Jawa Tengah Karanganyar 72,7 Serologi Batang 12,9 Serologi Purbalingga 15 Serologi Jawa Timur Malang 6,7 Serologi Blitar 11,1 Serologi Tulungagung 10,5 Serologi
Kejadian brucellosis pada babi di negara maju sudah sangat sporadik dan hanya dijumpai pada babi liar atau bahkan sudah bebas. Kanada, New Zealand dan Inggris adalah negara yang sudah bebas (ALTON 1990; WRATHALL 1993; VAN-SMIT, 2005),.tetapi di negara berkembang masih sering ditemukan pada babi peliharaan (PRIADI 1985; ALTON et
al., 1988; SUDIBYO 1988; CORBEL, 1997; PAULO et al., 2000). Di Australia, infeksi sporadik masih dilaporkan pada babi hutan di Queensland (NEVILLE dan PEARCE, 1992). Negara bagian Florida, Texas dan Hawai di Amerika Serikat juga masih merupakan kantong Brucella suis di babi hutan (DAVIS, 1990; WRATHALL et al., 1993). Babi hutan merupakan reservoir yang sangat penting dalam penyebaran infeksi B. suis. Infeksi oleh biotipe 1 dan 3 masing-masing pernah dilaporkan pada sapi dan kuda (EWALT et al., 1997; CVETNIC et al., 2005).
Brucella suis biotipe 2 merupakan kuman
yang menginfeksi sejenis musang eropa (Lepus
capensis) yang merupakan reservoir infeksi
pada babi. Penyakit yang dalam beberapa hal berbeda dengan di Eropa Timur (CVETNIC et
al., 2003). Biotipe 4 menginfeksi rusa kutub
dan caribou sedangkan biotipe 5 umum terdapat pada mencit (ALTON et al., 1988).
PATOGENESIS BRUCELLOSIS PADA MANUSIA
Brucella adalah bakteri yang bersifat parasit intraseluler fakultatif. Bakteri ini berkembang biak terutama pada sel
monocyte-macrophage. Sifat ini akan menentukan
patologi, manfestasi klinis dan pengobatan penyakit.
Bakteri ini dapat menginfeksi tubuh manusia melalui berbagai pintu masuk.
Menurut ALTON dan FORSYTH, (2005) antara lain adalah sebagai berikut:
o Melalui konjuntiva secara aerosol atau tangan/jari yang terkontaminasi.
o Melalui pernafasan/secara aerosol melalui hidung (biasanya pada pekerja di rumah potong hewan, kecelakaan di laboratorium, pekerjaan di bidang veteriner).
o Melalui mulut/ingesti (makanan asal produk ternak yang terkontaminasi, atau tangan yang terkontaminasi)
o Melalui kulit yang terluka (biasanya terjadi pada dokter hewan, pekerja di peternakan atau pekerja rumah potong hewan).
Karena infeksinya bersifat sistemik, seringkali sulit ditentukan pintu masuk dalam suatu kasus tertentu. Pintu masuk yang umum terjadi adalah melalui makanan dari produk ternak yang terkontaminasi atau tangan yang terkontaminasi. BUCHANAN et al., (1974), menyatakan bahwa kulit yang lecet merupakan pintu masuk utama infeksi B. suis pada pekerja di rumah potong babi yang menangani daging segar yang terkontaminasi.
Kemampuan spesies Brucella untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit manusia sangat berbeda-beda. Galur B. suis pada umumnya mempunyai kemampuan
intermediate atau sedang. Yang merupakan
paling patogenik adalah B. melitensis.
Penelitian pada hewan percobaan menunujukkan bahwa brucellae yang masuk akan secara cepat difagositosis oleh leukosit
polymorphonuclear. Brucellae biasanya dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dalam sel-sel ini karena sel tersebut dapat menghambat sistem bactericidal
myeloper-oxidase-peroxide-halide dengan cara
melepaskan 5’guanosine dan adenine. Pada awal infeksi, makrofag secara relatif tidak efektif dalam membunuh bakteri brucella intraseluler. Dalam penyebarannya secara sistemik, tidak jelas cara bakteria ditransportasikan, mungkin dalam neutrophil dan makrofag atau dalam aliran darah diluar sel. Tetapi mikroorganisme dapat menyebar secara luas dari jaringan limfoid regional sesuai dengan tempat masuknya dan dapat
berlokalisasi dalam target organ tertentu seperti kelenjar limfe, limpa, hati, sumsum tulang dan organ reproduksi (terutama pada hewan). Adanya mesoerythritol dalam testikel dan vesicula seminalis babi pejantan dan dalam produk hasil konsepsi dalam induk bunting akan menstimulasi multiplikasi kuman Brucella secara besar-besaran. Erythritol merupakan faktor lokalisasi yang kuat dalam spesies tertentu, tetapi tidak dipunyai manusia.
Pada manusia, kerusakan pada jaringan yang disebabkan Brucella dapat mulai dari granuloma kecil yang terdiri atas sel epiteloid, leukosit polymorphnulear, limfosit dan
beberasa sel raksasa. Pada infeksi B. suis dapat terjadi nekrosis dan abses. Pada manusia biasanya dengan cepat terjadi hipersensitifitas terhadap antigen brucella sehingga terlihatlah gejala penyakit seperti demam akibat reaksi pertahanan dari tubuh.
Pertahanan tubuh yang spesifik terhadap brucellosis meliputi kekebalan humoral (antibody mediated) dan kekebalan seluler (cell
mediated). Penyuntikan secara pasif antibodi
monoklonal terhadap LPS telah dibuktikan dapat menurunkan jumlah brucela yang ada dan hidup dalam limpa dan hati mencit. Hal ini menunjukkan peranan antibodi dalam proteksi. Tetapi komponen utama dalam pertahanan terhadap brucellosis adalah kekebalan seluler.
Telah dibuktikan makrofag memproses antigen brucella dan menyebabkan limfosit T menghasilkan lymphokines. Agen-agen ini yang dalam hal ini menyebabkan interferon sangat aktif, mengaktifkan makrofag yang sebelumnya inaktif menjadi pembunuh bakteri yang lebih kuat. Penurunan gamma interferon menyebabkan hewan menjadi peka terhadap infeksi. T cell yang menurunkan limphokines juga terlibat dalam usaha menarik sel pada pusat infeksi. Hal ini yang menyebabkan pembentukan granuloma. Selain itu juga terjadi pengiriman makrofag yang aktif ke tempat yang memerlukan. Respon peradangan ini ditingkatkan oleh sitokin, seperti colony
stimulating factors, tumor necrosis factor dan interleukin 1. Penelitian juga membuktikan
adanya kekebalan yang tersisa akibat infeksi brucellosis dapat melindungi manusia terhadap serangan infeksi berikutnya.
Gambar 1. Penyebaran Brucella suis dalam tubuh INFEKSI BRUCELLA SUIS SEBAGAI
ZOONOSIS
Infeksi B. suis pada manusia sangat erat berhubungan dengan tingkat infeksi pada babi. SPINK (1957) menunjukkan bahwa pada periode 1937-1954, kasus brucellosis pada manusia per tahun mencapai 2,000-6,000. Pada priode saat baru dimulainya program pengendalian dan pemberantasan brucellosis pada babi tahun 1936, di peternakan babi reaktor serologis dapat mencapai 67-78% (CAMERON dan CARLSON, 1944). Hingga tahun 1970an, kasus brucellosis pada babi yang berkaitan dengan zoonosis masih meningkat (HENDRIEKS, 1971). Dari pengamatan kasus periode 1968, 1969 dan 1970, sebanyak 286 dari 596 kasus pada manusia berkaitan dengan brucellosis pada babi. Pada 84 dari 135 kasus brucellosis manusia berhasil diisolasi kuman B.
suis. Survei di rumah potong hewan periode
1960-1972 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 90% kasus brucellosis pada manusia berkaitan dengan pemotongan babi dan kulit yang lecet merupakan tempat masuknya infeksi
yang utama (BUCHANAN et al., 1974). Keberhasilan pemberantasan brucellosis pada babi menyebabkan bebasnya infeksi B. suis pada manusia di Amerika Serikat (TAFT, 1998).
Di Indonesia, isolasi B. suis dari babi sudah dilakukan (PRIADI et al., 1985) dan signifikansi sebagai zoonosis juga sudah dilaporkan (PRIADI et al., 1992). Lima puluh delapan isolat B. suis biotipe 1 berhasil disolasi dari organ babi dan sebanyak 32.9% pekerja rumah potong dan peternakan babi yang mengalami demam dengan gejala seperti flu bereaksi positif pada uji Rose Bengal Plate test (RBPT). Walaupun tidak pernah lagi dilakukan studi epidemiologi yang intensif tentang infeksi B.
suis pada manusia, adanya laporan kejadian
brucellosis yang tinggi pada babi (SAPARDI et
al., 2004) menunjukkan infeksi B. suis tetap
merupakan zoonosis yang sangat potensial. Bahaya infeksi B. suis sebagai zoonosis sebenarnya sudah digunakan oleh Amerika Serikat sebagai senjata biologis pertama di tahun 1950-an (THE INSTITUTE for GENOMIC RESEARCH, 2001).
Sel fagosit yang terinfeksi Brucella
Sumsum tulang
Kelenjar limfe
Limpa Hati
DIAGNOSIS Gejala klinis pada babi
Gejala klinis pada babi biasanya tidak terlihat. Masa inkubasi biasanya berkisar 14-21 hari. Pada babi betina, abortus adalah yang gejala utama. Hal ini dapat terjadi sepanjang masa kebuntingan. Dapat juga anak babi dilahirkan mati atau terjadi kelemahan pada anak babi. Induk babi dapat mengeluarkan discharge dari vagina. Mastitis kadang terjadi dan dapat menjurus pada pembentukan abses. Pada pejantan biasanya tidak terlihat gejala meskipun dalam semennya dapat ditemukan B.
suis. Terkadang ditemukan pembengkakan atau
pada kasus kronis terjadi atropi epididymis dan testes, umumnya unilateral. Performans seksualnya biasanya tidak terpengaruh. Pada babi semua umur, dapat juga terjadi kebengkakan persendian, bursa dan tendon. Terkadang dapat terjadi paralysis, dan dapat juga menjurus pada pembentukan abses (ALTON, 1990).
Gejala klinis pada manusia
Pada manusia yang terinfeksi B. suis biasanya terjadi demam akut. Demam dapat hilang, kemudian setelah beberapa waktu demam timbul dan terulang kembali. Lesi fokal dapat ditemukan pada tulang, persendian, saluran kelamin dan tempat-tempat lainnya. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi setelah seseorang terpapar penyakit. Infeksi juga dapat terjadi secara subklinis maupun secara kronis. Pemeriksaan bakteriologis
Isolasi organisme penyebab harus dilakukan jika terjadi keraguan dalam uji lainnya. Sampel darah manusia dapat ditumbuhkan pada media, tetapi spesimen harus diambil pada saat awal terjadinya penyakit, dan mungkin perlu diinkubasi sampai 4 minggu. Meskipun demikian , sangat umum terjadi kegagalan dalam usaha menumbuhkan organisme penyebab.
Pada infeksi babi yang disebabkan biovar 1, usaha isolasi dari sampel kelenjar limfe
mandibular, retropharingeal dan internal iliac (PRIADI 1985; ALTON et al., 1988; SUDIBYO 1988). Kelenjar dapat direndam dalam alkohol, dibakar dengan alkohol dan diproses dalam stomacher sebelum disebar dalam media padat. Sampel lain dari hewan yang dapat diperiksa adalah darah, semen dari pejantan, testes dari hewan dikastrasi, isi sendi yang bengkak, dan abses.
Pemeriksaan Serologis
Antigen yang mengandung sel utuh B.
abortus smooth biasanya digunakan untuk
diagnosis infeksi B. suis. Hal ini disebabkan karena organisme ini mempunyai permukaan LPS sama.
Uji aglutinasi merupakan uji yang sangat sering digunakan, tetapi kurangnya sensitivitas dan spesifisitas menyebabkan uji ini kurang dapat diandalkan untuk menentukan adanya brucellosis pada individu babi tertentu. Tetapi uji ini dirasakan cukup baik untuk menguji sekelompok ternak, dengan asumsi kelompok terinfeksi akan mengandung sedikitnya 1 ekor hewan dengan 100 IU serum aglutinin. B suis sering dapat diisolasi dari hewan yang serumnya bereaksi negatif. Tetapi hasil reaksi positif palsu juga sering ditemukan.
Uji fiksasi komplemen kurang efektif pada babi dibanding ruminansia. RBT juga kurang efektif, tetapi berguna untuk menentukan terinfeksinya sekelompok ternak (PRIADI 1985; ALTON et al., 1988; SUDIBYO 1988).
Penelitian secara serologis pada babi di Indonesia telah menunjukkan tingginya angka reaktor terhadap brucellosis (SCOTT-ORR., 1980). Hasil penelitian PRIADI et al. (1985)
menyatakan bahwa angka reaktor brucellosis adalah sebesar 15% pada rumah potong babi dan angka reaktor 0 – 30% dari peternakan babi di pulau Jawa. Walaupun laporan mengenai brucellosis pada babi di Indonesia masih sangat sedikit, data SAPARDI et al., (2004) menunjukkan bahwa brucellosis pada babi masih merupakan masalah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Tetapi, penyakit ini masih tetap menjadi masalah di banyak negara di dunia baik karena dampak ekonominya maupun karena dampak kesehatan veterinernya.
RBPT telah digunakan untuk menguji 221 sera manusia yang berasal dari pekerja rumah potong babi dan peternakan babi di pulau Jawa (PRIADI et al., 1992). Hasilnya menunjukkan bahwa 32.9% pekerja terinfeksi brucellosis dari 79 pekerja yang dicurigai. Sedangkan 12,7%
dari 142 orang pekerja yang secara klinis sehat, memberikan reaksi positif. Jadi diperoleh angka prevalensi sebesar 19,9% brucellosis diantara pekerja rumah potong dan peternakan babi (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji serologis RBPT pada serum manusia (PRIADI et al., 1992)
Sampel Yang dicurigai Tidak dicurigai Jumlah
Kelompok I (221) Kelompok II (27) Kelompok III 26/79*(32,9%) 0/2 NT 18/142(12,7%) 0/25 0/300 44/221 (19,9%) 0/27 0/300 Jumlah 26/81 (32,1%) 18/467 (3,8%) 44/548 (8,0%)
Kelompok I : Pekerja rumah potong babi dan peternakan babi Kelompok II : Orang yang berhubungan dengan pekerja Kelompok III : Kontrol yang sama sekali tidak berhunungan
* : Jumlah yang positif dalam pengujian/jumlah yang diuji
NT : Tidak diuji
PENGENDALIAN DAN PENGOBATAN Seseorang yang karena pekerjaannya dapat terpapar oleh penyakit yang disebabkan B. suis dapat dilindungi dengan memakai pakaian pelindung, sepatu boots dari karet, sarung tangan, masker wajah dan juga menjaga kebersihan diri. Vaksin untuk manusia guna pencegahan penyakit ini tidak digunakan secara luas.
Pemberantasan brucellosis dari babi akan secara cepat dapat mengurangi ancaman serangan penyakit terhadap manusia. Hal ini telah dibuktikan pada beberapa negara (ALTON dan FORSYTH, 2005). Dalam program pemberantasan, dapat digunakan berbagai vaksin dan vaksinasi dikalukan terutama pada hewan muda. Kemudian, perlu juga diutamakan deteksi kelompok hewan yang terinfeksi dan juga deteksi pada individu hewan tertentu yang dapat dilakukan dengan uji serologi. Pilihan terakhir adalah eliminasi hewan terinfeksi dengan pemotongan ternak.
Pengobatan pada manusia dilakukan dengan pemberian kombinasi antibiotik dari 4 sampai 6 minggu. Pada dasarnya digunakan
doxycycline dan rifampin dengan cotrimoxazole sebagai pengganti doxycycline
pada anak-anak. Tetapi juga dilaporkan demam terulang kembali setelah pengobatan selama 2 minggu dengan pemberian streptomycin setiap hari. Azithromycin juga telah dibuktikan
memberikan hasil yang dapat diharapkan pada model percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
ALTON, G.G. and J. GULASEKHARAM. 1974. Brucellosis as human helath hazard in Australia. Aust. Vet J. 50:209-215.
ALTON, G.G., L.M. JONES, R.D. ANGUS, and J.M. VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis laboratory. I.N.R.A. Paris.
ALTON, G.G. 1990. Brucella suis. In: Animal Brucellosis. Edited by: NIELSEN, K. and DUNCAN J.R. CRC Press, Boca Raton, Ann Arbor, Boston. pp: 411-422.
ALTON, G.G., and J.R.L. FORSYTH. 2005. Brucella.
http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch028.htm 12 Agustus 2005.
ARAMBULO P.V., V.P. HICARTE, R.V. SARMIENTO and A.B. CADA. 1970. On the serological evidence of Brucellosis amongst slaughtered pigs and abatoir workers in Manila. Philliphine J. Vet. Med. 8:146-148.
BRICKER, B.J. and S.M. HALLING. 1994. Differentiation of Brucella abortus bv 1, 2, and 4, Brucella melitensis, Brucella ovis, and Brucella suis bv. 1 by PCR. J. Clin. Microbiol. 32:2660-2666.
BUNDLE, D.R., M.B. PERRY and
CHERWONOGRODZKY. 1989. Monoclonal antibodies in the identification and characterization of Brucella species. In
SWAMINATHAN and PRAKASH: Nucleic acid monoclonal antibody probes. Marcel Dekker Inc. New York and Basel
CORBEL, M.J. 1997. Brucellosis an overview. Emerg. Infect. Dis. 3(2):221
CVETNIC,Z., M. MITAK, M. OCEPEK, M. LOJKIC, SVJETLANA TERZIC, LORENA JEMERSIC, ANDREA HUMSKI, B. HABRUN, B. SOSTARIC, M. BRSTILO, B. KRT and B. GARIN-BASTUJI. 2003. Wild boars (Sus scrofa) as reservoirs of Brucella suis biovar 2 in Croatia. Acta Veterinaria Hungarica 51 (4)465-473 CVETNIC, Z; S. SPICIC, M. LOJKIC, S. CURIC, B.
JUKIC, D. ALBERT, M. THIÉBAUD, and B GARIN-BASTUJI. 2005. Brucella suis biotype 2. in horses. Vet. Rec. 156(18):584-585.
DAVIS, D.S. 1990. Brucellosis in wildlife. In: Animal Brucellosis. Edited by: NIELSEN, K. and DUNCAN J.R. CRC Press, Boca Raton, Ann Arbor, Boston.
ELBERG, S.S. 1981. A guide to diagnosis, treatment and prevention of human brucellosis. Document VPH/81/31 OMS Geneva. RAY, W.C. 1978. Brucellosis (due to Brucella abortus and B. suis) in CRC Handbook series in Zoonoses. pp 99-127.
ENRIGHT, F.M. 1990. The pathogenesis and phatobiology of Brucella infection in domestic animals. In: Animal Brucellosis. Edited by: NIELSEN, K. and DUNCAN J.R. CRC Press, Boca Raton, Ann Arbor, Boston.
EWALT, D.R., J.B. PAYEUR, J.C.RHYAN, and P.L. GEER. 1997. Brucella suis biovar 1 in naturally infected cattle: a bacteriological, serological, and histological study. J. Vet. Diagn. Invest. 9:417-420.
HEINEMAN, H.S. and I.M. DZIAMSKI. 1976. Brucella suis infection in Philadelphia: A survey of hog fever and symptomatic brucellosis. Amer. J. Epidemiol. 103:88-100.
HENDRIKS S.L. 1971. Current public health problems of swine brucellosis. Proc. 75th
Annual Meeting, the USA health Assoc. pp 123-132.
HUTCHINGS, L.M., and F.N. ANDREWS. 1946. Studies on Brucellosis in swine. III Brucella infection in the boar. Am. J. of Vet. Res. 7(25): 379-387.
NEVILLE, G. and M. PEARCE. 1992. Brucellosis – almost erradicated. Comm. Dis. Intelligence.
NICOLETTI, P. 1990. Vaccination. In: Animal Brucellosis. Edited by: NIELSEN, K. and DUNCAN J.R. CRC Press, Boca Raton, Ann Arbor, Boston.
PAULO, P.S., A.M. VIGLIOCCO, R.F. RAMONDINO, D. MARTICORENA, E. BISSI, G. BRIONES, C. GORCHS, D.GALL and K. NIELSEN. 2000. Evaluation of primary binding assay for presumptive serodiagnosis of swine brucellosis in Argentina. Clin. and Diagn. Lab. Immun. 7(5):828-831.
PRIADI, A., R.G. HIRST, U. CHASANAH, A. NURHADI, J.J. EMMINS, M. DARODJAT and M. SOEROSO. 1985. Animal brucellosis in Indonesia – Brucella suis infection detected by an enzyme-linked immunosorbent assay. Proc. The 3rd
AAAP Animal Science Congress, Seoul, Korea, vol. 1: 507-509.
PRIADI, A. 1992. Brucella suis infection as a zoonosis in Java. Penyakit Hewan 24(44):110-112.
SAPARDI, M, B. PURMADJAJA, T.B. USMAN dan I. SULAIMAN. 2004. Monitoring Brucella suis pada Babi di Jawa Tahun 2002-2003. Bulletin Veteriner Vol. III, No. 1 Edisi Januari-Maret, 1-6.
SCOTT-ORR, H., M. DARODJAT, J. ACHDIJATI dan M. SOEROSO. 1980. Kejadian leptospirosis dan brucellosis pada ternak di Indonesia. Risalah Seminar Penyakit Reproduksi dan Unggas. Hal: 31-47.
SOEROSO, M. dan F.M. TAUFANI. 1972. Brucellosis di Indonesia. Bulletin LPPH 3(3-4):24-30. SPINK, W.W. 1957. The Significance of bacterial
hypersensitivity in human brucellosis: studies on infection due to strain 19 Brucella abortus. Ann. Int. Med: 47: 861
SUDIBYO, A. 1996. Teknologi pembuatan vaksin mono dan polivalen brucellosis dan leptospirosis pada babi. Laporan Teknis Penelitian TA. 1995/1996. Balai Penelitan Veteriner, Bogor.
SUDIBYO, A 1998. Studi patogenisitas Brucella suis isolat lapang dan kemampuan penularannya dari babi ke manusia. JITV. 3(4):257-263. TAFT, A.C. 1998. Swine Brucellosis Eradication.
1998 LCI Annual Meeting and National Conference on Animal Health Emergency Management. http://www.animalagriculture. org/Proceedings/1998%20Proc/Swine%20Bru cellosis%20Eradication.htm 7/26/2005.
THE INSTITUTE for GENOMIC RESEARCH (2001). Brucella suis Bacgraound. http://www.tigr. org/CMR2/BackGround/gbr.htmal.
VAN-SMIT, S. 2005. Brucella suis infection – status of New Zealand`s pig population.
http://www.biosecurity.govt.nz/pest-diseases/ animals/brucella-suis/7/19/2005.
VIZCAINO, N. and L. FERMANDEZ-LAGO. 1992. A rapid and sensitive method for the identification of Brucella species with a monoclonal antibody. Res. Microbiol. 143:513-518.
WRATHALL,A.E., E.S. BROUGHTON, K.P. GILL and G.P.GOLDSMITH. 1993. Serological reactions to Brucella species in British Pigs.