• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Coating

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Coating"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Coating

Edible coating ialah lapisan tipis terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan diaplikasikan pada produk santapan. Peran lapisan ini yaitu menghambat keluarnya uap air, gas, serta mencegah kontak dengan O2 yang akan merusak kualitas buah

serta menghambat proses pematangan buah (Megasari dan Mutia, 2019). Edible coating meliputi biodegradable packaging, yaitu teknologi dalam pengolahan makanan yang berperan dalam mendapatkan produk dengan umur simpan yang lebih lama dan dapat mempertahankan kualitas produk makanan yang disimpan pada suhu ruang (Kenawi, 2011). Menurut Julianti (2007) dalam Alsuhendra (2011), edible coating dapat mencegah hilangnya air dari buah sehingga penurunan bobot buah dengan pelapisan relatif lebih rendah. Lapisan yang diberikankan pada buah tidak berbahaya jika dikonsumsi karena mengandung bahan-bahan alami. Edible coating merupakan pelapis yang baik terhadap air, O2 serta dapat

mengendalikan laju respirasi, sehingga banyak diaplikasikan sebagai pengemas pada produk yang mudah rusak seperti buah-buahan dan sayuran segar, produk hasil laut, produk pangan semi basah dan produk frozen food.

Komponen penyusun edible coating dapat terbuat dari tiga kelompok penyusunnya, yaitu hidrokoloid, lipid, dan kombinasi antara hidrokoloid-lipid (komposit). Gugus hidrokoloid yang dapat dimanfaatkan adalah protein, derivat selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida. Kelompok lipid yaitu lilin, asilgliserol, dan asam lemak. Pelapis kombinasi dapat berbentuk bilayer, dimana satu lapisan adalah hidrokoloid dan satu lapisan lipid, atau bisa dapat berupa kombinasi hidrokoloid dan lipid dalam satu kesatuan. Gugus polisakarida merupakan golongan yang paling banyak digunakan dalam pembuatan edible coating yang aman dikonsumsi seperti pati dan turunannya (Winarti, 2013).

Edible coating dirancang untuk melindungi bahan pangan, menghambat kehilangan kelembaban, dan memperbaiki tampilan produk. Pada komoditas buah klimaterik, edible coating dapat memperpanjang umur simpan dengan cara mengontrol atau memodifikasi atmosfer. Hal ini dilakukan bertujuan untuk

(2)

5 memperlambat reaksi pematangan seperti respirasi dan produksi etilen (Baldwin, 2011).

Menurut (Widaningrum, 2015) ada beberapa teknik dalam penerapan pelapisan pada produk buah-buahan dan sayuran yaitu sebagai berikut:

1. Pengolesan (blushing) yaitu larutan edible coating yang dioleskan pada produk.

2. Pembungkusan (casting) yaitu buah dikemas (dibungkus) dengan lapisan film (edible film).

3. Penyemprotan (spraying) yaitu produk disemprot dengan pelapis (coating) secara merata, hasil yang diperoleh lebih tipis dari pada pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk dengan dua sisi permukaan.

4. Pencelupan (dipping) yaitu teknik ini dilakukan dengan cara merendam produk dalam larutan edible coating. Umumnya teknik ini digunakan untuk produk dengan permukaan yang tidak rata. Teknik ini diaplikasikan pada daging, ikan, produk hewani, buah-buah dan sayuran.

2.2 Bahan-bahan Edible Coating 2.2.1 Pati

Pati merupakan karbohidrat utama yang berasal dari tumbuhan. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayur mayur, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum (Andrawulan, 2011). Pati atau amilum ialah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berbentuk bubuk putih, tidak berasa dan tidak berbau. Rumus molekul pati adalah (C6H10O5)n.

Komponen pati tersusun dari dua jenis, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa yaitu polimer rantai lurus yang tersusun dari ribuan glukosa dengan ikatan α-1,4-glukosida yang memberikan sifat keras (pera) dan memiliki berat molekul rata-rata 10.000-60.000 (Zulfa, 2011), sedangkan amilopektin mengandung cabang rantai karena adanya ikatan α-1,6-glukosida pada bagian tertentu yang menyebabkan lengket, tidak larut dalam air dingin dan memiliki berat molekul 60.000-100.000 (Nangin dan Sutrisno, 2014).

Menurut Taggart (2004) dalam Rahmayetty (2018), amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang

(3)

6 sederhana. Struktur sederhana ini dapat membentuk interaksi molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil dari molekul amilosa. Dibandingkan dengan amilopektin, amilosa lebih mudah membentuk ikatan hidrogen. Struktur amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa, yang tersusun dari rantai pendek α-(1,4)-D-glukosa dalam jumlah yang bervariasi. Perbedaannya terletak pada cabang ikatan α-(1,6)-D-glukosa dengan bobot molekul yang besar. Kristal juga dapat terbentuk dari amilopektin, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai cabang yang menghalangi pembentukan kristal (Rahmayetty, 2018).

Amilosa berperan sangat penting dalam proses gelatinisasi dan dapat menentukan karakteristik pasta pati. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga gelatinisasi membutuhkan energi yang lebih besar (Prabowo, 2014). Sedangkan amilopektin memiliki rantai cabang yang panjang dan memiliki potensi yang kuat untuk membentuk gel. Umumnya pati mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut (Zulaidah, 2012).

Sifat pati dipengaruhi oleh jumlah amilosa dan amilopektin yang terdispersi, jumlah granula pati yang tidak terlarut, dan kemampuan pati untuk mengembang (swelling). Amilosa meningkatkan kekuatan struktur pati, sedangkan amilopektin menyebabkan kekentalan dan kekuatan gel pati. Pati dengan kandungan amilosa tinggi akan sulit mengalami gelatinisasi karena membutuhkan lebih banyak energi untuk mengurai endapan amilosa, gel yang bersifat opaque, lapisan film yang kokoh, dan strukturnya yang kuat. Amilopektin dengan struktur bercabang, mempunyai ikatan antar molekul yang lebih lemah dibanding dengan amilosa. Semakin tinggi kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, tidak lengket, dan mudah menyerap air (higroskopis) (Witono, 2012).

Pati dapat diekstraksi dengan berbagai cara sesuai dengan bahan baku dan tujuan dari pati itu sendiri. Ada beberapa metode untuk mengekstraksi pati,

(4)

7 termasuk perendaman basa, penggilingan basah, penghancuran protein, dan ultrasonografi intensitas tinggi (Chandra, 2013).

2.2.2 Gliserol

Gliserol adalah alkohol terhidrik. Nama lain gliserol adalah gliserin atau 1,2,3-propanetriol. Sifat fisik gliserol yaitu tidak berwarna, tidak berbau, rasanya manis, bentuknya liquid sirup, memiliki titik leleh pada suhu 17,8°C dan titik didih pada suhu 290°C serta larut dalam air dan etanol. Gliserol bersifat higroskopis, seperti menyerap air dari udara, sifat ini yang membuat gliserol dapat digunakan sebagai pelembab pada kosmetik. Gliserol terdapat dalam bentuk ester (gliserida) pada semua hewan, lemak nabati dan minyak. Gliserol termasuk jenis plasticizer yang hidrofilisitas, peningkatan polaritas dan sifat larut dalam air (Huri & Nisa, 2014).

Fungsi gliserol yaitu menyerap air, zat pembentuk kristal dan plasticizer. Plasticizer merupakan zat dengan berat molekul rendah yang dapat masuk ke dalam matriks polimer protein dan polisakarida, sehingga meningkatkan kelenturan

Gambar 2.1 Struktur Amilopektin Sumber: Zulaidah (2012) Gambar 2.2 Struktur Amilosa

(5)

8 lapisan film dan kemampuan pembentukan film (Illing dan Satriawan, 2018). Molekul plastizicer akan memecah kohesi pati, mengurangi interaksi antar molekul dan meningkatkan mobilitas polimer. Selain itu, dengan meningkatnya konsentrasi gliserol dapat menyebabkan peningkatan elongation dan penurunan kuat tarik. Mengurangi interaksi antar molekul dan meningkatkan mobilitas molekul yang akan mendorong migrasi molekul uap air (Hidayati S., A. Sapta Zuidar, 2015). Gliserol berwujud cair sehingga dapat digunakan sebagai plasticizer. Wujud cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air, sedangkan sorbitol sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang, hal tersebut tidak disukai konsumen (Huri & Nisa, 2014).

2.3 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.)

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan komoditas sumber karbohidrat utama setelah padi, jagung, dan ubi kayu, dan berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri dan pakan ternak. Sebagai salah satu sumber karbohidrat, ubi jalar berpeluang menjadi pengganti bahan pangan utama sehingga dalam pengaplikasiannya berperan penting dalam diversifikasi pangan dan dapat diolah menjadi berbagai produk yang mampu mendorong perkembangan industri pertanian lokal (Moede dkk., 2017).

Secara historis, ubi jalar berasal dari daerah tropis di Amerika Serikat. Pada tahun 1960, ubi jalar telah menyebar hampir ke setiap daerah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua dan Sumatera. Namun hingga saat ini hanya Papua saja yang memanfaatkan ubi jalar sebagai makanan pokok, walaupun belum menyamai padi dan jagung (Utari dkk., 2017).

Gambar 2.3 Ubi Jalar Ungu Sumber: Kevin (2018)

(6)

9 Klasifikasi ubi jalar menurut Widodo (2013) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Tubiflorae Family : Convolvulaceae Genus : Ipomea

Spesies : Ipomoea batatas (L)

Ubi jalar adalah tanaman yang mudah tumbuh dari ketinggian 0 m dpl hingga 3000 m dpl. Namun dapat tumbuh dengan baik pada iklim panas dan lembab, dengan suhu optimum 23-25°C dan waktu pemaparan sinar matahari sekitar 11-12 jam perhari. Tanaman ini dapat tumbuh di ketinggian diatas 1.000 m dpl. Di Jepang, ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat yang cukup popular. Beberapa varietas ubi Jepang cukup dikenal hingga ke Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki beberapa kultivar yang tersebar luas, antara lain varietas ibaraki, beniazuma, dan naruto (Widodo dan St A, 2014).

Warna ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan menurut Hayati (2018) sebagai berikut:

1.

Ubi jalar putih (Var. Sukuh), yakni jenis ubi jalar yang dagingnya berwarna putih.

2.

Ubi jalar kuning (Var. Sari), yakni jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna kuning, kuning muda, atau kekuning-kuningan.

3.

Ubi jalar orange (Var. Pakhong), yakni ubi jalar dengan warna daging berwarna orange.

4.

Ubi jalar ungu (Var. Ayamurasaki), yakni jenis ubi jalar yang memiliki daging berwarna ungu hingga ungu muda.

Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki (Ipomoea batatas L. var. Ayamurasaki) sering disebut Ipomoea batatas blackie karena memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat). Kenampakannya bagus dengan rata- rata berat tiap adalah 200-500 g.Ubi jalar ungu merupakan sumber vitamin dan mineral, vitamin yang terkandung dalam ubi jalar antara lain Vitamin A, Vitamin C, thiamin

(7)

10 (vitamin B1) dan ribovlavin. Mineral dalam ubi jalar di antaranya adalah zat besi (Fe), fosfor (P) dan kalsium (Ca) (Aditya dkk., 2012). Kandungan lainnya adalah protein, lemak, serat kasar dan abu. Berikut adalah komposisi zat gizi ubi jalar berdasarkan Ginting (2015).

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar Segar

Komposisi Kimia Ubi Ungu Ubi Putih Ubi Kuning

Air (%) 70,46 62,24 68,78 Abu (%) 0,94 0,93 0,99 Pati (%) 22,64 28,79 24,47 Protein (%) 0,77 0,89 0,49 Gula Reduksi (%) 0,30 0,32 0,11 Serat (%) 3,00 2,79 2,79 Lemak (%) 0,94 0,77 0,68 Vitamin C (mg/100 g) 21,43 28,68 25,00 Vitamin A (Si) - 60,00 9.000,00 Antoianin (mg/100 g) 110,51 - - Sumber: Ginting (2015)

Ubi jalar ungu memiliki kandungan serat pangan (dietary fiber) yang tinggi. Serat pangan merupakan polisakarida yang tidak dapat dicerna dan diserap di usus halus sehingga akan terfermentasi di usus besar (Naim, 2016). Di dalam usus besar akan terfermenasi oleh bakteri asam laktat (BAL) menghasilkan beberapa jenis asam lemak berantai pendek (SCFA) yang diketahui baik mereka yang mengkonsumsinya (Damat dkk., 2020). Produk pangan yang banyak mengandung serat pangan akan dicerna dengan lambat, sehingga dapat menurunkan kadar gula posprandial (Damat dkk., 2008).

Warna ungu pada ubi jalar ungu disebabkan adanya senyawa antosianin. Antosianin adalah kelompok pigmen yang menyebabkan warna kemerah-merahan yang letaknya di dalam cairan sel yang bersifat larut dalam air (El Husna dkk., 2013). Ubi jalar ungu mengandung antosianin berkisar 51,50 mg/100 g sampai dengan 174,70 mg/100 g (Susilawati dkk., 2014). Selain antosianin, ubi jalar ungu kaya akan vitamin A yang mencapai 7.700 mg per 100 g, yaitu 7 kali lipat dari tomat yang memiliki kandungan vitamin A 1.050 IU per 100 g. Setiap 100 g ubi jalar ungu mengandung energi 123 kkal, protein 1,8 g, lemak 0,7 g, karbohidrat 27,9 g, kalsium 30 mg, fosfor 49 mg, besi 0,7 mg, vitamin A 7.700 SI, vitamin C 22 mg dan vitamin B1 0,009 mg (Ratnawati dkk., 2012).

(8)

11 2.3.1 Pati Ubi Jalar Ungu

Salah satu bentuk pengolahan ubi jalar yaitu pengolahan menjadi pati. Bentuk pemanfaatan pati sebagai bahan baku industri dapat berupa pangan dan obat-obatan. Khusus untuk industri makanan, pati sangat penting untuk memproduksi makanan bayi, kue, puding, pengental susu, permen, jeli dan dekstrin (Anwar dan Irhami, 2018). Ubi jalar ungu kaya akan antosianin, tetapi juga tinggi karbohidrat terutama pati (Ma, 2017).

Karbohidrat pada ubi jalar terdiri dari monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Ubi jalar mengandung sekitar 16-40 % bahan kering dimana sekitar 70-90% merupakan karbohidrat yang terdiri dari pati, gula, selulosa, hemiselulosa, dan pektin (Susanto dan Rahmawati, 2019). Kadar pati pada ubi jalar rata-rata kurang dari 30% dengan kandungan amilosa sekitar 20%-33% (Mahmudatussa’adah, 2014). Menurut Pantastico (1986) dalam Apriliyanti (2010) menyatakan bahwa kandungan pati pada ubi jalar basah dan berdaging lunak, yaitu sekitar 13-19%, sedangkan kandungan pati pada ubi jalar kering dan padat relatif lebih banyak yaitu sekitar 18-22%.

Ubi jalar juga dapat diolah menjadi pati seperti singkong. Pati ubi jalar digunakan dalam industri pangan dan non pangan seperti produk kue, soun, bahan pengental aneka produk makanan, bahan perekat, sirup (gula cair), farmasi, dan tekstil. Pati ubi jalar lebih halus daripada pati singkong, kentang, dan terigu sehingga cocok untuk industri lem, kertas, dan tekstil. Larutan pati ubi jalar cepat meresap. Selain itu, tidak menyebabkan benang pada kain mudah putus dan permukaannya lebih halus (Rahman, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Lesmana (2017) edible film berbasis pati ubi jalar ungu menghasilkan karakteristik ketebalan 0,128 mm, laju transmisi uap air 5,91 g/m2.jam, kelarutan 89,95%, tensile strength 8,68 MPa, dan elongasi 23,56%.

Penelitian Annisa, dkk (2016) yaitu pati ubi jalar ungu diaplikasikan pada salak terolah minimal dengan konsentrasi 5% pati ubi jalar ungu dapat memperpanjang umur simpan sampai dengan 4 hari.

2.4 Jahe Merah (Zingiber officinale rosc)

Jahe (Zingiber officinale rosc) merupakan salah satu jenis tanaman yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae. Nama “Zingiber” berasal dari bahasa

(9)

12 Sansekerta “Singabera” dan Yunani “Zingiberi” yang berarti tanduk, karena bentuk rimpang jahe menyerupai tanduk. Officinale merupakan bahasa latin dari “Officina” yang berarti digunakan dalam farmasi atau obat-obatan (Kusnadi dkk., 2018).

Jahe termasuk tanaman yang berasal dari daerah Asia Tropis dan tersebar di berbagai wilayah dari India sampai Cina. Sejak zaman Kong Hu (551-479 SM), jahe telah dibudidayakan di India, kemudian diekspor ke Cina yang sebelumnya sudah dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Di Asia, penyebaran tanaman jahe dimulai pada jalur perdagangan yang akhirnya sampai di Indonesia dan menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain adalah Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Thioritz dan Saleh, 2020).

Klasifikasi jahe menurut (Wicaksono, 2015) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Family : Zingiberaceae Sub-family : Zingiberoidae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale Roscoe

Batang jahe termasuk batang semu dengan tinggi 30 cm sampai 100 cm (Widiya dkk., 2019). Akarnya berbentuk rimpang yang berlapis, berwarna putih hingga kemerahan dengan bau yang sangat menyengat. Panjang akar jahe merah 17,03-24,06 cm, diameter akar 5,36-5,46 mm. Tanaman jahe merah memiliki batang yang tinggi dan agak keras. Ketinggian tanaman mencapai tanaman

14,05-Gambar 2.4 Jahe Merah Sumber: Azizah (2020)

(10)

13 48,23 cm. Seratnya agak kasar, memiliki batang agak keras, berbentuk bulat kecil berwarna hijau kemerahan yang diselubungi oleh pelepah daun. Jahe merah mempunyai daun berselang-seling teratur, warna daun lebih hijau (gelap) dibandingkan dengan klon jahe gajah maupun jahe kecil, permukaan daun atas berwarna hijau muda jika dibanding dengan bagian bawah. Luas daun 32,55-51,18 mm, panjang daun 24,30-24,79 cm, lebar daun 2,79-31,18 cm, dan lebar tajuk 7,97-44,9 cm. Jahe merah memiliki panjang rimpang 12,33-12,60 cm, tinggi rimpang 5,86-7,03 cm, berat rimpang 0,29-1,17 kg (Rukmana and Yudirachman, 2016).

Umumnya komponen utama jahe merah antara lain minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Kandungan volatile dari jahe yaitu minyak atsiri yang memberikan aroma yang khas, sedangkan kandungan minyak tidak menguap yaitu oleoresin, yakni kandungan jahe yang memberikan rasa pahit dan pedas (Saptiwi dkk., 2018). Jahe merah mempunyai kandungan 6-gingerol, 8-6-gingerol, 10-gingerol dan 6-shogaol yang lebih tinggi dibandingkan dengan jahe gajah yaitu sebesar 18.03, 4.09, 4.61, dan 1.36 mg/g sehingga banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan obat (Fathona dan Wijaya, 2011). Jahe merah juga memiliki kandungan minyak atsiri 2,58 % - 3,90 %, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan (Setyawan, 2015). Data kandungan fitokimia rimpang jahe merah yang sudah diketahui menurut Fathona (2011) pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kandungan Fitokimia Rimpang Jahe

Kandungan Jahe Merah Jahe Gajah

6-gingerol 18.05 mg/g 9.56 mg/g

8-gingerol 4.09 mg/g 1.49 mg/g

10-gingerol 4.61 mg/g 2.96 mg/g

6-shogaol 1.36 mg/g 0.92 mg/g

Sumber: Fathona (2011)

Rasa pedas dari jahe segar berasal dari kelompok senyawa gingerol, yaitu senyawa turunan fenol (Ibrahim dkk., 2014). Kandungan paling tinggi dari gingerol adalah [6]-gingerol. Rasa pedas dari jahe kering berasal dari senyawa shogaol, yang merupakan hasil dehidrasi dari gingerol (Sugiarti dkk., 2017). Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik yang dikenal sebagai gingerol. Gingerol sangat tidak stabil dalam kondisi panas dan akan berubah menjadi shogaol pada suhu tinggi. Shogaol lebih pedas dibandingkan gingerol yang merupakan komponen utama jahe kering. Gingerol sebagai komponen utama jahe dapat

(11)

14 terkonversi menjadi shogaol atau zingeron selama proses pemanasan.Karakteristik bau dan aroma jahe berasal dari campuran senyawa zingeron, shogaol serta minyak atsiri dengan kisaran 1-3% dalam jahe segar. Sedangkan kepedasan dari jahe akibat adanya turunan senyawa non-volatil fenilpropanoid seperti gingerol dan shogaol. Zingeron mempunyai kepedasan lebih rendah dan memberikan rasa manis (Hernani, 2011).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa penambahan ekstrak jahe merah 1,5% pada edible film memiliki daerah hambat terhadap bakteri Salmonella (34,17 mm) (Amrillah, 2019). Selain itu, penelitian Susilowati (2019) penambahan ekstrak jahe 1% dapat mempertahankan tomat sampai dengan hari ke-12. Berdasarkan penelitian Rialita (2015), minyak essensial jahe merah memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat moderat terhadap bakteri patogen dan perusak pangan.

2.5 Tomat (Lycopersion esculentum Mill)

Tomat merupakan salah satu jenis tanaman sayuran buah yang tumbuh subur baik di dataran tinggi, dataran sedang, maupun dataran rendah. Tanaman tomat tergolong pada tanaman musiman dengan umur kurang lebih 3-4 bulan dan dapat ditanam sepanjang tahun (Kartika, 2015). Tomat merupakan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Tomat banyak digemari orang karena rasanya enak, segar dan sedikit asam serta mengandung banyak vitamin dan antioksidan. Salah satu antioksidan yang terkandung dalam tomat yaitu likopen (Yuniastri dkk., 2020).

Menurut sejarahnya, tanaman tomat berasal dari Benua Amerika, tersebar dari Amerika Tengah hingga Amerika Selatan. Tanaman tomat pertama kali dibudidayakan oleh suku Aztec dan suku Inka pada tahun 700 SM. Penyebaran tomat di Indonesia dimulai dari Filipina dan negara Asia lainnya pada abad ke-18 (Shabira dkk., 2019). Menurut Syukur, dkk (2015) Indonesia memiliki luas areal penanaman tomat sebesar 29.000 ha masih di atas Thailand, Filipina, dan Malaysia.

(12)

15 Berdasarkan taksonomi tanaman tomat diklasifikasikan menurut Ismalia dan Zuraida (2016) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Polemoniales Family : Solanaceae Genus : Lycopersion

Spesies : Lycopersion esculentum Mill

Tanaman tomat termasuk tanaman semusim yaitu tanaman yang hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat berbentuk perdu atau semak yang menjalar pada permukaan tanah dengan panjang mencapai ± 2 meter (Fitriani, 2012). Batang tanaman tomat bentuknya persegi hingga bulat, lunak atau tidak sekeras tanaman tahunan tetapi cukup kuat. Pada permukaan batang banyak ditumbuhi rambut halus (berbulu) dan diantara bulu-bulu tersebut ada yang memiliki kelenjar (Leovini, 2012).

Daun tanaman tomat merupakan daun majemuk yang bersirip ganda, duduk daun teratur pada batang dan membentuk spiral. Sirip daun bergerigi tidak teratur. Sirip besar terkadang ada yang bersirip lagi atau bersirip ganda. Buah pada tanaman tomat berkelamin dua (hermadopit) dengan posisi stigma lebih tinggi daripada tabung polen. Setiap tangkai bunga memiliki dua tipe, yaitu tangkai dengan lapisan absisi dan tangkai tanpa lapisan absisi. Terdapat lapisan absisi membuat proses pemanenan lebih mudah (Syukur dkk, 2015). Buah tanaman tomat berbentuk dan ukurannya bervariasi mulai dari berbentuk bulat, agak lonjong, tergantung jenis varietasnya. Sedangkan warna tomat juga bervariasi mulai dari kekuningan, hijau

Gambar 2.5 Tomat Merah Sumber: Pratama (2020)

(13)

16 muda, hingga merah (Syakur, 2012). Bagian-bagian tomat terdiri dari exsokarp (lapisan terluar yang mengandung zat warna terdiri dari dinding perikarp dan kulit buah), mesocarp (lapisan dalam yang berupa selaput terdiri dari parenkim dan lapisan bersel), dan endocarp (lapisan paling dalam yang terdiri dari biji, plasenta, dan columella) (Hairul, 2019).

Ada lima jenis tomat yang digolongkan berdasarkan bentuk buahnya menurut Aprilah (2016) yaitu:

1. Tomat biasa (L. commune), tomat jenis ini berbentuk bulat, agak pipih, dan tidak teratur, biasa ditemukan di pasar

2. Tomat apel atau pir (L. pyriporme), tomat jenis ini berbentuk bulat dan sedikit keras menyerupai buah apel atau pir.

3. Tomat kentang (L. grandifolium), tomat jenis ini berbentuk bulat, besar, padat, ukuran buah lebih besar dibandingkan tomat apel.

4. Tomat gondol (L.validum), tomat jenis ini berbentuk lonjong, tekstur keras, dan berkulit tebal

5. Tomat ceri (L. esculentum var cerasiforme), tomat jenis ini berbentuk bulat kecil dan rasanya manis.

Tomat memiliki kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh karena mengandung senyawa karotenoid, polifenol, dan vitamin C yang dapat bertindak sebagai antioksidan (Berawi dkk., 2016). Berikut adalah kandungan nutrisi tomat menurut Syukur, dkk (2015) dalam 100 gram.

Tabel 2.3 Kandungan Nutrisi Tomat dalam 100 gram

Kandungan Nutrisi Jumlah

Air (gram) 94 Protein (gram) 1 Lemak (gram) 0,2 Karbohidrat (gram) 3,6 Kalsium (mg) 10 Besi (mg) 0,6 Magnesium (mg) 10 Fosfor (mg) 16 Vitamin A (IU) 1700 Vitamin B1 (mg) 0,1 Vitamin B2 (mg) 0,02 Niacin (mg) 0,1 Vitamin C (mg) 21 Sumber: Syukur, dkk (2015)

(14)

17 Tomat juga mempunyai kandungan senyawa fenolat. Senyawa fenolat, khususnya kelompok flavonoids diketahui memiliki sifat sebagai antioksidan yang berperan sebagai anti kanker anti mikrobia dan memiliki sifat melindungi terhadap penyakit jantung (Pardede, 2013). Tomat memiliki senyawa anti penyakit, yang disebut likopen. Likopen merupakan senyawa karotenoid yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan berwarna merah kekuningan. Tomat memiliki likopen paling banyak dalam 100 gram, yaitu sebanyak 3-5 mg. Beberapa studi in vitro likopen menunjukkan adanya aktifitas antioksidan yang poten sehingga dapat disimpulkan bahwa likopen merupakan salah satu senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai agen kemopreventif potensial. Selain likopen, polifenol yang terdapat dalam tomat ternyata juga memiliki kemampuan antioksidan yang dapat memadamkan radikal bebas (Febriansah dkk., 2016). Kandungan likopen dalam tomat bervariasi dan bergantung pada tingkat kematangan saat dipanen, serta peningkatan pigmen warna merah pada buah (Kustiyah dkk., 2014).

2.5.1 Pascapanen Tomat

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) setelah pemanenan masih melakukan proses metabolisme sehingga mengalami kerusakan, baik secara fisik maupun kimia. Tomat setelah matang sempurna akan mengalami kerusakan setelah 3-4 hari pada penyimpanan suhu kamar sehingga tanpa adanya penanganan khusus umur simpan tomat relatif singkat (Salingkat dkk., 2020). Tomat termasuk buah klimaterik, yaitu buah yang mengalami kenaikan respirasi setelah dipanen sehingga dapat matang sempurna setelah dipanen (Tarigan dkk., 2016). Respirasi merupakan proses metabolisme yang sangat penting, terutama dalam perubahan-perubahan kimiawi maupun perubahan yang menjurus pada kerusakan atau pembusukan. Hal ini dikarenakan saat melakukan respirasi terjadi perombakan senyawa-senyawa yang menimbulkan panas sehingga proses kemunduran seperti kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme akan semakin meningkat (Verawati dkk., 2020).

Komponen paling tinggi dari tomat adalah air (lebih dari 93%), oleh karena itu tomat tergolong komoditas yang mudah rusak. Selama proses pematangan pada buah akan terjadi antara lain peningkatan respirasi, kadar gula reduksi dan kadar air, sedangkan tingkat keasaman turun, dan tekstur buah menjadi lunak. Tomat

(15)

18 setelah matang sempurna akan cepat menjadi rusak/busuk yakni setelah 3-4 hari penyimpanan pada suhu kamar sehingga tanpa adanya penanganan khusus umur simpan tomat relatif singkat atau pendek (Susilowati dkk., 2017).

Selama proses pemasakan, tomat akan mengalami penurunan tingkat kekerasan buah atau menjadi lunak. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi dinding sel selama proses pemasakan. Menurut Harris (2014) penurunan kekerasan pada buah yang disimpan disebabkan oleh terdegradasinya hemiselulosa dan pektin. Pektin yang tidak dapat larut (protopektin) mengalami penurunan jumlah dan berubah menjadi asam pektat yang mudah larut dalam air. Selain itu terjadinya proses metabolisme akan berpengaruh terhadap umur simpan, makin tinggi kecepatan metabolisme maka semakin pendek umur simpan (Adirahmanto dkk., 2014).

2.5.2 Kerusakan Tomat

Terjadinya penurunan kualitas pada sayur dan buah dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor respirasi dan transpirasi. Transpirasi merupakan proses kehilangan air yang menjadi penyebab utama kerusakan selama penyimpanan. Adanya transpirasi akan menyebabkan buah menjadi layu atau berkerut (Yuniastri dkk., 2020). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu pati, gula, dan asam organik menjadi CO2, H2O, dan energi

(Gardjito dkk., 2018). Faktor eksternal meliputi faktor kerusakan yang terjadi mulai panen sampai proses penyimpanan, yaitu kerusakan mekanis, fisik, kimia, dan biologi oleh mikroorganisme (Yuniastri dkk., 2020).

Buah-buah yang tidak langsung ditangani akan cepat mengalami pembusukan karena adanya respirasi dan transpirasi yang tetap berlangsung pada buah setelah dipanen. Tomat (Lycopersium esculentum) setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat proses pemasakan (Novita dkk., 2012).

Kerusakan mekanis pada tomat biasanya dikarenakan adanya gesekan atau tekanan selama proses panen hingga distribusi, dapat menurunkan mutu tomat dan

(16)

19 waktu simpannya. Saat terjadinya pengangkutan, tomat mengalami getaran dan tekanan yang menyebabkan luka memar. Kondisi jalan maupun gesekan antar buah serta gesekan buah dengan kemasan selama perjalanan dapat mengakibatkan perubahan respirasi dan komposisi membran sel yang berakibat pada kerusakan buah. Selain itu, waktu juga sangat mempengaruhi mutu buah, semakin lama periode antara panen dan konsumsi maka semakin besar susut mutu buah (Yuniastri dkk., 2020).

Selama proses pascapanen, tomat memiliki kandungan gula yang tinggi, aktivitas air yang rendah, dan pH rendah. Kondisi ini adalah kondisi yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kontaminasi mikroorganisme terjadi karena adanya kontak dengan udara. Pada saat penyimpanan, secara kontinyu terjadi interaksi antara tomat dengan udara, sehingga akan mempercepat terjadinya proses pembusukan tomat (Yuniastri dkk., 2020). Jenis mikroorganisme sebagai kontaminan tomat adalah genus kapang perusak, yaitu Phoma, Alternaria, Gleosporium, dan Physalospora. Jenis kapang Alternaria yang paling banyak menyerang pada tomat. Gejala seragan mikroorganisme ini ditandai dengan terbentuknya bercak-bercak coklat pada permukaan kulit tomat, atau dikenal dengan istilah Alternaria rot (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2017). Penyebabnya karena adanya degradasi atau hidrolisis makromolekul yang terkadung dalam tomat menjadi molekul atau fraksi yang lebih kecil, dan tak jarang juga disertai pembentukan toksin (Arini, 2017). Jika tidak disimpan dengan baik maka tomat akan mudah mengalami kerusakan, besarnya kerusakan setelah pemanenan pada tomat berkisar antara 30-50% (Widhiantri dkk, 2019).

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Amilopektin  Sumber: Zulaidah (2012)  Gambar 2.2 Struktur Amilosa
Gambar 2.3 Ubi Jalar Ungu  Sumber: Kevin (2018)
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar Segar
Gambar 2.4 Jahe Merah  Sumber: Azizah (2020)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuannya untuk meneliti kemungkinan potensi endapan lapisan batubara pada formasi pembawa batubara, dalam hal ini Formasi Tebidah yang berumur Oligosen Awal untuk daerah Sungai

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Dalam hal ini, maka desain untuk menarik minat para konsumen/pembeli pun sangat penting, pada awalnya para konsumen pasti akan tertuju pada bentuk promosi, cover,

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan suami dengan tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Perumahan Griya Cipta Laras

Definisi ini dipenuhi oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika diberi

48 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”An-Nisa: 48 Dan firman Allah

Dalam memilih pompa, para pemasok berusaha untuk mencocokan kurva sistim yang diberikan oleh fihak pengguna dengan kurva pompa yang memenuhi kebutuhan

Pemanfaatan Ekstrak dan Uji Stabilitas Zat Warna dari Bunga Nusa Indah Merah (Musaenda frondosa), Bunga Mawar Merah (Rosa), dan Bunga Karamunting (Melastoma malabathricum)