9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang supervisi, supervisi klinis, standar proses pendidikan, model evaluasi yang digunakan yaitu model Provus (Discrepancy Model), penelitian relevan sebagai pendukung, dan menggunakan kerangka berpikir sebagai alur pemikiran.
2.1 Konsep Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Wiles (1967) sebagai berikut: “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation” yang memiliki arti bahwa supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik (Anonim, 2000: 3).Sedangkan menurut Kisbiyanto (2008: 2), supervisi adalah suatu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru disekolah, baik secara individual maupun kolektif, agar lebih mengerti, dan lebih efektif dalam mewujudkan kemampuan mereka dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern. Supervisi adalah prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran. Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa layanan supervisi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material,
10
technique, method, teacher, student, and envirovment) (Purwanto, 1987: 3).
Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan bahwa supervisi merupakan usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran. Kata kunci pemberi supervisi pada akhirnya ialah memberikan layanan dan bantuan (Sahertian, 2008: 19).
2.2 Supervisi Klinis
Supervisi klinis, pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Cogan, dkk di Universitas Harvard pada akhir dekade 50-an dan awal dekade 60-an (Krejewsky, 1982: 3).
Bolla (1985: 3) memberikan definisi supervisi klinis sebagai supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk memodifikasi yang rasional. Sedangkan menurut Kisbiyanto (2008: 61), supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas guru, dengan mengoptimalkan kinerja dalam mengajar, mendesain pembelajaran secara sistematis dan terarah, mulai dari persiapan sampai pada evaluasi pembelajaran. Pendapat Purwanto
11
(2009: 90), menjelaskan supervisi klinis sebagai supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistematis dari tahap pengamatan dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya.
Berdasarkan pada beberapa pendapat para ahli di atas dapat dimengerti bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbing yang dilakukan guru guna ketercapaian atau perbaikan pengajaran yang lebih sistematis dan terstruktur dalam pendidikan serta membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif.
Ada dua asumsi yang mendasari praktek supervisi klinis, yaitu: pertama, pengajaran merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini, supervisor akan mudah mengembangkan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. Kedua, guru profesional yang ingin dikembangkan lebih menghendaki cara yang kolegial dari pada cara yang autoritarian (Sergiovanni & Staarat, 1987: 4). Menurut Glickmandkk (2010:288-289), menjelaskan lima langkah supervisi klinis, yaitu: (1) pra konferensi dengan guru; (2) observasi kelas; (3) analisis interpretasi observasi dan menetapkan pendekatan
12
konverensi; (4) pertemuan yang dilakukan setelah melakukan observasi; (5) melakukan kritik empat langkah sebelumnya.
2.2.1 Karakteristik Supervisi Klinis
Menurut Bolla (1985: 3), terdapat 12 karakteristik supervisi klinis sebagai berikut:
1. Perbaikan dalam mengajar mengharuskan guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku yang spesifik. 2. Fokus utama supervisor adalah mengajarkan berbagai
keterampilan kepada guru atau calon guru yaitu:
a. Keterampilan mengamati dan memahami (mempersepsi) proses pengajaran seara analitis;
b. Keterampilan menganalisis proses pengajaran secara rasional berdasarkan bukti-bukti pengamatan yang jelas dan tepat; c. Kererampilan dalam pembaharuan kurikulum, pelaksanaan,
serta pencobaannya; dan d. Keterampilan dalam mengajar.
3. Fokus supervisi klinis adalah pada perbaikan cara mengajar dan bukan mengubah kepribadian guru.
4. Fokus supervisi klinis dalam perencanaan dan analisis merupakan pegangan dalam pembuatan dan pengujian hipotesis mengajar yang didasarkan atas bukti-bukti pengamatan.
13
5. Fokus supervisi klinis adalah pada masalah mengajar dalam jumlah keterampilan yang tidak terlalu banyak, mempunyai arti vital bagi pendidikan, berada dalam jangkauan intelektual serta dapat dapat diubah bila perlu.
6. Fokus supervisi klinis adalah pada analisis yang konstruktif dan memberi penguatan (reinforcement) pada pola-pola atau tingkah laku yang berhasil dari pada mencela dan menghukum pola-pola tingkah laku yang belum berhasil.
7. Fokus supervisi klinis didasarkan atas bukti pengamatan dan bukan atas keputusan/penilaian yang tidak didukung oleh bukti nyata.
8. Siklus dalam perencanaan, mengajar dan menganalisis merupakan suatu kontuinitas dan dibangun atas dasar pengalaman masa lampau.
9. Supervisi klinis merupakan suatu proses memberi dan menerima yang dinamis.
10. Proses supervisi klinis terutama berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya pengajaran.
11. Tiap guru mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk mengemukakan pokok-pokok persoalan, menganalisis cara mengajarnya sendiri, dan mengembangkan gaya mengajarnya.
14
12. Supervisor mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk menganalisis dan mengevaluasi cara supervisinya sendiri dengan cara yang sama seperti ia menganalisis dan mengevaluasi cara mengajar guru.
2.2.2 Tujuan dan Prinsip Supervisi Klinis a) Tujuan Supervisi Klinis
Secara umum, supervisi klinis bertujuan memberikan tekanan pada proses pembentukan dan pengembangan profesional guru dengan maksud memberikan respon terhadap perhatian utama serta kebutuhan guru yang berhubungan dengan tugasnya. Pembentukan profesional guru yang bertujuan untuk menunjang pembaharuan pendidikan serta untuk “memerangi” kemerosotan suatu pendidikan terutama harus dimulai dengan mengadakan perbaikan dalam cara mengajar guru di kelas (Bolla, 1985: 5). Tujuan ini dirinci ke dalam tujuan yang lebih spesifik, yaitu:
1. Menyediakan bagi guru suatu balikan yang objektif dari kegiatan mengajar mereka baru saja mereka jalankan;
2. Mendiagnosis dan memecahkan atau membantu memecahkan masalah-masalah mengajar;
3. membantu guru mengembangkan keterampilan dalam menggunakan strategi-strategi mengajar;
15
4. Sebagai dasar untuk menilai guru dalam kemajuan pendidikan, promosi jabatan, atau pekerjaan mereka; dan
5. Membantu guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan diri secara terus-menerus dalam karir dan profesi mereka secara mandiri.
Hampir serupa yang dikatakan Esim dkk, (2013: 191) tujuan supervisi klinis adalah membantu guru mengembangkan dan meningkatkan profesionalitasnya melalui perencanaan bersama (guru dan supervisor), observasi dan umpan balik. Selain itu, supervisi klinis bertujuan untuk memperbaiki performasi guru dalam proses pembelajaran dan membantu siswa mengatasi masalah-masalah pembelajaran secara efektif (Masaong, 2012: 51).
b) Prinsip-prinsip Supervisi Klinis
Menurut Ma’mur (2012: 109-110), prinsip yang harus diperhatikan dalam supervisi klinis adalah sebagai berikut :
1. Supervisi klinis yang dilakukan harus berdasarkan pada inisiatif dari para guru. Perilaku supervisor harus teknis sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan kepada supervisor. 2. Ciptakan hubungan yang bersifat manusiawi, interaktif, dan sejawat. 3. Ciptakan suasana bebas sehingga setiap orang bebas dan berani
16
menjawab dan menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi guru.
4. Objek kajian adalah kebutuhan profesional guru yang rill, tentunya yang mereka alami.
5. Perhatian di pusatkan pada unsur-unsur spesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.
Prinsip tersebut menjadikan supervisi klinis berjalan secara konstruktif dan kooperatif, tidak ada intimidasi, stressing power (kekuatan penekan), dan memberikan stigma negatif kepada guru. Sebaliknya yang ada adalah sharing idea (berbagi ide), berdiskusi intens, dan mencari solusi bersama terbaik, berpijak pada problem lokal yang terjadi. Inilah model supervisi yang mencerahkan dan memberdayakan guru, bukan melukai perasaan dan psikologinya. Dengan pendekatan ini, guru merasa dihargai ekstensi dan pemikiranya. Sehingga, guru terdorong menjadi lebih aktif mengembangkan ilmu dan wawasannya agar mampu mengajar secara berkualitas dan menyenangkan (Ma’mur (2012: 110).
2.2.3 Faktor yang Mendorong di Kembangkannya Supervisi Klinis bagi Guru-guru
Menurut Sagala (2010: 193) ada beberapa faktor yang mendorong perlunya dikembangkan supervisi klinis yaitu:
17
1. Dalam kenyataannya yang dikerjakan supervisor adalah mengadakan evaluasi guru-guru semata. Akan tetapi kekurangan yang dimiliki oleh guru tidak dianalisis sehingga hal itu menyebabkan ketidakpuasan guru.
2. Pusat pelaksanaan supervisi adalah supervisor, bukan berpusat pada apa yang dibutuhkan guru, baik kebutuhan profesional sehingga guru-guru tidak merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi pertumbuhan profesinya.
3. Dengan menggunakan meret rating (alat penilaian kemampuan guru), maka aspek-aspek yang diukur terlalu umum, sehingga sukar sekali untuk mendeskripsikan tingkah laku guru.
4. Umpan balik yang diperoleh sifatnya instruksi atau memerintah. Selain itu juga sering terjadi arahan yang mengedepankan power, bahkan instruksi yang berbau ancaman.
5. Tidak diciptakan hubungan identifikasi dan analisis diri, sehinggga guru-guru melihat konsep dirinya.
6. Melalui diagnosis dan analisis dirinya sendiri guru menemukan dirinya. Ia sadar akan kemampuan dengan menerima dirinya dan timbul motivasi untuk memperbaiki.
18
7. Supervisor jarang melakukan monitoring keberadaan proses belajar di dalam kelas, hanya mengandalkan laporan dokumen yang diberikan guru.
2.2.4 Prosedur Supervisi Klinis
Prosedur supervisi klinis berlangsung dalam tiga tahap yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap pengamatan, dan tahap pertemuan balikan. Dua dari tiga tahap tersebut memerlukan pertemuan antara guru dan supervisor yaitu pertemuan pendahuluan dan pertemuan balikan (Bolla 1985: 9).
1) Tahap pertemuan pendahuluan
Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Tahap ini memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi perhatian utama guru kemudian menerjemahkannya kedalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati.
Secara teknis diperlukan lima langkah utama bagi terlaksananya pertemuan pendahuluan dengan baik, yaitu : a) Menciptakan suasana akrab antara supervisor dengan guru sebelum langkah-langkah selanjutnya membicarakan, b) Mereview rencana pelajaran serta tujuan pelajaran, c) Mereview komponen keterampilan yang akan dilatihkan dan diamati, d) Memilih atau mengembangkan suatu instrumen
19
observasi yang akan dipakai utnuk merekam tingkah laku guru yang menjadi perhatian utamanya, e) Instrumen observasi yang dipilih atau yang dikembangkan, dibicarakan bersama antara guru dan supervisor. Menurut Pidarta (1999: 252), langkah dalam pertemuan awal ini meliputi kegiatan: 1). Menciptakan hubungan yang baik dengan cara menjelaskan makna supervisi klinis sehingga partisipasi guru meningkat, 2). Menemukan aspek-aspek perilaku apa dalam proses belajar mengajar yang perlu diperbaiki, 3). Membuat prioritas aspek-aspek perilaku yang akan diperbaiki, 4). Membuat hipotesis sebagai cara atau bentuk perbaikan pada sub topik bahan pelajaran tertentu. Tujuan utama pertemuan awal ini adalah untuk mengembangkan secara bersama-sama antara supervisor dan guru tentang kerangka kerja observasi kelas yang dilakukan.
Sahertian dan Mataheru (1982: 58), mendeskripsikan satu agenda yang harus dihasilkan pada akhir pertemuan pendahuluan ini, yaitu: 1. Menetapkan kontrak atau perjanjian antara supervisor dengan guru
tentang hal yang akan diobservasi, meliputi: a). Tujuan instruksional umum dan khusus pengajaran; b). Hubungan tujuan pengajaran dengan keseluruhan program pengajaran yang diimplementasikan; c). Aktivitas yang akan diobservasi; d). Kemungkinan perubahan format aktivitas, sistem, dan unsur-unsur lain berdasarkan
20
persetujuan interaktif antara supervisor dengan guru; e). Deskripsi spesifik butir-butir atau masalah-masalah yang balikannya diinginkan guru.
2. Menetapkan mekanisme atau aturan-aturan observasi, meliputi waktu (jadwal) observasi, lamanya observasi, dan tempat observasi. 3. Menetapkan rencana spesifik untuk melaksanakan observasi,
meliputi: (a). Di mana supervisor akan duduk selama observasi?; (b). Akankah supervisor menjelaskan kepada murid-murid mengenai tujuan observasinya?. Jika demikian, kapan? Sebelum ataukah setelah pelajaran?; (c). Akankah supervisor mencari satu tindakan khusus?; (d). Akankah supervisor berinteraksi dengan murid-murid?; (e).Perlukah adanya material atau persiapan khusus?; (f). Bagaimanakah supervisor akan mengakhiri observasi?.
2) Tahap Pengamatan Mengajar
Pada tahap ini, guru melatih tingkah laku mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Di pihak lain, supervisor mengamati dan mencatat atau merekam secara objektif, lengkap, dan apa adanya dari tingkah laku guru ketika mengajar, berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan
21
observasi dan mencatat tingkat laku siswa dikelas serta interaksi antara guru dan siswa.
Menurut Pidarta (1999: 253), proses melaksanakan pengamatan ada dua kegiatan yaitu guru mengajar dengan tekanan khusus pada aspek perilaku yang diperbaiki, dan supervisor mengobservasi. Proses melaksanakan pengamatan secara cermat, sistematis, dan obyektif merupakan proses kedua dalam proses supervisi klinis. Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan kegiatan-kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat pengamatan pembelajaran ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dengan guru pada waktu mengadakan pertemuan awal.
Adapun mengenai bagaimana mengamati juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisor akan tidak berarti, apabila usaha-usaha kegiatan pengamatan tidak memperoleh data yang seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh informasi yang sebenarnya, yang akan digunakan untuk bertukar pikiran dengan guru setelah kegiatan pengamatan berakhir, sehingga guru bisa menganalisis secara cermat aktivitas-aktivitas yang telah dilakukannya di kelas. Di sinilah letak pentingnya teknik dan
22
instrumen pengamatan yang bisa digunakan untuk mengamati guru mengelola proses pembelajaran.
Berkaitan dengan teknik dan instrumen pengamatan ini, sebenarnya para peneliti telah banyak mengembangkan bermacam-macam teknik yang bisa digunakan dalam mengamati kegiatan pembelajaran. Acheson dan Gall (1987: 73-74), mereview beberapa teknik dan menganjurkan supervisor untuk menggunakannya dalam proses supervisi klinis sebagai berikut :
1. Selective Verbatim. Pada teknik ini, supervisor membuat semacam rekaman tertulis. Tentunya tidak semua kejadian verbal harus direkam, tetapi sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dengan guru pada pertemuan awal. Hanya kejadian tertentu yang harus direkam secara selektif. Transkip ini bisa ditulis langsung berdasarkan pengamatan dan bisa juga menyalin dari apa yang direkam terlebih dahulu melalui tape recorder.
2. Rekaman observasional berupa a seating chart. Supervisor mendokumentasikan perilaku murid, bagaimana ia berinteraksi dengan seorang guru selama pembelajaran berlangsung. Seluruh kompleksitas perilaku dan interaksi dideskripsikan secara bergambar. Melalui penggunaan a seating chart ini, supervisor bisa mendokumentasikan secara grafis interaksi guru dengan murid,
23
murid dengan murid, sehingga dengan mudah diketahui apakah guru hanya berinteraksi dengan semua murid atau hanya dengan sebagian murid yang terlibat dalam proses pembelajaran.
3. Wide-lens techniques. Supervisor membuat catatan yang lengkap mengenai kejadian-kejadian di kelas dan cerita yang panjang lebar. Teknik ini bisa juga disebut dengan anecdotalrecord.
4. Checklists and time line coding. Supervisor mengamati dan mengumpulkan data perilaku pembelajaran yang sebelumnya telah diklasifikasi atau dikatagorisasikan. Contoh yang paling baik dalam kegiatan pengamatan dengan model supervisi klinis adalah skala analisis interaksi.
3) Tahap pertemuan Umpan-Balik
Terdapat beberapa langkah penting dalam tahan pertemuan balikan adalah sebagai berikut :
a) Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum guru ketika mengajar serta memberi penguatan.
b) Me-review tujuan pembejaran.
c) Me-review target keterampilan serta perhatian utama guru.
d) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pengajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
24
e) Menunjukkan data hasil rekaman dan memberikan kesempatan kepada guru menafsirkan data tersebut.
f) Bersama menginterprestasi data rekaman.
g) Menanyakan perasaan gurru setelah melihat rekaman data tersebut. h) Menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya
merupakan keinginan atau target guru dan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai.
i) Menentukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.
Menurut Pidarta (1999: 253), pada tahap menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik diarahkan pada menganalisis hasil mengajar secara terpisah dan pertemuan akhir seperti: a) Guru memberi tanggapan/penjelasan/pengakuan, b) Supervisor memberi tanggapan/ulasan, c) Menyimpulkan bersama hasil yang telah dicapai; hipotesis diterima, ditolak, atau direvisi, d) Menentukan rencana berikutnya: mengulangi memperbaiki aspek tadi, dan atau meneruskan untuk memperbaiki aspek aspek yang lain.
Tujuan utama dari tahap umpan balik adalah menindaklanjuti apa yang dilihat oleh supervisor sebagai pengamat terhadap proses pembelajaran. Pembicaraan dalam tahap memberikan umpan balik ini
25
adalah ditekankan pada identifikasi serta analisis persamaan dan perbedaan antara perilaku guru dan peserta didik yang direncanakan dengan perilaku aktual guru dan peserta didik, serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan berhubungan dengan perbedaan yang ada.
Tiga tahap supervisi klinis ini memberikan pelajaran berharga bagi guru untuk mengevaluasi kelebihan dan kelemahan dalam proses pembelajaran. Sehingga, ia berani mencoba metode baru yang selama ini jarang atau tidak pernah dipraktikkan, melihat respons aktif maupun pasif dari anak didik. Dari sini, guru memperoleh gambaran nyata atas manfaat supervisi klinis. Salah satunya adalah untuk memperbaiki kualitas pengajarannya sehingga menjadi lebih menyenangkan, kreatif, dan inovatif demi ketercapaian kualitas anak didik.
2.3 Standar Proses Pendidikan a. Pengertian
Standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan (Peraturan Pemerintah no.19 tahun 2005 bab1 pasal 1 ayat 6).
Menurut Sanjaya (2016: 4), dari penjelasan diatas dapat digaris bawahi bahwa:pertama, standar proses pendidikan adalah standar
26
nasional pendidikan, yang berarti standar proses pendidikan dimaksud berlaku untuk setiap lembaga pendidikan formal pada jenjang pendidikan tertentu dimanapun lembaga pendidikan itu berada secara nasional. Dengan demikian, setiap lembaga pendidikan tersebut harus mengikuti prosedur proses pembelajaran yang telah diputuskan dan dirumuskan dalam standar proses pendidikan itu. Kedua, standar proses pendidikan berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, yang berarti dalam standar proses pendidikan berisi tentang bagaiamana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, standar proses pendidikan dimaksud dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam pengelolaan pembejaran. Ketiga, standar proses pendidikan diarahkan untuk pencapaian standar kompetensi lulusan. Dengan demikian, standar kompetensi lulusan merupakan sumber atau rujukan utama dalam menentukan standar proses pendidikan.
b. Fungsi Standar Proses Pendidikan
Secara umum, standar proses pendidikan sebagai standar minimal yang harus dilakukan memiliki fungsi sebagai pengendali proses pendidikan untuk memperoleh kualitas hasil dan proses pembelajaran. Menurut Sanjaya (2016: 5-7), terdapat lima fungsi dalam standar proses pendidikan sebagai berikut:
27
1. Fungsi dalam rangka pencapaian standar kompetensi yang harus dicapai. Proses pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni kompetensi yang harus dicapai dalam ikhtiar pendidikan. Keberhasilan proses pendidikan bergantung pada pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru meskipun memiliki rumusan kompetensi yang baik. Dengan demikian, standar proses pendidikan berfungsi sebagai alat untuk tercapainya tujuan pendidikan serta program yang harus dilaksanakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
2. Fungsi bagi guru. Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa diikuti oleh kemampuan guru dalam mengimplementasikannya dalam kegiatan proses pendidikan, maka kurikulum tersebut tidak bermakna. Dengan demikian, guru sebagai berfungsi pedoman dalam membuat rencana program pembelajaran, baik untuk program periode tertentu maupun program pembelajaran harian, dan sebagai pedoman untuk implementasi program dalam kegiatan nyata di lapangan.
28
3. Fungsi bagi kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai penanggung jawab berfungsi, pertama, sebagai barometer atau alat pengukur keberhasilan program pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai dan mengontrol apakah kegiatan-kegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu berpijak pada standar proses yang telah ditentukan atau tidak. Kedua, sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai kebijakan sekolah khususnya dalam menentukan dan mengusahakan ketersedian berbagai keperluan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan proses pendidikan.
4. Fungsi bagi pengawas. Bagi pengawas berfungsi sebagai pedoman, patokan atau ukuran dalam menerapkan bagian mana yang perlu disempurnakan atau diperbaiki oleh setiap guru dalam pengelolaan proses pembelajaran. Dengan demikian pengawas perlu memahami dengan benar hakekat standar proses pendidikan sehingga dapat memberikan masukan dan bimbingan kepada guru untuk meningkatkan kualitas proses pembejaran. 5. Fungsi bagi dewan sekolah dan dewan pendidikan. Fungsi utama
dewan sekolah dan dewan pendidikan adalah fungsi perencanaan dan pengawasan. Selain itu, lembaga tersebut dapat menjalankan
29
fungsinya dalam: pertama, menyusun program dan memberikan bantuan khususnya yang berhubungan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang perlukan oleh sekolah atau guru untuk mengelola proses pembelajaran yang sesuai dengan standar minimal; kedua, memberikan saran, usul atau ide kepada sekolah, khususnya guru, dalam pengelolaan pembelajaran yang sesuai dengan standar minimal; ketiga, melaksanakan pengawasan terhadap jalannya proses pembejaran khususnya yang dilakukan oleh para guru.
c. Komponen-Komponen dalam Standar Proses Pendidikan
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendididikan Dasar dan Menengah, terdapat empat komponen dalam standar proses pendidikan yaitu:
1. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar Isi. Perencanaan pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan penyiapan media dan sumber belajar, perangkat penilaian pembelajaran, dan skenario pembelajaran. Penyusunan Silabus dan RPP disesuaikan pendekatan pembelajaran yang digunakan.
30 2. Pelaksanaan Pembelajaran
a. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran: 1. Alokasi Waktu Jam Tatap Muka Pembelajaran 2. Rombongan belajar
3. Buku Teks Pelajaran
4. Pengelolaan Kelas dan Laboratorium b. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.
3. Evaluasi Proses Pembelajaran
Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan alat: lembar pengamatan, angket sebaya, rekaman, catatan anekdot, dan refleksi. Evaluasi hasil pembelajaran dilakukan saat proses pembelajaran dan di akhir satuan pelajaran dengan menggunakan metode dan alat: tes lisan/perbuatan, dan tes tulis. Hasil evaluasi akhir diperoleh dari gabungan evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran.
4. Tindak Lanjut
Tindak lanjut hasil pengawasan dilakukan dalam bentuk:
1. Penguatan dan penghargaan kepada guru yang menunjukkan kinerja yang memenuhi atau melampaui standar; dan
31
2. Pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti program pengembangan keprofesionalan berkelanjutan.
d. Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Betapapun hebatnya teknologi bahkan memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi namun peran guru tidak dapat digantikan, guru tetap menjadi sumber utama untuk keberhasilan pembejaran. Menurut Sanjaya (2016: 21-33) terdapat beberapa peran guru dalam proses pembejaran antara lain sebagai berikut:
I. Guru sebagai sumber belajar.
Peran guru sebagai sumber belajar merupakan peran yang sangat penting. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pembelajaran. Sebagai sumber bekajar dalam proses pembelajaran hendaknya guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Memiliki bahan referensi yang lebih banyak dibandingkan siswa. Hal ini untuk menjaga agar guru memilik pemahaman yang lebih baik tentang materi yang akan dikaji bersama siswa.
32
b. Guru dapat menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang biasanya memiliki kecepatan belajar diatas rata-rata siswa yang lain.
c. Guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran, misalnya dengan menentukan mana materi inti, yang wajib dipelajari oleh siswa dan mana materi tambahan.
II. Guru sebagai fasilitator
Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan sebagai media dan sumber pembejaran.
a. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut.
b. Guru mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media.
c. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar. d. Guru dituntut agar mampunyai kemampuan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. III. Guru sebagai pengelola.
33 a. Merancanakan tujuan belajar.
b. Mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar.
c. Memimpin yang meliputi memotivasi, mendorong, dan menstimulasi siswa.
d. Mengawasi segala sesuatu, apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.
IV. Guru sebagai demonstrator
Peran guru sebagai demonstrator dimaksudkan untuk mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada dua konteks guru sebagai demonstrator. Pertama, guru harus menunjukkan sikap-sikap yang terpuji. Kedua, harus menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa. V. Guru sebagai pembimbing
Agar guru berperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada beberapa yang harus dimiliki: pertama, guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang dibimbingnya. Kedua, harus memahami dan terampil dalam merencanakan, baik
34
merencanakan tujuan dan kompetensi yang akan dicapai maupun merencanakan proses pembelajaran.
VI. Guru sebagai motivator
Untuk memperoleh hasil yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa. Dibawah ini dikemukakan beberapa petunjuk:
a. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai. b. Membangkitkan minat siswa.
c. Menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pembejaran. d. Berilah pujian yang wajar bagi terhadap setiap keberhasilan
siswa.
e. Berikan penilaian.
f. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa. g. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
VII. Guru sebagai evaluator
Terdapat dua fungsi guru dalam memerankan perannnya sebagai evaluator. Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Kedua, untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan.
35
2.4 Evaluasi Model Provus (Discrepancy Model)
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan (Arikunto & Jabar 2008: 2). Ditegaskan oleh Patton (2006: 251), bahwa evaluasi adalah koleksi, analisis, dan penafsiran yang sistematis atas informasi tentang kegiatan dan hasil program nyata sesuai rencana untuk orang yang berkepentingan guna membuat keputusan tentang aspek spesifik seperti apa program itu berjalan dan meningkatkan program.Adapun tujuan evaluasi menurut Suharsimi (2008: 18), adalah: (1) memberi masukan pada perencanaan program atau kegiatan, (2) sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan, (3) sebagai upaya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat dipahami bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan atau proses yang dapat dilakukan oleh evaluator dalam menganalisa dan menafsirkan jalannya suatu program dengan tujuan pencapaian hasil maksimal dari suatu rancangan program pendidikan.
Salah satu model evaluasi yang bisa digunakan untuk mengevaluasi supervisi klinis adalah evaluasi discrepancy model. Kata discrepancy berarti kesenjangan, model ini di asumsikan bahwa untuk
36
mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya diharapkan terjadi (standard) dengan apa yang sebenarnya terjadi (performance) (Madaus, Sriven & Stufflebeam, 1993: 79). Dengan membandingkan kedua hal tersebut, maka dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan (discrepancy), yaitu standar yang ditetapkan dengan kinerja (real) yang sesungguhnya.
Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus yang bertujuan untuk menganalisis suatu program apakah program tersebut layak diteruskan, ditingkatkan, atau dihentikan. Komponen dalam evaluasi model kesenjangan oleh Provus dapat dibedakan menjadi 4 jenis ditinjau dari kepentingannya (Clare Rose & Glenn F Nyre, 1977: 15) yaitu:
a. Desain; tahap ini mengacu pada sifat dan tujuan program, dan sumber daya lain yang diperlukan untuk program, dan kegiatan aktual yang dirancang untuk pencapaian tujuan,
b. Instalasi; tahap instalasi ini menentukan apakah suatu program yang dijalankan sesuai dengan rencana pelaksanaan sebelumnya, c. Proses;tahap ini berfokus pada proses pelaksanaan program
dimana evaluator melihat sejauh mana tujuan yang diinginkan, d. Hasil; tahap ini menentukan apakah tujuan dari pelaksanaan
37
aktual terhadap standar yang diperoleh selama pelaksanaan program.
2.5 Penelitian Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rugiayah (2016),menggunakan R&D dengan judul “Pengembangan model supervisi klinis berbasis informasi dan teknologi, menunjukkan bahwa Tiap tahap supervisi klinis dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknlogi dan informasi. Pada tahap persiapan, dilakukan dengan pengiriman short message service (SMS), email atau menelpon langsung untuk menetapkan waktu supervisi dan mempersiapkan rencana pembelajaran. Tahap observasi pembelajaran dilakukan dengan rekaman video. Tahap analisis mandiri, guru menggunakan rekaman video dan insrumen supervisi klinis dan pada tahap analisis kolaboratif, pengawas menggunakan rekaman video dan insrumen supervisi klinis. Pada tahap pertemuan balikan, supervisor harus bertemu langsung dengan guru untuk mendiskusikan hasil analisis penilaian mandiri dan analisis kolaboratif. Semua tahapan tersebut memanfaatkan informasi dan teknologi kecuali pertemuan balikan langsung bertatap muka untuk menghasilkan hubungan kolaboratif yang harmonis. Dalam pelaksanaan seluruh tahapan supervisi klinis, supervisor dan guru menggunakan panduan supervisi klinis, instrumen
38
supervisi klinis, dan panduan rekaman video yang digunakan dalam proses rekaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Ansori, dkk (2016), dengan judul “Pelaksanaan Supervisi Klinis dalam Meningkatkan Kinerja Guru Sekolah Dasar” menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model supervisi klinis memberikan dampak positif bagi guru-guru termasuk mahasiswa yaitu berupa motivasi yang kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sebagai indikator meningkatnya meningkatnya kinerja guru.
Berikutnya penelitian yang dilakukan Homairoh, dkk (2016), dengan judul “Implementasi Supervisi Klinis dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Guru di Sekolah Dasar” menggunakan penelitian studi kasus. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa implementasi supervisi klinis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran guru di SDIT Bumi Darun Najah telah berjalan dengan baik dan sangat memengaruhi kualitas pembelajaran guru saat kegiatan belajar mengajar di kelas.
Penelitian yang dilakukan Iskandar (2018), menggunakan Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) dengan judul penelitian “Upaya Ketercapaian Kemampuan Guru dalam Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Melalui Supervisi Klinis di Sekolah
39
Dasar Negeri 001 Panipahan Kabupaten Rokan Hilir” hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa penyelenggaraan penelitian dengan supervisi klinis dapat meningkatkan kompetensi guru dalam hal pembuatan perangkat pembelajaran terutama RPP.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Kuo dkk (2016), “Managing Anxiety in Clinical Supervisior” menggunakan instrumen pemastian standar. Dalam hasil penelitian mengungkapkan empat hal penting dalam mengelola kecemasan dalam supervisi klinis yaitu pengawasan yang efektif membutuhkan pelatihan, pengawasan yang efektif membutuhkan keakraban dengan alat, pengawasan yang efektif membutuhkan penggunaan kontrak pengawasan, dan supervisi yang efektif dibangun di atas aliansi kerja yang kuat.
Penelitian yang dilakukan Borders dkk (2014), dengan judul “Best Practices in Clinical Supervision: Evolution of a Counseling Specealty”. Hasil penelitian menyatakan bahwa ketercapaian standar praktik terbaik dalam supervisi klinis bagian konseling perlu adanya pedoman atau panduan untuk meninjaukebijakan dan prosedur program terkait dengan pengawasan untuk menilai cocok dan tidak, kemudian konselor membuat rencana strategis untuk revisi dan melakukan advokasi dengan administrator untuk sumber daya yang dibutuhkan, dan konselor dapat melakukan penilaian sendiri
40
berdasarkantentang pedoman dan memantau kerja pengawasan secara berkala.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Himdani (2017), “Pengembangan Model Supervisi Klinis Teknik Konseling Kelompok pada Guru BK SMA Kabupaten Lombok Timur” menggunakan R&D, menunjukkan bahwa setelah dilakukan uji kelayakan, model supervisi klinis teknik konseling kelompok dapat memberikan ketercapaian layanan guru BK Kabupaten Lombok Timur yang dalam masa pelaksanaan supervisi klinis masih ditemukan aspek-aspek kelemahannya.
Berdasarkan paparan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan diatas dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis memegang peranan penting dalam mengontrol pelaksanaan pembelajaran di sekolah baik menggunakan teknologi maupun kemampuan personal guru secara langsung guna meningkatkan kemampuan atau kualitas guru dalam proses pembelajaran. Bahkan, yang terpenting dalam menjalankan supervisi klinis perlu adanya panduan atau pedoman untuk mengatasi kecemasan yang timbul dalam diri supervisor. Dengan demikian,supervisi klinis yang dilakukan dapat penunjang keberhasilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas.
41
Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan yang dilakukan peneliti ialah pemilihan model menggunakan Discrepancy, secara spesifik dilakukan di kalangan guru pendidikan matematika di SMA Negeri 1 Pandawai kabupaten Sumba Timur, dan melakukan evaluasi terhadap implementasi supervisi klinis. Sedangkan penelitian terdaluhu sebagian besar penelitian terdahulu dilaksanakan pada tingkat sekolah dasar, secara komprehensif bagi guru dan terbatas pada implementasi supervisi klinis dan penggunaan model yang berbeda.
2.6 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, yang menjadi kerangka berfikir bagi penulis adalah mencari informasi dan observasi terhadap penerapan supervisi klinis dalam ketercapaian standar proses guru matematika di SMA Negeri 1 Pandawai, serta permasalahan yang dihadapi kepala sekolah dalam menerapkan supervisi klinis tersebut khususnya untuk mata pelajaran matematika tersebut. Dan dari hasil penelitian diharapkan mampu menggambarkan ataupun menjadi bahan perbandingan dalam pelaksanaan supervisi klinis yang ada di tingkat SMA. Dengan kemampuan yang dimiliki kepala sekolah sebagai supervisor, melakukan kepengawasan menggunakan supervisi klinis dalam arti supervisi terhadap guru matematika dalam bentuk pembinaan, bimbingan atau bantuan, pemeriksaan dan penelitian.
42
Dengan adanya pelaksanaan supervisi klinis di harapkan guru lebih meningkatkan standar proses mengajar yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih baik dan akan mudah mencapai tujuan.
Tahapan pengembangan evaluasi yang peneliti perhatikan dalam pelaksanaan supervisi klinis menggunakan Discrepancy Model adalah empat tahapan yaitu mulai dari tahap desain, instalasi, proses, dan hasil. Desain; tahap ini mengacu pada sifat dan tujuan program, dan sumber daya lain yang diperlukan untuk program, dan kegiatan aktual yang dirancang untuk pencapaian tujuan. Instalasi; tahap instalasi ini menentukan apakah suatu program yang dijalankan sesuai dengan rencana pelaksanaan sebelumnya. Proses; tahap ini berfokus pada proses pelaksanaan program dimana evaluator melihat sejauh mana tujuan yang diinginkan. Hasil; tahap ini menentukan apakah tujuan dari pelaksanaan program telah tercapai dengan membandingkan ketercapaian aktual terhadap standar yang diperoleh selama pelaksanaan program. Secara skema kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:
43