• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. jarak, ruang dan waktu. Seperti yang dikatakan oleh R. Robertson dalam bukunya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. jarak, ruang dan waktu. Seperti yang dikatakan oleh R. Robertson dalam bukunya"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi, dunia telah mengalami proses unifikasi kesadaran dan berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia saling terhiubing tanpa terpisah akan jarak, ruang dan waktu. Seperti yang dikatakan oleh R. Robertson dalam bukunya Globalization, globalisasi adalah proses pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan1 . Di lain pihak Anthonny Giddens menjelaskan bahwa globalisasi dapat dimaknai sebagai relasi yang terjadi seluas dunia dan menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari situ, serta meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua2. .

Dampak globalisasi tidak hanya merambah pada ranah ekonomi dan politik namun juga berdampak pada ranah sosial budaya masyarakat. Tonson, melihat globalisasi kultural sebagai “semakin meningkatnya jaringan

1 R. Robertson, Globalization, London, Sage, 1992, hlm. 8

(2)

2

kesalingterkaitan dan interdependensi kultural yang kompleks yang menjadi ciri kehidupan sosial modern3”.

Ia menegaskan bahwa arus kultural global dikendalikan oleh perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan identitas. Kultur menjadi tidak lagi berkaitan dengan lokalitas yang tetap seperti kota atau negara, tapi mendapat makna baru yang mencerminkan tema dominan yang muncul dalam konteks global dan adanya saling terkaitan yang melemahkan hubungan antara kultur dengan kepastian lokal.

Globalisasi dalam konteks budaya hadir dan berkembang melalui produk-produk globalisasi yang ada dewasa ini, misalnya melalui infrastruktur teknologi informasi, alat-alat komunikasi dan televisi. Secara khusus tulisan ini akan berfokus pada iklan dalam media televisi. Televisi sendiri adalah merupakan bentuk budaya pop akhir abad kedua puluh. Televisi sendiri merupakan waktu luang paling populer di dunia4. Berangkat dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu dampak dari globalisasi dewasa ini yaitu adanya homogenisasi pada pola pikir masyarakat dunia sebagai satu kesatuan, yang secara khusus pada tulisan ini adalah mengenai homogenisasi pola pikir mengenai konstruksi kecantikan perempuan menurut media televisi secara khusus dalam program iklan produk kosmetik.

3 Jacob Tonson dalam John Tomlinson, Globalization and Culture, University of Chicago Press, Chicago, 1999, hlm. 28

(3)

3

Terminologi dan gambaran mengenai kecantikan fisik terus mengalami pergeseran dari masa ke masa. Saat ini rata-rata yang dianggap sebagai acuan nilai kecantikan adalah fisik berupa kulit putih, badan langsing, dan bentuk tubuh yang proporsional. Untuk mendapatkan itu semua, kaum perempuan berlomba-lomba memperbaiki fisik mereka baik dengan menjaga berat badan, menggunakan kosmetik untuk memperbaiki tampilan diri, atau bahkan hingga melakukan operasi plastik. Kosmetik sendiri dipercaya orang dapat membantu penampilan seseorang untuk terlihat lebih cantik di mata orang lain. Kosmetik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki definisi sebagai obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit, rambut, dan sebagainya (seperti bedak, pemerah bibir) khusus untuk perempuan5.

Kosmetik sendiri sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Sebagai contoh, putri-putri kerajaan di Indonesia telah menggunakan kosmetik dan melakukan berbagai perawatan tradisional sejak abad delapan hingga lima belas6. Pada masa itu kecantikan perempuan dianalogikan melalui metafora keindahan alam seperti warna kulit yang dilambangkan oleh warna kuning kunyit, daun asoka yang melambangkan bentuk pinggang perempuan dan daya tarik perempuan yang dilambangkan melalui pesona lautan7. Hingga saat ini analogi tersebut masih banyak digunakan oleh produsen-produsen kosmetik dalam negeri dalam mempromosikan produknya. Seiring dengan perkembangan zaman, kosmetik seolah mulai menjadi kebutuhan primer bagi sebagian perempuan termasuk di

5,Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm. 814

6 Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat, Yogyakarta, Jalasutra, 20017, hlm. 40 7 Ibid, hlm. 47.

(4)

4

kalangan mahasiswi apalagi dengan semakin maraknya peredaran produk kosmetik buatan dalam dan luar negeri di Indonesia. Untuk dapat bersaing dan memuaskan konsumen, para produsen kosmetik dituntut semakin jeli dalam menggali informasi tentang preferensi serta kebutuhan para konsumen sekaligus melakukan strategi pemasaran yang tepat, terutama dengan melakukan promosi iklan di media cetak dan elektronik.

Pada era modern ini, iklan telah menjadi bagian dari konsumsi masyarakat sehari-hari sejak bangun tidur, di perjalanan, hingga kembali tidur. Dalam literatur pemasaran, iklan atau advertising didefinisikan sebagai kegiatan berpromosi (barang atau jasa) lewat media massa8. Bahasa yang dipergunakan dalam teks iklan di media massa cetak dan elektronik dikemas dengan menarik, mudah dipahami dan kontekstual serta disisipkan dengan makna-makna tersendiri yang mampu mempersuasif penonton agar tertarik dengan produk yang diklankan. Hal ini berlaku pula pada iklan kosmetik di televisi. Melalui media iklan, produsen kosmetik merepresentasikan sebuah citraan dan gaya hidup yang seolah-olah dapat diperoleh oleh mereka yang mengonsumsinya. Hal ini semakin didukung dengan penggunaan model-model cantik bahkan artis terkenal sebagai brand ambassador produk tersebut dan seolah memberikan harapan kepada para konsumen untuk bisa menjadi seperti mereka.

Citra yang dibentuk melalui iklan, sinetron, film, dan tayangan televisi lainnya yang ditampilkan oleh media televisi mampu menciptakan kesadaran kolektif dan

8 Wahyu Wibowo, Sihir Iklan : Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban-Kosmopolit, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 5

(5)

5

penerimaan masyarakat akan nilai-nilai dan budaya yang dibawa oleh iklan tersebut. Tampilnya model-model cantik dalam iklan produk kosmetik berfungsi untuk menciptakan stereotip citra perempuan ideal kepada masyarakat. Selain itu, pengetahuan konsumen mengenai kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan hasil penggunaan produk kosmetik yang mereka pakai, cenderung hanya mereka dapatkan berdasarkan dari iklan tersebut. Informasi yang tertera di produk kosmetik ataupun iklan yang ditampilkan lebih menonjolkan nilai-nilai estetik dengan tujuan menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. Isi teks iklan diproduksi dengan motif-motif ideologis tertentu sesuai dengan kepentingan pembuat iklan tersebut. Oleh karena itu teks dan unsur-unsur lain yang terdapat pada iklan menjadi fenomena tersendiri yang menarik untuk diamati.

Dalam karya ilmiah ini, penulis meneliti lebih jauh citra perempuan yang ditampilkan dalam dua iklan produk kosmetik di televisi sebagai objek penelitian. Alasan pemilihan iklan produk kosmetik pada media televisi sebagai objek penelitian dikarenakan televisi merupakan media yang efektif untuk berpromosi dan kemudahan peneliti untuk mengakses data dalam penyusunan karya ilmiah ini. Iklan pertama adalah iklan produk kosmetik Wardah yang menekankan konsep halal dan menampilkan citra perempuan yang feminin. Kedua adalah iklan produk kosmetik Maybelline yang menampilkan citra perempuan dari sisi maskulin. Citra perempuan yang ditampilkan dalam kedua iklan tersebut saling bertolak belakang menarik untuk ditelaah dan dibandingan lebih lanjut dalam tulisan ilmiah ini.

(6)

6 1.1 Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian pertama, maka rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah:

 Bagaimana citra perempuan yang ditampilkan dalam iklan Wardah versi Inneke Koesherawati dan iklan Maybelline versi Sherina Munaf?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah mengetahui dan membandingkan citra perempuan yang ditampilkan dalam kedua iklan tersebut. Secara singkat, tulisan ini merupakan analisis teks dalam iklan. Diharapkan melalui penelaahan ini dapat diketahui makna apa saja yang terkandung dalam wacana kedua iklan tersebut yang dapat menarik perhatian. Tulisan ini adalan kajian singkat terhadap wacana iklan.

1.3 Kerangka Teori dan konseptual

Dalam penelitian ini, digunakan kerangka teori sebagai pisau analisis dalam memandang fenomena dan kerangka konseptual sebagai alur berpikir dan cara pandangan dalam melakukan penelitian ini.

1.3.1 Encoding dan Decoding Televisi

Salah satu media massa yang berkembang pesat adalah televisi. Menonton televisi merupakan aktivitas waktu luang yang paling populer. Pada dekade 1990-an, lebih dari 3,5 milyar jam waktu yang dihabiskan orang diseluruh dunia untuk

(7)

7

menonton televisi9. Dalam komunikasi wacana televisual, sirkulasi makna melewati tiga tahap. Tiap tahap memiliki eksistensi dan modalitas yang spesifik. Tahapan tersebut merupakan suatu kesatuan hingga suatu informasi dapat diterima oleh pemirsa. Runtutan tahapan tersebut digambarkan oleh Hall (1973) sebagai berikut10 :

Gambar 1: Moment Produksi Media

Gambar satu adalah tahap dimana produksi media terjadi, para profesional media mendefinisikan, mengsumsikan dan mengkomposisikan program melalui struktur produksi. Mereka menentukan bagaimana peristiwa sosial mentah

di-encoding dalam wacana. Dalam wacana diberikan pesan dan makna kepada

penonton. Gambar kedua adalah saat dimana pesan dan makna telah menjadi bentuk wacana televisual melalui permainan bahasa dan simbol. Gambar ketiga adalah proses decoding yaitu saat penonton menerima dan mengintrepretasikan pesan yang diterima. Pada tahap ini penonton tidak dihadapkan dengan peristiwa sosial mentah, tetapi dengan terjemahan diskursif dari suatu peristiwa. Dengan

9 Stuart Hall dalam John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2007, hlm. 11

(8)

8

kata lain, sirkulasi wacana pada televisi adalah bentuk produksi yang direproduksi lagi oleh penonton tanpa mereka sadari.

John Fiske dalam Storey berpendapat bahwa komoditas budaya termasuk televisi mempunyai dua nilai ekonomi sekaligus, yaitu ekonomi finansial dan ekonomi kultural11. Dari pengertian diatas maka televisi berfungsi sebagai agen penyebar budaya popular dalam industri budaya dan iklan adalah salah satu alat pendukung yang efektif. Menurut DeFleur dan Dennis tujuan utama dari periklanan adalah menjual dan iklan bukanlah kegiatan komunikasi biasa akan tetapi kegiatan komunikasi massa. Oleh karena itu iklan sebagai komunikasi massa mempunyai lima ciri12, yaitu:

1. Pesan dikomunikasikan oleh komunikator profesional.

2. Pesan tersebut dikirimkan melalui cara yang relatif berkelanjutan (rapid and Continuos) dengan memanfaatkan perantara media (umumnya cetak, film, atau penyiaran).

3. Pesan tersebut terjangkau khalayak yang relatif luas dan beragam (massa) yang mengakses media secara selektif.

4. Individu-Individu dalam khalayak memaknai pesan yang kurang lebih sama dengan maksud yang dikehendaki oleh komunikator profesional.

5. Hasil pemaknaan terhadap pesan yang diterima oleh khalayak mengakibatkan efek tertentu.

11 John Storey, op. cit, hlm. 31.

12 Melvin L DeFleur dan Everette Dennis, Understanding Mass Communication. Bolton: Hugton Mifflin Co, 1985.

(9)

9

Melalui iklan, produsen menginformasikan secara persuasif mengenai produk yang mereka tawarkan kepada publik. Mereka biasanya menampilkan tokoh-tokoh yang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai bintang iklan mereka. Tampilnya figur publik dalam iklan kosmetik berfungsi untuk membantu produsen untuk mengenalkan produk kepada publik. Selain sebagai sarana untuk mempromosikan produknya secara persuasif, iklan berpotensi untuk mengubah gaya hidup, memanipulasi standar dan kesadaran konsumen mengenai citra produk yang ingin dibangun.

1.3.2. Citra Perempuan Dalam Media

Dalam pembahasan Iklan, citra media dan perempuan merupakan satu kesatuan. Dalam iklan, citra produk ditampilkan dan diasosiasikan melalui citra pembawa pesan iklan (endoser) itu sendiri. Thamrin Tamagola membagi citra perempuan pada iklan kedalam lima kreteria yaitu: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan dan citra pergaulan13. Dalam citra pigura, perempuan cenderung ditonjolkan pada sisi biologisnya. Citra pilar lebih menonjolkan perempuan sebagai pilar penyokong dalam rumah tangga dan kodrat sejatinya sebagai pengurus rumah tangga. Citra peraduan, menonjolkan sosok perempuan sebagai pemuas seksual laki-laki. Sedangkan citra pinggan cenderung menonjolkan aspek kewajiban perempuan untuk mengurus dapur. Terakhir adalah citra pergaulan yang menekankan pada usaha perempuan untuk dapat diterima dalam pergaulan. Dalam citra pergaulan, perempuan ditampilkan dalam bentuk

13. TA. Tamagola, Citra Wanita dalam Iklan dalam Majalah Wanita Indonesia. Wanita dan Media. Remaja Rosdakarya. Bandung, 1998..

(10)

10

penerimaan fisik, yaitu perempuan hanya dapat diterima dalam pergaulan jika fisiknya sesuai dengan pandangan lingkungan sekitarnya.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berupa analisis wacana kritis Norman Fairclough yang bersifat deskriptif-interpretatif dengan melihat wacana, isi dan pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial serta membongkar maksud dan makna-makna tertentu14. Metode ini menggambarkan wacana sebagai sebuah praktik sosial yang memiliki hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya untuk melihat bagaimana isi teks dan pesan itu disampaikan.

Fokus analisis wacana kritis Fairclough adalah perubahan dan transformasi sosial yang terjadi melalui wacana seperti neo-liberalisme, globalisasi, transisi masyarakat informasi, knowledge-based economy dan learning society15. Melalui metode ini, Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mengkombinasikan tradisi antara analisis tekstual dan konteks masyarakat yang lebih luas dalam analisis sosial dan budaya. Perhatian terbesarnya adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan16. Menurutnya bahasa merupakan bentuk tindakan yang memiliki hubungan dialektik dengan struktur sosial dan setiap

14 Eriyanto, Analisis wacana : Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2001, hal. Viii. 15 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis, Longman, London and New York, 1998. Hlm. 53.

(11)

11

pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu. Oleh karena itu, analisisnya dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks tertentu. Norman Fairclough membagi analisis wacana menjadi tiga dimensi, yaitu:17

A. Teks

Dalam model Fairclough, teks dianalisis secara deskriptif-interpretatif dengan metode critical linguistic, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Fairclough memasukkan koherensi dan kohesivitas, yaitu bagaimana antar kata atau kalimat tesebut digabung akan membentuk suatu pengertian. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Teks dilihat dalam berbagai tingkatan dan tidak hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Unsur-unsur yang dianalisis dalam dimensi ini adalah sebagai berikut :

A.1. Representasi

Representasi adalah melihat bagaimana hubungan seseorang, kelompok, tindakan dan kegiatan yang ditampilkan pada teks. Dalam konteks ini, Fairclogh melihat dalam dua hal yaitu bagaimana seseorang, kelompok dan gagasan ditampilkan dalam rangkaian kalimat. Representasi dibagi menjadi beberapa

17 Ibid, hlm.289-292.

(12)

12

pembahasan yaitu: representasi dalam anak kalimat, representasi dalam kombinasi anak kalimat dan representasi dalam rangkaian antar kalimat. Representasi dalam anak kalimat yaitu, pemilihan bahasa yang dipakai dalam teks pada tingkat kosakata, dan tingkat tata bahasa. Representasi dalam kombinasi anak kalimat yaitu, antara satu anak kalimat dengan anak kalimat lain digabungkan sehingga membentuk suatu pengertian dan pada titik tertentu menunjukan ideologi dari pemakai bahasa. Representasi dalam rangkaian antarkalimat adalah bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini menunjukan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dari bagian yang lain dalam teks.

A.2. Relasi

Relasi adalah bagaimana hubungan partisipan dan media di dalam teks. Media dalam posisi ini dilihat sebagai suatu arena sosial, dimana kelompok, golongan dan khalayak yang ada di masyarakat saling berkaitan dalam menyampaikan pendapat dan gagasannya masing-masing. Menurut Fairclough, paling tidak ada tiga partisipan utama dalam media: wartawan, khalayak media, dan partisipan publik (masyarakat, pengusaha, tokoh masyarakat dan sebagainya). Pada tahap ini Fairclough mengamati pola hubungan antara ketiga aktor tersebut melalui teks.

Analisis mengenai konstruksi hubungan ketiga aktor tersebut dalam media sangatlah penting dan signifikan terutama jika dihubungkan dalam konteks sosial. Pengaruh unik dari posisi-posisi masing-masing aktor yang ditampilkan media menunjukkan hubungan konteks masyarakat. Pengertian mengenai bagaimana relasi tersebut dikonstruksi dalam media diantara khalayak dan kekuatan sosial

(13)

13

yang mendominasi kehidupan ekonomi, politik dan budaya adalah bagian penting untuk memahami relasi antara kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat yang berkembang. analisisis hubungan ini penting untuk melihat dua hal. Pertama, kelompok-kelompok yang mempunyai posisi tinggi, umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap pewacana jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok minoritas. Kedua, untuk melihat bagaimana khalayak hendak ditempatkan dalam suatu wacana dan bagaimana pola hubungan antara pembuat wacana dan partisipan lain ingin dikomunikasikan kepada khalayak.

A.3 Identitas dan Intertekstualitas

Aspek identitas ini dibahas oleh Fairclogh dengan melihat bagaimana identitas pembuat wacana ditampilkan dan dikonstruksikan dalam teks. Melalui teks pembuat wacana mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai bagian dari khalayak atau kelompok tertentu dan identitas pembuat teks dapat dilihat dalam intertekstualitas teks yan ia tampilkan. Intertekstualitas adalah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantipasi lainnya 18. Maka semua ungkapan baik lisan maupun tulisan merupakan rantai komunikasi berupa ekspresi, suara, dan asimilasi yang didasarkan dan mendasari teks lain.

Intertekstualitas dalam teks dapat diidentifikasi melalui pengutipan kalimat yang dipakai. Kalimat pengutipan yang ditampilkan pada teks bisa secara langsung (direct discourse) maupun secara tidak langsung (indirect discourse).

18 Norman Fairclough, Op. cit, hlm. 54.

(14)

14

Pemilihan pengutipan ini bukan hanya sekedar teknik dari penulisan namun menggambarkan pembuat wacana menempatkan diri dalam teks yang ia buat.

Intertekstualitas secara umum dibagi kedalam dua bagian yaitu: manifest

intertectuality dan manifest interdiscursivity19. Manifest intertectuality adalah bentuk intertekstualitas dimana teks dan suara yang lain muncul didalam teks secara eksplisit, biasanya hal ini muncul dalam bentuk kalimat kutipan. Ada beberapa jenis intertekstualitas dalam manifest ini yaitu: Pertama, representasi wacana untuk menunjukan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Mengapa pembuat wacana memilih suatu wacana tertentu dibandingkan dengan wacana lainnya untuk ia tampilkan pada khalayak. Kedua adalah pengandaian yaitu wacana yang ditampilkan dalam teks seakan dibuat sebagai sesuatu nyata dan benar. Ketiga adalah negasi yang digunakan untuk tujuan polemik. Keempat adalah ironi yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa dikatakan bukanlah apa yang ingin diungkapkan sebenarnya. Terakhir adalah metadiscourse yaitu tingkatan teks yang dibuat untuk menjadi pembeda dengan tingkat teks yang lain. Metadiscourse ini dipakai dengan menempatkan, membatasi dan mengidentifikasikan objek pembicaraan dengan pengungkapan tertentu.

Manifest interdiscursivity adalah teks-teks lain mendasari konfigurasi elemen

yang berbeda dari order of discourse. Prinsip dari indiskursif tersebut dijalankan pada berbagai tingkatan seperti: tingkat societal, institusional, personal dan sebagainya. Ada beberapa elemen dalam indiskursif ini seperti: Genre yaitu bagian dari konvensi yang dihubungkan dengan tindakan, genre menampilkan tipe

19 Eriyanto, op. cit, hlm. 311-315

(15)

15

teks dan proses produksi, distribusi dan konsumsi teks tersebut. Tipe aktifitas yaitu suatu genre tertentu yang dihubungkan dengan struktur komposisi tertentu yang ditandai oleh bagaimana tindakan dan subjek dikomposisikan dalam suatu aktifitas tertentu. Gaya yaitu sebuah genre dihubungkan dengan gaya tertentu. Gaya bukan hanya menentukan bagaimana seseorang berinteraksi tetapi juga kata-kata dan istilah yang dipakai dalam interaksi tersebut. Wacana yaitu dimensi teks secara umum didefinisikan sebagai isi, ide, tema, topik dan sebagainya. dalam hal ini wacana menunjuk pada apa yang disampaikan oleh teks tersebut. Elemen-elemen tersebut diurutkan karena setiap Elemen-elemen menjelaskan Elemen-elemen yang lain.

Serangkaian tipe teks dihubungkan antara satu sama lain sehingga layak dikonsumsi oleh khalayak sehingga tercipta suasana dialogis, dimana penulis menggunakan bahan teks lain diluar dirinya dan menampilkan antara dirinya sendiri untuk tujuan yang ingin dicapai.

B. Discourse Practice

Pada analisis discourse practice memfokuskan pada bagaimana produksi dan konsumsi wacana. Wacana dibentuk melalui praktik diskursus yang kompleks. Menurut pandangan Fairclough, ada dua sisi praktik diskursus yakni di pihak media (produksi wacana) dan di pihak khalayak (konsumsi wacana). Kedua hal tersebut berhubungan dengan jaringan yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek diskursif. Dari berbagai faktor tersebut, ada dua aspek yang penting, yakni produksi wacana dan proses konsumsi wacana. Produksi wacana ialah suatu proses kerja kolektif yang menyertakan banyak orang (produser, sutradara, media

(16)

16

penyampainya dan lainnya), dalam proses ini dapat terjadi perbedaan antara teks yang dibuat oleh pembuat wacana dengan apa yang diinginkan oleh editor. Analisis pada ruang redaksi menarik dilakukan, bukan hanya dalam proses bagaimana wacana dibuat akan tetapi juga pada proses bagaimana pertarungan yang terjadi dalam ruang redaksi untuk menentukan wacana yang akan dibuat.

Kedua, proses konsumsi wacana yaitu, praktek dan kegiatan rutin masyarakat dalam mengkonsumsi teks media. Teks media dikonsumsi pada konteks pribadi, di rumah dan pada konteks kehidupsan keluarga20. Konsumsi teks dilakukan oleh masyarakat dengan menafsirkan secara spontan dari apa yang mereka lihat dalam teks iklan tersebut.

C. Sosiocultural Practice

Analisis sosiocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada diluar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi pada media juga dipengaruhi oleh faktor yang berada diluar ruangan tersebut. Sosiocultural practice tidak mempengaruhi produksi wacana secara langsung tetapi dimediasi oleh discourse practice. Mediasi ini meliputi bagaimana wacana tersebut diproduksi dan bagaimana khalayak mengkonsumsi media tersebut. Dengan kata lain ideologi yang ada dalam masyarakat secara tidak langsung mempengaruhi wacana yang dibentuk oleh media.

20 Norman Fairclough dalam Heri Setiawan & Djuni Akbar, Analisis Wacana Kritis Terhadap Iklan

(17)

17

Dalam tahapan ini Fairclough menganalisis sosiocultural practice dalam tiga level yaitu: Situasional, Institusional, dan sosial. Situasional ialah proses produksi wacana dilakukan dengan memperhatikan situasi sosial masyarakat yang ada ketika teks tersebut dibuat. Institusional ialah proses produksi wacana dipengaruhi oleh institusi dalam lingkup media itu sendiri. Sosial ialah proses produksi wacana dipengaruhi oleh perubahan kondisi sosial masyarakat. Kekuatan-kekuatan dan elemen-elemen diluar media pun dapat mempengaruhi wacana yang dibuat oleh media, dalam hal ini ialah pengiklan. Selain itu, nilai budaya dan ekonomi juga mempengaruhi wacana yang diproduksi media, namun biasanya lebih mengarah kepada kondisi situasional waktu dan suasana pada saat wacana tersebut diproduksi oleh media.

Pola hubungan antara ketiga tahapan tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini:

Produksi Teks

TEKS (mikro) Deskripsi (analisis teks)

Konsumsi Teks (interpretasi atau proses analisis)

Sumber: Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik ; Pengantar: Prof. DR. Harsono Suwardi, MA, edisi 1. Garanit. Jakarta, 2004, hlm. 47.

eksplanasi (analisis sosial) DISCOURSE PRACTICE (meso)

(18)

18

Namun sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat maka pada tahapan analisis discourse practice akan terfokus pada analisis konsumsi teks dengan melakukan wawancara terhadap informan yang menjadi konsumer iklan tersebut. Sedangkan analisis produksi teks akan dibahas secara deskriptif dari teks iklan tersebut.

1.5 Objek Penelitian

Objek penelitian dalam karya tulis ini adalah citra wanita yang ditampikan dalam iklan produk kosmetik. Citra perempuan tersebut didapatkan melalui proses encoding dan decoding wacana iklan. Sedangkan subjek penelitian dalam karya tulis ini adalah iklan produk kosmetik Wardah versi Inneke Koesherawati dan Maybelline versi Sherina pada media televisi. Kedua iklan tersebut ditentukan dengan cara fix sampling, yaitu objek ditentukan secara selektif dan pasti bukan

random atau acak. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penelitian wacana

dalam studi ini. Iklan yang dimaksud disini adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Iklan dianalisis secara deskriptif-interpretatif dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat yang digunakan.

Kedua iklan tersebut merupakan iklan produk kosmetik yang beredar pada pada pasar Indonesia namun keduanya menampilkan citra perempuan yang berbeda. Pertama adalah iklan kosmetik yang menekankan konsep halal, menampilkan citra perempuan yang feminim, produksi asli Indonesia, membawa

(19)

19

budaya dan ideologi perempuan Indonesia. Kedua adalah iklan kosmetik konvensional, produksi Amerika, menampilkan sisi maskulin perempuan, membawa budaya dan ideologi perempuan yang berkembang pada masyarakat Amerika. Iklan televisi dipilih karena mempunyai karakteristik yang paling lengkap karena pesan dikomunikasikan secara audio dan visual yang memungkinkan untuk mengkombinasikan tulisan, gerakan, suara, warna, cerita, dan lainnya. Iklan ditayangkan saat prime time dan dalam durasi yang singkat namun dengan intensitas frekuensi yang tinggi. Atas dasar tesebut, kedua iklan ini dipilih dan menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat citra perempuan yang ditampilkan dalam kedua iklan tersebut.

Penentuan informan dalam penelitian kualitatif erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Dalam penelitian ini, peneliti membagi informan menjadi dua kelompok yaitu: kelompok masyarakat televisi dan periklan untuk melihat proses produksi wacana iklan dan kelompok pemirsa untuk melihat proses konsumsi wacana iklan. Untuk kemudahan penelitian ini, maka kelompok pemirsa yang menjadi informan, dibatasi pada kelompok masyarakat tertentu. Kelompok tersebut adalah mahasiswi berjilbab FISIPOL UGM dengan kriteria berdandan atau menggunakan make up dalam keseharian mereka dan pernah melihat kedua iklan yang diteliti dalam penulisan karya ilmiah ini. Pemilihan informan ini didasarkan atas kesesuaian iklan yang diteliti dan dengan asumsi peneliti mengenai subjek penelitian. Mahasiswi FISIPOL sebagai kalangan akademisi mempunyai kepekaan yang lebih dari masyarakat awam terhadap realitas sosial yang ada dalam wacana kedua iklan tersebut. Selain itu, pemilihan informan

(20)

20

dalam penelitian ini mempertimbangkan kemudahan peneliti dalam mengakses data karena peneliti masih tercatat sebagai mahasiswa di FISIPOL UGM.

1.6 Tahapan Analisis

Pada karya tulis ilmiah ini dilakukan tiga tahap analisis teks iklan, yakni pertama, Analisis teks iklan secara deskriptif dengan memakai metode critical

linguistic untuk melihat encoding dan decoding makna serta ideologi dalam kedua

iklan yang diteliti. Isi teks diuraikan untuk melihat representasi, relasi, dan identitas yang terdapat dalam teks iklan. Dalam tahap ini dapat diketahui konteks, historis, kekuasaaan, dan tindakan yang dalam teks iklan dengan melihat unsur-unsur yang ada dalam teks iklan pada media televisi. Unsur-unsur-unsur tersebut adalah tokoh, suara manusia atau VO, musik, lagu atau jingle, Sound effect (SFX), Visual

effect dan Super imposed (tulisan yang menandakan produk). Dari itu semua, kita

dapat melihat ideologi, makna dan maksud yang disampaikan dalam iklan tersebut serta citra perempuan yang ditampilkan dalam iklan tersebut yang menjadi fokus penelitian ini. Dalam tahap ini menggunakan lima kategorisasi citra perempuan dalam iklan yang diutarakan oleh Thamrin Tamagola yaitu21: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan dan citra pergaulan.

Kedua, discourse analysis secara interpretatif yaitu menafsirkan teks dengan menghubungkan dengan produksi dan konsumsi wacana yang dilakukan. Teks tidak hanya dianalisis secara deskriptif namun ditafsirkan dalam proses produksi dan proses konsumsi wacana berupa citra perempuan oleh produsen dan pemirsa

21 TA. Tamagola, Op Cit.

(21)

21

kedua iklan tersebut. Pada tahapan analisis kedua ini menggunakan teknik wawancara terhadap informan yang kompeten, dalam hal ini adalah masyarakat televisi dan pemirsa iklan untuk melihat proses encoding dan decoding dari kedua iklan yang diteliti terhadap perilaku informan.

Ketiga, analisis sosiocultural practice secara eksplantatif, bertujuan untuk mencari penjelasan pada tahapan kedua. Penjelasan itu dapat diperoleh dengan mencoba menghubungkan produksi wacana dengan keadaan sosial dan budaya dimana media tesebut berada. Pada tahapan ini menggunakan metode studi pustaka untuk menjelaskan kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat. Lewat model tersebut Fairclough ingin menegaskan bahwa wacana media sesungguhnya adalah bidang yang kompleks. Wacana hadir melalui serangkaian proses pertarungan berbagai kekuatan, aturan,negoisasi dan regulasi yang rumit.

1.7 Teknik Pengumpulan Data

Data primer dalam penelitian ini yang pertama adalah data yang diperoleh dari pengamatan objek penelitian secara rutin oleh peneliti, yaitu tayangan kedua iklan produk kosmetik tersebut secara langsung maupun rekaman. Rekaman tersebut digunakan untuk menganalisa isi dan pesan secara deskriptif kualitatif atas konteks, teks dan audio visual yang dibawa oleh kedua iklan tersebut. Pertama, teks dianalisis secara deskriptif-intrepetatif memakai metode critical linguistic, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Teks dilihat dalam berbagai tingkatan dan teks tidak hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Kedua, wawancara

(22)

22

langsung dengan informan yang kompeten dalam membaca teks iklan dan pihak konsumer sebagai pihak yang mengkonsumsi wacana teks iklan.

Data Sekunder berupa data penelitian yang diperoleh melalui pengumpulan informasi dan teori. Teknik pengumpulan informasi dan data dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam karya ilmiah ini. Informasi dan data diperoleh dari berbagai bentuk cetakan seperti buku, karya tulis ilmiah dan sebagainya. Informasi ini digunakan sebagai pendukung dalam memahami wacana yang ada dalam kedua iklan yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian oleh Wijaya (2014) dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit di Lingkungan Sektor Publik (Studi Empiris pada Auditor di

Memuat tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran – saran dari peneliti, baik penulis dalam melakukan penelitian yang sejenis bagi program studi Ilmu Komunikasi

Sehingga untuk mendapatkan pilihan alternatif unsur Satrol Lantamal I yang terbaik, Penulis akan melakukan penelitian mengenai “Analisis Pemilihan Unsur Satrol Lantamal I

Evaluasi internal program studi dengan menggunakan metode NBC ini dapat menjadi media untuk calon mahasiswa baru mengetahui keadaan program studi yang akan

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: 1). Bersikap Mandiri; 5)

Kenyataan yang mengkonsumsi susu berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Februari didapatkan siswa SD Negeri 2 Borokulon berjumlah

perubahan iklim global terhadap kehidupan, dan Lembaga-lembaga yang menyediakan dan memanfaatkan data cuaca dan iklim di Indonesia, Peserta didik kemudian diberi

Ia berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dari kegiatan sosial masyarakat, tidak hanya itu saja sebagai sistem