• Tidak ada hasil yang ditemukan

RITUAL AGAMA KAHARINGAN SEBAGAI PEREKAT SOSIAL SUKU DAYAK NGAJU KALIMANTAN TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RITUAL AGAMA KAHARINGAN SEBAGAI PEREKAT SOSIAL SUKU DAYAK NGAJU KALIMANTAN TENGAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2089-029X

15

RITUAL AGAMA KAHARINGAN SEBAGAI PEREKAT SOSIAL

SUKU DAYAK NGAJU KALIMANTAN TENGAH

Isabella Jeniva

Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya E-mail: isabellajeniva@gmail.com

Abstract

Rituals in the Kaharingan Religion are still being carried out today, but in practice, these rituals do not only belong to the Dayak people who are Kaharingan but also belong to the Dayak Ngaju community general. This is evident from the Ngaju Dayak community's involvement in these rituals, regardless of social status or religion. One of the factors that support the participation of the Dayak Ngaju community in the ritual is the philosophy of cooperation (Habaring Hurung, Handep and Harubuh). Therefore, ancestral traditions, such as ritual performance, are still preserved today and become part of the traditional law that is formally encapsulated in the Kaharingan religion. When the Dayak Ngaju people are in a customary bond by carrying out and being involved in rituals, they find their identity as the Ngaju Dayak Tribe. That is why, through the implementation and involvement of the Kaharingan religious rituals as part of the ancestral tradition, it becomes the social bounding for the Ngaju Dayak community.

Keywords: rituals, Kaharingan, Dayak Ngaju, social bounding

Abstrak

Ritual-ritual dalam Agama Kaharingan masih tetap dilakukan hingga sekarang, namun di dalam pelaksanaannya, ritual-ritual tersebut tidak hanya menjadi milik masyarakat Dayak yang beragama Kaharingan saja, tetapi menjadi milik masyarakat Dayak Ngaju secara umum. Hal ini terbukti dari keterlibatan masyarakat Dayak Ngaju dalam ritual-ritual tersebut tanpa mempedulikan status sosial maupun agama. Salah satu faktor yang mendukung peran serta masyasrakat Dayak Ngaju dalam ritual tersebut ialah falsafah hidup gotong royong (Habaring Hurung, Handep dan Harubuh). Oleh karena itu tradisi leluhur seperti pelaksanaan ritual, masih tetap dijaga hingga saat ini dan menjadi bagian dari hukum adat yang terkemas secara formal di dalam agama Kaharingan. Di saat masyarakat Dayak Ngaju ada dalam satu ikatan adat dengan melaksanakan dan terlibat dalam ritual-ritual, maka di situlah masyarakat menemukan identitas mereka sebagai Suku Dayak Ngaju. Itulah mengapa melalui

pelaksanaan dan keterlibatan dalam ritual-ritual agama Kaharingan sebagai bagian dari tradisi leluhur, menjadi perekat sosial bagi masyarakat Dayak Ngaju.

Kata Kunci: ritual, Kaharingan, Dayak Ngaju, perekat sosial

Agama merupakan produk manusia atau masyarakat di wilayah tertentu yang di dalamnya terdapat sistem sosial. Agama sebagai hasil kebudayaan juga merupakan reaksi manusia terhadap kekuatan di luar dirinya atau terhadap sesuatu yang Transenden (suci). Sebagai bentukan dari masyarakat, agama telah diberi muatan berupa nilai-nilai, simbol-simbol yang disakralkan dan ritual-ritual yang mampu membawa manusia untuk berkomunikasi dengan yang transenden.

Di Indonesia, keberanekaragaman suku, budaya dan agama menjadi realitas kehidupan berbangsa. Salah satu ciri dominan atau karakteristik yang menonjol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ialah adanya pengakuan dan jaminan terhadap agama dan hidup keagamaan. Rakyat Indonesia tidak memeluk satu agama saja, tetapi bermacam-macam agama dan kepercayaan. Dengan kata lain di Indonesia terdapat pluralitas agama dan kepercayaan (Sutarno, 2004). Kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh suku-suku yang ada di Indonesia memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing, namun satu hal yang menjadi ciri khas umum dari setiap masyarakat yang memeluk satu kepercayaan yaitu terdapatnya ritual-ritual yang di dalamnya membentuk suatu dimensi spiritual yaitu dalam rangka berkomunikasi dengan sesuatu yang Transenden. Tidak hanya itu, ritual-ritual tersebut juga membentuk dimensi sosial sebagai wujud kesadaran kolektif dari setiap masyarakat untuk berhubungan dengan yang transenden yang melaluinya terbentuk identitas masing-masing dari setiap masyarakat atau suku. Oleh karena, dalam tulisan ini penulis akan membahas bagaimana ritual-ritual terbesar dari salah satu suku yang ada di Indonesia, yaitu Suku Dayak Ngaju menjadi perekat sosial dalam masyarakat.

(2)

16 Agama Kaharingan Sebagai Agama Suku Dayak Ngaju

Suku Dayak Ngaju adalah salah satu rumpun suku Dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan Tengah, di samping rumpun suku Dayak yang lainnya. Tempat tinggal suku Dayak Ngaju adalah di sepanjang sungai-sungai besar Kalimantan Tengah seperti Kapuas, Kahayan, Rungan, Menuhin, Barito dan Katingan, Barito dan Katingan. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju memeluk Agama Kristen meskipun adapula yang memeluk agama Islam, Khatolik dan Kaharingan. Menurut sejarahnya, nenek moyang etnis Dayak Ngaju berasal dari Yunnan, Tiongkok Selatan yang berimigrasi secara bergelombang pada sekitar kurang lebih 3000-1500 BC. Suku Dayak seluruhnya terdiri dari 7 suku besar, 18 suku kecil dan 405 suku yang lebih kecil. Suku Dayak Ngaju termasuk dalam kelompok tujuh suku besar tersebut. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Ngaju. Di samping bahasa Ngaju, terdapat bahasa Sangen atau Sangiang yaitu bahasa yang hanya digunakan dalam upacara keagamaan. Bahasa ini hanya dimengerti oleh para pemuka agama, khususya pemuka agama asli (Sofyan, 1997).

Agama asli bagi suku Dayak Ngaju adalah agama Kaharingan. Kaharingan berasal dari kata haring ditambah dengan awalan ka dan akhiran an, yang kemudian menjadi Kaharingan. Haring artinya hidup atau bisa juga berarti tumbuh dengan sendirinya. Jadi Kaharingan sama dengan agama yang hidup dan tumbuh berdasarkan pesan Tuhan atau yang disebut umat Kaharingan sebagai Ranying Hatalla Langit (Nila Riwut, 2003).

Agama Kaharingan percaya bahwa jagad raya ini terdiri dari dua alam, Pantai danum Sangiang yaitu alam yang dihuni para dewa dan Pantai Danum Kalunen yang dihuni oleh manusia dan mahluk-mahluk halus. Dalam kehidupan sehari-hari mereka dapat berinteraksi dengan manusia, baik dalam kapasitas membantu kehidupan manusia untuk memecahkan berbagai macam masalah maupun yang menimbulkan masalah pada manusia yang selanjutnya menciptakan berbagai ritual yang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar kehidupan mereka penuh dengan mahluk-mahluk halus dan roh yang menempati setiap benda yang ada disekeliling mereka seperti tiang-tiang rumah, batu-batu besar, gunung-gunung, pohon-pohon besar, danau, sungai dan lain-lain. Roh-roh yang menempati benda-benda tersebut terbagi dalam dua golongan yakni roh baik yang disebut Sangiang, Nayu-nayu. Sedangkan yang kedua adalah roh jahat yang disebut taloh atau kambe. Selain kedua kelompok roh ini, masih ada lagi kelompok roh lain yang merupakan kelompok roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal. Menurut kepercayaan mereka, roh-roh yang sudah meninggal ini menempati alam sekeliling manusia yang mereka sebut lewu liau yang

jika sudah tiba waktunya akan kembali ke dewa tertinggi yang disebut Ranying Hatalla Langit.

Menurut kepercayaan Kaharingan, tanah tempat tinggal di bumi merupakan tempat sakral karena tanah dan bumi diciptakan dan disediakan oleh dewata bagi manusia ciptaanNya yang merupakan refleksi dari dewata sendiri. Menurut kepercayaan mereka, bumi diciptakan dari bahan-bahan sisa penciptaan bulan dan matahari dan bumi diciptakan di atas Naga atau Tambun yang melingkar dengan kepala menghadap ke arah atas (kayangan). Suku Dayak Ngaju juga beranggapan bahwa desa atau tempat tinggal mereka yang sesungguhnya adalah Batu Nidan Tarung yang terdapat di dunia atas atau kayangan. Oleh karena itu, orang Dayak Ngaju menganggap peristiwa kematian sebagai peristiwa atau saat kepulangan kepada Sang Pencipta dan ke tempat asal mereka yang abadi. Karena kepercayaan akan sakralnya daerah dan kampung tempat tinggal mereka, Suku Dayak Ngaju sangat lekat dengan kampung halamannya yang harus mereka jaga dan pelihara dengan baik kesuciannya karena tempat itu hanya merupakan pinjaman dari dewata belaka yang kelak akan diambil kembali dalam peristiwa kiamat.

Pandangan serta konsep tentang Tuhan dalam agama Kaharingan tergambar dalam dalam cerita-cerita sakral, mite, syair-syair pujian yang diucapkan oleh tokoh-tokoh agama dan pelaku-pelaku upacara, lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang bermakna religius serta hadat atau aturan hidup yang harus dipatuhi oleh Suku Dayak Ngaju. Kehidupan yang ideal dan baik menurut orang Dayak Ngaju adalah kehidupan yang selaras dengan adat (hadat) dan peraturan yang ditetapkan oleh agama serta menjauhi perbuatan tabu (pali) dan larangan-larangannya. Manusia yang dianggap baik adalah :

1. Manusia yang menjalankan adat dan menjauhi larangan dan tabu disebut manusia bahadat. 2. Manusia yang memiliki kekayaan, keluarga yang

sejahtera, anak-anak yang sehat, tanah serta ladang yang subur dan banyak memberikan hasil disebut manusia batuah.

3. Manusia yang mempunyai pengaruh, kebijaksanaan serta kepandaian dan mampu memimpin dan mengatur orang lain, merupakan tempat orang meminta pendapat, nasehat dan pertolongan baik secara sosial dan ekonomi disebut manusia basewut.

Sebaliknya, orang-orang yang memiliki sifat atau kriteria yang berlawanan dengan kriteria tersebut dianggap sebagai kurang bahadat, kurang batuah dan kurang atau jatun sewut (Sofyan, 1997).

Masyarakat Suku dayak Ngaju, tidak bisa dilepaskan dari ikatan adat atau berbagai aturan adat yang sudah ditetapkan oleh para leluhur mereka. Oleh karena itu, seperti yang dipaparkan di atas, masyarakat Suku Dayak Ngaju harus menjalankan adat yang sudah ditetapkan. Salah satu hukum adat yang harus

(3)

17 dijalankan ialah dengan melakukan berbagai ritual-ritual dalam rangka membangun komunikasi antara dunia atas (Tuhan) dan dunia bawah (manusia). Beberapa ritual yang diadakan oleh masyarakat Suku Dayak Ngaju ialah (Nila Riwut, 2003) :

1. Upacara setelah musim panen

Upacara setelah musim panen adalah upacara yang biasanya dilakukan satu tahun sekali. Upacara ini merupakan upacara adat Suku Dayak Ngaju yang tidak dapat punah sampai kapanpun, karena berladang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Dayak Ngaju Upacara syukuran dalam satu tahun dilakukan karena selama masyarakat bekerja mencari nafkah mereka mendapatkan hasil yang mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Oleh sebab itulah, masyarakat Dayak Ngaju menaikkan rasa syukur dan memberi korban syukuran kepada Sang Pencipta.

2. Penyucian kampung halaman

Upacara penyucian kampung halaman dilakukan untuk menjaga kelestarian hidup dan alam sekitar. Upacara ini juga biasa dilakukan pada saat suatu masyarakat Dayak Ngaju mengalami kejadian yang tidak diinginkan, misalnya perang atau lain sebagainya. Penyucian kampung halaman yang dilaksanakan atas dasar mufakat penduduk wilayah setempat, melalui kebersamaan yang mendalam dan kesadaran untuk menjaga kelestarian hidup dan alam sekitar. 3. Upacara Pakanan Sahur Parapah

Upacara Pakanan Sahur Parapah merupakan upacara yang dilakukan dengan tujuan menaikkan rasa syukur dan terimakasih kepada roh leluhur yang membantu menjaga kehidupan manusia seperti yang diwahyukan Ranying Hatalla Langit. Upacara Pakanan Sahur Parapah juga merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Ngaju sebagai bukti kuatnya nilai-nilai Kaharingan berakar di dalam hidup mereka. Pada umumnya upacara dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju yang menganut agama Kaharingan, namun ia memiliki tujuan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, Upacara Pakanan Sahur Parapah juga sering mengikutsertakan tokoh dan kelompok agama lain. Upacara Pakanan Sahur Parapah juga seringkali ditujukan khusus kepada Patahu yang merupakan salah satu dari Sahur dan biasanya disebut dengan Upacara Pakanan Patahu. Tidak ada perbedaan tujuan antara Upacara Pakanan Patahu dan Upacara Pakanan Sahur Parapah, hanya saja Upacara Pakanan Patahu biasanya ditujukan lebih khusus kepada Patahu sedangkan Pakanan Sahur Parapah lebih umum dan yang menyangkut seluruh bentuk Sahur yang pada umumnya diselenggarakan bersama-sama oleh masyarakat. 4. Upacara Perkawinan

Peristiwa perkawinan menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju bukan hanya sekedar persitiwa

sosial tetapi lebih dari itu, perkawinan merupakan persitiwa yang sakral, peristiwa yang religius serta peristiwa ibadah dan berkaitan erat dengan konsepsi tentang Tuhan dan penciptaan manusia. Manusia diciptakan Tuhan melalui menyatunya dua manusia yang berlainan jenis. Persitiwa perkawinan dianggap sakral karena merupakan simbol bersatunya alam atas (Mahattala) dan alam bawah (Jata) dalam bentuk manusia serta melambangkan bersatunya mereka dengan the tree of life (batang garing) kemudian melepaskan diri kembali dan memulai tahapan kehidupan yang baru. Peristiwa kelahiran merupakan simbol dari lepasnya buah yang matang dari the tree life tersebut. Setelah lahir ke dunia, seorang anak akan melalui tahapan-tahapan kehidupan (memasuki masa remaja, dewasa, menikah dan sebagainya). Seorang Dayak Ngaju harus menjalani upacara-upacara tertentu serta dikenakan sebagai kewajiban dan larangan yang harus ditaati yang berbeda bentuk dan pelaksanaannya pada laki-laki dan perempuan.

5. Upacara Suci Tiwah

Upacara Suci Tiwah ialah upacara sakral terbesar dibanding ke dua upacara di atas dan merupakan hukum adat yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu dalam makalah ini, pembahasan tentang Upacara Suci Tiwah akan lebih banyak dipaparkan. Upacara Suci Tiwah merupakan upacara kematian bagi suku Dayak Ngaju. Bagi orang yang mati diadakan dua macam penguburan, yaitu upacara kematian biasa (ritus penguburan) dan pesta kematian yang disebut Upacara Suci Tiwah. Upacara kematian biasa dimaksudkan untuk memimpin liau ke tempat peristirahatan sementara, yaitu di Bukit Pasahan Raung. Perjalanan liau (orang yang wafat) menuju bukit itu disebut di dalam nyanyian para imam. Para liau menunggu hingga diadakan upacara yang kedua, yaitu Upacara Suci Tiwah. Upacara Suci Tiwah tidak boleh diabaikan karena pengabaiannya akan menyebabkan liau bertahan di bukit dan dapat mendatangkan bencana kepada keluarga yang masih hidup dan menji penghinaan bagi keluarga. Upacara Suci Tiwah (yang artinya bebas, lepas dari kewajiban) dimaksudkan untuk memimpin liau di dalam perjalanannya ke alam akhirat menuju lewu liau, tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk keduan kalinya memakamkan tulang-tulang sang wafat di tempat peristirahatan tetap yang disebut sandong. Biasa pesta kematian ini sangat mahal sehingga biasanya ditunggu kira-kira 60 orang yang mati untuk mengadakannya bersama-sama, kecuali jika ada keluarga kaya yang ingin mengadakannya sendiri (Harun Hadiwijono, 2003).

6. Upacara Tolak Bala

Upacara Tolak Bala adalah ritual untuk menangkal sakit-penyakit yang sedang mewabah

(4)

18 dengan cara memohon perlindungan dan keselamatan dari leluhur-leluhur Dayak. Upacara Tolak Bala merupakan tradisi yang dilakukan turun-temurun sebagai warisan leluhur Dayak. Upacara tersebut biasanya dipimpin oleh tokoh agama Kaharingan yang disebut sebagai Basir dan pada saat Upacara Tolak Bala dilakukan biasanya ada beberapa pantangan atau pali yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang melaksanakan ritual tersebut. Upacara Tolak Bala dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju biasanya berdasarkan kesepakatan bersama, sehingga kebutuhan-kebutuhan dalam upacara tersebut akan ditanggung bersama atau menjadi kewajiban bersama.

Ritual Agama Kaharingan Suku Dayak Sebagai Perekat Sosial

Agama Kaharingan sebagai agama Suku Dayak Ngaju membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakatnya, walaupun sudah ada dalam zaman yang modern. Falsafah hidup gotong royong (Habaring Hurung, Handep dan Harubuh), tradisi-tradisi dari para leluhur, masih tetap dijaga hingga saat ini. Suku Dayak Ngaju sangat menjunjung tinggi tradisi-tradisi leluhur mereka yang kemudian menjadi hukum adat dan terkemas secara formal di dalam agama asli mereka yaitu agama Kaharingan. Di saat mereka ada dalam satu ikatan adat yang menjadi aturan moral dan yang di dalamnya juga mengatur hubungan mereka dengan yang transenden (suci), maka di situlah masyarakat menemukan identitas mereka sebagai Suku Dayak Ngaju. Seperti yang dikatakan oleh Durkheim (dalam Johnson, 1988). bahwa agama apa saja dalam pandangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu dunia yang suci.

Setiap proses dari kehidupan, baik perkawinan, melahirkan, kematian, dan lain sebagainya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sesuatu yang Transenden tersebut dan pada umumnya dianggap sebagai peristiwa yang sakral atau suci. Oleh karena itu, selalu diadakan ritual untuk peristiwa-peristiwa yang ada dalam perjalanan kehidupan Suku Dayak Ngaju. Dalam arti sempit, ritual merupakan tindakan-tindakan formal yang dilakukan dalam konteks pemujaan atau ibadah dari suatu agama. Dalam arti luas, ritual mencakup tindakan-tindakan yang memiliki formalitas tinggi selain aktivitas religius biasa. Parade, festival, permainan dan kegiatan manusia sehari-hari, misalnya mengucapkan salam kalau bertemu seseorang, kegiatan pengajaran di sekolah, berladang dan mengolah makanan, dapat disebut sebagai ritual karena memiliki keteraturan dan formalitas yang tinggi (Leach, 1979).

Wallace (1966) memaparkan bahwa ritual pada dasarnya adalah usaha untuk mewujudkan keyakinan-keyakinan yang diyakini dalam bentuk rangkaian tindakan simbolis dan dalam bentuk pemberian sesajian makanan, korban binatang untuk dewa-dewa, roh-roh maupun roh-roh leluhur (Wallace, 1966).

Bertolak dari pengertian ritual tersebut, maka tujuan ritual yang dilakukan oleh Suku Dayak Ngaju adalah sebagai wujud rasa syukur kepada yang roh-roh leluhur mereka, sebagai amanat dan kewajiban terhadap tradisi leluhur, sebagai sarana bagi Suku Dayak Ngaju untuk berkomunikasi dengan roh-roh dan roh leluhurnya, sebagai sarana untuk memperoleh keselamatan diakhirat dan kesejahteraan hidup di dunia yang diyakini sebagai tanah milik Ranying Hatalla Langit (Tuhan), dan sebagai sarana untuk membangun dunia sosial.

Ritual-ritual seperti yang dipaparkan di atas, merupakan beberapa ritual yang dilakukan oleh Suku Dayak Ngaju. Di dalam ritual-ritual tersebut, masyarakat Dayak Ngaju selalau menerapkan falsafah hidup mereka, yaitu gotong royong (Habaring Hurung, Hande dan Harubuh). Gotong royong dalam arti, masyarakat Suku Dayak Ngaju bersama-sama memelihara, menjaga dan melaksanakan ritual tersebut sebagai suatu hukum adat yang mengikat kehidupan bersama. Dalam ritual perkawinan, masyarakat Dayak Ngaju dari berbagai pelosok dan juga agama yang lain hadir dalam rangka memberikan suatu penghormatan kepada ritual yang dianggap suci yang selalu dihubungkan dengan konsep mereka terhadap Tuhan (bersatunya alam atas dan alam bawah). Begitu pula dengan ritual panen dan penyucian kampung halaman ialah wadah bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju memperkenalkan identitas dan falsafah hidup mereka.

Selain ritual perkawinan, panen dan penyucian kampung halaman, terdapat juga ritual untuk kematian yang disebut tiwah. Ritual tiwah adalah ritual terbesar dari antara ritual-ritual yang telah dipaparkan di atas. Upacara Suci Tiwah merupakan ritual tertinggi dan terbesar bagi umat Kaharingan membetuk suatu dimensi sosial. Dimensi sosial, terlihat di dalam hubungan ritual tiwah dengan masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Kristen atau Islam, ras yang berbeda dan masyarakat yang hadir dari berbagai pelosok yang turut bertasipasi di dalam ritual tersebut. Kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Dayak Ngaju, dilandasi oleh kesatuan adat yang diyakini oleh masyarakat Dayak Ngaju sebagai bentuk-bentuk keluhuran dan bersumber pada kekuatan Pencipta.

Adat merupakan kebiasaan turun-temurun dan menyangkut segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat seperti kebiasaan berpakaian, sikap, cara-cara menghormati orang tua, cara-cara melakukan cara- upacara-upacara keagamaan atau kepercayaan suku. Adat tersebut selalu diamalkan dan dihayati secara tekun dan teliti oleh masyarakat Dayak Ngaju, seperti halnya pelaksanaan ritual tiwah (Ugang, 1983). Oleh karena itu, ketika ritual tiwah diadakan masyarakat Dayak Ngaju berbondong-bondong menghadirnya dan menaati setiap atauran yang berlaku selama upacara tersebut berlangsung sehingga mereka menyatu di dalam suatu realitas sebagai suku Dayak Ngaju yang percaya, menyembah dan memelihara tradisi leluhur

(5)

19 mereka yang mereka yakini sebagai sesuatu yang transenden.

Fakta tersebut sesuai dengan teori Durkheim (dalam Johnson, 1988) yang mengatakan bahwa Individu-individu datang berkumpul dalam ritual atau ritus dan melalui interaksi yang tinggi di antara mereka sembari memusatkan perhatian pada satu obyek yang sama, sehingga ada suatu peningkatan emosional secara bertahap yang menjadi kuat dalam setiap orang karena kesadaran bahwa semua orang lain sedang ikut dalam pengalaman yang sama, yaitu pengalaman terhadap yang transenden. Apa yang dikatakan Durkheim (dalam Johnson, 1988) memberikan suatu pemahaman baru untuk melihat realitas hidup beragama dan bermasyarakat Suku Dayak Ngaju, yaitu bahwa agama Kaharingan memberikan wadah bagi mereka untuk mengaplikasikan kesamaan pengalaman terhadap yang Transenden dalam berbagai ritual. Tidak hanya itu agama semakin menampakkan fungsinya sebagai perekat sosial bagi masyarakat Suku Dayak Ngaju.

Mengapa agama dapat berfungsi sebagai perekat sosial? Menurut hemat saya, ketika kita sadar dan mampu memahami bahwa agama diciptakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan akan sesuatu yang melampaui kekuatan manusia atau yang Transenden, maka disitulah agama mulai memainkan perannya sebagai perekat sosial. Sebab, ketika suatu komunitas ada dalam kesadaran tersebut, maka secara otomatis masyarakat akan membentuk dan menciptakan suatu sarana (ritual-ritual) agar mereka dapat berkomunikasi dengan yang Transenden dan memperoleh apa yang mereka butuhkan yang tidak dapat terpenuhi hanya dengan kekuatan dan kekuasaannya sebagai manusia, serta mengetahui hakekat dari setiap peristiwa di dalam perjalanan hidup mereka di dunia. Sarana dalam arti ritual inilah yang menciptakan suatu kehidupan sosial, kesadaran akan adanya ikatan hidup (hukum adat) bersama yang kemudian menjadi perekat sosial di dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak Ngaju.

Jadi dapat dikatakan bahwa agama Kaharingan melabelkan kekuatan sacred terhadap setiap peristiwa perjalanan kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, kematian, dsb) sehingga masyarakat merasa wajib untuk menciptakan ritual terhadap setiap peristiwa tersebut. Di dalam ritual-ritual tersebut masyarakat Suku Dayak Ngaju membangun dunia sosial yang erat. Pemahaman seperti ini didukung juga oleh teori dari Berger yang mengatakan bahwa agama melabelkan kekuatan sacred pada objek-objek dan makna-makna yang dengannya manusia membangun dunia sosial dan model-model kosmos (Peter Connoly, 1999).

Kesimpulan

Agama Kaharingan merupakan agama Suku Dayak Ngaju yang di dalam ajarannya terdapat nilai-nilai,

hukum-hukum atau aturan adat seperti halnya pelaksanaan berbagai macam ritual yang diwarisi dari zaman para leluhur. Melalui pelaksanaan ritual sebagai bagian dari hukum adat itulah masyarakat ada dalam satu ikatan kebersamaan yang pada akhirnya akan menciptakan sistem kekerabatan atau menjadi sarana perekat sosial bagi masyarakat suku Dayak Ngaju.

Berger mengungkapkan bahwa agama adalah produk dari masyarakat itu sendiri (Beger, Langit Suci, 1991), maka Agama dalam Suku Dayak Ngaju merupakan wadah yang diciptakan manusia untuk dapat membangun berbagai macam dimensi di dalam kehidupannya, baik dimensi spiritual (dalam hubungannya dengan Tuhan) maupun dimensi sosial (dalam hubungannya dengan sistem kekerabatan). Begitu pula sebaliknya, kehidupan sosial telah ada sebelum agama itu dibentuk dan setelah agama hadir maka kehidupan sosial tersebut semakin dipererat karena adanya kesamaan pengalaman dan kebutuhan akan yang transenden. Kesadaran kolektif terhadap yang Transenden tersebut menciptakan suatu kondisi formal yang tertuang dalam ritual Agama Kaharingan. Ketika ritual tersebut diadakan, masyarakat Suku Dayak Ngaju merasakan suatu kesatuan sebagai masyarakat Suku dayak Ngaju yang hidup berdampingan dan ada dalam satu kepercayaan, satu kebudayaan, inilah yang menjadi perekat sosial bagi suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.

Sebagai saran yang penulis ingin tuangkan dalam penulisan jurnal ini ialah, bagi masyarakat Dayak Ngaju terlebih secara khusus bagi masyarakat yang masih menganut agama Kaharingan agar tetap melestarikan nilai-nilai kebudayaan dayak yang tertuang dalam berbagai ritual agama Kaharingan. Karena melalui ritual-ritual tersebut, masyarakat Dayak Ngaju dapat berkumpul tanpa melihat pada latar belakang sosial ataupun agama yang mereka miliki namun dengan tetap mengingat bahwa mereka adalah masyarakat Dayak yang memiliki nilai-nilai adat yang sama. Alasan kedua mengapa masyarakat Dayak harus tetap melaksanakan dan melestarikan nilai-nilai budaya yang terkemas dalam ritual-ritual agama Kaharingan, karena melalui ritual-ritual tersebut mempererat rasa kebersamaan dan kekeluargaan masyarakat suku Dayak Ngaju. Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat Dayak Ngaju harus tetap mempertahankan kebudayaannya baik dalam bentuk ritual-ritual agama Kaharingan.

Daftar Rujukan

Connoly, Peter. 1999. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS

Durkheim, Emile. 1974. The Elementary Forms of the Religious Life, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh J.W. Swain, Glencoe, Illinois, The Free Press, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Inyiak Ridwan Muzir, IRCiSoD.

(6)

20

Harun,. Hadiwijono. 1999. Religi Suku Murba Di Indonesia. Jakarta: PT.BPK. Gunung Mulia. Leach, Edmund dkk.1979. Ritualization of Man in

Relation to Conceptual and Social Development. New York Evanston, San Fransisco, London: Harper & Row.

Beger. Peter. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES

Paul Johnson, Doyle. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.

Sutarno. 2004. Di dalam Dunia Tetapi Tidak Dari Dunia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Riwut, Nila. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangkaraya: Pusakalima.

Ugang, Hermogenes.1983. Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Jakarta: Gunung Mulia.

Wallace, Anthony F. C. 1966. Religion In Antrhropological View. New York: Random House

Sofyan, Diana. 1997. Agama dan pengobatan : latar belakang religi dan konsep dasar pengobatan suku dayak Ngaju Kalimantan Tengah, khususnya Kotamadya Palangkaraya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: UNIVERSITAS INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan media pembelajaran CD interaktif untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA pokok bahasan alat indera.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dari penelitian yang dilakukan menghasilkan sebuah perangkat lunak system pendukung keputusan analisis kinerja pegawai dinas tenaga kerja transmigrasi dan sosial

Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia (RSU IPI) Medan bahwa terdapat beberapa data- data tidak lengkap dalam pengisian data di

Pada penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa persentase hambatan dari beberapa konsentrasi ekstrak rumput laut Caulerpa sp.. muncul pada hari ketiga setelah

Kriteria umumnya yaitu obat termasuk dalam daftar obat pelayanan kesehatan dasar (PKD), obat program kesehatan, obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat

Adapun strategi politik hukum untuk meningkatkan kualitas produktifitas legislasi DPR adalah mengubah haluan politik dari agent/delegate ke trustee, menghilangkan fungsi

Dalam proses belajar mengajar seorang guru harus menguasai media pembelajaran yang dibutuhkan. Penggunaan media pembelajaran sangat membantu memberikan pemahaman kepada

Dalam hal tersebut, Perusahaan mempertimbangkan, berdasarkan fakta dan situasi yang tersedia, termasuk namun tidak terbatas pada jangka waktu hubungan dengan pelanggan