• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. diperlukan untuk memperdalam konsep dan wawasan terkait dengan topik yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. diperlukan untuk memperdalam konsep dan wawasan terkait dengan topik yang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Di samping untuk penelusuran penelitian sebelumnya, kajian pustaka amat diperlukan untuk memperdalam konsep dan wawasan terkait dengan topik yang diteliti. Penelitian yang terkait dengan wisatawan dan pariwisata Bali sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.

Suradnya (2006) menulis laporan berjudul “Analisis Faktor-Faktor Daya Tarik Wisata Bali Dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali”. Dengan menggunakan teknik analisis faktor (factor analysis) berhasil diidentifikasikan 8 faktor daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Bali, yakni (1) harga-harga produk wisata yang wajar, (2) budaya dalam berbagai bentuk manifestasinya, (3) pantai dengan segala daya tariknya, (4) kenyamanan berwisata, (5) kesempatan luas untuk relaksasi, (6) citra (image) atau nama besar Bali, (7) keindahan alam, (8) keramahan penduduk setempat. Berdasarkan temuan penelitian ini, maka perencanaan pengembangan Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, ke delapan faktor daya tarik tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan agar persepsi wisatawan terhadap Bali tetap terjaga.

Selanjutnya Aryaningsih (2009) menulis tesis berjudul “Strategi Komunikasi Publik Relation Dalam Mempertahankan Citra Pariwisata Bali Pada Hotel-Hotel Di Kawasan Pariwisata Nusa Dua”. Kajian dengan menerapkan teori sosiologi komunikasi dan teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow ini diketahui bahwa citra positif pariwisata Bali ditentukan oleh 19 faktor meliputi: keamanan, kebersihan,

(2)

kesenian, budaya, kebijakan pemerintah, sinergi, keramahtamahan (masyarakat lokal), gaya hidup masyarakat lokal, pemandangan alam, infrastruktur, tata ruang, tranportasi, promosi, magis, sumber daya manusia, cuaca, sosial politik, ekonomi dan telekomunikasi.

Untuk memberikan informasi kepada wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali, keberadaan TIC (Tourist Information Centre) sangat penting. Dalam kaitan ini, Kanca (2009) menulis laporan berjudul ”Persepsi Wisatawan Mancanegara Terhadap Pelayanan Informasi TIC Dinas Pariwisata Kota Denpasar” Penelitian yang melibatkan 85 wisatawan mancanegara ini menggunakan teknik accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wisatawan terhadap pelayanan pada Tourist Information Centre Dinas Pariwisata Kota Denpasar umumnya sudah memuaskan walaupun masih ada beberapa kendala seperti kendala bahasa, kordinasi antara instansi terkait belum begitu baik, serta pihak swasta yang berkompeten dalam bidang pariwisata belum berkordinasi secara maksimal.

Image atau citra positif pariwisata Bali dapat terjaga apabila wisatawan memiliki persepsi positif terhadap pariwisata Bali dan segala penunjuangnya. Dalam kaitan ini Kusuma Negara (2005) menulis laporan berjudul “Persepsi Wisatawan Mancanegara Terhadap Pelayanan Kesehatan di Bali”. Hasil penelitian di Empat Kota di Bali (Badung, Denpasar, Gianyar, dan Buleleng) ini mengungkapkan bahwa persepsi wisatawan mancanegara terhadap pelayanan kesehatan di Bali adalah bagus sesuai dengan apa yang diharapkan oleh wisatawan.

Selanjutnya Putra menulis tesis berjudul “ Persepsi Wisatawan Terhadap Pelayanan Hotel Melati Di Kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar (2009). Kajian

(3)

dengan menerapkan analisis pelayanan (servqual), analisis kepentingan kinerja (importance-performance analyisis), dan pendekatan kemampuan mendasar (competence-based) ini menemukan bahwa rata-rata wisatawan terpuaskan atas pelayanan yang diberikan oleh hotel melati di kawasan Ubud.

Kajian serupa juga dilakukan oleh Indrawati (2006) berjudul “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia Pada fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuasa Seni Budaya di Kawasn Sanur. Secara purposif, 50 wisatawan berusia lanjut yang berasal dari Australia, Jerman, Ingris dan Jepang dijadikan responden. Hasil kajian menunjukkan bahwa mereka memiliki persepsi yang positif terhadap akomodasi berupa vila dan bungalow yang bercorak tradisional Bali. Mereka cenderung memilik jasa akomodasi vila atau bungalow di kawasan Sanur karena merasa aman dan nyaman (PS Pariwisata, Unud, 2006).

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Suradnya (2006), Aryaningsih (2009) dan Kanca (2009) di atas telah berhasil mengungkap kaitan antara wisataan dengan perkembagan pariwisata Bali. Selain itu tiga kajian terakhir, yakni kajian yang dilakukan Kusuma Negara (2005), Putra (2009) dan Indrawati (2006) di atas pada dasarnya hendak memahami persepsi wisatawan terhadap pelayanan yang diberikan oleh jasa akomodasi wisata (hotel) yang mereka terima di kawasan pariwisata Ubud dan Sanur. Namun, sejauh ini belum ada penelitian yang membahas persepsi wisatawan terhadap pelayanan jasa akomodasi vila di Kawasan Wisata Kuta.

Untuk itu, penelitian ini sengaja dilakukan untuk memahami pesepsi wisatawan pemakai jasa akomodasi vila di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

(4)

sama-sama mengungkap persepsi wisatawan terhadap pelayanan jasa akomodasi pariwisata di Bali. Akan tetapi, lokasi, waktu dan materi (subjek) penelitian relatif berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan ilmiah terkait dengan pembangunan vila di Kelurahan Seminyak khususnya yang menyangkut persepsi wisatawan dan loyalitas mereka memakai jasa akomodasi wisata vila di Kelurahan Seminyak.

2.2 Konsep

Dalam penelitian ini akan muncul banyak kata dan istilah yang terkait dengan bisnis pariwisata. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu penjelasan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep-konsep-konsep yang diuraikan pada bagian berikut adalah konsep persepsi wisatawan, konsep pelayanan dan akomodasi vila.

2.2.1 Persepsi Wisatawan

Menurut Nurhadi (dalam Alfian,1985: 206) persepsi adalah penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau berbagai proses yang menghasilkan penghayatan langsung tersebut. Tercakup dalam hal ini adalah proses-proses attention, constancy, movement perception, motives, emotions and expectations (perhatian, kesetiaan, perubahan persepsi, alasan, harapan dan emosi). Dengan demikian persepsi dapat dikatakan sebagai penghayatan langsung seorang pribadi terhadap suatu fakta atau realita, bilamana objek persepsinya terasa.

Persepsi juga dapat merupakan beragam kemampuan pengamatan yang merupakan imajinasi, bahkan cita-cita seorang pribadi, dimana objek persepsinya tidak teraga. Oleh karena itu, proses-proses motivasi, emosi, dan ekspektasi sangat

(5)

berpengaruh terhadap pembentukan persepsi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono tentang persepsi sosial (2002:94) yang mengatakan bahwa, persepsi bersifat sangat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi. Dalam kaitan ini, maka persepsi yang dimasud adalah penilaian dan pandangan wisatawan terhadap keseluruhan pelayanan vila mulai dari tahap penerimaan tamu (check in), selama tinggal menginap di dalam vila (house keeping) sampai yang bersangkutan check out.

Menurut World Tourism Organization (WTO), wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat tinggalnya. Selanjutnya menurut International Union of Travel Organization (IUTO) dalam Youti (2002:4) wisatawan adalah pengunjung yang tinggal sementara di suatu tempat paling sedikit 24 jam di Negara yang dikunjungi dengan motivasi perjalanan untuk bersenang senang, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, olah raga, berdagang, kunjungan keluarga, konfrensi dan misi tertentu.

Sedangkan menurut Gray dalam Pitana, (2005:56) wisatawan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) sunlust dan (2) wanderlust. Sunlust tourist adalah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan utama untuk beristirahat atau rekreasi sehingga mereka umumnya mengunjungi suatu daerah-daerah tujuan wisata yang memiliki cirri Multiple s (sun, sea dan sand). Wisatawan ini mengharapkan iklim, fasilitas, makanan dan lain lain yang sesuai dengan standar di Negara asalnya, sedangkan Woderlust Tourist adalah wisatawan yang perjalanan wisatanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengalaman baru, mengetahuti kebudayaan baru maupun mengagumi keindahan alam yang belum pernah dilihat. Wisatawan seperti

(6)

ini lebih tertarik pada daerah tujuan wisata yang mampu menawarkan keunikan budaya atau pemandangan alam yang mempunyai nilai pembelajaran yang tinggi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud wisatawan adalah tamu yang datang ke Bali, baik tamu yang berasal dari mancanegara maupun tamu domestik (dari dalam negeri) yang memanfaatkan pelayanan jasa akomodasi vila di Kelurahan Seminyak.

Sesuai dengan konsep di atas, maka persepsi wisatawan adalah pandangan dan penilaian wisatawan terhadap pelayanan jasa akomodasi vila di Desa Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Pelayanan vila tersebut mencakup pelayanan vila mulai dari penerimaan tamu (check in), pelayanan selama menginap di dalam vila (termasuk servis kamar, konsumsi) sampai dengan pelayanan check out dari vila setempat.

2.2.3. Pelayanan Vila

Secara umum pelayanan vila dibedakan menjadi dua yaitu pelayanan yang bersifat nyata (tangible) dan pelayanan tidak nyata (intangible) yang hanya dapat dirasakan dari suatu pengalaman. Produk tidak nyata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan dan image (citra) suatu produk yang dihasilkan oleh vila. Produk yang dihasilkan seyogyanya dapat memenuhi keinginan serta rangsangan (desire) kepada calon pelanggan. Menurut Barata (2004) pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 6 unsur pokok: (1) kemampuan (ability), (2) sikap (attitude), (3) penampilan (appearance, (4) perhatian (attention), (5) tindakan (action), dan (6) tanggung jawab (accounttability). Selanjutnya menurut Tjiptono (2008) pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 4 unsur pokok, yaitu: (1) kecepatan, (2) ketepatan, (3) keramahan, dan (4) kenyamanan.

(7)

Kualitas dari suatu pelayanan (jasa) ataupun kualitas dari suatu produk dapat didefinisikan sebagai pemenuhan yang dapat melebihi dari keinginan ataupun harapan dari pelanggan (konsumen). Zeithami, Berry dan Parasuraman (Yamit, 2001:10) telah melakukan berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan. Kelima dimensi karakteristik kualitas pelayanan tersebut adalah: (1) Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi; (2) Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah dijanjikan; (3) Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap; (4) Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keragu-raguan; (5) Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan. Sesuai dengan konsep pelayanan ini, maka yang dimaksud pelayanan dalam kajian ini adalah keseluruhan pelayanan vila yang meliputi tiga bagian atau bidang pelayanan utama, yakni pelayanan vila pada waktu penerimaan tamu (reception), pelayanan di bagian housekeeping dan pelayanan bagian food and beverage.

Selanjutnya Vila merupakan salah satu sarana akomodasi yang dipilih oleh wisatawan untuk menginap di daerah wisata yang mereka kunjungi dengan alasan karena vila lebih tenang, nyaman dan lebih pribadi dibandingkan dengan akomodasi lainnya. Sedangkan hotel adalah suatu bidang usaha yang menggunakan suatu

(8)

bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus. Ciri khusus dari hotel adalah mempunyai restoran yang dikelola langsung di bawah manajemen hotel tersebut, sedangkan vila merupakan salah satu bentuk akomodasi yang komersial dan tidak semua dilengkapi dengan restoran.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Standar Usaha Vila, yang dimaksud vila dalam kajian ini adalah jenis akomodasi yang terdiri dari satu atau lebih bangunan yang berdiri sendiri yang menyediakan jasa penginapan dan jasa lainnya dengan mengutamakan privasi dan pelayanan yang dikelola secara profesional dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Tahun 2010). Menurut jenisnya vila dibedakan menjadi dua, yaitu vila kompleks yang dibangun dalam suatu kompleks tertentu milik perorangan atau badan tetentu dengan jumlah kamar yang relatif banyak dan vila privat adalah vila milik perorangan dengan jumlah kamar terbatas.

Sesuai dengan pengertian pelayanan dan vila di atas, maka pelayanan vila adalah pelayanan yang diterima oleh wisatawan pengguna jasa akomodasi vila di Desa Seminyak, Kecataman Kuta, Kabupaten Badung. Pelayanan tersebut mencakup pelayanan vila mulai dari check in, pelayanan selama menginap di dalam vila (termasuk servis kamar, konsumsi) sampai dengan check out dari vila setempat. Sebagai penyedia jasa akomodasi, vila memiliki standar pelayanan yang mengedepankan privacy, private swimming pool, jacuzzi, fully equipped kitchen dan internet (wifi), menjamin keamanan (security), dan menyuguhkan pelayanan bermutu tinggi (high quality service): butler service, in villa breakfast, lunch or dinner, special events, termasuk wedding or party (Dispenda Badung, 2011).

(9)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa teori, yakni teori persepsi, teori hirarki kebutuhan dan teori stakeholders. Ketiga teori ini digunakan secara eklektik untuk membahas persepsi wisatawan terhadap pelayanan vila di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.

2.3.1 Teori Persepsi

Untuk memahami persepsi wisatawan terhadap pelayanan vila di Kelurahan Seminyak, maka digunakan teori persepsi. Menurut Sarwono (2002:94) persepsi dapat dideskripsi sebagai sebuah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi adalah panca indera dan untuk memahaminya diperlukan adanya kesadaran atau kognisi.

Menurut Sarwono (2002:94) persepsi bersifat sangat subjektif, yaitu sangat tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi selain juga sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Persepsi juga dapat merupakan beragam kemampuan pengamatan yang merupakan imajinasi, bahkan cita-cita seorang pribadi, dimana objek persepsinya di sini tidak teraga. Oleh karena itu, proses-proses motivasi, emosi, dan ekspektasi berpengaruh sekali terhadap pembentukan persepsi itu sendiri. Persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkret dan bahwa nilai-nilai lewat emosi, motivasi, dan ekspektasi mempengaruhi persepsi ini. Nilai-nilai dengan saling berbeda mempengaruhi persepsi dan perilaku. Dengan demikian, gerak perilaku terbentuk dalam waktu mendapat arah dari masa lalu, lewat masa kini ke masa datang, melalui persepsi realita dan persepsi utopis.

(10)

Banyak pakar mengatakan bahwa, persepsi ini sifatnya memang sangat subjektif. Hal ini disebabkan karena persepsi sangat tergantung pada subjek yang melakukan persepsi tersebut, ruang dan waktu melakukan persepsi tersebut. Namun demikian bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali kecenderungan persamaan dalam persepsi dari berbagai orang terhadap sebuah objek yang dipersepsikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan menyajikan penelitian Cunningham dkk.pada tahun 1995 di Amerika Serikat (dalam Sarwono,2002:96).

Dalam penelitian yang dilakukan pada sejumlah mahasiswa pendatang baru keturunan Asia, Amerika Latin, dan asli Amerika sendiri, yang diminta untuk menilai kecantikan (melalui foto) wanita-wanita keturunan Asia, Amerika Latin dan Amerika (kulit hitam dan putih). Hasilnya, bahwa semua ras menilai kecantikan lebih berdasarkan pada wajahnya daripada tubuh. Persepsi terkadang serupa atau seragam, tetapi tidak jarang pula berbeda seperti ditulis para ahli. Hal ini dijelaskan Kenny, 1994 (dalam Sarwono,2002:97) yang mengatakan bahwa, ada perbedaan antara persepsi tentang orang (person perception) dan persepsi dalam hubungan antar pribadi (interpersonal perception). Menurutnya, dalam hal yang pertama, objeknya lebih abstrak, lebih hipotetis (seperti penelitian Cunningham) sehingga orang cenderung memberi persepsi yang sama. Sedangkan dalam hal yang kedua, objeknya lebih kongkret atau merupakan pengalaman pribadi.

Dalam hal hubungan antarpribadi, hal yang lebih kongkret itu lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi, emosi, harapan dan lain sebagainya. Selain itu seperti telah dibahas, persepsi sosial juga sangat menggantungkan diri pada proses komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Komunikasi dimaksud adalah komunikasi verbal maupun non-verbal. Dalam hal ini komunikasi non-verbal

(11)

dikatakan jauh lebih bermakna daripada komunikasi verbal. Komunikasi verbal seringkali kurang dapat dipercaya.

Seseorang individu akan melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan dimaksud merupakan tindakan yang rasional, yaitu dalam mencapai tujuan atau sasaran mempergunakan sarana-sarana yang paling tepat. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Talcott Parsons salah seorang Weberian yang memulainya dengan beberapa kritik sebagai berikut: Aksi atau action bukan perilaku atau behaviour. Aksi merupakan tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus, sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Hal yang utama di sini adalah bukan tindakan individunya melainkan yang menuntun dan mengatur perilaku, yaitu norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya. Kondisi objektif berinteraksi dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai kemudian akan mengembangkan suatu bentuk tindakan tertentu (Sarwono,1997:19).

Tingkah laku (action) manusia dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu pertama, voluntary action di mana perbuatan individu tersebut dilakukan atas keinginannya sendiri. Kedua, intentional action, di mana konsep ini berdasarkan pada pengertian bahwa setiap tingkah laku itu punya tujuan. Sedangkan ketiga, meaningful action, yang mengandung arti bahwa tingkah laku seseorang memiliki arti. Di sini ada saling hubungan antara bahasa, perbuatan, dan lingkungan. (Thompson, 2005:50)

Menurut Rangkuti (2003: 31) makna dari proces persepsi dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dari individu yang bersangkutan. Dikatakan juga ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yaitu:

(12)

1. Tingkat kepentingan pelanggan didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa, yang akan dijadikan standar acuan dalam menilai kinerja produk atau jasa tersebut. Ada dua tonggak kepentingan pelanggan, yaitu adequate service (kinerja jasa minimal) dan disire service (kinerja jasa yang diharapkan).

2. Kepuasan pelanggan yang diidefinisikan sebagai jawaban pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja yang dirasakannya setelah pemakaian. Faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan salah satunya adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas jasa yang berfokus lima dimensi jasa. Selain itu juga oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga, dan faktor lainya yang besifat pribadi serta sesaat. Persepsi pelanggan mengenai kualitas jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan pelanggan jasa tersebut terlebih dahulu untuk memberikan penilaian.

3. Nilai yang didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk, yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterimanya dan telah diberikan oleh produk tersebut. Pelanggan akan semakin loyal jika produk atau jasa tersebut semakin bernilai bagi pelanggan.

2.3.2 Teori Hirarki Kebutuhan

Untuk mengkaji latar belakang penyebab yang membentuk persepsi wisatawan tentang pelayanan vila serta dampaknya bagi pengembangan jasa akomodasi vila, maka diterapkan teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abaraham Maslow. Maslow (dalam Jarvis, 2006) mengembangkan teori hirarki kebutuhan yang menjelaskan segala jenis kebutuhan manusia menurut tingkat prioritas dalam pemenuhannya. Maslow membedakan D-needs atau deficiency needs

(13)

yang muncul dari kebutuhan akan pangan, tidur, rasa aman, dan lain-lain, serta B-needs atau being B-needs seperti keinginan memenuhi potensi diri. Seseorang baru dapat memenuhi B-needs jika D-needs sudah terpenuhi.

Urutan pemenuhan kebutuhan menurut urutannya berjalan dari bawah ke atas. Prioritas kebutuhan pertama yang dicari adalah kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti makanan dan kehangatan, karena manusia tidak bisa hidup tanpa dua hal tersebut. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi, yang akan dicari kemudian adalah rasa aman (safety). Hierarki kebutuhan menurut Maslow ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Hierarki kebutuhan

Aktualisasi Diri Kebutuhan Estetis Kebutuhan Intelektual Kebutuhan untuk Dihargai

Kebutuhan Sosial Kebutuhan Akan Rasa Aman

Kebutuhan Fisiologis

Sumber: Maslow. (1954) dalam Jarvis. (2006)

Saat manusia sudah merasa aman, maka kebutuhan berikut yang diinginkan adalah kebutuhan sosial, yaitu menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika kebutuhan sosial sudah terpenuhi, kebutuhan berikutnya yang terpenting adalah kebutuhan untuk dihargai (esteem needs). Agar kebutuhan itu terpenuhi, maka manusia harus berprestasi, menjadi kompeten, dan

(14)

mendapat pengakuan sebagai orang yang berprestasi dan kompeten. Begitu kebutuhan ini terpenuhi, perhatiannya akan beralih pada pemenuhan kebutuhan intelektual (intellectual needs), termasuk didalamnya memperoleh pemahaman dan pengetahuan. Kebutuhan berikut diatas kebutuhan intelektual adalah kebutuhan estetis (aesthetic needs), yaitu kebutuhan akan keindahan, kerapian, dan keseimbangan. Kebutuhan terakhir manusia menurut Maslow adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualization) yaitu menemukan penemuan pribadi dan mencapai potensi diri. Jadi dihubungkan dengan persepsi yang sedang di teliti oleh peneliti sangat ditentukan oleh terwujudnya kebutuhan pelanggan yang mana pelenggan adalah manusia dan tidak ada bedanya dengan apa yang di hirrakikan oleh Maslow. Apabila pelayanan vila sudah memenuhi kebutuhan wisatawan, maka wisatawan yang bersangkutan akan memiliki persepsi yang positif terhadap jasa pelayanan akomodasi vila di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.

2.3.3 Teori Stakeholders

Teori stakeholder diperlukan untuk memahami dampak persepsi terhadap kepuasan wisatawan mempergunakan jasa akomodasi vila serta untuk mengkaji pengembangan pelayanan jasa akomodasi vila itu sendiri di masa yang akan datang. Menurut teori stakeholder, perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Fenomena seperti ini terjadi, karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Harahap,

(15)

2002). Untuk itu, tanggungjawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas indikator ekonomi (economics focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal.

Gray, Kouhay dan Adams (1996, p.53) mengatakan bahwa Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan beradaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya. Definisi stakeholder menurut Freeman (1984) dalam Moir (2001) adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Kasali (2005) membagi stakeholders, menjadi dua, yaitu:

1) Stakeholders internal dan stakeholders eksternal. Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi, seperti: penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, dan lainnya.

2) Stakeholders primer, stakeholders sekunder dan stakeholders marjinal. Stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatikan oleh perusahaan, dan stakeholders sekunder merupakan stakeholders kurang penting, sedangkan stakeholders marjinal merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan.

(16)

3) Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Selanjutnya stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi, seperti: peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potensial) dan lainnya.

4) Proponents, opponents, uncommitted. Stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak kepada perusahaan, stakeholders opponents merupakan stakeholders yang tidak memihak perusahaan, sedangkan stakeholders uncommitted adalah stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan (organisasi)

5) Silent majority dan vocal minority. Dilihat aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau dukungannya secara vocal (aktif), namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).

Analisis stakeholders ini amat penting dalam mengkaji persepsi wisatawan terhadap pelayanan vila setempat; terutama bisa dipakai untuk mengalanisis apakah pelayanan yang diberikan pengelola vila sudah mempertimbangkan faktor stakeholders, baik stakeholders internal (staf/karyawan) maupun stakeholders ekternal, yakni mitra kerja dan wisatawan pelanggannya.

2.4 Model Penelitian

Penelitian tentang persepsi wisatawan terhadap pelayanan vila di Desa Seminyak ini dapat divisualisasikan dalam Gambar 2.1.

(17)

Gambar 2.1: Model Penelitian Keterangan Tanda: Saling berhubungan Arah hubungan Saling mempengaruhi WISATAWAN ASING DAN DOMESTIK VILA KELURAHAN SEMINYAK PERSEPSI WISATAWAN TERHADAP PELAYANAN VILA  DESA SEMINYAK  DINAMIKA KAWASAN PARIWISATA KUTA Kebutuhan Wisatawan Kualitas Pelayanan Vila PENGAMBIL  KEBIJAKAN/PELAKU  PARIWISATA KONSEP :  1. Persepsi Wisatawan 2.Pelayanan Vila  TEORI : 1.Teori Persepsi

2. Teori Hirarki Kebutuhan 3. Teori Stakeholders. PERSEPSI WISATAWAN  UPAYA UPAYA PERBAIKAN PELAYANAN DAMPAK PELAYANAN  HASIL PENELITIAN REKOMENDASI

(18)

Penjelasan Model Penelitian

Bagan 2.1 menunjukkan dinamika pariwisata di Kawasan Pariwisata Kuta diwarnai dengan adanya kedatangan wisatawan asing dan domestik serta berkembangnya fasilitas akomodasi wisata berupa vila di kelurahan Seminyak. Wisatawan yang datang membutuhkan penginapan sesuai dengan kebutuhannya, sementara pengelola vila berupaya memberikan pelayanan yang berkualitas untuk memuaskan para tamunya (wisatawan).

Penelitian ini hendak mengkaji persepsi wisatawan terhadap pelayanan vila di Kelurahan Seminyak, dampak pelayanan terhadap kepuasan pelanggan vila serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk pengembangan vila selanjutnya guna memenuhi kebutuhan jasa akomodasi wisata di masa yang akan datang.

Sesuai dengan topik yang dikaji, penelian ini menggunakan konsep dan teori yang relevan. Adapun konsep penelitian yang digunakan adalah konsep persepsi wisatawan dan konsep pelayanan vila dan tiga teori yang digunakan untuk membedah permasalahan penelitian adalah teori persepsi, teori hirarki kebutuhan (Abraham Maslow) dan teori stakeholders. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat dijadikan masukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan jasa akomodasi vila di kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung pada khususnya serta untuk pengembangan fasilitas akomodasi vila di Bali pada umumnya di masa yang akan datang.

Gambar

Gambar 2.1 Hierarki kebutuhan
Gambar 2.1: Model Penelitian  Keterangan Tanda:             Saling berhubungan              Arah hubungan              Saling mempengaruhi WISATAWAN ASING DAN DOMESTIK VILA KELURAHAN SEMINYAKPERSEPSI WISATAWAN TERHADAP PELAYANAN VILA DESA SEMINYAK DINAMIKA

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Pengembangan Daya Saing Produk Sentra Kerajinan Purun Hasil Pertanian Lahan Basah di Kalimantan Selatan 30.000.000,00 111. Muhammad Kusasi, M.Pd Keguruan & Ilmu

sebelumnya, dapat memberikan dimensi pada gambar anda. Jika tidak, anda dapat mendownload file ini dan mencobanya pada latihan ini.. Cobalah aktifkan linear dimension. Klik end

bermotivasi tinggi dalam bekerja adalah untuk memperoleh keberhasilan, oleh karena itu mereka akan berusaha untuk selalu disiplin dengan mengikuti peraruran serta apapun yang

Menganalisis akurasi metode non-parametrik CTA dengan teknik data mining untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra Landsat-8 OLI serta menerapkan hasil dari KDD

R4.19 Kalo dari conference call for paper itu eemm pengetahuan tentang bahasa mungkin mas ya karena bahasa Inggris ini kan luas tidak hanya dari Amreika saja dari British saja

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan: Tingkat stres kerja karyawan sebelum diberikan terapi ROP berada pada kategori

Sebagaimana dalam pendahuluan sebagai pengganti tubuh manusia yang digunakan pada pengujian dilakukan adalah tahanan dengan nilai yang diambil dari pengukuran tahanan

Novianto, A., 2014, Studi Mekanisme Hepatoprotektif Ekstrak Kunyit (Curcuma domestica Val.) dan Ekstrak Meniran (Phyllantus niruri Linn.) pada Tikus yang Diinduksi Parasetamol,