• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

21 2.1. Perjanjian

2.2.1. Pengertian Perjanjian

Sebelum berbicara masalah perjanjian Utang piutang terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian kalau dilihat dari Undang – undang Hukum Perdata (BW) dalam buku III dapat dijumpai mengenai perikatan pada umumnya. Perikatan mempunyai pengertian yang lebih luas dari perjanjian karena perikatan dapat berupa perjanjian yang disebut dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian. Disamping itu ada juga perikatan yang bersumber dari undang – undang. Menurut pandangan R. Subekti memberikan definisi, perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.115

Beliau memberikan ketegasan, bahwa bagi para pihak yang melakukan perikatan mempunyai keterikatan untuk berbuat sesuatu yang masing-masing kepentingan yang telah disepakati. Ini berarti tiap-tiap pihak yang melakukan perikatan itu harus bertanggung jawab terhadap hak pihak yang lain. kuatnya perikatan itu, ditujukan dengan adanya hukum

(2)

untuk menuntut pihak lain yang melalaikan kewajibannya sebagai suatu upaya hukum menjamin hak para pihak dalam peristiwa perikatan.

Dengan diadakannya suatu perjanjian maka para pihak yang berjanji harus tunduk kepada hal–hal yang telah diperjanjikan. Semua perjanjian harus dilakukan dengan etikad baik dan tidak boleh dilakukan secara bertentangan dengan keputusan dan keadilan.

Menurut Yahya Harahap perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk menunaikan prestasi.16 Dari pengertian ini unsur perjanjian harus adanya hubungan hukum menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada suatu pihak yang meletakan kewajiban dipihak lain. Dengan demikian perjanjian ini biasa disebut perjanjian sepihak disamping perjanjian sepihak juga dikenal dengan perjanjian timbal balik dalam perjanjian ini masing–masing pihak sama – sama mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pengertian itu ditunjukan pula, bahwa terdapat adanya hak bagi para pihak yang lain, yang melakukan perjanjian, disamping kewajibannya. Untuk menjamin kekuatan perjanjian itu, maka dikatakan bahwa perjanjian yang merupakan kesempatan berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang melakukan perjanjian.

Kalau ditelusuri maka dari perikatan dan perjanjian, maka didalamnya terdapat makna adanya persetujuan, jadi tidak akan ada

(3)

perikatan, bila tidak ada kesepakatan sebagai wujud. Bila berbicara tentang hak dan kewajiban, maka hal itu akan membawa suatu konsekuensi hukum bagi para pihak, dalam bagian ini menjelaskan tentang perjanjian kredit perbankan pada umunya seperti yang telah dikemukakan terlebih dahulu tentang perjanjian yang akan dikaji dari segi pengertiannya.

Menurut R. Setiawan, Mengutip pendapat sarjana yang bernama Pitlo menjelaskan pengertian Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua atau lebih atas dasar pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi (debitur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.17

Sedangkan Mgs. Ady Putra Tje Aman, Secara lengkap menguraikan pendapat beberapa ahli tentang pengertian adalah sebagai berikut :

1. Menurut K.R.M.T. Tirtoningrat, (1966.83) yang dimaksud dengan perjanjian adalah : suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukuman yang diperkenankan oleh undang – undang.

2. Soebekti, berpendapat bahwa perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu hal.

3. Wiryo Projodikoro, menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut perjanjian itu”)18.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui adanya beberapa kesamaan bahwa perjanjian mengandung pengertian suatu pernyataan kesepakatan antara dua pihak atau bersama-sama melakukan dan untuk tidak

17 Setiawan.R, 1986, Pokok – pokok Hukum Perikatan,Bina Cipta, Bandung, h. 2. 18 Mgs. Edy Putra Tje Aman, 1985, Kredit Perbankan,Liberty Jakarta, h. 18.

(4)

melakukan sesuatu yang mengandung hak dan kewajiban diantara mereka serta sepakat untuk menerima akibat bila mereka tidak memenuhi persyaratan masing-masing.

2.1.2 Unsur-unsur Perjanjian

Unsur-Unsur perjanjian, Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian yaitu :

1. Unsur Essensialia, merupakan unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam suatu perjanjian atau dengan kata lain merupakan suatu unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada, misalnya: unsur kata sepakat, unsur “sebab yang halal” merupakan unsur essensialia untuk adanya suatu perjanjian, seperti : harga barang yang jelas.

2. Unsur Naturalia, merupakan unsur perjanjian yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti, misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (levering) dan untuk menjamin (Pasal 1476 jo 1492 KUHPer) dapat dikesampingkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Unsur naturalia pada hakekatnya unsur yang merupakan hukum pelengkap yang diatur di dalam Buku III KUHPer.

3. Unsur Accidentalia, merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut, misalnya : untuk benda-benda tertentu dapat dikecualikan dalam perjanjian. Unsur accidentalia merupakan unsur yang secara khusus diperjanjikan dan mengikat para

(5)

pihak yang membuatnya, misalnya dalam perjanjian diperjanjikan bahwa risiko tetap ada pada pihak penjual, meskipun barang masih ada pada pihak penjual. Hal ini merupakan pengaturan yang secara khusus diperjanjikan, menyimpang dari Pasal 1460 KUHPer.

Pelaksanaan suatu perjanjian, dalam pelaksanaan perjanjian perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan suatu perjanjian terdapat hal yang harus dilaksanakan yang disebut prestasi.

2. Menurut prestasinya perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang. b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.19

3. Eksekusi Riil, ialah dalam hal si berutang (debitur) tidak dapat melaksanakan apa yang telah dijanjikan (tidak menepati janjinya), maka si berpiutang (kreditur) dapat mewujudkan sendiri prestasinya yang dijanjikan dengan biaya debitur. Walaupun selalu ada kemungkinan mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi lebih memuaskan bagi seseorang apabila mendapatkan apa yang telah dijanjikan itu. Apa yang diperjanjikan

(6)

itu disebut prestasi primair sedangkan ganti rugi disebut prestasi subsidair. Secara harfiah eksekusi riil berarti pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban debitur seperti yang diperjanjikan.20

4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian, yaitu untuk melaksanakan suatu perjanjian terlebih dahulu harus memperhatikan secara cermat apa isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak.2 Dan menurut Pasal 1339 KUHPer bahwa suatu perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh masing-masing pihak. Karena ini merupakan salah satu sendi yang paling penting dalam hukum perjanjian. Bila awalnya sudah tidak mempunyai niat yang tidak baik bisa menimbulkan berbagai masalah, artinya perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan, dan kesusilaan.

Menurut Pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar pelaksanaan perjanjian tersebut tidak menyimpang dari kepatutan dan keadilan. Maksud dari Pasal 1338 KUHPer bila dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum maka hukum itu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban) supaya apa yang

20 J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni,

Bandung, h. 57.

(7)

diperjanjikan dapat dipenuhi dan memenuhi tuntutan keadilan dengan tidak meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.

Suatu isi perjanjian terdiri dari serangkaian kata-kata maka perlu lebih dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksudkan oleh para pihak, perbuatan ini dinamakan menafsirkan perjanjian.3 Penafsiran perjanjian ini mempunyai pedoman utama yaitu jika kata-kata dalam perjanjian itu jelas, maka tidak dibolehkan untuk menyimpang dari jalan penafsiran tersebut, misalnya : dalam suatu perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka tidak boleh ditafsirkan sebagai seekor kuda.

Disamping pedoman utama terdapat pula pedoman-pedoman yang lain, yang penting dalam menafsirkan perjanjian, adalah:

a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut hukum.

b. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaannya. c. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus

dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.

d. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan atau di tempat di mana perjanjian itu diadakan.

(8)

e. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.

f. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.4

2.1.3 Syarat-syarat sahnya perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga diakui oleh hukum. Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila telah memenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Dimana untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal 24

Empat syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa syarat ini perjanjian dianggap kurang baik. Syarat No. 1 (Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri) dan syarat No. 2 (kecakapan untuk membuat suatu perikatan) disebut sebagai syarat subjektif yaitu syarat untuk subjek

4 Subekti III, Ibid, h. 44

(9)

hukum atau orangnya. Sedangkan syarat No. 3 (suatu hal tertentu) dan syarat No.4 (suatu sebab yang halal) disebut sebagai syarat objek yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Dengan dianutnya asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yaitu “asas bahwa perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat (konsensus), adalah suatu asas universal”.25

Dengan adanya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Pada dasarnya kesepakatan ini terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat para subyek hukum atau orang dapat terjadi dengan :

1. Secara tegas baik dengan mengucapkan kata atau tertulis 2. Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.26

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

25 Subekti, 1993, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. XII, Pradnya Paramita,

Jakarta, (Selanjutnya Disebut Subekti V), h. 40.

(10)

Dalam mengadakan perjanjian tertentu kata sepakat saja belum cukup melainkan harus ada suatu bentuk atau perbuatan tertentu yang dikehendaki secara nyata, maka perjanjian tersebut dikatakan pula perjanjian riil.

Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan pernyataan sepakat berarti belum cukup, maka harus disertai dengan suatu perbuatan nyata yaitu penyerahan sejumlah uang dari pihak kreditur kepada debitur. Uang merupakan obyek dari perjanjian Utang piutang. Begitu uang diserahkan berarti sejak saat itu perjanjian tersebut lahir dan mengikat kedua belah pihak. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut menginginkan perjanjian yang mereka buat mengikat secara sah. “Mengikat secara sah artinya perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang diakui oleh hukum”.27

2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Pada prinsipnya para pihak dalam suatu perjanjian diisyaratkan harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri, prinsip demikian dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap pihak yang sebenarnya tidak cakap bertindak dari akibat-akibat yang dapat merugikannya.

Kecakapan untuk membuat perjanjian adalah apabila seseorang mempunyai kemampuan untuk berbuat sendiri tanpa bantuan orang lain,

27 Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Cet. II, Alumni, Bandung,

(11)

untuk mengemukakan suatu perjanjian dan orang yang membuat perjanjian tersebut haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tentang segala perbuatannya.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Dan pada asasnya, tiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan

3. Semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.28

Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum

28 Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Cetakan XVII, Intermasa, Jakarta,

(12)

tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan, sehingga kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampunya atau kuratornya.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUH Perdata).29 Namun pasal ini sudah tidak berlaku lagi setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009. semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu, Mengenai hal tertentu ini mempunyai makna bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu, sehingga perjanjian yang telah dibuat akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

3. Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya objek yang berupa barang atau hak serta harganya haruslah tertentu dan dapat ditentukan sehingga jelas pula apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian

(13)

itu. Jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh Undang-Undang juga jumlahnya tidak perlu ditentukan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Dalam membuat perjanjian antara subyek hukum mengenai obyeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai obyek hukum benda oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai :

1. Jenis barang

2. Kualitas dan mutu barang

3. Buatan pabrik dan dari negara mana 4. Buatan tahun berapa

5. Warna barang

6. Ciri khusus barang tersebut 7. Jumlah barang

8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu 30

Menurut Pasal 1332 KUH Perdata yang menentukan bahwa hanya barang barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal

Dalam pengertian pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat. Yang dimaksud sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah bukannya dalam arti yang

(14)

menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak. Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menyebabkan dan mendorong seseorang untuk mengadakan perjanjian, namun yang diawasi oleh Undang-Undang adalah isi dari perjanjian itu apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak. “Ini diakibatkan Undang-Undang tidak memberikan pegangan yang pasti tentang pengertian apa itu sebab dalam perjanjian”. 31 Wiryono Projodikoro, memberikan pengertian sebab atau kausa dalam hukum perjanjian adalah sebagai isi dan tujuan dari suatu perjanjian, sehingga menyebabkan adanya perjanjian itu.32

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila oleh Undang-Undang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat dari hukum dari perjanjian yang berkausa tidak halal adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Berarti tidak mempunyai dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Maka dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian Utang piutang.

31 Purwahid Patrick, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, h. 64.

32 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. XXII, PT.

(15)

1. Mengenai obyek perjanjian ialah : a. Isi dari perjanjian b. Tujuan perjanjian

2. Mengenai subyek perjanjian ialah :

a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut.

b. Ada sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan atau penipuan) 33

Jadi jelas diantara persyaratan – persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh para pihak, karena ada kondisi seseorang menurut hukum dinyatakan tidak cakap untuk melaksankan perbuatan hukum yakni sebagai berikut :

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal tertentu ditetapkan oleh undang- undang telah dilarang untuk membuat persetujuan-persetujuan tertentu;

Bertitik tolak pada ketentuan pasal tersebut diatas, maka perikatan, persetujuan dan perjanjian mengandung resiko dan akibat hukum yang bisa menyebabkan kehidupan seseorang atau para pihak berada dalam kondisi yang tidak memberikan kebebasan untuk bertindak secara diluar hukum, karena telah diikat serta dibatasi dalam suatu kondisi dimana hak-hak tertentu serba terbatas karena adanya ketentuan hukum.

33 Subekti, 1992, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti,

(16)

Selanjutnya yang ada dalam pokok-pokok perjanjian itu, merupakan hukum dan Undang-undang yang berlaku bagi para pihak yang membuatnya, hal itu dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu : semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula persetujuan itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang34.

Berdasarkan undang-undang dan peraturan tersebut maka syarat-syarat suatu perjanjian sangat diperlukan dan ditentukan oleh berbagai keadaan yang ditentukan berdasarkan hukum, seperti syarat sahnya suatu perjanjian, kejelasan benda dan atau perbuatan yang diperjanjikan serta mereka dalam keadaan cakap untuk melakukan persetujuan dan perjanjian menurut ketentuan–ketentuan yang berlaku, seperti keadaan sebenarnya dari pihak yang melakukan perjanjian yang merupakan kondisi obyektif, bahwa mereka diakui secara hukum dan memenuhi aturan serta norma lainnya sesuai dengan agama, norma adat dan norma susila lannya yang berlaku dimana perjanjian itu dilakukan.

2.2. Utang Piutang Dibawah Tangan

2.2.1. Pengertian Utang Piutang Dibawah Tangan

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan

(17)

dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemmudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai dalam kitab Undang-Undang hukum Perdata Pasal 1721 yang berbunyi:“pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula”

Sehingga hutang piutang yaitu merupakan kegiatan antara orang yang berhutang dengan orang lain/ pihak lain pemberi hutang atau disebut pelaku piutang, dimana kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan melalui suatu perjanjian atau melalui pengadilan. Atau dengan kata lain : merupakan hubungan yang menyangkut hukum atas dasar seseorang mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika perlu dengan perantara hukum. Sedangkan maksud dibawah tangan tersebut menurut kamus besar bahasa indonesia merupakan kata kiasan tidak di muka umum, tidak dilaksanakan secara resmi atau tidak disaksikan oleh pihak resmi, di bawah kekuasaan orang

(18)

hukum perdata dibuat oleh para pihak atas dasar kesepakatan mereka untuk menyetujui isi dan bentuk dari perjanjian dan ditandatangani secara langsung dengan tulisan oleh yang menandatangani dan dibawahnya ditulis jumlah uangnya.

Pada saat sekarang ini masih ada juga yang membuat perjanjian Utang piutang cukup dengan kuitansi saja sebagai tanda bukti bahwa sekreditur telah memberikan sejumlah uang kepada si debitur tanpa bantuan dari seorang pejabat umum yang berwenang.

Mengenai akta di bawah tangan tersebut diatur dalam Pasal 1874 KUH Perdata yang mengatakan bahwa :

“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akte-akte yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.”

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk akta di bawah tangan salah satunya adalah perjanjian Utang piutang di mana hanya dibuat oleh pihak yang berkepentingan tanpa bantuan seorang pejabat umum yang berwenang seperti Notaris / PPAT.

Perjanjian Utang piutang di bawah tangan adalah : Perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri tanpa ada bantuan dari pejabat umum. Dimana para pihak

(19)

tersebut tertarik untuk melakukan perjanjian Utang piutang di bawah tangan disebabkan karena praktis, ekonomis, perlu uang cepat, dan tanpa perlu pejabat yang berwenang.

Para pihak telah terikat dengan apa yang menjadi isi dari perjanjian yang telah mereka sepakati dan yang telah ditandatangani, karena dengan ditandatanganinya suatu perjanjian artinya para pihak telah menyetujui isi dan mentaati serta melaksanakan apa yang tercantum dalam perjanjian tersebut yang sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Menurut Pasal 1876 KUH Perdata atau Pasal 2 dari Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 yang memuat ketentuan tentang “kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”.35 Maka barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan (yang dimaksudkan ialah akte di bawah tangan) diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya.

Maka dari itu segala bentuk surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang dibuat berdasarkan kesepakatan mereka, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan juga bersedia untuk mengikatkan diri dengan para pihak yang ikut serta dalam perjanjian tersebut. Perjanjian Utang piutang yang dibuat secara sah tanpa ada

35 Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Cet. XXIII, Pradnya Paramita, Jakarta,

(20)

paksaan dari manapun dan dibuat oleh orang yang mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian maka perjanjian tersebut telah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga para pihak harus mentaati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang telah dibuat tersebut. Maka dalam uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian Utang piutang dibawah tangan adalah segala segala bentuk surat perjanjian Utang piutang, baik berupa kuitansi saja yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat umum yang berwenang membuatnya.

2.2.2. Lahirnya Perjanjian Utang Piutang Dibawah Tangan

Menurut asas konsensualisme suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi pokok perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara kedua belah pihak tersebut, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain,meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

Dengan demikian untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu perjanjian suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahir suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut

(21)

masih dapat dipakai, tetapi di dalam masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan, sebab sudah sering terjadi apa yang ditulis dalam surat atau yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seseorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain.

2.2.3. Berakhirnya perjanjian utang dibawah tangan

Suatu perjanjian yang dibuat oleh kreditur dan debitur secara umum pada suatu saat akan berakhir dan dengan demikian hapuslah perikatan itu. Apabila kita tinjau mengenai hapusnya perikatan itu terdapat peraturannya yaitu :

1. Yang terdapat dalam KUH Perdata secara umum terdapat dalam Pasal 1361 KUH Perdata dan pasal-pasal berikutnya. Mengenai hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Per, terjadi karena 10 hal, yaitu :

(22)

a. Karena pembayaran

b. Adanya consignatie, artinya adalah penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang atau penitipan barang. c. Pembaharuan utang (novatie)

d. Adanya kompensasi, berarti perhitungan utang sebelah menyebelah atau perjumpaan utang.

e. Pencampuran utang f. Pembebasan utang

g. Hapusnya barang yang terutang h. Pembatalan perjanjian atau kebatalan

i. Berlakunya suatu syarat pembayaran yang diatur dalam Bab I Buku III KUH Perdata.

j. Lewat waktu (kadaluwarsa) hal ini akan diatur dalam bab tersendiri.

2. Yang terdapat pengaturannya di luar KUH Perdata. Sedang mengenai hapusnya perikatan yang diatur di luar KUH Perdata terjadi karena yaitu :

a. Lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam perjanjiannya.

b. Hilangnya atau meninggalnya seorang anggota dalam perjanjian contohnya karena perjanjian perseroan (maatschap) dan dalam perjanjian pemberian kuasa (lastgeving).

(23)

d. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap

e. Di dalam isi perjanjian ditegaskan hal-hal yang menghapuskan perjanjian itu.

Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan akan berakhir apabila si debitur telah memenuhi kewajibannya untuk membayar Utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati. Pembayaran yang dimaksudkan tidak diharuskan berupa uang saja, tetapi penyerahan barang juga disebut juga pembayaran. Pada asasnya hanya orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah, seperti yang terutang atau orang yang menanggung, walaupun demikian pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat membayar utang secara sah, asalkan saja ia bertindak atas nama si berutang. Maka si berpiutang diharuskan untuk menerima pembayaran tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jurnal ini , penulis membuat sistem pengenalan wajah dengan membandingkan tingkat akurasi antara metode LNMF dan NMFsc.Dimana sistem ini dapat melakukan

Umumnya bahan pemeriksaan laboratorium diambil pada pagi hari tertutama pada pasien rawat inap. Kadar beberapa zat terlarut dalam urin akan menjadi lebih pekat pada pagi hari

Kekayaan jenis berjumlah 35 herpetofauna dari empat tipe habitat yaitu hutan alam, hutan produksi terbatas, kebun albasia dan persawahan di kawasan Ketenger-Baturraden telah

Prediksi Model A terhadap pengaruh getaran traktor yang diterima oleh operator dengan percepatan (pada sumbu z) pada selang 0.5 – 0.85 m/s 2 ternyata tidak memberikan

bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta

berkaitan dengan puisi. 3) Siswa dan guru berdiskusi tentang teknik mind mapping tersebut. 4) Siswa dan guru membuat mind mapping dari kata “laut”. 5) Siswa dan guru membuat puisi

Hasil yang ditargetkan pada penelitian tahun pertama ini adalah konsep logic model hasil pengembangan dengan komponen dan indikatornya, hasil analisis situasi dan permasalahan,

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah