• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN TATA LAKSANA PASIEN DIDUGA INFEKSI COVID-19 DENGAN ARDS DAN SYOK SEPSIS BERBASIS BUKTI. Penyusun:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDUAN TATA LAKSANA PASIEN DIDUGA INFEKSI COVID-19 DENGAN ARDS DAN SYOK SEPSIS BERBASIS BUKTI. Penyusun:"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PANDUAN TATA LAKSANA PASIEN DIDUGA

INFEKSI COVID-19 DENGAN ARDS DAN

SYOK SEPSIS BERBASIS BUKTI

Penyusun:

dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV

dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC Dr. dr. Dita Aditianingsih, Sp.An., KIC

dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An., KIC dr. Hendri Pangestu, Sp.An., KIC., MHKes dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An., KIC dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung, Sp.An., KIC

dr. Rudyanto Sedono, Sp.An., KIC dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC

Editor:

dr Yohanes W.H. George, Sp.An., KIC

Ketua Tim Penyusun:

dr. Fahrul Razi, Sp.An., KIC

Diterbitkan oleh Jakarta Critical Care Alumni (JCCA) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Indonesia Cabang DKI Jakarta (Perdatin Jaya) Jakarta, 2020

(3)

PANDUAN TATA LAKSANA PASIEN DIDUGA

INFEKSI COVID-19 DENGAN ARDS DAN

SYOK SEPSIS BERBASIS BUKTI

vi + 57 hlm; 15x21 cm ISBN: 9-786239-323004

Penyusun : dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC, dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV, dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC, Dr. dr. Dita

Aditianingsih, Sp.An., KIC, dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An., KIC, dr. Hendri Pangestu, Sp.An., KIC., MHKes, dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An., KIC, dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung, Sp.An., KIC, dr. Rudyanto Sedono, Sp.An., KIC, dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC Editor : dr. Yohanes W.H. George, Sp.An., KIC Ketua Tim Penyusun : dr. Fahrul Razi, Sp.An., KIC

Penyunting Bahasa : dr. Rethia Meidi Arlina Syahril. Sp.An Tata Letak : dr. Dimas Bagus Pamungkas

Design Sampul : dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC Cetakan : Maret 2020

Copyright 2020 by Penerbit Perdatin

All right reserved

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh

isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

Isi di luar tanggung jawab percetakan Penerbit Perdatin

(4)

KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum wr. wb.,

Covid-19 adalah virus yang menjadi pembahasan di dunia akhir-akhir ini. Dengan penyebaran yang cepat tentunya menjadi perhatian bagi kita semua di dunia kesehatan. Usaha yang dilakukan untuk mengisolasi dan mencegah penularan telah dilakukan. Bagaimana pun juga Indonesia sebagai negara Asia Tenggara yang rentan menyebar juga ke Indonesia.

Perdatin Jaya sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di wilayah DKI Jakarta memiliki tanggung jawab mempersiapkan panduan jika terjadi pada pasien di Jakarta yang membutuhkan perawatan ICU. Jakarta sebagai pusat bisnis dan pemerintahan menjadi daerah yang harus siap dalam menangani pasien-pasien ini

Dengan rahmat Tuhan yang maha kuasa, panduan ini di buat untuk mempermudah tata laksana tenaga medis di lapangan terutama berkaitan dengan ICU. Semoga panduan ini dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Wassalamu’alaikumsalam wr. wb.

dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV

(5)

ii

KATA PENGANTAR

Sehubungan dengan pandemi infeksi virus novel corona yang berasal dari Tiongkok telah terbit beberapa publikasi dari jurnal ternama oleh para dokter ahli dari Tiongkok. Suatu publikasi dari NEJM pada akhir 2019, telah memaparkan bahwa manifestasi berat dari infeksi ini adalah suatu ARDS. Data statistik dunia melaporkan bahwa angka kematian ARDS mencapai 35–46% apalagi jika diikuti adanya infeksi bakteri yang berakibat terjadinya syok sepsis. Oleh karena itu WHO pada akhir Januari 2020 mengeluarkan panduan tata laksana klinis infeksi virus corona termasuk yang mengalami sakit kritis di ruang perawatan intensif. Tata laksana berfokus pada 2 bagian yakni ARDS dan syok sepsis.

Namun dalam panduan tata laksana yang dikeluarkan oleh WHO tersebut, terdapat dua hal yang kontradiktif. Pertama, bahwa tata laksana resusitasi cairan pada syok sepsis disarankan dengan pemberian cairan intravena sebanyak 30 cc/kgBB dalam 3 jam. Padahal telah terdapat bukti yang menunjukkan resusitasi cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan perburukan oksigenasi paru, sehingga disarankan agar ada kehati-hatian dalam melakukan resusitasi cairan. Akan tetapi terdapat pula pernyataan agar melakukan restriksi cairan namun hanya direkomendasikan kepada fasilitas layanan kesehatan yang minimal. Hal ini tentu memberi kesan bahwa jika terdapat fasilitas yang lengkap seperti tersedianya ventilator mekanik dan ruang perawatan intensif maka tidak diperlukan

(6)

kehati-hatian dalam melakukan resusitasi cairan. Sementara di Indonesia fasilitas kesehatan yang memiliki ruang perawatan intensif dengan ketersediaan ventilator masih terbatas.

JCCA (Jakarta Critical Care Alumni) dan Perdatin Jaya sebagai organisasi profesi critical care di Indonesia merasa perlu untuk menghadirkan suatu panduan tata laksana ARDS dan syok sepsis di rumah sakit yang berbasis bukti (evidence-based) teraktual dengan harapan pelayanan sakit kritis pada pasien dengan ARDS dan syok sepsis dapat dilakukan sesuai dengan standar internasional.

Rasa syukur yang mendalam kami haturkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para alumni pendidikan konsultan ICU FKUI-RSCM, dan Perdatin Jaya atas selesainya penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat memberi kontribusi kepada dunia critical care di Indonesia.

dr. Yohanes W.H. George, Sp.An., KIC

(7)

iv

TIM PENYUSUN BUKU

Editor:

dr. Yohanes W.H. George, Sp.An., KIC

Ketua Tim Penyusun Buku:

dr. Fahrul Razi, Sp.An., KIC

Penyusun Buku:

dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC

dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC

Dr. dr. Dita Aditianingsih, Sp.An., KIC dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An., KIC dr. Hendri Pangestu, Sp.An., KIC., MHKes dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An., KIC dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung, Sp.An., KIC dr. Rudyanto Sedono, Sp.An., KIC

(8)

KORESPONDENSI PENYUSUN BUKU

¨ dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC

Ka. ICU & Ka. Komdik RS Mitra Keluarga Cibubur ahmadirfan0186@gmail.com

¨ dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV Department Anestesiologi dan Terapi Intensif

RS Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

aldy.heriwardito@gmail.com ¨ dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC

Ketua KSM Anestesiologi RSUD Budhi Asih dediatila@yahoo.co.id

¨ Dr. dr. Dita Aditianingsih, Sp.An., KIC Department Anestesiologi dan Terapi Intensif

RS Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dita1506@yahoo.com

¨ dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An., KIC

Wakil Ka. Bidang Medis RSAL Dr. Mintohardjo ekobprasetyo@yahoo.com

(9)

vi

¨ dr. Fahrul Razi, Sp.An., KIC Ka. ICU RSU Kabupaten Tangerang razifahrul@yahoo.com

¨ dr. Hendri Pangestu, Sp.An., KIC., MH

Ka. ICU & Penasehat IGD RS MRCCC Siloam Semanggi hendri.pangestu@yahoo.com

¨ dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An., KIC Fulltimer Anestesi & Ka. ICU

RS Siloam Kebon Jeruk mikeanest@yahoo.com

¨ dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung, Sp.An., KIC Ka. KSM Anestesi dan Terapi Intensif

RSUP Persahabatan

anestesidanterapiintensif@gmail.com ¨ dr. Rudyanto Sedono, Sp.An., KIC

Koordinator Peminatan Terapi Intensif RS Cipto Mangunkusumo

(10)

¨ dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC Koordinator Pelayanan Sakit Kritis KSM Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Fatmawati

bundavea@gmail.com

¨ dr. Yohanes W.H. George, Sp.An.,KIC

Kepala ICU & Emergency Room RS Pondok Indah yohanesgeorge@yahoo.com

(11)

viii

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

TIM PENYUSUN BUKU ... iv

KORESPONDENSI PENYUSUN BUKU ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

DIAGNOSTIK ... 3

TATA LAKSANA ... 10

1. Tata Laksana Gagal Napas dan Hipoksemia ... 10

2. Tata Laksana Sepsis dan Syok Sepsis ... 27

3. Tata Laksana Fluid Overload (Deresusitasi) ... 32

4. Prioritas Utama dalam Tata Laksana Pasien Infeksi Adalah Kewaspadaan Universal dan Kontrol Infeksi…..………...40

(12)

DAFTAR SINGKATAN

• ACS : Abdominal Compartment Syndrome • ADQI : Acute Dialysis Quality Initiative • AKI : Acute Kidney Injury

• AKIN : Acute Kidney Injury Network • ALI : Acute Lung Injury

• ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome

• ARDSnet : Acute Respiratory Distress Syndrome Network • ATN : Acute Tubular Necrosis

• BLA : B-Line Artefact • BVM : Bag Valve Mask

• CLI : Capillary Leakage Index • cmH2O : Sentimeter air

• CoV : Coronavirus

• COVID-19 : Coronavirus Disease 2019 • CO2 : Karbondioksida

• CPAP : Continuous Positive Airway Pressure • CRRT : Continous Renal Replacement Therapy • CT : Computerized Tomography

• ECLS : Extra Corporeal Life Support

• ECMO : Extra Corporeal Membrane Oxygenation • ECCO2R : Extra Corporeal Carbondioxide Removal

(13)

x

• ETT : Endotracheal Tube

• EVLW : Extra Vascular Lung Water • FiO2 : Fraksi inspirasi oksigen

• GCS : Glasgow Coma Scale

• GIPS : Global Increased Permeability Syndrome • HD-CRRT : Hemodialisa-Continuous Renal Replacement

Therapy

• HEPA : High Efficiency Particulate Air • HFO : High-Flow Oxygen

• HFNO : High-Flow Nasal Oxygen

• HR : Heart Rate

• ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut • I:E Ratio : Rasio inspirasi dan ekspirasi • IAH : Intra-Abdominal Hypertension • IAP : Intra-Abdominal Pressure • KgBB : Kilogram berat badan • l/mnt : Liter per menit

• MAP : Mean Arterial Pressure

• MERS-CoV : Middle East Respiratory Syndrome related

coronavirus infection

• mL : Mililiter

• MODS : Multi Organ Dysfunction Syndrome

• Na : Natrium

(14)

• OI : Oxygenation Index • OSI : Oxygen Saturation Index • PaO2 : Tekanan parsial oksigen

• PBW : Predicted Body Weight

• PEEP : Positive End Expiratory Pressure • PPV : Pulse Pressure Variation

• qSOFA : Quick Sequential Organ Failure Assessment • RES : Reticuloendothelial System

• ROS : Reactive Oxygen Species • RRT : Renal Replacement Therapy • SARI : Severe Acute Respiratory Infection • SD : Standar deviasi

• SIMV : Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation • SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome • SOFA : Sequential Organ Failure Assessment • SOT : Standard Oxygen Therapy

• SpO2 : Saturasi oksigen

• SARS-CoV : Severe Acute Respiratory Syndrome related

coronavirus infection

• SvO2 : Mixed Venous Oxygen Saturation

• SVV : Stroke Volume Variation • TDS : Tekanan darah sistolik • TV : Tidal Volume

(15)

xii

• 2019-nCoV : 2019-novel coronavirus • WHO : World Health Organization • WOB : Work of Breathing

(16)

PENDAHULUAN

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Setidaknya terdapat dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) atau yang kini dinamakan SARS-CoV-2, adalah virus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum terbukti menginfeksi manusia. Namun virus baru ini ditemukan menginfeksi manusia dan dikenal dengan infeksi COVID-19.1) Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari

setelah paparan. Tanda dan gejala umum infeksi virus corona antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.

Pada 31 Desember 2019, China – WHO Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut

(17)

2

sebagai jenis baru virus corona (novel coronavirus, 2019-nCoV). Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Sampai dengan 18 Februari 2020, secara global menurut WHO2)

tercatat 73.332 kasus dengan 72.528 kasus terjadi di Cina, dengan kematian sebanyak 1870 kasus. Bahkan pada 4 Maret 2020 telah terdapat 94.240 kasus di 81 negara dengan 3.220 kasus kematian. Sementara di Indonesia telah terdeteksi 3 kasus positif dan ratusan kasus dalam pengawasan.

Infeksi pada manusia terbatas (pada kontak keluarga) telah dikonfirmasi di sebagian besar Kota Wuhan, Cina dan negara lain. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru-paru. Menurut hasil penyelidikan epidemiologi awal, sebagian besar kasus di Wuhan memiliki riwayat bekerja, menangani atau sering berkunjung ke Pasar Grosir Makanan Laut Huanan. Sampai saat ini, penyebab penularan masih belum diketahui secara pasti.3)

Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging, dan telur sampai matang. Hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin.3)

(18)

DIAGNOSTIK

Tabel 1. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi

COVID-194)

Uncomplicated illness

Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.

Pneumonia ringan Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: ≥ 60 x/menit (< 2 bulan); ≥ 50 x/menit (2–11 Bulan); ≥ 40 x/menit (1–5 tahun) dan tidak ada tanda pneumonia berat. Pneumonia berat Pasien remaja atau dewasa dengan

demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >35 x/menit, distres pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) < 90% pada

(19)

4

Pasien anak dengan batuk atau kesulitan

bernapas, ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

• sianosis sentral atau SpO2 < 90%;

• distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat), napas cepat;

• tanda pneumonia berat:

ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.

Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea:

< 2 bulan (≥ 60 x/menit); 2–11 bulan (≥ 50 x/menit); 1–5 tahun (≥ 40 x/menit); >5 tahun (≥ 30 x/menit).

Diagnosis ini berdasarkan gejala klinis, pencitraan dada yang dapat menyingkirkan komplikasi.

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Onset: akut atau kejadian baru dan

(20)

Pencitraan dada (Röntgen/CT scan toraks/USG paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus, atau adanya nodul.

Penyebab edema: gagal napas yang bukan

disebabkan gagal jantung. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko.

Kriteria ARDS pada dewasa:

• ARDS ringan: 200 mmHg < PaO2/FiO2

≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak

diventilasi)

• ARDS sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2

≤ 200 mmHg (dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

• ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg

dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang

(21)

6

• Ketika PaO2 tidak tersedia,

SpO2/FiO2 ≤ 315 mengindikasikan

ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi)

Kriteria ARDS pada anak berdasarkan

Oxygenation Index dan

Oxygenation Index menggunakan SpO2

(OSI):

• PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau

SpO2/FiO2 ≤ 264: Bilevel non invasive

ventilation (NIV) atau CPAP ≥ 5 cmH2O

dengan menggunakan full face mask • ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ OI

≤ 8 atau 5 ≤ OSI < 7,5

• ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau 7,5 ≤ OSI < 12,3

• ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12,3

Sepsis Definisi: Disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau bukti adanya infeksi*, ditandai dengan Skor SOFA > 2.

(22)

Disfungsi organ meliputi:

1. Gangguan perfusi serebral ditandai

dengan perubahan status mental/penurunan kesadaran (GCS < 13).

2. Gangguan oksigenasi paru: ditandai

dengan sesak napas, saturasi oksigen menurun, rasio PaO2/FiO2 menurun.

3. Gangguan fungsi ginjal (acute kidney

injury) ditandai dengan penurunan urin output dan peningkatan kadar kreatinin serum.

4. Gangguan fungsi kardiovaskular

ditandai dengan penurunan tekanan darah disertai peningkatan denyut jantung dan nadi lemah serta gangguan perfusi perifer seperti ekstremitas dingin, mottled skin. Terkadang disertai adanya kebutuhan obat vasoaktif untuk meningkatkan tekanan darah.

5. Gangguan fungsi hepatobilier dengan

adanya peningkatan kadar bilirubin darah.

(23)

8

hemostase ditandai koagulopati berupa trombositopenia.

Pada praktek klinis, skrining sepsis dapat menggunakan qSOFA (quick SOFA) yaitu: H-A-T

Hypotension: Tekanan darah sistolik < 100 mmHg

Altered mental status: GCS < 13 Tachypnea: laju pernapasan > 22 x/menit

Pasien anak: adanya dugaan atau bukti

infeksi disertai kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) ≥ 2, dan adanya salah satu dari tanda berikut: suhu tubuh abnormal atau jumlah sel darah putih abnormal.

Syok Sepsis Pasien dewasa: gangguan kardiovaskular

termasuk hipotensi yang memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg disertai adanya kadar laktat serum ≥ 4 mmol/L.

Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5

(24)

terdapat 2–3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR < 90 x/menit atau > 160 x/menit pada bayi dan HR < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (> 2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipneu; mottled skin atau ruam petekie atau purpura;

(25)

10

TATA LAKSANA

1. Tata Laksana Gagal Napas dan Hipoksemia3–8)

a. Pada kondisi distres pernapasan yang berat dan target

SpO2 ≥ 90% tidak tercapai dengan pemberian terapi

suplementasi oksigen yang standar (penggunaan sungkup wajah dengan kadar oksigen 10–15 lpm) maka diperlukan tindakan lanjut berupa:

Pemberian oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow

Nasal Oxygen/HFNO).

• Sistem sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga pada anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Penggunaan HFNO harus dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan dalam 1 jam maka harus segera dilakukan tindakan intubasi (catatan: penggunaan Non-Invasive Ventilation (NIV) dapat dipertimbangkan bila kesadaran masih baik).

(26)

• Namun pada kondisi klinis dimana terjadi peningkatan kerja pernapasan (work of breathing) seperti sesak napas yang hebat (laju napas > 35 x/menit), penurunan kesadaran dan/atau disertai peningkatan CO2

(hiperkarbia) maka harus segera dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi mekanik. Gagal napas hipoksemia pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau shunting dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.

(27)

12

• Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus pula segera dilakukan intubasi.

b. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne.

✓ Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas, atau hamil, dapat mengalami desaturasi sangat cepat selama proses intubasi. Untuk itu perlu dilakukan preoksigenasi sebelum tindakan intubasi dengan pemberian oksigen murni (FiO2) 100%

selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask atau HFNO baru kemudian dilanjutkan dengan intubasi.

✓ Penilaian jalan napas yang baik sebelum intubasi sangat penting, karena pengenalan pasien dengan risiko jalan napas yang sulit dapat membantu perencanaan praintubasi. Untuk itu bila memungkinkan, intubasi sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi yang berpengalaman dan selama prosedur dibantu oleh dokter lainnya (spesialis anestesiologi atau intensivis).

✓ Siapkan perangkat tata laksana jalan napas, obat-obat anestesia, obat-obat vasoaktif, peralatan penghisap

(28)

(suction device), ventilator, akses vena, dan alat pemantauan standar (elektrokardiogram, tekanan darah, dan pulse oximetry).

✓ Pilih perangkat tata laksana jalan napas yang paling dikenal. Dianjurkan alat yang sekali pakai, termasuk alat-alat berikut:

1. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai 2. Stylet optikal sekali pakai atau pipa endotrakeal

video sekali pakai.

3. Sungkup laring sekali pakai.

4. Siapkan jarum atau scalpel untuk krikotiroidotomi.

5. Jika tersedia, siapkan bronkoskopi video fleksibel sekali pakai.

6. Jika tersedia, siapkan ETT injeksi supraglotis & subglotis. Suntikan berkala 2% lidokain 2–3 ml atau 1% lidokain 4–6 ml melalui saluran injeksi yang dapat mengurangi iritasi yang disebabkan oleh ETT, sehingga kebutuhan obat penenang dan pelumpuh otot dapat dikurangi.

(29)

14

✓ Lakukan penilaian jalan napas dengan cepat, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya tata laksana jalan napas sulit (difficult airway management): 1. Riwayat jalan napas sulit.

2. Tes buka mulut (jarak antara gigi seri atas-bawah < 3 cm).

3. Jarak tiromental (< 6 cm). 4. Mobilitas kepala-leher. 5. Lingkar leher.

6. Tes Mallampati (tidak dianjurkan)

✓ Untuk mengantispasi jalan napas sulit, disarankan: 1. Untuk kasus jalan napas sulit yang sudah

diperkirakan sebelumnya, lakukan intubasi sadar dengan bantuan bronkoskopi nasal dengan sedasi dan anestesi topikal yang adekuat.

2. Jika diperkirakan risiko kegagalan intubasi tinggi walaupun memakai video laringoskop atau bronkoskopi, maka lakukan trakeostomi oleh dokter spesialis THT atau bedah.

3. Melakukan intubasi atau trakeostomi dengan dukungan oksigenasi membran ekstrakorporeal juga dapat dipertimbangkan.

(30)

✓ Untuk pasien dengan jalan napas normal, hindari intubasi sadar (awake intubation) dan direkomondasikan menggunakan modifikasi RSI (Modified Rapid Sequence Intubation). Obat pelumpuh otot yang cukup harus diberikan segera setelah hilangnya kesadaran, memfasilitasi intubasi dini dengan kondisi yang lebih baik, mengurangi waktu apnea sehingga menghindari hipoksemia berat. Blok neuromuskular total harus dicapai untuk mencegah refleks batuk saat intubasi. Langkah-langkah intubasi sebagai berikut:

1. Optimalkan posisi pasien. Umumnya pasien harus ditempatkan pada posisi "sniffing". Untuk pasien obesitas, posisi 'ramped' harus digunakan secara rutin.

2. Preoksigenasi dengan FiO2 100% selama 5

menit. Untuk pasien yang menggunakan HFNO, bag-mask ventilator harus tetap disiapkan jika terjadi hipoksemia berat. Tutup mulut dan hidung pasien dengan dua lapis kain kasa basah (seharusnya tidak menghalangi patensi jalan napas atau jatuh ke mulut), dan berikan ventilasi pada pasien dengan bag-mask jika perlu.

(31)

16

3. Pilihan obat induksi disesuaikan dengan kondisi hemodinamik. Midazolam 2–5 mg dengan dosis kecil etomidate (jika hemodinamik tidak stabil) atau propofol (jika hemodinamik stabil) dapat digunakan untuk induksi. Jumlah fentanil atau remifentanil yang tepat dapat diberikan untuk menekan refleks laring dan memberikan kondisi yang lebih baik untuk intubasi. Rocuronium 1 mg/kgBB (pilihan pertama) atau suksinilkolin 1 mg/kgBB harus diberikan segera setelah kehilangan kesadaran dan intubasi dapat dilakukan 1 menit kemudian. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hiperkalemia. Rocuronium memiliki onset yang cepat dan dapat diberikan antidotum segera dengan sugammadex jika diperlukan. 4. Setelah induksi, berikan ventilasi dengan

volume tidal rendah dan frekuensi tinggi lebih dianjurkan, bag-mask ventilasi diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang optimal.

5. Penekanan krikoid oleh asisten yang berpengalaman dapat diterapkan untuk mencegah refluks dan aspirasi gastroesofagus.

(32)

6. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai direkomendasikan untuk intubasi trakea secara oral. Jika sulit intubasi, lakukan manipulasi laring eksternal atau menggunakan bougie atau stylet optik dibasahkan, untuk meningkatkan keberhasilan.

7. Penghisapan/pembersihan jalan napas tertutup dianjurkan untuk mengurangi penyebaran virus secara aerosol.

✓ Persiapkan juga untuk intubasi trakea sulit yang tidak terduga.

1. Jika intubasi trakea gagal, sungkup laring harus segera dipasang. Jika sungkup laring generasi dua sudah dipasang dengan benar dan ventilasi yang baik tercapai, maka intubasi trakea dapat dilakukan melalui sungkup laring dengan panduan bronkoskop serat-optik.

2. Jika intubasi trakea, ventilasi sungkup muka, dan sungkup laring (LMA) semuanya gagal, lanjutkan ke tindakan krikotiroidotomi invasif segera untuk memastikan ventilasi.

(33)

18

3. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik jarum/needle technic (kit krikotiroidotomi 4 mm) atau teknik scalpel (scalpel dengan pisau nomor 10, bougie dan pipa trakea cuff ukuran 5,0–6,0 mm).

✓ Selama induksi anestesia, ketidakstabilan hemodinamik sering terjadi. Pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen harus dilakukan secara cermat. Pemberian cairan yang tepat dan pemberian vasopresor perlu dipertimbangkan untuk menjaga stabilitas hemodinamik.

High efficiency particulate air (HEPA) harus dipasang antara sungkup dan sirkuit pernapasan atau respiratory bag, dan satu filter di bagian ujung ekspirasi sirkuit pernapasan.

✓ Setelah intubasi, posisi ETT yang tepat dapat dikonfirmasikan dengan melihat langsung bagian ETT melewati pita suara, deteksi cincin trakea atau bulge dengan bronkoskopi, bentuk gelombang yang tepat dari end tidal-CO2 dan pergerakan pernapasan toraks. ETT harus pada posisi level yang optimal untuk menghindari ventilasi paru tunggal atau ekstubasi yang tidak disengaja. Kedalaman ETT yang tepat dapat diberikan tanda dengan spidol (23

(34)

cm dari gigi seri atas pada pria dewasa dan 21 cm pada wanita dewasa). Pencitraan dada harus dilakukan jika memungkinkan.

✓ Fiksasi ETT dengan benar dan berikan bantuan ventilasi mekanik.

c. Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4–8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body

Weight/PBW) dengan mempertahankan tekanan plateau

inspirasi di bawah < 30 cmH2O.

• Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60]. • Pilih mode ventilasi mekanik.

• Atur ventilasi mekanik untuk mencapai volume tidal awal = 8 ml/kg PBW.

• Titrasi volume tidal secara bertahap 1 ml/kg sampai target saturasi dan tekanan plateau tercapai dalam waktu kurang dari 2 jam.

• Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 x/menit).

• Pada ARDS sering terjadi hiperkapni karena volume tidal yang kecil serta gangguan bersihan gas CO2 di

paru yang menyebabkan terjadi asidosis respiratorik. Hal ini diperbolehkan selama pH 7,30–7,45. Kondisi ini disebut sebagai permissive hypercarbia.

(35)

20

• Protokol ventilasi mekanik harus tersedia (dapat menggunakan protokol ARDSnet).

• Obat sedasi dapat digunakan untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediktor mortalitas pada ARDS menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau − PEEP) lebih akurat dibandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.

• Setting ventilasi mekanik harus menerapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti 2019-nCoV.

d. Penggunaan PEEP lebih tinggi hanya untuk mencapai target saturasi di atas 88-92%. Untuk menghindari hilangnya PEEP akibat terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien maka gunakan kateter dengan sistem closed suction dan klem ETT ketika memutus hubungan ventilasi mekanik dengan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel) karena hal ini dapat menyebabkan desaturasi cepat dan atelektasis.

e. Pada pasien ARDS sedang-berat (PaO2/FiO2 < 200) dapat digunakan obat pelumpuh otot namun tidak

(36)

dianjurkan penggunaan secara rutin.

f. Pada pasien ARDS berat, dapat lakukan ventilasi dalam

prone position < 12 jam per hari untuk memperbaiki

oksigenasi.

Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.

g. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipovolemia.

• Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.

✓ Pasien dengan infeksi paru harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.

h. Pada fasyankes yang memiliki ahli dalam menjalankan

Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat

dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemia refrakter meskipun sudah mendapat lung protective strategy ventilation.

✓ Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS seperti ECMO dan atau ECCO2R pada pasien ARDS

(37)

22

secara rutin, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.

i. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.

✓ Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.

j. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan

kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.

✓ Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman serta pedoman tata laksana pneumonia di rumah sakit. Pada terapi empirik, antibiotik harus di deeskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dan penilaian perkembangan klinis pasien.

(38)

k. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.

l. Kenali pasien risiko tinggi yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.

✓ Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.

(39)

24

(40)

Gambar 3. Tata laksana ARDS sesuai tingkat keparahan

(Severitas)

Keterangan:

Rekomendasi kuat Rekomendasi lemah

(41)

26

Gambar 4. Tata laksana hipoksemia dan ARDS

(42)

2. Tata Laksana Sepsis dan Syok Sepsis5,9,10) a. Kenali tanda syok septik

Pasien dewasa: jika dicurigai atau terkonfirmasi adanya

sumber infeksi dan kebutuhan akan obat vasoaktif untuk mempertahankan Mean Arterial Pressure (MAP) ≥ 65 mmHg dan adanya kondisi hiperlaktatemia (kadar laktat ≥ 2 mmol/L) dengan tidak adanya tanda hipovolemia.

Pasien anak: adanya hipotensi (Tekanan Darah Sistolik

(TDS) < persentil 5 atau > 2 standar deviasi (SD) di bawah normal usia) atau terdapat 2–3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR < 90 x/menit atau > 160 x/menit pada bayi dan HR < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (> 2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.

Keterangan: pada kondisi tidak tersedianya

pemeriksaan kadar asam laktat darah, gunakan MAP dan tanda klinis sebagai tanda terjadinya syok. Perawatan standar meliputi deteksi dini dan tata laksana dalam 1 jam; terapi antimikroba dan pemberian cairan dan vasopresor untuk hipotensi.

(43)

28

Penggunaan kateter vena dan arteri berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan pasien.

b. Resusitasi syok septik pada dewasa dapat diberikan cairan

kristaloid isotonik sampai 30 ml/kgBB. Sementara panduan pada resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal berikan bolus kristaloid 20 ml/kgBB kemudian tingkatkan hingga 40–60 ml/kgBB dalam 1 jam pertama (hindari kondisi fluid overload !!!).

• Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin untuk resusitasi.

• Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru, gambaran edema paru pada foto toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau hentikan pemberian cairan.

Keterangan:

✓ Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus tambahan (250–1000 ml pada orang dewasa atau 10–20 ml/kgBB pada anak-anak) berdasarkan respons klinis dan target perfusi. Target perfusi meliputi MAP > 65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-anak, produksi urin (> 0,5 ml/kgBB/jam

(44)

pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak), dan menghilangnya mottled skin, perbaikan waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar laktat. Tindakan passive leg rise, fluid challenge test dengan pengukuran volume sekuncup secara berkala, atau variasi tekanan sistolik, tekanan nadi (pulse pressure), ukuran diameter vena cava, atau isi sekuncup sebagai respon terhadap perubahan tekanan intratorakal selama penggunaan ventilator mekanik dapat berguna untuk memandu dalam pemberian cairan.

✓ Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan risiko kematian dan acute kidney injury (AKI) dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam meningkatkan volume intravaskular dibandingkan dengan cairan isotonik. Surviving Sepsis Campaign (SSC) menyebutkan albumin dapat digunakan untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum memiliki bukti yang cukup (low quality evidence).

(45)

30

c. Obat vasoaktif (vasopresor) dapat diberikan segera (dalam 1 jam) ketika ditemukan syok sepsis untuk mencapai tekanan darah MAP ≥ 65 mmHg dan pada anak disesuaikan dengan usia. Untuk menghindari kondisi fluid overload.7)

• Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan melalui vena perifer, namun gunakan vena yang besar serta pantau dengan cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus.

• Pertimbangkan pemberian obat inotropik (seperti dobutamine) jika perfusi masih buruk atau terjadi disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan vasopresor.

Keterangan:

✓ Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin) paling aman diberikan melalui kateter vena sentral tetapi dapat pula diberikan melalui vena perifer dan jarum intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin dan titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan mencegah timbulnya efek samping.

(46)

3. Tata Laksana Fluid Overload (Deresusitasi)11,12)

Tata laksana cairan konservatif tidak hanya menyoal pada pemberian cairan atau resusitasi cairan, namun hal yang lebih penting adalah bagaimana mengeluarkan cairan (fluid removal) setelah pasien menjalani resusitasi cairan. Kondisi fluid overload akan menyebabkan terjadinya peningkatan jarak difusi antara kapiler dan sel yang mengakibatkan hipoksia sel dengan manifestasi disfungsi organ. Oleh karena itu saat ini tata laksana fluid removal menjadi kunci terhadap proteksi organ pada pasien sakit kritis.

a. Definisi fluid overload:

Diagnosis klinis berupa ditemukannya gejala dan tanda klinis berupa sesak, edema perifer, dan edema paru. Selain itu diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto röntgen paru dengan ditemukannya efusi pleura, B-Line, BLA.

b. Tata laksana:

Secara tradisional tata laksana fluid overload tidak diperlukan karena anggapan adanya proses alami terjadi aliran balik secara spontan dari interstisial ke intravaskular (fase ebb ke fase flow). Namun Cordemans dkk. menyatakan bahwa khusus pada pasien dengan komorbid, perpindahan dari fase ebb ke fase flow tidak terjadi secara spontan, sehingga dibutuhkan tata laksana fluid overload.

(47)

31

Gambar 5. Tata laksana sepsis dan syok

✓ Norepinefrin merupakan obat vasoaktif lini pertama pada syok sepsis; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock (lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan warm shock (lebih jarang).

(48)

33

Gambar 6. Algoritma deresusitasi

c. Target terapi deresusitasi:

ADQI XII BJA 2014 merekomendasikan target deresusitasi yang aman yaitu target fisiologis yang terdiri dari

• Target klinis (resolusi edema atau perbaikan oksigenasi paru), dan

• Target keseimbangan cairan negatif (-1000 ml dalam 24 jam).

(49)

34

Untuk menghindari terjadinya overtreatment dan kegagalan terapi dibuat target keamanan perfusi yang terdiri dari

• Target laktat darah: < 2 mmol/L,

• Target perfusi ginjal: peningkatan ureum dan kreatinin < 25%, dan

• Target perubahan: Na < 4 mmol/L.

(50)

Konsep Three Hit dan Sindrom Peningkatan Permeabilitas

Global

13)

✓ Kenali proses perjalanan penyakit kritis pasien

berdasarkan konsep ‘Three Hit” dan tentukan apakah kondisi pasien membutuhkan tata laksana resusitasi atau deresusitasi.

Colin Cordeman dan Manu Malbrain sejak tahun 2012 mengusulkan konsep “Three Hit” dalam tata laksana cairan pada sakit kritis. Dalam tulisannya diperkenalkan juga istilah baru yaitu GIPS (Global Increased Permeability Syndrome) yang sebenarnya manifestasi dalam praktek klinis sehari-hari adalah edema anasarka. Kondisi ini disebabkan oleh suatu proses perjalanan penyakit dan atau akibat intervensi medis, khususnya resusitasi cairan yang digambarkan dalam perjalanan waktu sebagai berikut:

FIRST HIT:

Kondisi ini terjadi dalam kurun 6 jam di mana suatu kejadian baik itu trauma, infeksi, luka bakar, sepsis, atau perdarahan akan memicu respon tubuh secara sistemik yang disebut SIRS (systemic inflammatory response syndrome) berupa gejala demam, takikardia, takipnea, atau leukositosis. SIRS adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat dikeluarkannya mediator inflamasi oleh tubuh berupa sitokin proinflamasi, aktivasi RES, dan radikal bebas oksigen akibat suatu insult. Respon tubuh ini sebenarnya bersifat normal

(51)

36

jika ada pencetus karena respon imun tubuh berfungsi mempertahankan homestasis dengan cara membunuh bakteri yang masuk ke tubuh atau menutup luka bila ada kerusakan. Namun yang berbahaya jika terjadi overshoot production yang mana mediator ini tidak terkendali sehingga produksi berlebihan dan menyebabkan keadaan sebaliknya yang disebut senjata makan tuan atau “autodigest” dimana mediator ini malah merusak sel organ tubuh. Pada mulanya terjadi gangguan mikrosirkulasi berupa vasodilatasi pembuluh darah, kebocoran kapiler dan hilangnya kemampuan autoregulasi tubuh akibat vasodilatasi sistemik ini. Keadaan ini disebut sebagai syok distributif atau “fase Ebb” secara klinis terjadi hipotensi/hipovolemia/oligouria, depresi miokard (septic heart), dan pembentukan edema interstitial sehingga terjadi hipoksia jaringan yang ditandai dengan meningkatnya kadar laktat darah.

(52)

G am b ar 8. K ons ep Th re e hi t da n si ndr om pe ni ngka ta n pe rm ea bi li ta s gl oba l

(53)

38

SECOND HIT:

Pada fase ini (dalam kurun 6 jam) dapat terjadi pula disfungsi organ atau MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome) yang disebut sebagai second hit seperti;

1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yaitu penurunan rasio PaO2/FiO2 dan peningkatan Extra

Vascular Lung Water (EVLW) atau perselubungan difus pada rontgen toraks.

2. Acute Bowel Injury berupa terjadinya Abdominal Compartment Syndrome (ACS) akibat Intra Abdominal Hypertension (IAH).

3. Acute Kidney Injury (AKI) berupa peningkatan serum kreatinin dan oliguria.

4. Liver failure ditandai dengan hiperbilirubinemia.

5. Nervous system failure seperti penurunan kesadaran (encephalopathy).

Pada fase ini anjuran tata laksana adalah pemberian cairan (fluid resuscitation) namun jika sudah terjadi disfungsi organ atau second hit maka lakukan terapi cairan konservatif dengan balans keseimbangan cairan nol (equilibrium).

(54)

THIRD HIT:

Setelah melewati fase second hit maka dapat terjadi dua kondisi dimana kondisi bergantung kepada respon atau komorbiditas pasien, yakni:

1. Syok perbaikan, terjadi homeostasis metabolisme sitokin sistemik, penutupan kebocoran kapiler sehingga terjadi pengisian kembali intravaskular dari interstitial dan terjadi perbaikan hemodinamik dan fungsi ginjal. Jika ini berlanjut terus maka pasien memasuki fase flow yaitu terjadi mobilisasi cairan dalam tubuh berupa peningkatan diuresis, edema clearance, penurunan EVLW dan weaning ventilation.

2. Syok perburukan, terjadi pelepasan sitokin pro-inflamasi lebih banyak dibanding sitokin anti-inflamasi maka, terjadi kebocoran kapiler menetap sehingga menyebabkan kegagalan fungsi organ yang lebih berat disebut sebagai GIPS (Global Increased Permeability Syndrome) dan fase ini dikenal sebagai fase Third Hit. GIPS dapat berupa edema perifer (anasarca), edema otak, edema paru (ARDS), edema usus (ACS) dan edema ginjal (AKI). Pemilihan terapi pada kondisi ini adalah secara aktif melakukan evakuasi cairan (fluid removal) baik secara medikasi menggunakan obat-obatan seperti furosemide dan albumin atau secara mekanik menggunakan Renal Replacement Therapy (RRT). Pada

(55)

40

kondisi ini pemberian cairan adalah toksik dan target monitoring keseimbangan cairan adalah balans negatif.

4. Prioritas Utama dalam Tata Laksana Pasien Infeksi Adalah Kewaspadaan Universal dan Kontrol Infeksi.5)

Intubasi endotrakeal adalah prosedur berisiko tinggi karena sekresi, darah, droplet, dan aerosol dari pasien dapat tersebar luas. Karena itu, prosedur intubasi ini harus dilakukan dengan kewaspadaan spesifik dan dilakukan di ruang isolasi tekanan negatif. Seluruh petugas kesehatan yang terlibat harus mengenakan Alat Proteksi Diri (APD) terhadap droplet.

a. Pelaku intubasi harus mengenakan APD khusus droplet. Perlengkapan ini meliputi masker N95 yang pas di muka pemakai, pelindung rambut, jubah, sarung tangan, pelindung muka dan kacamata goggle dan penutup sepatu. Bila memungkinkan, tudung kepala atau PAPR (Powered Air Purifying Respirator) harus dipakai. Kacamata harus menggunakan anti kabut (anti-fog).

b. Pakai APD sesuai prosedur urutan pemakaian (Donning) yang dibakukan. Cek ulang keseluruhan harus dilakukan oleh ahli lainnya sebelum pemakai APD memasuki ruang isolasi. APD harus dipastikan tidak akan mengganggu proses intubasi.

c. Proses melepas APD juga harus sesuai prosedur urutan pelepasan (Doffing) yang dibakukan dan diawasi supervisor.

(56)

Bila dinilai ada kontaminasi terhadap kulit/mukosa maka perlu dinilai apakah karantina perlu dilakukan. Setelah melepas APD, orang tersebut harus melalui shower dan melakukan disinfeksi oral, nasal, dan kanal auditori eksternal.

d. Setting ventilasi mekanik juga harus menerapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti terinfeksi COVID-19.

e. Semua perangkat jalan napas yang telah digunakan harus dikumpulkan dalam kantong bersegel ganda dan menggunakan desinfeksi yang tepat dalam proses pembuangan.

f. Pembersihan dan disinfeksi yang tepat pada bagian permukaan peralatan dan lingkungan adalah wajib untuk mengurangi resiko penularan melalui kontak tidak langsung.

(57)

42

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2020. WHO Director-General’s Remarks at The Media Briefing on 2019-nCoV on 11 February 2020, http://who.int, diakses pada 19 Februari 2020.

2. WHO. 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situation Report-29

3. Buku Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi NOVEL CORONAVIRUS (2019-nCoV). KEMENKES RI. 2020

4. WHO. Clinical Management of Severe Acute Respiratory Infection When Novel Coronavirus (2019-nCoV) Infection is Suspected. 2020

5. Zuo M dkk, Expert Recommendations for Tracheal Intubation in Critically ill Patients with Noval Coronavirus Disease 2019. Chinese Medical Sciences Journal: dipublikasikan daring 27/2/2020. ISSN 1001-9294; CN 11–2752/R. doi:10.24920/003724.

6. Griffiths MJD, et al. Guidelines on the Management of Acute Respiratory Distress Syndrome. BMJ Open Resp Res. 2019 7. ARDSnet. Mechanical Ventilator Protocol. 2014

8. Ischaki Eleni, Pantazopulos Ioannis, Zakynthinos Spyros. Nasal High Flow Therapy: A Novel Treatment Rather Than a More Expensive Oxygen Device. 2017. Eur Respir Rev 2017; 26:170028

(58)

9. Levy M. Mitchell, Evans E. Laura, Rhodes Andrew. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018 Update. Intensive Care Med (2018) 44:925–928

10. Jean-Louis Vincent. Critical Care Medicine. 2009. Elsevier 11. George et al. Buku Pedoman Tata Laksana Medis ICU. Edisi 2.

JCCA dan Perdatin Jaya. 2019

12. Goldstein S et al. Pharmacological Management of Fluid Overload. 2014. British journal Of Anaesthesia 113 (5): 756–63 13. Cordemans et al. Fluid Management in Critically Ill Patients: The

Role of Extravascular Lung Water, Abdominal Hypertensin, Capillary Leak, Fluid Balance. Annals of Intensive Care 2012, 2 (Suppl 1):51.

Gambar

Tabel 1. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi  COVID-19 4)
Gambar 1. Protokol penggunaan HFNO pada gagal napas hipoksia akut  8)
Gambar 2. Tingkat keparahan ARDS
Gambar 3. Tata laksana ARDS sesuai tingkat keparahan  (Severitas)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut menunjukkan bahwa laju inflasi bahan makanan dipengaruhi secara signifikan oleh varian dari error term periode lalu, yakni pada lag 1 dan 2.. Hasil Estimasi

Kalsium, diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan gigi janin, serta melindungi ibu hamil dari osteoporosis Jika kebutuhan kalsium ibu hamil tidak tercukupi, maka kekurangan

Lansia yang tinggal hanya bersama pasangan dan memenuhi perkembangan tugas keluarga dengan baik, akan memiliki kepuasan pernikahan yang lebih

Jika dari perkawinan yang telah dilakukan terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2)

Teman-teman baik di luar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta maupun di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

There were three sovereign powers: the kings of England and France, and the German emperor; and a group of non-sovereign princes: the counts of Flanders, the dukes of Brabant,

Bapak Suyanto menggunakan pakan jadi dengan pertimbangan lebih murah dan lebih mudah dalam pengadakannya, selain itu kandungan nutrient yang terkandung pada pakan

6) Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti pasangan.. 164 7) Penyakit radang panggul terjadi. 8) Prosedur medis, termasuk