• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA LAKSANA

1. Tata Laksana Gagal Napas dan Hipoksemia3–8)

a. Pada kondisi distres pernapasan yang berat dan target

SpO2 ≥ 90% tidak tercapai dengan pemberian terapi

suplementasi oksigen yang standar (penggunaan sungkup wajah dengan kadar oksigen 10–15 lpm) maka diperlukan tindakan lanjut berupa:

Pemberian oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow

Nasal Oxygen/HFNO).

• Sistem sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga pada anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Penggunaan HFNO harus dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan dalam 1 jam maka harus segera dilakukan tindakan intubasi (catatan: penggunaan Non-Invasive Ventilation (NIV) dapat dipertimbangkan bila kesadaran masih baik).

• Namun pada kondisi klinis dimana terjadi peningkatan kerja pernapasan (work of breathing) seperti sesak napas yang hebat (laju napas > 35 x/menit), penurunan kesadaran dan/atau disertai peningkatan CO2

(hiperkarbia) maka harus segera dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi mekanik. Gagal napas hipoksemia pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau shunting dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.

12

• Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus pula segera dilakukan intubasi.

b. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne.

Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas, atau hamil, dapat mengalami desaturasi sangat cepat selama proses intubasi. Untuk itu perlu dilakukan preoksigenasi sebelum tindakan intubasi dengan pemberian oksigen murni (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask atau HFNO baru kemudian dilanjutkan dengan intubasi.

Penilaian jalan napas yang baik sebelum intubasi sangat penting, karena pengenalan pasien dengan risiko jalan napas yang sulit dapat membantu perencanaan praintubasi. Untuk itu bila memungkinkan, intubasi sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi yang berpengalaman dan selama prosedur dibantu oleh dokter lainnya (spesialis anestesiologi atau intensivis).

Siapkan perangkat tata laksana jalan napas, obat-obat anestesia, obat-obat vasoaktif, peralatan penghisap

(suction device), ventilator, akses vena, dan alat pemantauan standar (elektrokardiogram, tekanan darah, dan pulse oximetry).

Pilih perangkat tata laksana jalan napas yang paling dikenal. Dianjurkan alat yang sekali pakai, termasuk alat-alat berikut:

1. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai 2. Stylet optikal sekali pakai atau pipa endotrakeal

video sekali pakai.

3. Sungkup laring sekali pakai.

4. Siapkan jarum atau scalpel untuk krikotiroidotomi.

5. Jika tersedia, siapkan bronkoskopi video fleksibel sekali pakai.

6. Jika tersedia, siapkan ETT injeksi supraglotis & subglotis. Suntikan berkala 2% lidokain 2–3 ml atau 1% lidokain 4–6 ml melalui saluran injeksi yang dapat mengurangi iritasi yang disebabkan oleh ETT, sehingga kebutuhan obat penenang dan pelumpuh otot dapat dikurangi.

14

Lakukan penilaian jalan napas dengan cepat, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya tata laksana jalan napas sulit (difficult airway management): 1. Riwayat jalan napas sulit.

2. Tes buka mulut (jarak antara gigi seri atas-bawah < 3 cm).

3. Jarak tiromental (< 6 cm). 4. Mobilitas kepala-leher. 5. Lingkar leher.

6. Tes Mallampati (tidak dianjurkan)

Untuk mengantispasi jalan napas sulit, disarankan: 1. Untuk kasus jalan napas sulit yang sudah

diperkirakan sebelumnya, lakukan intubasi sadar dengan bantuan bronkoskopi nasal dengan sedasi dan anestesi topikal yang adekuat.

2. Jika diperkirakan risiko kegagalan intubasi tinggi walaupun memakai video laringoskop atau bronkoskopi, maka lakukan trakeostomi oleh dokter spesialis THT atau bedah.

3. Melakukan intubasi atau trakeostomi dengan dukungan oksigenasi membran ekstrakorporeal juga dapat dipertimbangkan.

Untuk pasien dengan jalan napas normal, hindari intubasi sadar (awake intubation) dan direkomondasikan menggunakan modifikasi RSI (Modified Rapid Sequence Intubation). Obat pelumpuh otot yang cukup harus diberikan segera setelah hilangnya kesadaran, memfasilitasi intubasi dini dengan kondisi yang lebih baik, mengurangi waktu apnea sehingga menghindari hipoksemia berat. Blok neuromuskular total harus dicapai untuk mencegah refleks batuk saat intubasi. Langkah-langkah intubasi sebagai berikut:

1. Optimalkan posisi pasien. Umumnya pasien harus ditempatkan pada posisi "sniffing". Untuk pasien obesitas, posisi 'ramped' harus digunakan secara rutin.

2. Preoksigenasi dengan FiO2 100% selama 5 menit. Untuk pasien yang menggunakan HFNO, bag-mask ventilator harus tetap disiapkan jika terjadi hipoksemia berat. Tutup mulut dan hidung pasien dengan dua lapis kain kasa basah (seharusnya tidak menghalangi patensi jalan napas atau jatuh ke mulut), dan berikan ventilasi pada pasien dengan bag-mask jika perlu.

16

3. Pilihan obat induksi disesuaikan dengan kondisi hemodinamik. Midazolam 2–5 mg dengan dosis kecil etomidate (jika hemodinamik tidak stabil) atau propofol (jika hemodinamik stabil) dapat digunakan untuk induksi. Jumlah fentanil atau remifentanil yang tepat dapat diberikan untuk menekan refleks laring dan memberikan kondisi yang lebih baik untuk intubasi. Rocuronium 1 mg/kgBB (pilihan pertama) atau suksinilkolin 1 mg/kgBB harus diberikan segera setelah kehilangan kesadaran dan intubasi dapat dilakukan 1 menit kemudian. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hiperkalemia. Rocuronium memiliki onset yang cepat dan dapat diberikan antidotum segera dengan sugammadex jika diperlukan. 4. Setelah induksi, berikan ventilasi dengan

volume tidal rendah dan frekuensi tinggi lebih dianjurkan, bag-mask ventilasi diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang optimal.

5. Penekanan krikoid oleh asisten yang berpengalaman dapat diterapkan untuk mencegah refluks dan aspirasi gastroesofagus.

6. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai direkomendasikan untuk intubasi trakea secara oral. Jika sulit intubasi, lakukan manipulasi laring eksternal atau menggunakan bougie atau stylet optik dibasahkan, untuk meningkatkan keberhasilan.

7. Penghisapan/pembersihan jalan napas tertutup dianjurkan untuk mengurangi penyebaran virus secara aerosol.

Persiapkan juga untuk intubasi trakea sulit yang tidak terduga.

1. Jika intubasi trakea gagal, sungkup laring harus segera dipasang. Jika sungkup laring generasi dua sudah dipasang dengan benar dan ventilasi yang baik tercapai, maka intubasi trakea dapat dilakukan melalui sungkup laring dengan panduan bronkoskop serat-optik.

2. Jika intubasi trakea, ventilasi sungkup muka, dan sungkup laring (LMA) semuanya gagal, lanjutkan ke tindakan krikotiroidotomi invasif segera untuk memastikan ventilasi.

18

3. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik jarum/needle technic (kit krikotiroidotomi 4 mm) atau teknik scalpel (scalpel dengan pisau nomor 10, bougie dan pipa trakea cuff ukuran 5,0–6,0 mm).

Selama induksi anestesia, ketidakstabilan hemodinamik sering terjadi. Pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen harus dilakukan secara cermat. Pemberian cairan yang tepat dan pemberian vasopresor perlu dipertimbangkan untuk menjaga stabilitas hemodinamik.

High efficiency particulate air (HEPA) harus dipasang antara sungkup dan sirkuit pernapasan atau respiratory bag, dan satu filter di bagian ujung ekspirasi sirkuit pernapasan.

Setelah intubasi, posisi ETT yang tepat dapat dikonfirmasikan dengan melihat langsung bagian ETT melewati pita suara, deteksi cincin trakea atau bulge dengan bronkoskopi, bentuk gelombang yang tepat dari end tidal-CO2 dan pergerakan pernapasan toraks. ETT harus pada posisi level yang optimal untuk menghindari ventilasi paru tunggal atau ekstubasi yang tidak disengaja. Kedalaman ETT yang tepat dapat diberikan tanda dengan spidol (23

cm dari gigi seri atas pada pria dewasa dan 21 cm pada wanita dewasa). Pencitraan dada harus dilakukan jika memungkinkan.

Fiksasi ETT dengan benar dan berikan bantuan ventilasi mekanik.

c. Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4–8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body

Weight/PBW) dengan mempertahankan tekanan plateau

inspirasi di bawah < 30 cmH2O.

• Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60]. • Pilih mode ventilasi mekanik.

• Atur ventilasi mekanik untuk mencapai volume tidal awal = 8 ml/kg PBW.

• Titrasi volume tidal secara bertahap 1 ml/kg sampai target saturasi dan tekanan plateau tercapai dalam waktu kurang dari 2 jam.

• Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 x/menit).

• Pada ARDS sering terjadi hiperkapni karena volume tidal yang kecil serta gangguan bersihan gas CO2 di paru yang menyebabkan terjadi asidosis respiratorik. Hal ini diperbolehkan selama pH 7,30–7,45. Kondisi ini disebut sebagai permissive hypercarbia.

20

• Protokol ventilasi mekanik harus tersedia (dapat menggunakan protokol ARDSnet).

• Obat sedasi dapat digunakan untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediktor mortalitas pada ARDS menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau − PEEP) lebih akurat dibandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.

• Setting ventilasi mekanik harus menerapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti 2019-nCoV.

d. Penggunaan PEEP lebih tinggi hanya untuk mencapai target saturasi di atas 88-92%. Untuk menghindari hilangnya PEEP akibat terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien maka gunakan kateter dengan sistem closed suction dan klem ETT ketika memutus hubungan ventilasi mekanik dengan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel) karena hal ini dapat menyebabkan desaturasi cepat dan atelektasis.

e. Pada pasien ARDS sedang-berat (PaO2/FiO2 < 200) dapat digunakan obat pelumpuh otot namun tidak

dianjurkan penggunaan secara rutin.

f. Pada pasien ARDS berat, dapat lakukan ventilasi dalam

prone position < 12 jam per hari untuk memperbaiki

oksigenasi.

Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.

g. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipovolemia.

• Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.

Pasien dengan infeksi paru harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.

h. Pada fasyankes yang memiliki ahli dalam menjalankan

Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat

dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemia refrakter meskipun sudah mendapat lung protective strategy ventilation.

Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS seperti ECMO dan atau ECCO2R pada pasien ARDS

22

secara rutin, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.

i. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.

Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.

j. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan

kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.

Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman serta pedoman tata laksana pneumonia di rumah sakit. Pada terapi empirik, antibiotik harus di deeskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dan penilaian perkembangan klinis pasien.

k. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.

l. Kenali pasien risiko tinggi yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.

Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.

24

Gambar 3. Tata laksana ARDS sesuai tingkat keparahan

(Severitas)

Keterangan:

Rekomendasi kuat Rekomendasi lemah

26

Gambar 4. Tata laksana hipoksemia dan ARDS

2. Tata Laksana Sepsis dan Syok Sepsis5,9,10)

Dokumen terkait