• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata laksana cairan konservatif tidak hanya menyoal pada pemberian cairan atau resusitasi cairan, namun hal yang lebih penting adalah bagaimana mengeluarkan cairan (fluid removal) setelah pasien menjalani resusitasi cairan. Kondisi fluid overload akan menyebabkan terjadinya peningkatan jarak difusi antara kapiler dan sel yang mengakibatkan hipoksia sel dengan manifestasi disfungsi organ. Oleh karena itu saat ini tata laksana fluid removal menjadi kunci terhadap proteksi organ pada pasien sakit kritis.

a. Definisi fluid overload:

Diagnosis klinis berupa ditemukannya gejala dan tanda klinis berupa sesak, edema perifer, dan edema paru. Selain itu diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto röntgen paru dengan ditemukannya efusi pleura, B-Line, BLA.

b. Tata laksana:

Secara tradisional tata laksana fluid overload tidak diperlukan karena anggapan adanya proses alami terjadi aliran balik secara spontan dari interstisial ke intravaskular (fase ebb ke fase flow). Namun Cordemans dkk. menyatakan bahwa khusus pada pasien dengan komorbid, perpindahan dari fase ebb ke fase flow tidak terjadi secara spontan, sehingga dibutuhkan tata laksana fluid overload.

31

Gambar 5. Tata laksana sepsis dan syok

Norepinefrin merupakan obat vasoaktif lini pertama pada syok sepsis; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock (lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan warm shock (lebih jarang).

33

Gambar 6. Algoritma deresusitasi

c. Target terapi deresusitasi:

ADQI XII BJA 2014 merekomendasikan target deresusitasi yang aman yaitu target fisiologis yang terdiri dari

Target klinis (resolusi edema atau perbaikan oksigenasi paru), dan

Target keseimbangan cairan negatif (-1000 ml dalam 24 jam).

34

Untuk menghindari terjadinya overtreatment dan kegagalan terapi dibuat target keamanan perfusi yang terdiri dari

Target laktat darah: < 2 mmol/L,

Target perfusi ginjal: peningkatan ureum dan kreatinin < 25%, dan

Target perubahan: Na < 4 mmol/L.

Konsep Three Hit dan Sindrom Peningkatan Permeabilitas

Global

13)

✓ Kenali proses perjalanan penyakit kritis pasien

berdasarkan konsep ‘Three Hit” dan tentukan

apakah kondisi pasien membutuhkan tata laksana resusitasi atau deresusitasi.

Colin Cordeman dan Manu Malbrain sejak tahun 2012 mengusulkan konsep “Three Hit” dalam tata laksana cairan pada sakit kritis. Dalam tulisannya diperkenalkan juga istilah baru yaitu GIPS (Global Increased Permeability Syndrome) yang sebenarnya manifestasi dalam praktek klinis sehari-hari adalah edema anasarka. Kondisi ini disebabkan oleh suatu proses perjalanan penyakit dan atau akibat intervensi medis, khususnya resusitasi cairan yang digambarkan dalam perjalanan waktu sebagai berikut:

FIRST HIT:

Kondisi ini terjadi dalam kurun 6 jam di mana suatu kejadian baik itu trauma, infeksi, luka bakar, sepsis, atau perdarahan akan memicu respon tubuh secara sistemik yang disebut SIRS (systemic inflammatory response syndrome) berupa gejala demam, takikardia, takipnea, atau leukositosis. SIRS adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat dikeluarkannya mediator inflamasi oleh tubuh berupa sitokin proinflamasi, aktivasi RES, dan radikal bebas oksigen akibat suatu insult. Respon tubuh ini sebenarnya bersifat normal

36

jika ada pencetus karena respon imun tubuh berfungsi mempertahankan homestasis dengan cara membunuh bakteri yang masuk ke tubuh atau menutup luka bila ada kerusakan. Namun yang berbahaya jika terjadi overshoot production yang mana mediator ini tidak terkendali sehingga produksi berlebihan dan menyebabkan keadaan sebaliknya yang disebut senjata makan tuan atau “autodigest” dimana mediator ini malah merusak sel organ tubuh. Pada mulanya terjadi gangguan mikrosirkulasi berupa vasodilatasi pembuluh darah, kebocoran kapiler dan hilangnya kemampuan autoregulasi tubuh akibat vasodilatasi sistemik ini. Keadaan ini disebut sebagai syok distributif atau “fase Ebb” secara klinis terjadi hipotensi/hipovolemia/oligouria, depresi miokard (septic heart), dan pembentukan edema interstitial sehingga terjadi hipoksia jaringan yang ditandai dengan meningkatnya kadar laktat darah.

G am b ar 8. K ons ep Th re e hi t da n si ndr om pe ni ngka ta n pe rm ea bi li ta s gl oba l

38

SECOND HIT:

Pada fase ini (dalam kurun 6 jam) dapat terjadi pula disfungsi organ atau MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome) yang disebut sebagai second hit seperti;

1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yaitu penurunan rasio PaO2/FiO2 dan peningkatan Extra Vascular Lung Water (EVLW) atau perselubungan difus pada rontgen toraks.

2. Acute Bowel Injury berupa terjadinya Abdominal Compartment Syndrome (ACS) akibat Intra Abdominal Hypertension (IAH).

3. Acute Kidney Injury (AKI) berupa peningkatan serum kreatinin dan oliguria.

4. Liver failure ditandai dengan hiperbilirubinemia.

5. Nervous system failure seperti penurunan kesadaran (encephalopathy).

Pada fase ini anjuran tata laksana adalah pemberian cairan (fluid resuscitation) namun jika sudah terjadi disfungsi organ atau second hit maka lakukan terapi cairan konservatif dengan balans keseimbangan cairan nol (equilibrium).

THIRD HIT:

Setelah melewati fase second hit maka dapat terjadi dua kondisi dimana kondisi bergantung kepada respon atau komorbiditas pasien, yakni:

1. Syok perbaikan, terjadi homeostasis metabolisme sitokin sistemik, penutupan kebocoran kapiler sehingga terjadi pengisian kembali intravaskular dari interstitial dan terjadi perbaikan hemodinamik dan fungsi ginjal. Jika ini berlanjut terus maka pasien memasuki fase flow yaitu terjadi mobilisasi cairan dalam tubuh berupa peningkatan diuresis, edema clearance, penurunan EVLW dan weaning ventilation.

2. Syok perburukan, terjadi pelepasan sitokin pro-inflamasi lebih banyak dibanding sitokin anti-inflamasi maka, terjadi kebocoran kapiler menetap sehingga menyebabkan kegagalan fungsi organ yang lebih berat disebut sebagai GIPS (Global Increased Permeability Syndrome) dan fase ini dikenal sebagai fase Third Hit. GIPS dapat berupa edema perifer (anasarca), edema otak, edema paru (ARDS), edema usus (ACS) dan edema ginjal (AKI). Pemilihan terapi pada kondisi ini adalah secara aktif melakukan evakuasi cairan (fluid removal) baik secara medikasi menggunakan obat-obatan seperti furosemide dan albumin atau secara mekanik menggunakan Renal Replacement Therapy (RRT). Pada

40

kondisi ini pemberian cairan adalah toksik dan target monitoring keseimbangan cairan adalah balans negatif.

4. Prioritas Utama dalam Tata Laksana Pasien Infeksi Adalah

Dokumen terkait