BAB III
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Kajian Pustaka 1.1
1.1.1 Pengertian Kredit
Kredit menurut bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti kepercayaan dan bahasa Latin “creditum” yang berarti kepercayaan akan kebenaran. Oleh sebab itulah yang menjadi dasar dari kredit adalah kepercayaan. Kredit juga bisa berarti kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan atau ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati.
Dalam pelaksanaan pemberian kredit dikenal adanya prinsip 5C’s yang meliputi:
a. Character; pemberian kredit adalah atas dasar kepercayaan yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank atau pemberi kredit bahwa peminjam memiliki moral, watak, ataupun sifat pribadi yang positif, kooperatif, dan juga penuh rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi sebagai manusia, anggota masyarakat, ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya.
b. Capacity; yaitu suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha
yang dilakukannya atau kegiatan usaha yang akan dilakukan yang akan dibiayai oleh kredit dari Bank.
c. Capital; yaitu jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.
d. Collateral; yaitu barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam atau debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. e. Condition of economy; yaitu situasi dan kondisi sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian suatu negara pada suatu saat atau pada kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.
Suatu kredit disamping memberikan manfaat juga memberikan risiko yang besar apabila kredit yang diperoleh digunakan untuk:
a. Usaha-usaha yang sifatnya spekulatif
b. Usaha-usaha yang tidak direncanakan dan dikelola dengan baik c. Kebutuhan konsumtif
d. Penggunaan yang tidak tepat (side streaming), misalnya kredit modal kerja dalam bentuk tunai digunakan untuk disimpan dalam bentuk deposito
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang tagihan atau yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Menurut Siamat (1999), kredit digolongkan ke dalam 6 (enam) bentuk yaitu:
a. Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara lain: 1) Kredit jangka pendek (short-term loan).
2) Kredit jangka menengah (medium-term loan) 3) Kredit jangka panjang (long-term loan).
b. Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain:
1) Kredit dengan jaminan (secured loan). 2) Kredit tanpa jaminan (unsecured loan).
c. Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, farmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.
d. Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain:
1) Kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di bidang perdagangan.
2) Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.
3) Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar produksi.
e. Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain:
1) Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit yang diberikan oleh Bank untuk menambah modal kerja debitur. 2) Kredit investasi (invesment credit), yaitu kredit yang diberikan
oleh Bank kepada perusahaan untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli barang-barang modal.
f. Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.
1.1.2 Manajemen Risiko
Definisi Bank menurut Global Association of Risk Professional (GARP) dan Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR); Bank ialah suatu lembaga yang telah memperoleh izin untuk melakukan kegiatan utama menerima deposito, memberikan pinjaman, menerima dan menerbitkan cek. Adapun pengertian Bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah: Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak”.
Fungsi bank jelas terlihat didalam pengertian tersebut, salah satunya adalah sebagai intermediasi yakni menjembatani pihak yang memiliki uang dalam hal ini deposan (kreditur) dengan pihak yang membutuhkan uang, dalam hal ini debitur yang menginginkan kredit.
Dari fungsi intermediasi inilah, Bank sebagaimana lembaga keuangan pada umumnya dalam menjalankan kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil usaha pasti selalu dihadapi dengan risiko. Risiko yang terjadi bisa menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi, dan dikelola dengan baik. Untuk itu Bank harus memahami risiko, mengetahui kapan risiko itu akan muncul, sehingga dapat selalu mengambil tindakan yang cepat dan tepat.
Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Vaughan (2007) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:
a. Risk is the chance of loss
Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Sebagian peneliti menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.
b. Risk is the possibility of loss
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.
c. Risk is uncertainty
Uncertainty dapat bersifat subjektif dan objektif. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut. d. Risk is the dispersion of actual from expected results
Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai di sekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata. e. Risk is the probability of any outcome different from the one expected
Menurut definisi di atas, risiko bukan probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.
Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya hal yang tidak terduga atau akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Dalam industri keuangan, pada umumnya terdapat istilah yang sering dikemukakan ”high risk, high return”. Hal ini dimaksudkan jika ingin memperoleh hasil yang lebih besar maka akan berbanding lurus pada risiko yang mungkin akan dialamai.
Setiap aktivitas transaksi yang dilakukan Bank, baik dari segi aktiva maupun pasiva, pada intinya mengandung risiko yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan Bank. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank disebut sebagai resiko. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun yang tidak diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank (Bank Indonesia, 2003).
Salah satu wujud keseriusan Bank Indonesia dalam menangani masalah manajemen risiko perbankan adalah dengan menerapkan Peraturan Bank Indonesia mengenai manajemen risiko bagi Bank Umum. Keseriusan tersebut lebih dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/25/PBI/2005 pada bulan Agustus 2005 tentang ”Sertifikasi Manajemen Risiko bagi pengurus dan pejabat Bank Umum”, dimana dalam peraturan tersebut mengharuskan seluruh pejabat Bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya.
Adapun risiko-risiko perbankan yang disyaratkan oleh Bank Indonesia mencakup risiko-risiko adalah sebagai berikut:
a. Risiko Pasar
Risiko yang timbul dikarenakan adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank yang dapat merugikan Bank. Suku bunga dan nilai tukar adalah contoh resiko pasar.
b. Risiko Kredit
Risiko yang timbul sebagai akibat dari kegagalan debitur dan/atau lawan transaksi (counterparty) dalam memenuhi kewajibannya.
c. Risiko Operasional
Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
d. Risiko Likuiditas
Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo.
e. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya suatu kontrak.
f. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
g. Risiko Strategik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat, atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
h. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Risiko pada angka 1 sampai dengan 4 sesuai penjelasan diatas adalah risiko yang diwajibkan untuk dikelola oleh masing-masing Bank sebagaimana disyaratkan Peraturan Bank Indonesia seperti yang dimaksud adalah Bank Umum Syariah. Namun jika suatu Bank memiliki model bisnis yang lebih rumit, biasanya sejalan dengan skala usaha yang semakin besar dari Bank yang dimaksud adalah Bank Umum Konvensional, maka Bank Indonesia akan meminta Bank tersebut untuk mengatur seluruh cakupan risiko dari angka 1 sampai dengan 8.
1.1.3 Risiko Kredit
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 sebagai perubahan dari Peraturan sebelumnya No.5/8/PBI/2013, menyebutkan tentang Penerapaan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, menyatakan bahwa risiko kredit diartikan sebagai risiko yang timbul sebagai akibat dari kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajibannya kepada Bank.
Pihak peminjam yang tidak dapat dan/atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya adalah hal utama yang berkaitan dengan resiko kredit. Pinjaman yang dimaksud dapat berupa aktiva produktif Bank, yakni alokasi dana Bank yang ditempatkan pada pihak debitur atau peminjam atau lawan transaksi, dimana debitur berkewajiban untuk mengembalikannya pada waktu yang disepakati. Pengembalian dana dari peminjam adalah berupa pokok pinjaman ditambah dengan bunga yang telah disepakati dalam perjanjian.
Berdasarkan counterparty, risiko kredit dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Risiko kredit pemerintahan (sovereign credit risk)
Risiko kredit pemerintahan berhubungan dengan Pemerintah suatu negara yang tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo, terutama pinjaman bilateral antarnegara.
b. Risiko kredit korporat (corporate credit risk)
Risiko kredit korporat adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar dari perusahaan memperoleh penyertaan modal. Risiko korporat lebih berisiko dan lebih sering terjadi dalam Bank.
c. Risiko kredit konsumen (retail customer credit risk)
Risiko kredit konsumen adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya.
Sedangkan berdasarkan komponen utama dari risiko kredit, terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
a. probability of default, adalah kemungkinan debitur gagal untuk melakukan pembayaran sesuai yang diperjanjikan.
b. recovery rate, adalah bagian yang dapat diterima Bank apabila debitur default.
c. credit exposure, adalah hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default.
Adapun kriteria penggolongan kolektibilitas kredit menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 1.1 Penggolongan Kolektibilitas Kredit Berdasarkan Ketentuan Bank Indonesia
Komponen Lancar Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
1. Prospek Usaha a. Potensi
pertumbuhan usaha
Baik Terbatas Sangat terbtas atau tidak
tumbuh Menurun - Menurun dan sulit pulih kembali - Kemungkinan besar
kegiatan usaha akan terhenti b. Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan - Stabil - Persaingan terbatas, posisi perusahaan kuat dalam pasar - beroperasi pada kapasitas yang optimum
- Posisi di pasar baik, tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian - Pangsa pasar sebanding dengan pesaing - Beroperasi pada kapasitas yang hampir optimum
- Pasar dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian
- Persaingan cukup ketat
- Pasar sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian - Persaingan sangat ketat, operasional perusahaan mengalami permasalahan serius - Kapasitas tidak dapat
mendukung operasional
Kehilangan pasar
c. Dukungan dari
group/afiliasi Stabil dan mendukung usaha Stabil dan tidak memiliki dampak yang memberatkan debitur
Mulai memberikan dampak
yang memberatkan debitur Memberikan dampak yang memberatkan debitur Sangat merugikan debitur d. Upaya debitur
memelihara lingkungan
Baik dan mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum
Kurang baik dan belum mencapai persyaratan minimum
Kurang baik, belum mencapai persyaratan minimum, dengan penyimpangan cukup material - Belum melaksanakan pengelolaan lingkungan yang berarti, atau belum - sesuai dengan
Belum melaksanakan pengelolaan lingkungan yang berarti, atau belum sesuai dengan
Komponen Lancar Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
persyaratan - minimum, dengan penyimpangan yang material dan memiliki kemungkinan dituntut di pengadilan 2. Kinerja Debitur
a. Perolehan laba Tinggi dan stabil Cukup baik, namun memiliki potensi menurun
Rendah Sangat kecil atau negatif, kerugian operasional dibiayai dengan penjualan aset
- Rugi besar, debitur tidak mampu memenuhi seluruh - kewajiban dan kegiatan usaha tidak dapat dipertahankan b. Arus kas Likuiditas dan modal
kerja kuat Likuditas dan modal kerja umumnya baik Likuditas kurang dan modal kerja terbatas Likuiditas sangat rendah Kesulitan likuiditas c. Sensitivitas
terhadap risiko pasar
Kurang sensitif dan sudah dilakukan
hedging
Beberapa portfolio sensitif, tapi masih terkendali
Kegiatan usaha terpengaruh karena perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga
Kegiatan usaha terancam karena perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga
Kegiatan usaha terancam karena fluktuasi nilai tukar valuta asing dan suku bunga 3. Kemampuan Membayar a. Ketepatan pembayaran pokok dan bunga Tepat waktu, perkembangan rekening baik, tidak ada tunggakan - Tunggakan s.d. 90 hari - Jarang mengalami cerukan - Tunggakan > 90 – 120 hari
- Cerukan berulang kali untuk menutupi kerugian operasional - Tunggakan > 120 – 180 hari - Cerukan bersifat permanen untuk menutupi kerugian operasional Tunggakan melampai 180 hari b. Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur Menyampaikan laporan keuangan secara teratur dan akurat
Menyampaikan laporan keuangan secara teratur dan masih akurat
Hubungan dengan Bank memburuk dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya
Hubungan dengan Bank semakin memburuk dan informasi keuangan tidak tersedia/tidak dapat dipercaya
Hubungan dengan Bank sangat memburuk dan informasi keuangan tidak tersedia/tidak dapat dipercaya
Komponen Lancar Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
sumber pembayaran kewajiban dapat diidentifikasi dan disepakati - Sumber pembayaran kurang sesuai dengan struktur/ jenis pinjaman diidentifikasi dan disepakati - Sumber pembayaran kurang sesuai dengan struktur/ jenis pinjaman
dari sumber lain yang disepakati
- Sumber pembayaran kurang sesuai dengan struktur/ jenis
pinjaman secara cukup material
tidak diketahui - Sumber pembayaran
kurang sesuai dengan struktur/ jenis pinjaman secara material sumber pembayaran - Sumber pembayaran tidak sesuai dengan struktur/ jenis pinjaman secara material d. Kesesuaian penggunaan dana dengan pengajuan pinjaman - Sesuai - Jumlah fasilitas yang diberikan sesuai kebutuhan - Perpanjangan kredit sesuai dengan analisis kebutuhan debitur - Kurang sesuai namun jumlahnya tidak material - Jumlah fasilitas
yang diberikan lebih besar dari kebutuhan tapi jumlahnya tidak material
- Perpanjangan kredit kurang sesuai dengan analisis kebutuhan debitur
- Kurang sesuai dengan jumlah yang cukup material
- Jumlah fasilitas yang diberikan lebih besar dari kebutuhan dengan jumlah cukup material - Perpanjangan kredit
tidak sesuai dengan analisis kebutuhan debitur (untuk menyembunyikan kesulitan keuangan)
- Kurang sesuai dengan jumlah yang material - Jumlah fasilitas yang diberikan lebih besar dari kebutuhan dengan jumlah material
- Perpanjangan kredit tidak sesuai dengan analisis kebutuhan debitur (untuk menyembunyikan kesulitan keuangan dengan penyimpangan cukup material) - Sebagian besar tidak sesuai dengan jumlah yang material
- Jumlah dan jenis fasilitas yang diberikan lebih besar dari kebutuhan dengan jumlah material - Perpanjangan kredit tanpa analisis kebutuhan debitur
1.1.4 Kredit Konsumtif
Salah satu bentuk penyaluran kredit dengan tujuan penggunaan untuk membiayai kebutuhan yang bersifat konsumtif seperti membiayai pembelian rumah tinggal, renovasi rumah tinggal, membiayai pembelian kendaraan, dan lain-lain yang bersifat konsumtif kepada individual disebut Kredit Konsumtif (consumer loan). Pelunasan dalam bentuk angsuran kredit konsumtif bersumber dari gaji atau penghasilan debitur. Berikut ada tiga jenis kredit konsumtif yang terdapat di Bank-Bank pada umumnya, yaitu:
a. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) b. Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) c. Kredit Tanpa Agunan (KTA)
Jenis Kredit Tanpa Agunan (KTA) menjadi fokus kredit yang diteliti oleh penulis, karena dianggap sebagai jenis kredit yang memiliki risiko yang tinggi melihat tidak adanya jaminan fisik (collateral) serta bunga yang relatif lebih tinggi dibanding jenis kredit lainnya sehingga resiko gagal bayarpun menjadi lebih tinggi.
1.1.4.1 Kredit Tanpa Agunan (KTA)
Kredit Tanpa Agunan (KTA) adalah sebuah produk kredit di bank, dimana debitur dapat meminjam sejumlah dana / uang dari bank tersebut tanpa harus memberikan jaminan atau agunan layaknya jenis kredit lainnyaa seperti sertifikat rumah, BPKB, SK,
dll. Produk kredit tanpa agunan ini biasa disebut dengan Personal Loan ( PL ). Fasilitas Kredit Tanpa Agunan ( KTA ) sangat flexibel untuk digunakan dalam berbagai keperluan misalnya untuk biaya pernikahan, renovasi rumah, tambahan modal usaha, biaya pendidikan, liburan atau keperluan lainnya yang membutuhkan dana cash.
Kredit tanpa agunan biasanya dikhususkan untuk karyawan bank itu sendiri, karyawan perusahaan lain atau wiraswasta yang berusia 21 tahun sampai dengan 60 tahun, plafond kredit yang diberikan oleh bank berkisar antara 10 juta sampai dengan 250 juta dengan bunga atau interest variatif berkisar antara 1,55% sampai dengan 2,2% flat per bulan. Jika ingin mendapatkan fasilitas pinjaman ini, biasanya nasabah harus menyertakan beberapa persyaratan. yakni berupa foto copy kartu kredit dan Foto Copy KTP atau ada juga tambahan beberapa persyaratan yang lainnya jika diperlukan.
Kredit tanpa agunan merupakan pinjaman tanpa jaminan atau juga dikenal dengan istilah unsecured loans. Oleh karena tidak adanya jaminan yang menjamin pinjaman tersebut maka keputusan pemberian kredit penting melihat pada riwayat kredit dari pemohon kredit secara pribadi, atau dalam arti kata lain bahwa kemampuan melaksanakan kewajiban pembayaran kembali pinjaman adalah pengganti jaminan.
Salah satu cara melihat hal tersebut yakni pada saat pengajuan Kredit Tanpa Agunan ( KTA ), hal yang paling utama disyaratkan adalah kepemilikan kartu kredit. Karena melalui kartu kredit, pihak bank penyedia fasilitas KTA dapat melihat bagaimana pola pembayaran calon debiturnya apakah baik seperti tidak ada keterlambatan dan pemakaian limit yang terkontrol atau bahkan buruk seperti keterlambatan pembayaran tagihan dan over limit pemakaian kartu. Oleh karena itu dibutuhkan setidaknya masa terbit/berlaku sudah 1 tahun dari kartu kredit tersebut.
Memiliki nilai kredit yang memuaskan dengan penghasilan yang mencukupi, secara khusus harus dimiliki oleh seorang individu ataupun perusahaan untuk mengatasi beban pinjaman yang akan dilakukannya. Ketika bank memutuskan layak atau tidak mendapat pinjaman, dari riwayat kredit pribadi inilah akan dinilai berapa banyak resiko kredit yang mungkin akan terjadi ketika pihak bank meminjamkan uang. Dan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan akan mencerminkan seberapa besar tingkat resiko pinjaman tanpa jaminan.
1.1.5 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Hal utama yang menjadi resiko kredit adalah kredit bermasalah atau non perfoming loan yang secara umum adalah semua kredit yang mengandung risiko tinggi atau kredit yang mengandung kelemahan yaitu
tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh bank (Savitri et. al, 2014). Menurut ketentuan pada Surat Edaran Bank Indonesia No.12/11/DPNP, kredit bermasalah digolongkan ke dalam kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan kredit macet (lihat tabel 3.1).
Modal yang cukup dibutuhkan oleh bank untuk meminimalisasi risiko kredit akibat kredit default, agar dapat mengurangi kerugian yang dihadapi oleh Bank. Unexpected loss (kerugian tidak terduga) yang akan dialami oleh bank harusnya dapat ditutup oleh modal yang cukup, yang mungkin tidak dapat ditutupi oleh expected loss (kerugian yang dapat diduga). Bank harus memiliki cadangan dana yang disebut sebagai cadangan umum (general provision) atau cadangan kerugian kredit (Fatimah, 2012). Menurut Anandarajan et. al (2005), provisi untuk penurunan kredit dapat menjadi sinyal terhadap laba bank dan management modal.
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana cadangan kerugian kredit disebut dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Dalam PPAP, pembentukan cadangan atau penyisihan tersebut dinilai berdasarkan tingkat kolektibilitas dari kredit debitur dengan ketentuan sebagai berikut (lihat Tabel 3.2.).
Tabel 1.2 Cadangan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Kolektibilitas Reserve (%)
1. Lancar (Pass) 1%
2. Dalam Perhatian Khusus (Special Mention) 5% 3. Kurang Lancar (Substandard) 15%
4. Diragukan (Doubtful) 50%
5. Macet (Loss) 100%
Sumber: Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum
Setelah adanya revisi mengenai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun diganti menjadi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau yang sering disebut dengan istilah CKPN. Dalam CKPN, pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment (penurunan), maka bank tersebut harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut. Dasar dari hasil evaluasi kredit debitur tersebut tergantung kepada keputusan masing-masing bank, maka tiap-tiap bank memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dana untuk kreditnya. Namun kebijakan bank itupun tidak boleh menyimpang dari beberapa kriteria yang terdapat
dalam PAPI setelah adanya revisi PSAK 55. Adapun ketentuan pengukuran CKPN berdasarkan PAPI revisi 2008 adalah sebagai berikut:
a. Individual
Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN Individual dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1) Discounted Cash Flow
Estimasi arus kas masa akan datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskonto dengan suku bunga.
2) Fair Value of Collateral
Dengan memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan di masa yang akan datang.
3) Observable Market Price
Ditentukan dari harga pasar dari kredit tersebut. b. Kolektif
Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok kolektif ini sebagai berikut:
1) Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa akan datang.
2) Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya
Kredit yang mengalami impairment (penurunan nilai) harus ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit suatu bank sebagai dasar perhitungan CKPN.
Setelah itu, besarnya nilai cadangan dana kredit ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai). Perhitungan CKPN yang lebih rumit, yaitu dengan melakukan pengecekan kredit secara satu per satu atau individual sehingga pengontrolan kredit menjadi lebih terarah. Hal tersebut sebagai mitigasi risiko apabila terjadi impairment kredit sehingga bank dapat segera mencari solusi agar kredit debitur tersebut tidak sampai merugikan bank.
Dengan karakterisktik yang sama dan jumlah debitur yang besar, perhitungan untuk portofolio kredit CKPN dapat dilakukan secara kolektif. Sedangkan untuk perhitungan CKPN secara individual dapat dilakukan bagi debitur yang memiliki outstanding kredit di atas batasan materialitas yang ditetapkan oleh masing-masing bank dan atau bila bank memiliki bukti objective atas impairment debitur tersebut. Perhitungan CKPN kolektif dilakukan untuk exposure kredit dengan kategori default. Default adalah kejadian gagal bayar atas pinjaman yang sudah jatuh tempo, kebangkrutan, atau restruktur hutang yang disebabkan karena debitur mengalami kesulitan dalam pelunasan kewajibannya. Bank Indonesia selaku badan regulator perbankan sendiri tidak menetapkan metode dalam perhitungan CKPN kolektif, hal ini menyebabkan bank lebih bisa fleksibel menentukan metode namun harus menetapkan sendiri model perhitungan yang paling tepat.
Dampak dari perhitungan CKPN kolektif adalah pada perhitungan penyediaan modal (economic capital) yang harus disediakan oleh Bank untuk mengantisipasi risiko kredit yang akan dihadapi Bank. Dengan demikian model untuk memperhitungkan CKPN kolektif harus menggunakan metode yang tepat untuk mengantisipasi kerugian yang akan dihadapi oleh Bank (Fatimah, 2012).
1.1.5.1 Pengukuran Risiko Kredit Berdasarkan Banking for
International Settlement (BIS)
Pada tahun 1970-an dan 1980-an sebelum adanya liberalisasi keuangan, regulasi keuangan yang dilakukan terfokus pada pemberian izin mendirikan lembaga keuangan; pembatasan yang tegas mengenai aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada masing-masing institusi keuangan; definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib minimum. Berbagai pemecahan masalah dari regulasi diatas mulai dipikirkan sejak pertengahan dekade 1970-an.
“Pengawasan dengan prinsip kehati-hatian” merupakan pendekatan yang mulai dipertimbangkan dalam melakukan regulasi. Prinsip kehati-hatian ini dinggap penting sebagai dasar munculnya ide para Banker internasional untuk membentuk keseragaman regulasi secara internasional yang dinamakan Basel Accord. Komite Basel (The Basel Committee) dicetuskan tahun 1974 dengan diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral negara-negara yang
tergabung dalam G10 (the Group of Ten). Untuk pertama kali Komite Basel mempublikasikan The First Basel Capital Accord (BASEL I) pada tahun 1988 dan The Second Basel Capital Accord (BASEL II) muncul pada tahun 2004.
Dalam ketentuan Basel I, rasio kecukupan modal hanya dikaitkan dengan risiko kredit yang didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari:
a. Struktur modal.
b. Penyetaraan dengan risiko kredit. c. Bobot risiko dan bobot risiko aktiva.
d. Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat.
e. Target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat.
Berdasarkan Basel I, Bank perlu memiliki kecukupan modal, karena:
a. Merupakan unsur terpenting bagi Bank dalam menjaga solvabilitas.
b. Modal merupakan sumber untuk menyerap kerugian Bank. c. Modal merupakan nilai investasi pemegang saham di Bank.
Basel I menentukan besarnya minimum rasio modal adalah 8 %. Formula Rasio
Modal :
Untuk pendekatan yang terdapat dalam Basel II berbeda secara mendasar dibandingkan dengan Basel I. Perbedaan ini terlihat dalam Tabel 3.3. berikut ini.
Tabel 1.3 Perbandingan Basel I dan Basel II
BASEL I BASEL II
Fokus pada sebuah pengukuran
tunggal Fokus pada internal metodologi
Memiliki pendekatan yang sederhana terhadap sensitivitas risiko
Memiliki tingkat sensitivitas risiko yang lebih tinggi
Menggunakan pendekatan ”one single size fits all” pada risiko dan modal
Fleksibel untuk disesuaikan terhadap kebutuhan Bank yang berbeda-beda
Hanya mencakup risiko kredit dan
risiko pasar Mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lain-lain
Sumber: Global Association of Risk Professional (GARP), Basel II
Dalam perhitungannya Basel II menggunakan pendekatan baru untuk penilaian dan pengawasan Bank yang merupakan penyempurnaan dari Basel I dan juga digunakan dalam rekomendasi hukum. Basel II memiliki 3 pilar utama yang adalah sebagai berikut :
Gambar 1.1 Tiga Pilar Utama Basel II
Sumber : Bank Indonesia, Implementasi Basel II di Indonesia
Tujuan utama dari pendekatan Basel II adalah meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan didalam manajemen risiko.
Pendekatan Basel II memiliki berbagai kompleksitas dan prakondisi yang cukup berat bagi perbankan untuk menerapkan metode tersebut. Tetapi jika melihat manfaat yang akan didapat
perbankan nantinya adalah berupa penghematan modal dalam menutup risiko yang diambilnya. Selain itu, Basel II merupakan standar yang diakui secara internasional, akan mudah bagi suatu bank yang akan beroperasi secara global untuk dapat diterima oleh pasar internasional jika mengikuti standar ini.
1.1.6 Pendekatan Permodelan dalam Credit Risk Measurement
Risiko kredit adalah jenis risiko yang paling berpengaruh dalam kestabilan sistem keuangan Bank, untuk itu perlu adanya model yang tepat digunakan didalam perhitungannya. Didalam pendekatan Basel II, perhitungan risiko kredit memiliki ketentuan sendiri untuk model yang digunakan yaitu Standardized Approach . Selain itu, didalam Basel I juga terdapat perluasan model yaitu perhitungan dengan menggunakan model Internal Rating Based (IRB). Sedangkan IRB dibagi menjadi dua bagian, yaitu Advanced IRB dan Foundation IRB. Ketiga jenis pendekatan diatas dapat digunakan dalam perhitungan kecukupan modal didalam perbankan.
1.1.6.1 Standardized Approach
Standardized Approach adalah suatu pendekatan risiko kredit yang dikembangkan dari Basel I. Dalam pendekatan ini, serangkaian bobot risiko dihitung untuk menghasilkan aset yang setara dan diberlakukan untuk berbagai jenis aset, seperti yang ada dalam pendekatan Basel I. Perubahan terbesar antara Basel I dan
Standardized Approach dalam Basel II berhubungan dengan perlakuan terhadap jaminan. Didalam Basel I membatasi jaminan yang mengubah bobot risiko (dan sekaligus capital charge) atas pinjaman yang dijamin dengan kas atau surat berharga pemerintah. Sedangkan didalam Basel II, terdapat rentang waktu yang lebih lebar bagi ketersediaan jaminan untuk memitigasi risiko kredit, dan sekaligus menurunkan biaya modal. Berdasarkan Basel II, berbagai jaminan diperbolehkan, termasuk Bank garansi dan kredit derivatif.
1.1.6.2 Internal Rating Based (IRB)
Pendekatan ini merupakan perluasan model dari pendekatan Basel I. Antara IRB maupun Standardized Approach yang membedakan diantara keduanya, yaitu:
a. Persyaratan penggunaan proses kredit dalam mengelola bisnis Bank
b. Penggunaan informasi milik Bank dalam menetapkan persyaratan modal. Informasi ini diambil dari proses internal Bank dalam menilai kelayakan debitur
c. Model kredit IRB Approach memiliki persyaratan pendekatan yang memiliki komponen berikut:
1) Probability of Default (PD) 2) Loss Given Default (LGD) 3) Exposure at Default (EAD)
4) Effective Maturity (M)
5) Pinjaman korporat berdasarkan Basel II juga dibagi berdasarkan skala perusahaan (S) yang diukur dari turnover
d. Memiliki fungsi bobot risiko yang sama, yang berfungsi mendeskripsikan bagaimana komponen risiko untuk jenis aset yang berbeda diubah menjadi aset tertimbang menurut risiko. e. Bank yang mengajukan IRB Approach harus memenuhi 12
(dua belas) kriteria, yaitu:
1) Komposisi persyaratan minimum 2) Kepatuhan persyaratan minimum
3) Disain sistem pemeringkatan (rating system design) 4) Operasional sistem pemeringkatan risiko
5) Tata kelola dan pengawasan perusahaan 6) Penggunaan penilaian internal
7) Kuantifikasi risiko
8) Validasi perhitungan internal
9) Pengawasan terhadap perkiraan LGD dan EAD
10) Persyaratan untuk pengakuan transaksi pembiayaan leasing
11) Penghitungan capital charge untuk exposure ekuitas 12) Persyaratan keterbukaan
Tabel 1.4 Perbandingan Advanced IRB Approach
Credit Portfolio View Credit Metrics Credit Risk Plus Merton OPM KMV/Moodys
Reduce Form KPMG/Kamakura
Definition of Risk MTM or DM MTM DM MTM or DM MTM
RISK Driver Macroeconomic factor Asset Value Expected default rates Asset value Debt and equity prices
Data Requirement Historical transition matrix, macroeconomic variables, credit spreads, LGD, exposures Historical transition matrix, credit spreads and yield curve, LGD, correlation, exposures
Default rates and volatility, macro factor, LGD, exposures
Equity price, credit spreads,
correlations, exposures
Debt and equity prices, historical transition matix, correlation, exposures Characterization of Credit Events Migration conditional on macroeconomic factor
Credit Migration Actuarial random default rate Distance to default: structural and empirical Default intensity Volatility of Credit Events Variable Constant or
Variable Variable Variable Variable
Corellation of Credit Events
Macroeconomic
factor loadings Multivariate normal asset return Independence assumption or correlation with expected default rate Multivariate normal
assets returns Poisson intensity processes with joint systemic factors
Recovery Rates Random Random (beta
distribution) Constant within Band Constant or random Constant or random Numerical Approach Simulation Simulation or
Analytic Analytic Analytic and Econometric Econometric
Interest Rates Constant Constant Constant Constant Stochastic
Risk Classification Ratings Ratings Exposure bands Empirical EDF Ratings or credit
spreads
Risiko kredit memiliki beberapa model dalam credit measurement, yang masing-masing memiliki perbedaan. Menurut Philippe Jorion (2005), model risiko kredit dapat dibagi menjadi beberapa model yang dipaparkan dalam Tabel 3.4 diatas. Berdasarkan Tabel 3.4. mengenai perbandingan IRB Approach, jenis pendekatan yang akan digunakan dalam karya akhir ini adalah pendekatan Internal Model CreditRisk+.
1.1.7 CreditRisk+
Beberapa metode pengukuran risiko kredit yang dikembangkan oleh Basel Committee yaitu antara lain Credit Metrics dari JP Morgan, Portfolio Manager dari KMV, Credit Portfolio View dari Mc Kinsey dan CreditRisk+ dari Credit Suisse First Boston (CSFP). Menurut Sakti (2010),
metode CreditRisk+ dinilai cukup efektif dan praktis dalam penerapan
perhitungan risiko kredit dikarenakan bank hanya menggunakan data internal berupa jumlah exposure kredit, jumlah debitur, tingkat kolektibilitas dan recovery rate. Dalam CreditRisk+ bank dapat menghitung
kecukupan cadangan modal untuk mengantisipasi kerugian pada periode waktu tertentu.
Metode ini dapat diaplikasikan untuk exposure kredit pada semua tipe produk termasuk untuk kredit retail dan korporasi beserta turunannya yang pertama kali diperkenalkan oleh Credit Suisse First Boston (CSFB) ditahun 1997. Menurut Kollar dan Cisko (2014), model CreditRisk+ sangat mudah dan sederhana untuk diaplikasikan dalam menghitung expected
loss. Model ini dapat digunakan pada portofolio dengan jumlah debitur yang besar. Hal tersebut didasarkan pada distribusi poisson pada setiap kejadian gagal bayar debitur. Pendekatan yang dilakukan secara analitis dari loss distribution pada portofolio sehingga fungsi distribusi dapat diperoleh secara cepat menjadi kelebihan utama dari model CreditRisk+ (Vandendorpe, et al. 2008). Menurut Szotek, (2015) terdapat 2 tahap dalam mengukur risiko kredit menggunakan metode CreditRisk+ yaitu mengukur probability number of default dan selanjutnya number of default secara agregat.
Tabel 1.5 Komponen CreditRisk+ CreditRisk+ Credit Risk Measurement Economic Capital Aplications Exposures Default Rates Credit Default Loss Distribution Provisioning Recovery Rates Default Rates Volatilities Limits
CreditRisk+Model Scenario Analysis
Portfolio Management Sumber : Credit Suisse First Boston, 1997
Tabel 3.5 menunjukkan tiga komponen utama dalam model CreditRisk+ yaitu antara lain Credit Risk Measurement, Economic
Komponen data dalam perhitungan model CreditRisk+ seperti pada
Tabel 3.5, yaitu antara lain:
a. Credit Exposures adalah total exposure kredit debitur secara menyeluruh.
b. Default Rates adalah jumlah peristiwa yang mewakili kemungkinan terjadinya default pada setiap debitur. Default rates dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu:
1) Observasi credit spread dan instrument keuangan yang diperdagangkan dapat digunakan untuk mendapatkan probability default dari penilaian pasar.
2) Menggunakan credit rating, bersama dengan mapping dari default rates ke credit ratings, dapat digunakan untuk menetapkan cara terbaik dalam mengetahui probability of default dari debitur.
3) Menggunakan continous scale yaitu sebagai pengganti kombinasi credit rating dan default rate.
c. Default Rate Volatilities adalah dimana actual default rates yang berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata yang dapat digambarkan dengan standar deviasi (volatility) dari default rates. Standar deviasi dari default rates bila dibandingkan dengan actual default rates akan merefleksikan fluktuasi default selama siklus ekonomi.
d. Recovery Rates adalah nilai exposure pada saat terjadinya default yang dapat ditagih kembali oleh bank setelah fasilitas kredit
dihapusbukukan. Namun nilai exposure yang tidak dapat ditagih kembali merupakan jumlah kerugian yang ditanggung oleh bank. Kerugian tersebut dapat dihitung dengan rumusan nilai sebesar jumlah pinjaman yang diberikan kepada debitur dikurangi jumlah recovery. Sumber pelunasan yang umum digunakan untuk perhitungan recovery rate terbagi menjadi dua yaitu recovery rate pinjaman macet yang bersumber dari likuidasi agunan dan dari angsuran pinjaman macet (Fatimah, 2012).
Terdapat beberapa tahapan setelah data input model CreditRisk+
(Kurniawan, 2009), adalah sebagai berikut:
a. Frequency of Default Events
Frequency of default events merupakan jumlah default kredit pada satu periode. Dalam metode CreditRisk+, penyebab terjadinya default
tidak diasumsikan. Default dianggap suatu peristiwa yang tidak dapat ditentukan secara tepat kapan terjadinya dan berapa jumlahnya. Diasumsikan bahwa terdapat suatu eksposur yang tergolong default yang berasal dari sejumlah debitur yang banyak namun masing- masing dengan probability of default yang kecil dan bersifat random. Model yang tepat untuk menggambarkannya adalah distribusi Poisson. Rumus probability of default dengan distribusi Poisson adalah sebagai berikut:
dimana:
e = bilangan eksponensial, yaitu = 2,718282
λ = angka rata-rata dari default per periode (mean)
n = jumlah debitur default dimana n = 0, 1, 2, 3, …, N
! = factorial
b. Severity of The Losses
Severity of the losses merupakan besarnya tingkat kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya default. Eksposur pinjaman masing- masing debitur disesuaikan dengan anticipated recovery rate, sehingga akan mendapatkan loss given default (LGD). Penyesuaian eksposur bersifat exogenous terhadap model serta independen terhadap risiko pasar dan downgrade risk.
c. Disribution of Default Losses
Distribution of default losses merupakan hasil dari perkalian antara probability of default dengan severity of losses. Pada Poisson model, nilai rata-rata dari default rate portofolio pinjaman sama dengan varian, sehingga:
Standar deviasi = σ = √mean --- (3.2)
Untuk melakukan pengukuran risiko kredit dengan CreditRisk+ atas eksposur yang berupa portofolio, maka portofolio dibagi menjadi beberapa kelompok atau band.
Berdasarkan Credit Suisse First Boston (1997), hasil akhir dari CreditRisk+ digunakan untuk menggambarkan tingkat economic capital
required dengan rumus:
Economic Capital = Unexpected Loss - Expected Loss --- (3.3) Besarnya economic capital adalah selisih dari unexpected loss pada tingkat persentile tertentu dengan nilai expected loss.
Menurut Widayanti (2010), Expected loss adalah kerugian yang dapat diperkirkan terjadinya. Adapun perkiraan terjadinya didasarkan pada data historis munculnya credit events tersebut. Untuk mengatasi kejadian expected loss, bank telah melakukan pencadangan modal yang diperoleh dari pengenaan provisi kepada debitur dan dari penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Besarnya expected loss diperkirakan dengan mengambil nilai mean dari distribusi probabilitas. Rumus expected loss adalah sebagai berikut:
( ) --- (3.4)
Expected loss = PD x EAD x LGD --- (3.5) Dimana :
PD : Probability of Default, atau peluang debitur mengalami default dari setiap band
EAD : Exposure at default, atau jumlah debitur yang default berdasarkan band dalam suatu kelompok band
LGD : Loss Given Default, atau besarnya kerugian yang akan timbul apabila debitur default.
Sedangkan unexpected loss merupakan bagian yang mungkin bisa terjadi pada suatu debitur tertentu. Karena sifat pengukurannya adalah perkiraan, maka pengukuran ini harus diyakini dengan derajat keyakinan tertentu dengan rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
UL = Zα x EAD x StDev x (1-RR) --- (3.6)
Dimana :
UL : Unexpected Loss
Zα : tingkat keyakinan dari perkiraan
EAD : Exposure at Default
StDev : Standar Deviasi dari default rates
RR : Recovery Rates
Unexpected loss diukur dengan mengambil nilai kerugian maksimum pada tingkat persentile yang dipilih, misalnya 95% berarti hanya ada 5% kemungkinan bahwa kerugian akan melebihi nilai unexpected loss dan nilai unexpected loss ini dianggap sebagai ukuran VaR.
Backtesting dan validasi model harus dilakukan untuk menjaga agar akurasi model layak untuk digunakan, hal ini adalah yang disyaratkan oleh Basel Committee. Backtesting adalah suatu kerangka kerja untuk melakukan verifikasi apakah kerugian aktual masih dapat diatasi oleh nilai kerugian yang diprediksi (Fatimah, 2012). Dengan menghitung jumlah kesalahan yang terjadi dibandingkan dengan jumlah data sebagai dasar pengujian bactesting. Angka kerugian aktual atau actual loss yang digunakan sebagai pembanding nilai VaR adalah nilai exposure (EAD) portofolio kredit segmen Kredit Tanpa Agunan yang dikategorikan NPL setiap bulan selama periode pengamatan. Jika nilai actual loss lebih besar dari nilai VaR artinya VaR dapat menutupi actual loss. Selanjutnya, validasi model dilakukan dengan menghitung banyaknya jumlah real loss yang melebihi nilai VaR setiap bulan selama periode observasi dan selanjutnya dibandingkan dengan jumlah kesalahan yang masih dapat diterima selama periode observasi yang dikenal dengan metode Likelihood Ratio (LR) test. Perbandingan nilai statistik likelihood ratio dengan nilai chi-squared dengan derajat bebas pada level yang diharapkan menjadi alat ujinya. Untuk itu, pengujian LR memiliki hipotesis sebagai berikut:
H0 : LR< Chi-Squared, permodelan diterima, backtesting teruji
Penelitian Terdahulu 1.2
Metode CreditRisk+ yang digunakan pada penelitian terdahulu digunakan untuk mengetahui nilai expected loss, unexpected loss dan economic capital pada portofolio kredit antara lain kartu kredit, kredit kecil, mikro, kendaraan bermotor dan kepemilikan rumah. Sejauh ini masih belum ada perhitungan segmen Kredit Tanpa Agunan yang dilakukan analisis menggunakan metode CreditRisk+ .
Hasil penelitian Kurniawan (2009) yang melakukan analisis perhitungan CreditRisk+ untuk kredit bisnis mikro pada bank rakyat Indonesia. Hasil
penelitian Kurniawan (2009), menunjukkan pengukuran risiko kredit bisnis mikro pada Bank Rakyat Indonesia dengan menggunakan model CreditRisk+
secara akurat dapat digunakan yang terlihat dari hasil pengujian validitas dengan backtesting.
Selain itu, Maelani (2010) yang melakukan pengukuran risiko kredit pada kredit pembiayaan kendaraan bermotor PT. X. Hasil pengujian model dengan menggunakan backtesting dan Likelihood Ratio, menunjukkan bahwa selama periode pengamatan jumlah kejadian yang merugikan PT.”X” dengan tingkat kerugian yang melebihi nilai VaR kredit pembiayaan kendaraan bermotor masih dibawah ambang batas jumlah kerugian yang dapat ditolerir. Dengan kata lain metode pengukuran risiko pembiayaan kendaraan bermotor dengan menggunakan CreditRisk+ dapat diterima dan cukup akurat untuk
Penelitian mengenai penerapan model CreditRisk+ juga dilakukan
oleh Fatimah (2012), dalam penelitiannya mengukur cadangan kerugian penurunan nilai dan risiko kredit kepemilikan rumah menggunakan metode CreditRisk+ pada Bank ABC menunjukkan bahwa metode CreditRisk+ valid
dalam mengukur risiko kredit pemilikan rumah dan nilai expected loss yang lebih kecil dibandingkan versi Bank Indonesia sehingga Bank ABC dapat memaksimalkan pencadangan modal untuk menutupi risiko kredit yang ada. Pada penelitian Sakti (2010), dalam mengukur risiko kredit usaha kecil pada Bank X menunjukkan hasil yang sama dengan Fatimah (2012).
Penelitian terbaru mengenai CKPN oleh Vanny Pratiwi (2015) menggunakan metode CreditRisk+ juga memberikan hasil CKPN yang lebih kecil
dengan perhitungan Bank XYZ sebelumnya. Hal ini berdampak terhadap optimalisasi penggunaan dana yang seharusnya dapat digunakan untuk kegiatan perbankan lainnya. Dengan perhitungan yang lebih efisien tentu bank dapat mengalokasikan dana dengan lebih maksimal guna pengembangan kredit UMKM yang menjadi objek peneliti.
Pada penelitian ini akan dilakukan perhitungan CKPN serta risiko Kredit Tanpa Agunan pada Bank XYZ menggunakan metode CreditRisk+.
Penelitian ini akan mengukur risiko kredit pada segmen KTA dengan range exposure dari Rp 10 juta sampai dengan Rp 250 juta. Penelitian ini menjadi hal baru dalam penelitian perhitungan CKPN mengenai kredit pada segmen Kredit Tanpa Agunan yang belum ada sebelumnya.
Tabel 1.6 Penelitian Terdahulu dari Tesis
No No.
Nama Peneliti dan Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode
1. Fatimah, Kristianti M. 2012.
Universitas Indonesia Pengukuran Cadangan Kerugian Penurunan Nilai dan Risiko Kredit Terhadap Kredit Pemilikan Rumah Pada Bank XYZ.
Mengukur cadangan yang dibentuk bank dari
nilai aktual kredit default CreditRisk+ 2. Iskandar, Rizaldy. 2011.
Universitas Indonesia Perhitungan Economic Capital akibat risiko kredit pada PT Toyota Astra Financial Services menggunakan metode CreditRisk+
Mengukur Economic Capital akibat dari Risiko Kredit pada PT Toyota Astra Financial menggunakan CreditRisk+
CreditRisk+ 3. Sakti, Hari. 2010. Universitas
Indonesia Aplikasi Metode CreditRisk+ dalam Pengukuran Risiko Kredit Usaha Kecil pada Bank X Mengukur risiko kredit usaha kecil di Bank X menggunakan metode CreditRisk+ CreditRisk+ 4. Kurniawan, Indra. 2009.
Universitas Indonesia Analisis Perhitungan CreditRisk+ Untuk Kredit Bisnis Mikro Pada Bank Rakyat Indonesia Mengukur risiko kredit dengan CreditRisk+ pada kredit mikro PT. BRI CreditRisk+ 5. Retno Gunarsih, Lydia. 2008.
Universitas Indonesia Analisis Pengukuran Risiko Kredit Konsumtif Dengan Metode CreditRisk+ Pada Bank X Meengukur risiko Kredit Konsumtif pada bank X menggunakan MetodeCreditRisk+ CreditRisk+ 6. Widayanti, Ira. 2010. Universitas
Indonesia Pengukuran Risiko Kredit Menggunakan Metode CreditRisk+ dengan Mempertimbangkan Variabel Makroekonomi.
Menghubungkan pengaruh risiko kredit
Tabel 1.7 Penelitian Terdahulu dari Jurnal Lokal
No. Nama Peneliti dan Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode
1. Savitri, Avriani O dan Nuzula Firdausi A 2014. Jurnal
Administrasi dan Bisnis. Vol.12.
No.1
Analisis Manajemen Risiko Kredit dalam Meminimalisir Kredit Bermasalah pada Kredit Usaha Rakyat
Menganalisis penerapan manajemen risiko kredit dalam meminimalisir kredit bermasalah pada KUR di Bank Jatim Cabang Mojokerto
CreditRisk+
2. Meilani, Any. 2010. Jurnal
Organisasi dan
Manajemen.No.2.Vol.6
Penerapan Metode CreditRisk+ dalam Pengukuran Risiko Kredit Kendaraan Bermotor (Kasus pada PT. X). Universitas Terbuka
Mengukur risiko kredit Kendaraan bermotor Dengan menggunakan metode CreditRisk+
CreditRisk+ 3. Anggita Setiastiningsih, Harjum
Muharam, Wisnu Mawardi. (2016). Jurnal eprints Undip.
Analisis Perbandingan Risiko Kredit Dengan Menggunakan Pendekatan Creditrisk+ Dan Pendekatan Standar
Mengukur jumlah expected loss dan unexpected loss dari Kredit Usaha Mikro Bank Mandiri jika menggunakan pendekatan model CreditRisk+.
CreditRisk+
4. Nursella dan
Ferry Idroes. (2013). Jurnal
Universitas Trisakti.
Analisa Perbandingan Tingkat Risiko Pembiayaan Murabahah Dengan Risiko Pembiayaan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah
(Studi Kasus Unit Usaha Syariah Bank X)
Untuk mengetahui perbandingan tingkat risiko pembiayaan murabahah, mudharabah, dan musyarakah dari tahun 2010 sampai 2012
CreditRisk+
5. Yudia Yustine, Abdul Hoyyi, Di Asih I Maruddani. JURNAL
GAUSSIAN, Volume 1, Nomor
1, Tahun 2012, Halaman 259-268
Pengukuran Probabilitas Kebangkrutan Dan Valuasi Obligasi Korporasi Dengan Metode Creditrisk+
Mengukur probabilitas kebangkrutan dan valuasi obligasi korpora
6. Sudiyatno, Jurnal Organisasi
dan Manajemen Vol 9, No 1
(2013)
Pengaruh Risiko Kredit Dan Efisiensi Operasional Terhadap Kinerja Bank (Studi Empirik Pada Bank Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)
Mengidentifikasi faktor mana, dari risiko kredit dan efisiensi operasi yang pengaruhnya lebih besar terhadap kinerja bank
Purposive sampling, regresi linier berganda
7. Mardi Mardi, Liya Faradila.
Jurnal Organisasi dan Manajemen. Vol 12, No 1 (2016)
Pengaruh Non Performing Loan (Npl) Dan Bunga Pinjaman Terhadap Tingkat Profitabilitas Bank Umum Swasta Nasional
menguji pengaruh yang disebabkan oleh Non Performing Loan (NPL) dan bunga pinjaman terhadap profitabilitas bank umum swasta nasional.
Random sampling
8. Ira Yunitasari. Jurnal Administrasi dan Bisnis Vol 26,
No 2 (2015)
Analisis Prosedur Pemberian Kredit Modal Kerja Dalam Usaha Mengantisipasi Kredit Bermasalah (Studi Pada Pt.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Jombang)
Mengantisipasi kredit bermasalah yang terjadi pada kredit modal kerja melalui pengawasan kredit dan prosedur pemberian kredit yang baik
Kualitatif - Wawancara
9. Tigor Sitorus. Jurnal Organisasi
dan Manajemen Vol 9, No 2
(2013)
Pengaruh Pengendalian Kualitas Kredit Terhadap Disfungsional Perilaku Petugas Kredit Dan Implikasinya Terhadap Kinerja Kredit
Mengembangkan model teoritis dan model empiris dari Kualitas Pengendalian Kredit berdasarkan Kekayaan Informasi untuk meningkatkan kinerja,
Structural Equation Modeling dan Analisis Jalur 10. Oktavia Anggra Dewi. Jurnal
Administrasi dan Bisnis Vol 9,
No 2 (2014)
Analisis Manajemen Kredit Guna Meminimalisir Kredit Bermasalah (Studi PADA Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Pancadana Batu)
Menganalisisi manajemen kredit guna meminimalisir kredit bermasalah.
Tabel 1.8 Penelitian Terdahulu dari Jurnal Internasional
No. Nama Peneliti dan Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode
1. Kollar, Boris dan Cisko, Stefan. 2014.
EDU Gait Press. Credit Risk Quantification with the Use of CreditRisk+ Memperkenalkan konsep dasar yang berhubungan dengan model CreditRisk+ CreditRisk+ 2. Vandendorpe et al.2008.. Insurance:
Mathematics and Economics. Vol.42, pp:
736-745
On The Parameterization of The CreditRisk+ Model For Estimating Credit Portofolio Risk
Menginvestigasi faktor yang terkait dengan
kredit bermasalah CreditRisk+
3. Annika Westphal. Int. J. Financial Stud.
2015, 3(3), 244-279 Systemic Risk in the European Union: A Network Approach to Banks’ Sovereign Debt Exposures.
Draws on network theory to investigate
European banks’ sovereign debt exposures CDS spreads 4. Szotek, Jakub. 2015. Ann. Univ.
Paedagog. Crac. Stud. Math. Vol.14,Pp.
37-46
Generalized CreditRisk+ Model and
Applications Memperlihatkan secara matematika model CreditRisk+ sebagai alat untuk menghitung risiko kredit dalam portofolio kredit
CreditRisk+
5. Klieṧtik, Tomǎṧ & Cȗg, Juraj. 2015. Procedia Economic and Finance. Pp. 256-361
Comparison of Selected Models of
Credit Risk Melihat perbedaan antara moel-model dalam pengukuran risiko kredit yaitu sbb: 1. Merton model 2. Credit Metrics 3. CreditRisk+ 4. Credit Grades 1. Merto model 2. Credit Metrics 3. CreditRisk+ 4. Credit Grades
No. Nama Peneliti dan Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode 6. Kollǎr, Boris & Gondẑǎrovǎ, Barbora.
2015. Procedia Economic an Finance. Vol. 23 (2015), Pp. 341-347
Comparison of Curent Credit Risk
Models Membandingkan karakteristik dasar dari tiga model risiko kredit yang biasa digunakan 1. KMV 2. Credit Metrics 3. CreditRisk+ 7. Spuchl’akova, Erika & Cȗg, Juraj. 2015.
Procedia Economic and Finance. Vol
23. Pp. 439-444
Credit Risk and LGD Modelling Melakukan identifikasi terhadap karakteristik
LGD LGD Modelling
8. Nystrӧm, Kaj &Skoglund,Jimmy. 2006.Journal Banking& Finance. Vol 30. Pp. 2163-2197
A Credit Risk Modelfor Large Dimensional Portfolios with Application to Economic Capital
Pendekatan dilakukan dengan menggunakan konsep economic capital yang berdasarkan teori risiko dan proses risko
Terdapat 3
substansiportfolio model: 1. Migrasistokasitik 2. Proses recovery 3. Struktur arus kas
kredit 9. Miṧǎnkovǎ,Maria.,Kočiṧovǎ, Katarina &
Klieṧtik. Tomǎṧ.2014.8th. International
Scientific Conference
Comparison of Merton’s Model, Black
and Cox Model and KMV Model Membandingkan Model pengukuran risiko kredit Melihat perbandingan antara model: 1. Merton model 2. Balck and Cox
model 3. KMV model 10. Buc, Daniel. 2013. TRANSCOM 2013 Calculation methods for VaR Model VaR dilakukan untuk mengestimasi
asumsi modal, alokasi dari investasi, evaluasi individual debitur, informasi operational, manajemen risiko keuangan, dan integrasi beberapa tipe risiko
Penentuan nilai VaR dilakukan dengan cara;
1. Metode variance dan co variance 2. Metode simulasi
historis
No. Nama Peneliti dan Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode 11 Asevani, Renzo. G; Liu Kexue;
Mirestean, Ali and Salvati, Jean. (2006). Riview and implementation of Credit risk models of the financial sector assessment program.
Manajemen Risiko CreditRisk
12 Saunders, Anthony and Cornett,
Marcia Millon. (2007). Risk management, financial markets and institutions, an introduction to the risk management approach. Third Edition, Mc Graw Hill.
Manajemen Risiko Management approach
13 Gavalas, Dimitris dan Theodore Syriopoulos. Int. J. Financial Stud. 2014, 2(1), 122-143
Bank Credit risk Management and Rating Migration Analysis on the Business Cycle
The empirical findings are useful and critical for banks to align to Basel guidelines in relation to core capital requirements and risk-weighted assets in the underlying loan portfolio
Credit rating migration
14 Muhsin Kar , Tayfur Bayat and Selim
Kayhan. (2016). 4, 14. Impacts of Credit Default Swaps on Volatility of the Exchange Rate in Turkey: The Case of Euro
Investigate the impacts of credit default swaps
(CDS) Rolling windows causality
15 Mehdi Khashei and Akram Mirahmadi.
Kerangka Pemikiran 1.3
Peraturan Bank Indonesia menjadi dasar penyusunan penelitian dimana BI menyatakan bahwa setiap bank harus melakukan penyisihan aktiva produktif dalam memitigasi risiko kredit yang mungkin terjadi. Penyisihan aktiva produktif diganti menjadi cadangan kerugian penurunan nilai sebagai revisi dari PSAK 55 tahun 2006. Dalam metode perhitungan CKPN oleh Bank Indonesia sebagai regulator tidak ditetapkankan apa metodenya, sehingga memungkinkan setiap bank memiliki kebijakan sendiri dalam pemilihan cara perhitungannya. Pemilihan metode yang tepat menjadi sangat penting untuk dapat membantu bank dalam memaksimalkan cadangan yang harus disisihkan dalam menutupi risiko kredit yang ada. CreditRisk+ menjadi metode pilihan pada penelitian ini dalam perhitungan CKPN dan risiko kredit. Digunakan data bulanan portofolio kejadian gagal bayar debitur untuk fasilitas kredit tanpa agunan pada Bank XYZ periode Januari 2013 sampai dengan Desember 2015. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.2 serta skema dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.3
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
Penyaluran Kredit
Kredit Lancar Kredit Default (NPL)
Risiko Kredit (Gagal Bayar)
Metode CreditRisk+
Probability of Default
Unexpected Loss Economic Capital
CKPN CreditRisk+ CKPN Bank X
Perbandingan Nilai
Lebih Besar/Kecil?
Uji bactesting dan loglikehood test
Gambar 1.3 Alur Penelitian
Mulai Pengumpulan Data
Penyusunan Band
Penyusunan Exposure at Default per Band
Penentuan Recovery Rate
Perhitungan Loss Given Default
Perhitungan Unexpected Number of Default Perhitungan Default
Rates/Number of Default
Perhitungan Cum. Probability of Default
Perhitungan Probability of Default
Perhitungan Expected Loss Perhitungan Unexpected Loss
Perhitungan Economic Capital
Validasi Model dan Backtesting
Kesimpulan dan Saran