• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ampas Tebu sebagai Adsorbent pada Proses Pretreatment Minyak Jelantah terhadap Karakteristik Biodiesel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Ampas Tebu sebagai Adsorbent pada Proses Pretreatment Minyak Jelantah terhadap Karakteristik Biodiesel"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak—Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh ampas tebu pada proses pretreatment minyak jelantah terhadap karakteristik biodiesel. Proses pretreatment dilakukan sebelum minyak jelantah diolah menjadi biodiesel, yakni ampas tebu dengan ukuran partikel dan massa yang bervariasi direndam pada minyak tersebut selama 2 jam. Ukuran partikel ampas tebu yang digunakan adalah 80, 115, 170, dan 200 mesh, sedangkan massa ampas tebu divariasi untuk tiap ukuran partikel yaitu 25 gram, 37,5 gram, dan 50 gram. Penggunaan ampas tebu sebagai adsorbent dinilai cukup efektif menurunkan kadar asam lemak bebas (FFA) minyak jelantah dengan penurunan terbesar 57,3% terjadi pada minyak jelantah yang telah mengalami pretreatment ampas tebu berukuran partikel 200 mesh sebanyak 50 gram. Biodiesel dibuat dengan mereaksikan minyak jelantah yang telah mengalami pretreatment ampas tebu dengan lauratan Methanol dan Kalium Hidroksida (KOH) selama 1 jam pada suhu 55oC. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa massa jenis, titik nyala, titik kabut, dan titik tuang biodiesel telah memenuhi standar SNI-04-7182-2006 kecuali sampel yang mengalami pretreatment dengan ampas tebu 80 mesh sebanyak 25 gram. Sedangkan viskositas kinematik terdapat 5 sampel yang memenuhi untuk standar yang sama.

Kata Kunci—ampas tebu, biodiesel, FFA, minyak jelantah.

I. PENDAHULUAN

NERGI merupakan salah satu aspek penggerak di beberapa sektor kehidupan. Sumber energi terbesar yang digunakan di banyak negara di dunia, terutama Indonesia berasal dari bahan bakar minyak (BBM). Data statistik minyak Indonesia tahun 2011 dalam Investment and Taxation Guide– May 2012 [1], dipaparkan bahwa Indonesia mempunyai cadangan minyak sebesar 4,04 milyar barel dan total produksi crude oil sebesar 902 ribu barel per hari. Berdasarkan data tersebut, dapat diperkirakan bahwa 13 tahun mendatang (terhitung sejak 2011) Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak jika tidak bijak dalam pemanfaatan minyak. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian penelitian lebih lanjut tentang energi alternatif, salah satunya biodiesel.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 tercatat produksi tahunan kelapa sawit sebesar 14.632.400 ton yang tahun sebelumnya sebesar 14.038.100 ton. Peningkatan produksi tersebut mengindikasikan tingginya konsumsi akan minyak sawit. Tingginya konsumsi minyak sawit tentu menyisakan limbah akibat pemakaian (penggorengan) berupa minyak jelantah. Mengingat besarnya potensi akan minyak

jelantah di Indonesia maka dilakukan pemanfaatan jelantah tersebut sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Beberapa penelitian tentang pembuatan biodiesel dari minyak jelantah telah dilakukan dengan berbagai metode akan tetapi dalam metodenya tidak banyak yang melakukan pretreatment terhadap minyak tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pretreatment minyak jelantah untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas (FFA) menggunakan ampas tebu sebagai bahan penyerap (adsorbent) dengan harapan dapat memperbaiki kualitas biodiesel yang dihasilkan. Selama pengerjaan penelitian ditemukan permasalahan yaitu bagaimana pengaruh ampas tebu terhadap karakteristik biodiesel (massa jenis, viskositas, titik nyala, titik kabut, dan titik tuang) yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampas tebu dalam proses pretreatment minyak jelantah terhadap massa jenis, viskositas, titik nyala, titik kabut, dan titik tuang dari biodiesel yang dihasilkan.

II. URAIANPENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam bentuk eksperimen melalui beberapa tahapan, yakni penyiapan bahan, pretreatment minyak jelantah, pembuatan lauratan lye dan transesterifikasi, purifikasi, pengujian sampel, dan analisis data.

A. Bahan dan Alat

Bagian daging ampas tebu yang telah dikeringkan, dihaluskan dan diayak menjadi 4 (empat) variasi ukuran partikel, yaitu 180 µm (80 mesh), 125 µm (115 mesh), 90 µm (170 mesh), dan 75 µm (200 mesh). Sedangkan massa ampas tebu divariasi menjadi 5%, 7,5%, dan 10% dari volum minyak jelantah yang digunakan [9]. Selain ampas tebu, keseluruhan bahan lain yang diperlukan antara lain: minyak jelantah, ethanol 95%, larutan NaOH 0,05 M, indikator PP, KOH, dan metanol. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain: magnetic stirrer, pengayak, neraca digital, dan termometer digital.

B. Proses Pretreatment Minyak Jelantah

Minyak jelantah terlebih dahulu disaring dan dipanaskan. Untuk memudahkan penyaringan, minyak tersebut dipanaskan kemudian disaring dengan kain kasa. Selanjutnya dilakukan analisis awal terhadap minyak tersebut untuk mengetahui

Pengaruh Ampas Tebu sebagai Adsorbent pada

Proses Pretreatment Minyak Jelantah terhadap

Karakteristik Biodiesel

Ratno, Lizda Johar Mawarani, dan Zulkifli

Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111

E-mail: lizda@ep.its.ac.id

(2)

kadar asam lemak bebas (FFA) minyak jelantah yang akan jadikan biodiesel. Kadar FFA minyak jelantah dapat dihitung menggunakan persamaan (1). Minyak jelantah tersebut kemudian ditakar 500 mL menggunakan gelas ukur. Selanjutnya ampas tebu yang telah disiapkan sebelumnya direndamkan dalam minyak jelantah selama 120 menit. Campuran ampas tebu dan minyak jelantah kemudian disaring dan diperas hingga dapat dipisahkan antara minyak jelantah dan ampas tebu. Minyak yang telah direndam tersebut dihitung kadar FFA untuk mengetahui penurunan kadar FFA setelah dilakukan pretreatment. Perhitungan kadar FFA dilakukan menggunakan persamaan (1).

C. Pembuatan Biodiesel

Larutan Lye dibuat dengan mencampurkan 15 gram KOH ke dalam wadah (beaker) yang berisi 625 ml methanol. Selanjutnya disiapkan minyak jelantah yang telah mengalami pretreatment ke dalam beaker 1 liter dan dipanaskan pada suhu 100oC menggunakan hot plate pada unit magnetic stirrer hingga termometer yang telah diletakkan dalam minyak tersebut mencapai suhu 55oC. Larutan lye sebanyak 20% dari volum minyak dilarutkan kedalam beaker yang berisi minyak jelantah sedikit demi sedikit kemudian ditutup rapat menggunakan plastik perekat. Putaran pengadukan magnetic stirrer dipertahankan konstan selama 1 jam. Larutan tersebut didiamkan selama 8 jam dan tampak 2 jenis cairan dengan warna yang berbeda pada bagian atas dan bawah beaker. Bagian bawah adalah gliserol yang merupakan hasil samping dari proses transesterifikasi, sedangkan bagian atas merupakan crude biodiesel. Pemisahan kedua larutan tersebut dilakukan dengan mengalirkan crude biodiesel ke dalam wadah lain hingga hanya bersisa gliserol.

Tahap berikutnya adalah purifikasi. Purifikasi dilakukan untuk menghilangkan sisa gliserol yang masih tercampur, dan sisa-sisa bahan kimia yang gagal bereaksi dalam proses transesterifikasi. Purifikasi dilakukan dengan mencampurkan aquades sebanyak 30% dari volume crude biodiesel yang dihasilkan ke dalam beaker [1]. Diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit pada suhu 30oC dan didiamkan selama 4 jam. Aquades dan bahan-bahan lain akan terpisah yang ditandai dengan warna putih dengan endapan pada bagian dasar beaker, sedangkan pada bagian atas endapan tersebut merupakan methyl ester (biodiesel yang diinginkan). Biodiesel dipisahkan dari endapan putih tersebut dengan cara disaring menggunakan kertas saring. Untuk mengurangi sisa kadar air, biodiesel dipanaskan kembali pada suhu 120oC selama 5 menit [1].

D. Pengujian Sampel

Pengujian sampel meliputi uji FFA minyak jelantah setelah di-pretreatment, massa jenis, viskositas, titik nyala, titik kabut, dan titik tuang biodiesel yang dihasilkan. Untuk mengetahui kadar FFA merujuk ke persamaan (1).

% 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 =1000 𝑥𝑥 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑁𝑁𝑔𝑔 𝑠𝑠𝑁𝑁𝑔𝑔𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑁𝑁𝑠𝑠𝑠𝑠𝑁𝑁 ℎ𝑀𝑀.𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑥𝑥 𝑉𝑉.𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑥𝑥 𝐵𝐵𝑀𝑀 𝑥𝑥 100 % (1) Dimana M.NaOH menyatakan molaritas NaOH (Molar), V.NaOH menyatakan volum NaOH (mL), dan BM menyatakam berat molekul Asam Palmitat (256 gr/mol).

Kadar FFA diperoleh melalui pelarutan 15 gram minyak jelantah yang telah mengalami pretreatment dengan 25 mL ethanol 95 % dalam beaker, kemudian dipanaskan. Setelah itu ditambahkan indikator PP dan dititrasi dengan NaOH 0,05 M hingga terbentuk warna merah muda dan tidak berubah warna selama 30 detik, kemudian dicatat volum NaOH yang diperlukan dan dilakukan perhitungan.

III. HASILDANDISKUSI A. Pengaruh Ampas Tebu terhadap Kadar FFA

Kadar FFA dihitung dengan merujuk pada persamaan (1). Sebelum dilakukan pretreatment minyak jelantah diukur terlebih dahulu dan didapatkan kadar FFA sebesar 0,1%. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada massa ampas tebu yang sama untuk masing-masing variasi ukuran partikel terjadi kecenderungan penurunan kadar FFA seiring dengan semakin kecil ukuran partikel ampas tebu. Hal ini membuktikan bahwa semakin kecil ukuran partikel sampel yang direndamkan ke dalam minyak jelantah maka semakin kecil kadar FFA yang terkandung dalam minyak tersebut dan sebaliknya. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa pada masing-masing ukuran partikel, baik 80 mesh, 115 mesh, 170 mesh maupun 200 mesh terjadi kecenderungan penurunan kadar FFA seiring dengan penambahan massa ampas tebu. Kadar FFA terkecil didapat pada sampel dengan massa 50 gram untuk setiap variasi ukuran partikel, sedangkan kadar FFA terbesar didapat pada sampel dengan massa 25 gram untuk setiap variasi ukuran partikel ampas tebu. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak massa ampas tebu yang direndamkan dalam minyak jelantah maka kadar FFA dalam minyak tersebut semakin berkurang.

Telah diketahui dalam penelitian sebelumnya bahwa terdapat senyawa selulosa dan lignin dalam ampas tebu dengan kadar masing-masing sebesar 32,1% dan 25,1% sehingga ampas tebu efektif digunakan sebagai adsorben dimana yang berperas adalah gugus OH yang terikat pada senyawa selulosa dan lignin tersebut [3]. Diketahui pula bahwa jika senyawa trigliserida bereaksi dengan air maka akan terbentuk FFA, FFA tersebut dituliskan sebagai RCOOH. RCOOH merupakan rumus senyawa asam karboksilat. Merujuk pada penelitian yang dilakukan sebelumnya [3], jika RCOOH tersebut direaksikan dengan gugus OH yang terdapat pada ampas tebu maka atom H dari senyawa tersebut akan bereaksi dengan dengan menghasilkan senyawa RCOO dan H2O (air). Oleh karena itu ketika dilakukan uji kadar FFA

minyak jelantah yang telah mengalami pretreatment, didapatkan kadar FFA yang lebih kecil daripada kadar FFA sebelum dilakukan pretreatment menggunakan ampas tebu. Hal ini memperkuat penelitian sebelumnya terkait kegunaan ampas tebu untuk mengurangi kadar FFA.

Tabel 1 menunjukkan perbandingan penelitian-penelitian sebelumnya terkait efektifitas penggunaan ampas tebu sebagai adsorbent terhadap penurunan kadar FFA. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aster [4] dan Marta [7]. Persentase penurunan kadar FFA tersebut jauh lebih kecil. Dalam penelitian Aster [4] dan Marta [7] ampas tebu mampu mengurangi kadar FFA hingga 73,48% dengan waktu perendaman 10 hari. Perbedaan hasil ini dikarenakan waktu

(3)

perendaman yang berbeda yaitu dalam penelitian ini digunakan waktu perendaman 2 jam sedangkan Aster dan Marta menggunakan waktu perendaman 10 hari. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mutia [5] dan Fitri [6], persentase penurunan kadar FFA sedikit lebih baik. Penelitian ini mampu menurunkan kadar

FFA hingga 57,3%, sementara Mutia dan Fitri masing-masing mampu menurunkan kadar FFA sebesar 53,86% dan 19,3%. B. Karakteristik Biodiesel

Adapun hasil karakterisasi biodiesel berbahan dasar minyak jelantah setelah dilakukan pengujian, sebagai berikut.

Massa jenis biodiesel

Gambar 3 menunjukkan bahwa sampel dengan ukuran partikel 80 mesh hingga 200 mesh mempunyai trend yang hampir sama di mana nilai massa jenis terbesar semuanya diperoleh pada sampel bermassa 37,5 gram. Massa jenis terbesar didapat pada sampel ukuran partikel 115 mesh dengan massa ampas tebu sebesar 37,5 gram. Sedangkan massa jenis terkecil didapat oleh sampel bermassa 50 gram untuk semua ukuran partikel. Jika dilihat secara keseluruhan, tidak terdapat nilai massa jenis yang mencolok untuk semua sampel biodiesel yaitu hanya berada pada rentang 850 hingga 866 kg/m3 yang menunjukkan bahwa hasil ini telah memenuhi standar SNI 04-7182-2006 [2].

Telah didapatkan pada pembahasan point (A) di atas bahwa ukuran partikel dan massa ampas tebu dapat menurunkan kadar FFA. Penurunan kadar FFA ditandai dengan degradasi rantai karbon dari asam lemak menjadi lebih pendek akibat bereaksi dengan methanol dalam proses transesterifikasi sehingga secara tidak langsung penurunan kadar FFA dapat menurunkan nilai massa jenis biodiesel yang dihasilkan. Massa jenis terbesar dicapai oleh sampel ampas tebu 200 mesh sebanyak 50 gram. Hal ini selaras dengan hasil pengujian kadar FFA bahwa persentase penurunan kadar FFA terbesar juga didapat oleh sampel ampas tebu 200 mesh sebanyak 50 gram. Hal ini membuktikan bahwa kadar FFA mempengaruhi nilai massa jenis dari biodiesel.

Viskositas biodiesel

Secara keseluruhan setelah dilakukan uji viskositas, sampel biodiesel yang telah memenuhi standar SNI 04-7182-2006 [2] berjumlah 5 buah, yaitu sampel 115 mesh-25 gram, 115 mesh-50 gram, 170 mesh-37,5 gram, 170 mesh-50 gram, dan 200 mesh-37,5 gram. Viskositas terendah dan tertinggi dicapai oleh sampel 115 mesh-50 gram dan 115 mesh-37,5 gram dengan nilai viskositas masing-masing 5.37 cSt dan 8.37 cSt.

Gambar 3 menunjukkan bahwa semua sampel biodiesel yang telah diuji mempunyai trend garis yang hampir sama kecuali pada sampel yang diberi perlakuan ampas tebu 115 mesh dengan massa 37,5 gram yang mempunyai viskositas tertinggi sebesar 8,37 cSt. Hal ini dimungkinkan karena kesalahan teknis pengukuran yaitu fluida uji (biodiesel) dalam viskometer belum mencapai suhu standar uji 40oC. Merujuk pada penelitian sebelumnya [8] bahwa kenaikan suhu biodiesel menyebabkan penurunan viskositas secara nonlinier, artinya peningkatan suhu pada biodiesel dapat menurunkan viskositas. Oleh karena itu ketika suhu sampel biodiesel saat pengujian belum mencapai standar 40oC, maka nilai viskositas biodiesel yang terukur menjadi menjadi tinggi.

Viskositas biodiesel berkorelasi dengan rantai karbon asam lemak yang terdapat pada sampel biodiesel. Nilai viskositas meningkat seiring peningkatan panjang rantai asam lemak [4]. Jadi viskositas semakin kecil jika panjang rantai karbon semakin pendek. Jika rantai karbon semakin pendek dapat dikatakan bahwa tingkat ketidakjenuhan semakin besar. Gambar 1. Pengaruh ukuran partikel dan massa ampas tebu terhadap kadar

FFA minyak jelantah.

Gambar 2. Pengaruh massa dan ukuran partikel ampas tebu terhadap massa jenis biodiesel

Tabel 1.

Perbandingan Penelitian terkait Penggunaan Ampas Tebu sebagai Adsorbent Peneliti Ukuran Partikel (mesh) Massa Ampas (gram) Lama Rendam % Penuruna n FFA Aster UnAnd [7] 80 5 10 hari 73,48 Mutia UnAnd [8] 80 3 10 hari 53,86 Fitri UnAnd [9] 80 7 10 hari 19,3 Marta UnAnd [10] 100 5 10 hari 79,02

Ratno ITS (penelitian ini) 80 25 2 jam 14,7 115 23,2 170 31,7 200 40,3 80 37,5 2 jam 23,2 115 31,7 170 40,3 200 48,8 80 50 2 jam 40,3 115 40,3 170 48,8 200 57,3

(4)

Sementara itu tingkat ketidakjenuhan minyak ditandai dengan kadar asam lemak bebas (FFA), semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan minyak maka dapat diketahui kadar FFA dalam minyak tersebut rendah. Jika gambar 4 dikaitkan dengan pengaruh ukuran partikel dan massa ampas tebu terhadap kadar FFA minyak kemudian dihubungkan dari kadar FFA dikaitkan dengan viskositas biodiesel, seharusnya nilai viskositas terendah dicapai oleh sampel 200 mesh-50 gram.

Gambar 5. Pengaruh ukuran partikel ampas tebu pada massa 50 gram terhadap titik nyala, titik kabut, dan titik tuang biodiesel.

Akan tetapi, setelah dilakukan pengujian, nilai viskositas terendah dicapai oleh sampel 115 mesh-50 gram. Hal ini terjadi kerena sampel 200 mesh-50 gram mempunyai tingkat ketidakjenuhan yang rendah sehingga nilai viskositas yang didapatkan lebih tinggi dari pada sampel 115 mesh-50gram. Tingkat ketidakjenuhan yang rendah ini terjadi akibat proses transesterifikasi yang kurang sempurna, yaitu trigliserida tidak seluruhnya bereaksi dengan methanol. Methanol lebih dulu menguap sebelum bereaksi dengan trigliserida sehingga masih terdapat sisa asam lemak (trigliserida) yang tidak bereaksi akibatnya nilai viskositas menjadi tinggi.

Secara umum jika dikaitkan dengan berat molekul dan tingkat ketidakjenuhan, nilai massa jenis dan viskositas mempunyai hubungan yang liniear artinya jika massa jenis meningkat maka viskositas juga meningkat dan sebaliknya. Viskositas semakin besar jika berat molekul asam lemak meningkat dan semakin kecil jika tingkat ketidakjenuhan asam lemak semakin besar [5]. Hubungan tersebut diperlihatkan pada gambar 4, terlihat bahwa massa jenis dan viskositas mempunyai kecenderungan menurun seiring dengan semakin kecil ukuran partikel ampas tebu.

Titik Nyala, Titik Kabut, dan Titik Tuang Biodiesel

Secara keseluruhan, interpretasi pengaruh ukuran partikel dan massa ampas tebu terhadap titik nyala, titik kabut, dan titik tuang ditunjukkan pada tabel 2 berikut ini, sedangkan interpreasi tabel 2 dalam bentuk grafik diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada massa ampas tebu 50 gram secara keseluruhan terdapat penurunan titik nyala, titik kabut, dan titik tuang seiring dengan semakin kecil ukuran partikel ampas tersebut meskipun tidak terlihat penurunan yang signifikan pada titik kabut dan titik nyala. Akan tetapi, pengujian titik nyala biodiesel yang telah mengalami pretreatment dengan ampas tebu menunjukkan penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan biodiesel yang tanpa pretreatment, yakni hasil terbaik dengan selisih nilai titik nyala sebesar 15,8oC.

Titik nyala biodiesel

Secara keseluruhan titik nyala telah memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006 [2] dan didapatkan titik nyala dengan range Gambar 3. Pengaruh ukuran partikel dan massa ampas tebu terhadap

viskositas biodiesel.

Gambar 4. Pengaruh ukuran partikel ampas tebu terhadap masssa jenis dan viskositas biodiesel.

Tabel 2.

Pengaruh Ukuran Partikel dan Massa Ampas Tebu terhadap Titik Nyala, Titik Kabut, dan Titik Tuang Biodiesel

Ukuran Partikel (Mesh) Massa Sampel (gr) Flash Point (oC) Titik Kabut (oC) Titik Tuang (oC) Tanpa pretreatment 186 15 10,7 80 25 182.7 18.4 9.6 115 176.3 16.2 8.6 170 172.3 16.2 7.4 200 173.5 16.5 7.2 80 37.5 181.2 17.5 8.3 115 175.4 16 7.5 170 172.6 15.4 6.8 200 174.4 15.5 6.7 80 50 176.9 16.2 7.6 115 176.3 15.6 6.7 170 173.9 15.7 6.5 200 170.2 15.4 6.3

(5)

170 hingga 184oC. Titik nyala terbaik dicapai pada sampel berukuran 200 mesh-massa 50 gram dan titik nyala terburuk dicapai pada sampel berukuran 80 mesh dengan massa 25 gram. Pembahasan (A) diketahui bahwa penurunan kadar FFA terbesar didapat pada biodiesel yang telah diberi perlakuan massa ampas tebu 50 gram. Kadar FFA berbanding terbalik dengan tingkat ketidakjenuhan biodiesel. Ketidakjenuhan tinggi jika kadar FFA rendah. Oleh karena itu Semakin rendah kadar FFA dalam biodiesel, maka titik nyala yang didapatkan pada biodiesel semakin tinggi. Sebaliknya trend naik yang terjadi pada sampel 115 dan 170 mesh terjadi pada massa 50 gram. Sementara itu kondisi titik nyala yang dikehendaki adalah semakin rendah, atas dasar bahwa semakin kecil ukuran partikel dapat menurunkan kadar FFA sehingga titik nyala biodiesel semakin rendah. Akan tetapi, pada biodiesel yang telah diberi perlakuan ampas tebu 200 mesh-25 gram dan 37,5 gram, titik nyala semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena methanol tidak sempurna bereaksi dengan trigliserida sehingga terdapat rantai dari asam lemak yang menempel pada trigliserida, akibatnya titik nyala biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi.

Titik kabut biodiesel

Gambar 5 juga menginterpretasikan pengaruh ukuran partikel ampas tebu pada massa 50 gram terhadap titik kabut biodiesel. Sebagian besar sampel biodiesel telah memenuhi standar titik kabut yang telah ditetapkan oleh SNI 04-7182-2006 [2] kecuali pada sampel 80 mesh dengan massa 25 gram. Dari ketiga variasi ukuran partikel dan massa ampas tebu yang digunakan, secara keseluruhan hasil terbaik diperoleh sampel berukuran partikel 200 mesh dan sampel yang bermassa 50 gram untuk masing-masing variasi.. Sedangkan hasil terburuk dicapai oleh sampel berukuran partikel 80 mesh dan bermassa 25 gram untuk masing-masing variasi.

Ditinjau dari kondisi optimum dan minimum untuk keseluruhan variasi, titik kabut tertinggi diperoleh pada biodiesel yang telah direndamkan sampel 80 mesh bermassa 25 gram dan terendah dicapai pada sampel dengan ukuran partikel 170 mesh bermassa 37,5 gram yang masing-masing mempunyai titik kabut sebesar 18,4oC dan dan 15,4oC. Setiap variasi massa tampak mengalami penurunan titik kabut secara eksponensial seiring dengan penurunan ukuran partikel ampas tebu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa penggunaan ampas tebu dengan ukuran partikel yang semakin kecil dan massa yang semakin besar dapat menurunkan titik kabut biodiesel. Penurunan titik kabut ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan lilin pada biodiesel sehingga titik kabut menjadi semakin rendah. Berdasar data eksperimen, secara tidak langsung penggunaan ampas tebu dapat mengurangi kandungan lilin dalam biodiesel. Semakin besar ampas tebu dan semakin kecil ukuran partikel ampas tebu, maka penurunan kandungan lilin dalam biodiesel juga semakin besar. Oleh karena itu titik kabut biodiesel semakin rendah akibat penambahan ampas tebu.

Titik tuang biodiesel

Pada Gambar 5 di atas diperlihatkan pengaruh ukuran partikel ampas tebu pada massa 50 gram terhadap titik tuang biodiesel. Secara keseluruhan, biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar SNI 04-7182-2006 [2]. Terlihat hubungan

yang mendekati linier antara massa ampas tebu dengan titik tuang biodiesel. Semakin kecil dan semakin besar massa ampas tebu yang digunakan maka titik tuang biodiesel yang dihasilkan semakin rendah. Titik tuang terbesar dicapai oleh sampel 80 mesh bermassa 25 gram dan terkecil dicapai oleh sampel 200 mesh bermassa 50 gram. Berdasarkan data-data ini dapat disimpulkan bahwa sampel yang telah diberi perlakuan ampas tebu 200 mesh bermassa 50 gram mempunyai kandungan lilin yang rendah sehingga titik tuang dari biodiesel yang dihasilkan juga rendah. Sebaliknya sampel yang telah diberi perlakuan ampas tebu 80 mesh bermassa 25 gram mempunyai kandungan lilin yang tinggi sehingga titik tuang biodiesel yang dihasilkan juga tinggi.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Ukuran partikel dan massa ampas tebu berpengaruh terhadap penurunan kadar FFA minyak jelantah. Massa ampas tebu memberikan pengaruh lebih besar daripada ukuran partikel.

2. Semua sampel biodiesel yang telah diuji memenuhi standar SNI-04-7182-2006 dalam hal massa jenis, titik nyala, titik kabut, dan titik tuang kecuali pada sampel yang telah mengalami pretreatment dengan ampas tebu berukuran 80 mesh sebanyak 25 gram. Didapatkan nilai terendah untuk ketiga parameter tersebut dengan nilai masing-masing sebesar 850 kg/m3, 170,2oC, 15,4oC, dan 6,3oC sedangkan nilai tertinggi masing-masing sebesar 863 kg/m3, 182,7oC, 18,4oC, dan 9,6oC.

3. Viskositas biodiesel berkisar antara 5,37-8,37 cSt didapatkan oleh 5 dari 12 sampel yang memenuhi standar SNI-04-7182-2006.

DAFTARPUSTAKA

[1] Sulistyo, Budi. (2008, August 23). Biodiesel Minyak Jelantah. Accesed April, 3th 2013 at 11:45 am.

< http://biodieselminyakjelantah.blogspot.com/2008/08/biodiesel-minyak-jelantah.html>

[2] SNI 04-7182-2006. “Biodiesel”. Badan Standarisasi Nasional.

[3] Tomi, Z.B. 2010. “Analisis Senyawa Selulosa dan Licnin dalam AmpAs Tebu”. Kimia FMIPA - Universitas Andalas.

[4] R. Aster. 2008. “Studi Penggunaan Ampas Tebu untuk Meningkatkan Kualitas Minyak Jelantah”. Skripsi Sarjana Kimia.

[5] Mutia, Qori. 2010. “Pengaruh Massa Adsorben Ampas Tebu Terhadap Penurunan Bilangan Asam Dan Minyak Pelikan Dalam Minyak Goreng Bekas Pakai Penggorengan Ayam”. Kimia FMIPA - Universitas Andalas.

[6] Fitri, Dina. 2010. ” Pengaruh Massa Tebu pada Minyak Bekas Penggorengan Tahu terhadap Warna, Bau, Kadar Air, dan Bilangan Asam”. Kimia FMIPA - Universitas Andalas.

[7] Yuanda, Veri Marta. 2010. “Pengaruh Ukuran Partikel Ampas Tebu pada Penyerapan Minyak Bekas Penggorengan Ayam Ditinjau dari Parameter Warna, Bau, Kadar Air, dan Bilangan Asam”. Kimia FMIPA - Universitas Andalas.

[8] Oluwafunmilayo, dkk. 2012. “A Laboratory Study of the Effect of Temperature on Densities and Viscosities of Binary and Ternary Blends of Soybean Oil, Soy Biodiesel and etroleum Diesel Oil”. Advances in Chemical Engineering and Science, 2012, 2, 444-452. Nigeria.

[9] Wijayanti, Ria. 2009. “Arang Aktif Dari Ampas Tebu sebagai Adsorben pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas”. Kimia FMIPA - IPB

Gambar

Gambar  3  menunjukkan bahwa sampel dengan ukuran  partikel 80 mesh hingga 200 mesh mempunyai trend  yang  hampir sama di mana nilai massa jenis terbesar semuanya  diperoleh pada sampel bermassa 37,5 gram
Gambar 5. Pengaruh ukuran partikel ampas tebu pada massa 50 gram terhadap  titik nyala, titik kabut, dan titik tuang biodiesel

Referensi

Dokumen terkait

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara lebih berorientasi pada pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, melakukan penelitian- penelitian yang bermanfaat

Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan variasi jarak kaca yang efektif pada alat destilasi air laut dengan memanfaatkan energi matahari menggunakan kolektor plat datar.. Metode

Menjelaskan Klasifikasi bangsa Geraniales, Malphiales, Polygalales, Rutales, Sapindales, Balsaminales, Rhamnales, Celestrales, Umbelliflorae, Plumbaginales beserta contohnya

Dalam hal pembelian Unit Penyertaan PANIN DANA SYARIAH SAHAM dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan secara berkala sesuai dengan ketentuan butir 13.3 Prospektus,

Gayut dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka pengertian revolusi Soekarno dalam delapan pidato yang dianalisis dapat didefinisikan sebagai perubahan yang bersifat fundamental

Analisa sistem pada yang berjalan bertujuan untuk mengidentifikasi serta melakukan evaluasi terhadap Sistem Pencarian Jalur Terpendek Penjualan Sepeda Motor Bekas Dengan

Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan, pengguna pengobatan tradisional sebanyak 34.5%, jenis obat tradisional yang paling banyak digunakan yaitu menggunakan

Ada enam model yang berbeda yaitu kurikulum 2004 dan 2009, pada setiap kurikulum dipisahkan menjadi tiga yaitu mahasiswa dengan predikat terpuji, sangat memuaskan