PENGGUNAAN TUMBUHAN
SEBAGAI BIOINDIKATOR
DALAM PEMANTAUAN
PENCEMARAN UDARA
Nama Mahasiswa
: AndikaWijaya K.
NRP
: 3307 100 081
Jurusan
: Teknik Lingkungan
Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Wahyono
Hadi, M.Sc, PhD
AbstrakKualitas udara ambien di beberapa kota di Indonesia pada umumnya menunjukkan kondisi yang semakin buruk dari tahun ke tahun. Hal itu menyebabkan banyak kerugian bagi manusia, baik dalam hal penurunan kesehatan hingga kerugian finansial. Dan untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh, pemerintah telah melakukan beberapa upaya yang diantaranya adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu otomatis. Akan tetapi pemantau kualitas udara dengan cara ini dinilai mahal dan kurang efektif. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan alternatif lain yang murah dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat dimana salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator dalam pemantauan kualitas udara atau yang dikenal dengan biomonitoring.
Metodologi penelitian dalam tugas akhir ini adalah studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasinya. Literatur yang digunakan berasal dari sumber-sumber yang terpercaya dan ilmiah serta terkait langsung dengan topik tugas akhir yaitu penggunaan tumbuhan sebagai bioindikator dalam pemantauan pencemaran udara. Sedangkan studi kasus yang dilakukan adalah pemantauan biologis terhadap polusi udara di Jalan Ahmad Yani dengan menggunakan tanaman sebagai bioindikatornya dan penelitian eksperimental dengan memaparkan polutan pencemar udara pada tanaman bioindikator yang ditempatkan di reaktor rumah tanaman. Tanaman bioindikator yang digunakan adalah tanaman bayam (Amaranthus sp) sebagai bioindikator dari SO2 dan tanaman bunga pukul empat (Mirabilis
jalapa) sebagai bioindikator dari NOx.
Dalam kondisi yang normal, udara ambien menyediakan komponen-komponen udara
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bagi tumbuhan. Komponen-komponen udara tersebut meliputi nitrogen, oksigen, karbondioksida dan sulfur. Akan tetapi apabila kualitas udara ambien memburuk atau tercemar, maka tumbuhan akan menunjukkan 2 respon terhadap keberadaan pencemaran udara tersebut yaitu respon makrokopis dan respon mikrokopis. Respon tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari adanya pencemaran udara. Akan tetapi tidak semua tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator dari pencemaran udara. Beberapa kriteria dari tumbuhan sebagai bioindikator pencemaran udara antara lain adalah SMART (Specific, Measurable, Attributable, Relevant dan Timely). Sedangkan jenis-jenis tumbuhan bioindikator pencemaran udara antara lain adalah dari spesies Bryophyta, Lichen, dan tumbuhan tingkat tinggi. Pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikatornya bergantung pada jenis skema yang digunakan, metode yang dipilih, dan jenis tumbuhan yang digunakan.
Secara umum pada studi kasus menunjukkan bahwa kerusakan pada pertumbuhan tanaman akibat pengaruh lingkungan seperti konsentrasi polutan rendah dengan lama pemaparan yang relatif singkat, temperatur dan kecepatan angin yang normal, tidak menunjukkan adanya luka yang nyata (kematian dari beberapa atau semua bagian tanaman) namun hanya menunjukkan berupa penurunan pertumbuhan sebagai akibat kelainan fungsi fisiologi.
Kata Kunci : Tumbuhan, bioindikator, respon pencemaran udara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14 pencemaran lingkungan yaitu masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut PP No. 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia,
sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Berdasarkan hasil studi Ostro (1994) dalam Farida (2004) menunjukkan bahwa pencemaran udara di Jakarta mengakibatkan munculnya 1200 kasus kematian prematur, 32 juta kasus gejala penyakit pernafasan dan 464 ribu kasus penyakit asma. Kerugian finansial akibat kasus-kasus ini diperkirakan sebesar 500 milyar rupiah. Hal ini tentu bertentangan dengan pernyataan di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Oleh karena itu sudah
seharusnya pemerintah melakukan suatu tindakan yang ekstra untuk menangani masalah pencemaran udara ini.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh serta untuk mengevaluasi dan mengestimasi tingkat dampak pencemaran udara dan juga untuk menilai keberhasilan program pengendalian pencemaran udara maka dibutuhkanlah suatu sistem pemantauan kualitas udara ambien. Menurut BAPPENAS (2006) dan Sutardi (2008) salah satu cara pemantauan kualitas udara ambien di Indonesia adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu otomatis yang dilakukan di 10 kota sejak tahun 2000 untuk memantau konsentrasi CO, debu (PM 10), SO2, NOx, dan O3. Akan tetapi dibalik itu, menurut Sutardi (2008) selain memerlukan biaya investasi, operasional, dan perawatan yang tinggi, pemantauan kualitas udara ambien dengan cara ini juga memiliki beberapa kendala lainnya antara lain adalah terbatasnya alat pemantau, minimnya dana, serta pengamatan yang hanya terfokus pada jalan raya sehingga pengambilan sampel tidak mewakili lingkungan secara keseluruhan.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan alternatif lain yang murah dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat dimana salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan bioindikator dalam pemantauan kualitas udara atau yang dikenal dengan biomonitoring. Menurut Mulgrew et al (2000) biomonitoring adalah penggunaan respon biologi secara sistematik untuk mengukur dan mengevaluasi perubahan dalam lingkungan, dengan menggunakan bioindikator. Sedangkan bioindikator adalah organisme atau respons biologis yang menunjukan
masuknya zat tertentu dalam lingkungan. Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. Menurut Karlianyah (1997) tumbuhan adalah bioindikator yang baik dan daun adalah bagian tumbuhan yang paling peka pencemar.
Berdasarkan latar belakang penjelasan di atas penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan studi literatur terkait penggunaan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan pencemaran udara. Studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasi dari studi literatur, diharapkan dapat menjadi suatu solusi dalam melaksanakan upaya pemantauan pencemaran udara.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diperoleh suatu perumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana hubungan antara tumbuhan dengan udara
2. Bagaimana respon tumbuhan terhadap pencemaran udara
3. Bagaimana kriteria-kriteria dan jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara
4. Bagaimana skema, metode dan tahap-tahap yang dilakukan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator.
1.3 Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini adalah :
1. Mengindentifikasi dan mempelajari hubungan antara tumbuhan dengan udara 2. Mengindentifikasi dan mempelajari
mengenai bentuk respon tumbuhan terhadap pencemaran udara
3. Mengindentifikasi dan mempelajari kriteria dan jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara
4. Mengindentifikasi dan mempelajari skema, metode serta tahap-tahap yang dilakukan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator.
BAB II
METODOLOGI STUDI 2.1 Umum
Metodologi studi dalam tugas akhir ini adalah studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasinya. Studi literatur ini akan dilakukan dalam rentang waktu penyusunan laporan secara keseluruhan dan akan bertindak sebagai landasan teori maupun analisa pembahasan dalam memecahkan masalah dari studi kasus yang ada. Sumber literature akan didapatkan dari berbagai textbook, jurnal-jurnal ilmiah, artikel ilmiah, laporan penelitian, website dan internet maupun dari sumber-sumber terpercaya dan ilmiah lainnya.
Pada studi kasus akan dilakukan pemantauan polusi udara di Jalan Ahmad Yani dengan menggunakan tumbuhan sebagai indikatornya (bioindikator). Pemantauan dilakukan dengan metode aktif, dimana akan dilakukan penelitian dengan menempatkan tanaman tertentu yang merupakan tanaman yang sensitif terhadap pencemaran udara. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tumbuhan yang ditempatkan dapat dijadikan sebagai suatu indikasi dari adanya pencemaran udara. Selain itu dilakukan pula penelitian dalam skala laboratorium dimana digunakan tumbuhan dengan spesies yang sama seperti halnya dengan tumbuhan yang ditempatkan di Jalan Ahmad Yani. Penelitian dilakukan dengan mengkondisikan tanaman pada paparan polutan yang secara rutin diberikan di dalam suatu reaktor. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tumbuhan akibat paparan polutan dapat dijadikan sebagai suatu indikasi dari adanya pencemaran udara.
Dalam melakukan penelitian di atas akan dibutuhkan tanaman kontrol yang akan bertindak sebagai pembanding dari keadaan yang normal dengan keadaan yang terpapar polutan udara, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Tanaman bioindikator yang digunakan adalah tanaman bayam (Amaranthus sp) sebagai bioindikator dari SO2 dan tanaman bunga pukul empat (Mirabilis
jalapa) sebagai bioindikator dari NOx.
2.2 Populasi dan Sampel Studi Kasus Populasi tanaman yang digunakan dalam studi kasus ini adalah 15 pot tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa). Tanaman-tanaman tersebut dibagi-bagi menjadi sebagai berikut :
Dalam reaktor rumah tanaman terdapat 5 buah tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis
jalapa)
Di jalur tengah trotoar pembatas Jalan Ahmad Yani terdapat 5 buah Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa).
Sebagai tanaman kontrol yaitu 5 buah tanaman Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa).
Variabel-variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun, keliling batang, warna daun serta luka daun yang terlihat.
2.3 Kelompok Perlakuan
Terdapat 3 kelompok perlakuan yang digolongkan berdasarkan lama dan tingkat pemaparan dari polutan pencemaran udara. Perincian kelompok perlakuan adalah sebagai berikut :
Kelompok 1 : diberi pemaparan gas polutan selama 0 jam (kontrol)
Kelompok 2 : diberi pemaparan gas polutan asap sepeda motor selama 7 jam
(reaktor rumah tanaman)
Kelompok 3 : diberi pemaparan gas polutan
kendaraan-kendaraan bermotor
selama 24 jam (Jalan Ahmad Yani)
2.4 Pengukuran Udara Ambien
Pengukuran sulfur dioksida (SO2) dengan menggunakan metode Konduktivitimetri Manual
Pengukuran nitrogen oksida (NOx) dengan menggunakan metode Reaksi Griess – Saltzman
2.5 Analisa dan pembahasan
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman terkait parameter tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun, dan keliling batang kemudian akan diolah dengan menggunakan program Ms. Excel sehingga akan diperoleh grafik yang menggambarkan perbedaan pertumbuhan tanaman pada setiap parameter di seluruh perlakuan. Sedangkan untuk parameter luka daun dan warna daun akan di analisa secara visual deskriptif dan kemudian di akhir semuanya akan dibahas dengan menggunakan studi literatur.
BAB III STUDI LITERATUR
A. Tumbuhan dan Kebutuhannya Terhadap Udara
3.1 Biologi Tumbuhan
Tumbuhan adalah organisme multiseluler yang berkembang dari organisme yang uniseluler serta ada deferensiasi ke arah jaringan. Tumbuhan merupakan organisme yang mampu memproduksi makanannya sendiri dengan memanfaatkan cahaya matahari dan karbon dioksida sebagai bahan utamanya yang kemudian dikenal dengan istilah fotosintesis.
Tumbuhan terbagi dalam beberapa kelompok yaitu tumbuhan tidak berpembuluh dan tumbuhan berpembuluh. Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah ada/tidak adanya jaringan pembuluh dan ada/tidak adanya akar, batang, dan daun.
3.2 Kualitas Udara Ambien
Menurut Mangkoedihardjo dan
Samudro (2010) udara merupakan komponen ekosistem yang terbesar dibandingkan komponen perairan dan tanah. Menurut Kristanto (2004) udara memiliki pengertian yaitu kumpulan dari berbagai macam gas yang terdapat dalam lapisan atmosfer yang mengelilingi bumi. Komposisi udara tidak selalu kontan melainkan selalu bervariasi dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti cuaca, suhu, angin, serta aktivitas dari manusia maupun gejala alam.
Komposisi normal udara kering, dimana semua uap air telah dihilangkan, berada pada kondisi yang relatif konstan. Pada Tabel 3.1 disebutkan komposisi udara kering beserta konsentrasinya yang dinyatakan dalam persen atau ppm (part per million).
Tabel 3.1 Komposisi Udara Kering dan Bersih
Komponen % Volume ppm Nitrogen 78,08 780.800 Oksigen 20,95 209.500 Argon 0,934 9.340 Karbondioksida 0,0314 314 Neon 0,00182 18 Helium 0,000524 5 Metana 0,0002 2 Kripton 0,000114 1 NO3 - 0,5 H2 - 0,5 Xenon - 0,08 NO2 - 0,02 Ozon - 0,01-0,04 Sumber : Ryadi, 1982
Catatan : 1 ppm adalah satu bagian perjuta, 1 ml gas dalam 1 juta ml udara
Udara yang belum tercemar selain mengandung uap air, gas-gas innert juga mengandung aerosol yaitu campuran partikel-partikel padat dan cair yang sangat halus. Aerosol berupa partikel cair atau padat yang tersuspensi di dalam gas. Ukuran partikel aerosol antara 0,001 – 100 um. Partikel-partikel yang berdiameter kurang dari 2,5 um pada umumnya dianggap halus dan partikel yang berdiameter lebih besar dari 2,5 um dianggap kasar. Pada udara, selain gas juga terdapat aerosol yang terdiri dari partikel debu, abu, garam, dan asap. Jenis aerosol yang dominan di udara yang mengakibatkan pencemaran, seperti tercantum pada Tabel 3.2. di bawah ini.
Tabel 3.2 Komposisi Aerosol di Atmosfir Bumi Jenis aerosol Persentasi (%) Debu 20 Abu 10 Garam 40 Asap 5 Spora, Virus dll 25 Total 100 Sumber : Harmantyo (1989)
Komposisi udara seperti Tabel 3.4 di atas merupakan udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia. Sedangkan udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Hal itu terjadi akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, sehingga udara sering kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti itu lazim disebut dengan pencemaran (polusi) udara. Adapun mengenai pencemaran udara akan dibahas pada bagian selanjutnya.
3.3 Kebutuhan Tumbuhan Terhadap Komponen Udara
Untuk menunjang kehidupannya, tumbuhan membutuhkan unsur-unsur esensial yang diperolehnya dari lingkungan dimana tumbuhan tersebut hidup. Selain dari air dan tanah, unsur-unsur esensial juga diperoleh dari udara. Komponen udara yang dibutuhkan oleh tumbuhan adalah nitrogen, oksigen, karbondioksida, dan sulfur. Nitrogen dan sulfur diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan senyawa metabolisme, oksigen diperlukan sebagai komponen utama untuk respirasi serta merupakan produk dari proses fotosintesis tumbuhan, sedangkan karbondioksida sebagai bahan baku pembuatan makanan dalam proses fotosintesis. 3.3.1 Kebutuhan tumbuhan terhadap nitrogen
Nitrogen merupakan unsur kunci dalam asam amino dan asam nukleat, dan ini menjadikan nitrogen penting bagi semua kehidupan. Protein disusun dari asam-asam amino, sementara asam nukleat menjadi salah satu komponen pembentuk DNA dan RNA. Sejumlah organisme mampu melakukan fiksasi N dan N-bebas akan berasosiasi dengan tumbuhan. Senyawa amonium dan N-nitrat yang dimanfaatkan oleh tumbuhan akan diteruskan ke hewan dan manusia dan kembali memasuki sistem lingkungan melalui sisa-sisa jasad renik. Proses fiksasi memerlukan energi yang besar, dan enzim (nitrogenase) bekerja dan didukung oleh oksigen yang cukup. Kedua faktor ini sangat penting dalam memindahkan N-bebas dan sedikit simbiosis oleh organisme.
3.3.2 Kebutuhan tumbuhan terhadap oksigen Semua makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk bernafas. Pada tumbuhan, istilah bernafas dikenal sebagai respirasi. Respirasi yaitu suatu proses pembebasan energi yang tersimpan dalam zat sumber energi melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Dari respirasi akan dihasilkan energi kimia ATP untuk kegiatan kehidupan, seperti sintesis (anabolisme), gerak, pertumbuhan. Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari oksigen yang tersedia di udara.
Respirasi pada tumbuhan dapat dibedakan menjadi dua yaitu aerob dan anaerob, respirasi aerob memerlukan oksigen O2, sedangkan respirasi anaerob tiidak memerlukan oksigen, untuk respirasi anaerob dibedakan menjadi
obligatif dan fakultatif, respirasi anaerob obligatif mutlak memerlukan oksigen sedangkan anaerob fakultatif dapat berlangsung tanpa atau dengan oksigen.
3.3.3 Kebutuhan tumbuhan terhadap karbon Bagian terbesar karbon yang ada di atmosfer bumi adalah gas karbondioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basisi molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.
3.3.4 Kebutuhan tumbuhan terhadap sulfur Ada tiga sumber alami pokok unsur hara belerang (S) bagi tanah yang menyediakan belerang untuk tanaman. Ketiga sumber tersebut ialah: (1) mineral tanah, (2) gas belerang dalam atmosfir, dan (3) bahan organik. Disamping itu ada 4 aliran utama S ke atmosfir dengan urutan sebagai berikut; lepasan/produk bakteri < pembakaran bahan bakar fosil < penghembusan garam-garam laut < pelepasan gas vulkanik. Unsur ini diserap oleh tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion sulfat (S04
2-) dan hanya sejumlah kecil sebagai gas belerang (SO2) yang diserap langsung dari tanah dan atmosfir.
Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam amino sistin, sistein dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin. Diperkirakan 90% S dalam tanaman ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah penyusun protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida. Belerang merupakan bagian (konstituen) dari hasil metabolisme senyawa-senyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan penting, diantaranya adalah (1) merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu komplex Fe dan S yang terdapat dalam kloroplas
dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat dalam senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan bawang-bawangan. Belerang dikaitkan pula dengan pembentukan klorofil yang erat hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Belerang juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit. B. Respon Tumbuhan Terhadap Pencemaran
Udara
3.4 Pencemaran Udara
Wardana (1995) dalam Siregar (2005) menyebutkan bahwa udara yang dihirup hewan dan manusia merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Walaupun demikian, udara yang benar-benar bersih sulit didapatkan terutama di daerah perkotaan yang merupakan daerah yang padat akan industri dan aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor. Udara yang mengandung zat pencemar disebut udara tercemar. Udara tercemar ini dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan menggangu kehidupan manusia. Dengan adanya kerusakan lingkungan maka akan menyebabkan berkurangnya daya dukung alam terhadap kehidupan, yang selanjutnya akan berdampak langsung terhadap kualitas hidup manusia secara keseluruhan.
Menurut Pohan (2002) pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing didalam udara dalam jumlah tertentu serta berada diudara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Bila keadaan itu terjadi maka di udara dikatakan telah tercemar.
Roosita (2007) menyebutkan bahwa polutan pencemar udara digolongkan menjadi 2 yaitu sebagai polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan–polutan yang diemisikan langsung dari sumbernya, baik itu berasal dari sumber ilmiah maupun dari kegiatan manusia sebagai contoh yaitu debu dari letusan gunung berapi dan SOx dari asap cerobong pabrik. Di dalam udara ambien, sebagian polutan primer akan mempertahankan
bentuk senyawa aslinya sementara sebagian yang lain akan bertransformasi ke bentuk lain ketika terjadi interaksi dengan sesama polutan atau dengan unsur atmosfer lainnya. Polutan-polutan yang terbentuk dari hal tersebut dinamakan dengan polutan sekunder. Sebagai contoh adalah O3 (ozon) dan PAN (peroxyacetyl nitrate) yang terbentuk dari reaksi HCx,NOx, dan Oksigen.
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yakni :
a.) Karena faktor internal (secara alamiah),contoh: 1. Debu yang berterbangan akibat tiupan
angin.
2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik. 3. Proses pembusukan sampah organik, dll. b.) Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh :
1. hasil pembakaran bahan bakar fosil. 2. debu / serbuk dari kegiatan industri.
3. pembakaran zat-zat kimia yang
disemprotkan ke udara.
Menurut Meetham (1981) dalam Siregar (2005) senyawa pencemar udara berdasarkan sifatnya dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Senyawa partikel yang bersifat reaktif
2) Partikel-partikel halus yang berada di atmosfer dalam jangka waktu yang lama
3) Partikel-partikel kasar yang segera jatuh ke permukaan tanah
Senyawa-senyawa pencemar tersebut antara lain adalah SO2, SO3, NO, NO2, CO, NH3, O3, asam hidroklorit, senyawa flour dan unsur-unsur radioaktif. Bentuk utama dari partikel-partikel halus adalah kabut yang berasal dari proses pembakaran tak sempurna dari bahan bakar. Sedangkan bentuk utama partikel kasar adalah dalam bentuk senyawa organik. Senyawa SO2 , asap dan debu dapat menjadi bahan pembentuk senyawa pencemar udara yang lain.
3.5 Respon Tumbuhan Terhadap Zat-Zat Pencemar Udara
Muud (1975) dalam Siregar (2005) mengemukakan bahwa pencemar atmosfir secara merugikan merusak tumbuhan dalam beberapa cara. Kerusakan akibat pencemaran sering secara umum diklasifikasikan ke dalam akut, kronis atau tersembunyi. Menurut Kozlowski et al (1991) dalam Siregar (2005) pada umumnya pencemaran udara baik secara individual maupun kombinasi akan menyebabkan kerusakan dan perubahan fisiologi tanaman yang kemudian akan diekspresikan dalam gangguan pertumbuhan.
Rinawati (1991) menyebutkan bahwa setiap pohon memiliki respon-respon yang berbeda terhadap masing-masing pencemar udara baik itu dalam bentuk gas ataupun partikel. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis pohon dan susunan genetiknya. Dan faktor-faktor lain yang ikut berperan diantaranya adalah tingkat pertumbuhan pohon, jarak terhadap sumber pencemar, konsentrasi bahan pencemar, dan durasi paparan pencemar.
Malhotra dan Khan (1984) dalam Treshow, et al. (1989) menyebutkan bahwa dari beberapa hasil penelitian pencemaran udara mengakibatkan menurunnya pertumbuhan dan tingkat produktivitas tanaman yang diikuti pula dengan beberapa gejala yang tampak (visible symptoms). Kerusakan tanaman karena pencemaran udara berawal dari tingkat biokimia (gangguan proses fotosintesis, respirasi, serta biosintesis protein dan lemak), selanjutnya tingkat ultrastruktural (disorganisasi sel membran), kemudian tingkat sel (dinding sel, mesofil, pecahnya inti sel) dan diakhiri dengan terlihatnya gejala pada jaringan daun seperti klorosis dan nekrosis.
3.5.1. Respon tumbuhan secara makrokopis 3.5.1.1 Kerusakan daun
Kondisi udara yang terpolusi akan mempengaruhi lingkungan, termasuk vegetasi pada lanskap yang sengaja ditanam untuk menyerap polutan pencemar udara. Menurut Widagdo (2005) sebagian besar bahan-bahan pencemar udara mempengaruhi tanaman melalui daun. Jaringan daun terdiri dari epidermis, mesofil, dan berkas pembuluh. Mekanisme tanaman untuk bertahan dari zat pencemar udara adalah melalui pergerakan membuka dan menutup stomata dan proses detoksifikasi.
Kerusakan akut, yang terjadi pada daun, pada awalnya ditandai oleh adanya penampakan
kekurangan kandungan air, yang kemudian akan berkembang menjadi mengering dan memutih hingga sampai berwarna gading pada kebanyakan spesies. Selain itu dijumpai pula pada beberapa species, perubahan warna daun yang terpapar polutan pencemar menjadi coklat atau merah kecoklatan. Bentuk kerusakan seperti ini disebabkan oleh penyerapan gas pencemar udara yang terpapar dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga jaringan daun akan rusak dalam waktu yang relatif singkat.
Perubahan warna daun menjadi kuning yang berlanjut hingga memutih dapat menandai bahwa telah terjadi kerusakan secara kronis. Kebanyakan hal ini terjadi karena rusaknya klorofil dan karotenoid akibat absorpsi sejumlah gas pencemar dalam konsentrasi subletal dalam periode waktu yang lama.
Berat kering daun, penurunan tebal daun, ukuran sel, kehilangan daun dan cepatnya penuaan menandakan adanya pencemaran asap dan SO2.
Beberapa polutan sekunder diketahui bersifat sangat merusak tanaman. Percobaan dengan cara pengasapan tanaman digunakan konsentrasi 1,0 ppm sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3.5 ppm atau lebih) terjadi nekrosis atau kerusakan pada tenunan daun.
Daun tumbuhan dikotil umumnya menunjukkan adanya bercak antara tulang-tulang daun dan pada monokotil umumnya terjadi garis nekrosis antara tulang-tulang daun paralel. Kerusakan dapat terjadi juga pada tepi dan pucuk daun. Tanda-tanda yang diakibatkan oleh Ozone, Nitrogen Oksida dan Khlorine hampir sama. Pengurangan perluasan daun kotiledon dalam tanggapannya terhadap pencemaran telah diamati untuk beberapa kasus. Luka-luka nekrotik dan penurunan produktivitas primer bersih dalam konsentrasi SO2 yang berbeda-beda. Pada saat ini morfologi epidermis telah dipelajari sebagai indikator dalam tanggapannya terhadap bahan pencemar khususnya SO2. Kerusakan kutikula dan epidermis dapat digunakan untuk mengidikasikan adanya pencemaran udara.
Salah satu faktor yang bisa menghambat kerusakan daun akibat pencemaran udara yaitu adanya lapisan lilin pada daun. Lapisan lilin pada daun berfungsi sebagai penahan kandungan air, mengontrol pertukaran gas, mengurangi pelepasan nutrient dan metabolit serta sebagai pelindung dari bahan pencemar yang reaktif seperti SO2, NO2, dan O3. Akan tetapi lilin daun dapat dirusak oleh
abrasi angin, gesekan dan interaksi kimia dengan polutan dalam waktu yang lama.
Fitter dan Hay (1998) mengemukakan bahwa daun-daun tanaman yang dihadapkan pada dosis SO2, NO2, dan O3 yang rendah tidak menyebabkan perobekan luka yang nyata (terlihat jelas), namun menyebabkan perobekan sistem membran tilakoid dalam kloroplas.
Menurut Fitter dan Hay (1998), tanaman yang diberi polutan dengan konsentrasi tinggi umumnya menyebabkan perlukaan yang nampak karena kematian, menjadi kering, dan jaringan daun lokal memutih. Pada beberapa kasus, penyebabnya dapat diidentifikasi dari kerusakan khas yang dihasilkan, sebagai contoh :
SO2 – klorosis di dalam urat daun
NOx – spot warna coklat atau hitam tak teratur, pada urat daun atau tepi daun
O3 – bintik putih, kuning atau coklat ( 0,1 - 1 mm) pada permukaan daun sebelah atas, berkaitan dengan stomata
HF – ujung terbakar atau nekrosa tepi
Daun tumbuhan dikotil umumnya menunjukkan adanya bercak antara tulang-tulang daun dan pada monokotil umumnya terjadi garis nekrosis antara tulang-tulang daun paralel. Kerusakan dapat terjadi juga pada tepi dan pucuk daun. Tanda-tanda yang diakibatkan oleh Ozone, Nitrogen oksida dan Khlorine hampir sama. Pengurangan perluasan daun kotiledon dalam tanggapannya terhadap pencemaran telah diamati untuk beberapa kasus.
Berikut ini dapat dilihat perbedaan antara daun yang terpapar polutan dengan yang normal pada Gambar 3.6.
Sumber : http://pengeluaran tanaman. blogspot. com/ 2010/ 05/ nekrosis-dan-klorosis.html
Gambar 3.1 Klorosis Pada Daun 3.5.1.2 Gangguan perkecambahan
Perkecambahan biji banyak digunakan untuk memantau responnya terhadap pencemaran. Parameter-parameter pertumbuhan seperti persentase perkecambahan, daya hidup biji, tinggi
bibit, pengembangan kotil dan berat kering/segar dapat digunakan untuk mendeteksi bahan pencemaran yang khas. Phaseolus vulgaria tumbuh di daerah bebas asap atau dipengaruhi asap. Thiosulfat berpengaruh toksik dan menghambat perkecambahan pada kebanyakan tumbuhan.
Di samping perkecambahan biji, perkecambahan tepung sari Nicotiana sylvestris juga digunakan untuk mengindikasikan pencemaran.
3.5.1.3 Perubahan morfologi
Pada percobaan yang dilakukan Rushayati dan Maulana (2005) diamati bahwa terjadi penurunan pertumbuhan terkait dengan diameter batang dan tinggi tanaman pada tanaman Kenari dan Akasia ketika diberi emisi polutan udara dengan beberapa parameter yaitu 9.375 μg/m3 CO, 149,07 μg/m3 SO2, 78,87 μg/m3 NO2, dan 43,1 μg/m3 debu.
Pada saat ini morfologi epidermis telah dipelajari sebagai indikator dalam tanggapannya terhadap bahan pencemar khususnya SO2. Kerusakan kultikula dan epidermis dapat digunakan untuk mengidikasikan adanya pencemaran udara.
3.5.2 Respon tumbuhan secara mikrokopis 3.5.2.1 Penurunan kadar klorofil
Pengaruh polutan pencemar udara terhadap pigmen fotosintesis sangat besar.Sebagai contoh adalah kerusakan klorofil yang terjadi pada
lichenes setelah diberi pemaparan dosis SO2
sebesar 5 ppm dengan durasi waktu pemaparan selama 24 jam. Pada konsentrasi tinggi ini, molekul klorofil terdegradasi menjadi phaeophitin dan Mg2+. Pada proses ini molekul Mg2+ dalam molekul klorofil diganti oleh dua atom hydrogen yang berakibat perubahannya karakteristik spektrum cahaya dari molekul klorofil. Oleh karena itu kandungan klorofil sering dijadikan indikator terhadap pencemaran udara (khususnya SO2). Pada lichenes yang sensitif, pemaparan konsentrasi SO2 rendah (0.001 ppm) dalam waktu yang lama akan menyebabkan hilangnya klorofil.
Selain itu, dalam penelitian Karliansyah (1997) disebutkan bahwa daun tanaman Angsana dan Mahoni yang terletak di sejumlah jalan di Jakarta dapat dijadikan sebagai indikator dari polutan pencemar SO2 dan NO2. Hal ini ditandai dengan hubungan antara klorofil a dan b dengan NO dan SO2 yang berkorelasi negative (kenaikan
SO2 dan NO menyebabkan penurunan kadar klorofil).
3.5.2.2 Perubahan biokimia dan fisiologi
Budi (2009) mengemukakan bahwa komposisi kimia daun telah luas digunakan sebagai indikator dari perubahan kondisi lingkungan. Estimasi kemis seperti protenis, asam amino, gula terlarut, sukrose, pati, gula reduksi, vit.C, ribofalvin, thiamin dan karbohidrat digunakan untuk mengindikasikan pencemaran udara. Sedangkan aktivitas fisiologi seperti pembukaan stomata dan laju fotosintesis juga dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.
Selain itu parameter enzimatik juga digunakan untuk mengindikasikan adanya paparan beberapa bahan pencemar. Sebagai contoh adalah
parokside yang merupakan indikator pencemaran
udara yang sensitive bila tanda kerusakan tak terlihat. Dalam beberapa penelitian telah dilaporkan suatu tanggapan enzim yang berlainan di suatu daerah yang tercemar oleh florid, asap automobil dan SO2. Dengan demikian adanya aktivitas enzim tertentu pada suatu spesies tumbuhan dapatlah dihubungkan dengan jenis bahan pencemar tertentu, khususnya pencemaran udara. Parameter dengan menggunakan enzim itu antara lain dengan ribulose difosfat karboksilase, glutamatpiruvat transaminase, glutamat oksalasetat transaminase dan peroksidase untuk pencemaran SO2.
Fitter dan Hay (1998) menyebutkan bahwa SO2 menyebabkan kerusakan primer dengan cara penutupan (blocking) gugus sulfaidril atau pengaruh langsung terhadap pH sel dan NOx (sebagai nitrit) dan mempengaruhi sistem reduksi (redoks) di dalam kloroplast.
3.5.2.3 Kerusakan stomata
Menurut Prastica (2009) stomata adalah sebuah lapisan datar yang merupakan bagian dari jaringan epidermis dengan sebagian besar sel-sel transparan yang seringkali tersedia dengan kutikula yang berlapiskan lilin.Stomata biasanya terdapat pada bagian bawah permukaan daun dan di permukaan atas daun serta juga banyak terdapat di bagian batang terutama pada tumbuhan rempah-rempah.
Widagdo (2005) mengemukakan bahwa stomata sebagai pintu masuk dari polutan pencemar udara mempunyai panjang sekitar 10 μm dan lebar antara 2 –7 μm sehingga ukuran polutan yang demikian kecil, yaitu kurang dari 4 μm dan rerata 0,2 μm dapat masuk ke dalamnya serta menetap dalam jaringan daun dan
menumpuk di antara celah sel jaringan pagar/palisade dan atau jaringan bunga karang/spongi tissue.
Menurut Mansfield (1976) tanaman yang tumbuh di lokasi yang tercemar, cenderung merangsang pengambilan gas lain ke dalam mesofil daun, pada saat proses asimilasi CO2 berlangsung. Banyak spesies tanaman yang lebih sensitif terhadap SO2 pada siang hari, ketika stomata terbuka dibandingkan pada malam hari kecuali pada tanaman kentang yang stomatanya tetap membuka pada malam hari.
Pada penelitian Susanti (2004) didapatkan bahwa peningkatan indeks stomata terjadi pada tumbuhan yang terdapat di tempat-tempat dengan konsentrasi polutan yang cukup tinggi. Hal ini merupakan respon tumbuhan terhadap kehadiran polutan dari aktivitas transportasi sebagai upaya tumbuhan untuk mengurangi terdifusinya polutan udara ke dalam jaringan daun tumbuhan.
Selain itu, pada beberapa penelitian telah diketahui bahwa daun tumbuhan di daerah yang tercemar oleh debu dari pabrik semen mempunyai kerapatan stomata dan trichomata yang tinggi, sel epidermis dan ukuran trichomata lebih kecil dibandingkan dengan bila tidak tercemar.
3.5.2.4 Penurunan kandungan lemak dan gula Malholtra & Khan (1984) menyebutkan bahwa Glycerolipid mengandung sekitar 50% berat dari membran-membran tilakoid. Sulfur dioxide menyebabkan reduksi yang tinggi terhadap konsentrasi dan komposisi Glycerolipid (). Penurunan kandungan lemak akan membawa sejumlah masalah seperti penurunan sintesis senyawa lainnya, peningkatan aktivitas lipase, dan peroksidasi rantai asam lemak atau kombinasi dari semua masalah tersebut.
Pemaparan sulfur dioksida juga akan menyebabkan peningkatan gula terlarut yang akan menyebabkan terhambatnya pembentukan polisakarida dalam proses pemecahan gula-gula yang ada. Hal yang paling pokok dari dampak pemaparan SO2 adalah ketidaktepatan translokasi dan penyimpanan dari karbohidrat. Pengisian floem mungkin akan menurun yang akan menyebabkan pemyimpanan cadangan makanan di akar juga akan menurun, dimana hal tersebut akan berpengaruh serius terhadap kelangsungan hidup dan laju produksi dari tumbuhan.
3.5.2.5 Penurunan laju fiksasi CO2
Menurut Fitter dan Hay (1998) daun yang terkena SO2 umumnya menyebabkan turunnya
laju fiksasi CO2 dengan cepat. Penelitian dengan fraksi sub selular menunjukkan bahwa paling tidak sebagian penghambatan tersebut disebabkan karena kompetisi antara ion sulfit dan bikarbonat atas tempat pengikatan CO2 pada karboksilase RuBP dan karboksilase PEP.
3.6 Tumbuhan Indikator Pencemaran Udara
3.6.1 Kriteria tumbuhan indikator pencemaran udara
Istilah bioindikator, biomonitor, bioakumulator, dan biomarker semuanya telah digunakan dalam berbagai cara untuk menggambarkan pendekatan yang berbeda dan teknik untuk mempelajari respon biologis dengan polusi udara. Secara umum bidang biomonitoring dapat dilihat baik sebagai pendekatan (bioindikator) kualitatif dan kuantitatif (biomonitor) untuk mengendalikan polusi. Berikut ini adalah pengertian dari beberapa pemantauan biologi:
Biomonitor menyimpan informasi kuantitatif tentang kesehatan suatu ekosistem. Biomonitor juga merupakan bioindikator, kecuali bahwa biomonitor mengkuantifikasi dampak atau hasil akhirnya pada organisme atau ekosistem.
Biondikator memberikan pengukuran polutan yang dapat dibandingkan dengan instrumen pengukuran. Bioindikator memberikan informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi sebenarnya pada organisme atau ekosistem
Bioindikasi bisa aktif, misalnya dalam penggunaan tanaman yang diketahui, atau pasif, di mana organisme sudah ada dalam ekosistem diperiksa untuk reaksi mereka.
Bioakumulator adalah organisme yang menumpuk polutan dalam jaringan mereka. Mereka mungkin kurang sensitif terhadap paparan polusi, atau memang tidak terpengaruh oleh polusi, namun tetap saja indikator yang baik bagi eksposur polutan terhadap ekosistem.
Biomarker adalah biokimia, seluler, fisiologis atau perilaku variasi dalam jaringan, cairan tubuh atau seluruh tubuh suatu organisme yang memberikan bukti paparan polutan kimia, dan mungkin (atau tidak mungkin) juga menunjukkan efek toksik.
Konsep biondikator adalah sangat penting dalam pemantauan biologis. Spesies tanaman tertentu sangat sensitif terhadap polusi udara
tertentu dan menunjukkan respon spesifik untuk efek polusi (misalnya pembentukan spekel atas permukaan coklat oleh ozon). Respon tanaman akibat peningkatan konsentrasi kontaminan udara dimodifikasi oleh faktor lingkungan lainnya dan status fisiologis tanaman itu sendiri. Tingey (1989) menekankan bahwa "tidak ada indikator
yang lebih baik daripada spesies atau sistem itu sendiri". Menurut Tingey (1989) bioindikator
adalah organisme atau respon biologis yang mengungkapkan adanya atau tidak adanya polutan udara dengan terjadinya gejala khas atau tanggapan terukur. Sedangkan biomonitor memberikan informasi tentang keberadaan polutan dan upaya untuk memberikan tambahan informasi tentang jumlah dan intensitas paparan.
Menurut Kovacs (1992b) indikator biologis adalah organisme (atau populasi) yang keberadaan, vitalitas dan tanggapannya berubah di bawah pengaruh kondisi lingkungan. Berbagai spesies merespon pada skala yang bervariasi, dengan cara yang paling sensitif, sensitif atau kurang peka (resisten). Spesies yang tahan (resisiten) seringkali dapat dianggap sebagai indikator akumulasi. Respon tanaman terhadap polutan tergantung pada:
Faktor genetik Tahap pertumbuhan Kondisi lingkungan dan Konsentrasi polutan
Spesies indikator dapat digunakan untuk mendeteksi, mengenali dan memantau ada atau tidak adanya polutan. Pertimbangan dalam pemilihan bioindikator dirangkum oleh Tingey (1989) dan disajikan dalam Tabel 3.6.
Selain itu syarat-syarat lainnya yang dapat digunakan dalam pemilihan tumbuhan indikator apabila dianalogikan dengan kriteria indikator menurut Susanto (2004) adalah SMART yaitu sebagai berikut :
Spesific
Tumbuhan yang digunakan sebagai indikator harus jelas sehingga tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi
Measureable
Tumbuhan indikator harus mudah diukur dan menggambarkan tanggapan terhadap pencemaran udara pada tingkatan pemaparan konsentrasi polutan pencemar yang jelas. Kejelasan pengukuran akan menunjukkan bagaimana cara mendapatkan datanya.
Attributable
Tumbuhan indikator harus memiliki respon yang berbeda yang mampu memprediksi bagaimana spesies atau ekosistem akan merespon stres. Sehingga jenis polutan pencemar dapat diidentifikasi.
Relevant
Tumbuhan indikator harus sesuai dengan ruang lingkup pemantauan dan dapat ggambarkan hubungan sebab-akibat antar indikator.
Timely
Pengumpulan data dari tumbuhan indikator harus dilakukan secara periodik sehingga diperoleh gambaran dari kondisi lingkungan terhadap kualitas udara di daerah yang dipantau.
Selain kriteria-kriteria di atas, perlu diperhatikan pula azas-azas tumbuhan sebagai indikator. Azas-azas tersebut memiliki arti bahwa tumbuhan indikator mempunyai kekhususan sehingga diperlukan adanya pedoman umum yang kemungkinan dimiliki dalam penerapan di lapangan. Pedoman umum atau azas-azas itu antara lain adalah :
1. Tumbuhan sebagai indikator kemungkinan bersifat steno atau eury.
2. Tumbuhan terdiri atas banyak spesies merupakan indikator yang lebih baik daripada kalau terdiri atas sedikit spesies.
3. Sebelum mempercayai sebagai suatu indikator harus dibuktikan dulu di tempat-tempat lain. 4. Banyaknya hubungan antara spesies, populasi
dan komunitas sering memberikan petunjuk sebagai indikator yang lebih dapat dipercaya daripada spesies tunggal.
Tidak semua tumbuhan merupakan bioindikator dari pencemaran udara. Beberapa tumbuhan bahkan memiliki peran dalam mereduksi pencemaran udara. Menurut Normaliani (2011) tumbuhan dapat menimbun pencemar udara berbahaya tanpa merusak tumbuhan tersebut. Tumbuhan tersebut dapat mempertahankan hidupnya meski menyerap udara tercemar yang berbahaya. Menurut Normaliani (2011) karakter umum tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi menyerap polutan indoor maupum outdoor, secara umum serupa. Tanaman memiliki tajuk rimbun, tidak gugur daun, tanamannya tinggi. Karakter khusus tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi mengurangi polutan partikel memiliki ciri daun, memiliki bulu halus, permukaan daun kasar, daun bersisik, tepi daun bergerigi, daun jarum, daun yang permukaannya bersifat lengket, ini efektif untuk menyerap polutan. Ciri spesifik pada tanaman
sansevieria diantaranya mampu hidup pada rentang suhu dan cahaya yang luas, sangat resisten terhadap gas udara yang berbahaya (polutan).
3.6.2 Jenis-jenis tumbuhan indikator pencemaran udara
Sifat-sifat tumbuhan merupakan
pencerminan yang ada di dalam tumbuhan itu (hereditas), tetapi selain itu pertumbuhannya juga dipengaruhi lingkungan. Jadi fenotipe yang terjadi merupakan paduan dari hereditas dan lingkungan itu. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan. Suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, disebut indikator biologi atau bioindikator atau fitoindikator. Atau dengan istilah lain tumbuhan yang dapat digunakan sebagai indikator kekhasan habitat tertentu disebut tumbuhan indikator.
Pengetahuan tentang tumbuhan indikator dapat membantu mencirikan sifat tanah setempat, dengan demikian dapat untuk menentukan tanaman apa atau apa yang dapat diusahakan di bagian tanah itu atau seluruh tanah di situ. Indikator tumbuhan juga digunakan untuk memperkirakan kemungkinan lahan sebagai sumber daya untuk hutan, padang rumput atau tanaman pertanian. Bahkan beberapa jenis logam dapat dideteksi dengan pertumbuhan tumbuhan tertentu di suatu areal.
Banyaknya tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan. Dalam suatu komunitas tumbuhan beberapa diantaranya dominan dengan jumlah yang melimpah. Tumbuhan semacam ini merupakan indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa komunitas atau setidak-tidaknya kebanyakan tumbuhan merupakan indikator yang lebih baik daripada tumbuhan yang tumbuh secara individual.
Berikut ini adalah macam-macam tumbuhan indikator pencemaran udara yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Selain yang telah disebutkan pada Tabel 3.7 di atas, masih banyak tanaman yang dapat bertindak sebagai bioindikator. Oleh karenanya Mulgrew dan Williams (2000), membagi klasifikasi tumbuhan indikator yang mencakup semua jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai biomonitor/bioindikator dari polusi udara yaitu lumut (Bryophyta), lichen, dan tumbuhan tingkat tinggi.
3.6.2.1 Lichen
Menurut Richardson (1988) lichen sangat berguna dalam menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Komunitas lichen yang tumbuh di kulit pohon (spesies corticolous), dinding dan batuan (spesies saxicolous) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam menanggapi polusi udara, khususnya sulfur dioksida (SO2), senyawa fluoro-(F), deposisi senyawa nitrogen dan ozon (O3).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Burton (1986) didapatkan bahwa penggunaan lichen dalam pemantauan polutan gas didasarkan pada pengamatan distribusi spesies yang diikuti dengan analisis kimia dan transplantasi lumut pada tingkat yang masih rendah. Perkembangan yang terbaru menunjukkan adanya peningkatan pada penggunaan respon biokimia dan fisiologis sebagai indikator polusi udara, yang dimungkinkan karena kemajuan teknologi.
Efek toksik dari pemaparan belerang dioksida dipengaruhi oleh nilai dari pH substrat dimana lichen tersebut tumbuh. Lumut terjadi pada berbagai substrat (tanah, batu, tembok rumah, kulit pohon). Untuk indikasi biologis, lumut epifit yang hidup di kulit pohon dapat digunakan sebagai indikator. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah asam yang terbentuk dari batuan vulkanik, kulit kayunya memiliki nilai pH berkisar antara 2-4. Spesies lichen yang hidup pada kulit pohon dengan pH di bawah 7 dapat dianggap sebagai indikator biologis. Lichen yang hidup pada kulit pohon yang asam jauh lebih peka pada efek beracun dari belerang dioksida.
Lichen dianggap sebagai indikator belerang dioksida yang utama. Berdasarkan hubungan antara terjadinya konsentrasi udara ambien dan belerang dioksida, batas toleransi spesies lumut tertentu adalah sebagai berikut : - pada 170 μg.m SO tidak terdapat Lichen
yang hidup pada konsentrasi diatas ini -3
2
- pada 150 μg.m SO Lecanora conizaeoides -3 2 - pada 70 μg.m SO Xanthoria parietina -3 2 - pada 60 μg.m SO Ramalina farinacea -3 2 - pada 40 μg.m SO Anaptychia ciliaris -3 2 - pada 30 μg.m SO Ramalina fraxinea -3 2 - pada 0 μg.m SO Lobaria amplissima-3 2
Di lokasi di mana sulfur dioksida udara melebihi 170 μg.m-3 tidak ada lumut yang dapat bertahan hidup atau kelangsungan hidup mereka hanya dapat diamati ketika permukaan kulit terbentuk oleh debu kapur, sehingga meningkatkan nilai pH di atas 7. Salah satu koloni spesies lumut yang dapat bertahan hidup di kulit pohon ini adalah Lecanora conizaeoides, yang tetap hidup bahkan ketika konsentrasi belerang dioksida sangat tinggi.
Spesies lumut yang paling sensitif terhadap sulfur dioksida adalah Lobaria dan
Usnea spp. Penurunan jumlah species Lichen
corticolous sejalan dengan peningkatan konsentrasi sulfur dioksida. Atas dasar ini dimungkinkan untuk menilai kualitas udara dan konsentrasi sulfur dioksida. Dengan konsentrasi sulfur dioksida tinggi, spesies lumut berikut memiliki nilai yang kurang dalam indikasi yaitu
Xanthoria parietina, Grimmia pulvinata, Parmelia saxatilis, P.sulcata, P. physodes.
Akumulasi sulfur dapat dideteksi dalam beberapa spesies lumut yaitu Cladonia sylvatica, C.
arbuscula, C. mitis, Hypogymnia physodes, Pseudovernia furfuracea, Peltigera aphthosa.
Indikasi pencemaran hidrogen fluorida pada Lichen diamati dengan warna lumut yang menjadi putih keabu-abuan, ukuran koloni berkurang dan kemudian terpisah-pisah. Spesies sensitif fluorida yaitu antara lain Pseudoevernia
furfuracea, Parmelia physodes, dan P.sulcata.
Sedangkan spesies yang kurang sensitif adalah
Parmelia acetabulum.
Dengan paparan foto-oksidan, koloni lumut menjadi putih dan memadat. Menurut Sigal dan Nash (1983) dalam Kovacs (1992b) lumut yang sensitif terhadap foto-oksidan adalah sebagai berikut pada Tabel 3.8.
3.6.2.2 Lumut (Bryophyta)
Bryophyta dapat menunjukkan adanya unsur-unsur dan gradien konsentrasi pada jaringan tubuh mereka ketika berada pada kondisi lingkungan yang terpapar oleh polusi udara. Penggunaan bryophyta merupakan metode yang efektif dalam memantau polusi udara karena berbagai alasan sebagai berikut:
Jumlah spesies yang banyak dan tumbuh di berbagai habitat.
Bryophyta kecil dan mudah dalam
penanganannya.
Kebanyakan dari mereka adalah selalu hijau (evergreen) dan dapat disurvei sepanjang tahun.
Bryophyta tidak memiliki kutikula dan sistem akar serta memperoleh nutrisi dalam bentuk partikel dan larutan langsung dari deposisi atmosfer.
Perbandingan sampel segar dengan spesimen herbarium memungkinkan analisis retrospektif pencemaran logam.
Peningkatan pertumbuhan tahunan biasanya lebih mudah dideteksi dalam lumut daripada lichen
Lumut sering diyakini lebih tepat digunakan untuk studi temporal/sementara (hal ini terutama berlaku untuk Hylocomium
splendens).
Jumlah spesies bryophyta telah jauh berkurang di daerah perkotaan, dan pusat-pusat industri karena sensitifitas tanaman ini terhadap polusi udara. Sejumlah besar spesies telah punah, sementara yang lainnya yang sebelumnya umum dan luas, telah berkurang jumlahnya dan sekarang jarang ditemukan.
Efek berbahaya dari SO2 pada lichen dan bryophyta pertama kali teramati oleh adanya kerusakan parah pada klorofil dan penurunan struktur sel serta fungsi melalui plasmolisis, ketika konsentrasi belerang dioksida melebihi 5 ppm. Kehancuran kloroplas berarti penghentian asimilasi yang akhirnya akan menyebabkan kematian seluruh organisme. Ketika belerang dioksida masuk pada tanaman, akan terjadi peningkatan konsentrasi H+ bebas yang pada gilirannya akan memfasilitasi transformasi dari klorofil-a ke phaeophytin-a. Ketika belerang dioksida berubah menjadi asam sulfat dalam kondisi lembab, maka keadaan tersebut akan merusak tanaman dan dapat menentukan tingkat kerusakan klorofil. Menurut Kovacs (1992b) polusi SO2 awalnya membuat pernapasan tanaman lebih intensif, akan tetapi setelah munculnya bintik nekrotik pada daun, perlahan intensitas tersebut akan berkurang. Gejala umum pencemaran belerang dioksida adalah terjadinya pemudaran warna tumbuhan. Pertama, daun apikal, yang lebih terbuka, dan kemudian bagian-bagian basal juga bisa berubah warna. Lumut yang sepenuhnya telah berubah warna biasanya tidak dapat dipulihkan, bahkan setelah ditempatkan dalam lingkungan udara ambien yang bersih.
Adams dan Preston (1992) menyebutkan bahwa bryophyta umumnya lebih mudah untuk mengidentifikasi polusi udara dikarenakan sangat rentan sama halnya dengan lichen, namun
penggunaannya dalam pemantauan polusi udara gas masih kurang. Hal itu dikarenakan ketersediaan spesies lichen yang lebih besar (khususnya spesies epifit) untuk pemantauan polusi udara. Standar praktek seperti pengambilan sampel, analisis dan pemilihan spesies dalam pemantauan dengan menggunakan lumut kurang berkembang dibandingkan dengan pemantauan dengan menggunakan lichen.
Berikut ini adalah Tabel 3.9 yang berisikan beberapa contoh spesies Bryophyta yang dapat bertindak sebagai indikator dari polusi udara.
3.6.2.3 Tumbuhan tingkat tinggi
Bioindikator tumbuhan telah digunakan untuk menunjukkan kualitas udara dalam bidang dan daerah tertentu sehingga dapat memberikan informasi yang unik untuk kualitas udara ambien dalam wilayah tertentu tersebut.
Metode yang paling umum dilakukan apabila menggunakan tumbuhan tingkat tinggi sebagai indikator dalam biomonitoring kualitas udara adalah dengan melihat adanya luka daun. Luka daun yang terlihat biasanya tidak spesifik dan dapat mengindikasikan berbagai tekanan pada tanaman. Hal ini menyebabkan peningkatan pada penggunaan efek fisiologis, struktural dan biokimia dalam studi biomonitoring. Respon ini tidak hanya terjadi sebelum cedera terlihat dan merupakan detektor awal sehingga dianggap sebagai parameter yang lebih tepat dan obyektif.
Sebagai contohnya adalah seperti yang dikemukakan oleh Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) dimana tanaman tembakau yang dapat digunakan sebagai indikator dari polutan pencemar SOx dan NOx. Apabila tanaman tembakau terpapar SOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg m-3) maka warna daun tembakau berubah dari hijau menjadi kuning. Dan apabila terpapar NOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg m-3), maka daun tembakau akan bernoktah cokelat. Dan apabila terpapar oleh keduanya yang melampaui baku mutu maka daun tembakau akan bewarna kuning dan coklat.
Berikut ini adalah beberapa contoh spesies tumbuhan yang dapat bertindak sebagai indikator polusi udara berikut dengan luka terlihat yang ditunjukkan menurut Purdom dan Stanley (1980) dalam Hadi (1985), yang dapat dilihat pada Tabel 3.10.
Selain yang telah disebutkan di Tabel 3.10 di atas, masih banyak tumbuhan tingkat tinggi lainnya yang merupakan indikator dari
pencemaran udara. Berikut ini adalah tumbuhan-tumbuhan indikator pencemaran udara yang diambil dan dirangkum dari beberapa literatur yaitu dari Treshow (1989), Kovacs (1992a), Kovacs (1992b), Wellburn (1994) dan Mulgrew et al (2000), yang dapat dilihat pada Tabel 3.11 hingga Tabel 3.30.
3.6.3 Kelebihan dan kekurangan tumbuhan sebagai indikator
3.6.3.1 Kelebihan tumbuhan sebagai indikator Penggunaan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan polusi udara memberikan banyak keuntungan-keuntungan dalam usaha untuk menjaga kualitas udara. Pemantauan kualitas udara suatu wilayah biasanya menggunakan pengukuran tingkat polusi udara secara fisika-kimia, dimana penggunaan metode tersebut menghasilkan hasil yang objektif dan akurat. Hal ini penting untuk mengumpulkan data kualitas udara untuk analisis standar, interrelating efek, pengurangan polusi di sumber dan pengendalian pencemaran udara secara umum. Hal ini memungkinkan untuk perumusan kebijakan dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi manusia, hewan dan tanaman. Akan tetapi metode fisik dan kimia tidak memberikan informasi yang cukup tentang risiko yang terkait dengan eksposur (paparan). Sebaliknya, metode biologis memungkinkan penilaian langsung dari resiko eksposur. Data biologis dapat digunakan untuk memperkirakan dampak lingkungan dan dampak potensial terhadap organisme lain, termasuk manusia.
Dibandingkan pemantauan secara fisik dan kimia, data biologis tidak perlu dilakukan secara terus menerus, melainkan dapat dilakukan secara periodik. Pemantauan fisika-kimia memerlukan penggunaan peralatan yang mahal dan tenaga yang terampil, serta pemeliharaan yang teratur dan tersedianya suku cadang. Hal tersebut banyak terdapat di sebagian besar negara berkembang dan dalam banyak kasus hal tersebut tidaklah efektif. Sedangkan pemantauan biologi umumnya lebih murah daripada metode lain dan dengan demikian sangat cocok untuk pemantauan jangka panjang di daerah yang luas tanpa menyediakan peralatan yang canggih dan berteknologi tinggi.
Selain yang telah dibahas di atas, berikut ini adalah keuntungan-keuntungan lainnya dari pemantauan biologis menggunakan tumbuhan menurut Ludwig et al (2004) :
Tumbuhan menunjukkan respon terpadu terhadap iklim polusi, sehingga memberikan informasi bahkan pada potensi campuran polutan yang kompleks, yang terjadi secara simultan atau alternatif dalam pola stokastik, bereaksi hanya untuk bagian yang efektif dari situasi polusi. Hal ini memungkinkan perkiraan yang realistis dari sebagian besar potensi risiko yang diberikan berkenaan dengan perlindungan terhadap lingkungan. Tumbuhan bereaksi terhadap beban polusi
udara ambien (sering kali dengan pola yang sangat berfluktuasi) dengan reaksi yang dapat dinilai dan diverifikasi, sedangkan pemodelan efek hanya menghasilkan tingkat kepercayaan yang rendah dikarenakan polutan terdistribusi acak dalam ruang dan waktu.
Tingkat yang berbeda dari organisasi tumbuhan, dapat digunakan untuk biomonitoring, mulai dari tumbuhan tunggal (daun atau bahkan sel tumbuhan), sekelompok tumbuhan sejenis dan ekosistem. Respon yang diperoleh di tingkat komunitas (misalnya pada komposisi yang sejenis) adalah hasil dari integrasi faktor yang berbeda selama periode panjang yang dialami oleh spesies tumbuhan kompetitif. Beberapa polutan udara mempunyai ambient
konsentrasi yang sangat rendah dan sulit untuk mengukur secara akurat dengan metode fisik dan kimia. Tumbuhan dapat menumpuk kedua polutan ke tingkat yang lebih mudah dalam menganalisanya.
Efek yang ditampilkan dalam spesies tumbuhan sensitif sebagai cedera yang terlihat (kerusakan daun atau perubahan dari keadaan sebenarnya), dan dalam spesies yang kurang sensitif (spesies yang toleran polusi) sebagai akumulasi polutan; adalah merupakan alat yang penting dalam mengenali efek polusi udara (membuat tak terlihat menjadi terlihat) dan / atau dalam mengenali pengalihan jejak polutan dalam rantai biologis.
Menurut Ludwig et al (2004) ada beberapa kemungkinan tujuan ketika melakukan biomonitoring polutan udara yaitu : Spasial distribusi polutan udara dalam
rangka memetakan efek polusi dalam skala regional maupun supra-regional. Hal ini dapat dilakukan dengan biondikator dan untuk deposito dari partikulat dan polutan gas dengan bioakumulator.
Distribusi temporal polutan udara (time series) juga dapat digunakan untuk menilai dampak dari deposisi partikulat serta polutan gas.
Sumber pemantauan jauh lebih mudah daripada pemantauan dalam skala besar dan dapat diaplikasikan lebih luas lagi ketika polutan mencapai tingkat fitotoksik. Perbedaan iklim antara lokasi pengukuran yang berbeda hampir dapat diabaikan pada skala regional.
Pada tingkat ekosistem, komunitas
tumbuhan adalah alat yang sangat menarik untuk mempelajari tekanan polusi udara pada komunitas tumbuhan dan ekosistem dan untuk mendeteksi dampak terhadap keanekaragaman hayati.
Bioindikator tanaman juga sangat berguna untuk menarik kesadaran masyarakat terhadap masalah pencemaran udara, karena mereka dapat menunjukkan visibilitas polutan udara yang tak terlihat, terutama di lingkungan kota dan di negara-negara berkembang dimana industrialisasi dan urbanisasi semakin meningkat.
Tanaman mungkin bisa berfungsi sebagai indikator kesehatan. Perbandingan kinerja biomonitoring dan terjadinya gangguan epidemiologi dalam kesehatan manusia dapat membantu mewujudkan hal tersebut, tetapi belum meyakinkan dan perlu dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan Bioakumulator tanaman sangat berharga dalam rangka untuk mempelajari pengalihan bahan kimia dari udara ke rantai makanan sehingga tanaman dapat digunakan untuk tujuan ini.
Biomonitoring menawarkan dukungan dan latar belakang yang ilmiah untuk elaborasi berdasarkan batas nilai-efek dan arahan terhadap kualitas udara
3.6.3.2 Kekurangan tumbuhan sebagai indikator
Meskipun teknik biomonitoring biasanya sederhana, non-kontinyu dan relatif murah secara individual, variabilitas faktor alam dan lingkungan mungkin memerlukan sejumlah besar sampel yang harus diambil untuk memenuhi presisi statistik yang dibutuhkan. Akibatnya, biomonitoring seharusnya tidak perlu dilihat sebagai pendekatan berbiaya rendah untuk penilaian kepatuhan. Selain itu, pengetahuan tentang faktor perancu potensial yang memodifikasi respon biota baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk polutan udara sangatlah penting.
3.7 Penggunaan Tumbuhan Sebagai Indikator Dalam Pemantauan Kualitas Udara
3.7.1 Skema biomonitoring
Apabila dirancang dengan baik, skema biomonitoring dapat membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan karena biomonitoring akan memfokuskan pada penilaian risiko dan upaya manajemen di mana mereka dibutuhkan dan menunjukkan efektivitas tindakan pengendalian yang dilakukan secara sukarela ataupun yang mengikuti peraturan. Skema yang dirancang memiliki sejumlah karakteristik dan menggunakan validasi metodologi biomonitoring dan organisme indikator yang sesuai dengan tujuan skema.
Berikut ini adalah skema-skema biomonitoring menurut Bealey et al (2008) :
1. Mengukur akumulasi unsur-unsur kimia dalam jaringan tanaman
Mengukur akumulasi polutan dalam jaringan tanaman adalah metode umum yang telah digunakan untuk menilai pengaruh dari bahan pencemar. Jumlah jaringan nitrogen (N) telah diukur selama bertahun-tahun dalam semua jenis jaringan tanaman untuk menilai deposisi nitrogen atmosfer. Metode ini membutuhkan sampling lapangan dan analisis laboratorium, namun relatif murah dibandingkan dengan jenis pemantauan fisik. Setiap gradien polutan yang terdeteksi dapat berfungsi sebagai titik sumber, dan dengan demikian akan menjadi nilai untuk pemetaan dan pembagian sumber polutan.
2. Tingkat perubahan komunitas
Perubahan komposisi jenis atau keanekaragaman menyediakan metode yang berguna untuk memonitor status suatu ekosistem dan dampak emisi. Dari metode ini, nilai indikator Ellenberg adalah yang terbaik dikenal. Indeks Ellenberg N terdiri dari mengalokasikan N-skor untuk masing-masing jenis tanaman, sehingga komunitas secara keseluruhan memiliki skor total berdasarkan skala mulai dari miskin nutrisi (1) dengan unsur kaya hara (10). Spesies pengeksploitasi dapat meningkat jumlahnya karena kurangnya kompetisi dari spesies yang tereliminasi, atau karena persaingan menjadi berkurang dengan ketersediaan unsur hara yang lebih besar.
3. Dampak cedera yang terlihat
Gejala cedera terlihat dapat diamati pada tumbuhan dan hewan. Gejala tanaman umum termasuk klorosis daun (kehilangan klorofil), nekrosis (kematian jaringan) atau amputasi (gugur daun), sedangkan gejala pada mamalia termasuk lesi gigi. Dampak cedera yang terlihat mengindikasikan kemungkinan hasil yang berpotensi negatif pada jenis tumbuhan atau ekosistem. Namun, gejala yang terlihat mungkin hanya sementara, pada tahap berikutnya tanaman akan pulih. Banyak faktor biotik dan abiotik lain bisa meniru gejala luka terlihat (klorosis, nekrosis atau amputasi daun), termasuk kekeringan, panas dingin, luka terbakar matahari, kekurangan gizi atau kelebihan, bahan kimia beracun lainnya (seperti pestisida dan herbisida), dan hama serta patogen. Oleh karena itu penting untuk memiliki pengetahuan tentang polutan yang dipancarkan dan dampak yang diharapkan. 4. Transplantasi - asli dan standar
Ada sejarah panjang menggunakan transplantasi standar dan asli sebagai biondikator aktif dan bioakumulator. Sebagai contoh, kultivar BelW3 sensitif dari tanaman tembakau (Nicotiana tabacum), telah digunakan selama puluhan tahun sebagai bioindikator hubungan ke tingkat ozon tanah. 5. Induksi enzim sitokrom P450
Induksi enzim sitokrom P450 adalah biomarker pemaparan, di dalam organisme tingkat tinggi (dibandingkan dengan tingkat di organisme dari referensi) menunjukkan paparan senyawa organik. Hal ini disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia seperti dioxin, PCB (polychlorinated biphenyls), hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dan insektisida organofosfat banyak termasuk (OPs), karbamat dan fungisida.
6. Kenaikan formasi DNA
Bentuk DNA dipengaruhi oleh paparan polutan organik yang mengikat DNA yang akan mengakibatkan genotoxicity ke sel. DNA pada organisme yang terpapar mungkin menyebabkan perubahan genetik dalam organisme tersebut di masa depan. Sementara polutan yang bersangkutan mungkin tidak akut beracun, akan tetapi mengakibatkan efek yang tertunda. Mengukur DNA dapat memberikan peringatan dini dari adanya kemungkinan efek jangka panjang. Metode ini digunakan untuk memantau kontaminasi PAH di daerah pesisir Amerika Serikat dan
juga untuk memantau paparan aflatoksin pada manusia.
7. Histopatologi lesi
Mengukur histopatologi lesi melibatkan pengukuran dalam perubahan morfologi seluler dalam jaringan organ internal atau eksternal berikut paparan bahan kimia, misalnya perubahan/pembesaran sel, proliferasi sel darah putih, perubahan sel epitel dan sel paru-paru alveolar. Perubahan morfologi dapat merupakan sinyal peringatan dini (mirip dengan kenaikan formasi DNA) untuk penyakit yang mungkin muncul ke permukaan setelah paparan telah berakhir. Metode ini digunakan sebagai bagian dari survei perairan pesisir di Inggris.
8. Umpan lamina strip
Strip ini mengukur aktivitas makan dari organisme yang hidup di dalam tanah (termasuk invertebrata dan mikro-organisme). Mereka dapat dengan cepat diukur dan murah serta dapat memberikan indikasi keseluruhan dari kesehatan suatu wilayah, meskipun mereka tidak spesifik -polutan. Alasannya adalah bahwa daerah yang terganggu akan memiliki lebih sedikit organisme tanah-hunian sehingga kecepatan makan akan rendah dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak terganggu (yang seharusnya memiliki tingkat aktivitas makan tinggi).
Dari 8 skema di atas, skema biomonitoring yang dapat digunakan dalam pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikatornya yaitu dengan mengukur akumulasi unsur-unsur kimia dalam jaringan tanaman, mengamati tingkat perubahan komunitas, mengamati dampak cedera yang terlihat, serta dengan transplantasi tumbuhan.
3.7.2 Metode pemantauan biologis
Pemantauan biologi terkait polutan udara dengan menggunakan bioindikator menurut Mulgrew et al (2000) dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
1. Metode pasif dilakukan dengan mengamati tanaman yang tumbuh secara alami di dalam area yang dipantau.
2. Metode aktif dilakukan dengan mendeteksi adanya polusi udara dengan menempatkan tanaman uji yang respon dan genotipenya telah diketahui, ke daerah penelitian.
Kovacs (1992b) menyatakan bahwa biomonitoring dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:
1. Pemantauan langsung
Jumlah polutan dimonitor langsung dalam organisme dengan menerapkan desain yang sedang berkembang terus menerus. Satu-satunya perbedaan antara pemantauan biologi dan kimia adalah bahwa sampel pertama diperoleh dari organisme hidup bukan dari lingkungan.
Secara umum, pengukuran konsentrasi diterapkan dimana lokasi dan waktu dari dampak yang diharapkan tidak diketahui. Oleh karena itu, ukuran sampel yang besar diperlukan untuk merekam kerusakan. Juga, penyelidikan jangka panjang yang diperlukan untuk memilih spesies tanaman dan hewan yang tahan terhadap jumlah yang relatif besar bahan beracun sementara mengumpulkan mereka dalam jaringan mereka. Penelitian kontrol juga harus dilakukan untuk menetapkan konsentrasi dasar dari substansi diukur (misalnya logam berat) dalam sampel tercemar organisme. Sebagai konsentrasi diukur dari polutan dalam organisme juga dapat dipengaruhi oleh faktor fisiologis, pemantauan biologis langsung harus dilengkapi dengan analisis fisiologis. Akibatnya, pengetahuan tentang mekanisme penyerapan dan ekskresi menjadi penting.
2. Pemantauan tidak langsung
Pemantauan biologis melibatkan pemeriksaan variabel biologis untuk mendeteksi perubahan lingkungan. Prinsipnya adalah bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan memiliki efek yang signifikan terhadap biota. Dalam pemantauan ini dibutuhkan pengetahuan tentang perubahan lingkungan dan respon dari organisme sasaran sehingga dapat memudahkan penilaian kondisi lingkungan. Jadi, organisme menunjukkan perubahan lingkungan sementara kita hanyalah menafsirkan dan memahami sinyal-sinyal biologis tersebut.
3.7.3 Tahap-tahap pemantauan pencemaran udara dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator
3.7.3.1 Lichen sebagai indikator
Burton (1986) menekankan perlunya pertimbangan dalam perbedaan morfologi dan sifat pertukaran ion antara spesies lichen yang berbeda ketika memilih spesies untuk memantau logam berat atmosfer. Selain itu Richardson (1991) juga menyebutkan bahwa penentuan sifat
dan bentuk logam berat atmosfer yang diteliti adalah penting dalam pemilihan spesies, hal ini sering menentukan apakah lichen akan mati, menunjukkan gejala atau terakumulasi tanpa membahayakan nyata.
Tyler (1989) menyebutkan bahwa sensitivitas dari lichen untuk peningkatan konsentrasi logam berat dalam jaringan sangat bervariasi antara spesies, populasi dan elemen. Dari itu semua, spesies dengan kemampuan untuk bioakumulasi konsentrasi logam yang tinggi tanpa kerusakan yang jelas lebih menguntungkan dalam studi biomonitoring dengan menggunakan lichen. Pemetaan distribusi lichen
Distribusi geografis spesies lumut membedakan daerah dengan derajat polusi udara yang berbeda. Berdasarkan keberadaan dan distribusi lumut kulit pohon, adalah mungkin untuk membuat kesimpulan mengenai adanya berbagai polutan udara. Sampai saat ini, peta lumut telah dikompilasi untuk hampir setiap kota besar dunia. Dalam pemetaan, umumnya, ada tiga atau lima zona yang dapat dibedakan yaitu sebagai berikut:
Lichen desert : daerah dengan konsentrasi sulfur dioksida yang tinggi di mana tidak ada lumut terlihat. Daerah ini juga disebut zona "
critical total loading ". Di daerah ini,
konsentrasi rata-rata tahunan atau harian SO2, NO2, dan polutan lainnya berada pada tingkatan yang tinggi.
Struggling zone : beberapa spesies lichen yang resisten masih ada, akan tetapi koloni dari spesies yang sensitif telah mengalami kerusakan. Zona ini dibedakan menjadi beberapa subzones berikut ini :
- inner struggling zone = spesies yang dipelajari dapat ditemukan pada 10% dari pepohonan
- intermediate struggling zone = spesies
yang dipelajari dapat ditemukan pada 25% dari pepohonan
- outer struggling zone = spesies yang
dipelajari dapat ditemukan pada 50% dari pepohonan
Normal zone : polusi udara tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan lumut. Antara zona luar dan normal, sering disebut sebagai zona transisi.