• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk

(2)

melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan Laut Lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan teknologi. Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diharapkan dapat mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.

Di sisi lain, terdapat beberapa isu dalam pembangunan perikanan yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pihak lain yang terkait dengan pembangunan perikanan. Isu-isu tersebut diantaranya adanya gejala penangkapan ikan yang berlebih, pencurian ikan, dan tindakan illegal fishing lainnya yang tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan nelayan dan pembudi daya-ikan, iklim industri, dan usaha perikanan nasional. Permasalahan tersebut harus diselesaikan dengan sungguh-sungguh, sehingga penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan berkelanjutan. Adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan.

(3)

Kelemahan pada aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya mekanisme koordinasi antarinstansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek hukum antara lain masalah penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar kewenangan pengadilan negeri tersebut.1

Luas wilayah perairan Indonesia merupakan potensi alam yang besar untuk dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional diarahkan pada pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut serta pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusifnya secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung sumber daya kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja.

Dengan telah disahkannya rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif dalam lingkup Hukum Laut Internasional yang baru, maka sumber daya perikanan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan berperan sangat potensial untuk menunjang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Walaupun sumber daya perikanan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, namun demikian dalam memanfaatkan sumber daya perikanan harus seimbang dengan daya dukungnya sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara terus menerus dan lestari.

1

UU RI No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, Penjelasan.

(4)

Berdasarkan hal tersebut perlu diperhatikan bagaimana GBHN Tahun 1999 yang telah mengarahkan kebijaksanaannya. Sehubungan dengan hal ini Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 pada butir ekonomi, khususnya mengenai pertanian di dalam huruf e-nya menyatakan : Pembangunan perikanan diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan,…. Kegiatan penangkapan ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif perlu diatur melalui pola pengusahaan yang menjamin penerimaan sebesar-besarnya bagi negara.

Lebih lanjut mengenai kelautan pada huruf b TAP MPR tersebut dinyatakan bahwa : Pengusahaan potensi kelautan sebagai sumber dari berbagai kegiatan ekonomi perlu dipacu melalui peningkatan investasi khususnya di Kawasan Timur Indonesia, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup agar mampu memberikan sumbangan lebih besar pada upaya pembangunan nasional. Industri perikanan dan budidaya laut lainnya perlu terus ditingkatkan baik sarana, prasarana maupun sumber daya manusianya sehingga potensi biota lautnya dapat dimanfaatkan guna kepentingan pembangunan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukungnya.

Dalam konsiderans menimbang Keputusan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2000 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pemberian izin usaha di bidang perikanan, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan sedang melakukan

(5)

penataan di bidang perikanan; Bahwa untuk menjamin kelangsungan investasi di bidang perikanan selama proses penataan tersebut pada butir a, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan pemberian izin usaha perikanan dengan Keputusan Menteri.

Berdasarkan hal tersebut di atas masalah pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia mencakup pengusahaan budidaya dan penangkapan. Di bidang penangkapan diatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan, jenis dan ukuran yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan, alat-alat penangkapan dan syarat teknis kapal perikanan dan perizinan usaha perikanan tangkap. Dalam peraturan perizinan penangkapan sumber daya perikanan diatur antara lain subyek hukum yang dapat melakukan usaha penangkapan ikan, syarat-syarat dan prosedur perizinan, kewajiban subyek hukum yang memperoleh izin, instansi pemerintah yang berwenang memberikan izin, dan pengawasan usaha penangkapan.

Namun demikian masih banyak ditemukan pelanggaran ketentuan penangkapan perikanan seperti pelanggaran jalur/daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal bermesin dengan bobot dan peralatan tertentu dengan memasuki jalur yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi nelayan lokal/tradisional. Semakin banyaknya kapal-kapal berbendera asing yang dioperasikan oleh Badan Hukum Indonesia yang dilengkapi peralatan canggih, mereka dengan mudah mengetahui tempat-tempat pemusatan ikan dan langsung menangkap dengan peralatan yang

(6)

canggih tersebut. Hal ini dapat berakibat berkurangnya hasil tangkapan yang diusahakan oleh nelayan lokal/tradisional Indonesia.

Pencurian ikan di perairan Indonesia mendesak untuk diselesaikan dan ditindak. Diperlukan keseriusan pemerintah untuk melakukan pendataan mengenai berapa banyak hasil tangkapan ikan di laut secara resmi.

Data statistik oleh Food Agriculture Organization (FAO) menyebutkan setiap tahun Indonesia kehilangan 1,5 hingga 3 juta ton potensi perikanan.2

Pemerintah hingga saat ini mengeluarkan sekitar 20 kebijakan dalam bentuk Keputusan Menteri dan Keputusan Presiden untuk menghentikan pencurian ikan. Tapi masih saja 10 negara (Thailand, Vietnam, Filipina, Korea, China, Taiwan, Panama, Myanmar, Kamboja, dan Malaysia) leluasa mencuri ikan Indonesia.

Pada 2005 terjadi 174 kasus pencurian ikan, kemudian 216 kasus pada 2006, 2007 sebanyak 160 kasus, dan 2008 sebanyak 198 kasus. Setiap tahunnya negara mengalami kerugian hingga mencapai sebesar Rp 30 triliun akibat pencurian ikan.

3

Bahwa perundang-undangan yang ada saat ini belum dapat memberikan efek jera kepada pencuri ikan. Sehingga kasus pencurian terus-menerus terjadi dan merugikan Indonesia.4

Pencurian ikan jangan hanya dijadikan sebagai masalah internal Indonesia, namun juga masalah internasional yang memerlukan koordinasi bersama. Hal ini dapat juga mengkhawatirkan citra Indonesia di mata internasional sebagai bangsa

2

www.desasejahtera.org/ pencurian ikan, dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat, diakses tanggal 27 Maret 2013. M. Riza Damanik Sekretaris Jenderal KIARA, Jakarta.

3 Ibid 4

(7)

pencuri ikan. Hal ini terjadi karena Indonesia tidak pernah melaporkan kepada dunia internasional tentang status perikanannya.5

Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing), dan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing). Negara yang belum melaporkan status perikananannya dengan jelas, bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan. Tindakan yang tepat dilakukan sekarang ini adalah melaporkan sesuai data yang akurat sehingga dunia internasional dapat membantu Indonesia melalui tindakan yang tepat.

Data Indonesia tidak menyebutkan adanya kebocoran karena pencurian. Kebijakan negara tidak melihat ada pencurian ikan, sehingga kebijakannya terus mengeluarkan ijin dan memberikan konsesi. Sudah seharusnya pemerintah memiliki rencana untuk menghapus pencurian ikan.6

Hingga kini belum ada hukuman yang tegas bagi pencuri ikan. Kalaupun dikenai hukuman, hanya Anak Buah Kapal (ABK) nya saja. Selain itu, negara juga berkewajiban mengembalikan mereka ke negara asalnya. yang seharusnya ditindak tegas adalah sang pemilik modal yang terus menerus mendapatkan keuntungan, bukan ABK yang hanya eksekutor di lapangan.7

Maraknya pencurian sumber daya ikan di Indonesia yang dilakukan oleh nelayan asing terus terulang di lokasi perairan Indonesia. Tak hanya dikarenakan lemahnya pengawasan lembaga terkait, perihal itu tidak lepas juga dari semakin

5 Ibid. 6 Ibid 7

www.desasejahtera.org/ pencurian ikan, dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat, diakses tanggal 27 Maret 2013.

(8)

beraninya nelayan asing untuk mengeksplorasi perairan indonesia dengan teknologi kapal dan alat tangkap yang modern.

Saat ini tidak saja pencurian ikan, namun sudah meluas ke tindak penyelundupan sumber daya ikan hasil tangkapan nelayan asing ke dalam wilayah Republik Indonesia. Perairan Kalimantan Barat dan Selat Karimata adalah satu dari lokasi yang selalu menjadi target pencurian yang dilakukan oleh nelayan asing. Perairan tersebut secara tidak langsung berada pada perbatasan Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Ikan-ikan hasil curian dari Kalimantan Barat tersebut nyaris seluruhnya dibawa ke negara asing. 8

Kerugian yang diakibatkan oleh sering terjadinya penjarahan oleh nelayan asing sudah sekitar Rp 30 Triliun/tahun.9 Penjarahan terjadi di Arafuru, Laut Sulawesi, Laut China Selatan, hingga perairan lain yang terhubung ke negara tetangga. Pada tahun 2011, 13 kapal ditangkap yang di sekitar Selat Malaka.10

8

Tetapi, Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, berhasil mendapatkan fakta baru jika ikan-ikan hasil curian dari Kalbar tersebut kini sudah tidak semuanya dibawa pulang oleh nelayan asing.

Pada Januari-Mei 2012, telah ditangkap sekitar 7 kapal nelayan asing. Kapal-kapal asing yang berhasil ditangkap diantaranya terdapat Kapal Motor PFKA 8096 dengan nakhoda berkebangsaan Myanmar. Kapal berbendera Malaysia tersebut berhasil disita di Selat Malaka. Hingga saat ini, hukuman yang ditanggung oleh nelayan asing tersebut hanya berbentuk penyitaan kapal. Sedangkan nakhodanya mendapatkan hukuman berupa kurungan yang disesuaikan dengan keputusan pengadilan selama 3 bulan hingga dan 1 tahun.

9

Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, diakses tanggal 12 Maret 2013 10

Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, Mukhtar yang juga menjabat sebagai Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Medan

(9)

Sanksi tersebut ternyata tidak membuat nelayan asing jera. Hingga sekarang masih saja terjadi pencurian ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia selalu direpotkan oleh para Anak Buah Kapal (ABK) asing.Pasca proses hukuman kapal-kapal asing tersebut saat ini masih ada sekitar 46 ABK yang masih dalam masa penahanan. Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) merasa sulit untuk mendapatkan dana agar bisa memulangkan ke negaranya atau juga untuk menanggung keperluan hidup mereka. Sekarang para ABK tersebut masih menetap di kapal masing-masing dan berada didalam pengawasan langsung petugas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan PSDKP.11

Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti ingin lebih mengetahui dan memahami tentang Illegal Fishing. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul skripsi “Pengaturan Hukum Internasional tentang “lllegal Fishing (oleh nelayan asing) pada ZEE”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah :

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional tentang Illegal Fishing?

2. Bagaimana pengaturan Illegal Fishing Oleh Nelayan Asing Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam Hukum Nasional Indonesia?

3. Bagaimana Aspek penegakkan hukum yang dilakukan Indonesia terhadap Illegal Fishing pada ZEE Indonesia?

11

www.perikananindonesia.com/maraknya pencurian ikan di Indonesia, diakses tanggal 28 Maret 2013

(10)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui dan membahas tentang pengaturan Hukum Internasional tentang Illegal Fishing.

2. Untuk mengetahui dan membahas pengaturan Illegal Fishing Oleh Nelayan Asing Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam Hukum Nasional Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan membahas penegakkan hukum yang dilakukan Indonesia terhadap Illegal Fishing pada ZEE Indonesia.

Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan sebagai berikut : 1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Internasional pada khususnya.

2. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbagan pemikiran sebagai berikut :

a. Dapat memberikan masukan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan.

(11)

b. Dapat memberikan masukan kepada penegak hukum dan masyarakat terkait dengan illegal fishing.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Pengaturan hukum internasional tentang Ilegal Fishing (oleh nelayan asing) pada ZEE Indonesia” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang illegal fishing . Jadi penulisan ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Illegal Fishing

Perdebatan sekitar ilegal, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan tidak diatur Illegal, unreported and unregulated (IUU), bersama dengan berita, informasi tentang acara, dokumen penting dan link ke situs lain yang relevan. IUU fishing adalah masalah global yang serius, salah satu hambatan utama untuk pencapaian perikanan dunia yang berkelanjutan. Senilai antara US $ 10 miliar dan US $ 23.5bn per tahun, IUU fishing merupakan kerugian besar dari pendapatan, terutama untuk beberapa negara termiskin di dunia di mana

(12)

ketergantungan pada perikanan untuk makanan, mata pencaharian dan pendapatan yang tinggi.12

IUU fishing tidak menghormati batas-batas nasional maupun internasional upaya untuk mengelola sumber daya laut yang tinggi. IUU tumbuh subur di mana pemerintahan lemah dan di mana negara gagal memenuhi tanggung jawab internasional mereka. IIU menempatkan tekanan berkelanjutan pada stok ikan, satwa laut dan habitat, merongrong standar perburuhan dan mendistorsi pasar. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Selat Malaka tergolong masih rawan pencurian ikan oleh armada kapal nelayan asing.13

Hasil pantauan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan dari udara, banyak kapal asing beroperasi di sekitar Selat Malaka. Tidak tertutup kemungkinan kapal asing berbobot mati di atas 40 ton itu juga masuk secara ilegal ke ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia untuk mencuri ikan.

14

Sumber daya ikan sangat berlimpah di Selat Malaka sehingga banyak nelayan memanfaatkan kesuburan perairan tersebut untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan ZEE Indonesia Selat Malaka.

Kawasan ZEE Selat Malaka, termasuk salah satu perairan yang rawan dimasuki armada kapal ikan asing karena kawasan itu diperkirakan banyak terdapat beragam spesies ikan tropis yang bernilai ekonomi relatif tinggi, di antaranya tuna, cakalang, bawal, tenggiri, kerapu cumi, teri, dan kakap.

12

http://www.illegal-fishing.info/, diakses tanggal 13 Maret 2013 13

Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara, Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan Medan, laporan tanggal 5 April 2013

14

Kepala Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan, laporan tanggal 8 April 2013

(13)

Dari 15 kapal yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Stasiun PSDKP Belawan, sebanyak lima kapal di antaranya telah dinyatakan P21, dan perkaranya segera disidangkan di Pengadilan Negeri Medan.

Untuk mengurangi aksi penangkapan ikan secara ilegal di ZEE Selat Malaka, mutlak diperlukan pengamanan dan pengawasan secara rutin dari instansi berwenang, termasuk PSDKP Belawan. Upaya pengamanan dan pengawasan terhadap kemungkinan aksi illegal fishing harus lebih gencar dan rutin dilaksanakan agar laut Indonesia kelak tidak mengalami krisis ikan.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim Indonesia setiap tahun merugi sekitar Rp 9,4 triliun akibat praktik pencurian ikan yang tertangkap pengawas perairan Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal PSDKP KKP Syahrin Abdurrahman, Selama tahun 2010 telah menangkap 140 kapal ilegal asing yang masuk ke perairan Indonesia.

Dari jumlah kapal ikan asing yang telah disita negara tersebut, sebanyak 34 kapal yang siap pakai dan sisanya rusak berat atau tenggelam.

Indonesia saat ini baru memiliki 24 kapal pengawas dan hanya 17 unit kapal di antaranya yang dilengkapi persenjataan standar. Indonesia berupaya meningkatkan kegiatan pengawasan melalui peningkatan koordinasi dengan lintas penegak hukum di laut.

Badan Koordinasi Keamanan Laut juga berpatroli rutin di wilayah barat, termasuk Selat Malaka. Kegiatan patroli tersebut juga melibatkan satuan tugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta dari Kementerian Perhubungan.

(14)

2. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan Laut Teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia.

Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial (Zona Ekonomi Ekslusif) . Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.

(15)

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.15

Sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil tempat di jarak 200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.

A. Batas luar

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luar tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena kehadiran

15

(16)

wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah angka yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada.

Figur 200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalah pahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil.16

B. Batasan

Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil penuh, karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.

C. Pulau-pulau

Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 syarat yang harus dipenuhi. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi

16

Prof. Hollick.dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Zona_Ekonomi_Eksklusif, diakses tanggal 14 Maret 2013

(17)

ZEE, Pasal 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."

D. Wilayah yang tidak berdiri sendiri

Syarat kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, syarat ketiga pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan perkembangan mereka.

Pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif diatur dalam UNCLOS 1982,terdapat dalam pasal 55,56,57 yang menjelaskan

Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.17

1. Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai :

(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;18

17

Pasal 55, UNCLOS 1982 18

(18)

(b) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan :

(i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan;

(iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;

(c) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. 2. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan

Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.19

3. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI.20

Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.21

Pengaturan tentang Perlindungan Ikan dalam UNCLOS 1982 terdapat dalam Pasal 62 yang menjelaskan tentang Pemanfaatan Sumber Kekayaan Hayati :

1. Negara pantai harus menggalakkan tujuan pemanfatan yang optimal sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 61.22

2. Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal Negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan, maka Negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4, memberikan kesempatan pada Negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan Negara berkembang yang disebut di dalamnya.

3. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain memasuki zona ekonomi eksklusifnya berdasarkan ketentuan Pasal ini, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk inter alia pentingnya sumber kekayaan hayati di daerah itu bagi

19

Pasal 56 ayat 2, UNCLOS 1982 20

Pasal 56 ayat 3, UNCLOS 1982 21

Pasal 57, UNCLOS 1982 22

(19)

perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasionalnya yang lain, ketentuan pasal 69 dan 70, kebutuhan Negara berkembang di sub-region atau region itu dalam memanfaatkan sebagian dari surplus dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warganegaranya sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut atau telah sungguh-sungguh melakukan usaha riset dan identifikasi persediaan jenis ikan.

4. Warga Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal berikut :

(a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;

(b) penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kwota-kwota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka waktu tertentu;

(c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan;

(d) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap; (e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan,

termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;

(f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan;

(g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara pantai;

(h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan Negara pantai;

(i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama lainnya;

(20)

(j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan;

(k) prosedur penegakan.

5. Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai peraturan konservasi dan pengelolaan.23

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi :

1. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,24

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap Pengaturan tentang llegal Fishing pada wilayah ZEE.

. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi adalah diperoleh dari :

23

Pasl 62 Ayat 4, 5, UNCLOS 1982 24

Soerdjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.

(21)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yakni : peraturan perundang-undangan yang terkait, seperti : Undang-Undang Perikanan, Undang undang tentang Wilayah Negara dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari pakar hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan primer dan sekunder, seperti Kamus Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia.25

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan. Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.

4. Analisis Data

Untuk mengelola data yang di dapat dari suatu dokumen dan penelitian lapangan, maka hasil penelitian menggunakan analisis yuridis. Analisis yuridis ini pada dasarnya merupakan penerapan tentang teori-teori tersebut dapat

25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 370.

(22)

ditarik kepada hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan dalam skripsi ini. Data yang dianalisis memakai metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 Bab, masing masing bab terdiri dari :

Bab I Berisi latar belakang Permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas tentang pengaturan Illegal Fishing dalam hukum internasional , terdiri dari: Pengertian Illegal Fishing, pengertian Zona Ekonomi Ekslusif serta Ketentuan tentang Illegal Fishing pada UNCLOS 1982.

Bab III Membahas tentang Pengaturan hukum nasional terhadap Illegal Fishing oleh nelayan asing di ZEE Indonesia, terdiri dari Wilayah perairan laut dan Zona Ekonomi Ekslusif sebagai wilayah negara, permasalahan hukum kasus illegal fishing di Indonesia (perbuatan illegal fishing oleh nelayan asing) serta Pengaturan hukum nasional terhadap Illegal Fishing.

Bab IV Membahas tentang Aspek Penegakkan hukum yang dilakukan Indonesia terhadap Illegal Fishing pada ZEE Indonesia, terdiri dari Lembaga yang berwenang dalam penegakkan hukum terhadap Pelaku Illegal Fishing di Zona Ekonomi Ekslusif. Mekanisme Hukum Internasional dan Nasional

(23)

terhadap Penegakkan Hukum di ZEE serta Aspek Penegakkan Hukum terhadap Illegal Fishing pada ZEE Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode survai pada kelompok wanita tani ayam buras, menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) mencakup karakteristik responden/individu yaitu umur,

(4) Selain kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani

Dari uraian-uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah akuntabilitas kinerja himpunan

Selama staff desa Sukamerta melakukan pelayanan administrasi kependudukan yang beberapa masih dilakukan secara konvensional dimana staff harus mencatat data pemohon

• Perlindungan Kecelakaan Diri (Bagian 13) mulai berlaku 2 jam sebelum Tertanggung meninggalkan Indonesia dan berakhir pada kondisi berikut ini tergantung hal mana

Temuan artefak ataupun sisa-sisa fosil manusia prasejarah seperti yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara (Thailand, Philippine, dan Malaysia) serta wilayah lain bagian

a) Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi.. Untuk dapat bersaing dengan produk China, Indonesia khususnya pemerintah harus lebih

Kualitas jasa pelayanan dapat dilihat dari kesenjangan yang timbul dalam proses pelayanan yang berlangsung, dimana hal ini merupakan suatu bentuk pelayanan yang dapat