• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH BIOENERGI PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH BIOENERGI PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH BIOENERGI

PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

Oleh :

Yosua (125100601111007)

Jatmiko Eko Witoyo (125100601111006) Linda Luvi Nurwindi (125100601111008) Aginta Friska Mahartika (125100601111011) Lanny Ariani (125100601111013) Khanza Jasmine (125100601111015)

Kelas H

Dosen :

Dewi Maya Maharani,S.TP,M.Sc

PROGRAM STUDI TEKNIK BIOPROSES JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

1. PENDAHULUAN

Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi. Bahan lignoselulosa, termasuk dari ampas tebu terdiri atas tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri atas perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa menjadi gula, fermentasi gula menjadi etanol, dan pemurnian etanol melalui proses distilasi dan dehidrasi. Biaya produksi etanol masih cukup tinggi. Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan untuk memperbaiki proses produksi mulai dari tahap perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa, fermentasi gula menjadi etanol sampai dengan pemurnian etanol. Dengan memerhatikan potensi biomassa lignoselulosa, khususnya ampas tebu sebagai bahan dasar bioetanol, perlu dilakukan pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian dalam upaya pemanfaatan bahan tersebut.

2. KARAKTERISTIK DAN POTENSI BIOMASSA LIGNOSELULOSA a. Pengertian Lignoselulosa

Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama lignin, selulosa,dan hemiselulosa. Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menjadikan bahan ini berpotensi sebagai salah satu sumber energi melalui proses konversi, baik proses fisika, kimia maupun biologis. Salah satu proses konversi bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses konversi lignoselulosa menjadi etanol yang selanjutnya dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi.

b. Komponen UtamaLignoselulosa

Komponen utama dalam bahan lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa,dan lignin. Ketiganya membentuk suatuIkatan kimia yang kompleks yang menjadiBahan dasar dinding sel tumbuhan. Selulosa adalah salah satu komponen utama dari lignoselulosa yang terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat pada ikatan 1,4-glikosidik. Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra molekuler sehingga memberikan struktur yang larut. Mikrofibril selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf.

Hemiselulosa merupakan salah satu penyusun dinding sel tumbuhan selain selulosa dan lignin, yang terdiri dari kumpulan beberapa unit gula atau disebut heteropolisakarida,

(3)

dan dikelompokkan berdasarkan residu gula utama sebagai penyusunnya seperti xylan, mannan, galactan dan glucan. Hemiselulosa terikat dengan polisakarida, protein dan lignin dan lebih mudah larut dibandingkan dengan selulosa. Lignin adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan polimer terbanyak setelah selulosa. Lignin yang merupakan polimer aromatik berasosiasi dengan polisakarida pada dinding sel sekunder tanaman dan terdapat sekitar 20-40% . Komponen lignin pada sel tanaman (monomer guasil dan siringil) berpengaruh terhadap pelepasan dan hidrolisis polisakarida.

c. KandunganLignoselulosa Dan Potensi Etanol Yang Dapat Dihasilkan

Indonesia memiliki banyak pabrik gula tebu, baik yang dikelola oleh negara (PT Perkebunan Nusantara/PTPN) maupun swasta. Data statistik dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi gula meningkat dari tahun ke tahun. Direktorat Jenderal Perkebunan (2009b) juga melaporkan bahwa produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan saat ini terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari (TTH). Sementara itu, data P3GI (2010) menunjukkan terdapat 15 perusahaan dengan 62 pabrik gula dengan jumlah tebu yang digiling 29,911 juta ton. Tabel 4 menyajikan potensi etanol yang dapat dihasilkan pabrik gula di Indonesia berdasarkan data produksi giling tahun 2009 yang diperoleh dari P3GI (2010) dan dihitung mengikuti Badger (2002) dengan asumsi ampas tebukering 10% dari tebu digiling, kadar selulosa (glukan) dan hemiselulosa (xilan) ampas tebu masing-masing 40% dan 20%, efisiensi sakarifikasi glukan dan xilan masing-masing 76% dan 90%, serta efisiensi fermentasi glukosa dan xilosa masingmasing 75% dan 50%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi etanol yang dapat dihasilkan berkisar 467–112.552 kL/ tahun, dan potensi total untuk seluruh Indonesia 614.827 kL/tahun.

(4)

3. TEKNOLOGI KONVERSIBIOMASSA LIGNOSELULOSAMENJADI ETANOL

a. Perlakuan Pendahuluan

Dari pembahasan jurnal tersebut, metode perlakuan pendahuluan (pretreatment) pada lignoselulosa terbagi menjadi 4 metode yang masing-masing memilki kelebihan dan kekurangan, antara lain sebagai berikut:

1. Perlakuan pendahuluan secara fisika, contoh: pencacahan secara mekanik, penggilingan, dan penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi kristalinitas selulosa, dll. Preteatment jenis ini cukup efektif dalam memecah lignin, akan tetapi dalam pengaplikasiannya dibutuhkan energy cukup besar, sehingga dapat meningkatkan biaya produksinya.

2. Perlakuan pendahuluan secara kimia, contoh: ozonolisis, hidrolisis asam, hidrolisis alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv, dll. Dalam aplikasinya, pretreatment jenis inilah yang paling banyak digunakan karena kelebihannya yang mudah digunakan, efektif, cepat dan tidak membutuhkan energy yang terlalu besar. Namun, apabila senyawa kimia yang digunakan dalam pretreatment ini dipakai secara berlebihan, maka tentunya akan berdampak buruk bagi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan, penggunaan senyawa kimia dapat memicu pembentukan senyawa toksik. Senyawa toksik sendiri juga dapat menghambat proses hidrolisis polisakarida pada tahap selanjutnya dalam pretreatment lignin. oleh karena itu, akibat dampak yang ditimbulkan dari penggunaan pretreatment ini, para peneliti mulai tergerak untuk mengembangkan metode yang lebih ramah lingkungan.

3. Perlakuan pendahuluan secara fisikokimia, contoh: steam explosion, ammonia fiber explosion (AFEX), dan CO2 explosion, dll. Pada pretreatment ini adalah gabungan antara pretreatment fisika dan kimia, di mana memiliki kelebihan yang mirip dengan jenis pretreatment fisika dan kimia yakni, efektif memecah lignin, mudah efektif, dan cepat. Sedangkan kelemahannya memerlukan energy yang cukup besar namun masih di bawah pretreatment fisika. Selain itu, penggunaan senyawa kimianya juga berdampak buruk bagi lingkungan. Pada pretreatment contoh metode yang sering digunakan adalah steam explosion.

4. Perlakuan pendahuluan secara biologi, contoh: mikroorganisme jamur pelapuk coklat, jamur pelapuk putih, dan jamur pelunak untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa yang ada dalam bahan lignoselulosa, dll. Pretreatment jenis ini mulai banyak diteliti saat ini. Sebelumnya, pretreatment ini kurang diminati karena pengaplikasiannya yang

(5)

membutuhkan waktu lama dalam proses mendegradasi lignin dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan hemiselulosa sehingga jumlah selulosa dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan menjadi berkurang. Walaupun demikian, pretreatment jenis ini paling banyak diteliti, karena sifatnya yang ramah terhadap lingkungan. Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses perlakuan pendahuluan yang optimal terhadap bahan ini masih terbuka lebar. Bahan baku yang berbeda akan memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda pula. Oleh karena itu, tidak ada satu metode umum yang berlaku untuk perlakuan pendahuluan semua bahan lignoselulosa. Namun, saran kami, metode yang tepat untuk digunakan adalah perlakuan pendahuluan ada 2 yakni menggunakan gelombang microwave dan secara biologi. Penjelasan lebih lanjut, ada pada poin 4. Ide Cara Peningkatan Kualitas Hasil b. Sakarifikasi

Sakarifikasi atau hidrolisis adalah proses penguraian pati menjadi gula – gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakuakn menggunakan larutan asam atau secara enzimatis, masing – masing dengan kelebihan dan kekurangan. Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan(PH sekitar 4,80 dan suhu 45 – 50oC) dan tidak menibulkan masalah korosi. Dalam proses ini digunakan

enzim endoglukanase, enzim eksoglukonase, dan beta-glukosidase.Fungsi enzim endoglukanase adalah untuk memcah selulosa secara acak dan memebentuk ujung rantai yang bebas. Enzim eksoglukanase berfungsi untuk mendegradasi lebih lanjut molekul tersebut dengan memindahkan unit – unit selobiosa dari ujung rantai yang bebas. Sedangkan enzim beta-glukosidase merupakan enzim yang menghidrolisis elobiosa menjadi glukosa. Penggunaan enzim bergantung pada kadar padatan tidak larut air. Semakin banyak selulase yang digunakan, maka akan semakin tinggi rendemen dan kecepatan hidrolisis. Proses hidrolisis juga dapat menggunakan aam encer, namun harus dilakukan pada tekanan tinggi dalam waktu yang singkat. Jika menggunakan asam pekat maka dilakukan pada suhu yang relatif rendah. Biasanya waktu yang diperlukan untuk reaksi hirdolisis dengan menggunakan asam pekat memebutuhkan waktu yang lebih lama di banding dengan penggunaan asam encer.Proses hidrolisis dengan asam dapat menghasilkan produk sampingan, seperti senyawa furan, fenolik, dan asam asetat, jika produk sampingan tidak dihilangkan dapat menghambat proses fermentasi. Proses hidrolisis dengan asam juga dapat memicu degradasi glukosa sehingga rendemen glukosa dan etanol menurun.

(6)

Terdapat juga proses sakarifikasi dan fermentasi secara serentak, penggunaan mikroba pada proses ini biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T. Viride, dan khamir, dengan suhu optimal 38oC, dengan konsentrasi substrat biasanya

sekitar 10%, dosis enzim 10 – 20 FPU/g selulosa, dan konsentrasi khamir 1,5 – 3 g/l, juga membutuhkan waktu selama 72 jam.

Proses sakarifikasi dan fermentasi serentak ini memiliki beberapa keunggulan,yaitu :

1. Meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengkonversi gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase

2. Mengurangi kebutuhan enzim 3. Meningkatkan rendemen produk

4. Mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol

5. Waktu proses lebih pendek

6. Volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor

Namun juga terdapat kekurangan dalam proses sakarifikasi dan fermentasi serentak ini yaitu:

1. Suhu hidrolisis dan fermentasi tidak sama 2. Toleransi mikrob terhadap etanol

3. Penghambatan kerja enzim terhadap etanol

4. Keksulitan memisahkan sel khamir dari sisa lignin dan serat yang dapat mengakobatkan kebutuhan khamir meningkat, sehingga menurunkan produksi etano

c. Fermentasi

Fermentasi etanol dari selulosa pada ampas tebu ini pada dasarnya sama dengan proses fermentasi gula dari pati atau nira. Fermentasi etanol, juga disebut sebagai fermentasi alkohol, adalah proses biologi dimana gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi energi seluler dan juga menghasilkan etanol dan karbon dioksida sebagai produk sampingan. Karena proses ini tidak membutuhkan oksigen, melainkan khamir yang melakukannya, maka fermentasi etanol digolongkan sebagai respirasi anaerob (Chairul, 2010). Khamir yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae dan bakteri Zymmomonas Mobilis. Fermentasi sendiri dilakukan pada suhu 300 C, dan Ph 5. Berikut ini ada reaksi yang terjadi selama proses fermentasi etanol.

C12H22O11 +H2O + invertase →2 C6H12O6

C6H12O6 + Zymase → 2C2H5OH + 2CO2

Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida (CO2). Fermentasi hasil hidrolisis komponen hemiselulosa seperti xilosa menjadi etanol dapat menggunakan khamir Pichia stipitis atau

(7)

Candida shehatae (Hahn-Hagerdal et al. 1993). Pada fermentasi xilosa, tiga molekul xilosa menghasilkan lima molekul etanol, lima molekul CO2, dan lima molekul.. Fermentasi pentosa yang berasal dari hemiselulosa dilakukan pada reaktor terpisah karena mikrob yang menggunakan pentosa bekerja lebih lambat dalam mengubah heksosa dan pentosa menjadi etanol dibanding mikrob yang hanya mengubah heksosa menjadi etanol, serta bersifat lebih sensitif terhadap senyawa inhibitor dan produk etanol (Cardona dan Sanchez 2007).

Proses fermentasi alkohol dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jumlah sel khamir, spesies sel khamir, oksigen, derajat keasaman dan suhu. Etanol dan CO2 yang terbentuk dapat menghambat proses fermentasi, atau biasa dikenal dengan end-product inhibition. Selain itu, sel hidup khamir hanya toleran terhadap etanol pada konsentrasi tertentu. Pada media di mana khamir bekerja mengubah gula menjadi etanol, jika konsentrasi etanol mencapai 12%, sel khamir akan mati dan proses fermentasi berhenti. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan mendaur ulang khamir yang terdapat dalam aliran produk untuk meningkatkan densitas sel dalam reaktor, atau dengan menggunakan teknologi fermentasi kontinu (Gregg dan Saddler 1995).

d. Pemurnian

Proses pemurnian etanol dapat dilakukan dengan cara kimia dan fisika. Cara kimia dengan menggunakan batu gamping. Sedangkan cara fisika ditempuh dengan proses penyerapan menggunakan zeolit sintetis.

Batu gamping adalah batu yang terbuat dari pengendapan cangkang kerang dan siput, foraminifera atau ganggang. Batu itu berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, cokelat, atau hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan kapur adalah aragonit. Ia merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral lainnya siderit, ankarerit, dan magnesit, tapi ketiganya berjumlah sangat sedikit. Batu gamping bersifat higroskopis, artinya mempunyai kemampuan untuk menyerap air. Karena itulah ia mampu mengurangi kadar air dalam bioetanol. Sebelum digunakan sebaiknya batu gamping ditumbuk hingga jadi tepung agar penyerapan air lebih cepat. Perbandingannya untuk 7 liter bioetanol diperlukan 2-3 kg batu gamping. Campuran itu didiamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Selanjutnya, campuran diuapkan dan diembunkan menjadi cair kembali sebagai etanol berkadar 99% atau lebih. Bioetanol inilah yang bisa dicampur dengan bensin atau digunakan murni.Walaupun prosesnya sangat

(8)

mudah, tapi penggunaan batu gamping memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya jumlah etanol yang hilang sangat tinggi, mencapai 30%. alkohol itu tidak dapat keluar karena terikat pada pori-pori gamping. Akibatnya etanol pun hilang sampai 30%,

Alternatif lain, pemurnian bioetanol dengan zeolit sintetis. Proses pemurnian itu menggunakan prinsip penyerapan permukaan. Zeolit adalah mineral yang memiliki pori-pori berukuran sangat kecil. Di alam, zeolit terbentuk dari abu lahar dan materi letusan gunung berapi. Zeolit juga bisa terbentuk dari materi dasar laut yang terkumpul selama ribuan tahun. Untuk pemurnian bioetanol, sebaiknya digunakan zeolit sintetis 3A. Maksudnya zeolit yang berukuran 3 angstrom (1 angstrom = 1,0 x10-10 m red). Dibandingkan zeolit alam dan sintetis lainnya, zeolit sintetis 3A memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya ruang terbuka pada pori-porinya mencapai 47% lebih banyak, memiliki kemampuan untuk menukar molekul sodium, dan mampu mengikat air. Partikel air berukuran 3 angstrom sehingga dapat diserap zeolit. Sedangkan partikel etanol berukuran lebih besar 4,4 angstrom sehingga tidak bisa diserap oleh zeolit. Karena itu ketika etanol 95% dilewatkan pada sebuah tabung berisi zeolit, kadar etanol bisa meningkat karena airnya diikat oleh zeolit. Proses itu terjadi karena pori-pori zeolit bersifat molecular shieves. Artinya, molekul zeolit hanya bisa dilalui oleh partikel-partikel berukuran tertentu.

Ada beberapa kendala untuk proses pembuatan etanol secara keseluruhan, yaitu penguasaan teknologi konversi biomassa lignoselulosa menjadi etanol dan biaya produksi yang masih tinggi. Diperlukan kebijakan pemerintah agar dapat mendorong pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol, antara lain melalui penelitian dan pengembangan, pemberian insentif bagi pabrik gula yang memanfaatkan ampas tebu untuk bioetanol, dan subsidi harga etanol dari biomassa lignoselulosa.

4. POTENSI PENGEMBANGAN a. Hasil Akhir

Produksi bioetanol dengan menggunakan lignoselulosa ampas tebu merupakan alternatif yang sangat baik untuk menyelesaikan masalah kebutuhan akan energi untuk masyarakat. Dimana, lignoselulosa teridiri atas lignin, selulosa dan hemiselulosa. Ketiganya merupakan struktur penyusun dinding sel pada tumbuhan. Lignoselulosa berpotensi untuk menghasilkan bioetanol karena pada proses pembuatannya dilakukan fermentasi, hasil dari fermentasi tersebut adalah CO2 dan etanol yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan campuran premium

(9)

Terdapat banyak ide yang bermunculan untuk mengatasi masalah penciptaan teknologi yang dapat menghasilkan bahan bakar dari bahan-bahan hasil pertanian. Misalnya jagung, dan singkong bahan-bahan hasil pertanian tersebut berpotensi untuk dapat menghasilkan bioetanol yang baik. Namun, untuk dapat dikonsumsi masih bersaing dengan kebutuhan pangan. Maka, perlu adanya gagasan mengenai bahan dasar bioetanol yang ditad menggunakan bahan pangan. Agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi dan kebutuhan akan energi juga dapat terpenuhi.

Selain bersaing dengan kebutuhan pangan, posisi ampas tebu untuk dijadikan etanol juga bersaing dengan hasil sampingan industri pertanian lainnya. Namun, dibandingkan dengan bahan lignoselulosa lain yang banyak tersedia sebagai hasil samping industri pertanian seperti jerami padi, tandan kosong kelapa sawit, ampas tebu memiliki kelebihan. Terutama dalam bentuk dan ukuran bahan. Ampas tebu dari pabrik gula sudah merupakan pastikel yang kecil yang dalam prosesnya tidak lagi membutuhkan proses perlakuan pendahuluan secara fisika berupa pencacahan atau penggilingan. Ampas tebu dapat langsung diberikan perlakuan pendahuluan lanjutan untuk mendegradasi lignin dalam bahan. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan dalam proses produksinya. Dalam proses pengolahannya dilakukan sakarifikasi, yaitu untuk mengubah selulosa menjadi selobiosa dan kemudian menjadi gula sederhana. Dalam proses sakarifikasi dibutuhkan enzim yang cukup mahal, sehingga dibutuhkan beberapa reset untuk mendapatkan enzim yang lebih efisien dalam segi biaya untuk proses sakarifikasi ini.

Lignoselulosa dari ampas tebu juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan hasil industri pertanian yang mengandung glukosa lainnya. Ampas tebu mampu menghasilkan 614.827 kL/tahun. Hasil akhir bioetanol dari ampas tebu juga cukup berpotensi untuk membantu masalah energi dibandingkan dengan bahan lainnya. Misalnya, Sorgum atau jagung. Selain keduanya merupakan bahan pangan sehingga kebanyakan masyarakat lebih memilih keduanya untuk dijadikan bahan makanan. Selain itu, banyak bioetanol yang dihasilkan juga lebih banyak. Bioetanol yang dapat dihasilkan oleh sorgum adalah sekitar 2500-7000 L/ha, sedangkan jagung dapat menghasilkan 3100-4000 L/ha. Ampas tebu lebih unggul yaitu dapat menghasilkan 6800-8000 L/ha.

Selain itu, berdasarkan penemuan terbaru didapatkan penghasilan bioetanol dari bakteri termofilik yang dapat menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan terhadap suhu yang tinggi. Terkadang, dalam pembuatan bioetanol dengan limbah pertanian kurang efisiennya proses terdapat pada keberadaan enzim lignoselulosa yang tahan pada shu tinggi tidak terdapat pada hasil sampingan dindustri pertanian tersebut. Namun, sebuah gagasan

(10)

baru menyebutkan efisiensi pembuatan bioetanol dapat dilakukan dengan menambahkan bakteri yang tahan padas untuk mengkonversikan selulosa. Bakteri tersebut diketahui memiliki kemampuan menghasilkan enzim lignoselulosa dan sifatnya tahan akan suhu yang tinggi. Selain itu, bakteri ini juga unggul untuk menunjang produksi skala industri. Karena bakteri ini tahan akan suhu yang tinggi serta memiliki waktu pembelahan yang cepat, pembelahan ini dapat dikultur dengan sistem fermentasi dengan dilakukannya pengadukan. Enzim yang dihasilkan bakteri pun lebih mudah untuk dipanen.

b. Ide Cara Peningkatan Kualitas Hasil

Untuk meningkatkan hasil dari proses produksi bioethanol dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Proses Pretreatment

a. Menggunakan pretreatment biologi,

Penggunaan pretreatment ini disarankan karena sifatnya yang ramah lingkungan dan telah banyak diteliti untuk pengembangannya agar leih efektif. Alasan penggunaan metode tersebut adalah karena sifatnya yang ramah lingkungan,dan karena banyaknya penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan metode ini agar lebih efektif. Di bawah ini beberapa contoh judul jurnal dengan pretreatment biologi. 1. Pretreatment Trametes Versicolor dan Plerotus Ostreatus pada Bagas untuk

Produksi Bioetanol oleh Anita dkk (2011).

2. Pretreatment Ampas Tebu (Saccharum Oficinarum) sebagai Bahan Baku Bioetanol Generasi Kedua oleh Agusti dan Indah (2012).

3. Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk Produicsi Etanol dengan Perlakuan Pendahuluan Delignifikasi Menggunakan Jamur Phanerochaete Chrysosporium (2009).

4. Pemanfaatan sellulosa bagas Untuk Produksi Ethanol melalui Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dengan Enzim Xylanase (2009), dll.

Adapun proses pelapukannya secara umum adalah sebagai berikut:

Jenis jamur yang digunakan untuk pretreatment akan memproduksi seperangkat enzim yang terlibat secara langsung dalam proses degradasi lignin. Dua kelompok enzim yang terlibat dalam proses lignolisis adalah enzim peroksidase dan laccase. Enzim peroksidase terdiri dari dua jenis, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Anita, 2011). Bahan yang akan dijadikan bioethanol (ampas tebu) bersama dengan jamur, di inkubasi selama selama 2-8 minggu dan dibiarkan terdegradasi dengan sendirinya.

(11)

Saran pretreatment yang selanjutnya adalah menggunakan gelombang microwave. Di mana, pada tahap persiapan ampas tebu di beri pretreatment microwave untuk mempercepat degradasi lignin dan meningkatkan nilai selulosa dan hemiselulosa. Dengan menurunnya lignin, maka proses pemecahan ampas tebu menjadi glukosa menjadi lebih cepat. Hal ini didukung oleh penelitian Dehani (2013) yang menyatakan bahwa iradiasi gelombang mikro dapat meningkatkan kandungan selulosa dan hemiselulosa serta menurunkan kandungan lignin pada proses pembuatan etanol dari jerami padi. Selain perlakuan microwave, perlakuan menggunakan alkali dapat meningkatkan kadar glukosa dan menurunkan kadar lignin. Hal ini didukung oleh Mendila, dkk ( 2010) bahwa Pretreatment semakin tinggi konsentrasi asam (H2SO4)

dan waktu hidrolisa maka yield glukosa yang diperoleh akan semakin besar, y ield glukosa maksimal sebesar 59,1378 g glukosa/g bagasse diperoleh pada kondisi 155oC, 10 bar dengan konsentrasi H

2SO4 0,75 (w/w) selama 45 menit

c. Proses Hidrolisis /Proses Sakarifikasi

Pada proses hidrolisis digunakan enzim/mikroba yang mampu bekerja dengan baik pada substrat ampas tebu. Enzim yang paling umum digunakan dalam proses hidrolisis adalah Enzym Xylase, mikrofungi Aspergillus niger dan Trichoderma reseei. Menurut Samsuri,dkk, (2007) penambahan Enzim Xylase mampu menghidrolisis hemiselulosa yang ada di dalam bagas ( ampas tebu) pada produksi bioethanol. Jika tanpa menggunakan enzyme xylase pada proses hidrolisis hemiselulosa yang terurai sehingga tidak ada etanol yang terbentuk, sedangkan apabila menggunakan enzyme xylase pada proses hidrolisis didapatkan konsentrasi etanol sebesar 3,202 g/L atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan tanpa perlakuan sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.. Sedangkan Menurut Saparianti,dkk (2004) Peningkatan jumlah dan aktivitas enzim menyebabkan semakin banyak ikatan penyusun selulosa (β-1-4-glikosida) yang terputus menghasilkan oligosakarida untuk akhirnya diubah menjadi monomer glukosa, sehingga kadar selulosa dalam medium fermentasi menurun. .

Untuk meningkatkan bioethanol yang dihasilkan, enzim/mikroba yang digunakan dikombinasi agar produksi glukosa menigkat.Perlu diingat pengkombinasian antara enzyme dengan mikroba, ataupun kombinasi antar mikroba yang digunakan. Hal ini didukung oleh penelitian Kodri (2013) yang menyatakan bahwa enzim Enzim selulase yang dihasilkan dari mikrofungi Aspergillus niger dan Trichoderma reseei dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis enzimatik jerami padi dimana produk akhir yang dihasilkan berupa glukosa.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anita, Sita Haris, Triyani Fajriutami, Fitria, Riksfardini Annisa Ermawar, Dede Heri Yuli Yanto, dan Euis Hermiati. 2011. Pretreatment Trametes Versicolordan Pleurotus Ostreatus Pada Bagas Untuk Produksi Bioetanol. Teknologi Indonesia, Volume 34, Edisi Khusus 2011.

Chairul. 2010.Sakarifikasi dan Ko-Fermentasi Serentak Reject Pulp Menjadi Bioetanol Menggunakan Enzim Karbohidrase dan Kombinasi Saccharomyces cerevisiae - Pichia stipitis. Aceh : Universitas Syiah Kuala

Dehani, Fajar Rahmawati, Bambang Dwi Argo, dan Rini Yulianingsih. 2013. Pemanfaatan Iradiasi Gelombang Mikro Untuk Memaksimalkan Untuk Proses Pretreatment Degradasi Lignin Jerami Padi (pada produksi bioetanol). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. Vol. 1 No. 1, April 2013

Kodri, Bambang Dwi Argo, dan Rini Yulianingsih. 2013. Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma Reseei dan Aspergillus Niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi dengan Pretreatment Microwave. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. Vol. 1 No. 1, Mei 2013

Mendila, Cakra Dharma Orchidea R., Andi Krishnanta W., Dedy Ricardo P., Lisa Febriyanti S., Khoir Lazuardi, dan Reza Pahlevi.2010. Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan Lignosellulosa terhadap Kualitas Hidrolisat yang dihasilkan. Makalah Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono “ Ketahanan Pangan dan Energi “, Surabaya, 24 Juni 2010.

Samsuri,M., M. Gozan, R. Mardias, M. Baiquni, H. Hermansyah, A. Wijanarko, B. Prasetya, dan M. Nasikin.2007. Pemanfaatan Sellulosa Bagas Untuk Produksi Ethanol Melalui Sakarifikasi Dan Fermentasi Serentak Dengan Enzim Xylanase. Makara, Teknologi, Vol. 11, No. 1, April 2007: 17-24

Saparianti, Ella , Tri Dewanti dan Siti Khusnul Dhoni. 2004. Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Glukosa Cair Oleh Kapang Trichoderma viride. J. Tek. Pert. Vol 5. No. 1 : 1 – 10. Wardani Agustin Krisna dan Indah Kusumawardini.2012. Pretreatment Ampas Tebu

(Saccharum Oficinarum) sebagai Bahan Baku Bioetanol Generasi Kedua. Malang : Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP UB

Wijaya, I Made Anom Sutrisna , I Gusti Ketut Arya Arthawan,dan Anis Novita Sari. 2012. Potensi Nira Kelapa Sebagai Bahan Baku Bioetanol.Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 1, Februari 2012, hlm. 85 - 92

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui profil dari usaha bubur jagung mutiara dalam hal struktur organisasi, bahan baku, modal,

Institusi pendidikan kedokteran harus menjamin tersedianya fasilitas pendidikan klinik bagi mahasiswa yang menjamin terlaksananya proses pendidikan profesi dalam mencapai

4 Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam yaitu wawancara yang digunakan berupa pertanyaan mengenai kurikulum, perencanaan

Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang

Selanjutnya dari hasil wawancara yang mewakili sumber data dalam penelitian ini memberikan informasi bahwa dari kedua faktor yaitu faktor internal dan eksternal diri peserta

Proses perancangan yang dibuat dan diterapkan untuk membangun sistem informasi pada official site APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) yaitu dengan

(Mt., 35 – 41.) Mönkkönen viittaa Mihail Bahtinin ajatuksiin eri äänistä. Dialogisessa suhteessa yksilölliset äänet synnyttävät moniäänisyyttä. Voidaan puhua eri

Dengan batasan waktu yang telah ditentukan 3 jam sesudah pemberian ekstrak daun belimbing wuluh, pada penggunaan antipiretik ekstrak daun belimbing wuluh dosis 5 mg suhu rektal