• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH PERSPEKTIF AL-MASLAHAH AL-MURSALAH : STUDI KASUS DI KUA KECAMATAN BANCAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH PERSPEKTIF AL-MASLAHAH AL-MURSALAH : STUDI KASUS DI KUA KECAMATAN BANCAR."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH

PERSPEKTIF

AL-MASLAHAH AL-MURSALAH

(Studi Kasus di KUA Kecamatan Bancar)

SKRIPSI

Oleh Imam Bashori NIM. C01210043

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH

SURABAYA

(2)

PERS E,T

UruAN PEMBIMBING

Sla'ipsi yang ditulis olch lmarn Bashori NII\,I. C0l 210043 ini teiah cliperiksa dan

disetuj ui unt uk dimun aqasahkan.

Surabaya, 01 Juli 201 5

Pernbimbing,

D/H.

Muh. FarhoniHasyim, M.Ag.
(3)

Narna

NIIV{

F akul t as/Jurusan/Prodi

Ahrval al

Judul Skrpsi

PERNYATAAN

KEASLIAN

Yang bertanda tangan c1i bawah ini:

: hnam Bashori

: C01210043

:

Syariaii dan Hukutry'Hukum Perdata Islam/

al-Syakhsiyah

Efektivitas Pcnerapan Peraturan Pemerintah

Nornor

48

Tahun 2014 tentang Biaya Nikah

Perspektif Al-Maslaltah Al-Mursalah (Studi

Kasus di KUA Kecamatan Bancar)

tnetryatakan bahrva sklipsi

ini

secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya

saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbemya.

Surabaya, 01 Juli 2015

Saya yang menyatakan,

INfi-E:T!E]BA,ll

lriErMP-tr-,L

@EGG

illm ntgunuPtnl

Imam Bashor

(4)

PENGESAHAN

Slo.ipsiyangtelahditulislmamBashoriNlM'C01210043initeiah

clipertahankan di

o.f*

,iauog Majelis Munaqasah Skripsi Fak,ltas Syariah

dan

Hukum UIN Sunan Ampel S,rabaya pada harl Kamis tanggal 13 Agust,s 2015' dandapatditerimasebagaisalahsatupersyaratanuntuk-menyelesaikanploglam sarjana strata

sat;

daiam Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal al

Syaknslyatr Fakultas Syariah dan Hukum'

Penguji I,

S, Dakwatul Chairah. M'Ae s,i: 19s704231986032001

Majelis Munaqasah SlaiPsi:

NrP. 19750701200501 1008

SurabaYa, 27 Agustus 2015 Mengesahkan,

Fakultas SYariah dan Hukum

Llniversitas Islam Negeri Sunan Ampel

Moch. Zainul Arifin. S'Ag'M'PdI NIP. 1 97 10 417 2007 101004

Sekretaris,

2003122001

uji II.

NrP. I i750 4232003122001

4.r*i*-uffi

'*17l*1;X.I A1l r't 1l\i

r-\ -r'.--\ t^ -'& r. i

^/*'"-o$*di,t-*R ' *

l'

+li {iri'r

'*e

i
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan di KUA Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban. Penelitian dilakukan untuk menjelaskan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah di KUA Bancar dan juga efektivitas penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang biaya nikah dalam perspektif Al-Maslahah Al-Mursalah.

Data penelitian dihimpun dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014, wawancara dengan pihak terkait, yaitu masyarakat, pegawai KUA Bancar dan Kementerian Agama Kabupaten Tuban yang kemudian dianalisis dengan teknik diskriptif-analitif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah ditetapkan oleh Presiden saat itu Susilo bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Juli 2014. Peraturan ini ditetapkan untuk mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang PNBP. Karena PP Nomor 47 kurang bisa mengakomodasi proses administrasi pernikahan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah terdapat 3 ketentuan yang menjadi perubahan besar mengenai pembiayaan nikah. Pertama adalah menikah di kantor KUA atau di jam kerja adalah gratis. Kedua, melangsungkan pernikahan di luar Kantor KUA atau di luar jam kerja masyarakat ahrus membayar sebesar Rp. 600.000,-. Dan yang ketiga adalah bagi masyarakat yang kurang mampu yang ignin melangsungkan pernikahan di luar Kantor KUA dengan gratis membawa SKTM dari lurah pasangan calon pengantin dan Camat. Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 ditetapkan dan mulai diterapkan di masyarakat memunculkan respon yang beragam bagi masyarakat wilayah KUA Bancar. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang berbeda-beda disetiap desa. Sedangkan bagi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) dengan adanya peraturan baru tersebut semakin menyudutkan posisi mereka yang selama ini sudah tidak jelas masalah gajinya. Sedangkan untuk pegawai KUA, yang disini adalah PPN mereka merasa aman dengan peraturan baru tersebut. yang dimaksud aman adalah terhindar dari tuduhan gratifikasi. Akan tetapi ada juga yang membuat PPN merasa berat. Gaji mereka selama ini sering telat. Menurut Kasi Bimas Islam Kemenag Tuban hal itu wajar karena pegawai PPN tidak sedikit. Jadi harus antri. Mengenai efektifitasnya yang disandingkan dengan teori al-maslahah al-mursalah bahwasanya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang

Biaya Nikah kurang sesuai dengan tujuan syara’ al-maslahah al-mursalah dari segi tingkatannya. Yaitu tidak sesuai dengan menjaga agama, menjaga harta dan menjaga keturunan.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN

SAMPUL DALAM...i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN . ...iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TRANSLITERASI ...xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ...7

C. Rumusan Masalah ...8

D. Kajian Pustaka ...8

E. Tujuan Penelitian ...10

F. Kegunaan Penelitian ...11

G. Definisi Operasional ...12

H. Metode Penelitian ...13

(7)

BAB II GRATIFIKASI DAN KONSEP AL-MASLAHAH AL-MURSALAH

A. Pencatatan Perkawinan ...21

1. Pengertian pencatatan Perkawinan ... 21

2. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ... 23

3. Prosedur Pencatatan Perkawinan ...25

4. Sejarah Pencatatan Perkawinan ...27

B. Konsep Al-Mas}lah}ah Al-Mursalah ...29

1. Pengertian Al-Mas}lah}ah ...29

2. Dasar Hukum Al-Mas}lah}ah ... .32

3. Macam-macam Al-Mas}lah}ah ...38

BAB III DESKRIPSI UMUM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH DAN EFEKTIVITAS PENERAPANNYA A. Latar Belakang ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah ... 47

B. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah di KUA Bancar ... 52

BAB IV ANALISIS PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG BIAYA NIKAH PERSPEKTIF AL-MASLAHAH AL-MURSALAH A. Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah di KUA Bancar ... 59

(8)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... . 70 B. Saran ... ... . 71 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umat Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik dan bergairah sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pembangunan nasional, terutama sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya pembangunan di segala bidang. Dengan berkembangnya pembangunan nasional, tingkat ekonomi dan kebutuhan masyarakat akan ikut tumbuh, tidak terkecuali kebutuhan untuk melangsungkan pernikahan. Pernikahan adalah wadah bagi laki-laki dan wanita untuk menyamakan padangan dan tujuan kehidupan berpasangan serta saling mencintai, menghormati antar keluarga dan menghindarkan dari perbuatan zina yang dilarang oleh agama. Tidak hanya itu, pernikahan juga memiliki tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawadah dan rahmah.

Dalam melangsungkan pernikahan ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut al-Ghazali ada beberapa syarat dalam melangsungkan pernikahan, yaitu1 :

1. Adanya izin dari calon wali istri 2. Kerelaan calon istri

3. Dua orang saksi yang baik

4. Lafal ijab qobul yang bersambungan atau tidak terputus

1

(10)

2

Pada dasarnya pernikahan dalam syar’it Islam tidak terlalu banyak memerlukan persyaratan, tetapi selain persyaratan di dalam agama, negara juga mengatur tentang segala persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Yang membedakan persyaratan pernikahan menurut agama dengan negara adalah pencatatan perkawinan. Menurut agama, perkawinan tidak harus dicatatkan seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali di atas. Sedangkan menurut hukum negara, perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Di dalam pasal 2 ayat 2 bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.2 Pencatatan ini bertujuan untuk memperkuat adanya hubungan pernikahan antar dua mempelai.

Peraturan perundang-undangan tidak berhenti pada kewajiban mencatatkan pernikahan, namun juga menjelaskan mengenai biaya pelaksanaan pernikahan. Pernikahan yang dilakukan di KUA Kecamatan Bancar tidak dikenakan biaya apapun. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Dalam pasal 1 ayat 1 sebagai perubahan terhadap pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 dijelaskan bahwa “Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor

2

(11)

3

Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.”3

Berbeda ketika pernikahan dilakukan di luar KUA Kecamatan Bancar, mengingat tidak semua masyarakat menginginkan pernikahan dilakukan di KUA Kecamatan Bancar. Masyarakat terkadang menginginkan pernikahannya dilaksanakan di rumah mempelai atau juga di masjid. Bila demikian, maka pihak yang melaksanakan pernikahan dikenakan biaya. Seperti yang tercantum dalam PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah, bahwa “(2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan”.4

Selain itu, seperti yang diungkap oleh bapak Drs. Mokhamad Idris selaku ketua KUA kecamatan Bancar, Tuban bahwa adanya PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya pernikahan membuat tarif biaya nikah yang dilaksanakan di luar KUA menjadi jelas. Sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tidak bisa melakukan pungutan liar di luar biaya pernikahan yang telah ditetapkan. Karena selama ini, sebelum PP itu diberlakukan, banyak pembantu Petugas Pencatat Pernikahan (P3N) maupun pegawai KUA sendiri yang memanfaatkan ketidakfahaman masyarakat terhadap biaya nikah untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Mengenai besaran biaya yang dikenakan pada pihak yang melangsungkan pernikahan yang dijelaskan dalam PP No. 48 Tahun 2014

3

Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1.

4

(12)

4

terdapat tiga ketentuan, yakni menikah di Kantor KUA atau di jam kerja gratis, menikah di luar Kantor KUA dan di luar jam kerja adalah Rp. 600.000,-, bagi warga kurang mampu yang ingin melangsungkan pernikahan di luar KUA dengan gratis membawa SKTM dari lurah dan camat.

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah, menimbulkan respons yang beragam di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat wilayah KUA Kecamatan Bancar yang beragama Islam. Mengingat subjek dari pernikahan adalah masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya yang beragama Islam, tanpa memandang status sosial, baik miskin maupun kaya memiliki hak untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Bila syarat dan rukun sudah terpenuhi, pernikahan pun bisa dilaksanakan. 5

Keberagaman respon dari masyarakat khususnya masyarakat wilayah KUA Kecamatan Bancar terhadap penerapan peraturan pemerintah tentang biaya nikah salah satunya dipicu oleh perbedaan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Biaya pernikahan yang dilakukan di luar KUA Kecamatan Bancar adalah Rp 600.000,00 rupiah. Angka yang cukup besar bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Berbeda dengan masyarakat ekonomi ke atas, angka tersebut mungkin kecil.6

Hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang memudahkan umatnya untuk melakukan

5

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009) hlm,14.

6

(13)

5

syari’at yang ditetapkan. Sesuai dengan firman Allah swt dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 286:7















Artinya : Allah tidak memberati seseorang melainkan apa yang terdaya olehnya. Ia mendapat pahala kebaikan yang di usahakannya, dan ia juga

menanggung dosa kejahatan yang diusahakannya. (Mereka berdo’a dengan berkata): “Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah

jika kami terlupa atau kami tersalah. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kepada kami bebanan yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tidak terdaya

memikulnya. Dan ma’afkanlah kesalahan kami, serta ampunkanlah dosa

kami, dan berilah rahmat kepada kami. Engkaulah Penolong kami; oleh itu, tolonglah kami untuk mencapai kemenangan terhadap kaum-kaum yang kafir

Jelas diterangkan dalam ayat di atas, bahwa agama Islam tidak memberatkan umatnya dalam melakukan segala sesuatu. Tentu saja hal ini karena Allah swt menciptakan agama Islam dengan berbagai kemudahan dan tidak menyulitkan bagi siapapun yang akan masuk agama Islam. Karena Allah swt telah menyesuaikan kadar kemampuan manusia.

Banyak respons yang telah dipaparkan oleh beberapa elemen masyarakat wilayah KUA Bancar dan menimbulkan perbedaan. Perbedaan respons dipengaruhi oleh sudut pandang yang digunakan untuk melihat

7

(14)

6

penerapan PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah. oleh karena itu penulis tergerak untuk melakukan penelitian terkait dengan penerapan PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dengan menggunakan teori al-mas}lah}ah al-mursalah.

Dalam kajian ilmu keislaman, al-mas}lah}ah al-mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan tujuan sya>ri’ , tapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau membatalkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari manusia.8 Hal ini sangat relevan dengan keberadaan PP tentang biaya nikah. Dari segi legalitas yang diberikan oleh sha>ri’, PP tersebut tidak mendapatkan legalitas. Akan tetapi, apakah penerapan PP tersebut menimbulkan kebaikan atau tidak, artinya bisa mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan atau memberatkan.

Dari beberapa pemaparan yang telah dilakukan oleh penulis, baik terkait dengan biaya nikah maupun tentang al-maslahah al-mursalah, penulis memilih judul “Efektivitas Penerapan Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tentang Biaya Pernikahan Perspektif al-Maslahah al-Mursalah (Studi Kasus di KUA Kecamatan Bancar). Hal ini bertujuan untuk menelaah lebih jauh tentang perspektif al-Maslahah al-Mursalah dalam melihat penerapan PP tersebut.

8

(15)

7

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang permasalahan seperti yang dipaparkan di atas, maka terdapat beberapa masalah yang ditemukan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penerapan PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah

2. Alasan masyarakat memilih melakukan pernikahan di luar atau di kantor KUA

3. Pungutan liar di luar biaya nikah yang diterima petugas KUA, jika pernikahan dilakukan di luar KUA sebelum adanya PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah

4. Pengaruh besaran jumlah biaya nikah yang tercantum pada PP No 48 Tahun 2014 dalam hal persiapan pernikahan

5. Perbedaan tingkat kelas ekonomi atau kemampuan masyarakat dalam pembayaran biaya nikah di luar KUA

6. Dasar pertimbangan ditetapkannya PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah oleh Pemerintah

7. Ketetapan pasal 1 PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dilihat dari perspektif al-Maslahah al-Mursalah

(16)

8

1) Analisis penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah

2) Ketetapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dilihat dari perspektif al-Maslahah al-Mursalah

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah disebutkan di atas, masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah di KUA Kecamatan Bancar ?

2. Bagaimana efektivitas penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah di KUA Bancar dilihat dari perspektif Maslahah al-Mursalah ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara penelitian yang dilakukan dengan kajian atau penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Melalui penelusuran data yang telah dilakukan, terdapat beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, diantaranya:

(17)

9

Maslahah : Analisis RUU Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan.”9 Skripsi ini mendeskripsikan mengenai pencatatan nikah yang dilakukan oleh PPN di KUA serta kewenangan dan tugas dari PPN berdasarkan RUU Peradilan Agama tentang perkawinan yang kemudian dilihat dari kemaslahatan.

Meskipun sama dalam perspektif maslahahnya, akan tetapi ada perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dan letak perbedaan itu pada obyek penelitiannya. Pada penelitian yang akan penulis lakukan, obyek kajiannya adalah penerapan dari peraturan pemerintah tentang biaya nikah dikalangan masyarakat dan lembaga terkait. Sedangkan penelitian yang ditulis Inayatul Afiyah lebih kepada peran dari PPN di KUA menurut RUU Peradilan Agama.

Skripsi yang disusun oleh Holilur Rohman di IAIN Sunan Ampel pada tahun 2009 dengan judul “ Batas Umur Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam : Studi Penerapan Teori al-Mas}lah}ah al-Mursalah”.10 Skripsi ini lebih membahas mengenai batasan seseorang untuk melakukan pernikahan yang ditetapkan oleh Hukum Islam yang kemudian penerapannya dilihat dari

al-Mas}lah}ah al-Mursalah.

Skripsi yang disusun oleh Irfan Jauhari di UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2014 yang berjudul “Formulasi Penentuan Upah

9

Afiyah, inayatul, Pencatatan Nikah Perspektif Maslahah : Analisis RUU Hukum Materiil Peradilan Agama tentang P{erkawinan, Skripsi, (Surabaya : Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011).

10

(18)

10

Minimum Kota (UMK) dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Maslahah terhadap Upah Minimum Kota Surabaya Tahun 2014).11 Penelitian ini lebih mengarahkan maslahah kepada pembayaran upah kepada buruh pekerja di pabrik di kota Surabaya.

Dan ada beberapa perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan pembahasan skripsi di atas. Pertama, kajian teoritis tentang teori al-mas}lahah secara mendalam dan mendetail, karena al-mas}lahah adalah metode dalam penggalian hukum islam yang juga disebut adillah

al-syar’iyah. Kedua, setelah membahas al-mas}lahah secara teoritis, selanjutnya

membahas mengenai penerapan teori al-mas}lahah dalam penerapan Peraturan Pemerintah tentang biaya nikah.

Jadi setelah melihat perbedaan di atas, maka skripsi dengan judul

“Efektivitas Penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang Biaya Nikah

dalam Pespektif al-Mas}lah}ah al-Mursalah” belum pernah dibahas dan tentunya berbeda dengan penelitian sebelumnya, diantaranya permasalahannya serta obyek kajiannya.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

11

(19)

11

1. Mengetahui penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah di Kantor KUA Bancar.

2. Mengetahui perspektif al-Maslahah al-Mursalah terhadap penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal:

1. Aspek Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memahami dan untuk menambah wawasan mengenai isi dari PP NO 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah.

2. Aspek Praktis, penelitian ini berguna bagi:

a) Peneliti : diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan serta dapat membantu memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang administrasi pernikahan dan membantu lembaga KUA dalam penerapan peraturan pemerintah No. 48 tahun 2014 tentang biaya nikah.

(20)

12

c) Lembaga KUA : diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi untuk menjadi lembaga yang lebih baik yang sesuai dengan hukum. d) Peneliti yang lain : diharapkan bisa menjadi dasar penulisan skripsi

selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dalam penelitian.

G. Definisi Operasional

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan tidak menimbulkan kesalahpahaman atas judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan beberapa maksud dari sub judul sebagai berikut:

PP No 48 Tahun 2014 : Peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah tanggal 27 Juli 2014 untuk mengatur jumlah biaya didalam pernikahan dan rujuk.

Biaya nikah : Sejumlah uang yang dibayarkan mempelai atau keluarga pengantin kepada petugas KUA yang menikahkan kedua mempelai berdasarkan ketetapan yang sudah ada sebagai jasa profesi

Perspektif : Sudat pandang dalam melihat sebuah fenomena tertentu dengan menggunakan piranti yang tertentu.

(21)

13

pembatalanya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang

menentukkan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu

ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat12

Berdasarkan definisi operasional tersebut maka penelitian yang berjudul “Efektivitas Penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dalam perspektif al-Maslahah al-Mursalah (Studi Kasus di KUA Kecamatan Bancar)”, terbatas pada pembahasan tentang penerapan biaya nikah di kalangan masyarakat yang ditetapkan pemerintah dengan PP No 48 Tahun 2014 yang kemudian dianalisis dengan al-Maslahah al-Mursalah.

H. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif berjenis deskriptif. Jadi penelitian kualitatif berjenis deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

12

(22)

14

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.13

Dalam hal ini, peneliti akan menggambarkan data hasil penelitian ke dalam kata-kata tertulis yang utuh dan terorganisasi dengan baik mengenai PP No. 48 tahun 2014 tentang biaya nikah. Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini sebagai berikut:

1. Data yang Dihimpun

a. Data mengenai penerapan PP No 48 Tahun 2014 di masyarakat dan KUA Kecamatan Bancar

2. Sumber Data a. Sumber Primer

Sumber primer di sini adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertamanya.14 Dalam penelitian ini sumber primernya adalah:

1) Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah 2) Pegawai KUA sebagai pelaksana dari penerapan PP No 48

Tahun 2014 tentang biaya nikah

13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.6

14

(23)

15

3) Masyarakat sebagai obyek atau sasaran dari penerapan PP No. 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah

4) Pejabat/Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tuban sebagai perwakilan dari lembaga Kementerian Agama Pusat yang menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang menunjang kelengkapan data. Dalam penelitian ini sumber sekundernya adalah buku yang ada kaitannya dengan pembahasan ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sangat penting dalam menyusun sebuah penelitian. Kualitas sumber data sangat mempengaruhi terhadap hasil data yang diperoleh. Sangatlah penting memilih narasumber yang sesuai dengan data yang diinginkan untuk mendapatkan hasil yang baik dan sistematis dalam penelitian.

Teknik pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara (interview) pada dasarnya merupakan suatu kegiatan tanya jawab dengan tatap muka

(24)

16

masalah yang diteliti, dimana pewawancara bermaksud memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti.15

Dalam melakukan wawancara beberapa hal yang harus dipersiapkan, yaitu (1) seleksi individu untuk diwawancara; (2) pendekatan terhadap orang yang diseleksi; (3) pengembangan suasana agar lancar dalam wawancara, serta usaha untuk menimbulkan pengertian sepenuhnya dari orang yang diwawancarai.16

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan masyarakat, pegawai KUA Kecamatan Bancar, dan Kementerian Agama Tuban. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data primer sebagai data pokok, yaitu data tentang penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan secara lengkap, langkah selanjutnya adalah melakukan penganalisisan data dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu, memaparkan dan menggambarkan tentang penerapan biaya nikah yang ditetapkan oleh Pemerintah di masyarakat dan lembaga terkait, kemudian dianalisis sehingga menghasilkan pemahaman yang konkrit dan jelas.

15

Masruhan, Metodologi penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 237.

16

(25)

17

Dalam hal ini dengan mengemukakan fakta yang diperoleh dari PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah. Didukung dengan hasil wawancara dengan pihak atau lembaga terkait. Data yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur Islam dalam hal ini peneliti menggunakan pisau analisis al-mas}lah}ah al-mursalah sebagai analisis, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.

Pola pikir yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu metode yang berangkat dari faktor-faktor umum yakni tentang pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar pengambilan hukum atas dasar penetapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah, serta melihat realitas penerapan biaya pernikahan di masyarakat sesuai dengan standar penghasilan dan kebutuhan hidup masyarakat dilihat dari perspektif

al-Maslahah al-Mursalah.

I. Sistematika Pembahasan

(26)

18

Bab pertama, membahas Uraian pendahuluan yang berisi gambaran umum yang berfungsi sebagai pengantar dalam memahami pembahasan bab berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisan skripsi, untuk apa dan mengapa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, pada Bab pertama ini pada dasarnya memuat sistematika pembahasan yang meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, menguraikan landasan teori, bab ini memuat tentang Peraturan Pemerintah secara umum yang kemudian dikhususkan kepada PP No. 48 Tahun 2014. Kemudian terkait gratifikasi dalam penerapan biaya pernikahan. Serta pengertian al-maslahah al-mursalah, dasar hukum, dan macam-macam al-maslahah al-mursalah.

Bab ketiga, adalah memuat pembahasan yang berkenaan dengan penerapan PP No 48 Tahun 2014 tentang biaya nikah dikalangan masyarakat, kantor KUA Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban dan Kementerian Agama Kabupaten Tuban.

(27)

19

(28)

BAB II

PeENCATATAN NIKAH DAN KONSEP AL-MASLAHAH AL-MURSALAH

A. Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Pencatatan nikah adalah kegiatan pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara dalam hal ini adalah pegawai KUA terhadap peristiwa perkawinan. Di dalam pasal 5 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwasanya yang bertugas mencatat perkawinan adalah pegawai pencatat nikah (PPN) sesuai dengan undang-undang nomor 22 tahun 1946 Jo. undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.17 Sedangkan pasal 6 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan setiap perkawinan harus dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Dan di ayat 2 menerangkan bahwa pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila suatu pernikahan tidak mempunyai kekuatan hukum maka akan beresiko masa depan pernikahan dari calon pengantin.18

Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada

17

Kompilasi Hukum Islam Pasal 5

18

(29)

22

masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang berkekuatan hukum tetap yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk dalam hal ini adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA). Dan oleh pegawai perkawinan pada Kantor Catatan Sipil apabila suami istri beragama non-muslim.

Pada dasarnya syari’at Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan

terhadap setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi manfaatnya pencatatan nikah sangat diperlukan. Karena setiap pencatatan nikah yang dilaksanakan membuat status pernikahan menjadi kuat atau otentik menurut negara.

Kegiatan pencatatan perkawinan tidak berpengaruh kepada sah atau tidaknya suatu pernikahan. Karena pencatatan pernikahan merupakan kegiatan administratif agar pernikahan yang dilaksanakan memiliki kekuatan hukum. Sedangkan sahnya pernikahan adalah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yaitu sahnya perkawinan berdasarkan kepercayaannya masing-masing. Maksudnya adalah selama kegiatan pernikahan yang dilangsungkan tidak bertentangan dengan norma agama atau kepercayaan dari kedua mempelai calon pengantin.19

19

(30)

23

2. Dasar Hukum Pencatatan Nikah

Undang-undang perkawinan menempatkan pencatatan suatu pernikahan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya pernikahan. Pencatatan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pernikahan. Pernikahan adalah sah kalau telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftarkan. Dalam surat keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 Nomor 23/19 menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak didaftarkannya nikah tersebut.20

Masalah pencatatan pernikahan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang-undangan berikut ini. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur : “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 32 Tanhun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan tata cara pencatatannya berpedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Selanjutnya, pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa pernikahan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 11 ayat (1) dan

20

(31)

24

ayat (3) menyatakan bahwa sesaat sesudah pernikahan dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta pernikahan tersebut, pernikahan tersebut telah tercatat secara resmi. Selanjutnya menurut pasal 13 ayat (2), kepada masing-masing suami isteri diberikan kutipan akta pernikahan tersebut. Dengan diperolehnya kutipan akte pernikahan itu pernikahan mereka telah dinyatakan sebagai pernikahan yang mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.21

Fungsi pencatat disebutkan pada angka 4.b. Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974: “Pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Perintah pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu pernikahan tersebut ditujukan kepada segenap warga negara Indonesia apakah ia berada di Indonesia atau di luar Indonesia.

Di Indonesia pencatatan nikah dilaksanakan pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan memiliki tata cara dan prosedur sesuai dengan KMA 298 Tahun 2003 yang disesuaikan dengan PMA 477 Tahun 2004 dan disempurnakan dengan PMA Nomor 11Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

21

(32)

25

Dasar hukum pencatatan nikah diatur dalam beberapa peraturan yakni :

a) undang RI Nomor 22 Tahun 1946 Junto Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan NTCR b) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 junto PP Nomor 9 Tahun

1975 tentang Perkawinan.

c) Inpres 1 Tahun 1991 tentang KHI d) Pasal 5 ayat 1 KHI

e) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 298 Tahun 2003 junto Peraturan Menteri Agama RI Nomor 477 Tahun 2004 junto Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

3. Prosedur Pencatatan Perkawinan

Tata cara pelaksanaan pencatatan nikah meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah, penanda tanganan akta nikah dan pembuatan kutipan akta nikah.22

Tahap pertama yang dilakukan adalah pemberitahuan kehendak nikah. Pemberitahuan ini dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan dan dengan membawa surat-surat yang diperlukan. yakni :23

a) Surat persetujuan calon mempelai (model N3)

22

Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf (Jakarta: 1994), 6

23

(33)

26

b) Foto copy akta kelahiran dari calon mempelai c) Surat keterangan tentang orang tua (model N4) d) Surat keterangan untuk nikah (model N1)

e) Apabila calon pengantin adalah ABRI, maka dilampirkan surat ijin nikah

f) Bila calon mempelai seorang duda atau janda maka melampirkan akta cerai talak/cerai gugat atau kutipan pendaftaran talak/cerai

g) Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala desa yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri (model N6) bila calon mempelai duda/janda karena kematian suami/istri

h) Surat ijin dispensasi bagi calon mempelai yang belum cukup umur

i) Surat dispensasi camat apabila pernikahan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman

j) Surat keterangan tidak mampu dari kepala desa apabila calon mempelai tidak mampu

(34)

27

Seusai pemeriksaan, surat-surat keterangan yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan lembar model NB, kemudian dibuat pengumuman.Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah pada papan pengumuman (model NC) setelah semua persyaratan dipenuhi. Pengumuman dipasang ditempat yang mudah dilihat oleh masyarakat. Kebanyakan dipasang di papan pengumuman Kantor KUA.

Setelah pengumuman, akad nikah dilansungkan di bawah pengawasan dan di hadapan PPN kemudian dicatat dalam lembar model NB halaman 4 yang kemudian ditanda tangani oleh suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi serta pembantu PPN yang mengawasi. Setelah 15 hari akad nikah, satu lembar model NB yang dilampiri surat-surat yang dirimkan kepada PPN yang mewilayahi KUA calon pengantin. Setelah semua selesai, PPN kemudian mencatat dalam akta nikah dan membuat kutipan akta nikah rangkap dua. Kemudian kutipan akta nikah diberikan kepada masing-masing suami istri.

4. Sejarah Pencatatan Perkawinan

Undang-undang pertama pencatatan perkawinan adalah undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan perkawinan. Undang-undang ini berlaku hanya di pulau Jawa. Setelah Indonesia merdeka, lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 1945 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.24

24

(35)

28

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian.

Kehadiran Undang-undang No.1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya PMA dan Mendagri. Bagi umat Islam diatur dalam PMA No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai-pegawai nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan yang beragama islam, kemudian diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang kewajiban PPN. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.

(36)

29

sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-undang Perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974.Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 Tahun 3 bulan Undang-undang Perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut. Dan dengan demikian, mulai tanggal 1 Oktober 1975 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif.25

B. Konsep Al-Maslahah Al-Mursalah 1. Pengertian Al-Maslahah

Fiqh atau Hukum Islam adalah merupakan produk yang dihasilkan melalui sebuah penggalian hukum. Dalam setiap kehidupan manusia di dunia ini sering kita jumpai berbagai macam permasalahan yang selalu mengikuti perkembangan zaman, sehingga diperlukan beberapa metode dalam penggalian hukum Islam. Abdu Al-Karim Zaidan dalam bukunya

25

(37)

30

yang berjudul al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, yang membagi dalil shar’i

metode penggalian hukum kepada tiga bagian26:

1) Dalil yang disepakati oleh semua umat Islam, yaitu al-Quran dan al-Sunnah

2) Dalil yang disepakati oleh mayoritas umat Islam, yaitu Ijma’ dan

Qiyas.

3) Dalil yang tidak disepakati oleh semua ulama, yaitu Urf, Istishab, Istihsan, Shadh al-Dhari’ah, al-maslahah al-mursalah, Shar’u man qablana dan madhhab sahabi.

Dari beberapa macam metode penggalian hukum Islam di atas penulis akan mengambil salah satu metode dalam penggalian hukum Islam yaitu Al-maslahah Al-maslahah dalam kajian usul fiqh adalah semakna dengan kata manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-maslahah merupakan bentuk tunggal yang jamaknya (plural) masalih.

Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-maslahah

meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan suatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudaratan dan kesulitan27.Sedangkan menurut Said Ramdhan Al-Buti mendefinisikan al-mas}lah}ah adalah manfaat yang ditetapkan shari’ untuk para hambanya

26

Abdu Al-karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh, (Beirut : Muassasah al-Risalah Riyadl, 2011),148.

27

(38)

31

yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu28.

Dari definisi tersebut, yang menjadi tolak ukur al-maslahah

adalah tujuan shara’ atau berdasarkan ketetapan shari’. Inti kemaslahatan yang ditetapkan shari’ adalah pemeliharaan lima hal pokok (Kulliyat al-Khams). Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah al-maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut al-maslahah.29 Oleh karena itu, al-Ghazali mendefinisikan al-maslahah sebagai mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Kulliyat al-Khams). Sedangkan menurut menurut Abu Nur Zuhair, al-maslahah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’30

. Adapun al-maslahah Menurut Imam Malik adalah suatu

maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah

(primer) maupun hajiyah (sekunder)31. Sejalan dengan prinsip al-maslahah sebelumnya, al-Satibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat,

28

Ibid., 2.

29

Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004),81.

30Rachmat Syafe’i,

Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 119.

31

(39)

32

karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan memelihara

Kulliyat al-khams, maka termasuk dalam ruang lingkup al-maslahah 32

Dari beberapa macam penjelasan di atas mengenai al-maslahah

tidak semua yang mengandung unsur manfaat bisa dinamakan dengan al-maslahah, ketika hal tersebut tidak masuk dalam maqasid al-syari’ah.

Selain itu, juga tidak termasuk al-maslahah segala kemaslahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang sahih, karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk membatalkanya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.33

Namun demikian, al-maslahah itu jangan dipahami bahwa tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandaranya atau jauh dari dalil-dalil pembatalannya. Harus dipahami bahwa al-maslahah berdasarkan dalil yang terdapat pada syara’, namun tidak dikhususkan pada al-maslahah.

2. Dasar Hukum Al-Mas}lah}ah

Kehidupan manusia di dunia terus mengalami perkembangan dengan pesat dari masa ke masa dalam perkembangnya tidak terlepas dengan penemuan-penemuan kasus-kasus hukum yang belum diatur dengan jelas dalam nash sehingga mebutuhkan suatu alat untuk berhujjah

guna untuk bisa menghukumi suatu kejadian yang belum diatur. Al-maslahah al-mursalah salah satu metode untuk berhujjah, meskipun

32

Abu ishaq Ibrahim ibn musa ibn Muhammad al-shatibi Al-Muwafaqat fî Usul al-Syari’ah, (Dan ibn afan, 1997),17-18.

33

(40)

33

banyak berbagai perbedaan pendapat dalam penggunaannya namun

jumhurfukaha’ sepakat dapat diterima dalam fiqh Islam.

Dengan demikian ada beberapa hal yang menguatkan sebagai dasar hukum untuk menggunakan metode al-maslahah al-mursalah.

Golongan Imam Maliki sebagai pembawa bendera maslahah al-mursalah mempunyai tiga alasan dasar sebagai berikut :

a. Praktek penggunaan al-maslahah al-mursalah sudah terjadi pada era Sahabat diantaranya yakni sebagai berikut :

1) Sahabat yang telah menggunakan al-maslahah al-mursalah ketika mengumpulkan al-Quran ke dalam beberapa mushaf, dalam hal ini pada masa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini, alasan mereka yang mendorong melakukan pengumpulan itu tidak lain hanya semata-mata karena al-maslahah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan karena pada saat itu banyak para hafiz

yang meninggal dunia.

Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah SWT dalam surat (QS.al-Hijr : 9).





(41)

34

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,

dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya34.

2) Khulafa’u al-Rashidin pada masa menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasannya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak bisa menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.

3) Khalifah Umar memerintahkan kepada pegawai negeri agar memisahkan harta kekayaan pribadi dengan harta kekayaan yang diperoleh dari kekuasaanya, karena dengan cara ini menurut Umar dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi kemaslahatan umumlah yang menjadikan Khalifah Umar mengeluarkan kebijaksanaan tersebut. Pada zaman Nabi Muhammad saw sebenarnya sudah ada al-maslahah.

Akan tetapi istilah di dalam penyebutannya tidak al-maslahah. Seperti hadits tentang siwak.

َنَع ,ُهْنَع ها يِضَر ًةَرْ يَرُ يِبأ ْنَع

ِبَنلا

: َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ي

َلْوَل

َقُشأ ْنأ

ُك َدْنِع ٍءوضُو ِلُك َعَم ِك اَوَسلاِب ْمُهُ تْرَمأ يتمأ ىَلَع

ٍةاَص ل

هيلع قفتم

34

(42)

35

Artinya : Dari Abi Hurairah radhiyallohu „anhu dari Nabi shollallohu

„alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya tidak memberatkan umatku,

niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali wudhu’ ketika akan sholat”(HR Bukhary dan Muslim)

Di dalam hadits di atas, Nabi Muhammad saw tidak menyebutkan secara langsung tentang al-maslahah. Akan tetapi beliau menyebutkan dengan kata-kata tidak memberatkan umatnya. Nabi tidak ingin mewajibkan umatnya untuk bersiwak karena takut memberatkan dan berdosa. Dan beliau hanya menganjurkan dan mendorong umatnya untuk mengamalkan.

b. Alasan yang lain yakni adanya al-maslahah dengan maqasid al-shari’ah (tujuan tujuan syariah) artinya dengan dengan mengambil al-maslahah berarti merealisasikan maqasid al-shari’ah. Maka dari itu jika mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan pula

maqasid al-Shari’ah. Jika mengesampingkan tersebut adalah batal. Oleh karena itu wajib menggunakan dalil al-maslahah atas dasar sumber hukum pokok (asl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari usul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi sinkronasi antara maslahat dan maqasid al-Shari’ah.35

c. Orang-orang mukallaf akan mengalami kesempitan dan kesulitan, seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengadung maslahat selama berada dalam konteks maqasid al-shari’ah. Allah swt berfirman dalam (QS. al-Baqarah : 185 ) :

35

(43)

36























Artinya: “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan

(permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah SWT atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah: 185)36

Selain dari bukti historis pada masa Khalifah yang kita jadikan sebagai landasan hukum maslahah mursalah masih ada juga yang disebutkan dalam masa Imam mazhab diantara sebagai berikut yang dijadikan alasan sebagi dasar hukum dalam al-maslahah yaitu:

1) Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan darurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu

36

(44)

37

yang diharamkan dalam batas tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan, seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah, 5:4 berikut:























Artinya: Mereka menanyakan kepadamu : Apakah yang dialalkan bagimi yang baik-baik dan (buruan yang di tangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu: kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah SWT kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah SWT atas binatang buas itu waktu melepaskannya. Dan bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat cepat hisab-Nya. (QS: Al-Maidah Ayat: 4)37

2) Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Apabila kemaslahatan itu tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap berpegang pada prisip-prinsip syariat Islam.

37

(45)

38

3) Bahwa shar’i menjelaskan alasan (illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah mursalah.

3. Macam – Macam Al-Maslahah

Dalam hal ini maslahah dapat dipahami secara umum menjadi tiga bagian dalam kitab al-Muwafaqah yang dikarang oleh al-imam al Satibi yaitu:

a. Dharuriyah (Primer)

Yang dimaksud dharuriyah adalah al-maslahah yang berkorelasi erat dengan terjaganya kehidupan akhirat dan dunia, sehingga stabilitas kemaslahatan akhirat dan dunia itu sangat tergantung pada al-maslahah al-dharuriyah.38 Al-maslahah dharuriyah ini termanifetasi dalam penjagaan yang sangat utuh terhadap lima hal, agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Al-maslahah al-dharuriyah dalam hal ini termanifestasi dalam penjagaan yang sangat utuh terhadap lima hal, agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.

b. Hajiyah (Sekunder)

Yang dimaksud hajiyah adalah al-maslahah yang dibutuhkan

38

(46)

39

oleh manusia agar terlepas dari kesusahan dan kesulitan yang akan menimpa mereka, dan andaikan al-maslahah itu tidak terealisasi maka tidak sampai merusak tatanan kehidupan manusia, akan tetapi hanya menyebabkan manusia jatuh pada jurang kesulitan dan kesempitan39. Dalam terminologi al-Imam Shatibi, al-maslahah al-hajiyah ini bisa masuk pada ranah ibadah, al-„adah , mu’amalah dan jinayah.

Dalam bidang ibadah Allah SWT SWT mensyariatkan adanya

rukhsah (dispensasi) dalam ibadah-ibadah tertentu jika manusia mengalami sakit atau dalam keadaan safar (perjalanan). Contoh konkritnya ketika seseorang sedang melaksankan ibadah puasa di bulan Romadhan, maka ketika dalam keadaan sakit dia boleh untuk menghentikan puasanya dan berbuka.

Dalam hal al-„adah, syariat Islam membolehkan memburu binatang dan mengkonsumsi makanan-makanan baik yang halal, begitu juga dibolehkan menggunakan pakaian, rumah dan kendaraan yang sah di mata hukum Islam. Pada ranah mu’amalah, Allah SWT SWT mensyariatkan kebolehan transaksi-transaksi perdata yang bisa menguntungkan kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak, seperti akad pinjam meminjam, akad pesanan dan akad lainnya. Sedangkan pada bidang jinayah ada syariat seperti menolak hukuman (had) karena adanya ketidak jelasan (shubhat) dan kewajiban membayar diyat kepada keluarga korban pada kasus pembunuhan

39

(47)

40

secara tidak sengaja.40 c. Tahsiniyah (Tersier)

Tahsiniyah adalah al-maslahah yang menjadikan kehidupan manusia berada pada keunggulan tingkah laku dan baiknya adat kebiasaan serta menjauhkan diri dari keadaan-keadaan yang tercela dan tidak terpuji. Namun yang perlu digaris bawahi adalah dengan tidak terealisasinya al-maslahah al-tahsiniyah ini tidak sampai mengakibatkan pada rusaknya tatanan kehidupan dan tidak menyebabkan manusia jatuh pada jurang kesempitan dan kesulitan.41Sama halnya dengan al-maslahah al-hajiyah, al-maslahah al-tahsiniyah juga masuk dalam ibadah, al-„adah, al-mu’amalah dan

al-jinayah. Dalam bidang ibadah syariat Islam mewajibkan menutup aurat dan mensunnahkan perbuatan-perbuatan sosial seperti sodaqoh. Dalam hal „adah, disunnahkan melaksanakan adab dan tata cara makan dan minum yang baik, seperti menggunakan tangan kanan untuk makan. Pada ranah mu’amalah Allah SWT menyariatkan larangan jual beli barang najis dan melarang perbuatan israf. Sedangkan dalam hal jinayah adanya pensyariatan larangan untuk membunuh perempuan dan anak-anak dalam peperangan.

Disetiap penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta ada tingkatan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.42

1. Memelihara Agama

40

Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al- Shari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 222.

41

al-Syatibi, al-Muwafaqah...,222.

42

(48)

41

Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :43

a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu

melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya

c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat

2. Memelihara Jiwa44

Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat :

43

Ibid, 129

44

(49)

42

a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum

3. Memelihara Akal45

Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :

a) Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.

b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah

4. Menjaga Keturunan46

45

(50)

43

Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga :

a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.

b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.

c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan 5. Memelihara Harta47

Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat : a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti

syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah. b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat

tentang jual beli tentang jual beli salam.

c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan

Di samping pembagian al-maslahah di atas, maslahah dilihat dari segi apakah al-maslahah itu mendapatkan legalitas dari shari’

ataukah tidak, terbagi menjadi tiga macam, al<

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pergerakan planula secara jelas, visualisasi pola pergerakan planula yang ditampilkan dibagi menjadi empat periode yaitu pada bulan Januari, April,

Ditinjau dari pengertian ‘urf menurut Abd Karim Zaidan yang mengatakan sebagai sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu

Berdasarkan data tingkat pengangguran Madura Terhadap Jawa Timur setelah pembangunan Jembatan Suramadu terlihat bahwa pengangguran di Madura setiap tahunnya menurun,

Berdasarkan penelitian ini, hasil terbanyak untuk hubungan indeks massa tubuh dengan tingkat kebugaran jasmani adalah responden yang memiliki indeks massa tubuh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) insiden penyakit virus tular umbi pada masing-masing varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah berturut-turut yaitu varietas

Peneliti sungguh bersyukur bahwa pada akhirnya skripsi yang berjudul Asertivitas remaja akhir ditinjau dari Jenis Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UKWMS yang Berasal

Ampas tebu merupakan residu yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu yang telah di peras atau di ekstrak untuk diambil niranya guna dimanfaatkan sebagai bahan