ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI
SAPI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA
TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO
KABUPATEN LAMONGAN
SKRIPSI
Oleh: Noor Hazlina NIM. C72213154
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. Adapun permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?, 2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Sedangkan untuk menganalisis data-data yang diperoleh, peneliti menggunakan metode pendekatan analisis deskriptif, yakni mengumpulkan data-data yang ada dilapangan terlebih dahulu kemudian dianalisis dengan ketentuan hukum Islam. Untuk pola pikirnya menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang umum terhadap yang khusus.
Hasil penelitian menyatakan, bahwa jual beli sapi di Desa Takerharjo memiliki perbedaan dari segi pembayaran, yakni antara sistem pembayaran berjangka dan sistem pembayaran tunai. Apabila pemilik sapi memilih menjual sapinya dengan sistem tunai maka harga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan dengan sistem pembayaran berjangka, sedangkan apabila pemilik sapi memilih menjual sapinya dengan sistem pembayaran berjangka maka harga yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tunai dengan jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu yang telah disepakati juragan tidak mampu menjual sapi di atas harga yang diperjanjikannya, maka juragan harus melunasi pembayaran dengan uang milik pribdi. Meskipun pembayaran berjangka ini terkadang dapat merugikan juragan, akan tetapi sapi-sapi yang dijual dengan pembayaran berjangka dapat membantu juragan sebagai modal usahanya. Menurut hukum Islam praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka ini adalah sah karena sudah memenuhi syarat keabsahan akad jual beli dan sudah sesuai dengan ketentuan syarak.
B.Identifikasi dan Batasan Masalah. ... 7
C.Rumusan Masalah. ... 9
BAB II TINJAUAN UMUM JUAL BELI DALAM ISLAM. ... 25
A.Pengertian Jual Beli. ... 25
B.Dasar Hukum Jual Beli. ... 28
C.Rukun Jual Beli. ... 30
D.Syarat dalam Jual Beli. ... 33
E. Penambahan Harga Berdasarkan Waktu Proses Transaksi. ... 36
H. Jual Beli dengan Uang Muka. ... 40
I. Manfaat Jual Beli. ... 42
J. Kesaksian dalam Akad Jual Beli. ... 43
K.Etika Jual Beli. ... 45
L. Khiyar dalam Jual Beli. ... 47
M.Bentuk-bentuk Jual Beli yang Dilarang. ... 48
BAB III PRAKTIK JUAL BELI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN. ... 53
A. Gambaran Umum Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 53
B. Praktik Jual Beli Sapi dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 56
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN... 69
A. Analisis Praktik Jual Beli dengan Sitem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 69
B. Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 76
BAB V PENUTUP. ... 83
A. Kesimpulan. ... 83
B. Saran. ... 84 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki tujuan masing-masing untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik dalam hal kebutuhan pokok maupun dalam hal kebutuhan
lainnya. Sehingga, untuk mewujudkan hal-hal tersebut manusia perlu
menjalin hubungan kerjasama dengan sesama. Salah satu wujud dari bentuk
hubungan kerjasama tersebut adalah dengan cara bermuamalah.
Kegiatan muamalah merupakan semua akad yang membolehkan manusia
saling tukar-menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang
telah ditentukan Allah Swt. dan manusia wajib untuk mentaatinya.
Termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.1 Contohnya, jual
beli (al-bay’), utang-piutang (qard}), mud}a>rabah, musha>rakah, muza>ra’ah,
mukha>barah, ija>rah dan sebagainya.
Setiap manusia selalu membutuhkan barang dan jasa seseorang dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan seseorang tersebut tidak akan
memberikan barang dan jasanya dengan percuma. Untuk itu, dari berbagai
akad-akad kegiatan muamalah di atas, akad jual belilah yang paling dominan
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan jual beli
tidak pernah luput dari kehidupan sehari-hari setiap manusia.
2
Jual beli secara istilah fikih disebut dengan al-bay’ yang berarti menjual.
Sedangkan secara istilah, jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar
benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya
sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang dibenarkan syarak dan
disepakati.2
Jual beli dikalangan masyarakat terjadi dengan berbagai macam cara.
Dilihat dari segi pembayaran, terdapat jual beli secara tunai dan jual beli
yang pembayarannya menggunakan jangka waktu. Jual beli tunai adalah jual
beli yang pembayarannya dilakukan secara tunai setelah akad jual beli
berlangsung. Sedangkan jual beli dengan pembayaran berjangka adalah jual
beli yang pembayarannya bisa dilakukan dengan membayar uang panjar atau
juga bisa tidak kemudian sisa pembayaran akan dilunasi dalam jangka waktu
yang telah disepakati kedua belah pihak, yakni antara penjual dan pembeli.
Fenomena yang terjadi pada masa kini, masyarakat seringkali memilih
transaksi jual beli dengan pembayaran ditangguhkan atau pembayaran
berjangka. Bahkan hal ini sudah biasa terjadi hingga sebagian masyarakat
menjadikannya sebagai sebuah tradisi. Begitu pula peminat jual beli dengan
sistem pembayaran berjangka ini adalah kebanyakan masyarakat kelas
menengah ke bawah dengan latar belakang keterbatasan dana, sehingga
masyarakat berpikir bahwa pembayaran berjangka adalah pilihan yang paling
tepat. Berbeda dengan alasan masyarakat pada umumnya yang melakukan
3
pembayaran tangguh atau pembayaran berjangka dikarenakan keterbatasan
dana, pada penelitian ini justru hal yang menjadi alasan masyarakat
melakukan praktik jual beli dengan sistem pembayaran berjangka adalah
untuk mengharapkan keuntungan lebih dari hasil transaksi yang dilakukan.
Jual beli dengan sistem pembayaran berjangka ini juga dilakukan oleh
sebagian masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan. Gambaran sementara praktik jual beli yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Takerharjo ini adalah jual beli antara seorang pemilik sapi
dengan juragan sapi, dimana objek yang diperjualbelikan dalam transaksi
tersebut adalah sapi dan menggunakan sistem pembayaran berjangka atau
masyarakat Desa Takerharjo menyebutnya dengan istilah jual beli sapi
dengan cara diutangkan. Pemilik sapi adalah seseorang yang akan menjual
sapinya kepada juragan sapi dengan cara menghutangkan sapinya terlebih
dahulu kepada juragan dan kemudian pembayarannya akan dilakukan di lain
waktu yang telah disepakati, sedangkan juragan sapi adalah seseorang yang
akan membeli sapi dari pemilik sapi dan juga seseorang yang memiliki
tanggung jawab untuk melunasi pembayaran sapi pada hari yang telah
disepakati.
Umumnya, masyarakat Desa Takerharjo memilih jual beli dengan sistem
pembayaran berjangka adalah karena harga jual dengan sistem pembayaran
berjangka lebih tinggi dibandingkan harga sistem tunai, selain itu
masyarakat membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup
4
sebagainya. Sebagian masyarakat berfikir apabila sapi yang dimiliki dijual
dengan cara dihutangkan kepada juragan sapi terlebih dahulu maka pemilik
sapi akan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil penjualan sapi meskipun
pembayarannya tidak dilakukan secara kontan dan bisa jadi satu minggu
setelah terjadinya kesepakatan harga sapi di pasar akan naik sehingga dapat
menguntungkan pihak juragan sapi. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh
setiap pemilik sapi, hanya saja pada pemilik sapi yang tidak membutuhkan
dana segera dan menginginkan jual beli dengan sistem pembayaran
berjangka.3
Untuk melakukan jual beli dengan sistem pembayaran berjangka, sapi
yang digunakan sebagai objek jual beli akan dibawa terlebih dahulu oleh
juragan sapi dan dijual ke jagal sapi untuk disembelih atau dirawat terlebih
dahulu kemudian akan dijual ketika ada pembeli yang menginginkan
sapi-sapi tersebut. Ketika musim haji seorang juragan bisa mendapat keuntungan
lebih, karena ketika itulah permintaan di pasar sedang melonjak tinggi. Akan
tetapi tidak dimungkinkan juragan sapi selalu mendapat untung besar.
Karena ketika sehari-hari juragan menjual sapi kepada jagal dan dijual
dagingnya secara ecer maka keuntungan bisa tidak sebanding dengan harga
sapi yang diperjanjikan dan dapat dikatakan rugi sehingga untuk membayar
harga yang diperjanjikan juragan harus membayarnya dengan uang pribadi.
Proses pembayaran yang diterapkan bisa menggunakan uang panjar atau
bisa juga tidak. Pembayaran dilakukan secara berjangka dengan kesepakatan
5
bahwa pemilik sapi dapat mengambil uangnya apabila jangka waktu yang
disepakati sudah jatuh tempo. Adapun jangka waktu pelunasan terdapat
sistem mingguan yang dikhususkan untuk sesama juragan sapi dan jagal sapi,
sedangkan sistem bulanan untuk pemilik sapi perorangan dengan pilihan
jangka waktu 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan hingga 4 bulanan. Dalam
jangka-jangka itulah juragan harus melunasi pembayaran atas hutangnya kepada
pemilik sapi apabila jangka waktu pembayaran yang disepakati kedua pihak
telah berakhir. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan juragan sapi
tidak dapat melunasi hutangnya pada pemilik sapi, maka juragan sapi harus
mendatangi pemilik sapi untuk meminta tambahan jangka waktu dan
meminta maaf agar pemilik sapi tidak merasa kecewa atas keterlambatan
pembayaran tersebut.
Mengenai pelunasan pembayaran, sesekali juragan sapi juga pernah
mengalami keterlambatan. Keterlambatan tersebut dikarenakan juragan sapi
hanya memperoleh keuntungan kecil dari penjualan sapi-sapi yang dimiliki.
Selain itu, apabila dalam jangka waktu yang telah disepakati juragan tidak
mampu menjual sapi-sapi yang dijual kepadanya dengan sistem pembayaran
berjangka di atas harga yang dijanjikannya, maka juragan harus membayar
tambahan harga yang telah disepakti dengan uang milik pribadi. Akan tetapi,
dalam masalah ini pemilik sapi dan juragan tidak memberlakukan adanya
tambahan harga jika terjadi keterlambatan dalam pelunasan, keduannya
6
kepada pemilik sapi dan meminta tambahan jangka waktu serta berjanji akan
melunasi pembayarannya di lain waktu.
Dalam pelaksanaannya, bukti pelunasan pembayaran maupun bukti
proses terjadinya akad jual beli dengan sistem pembayaran berjangka selama
ini tidak menggunakan bukti tertulis, pemilik sapi dan juragan hanya
mempercayai seseorang dari pihak masing-masing untuk menjadi saksi
dalam jual beli tersebut dan dalam pelunasan pembayarannya di kemudian
hari setelah jangka waktu telah berakhir. Bahkan apabila antara pejual dan
pembeli sudah saling mengenal maka saksi bisa jadi tidak diperlukan lagi
dan keduanya hanya bermodalkan kepercayaan. Firman Allah Swt.:
B.
ُه ْوُ بُ تْك اآف ىمآسم ٍلآجآأ آَِإ ٍنْي آدِب ْمُتْ نآ ي اآدآت
ا
آذِإ آْوُ نآم اآء آنْي ِذلا اآه ي آآَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Albaqarah: 282).4
Untuk ketentuan harga, terdapat perbedaan antara jual beli dengan
sistem tunai dan jual beli dengan sistem pembayaran berjangka, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa sistem tunai dan sistem pembayaran berjangka
selain terdapat perbedaan dari segi sistem pembayaran juga terdapat
perbedaan dari segi harga. Penjual dan pembeli sepakat apabila seekor sapi
dijual dengan tunai maka harganya adalah Rp. 20.000.000,00. Sedangkan
jika jual beli dilakukan dengan cara diutangkan atau dengan pembayaran
berjangka maka harganya menjadi Rp. 21.000.000,00 dengan jangka waktu
7
pelunasan dua bulan.5 Dalam jangka waktu yang telah disepakati harga sapi
di pasar dapat dipastikan akan naik sehingga dapat menguntungkan juragan
dan dapat merugikan pemilik sapi, yakni dari harga Rp. 21.000.000,00 bisa
menjadi Rp. 21.500.000,00. Akan tetapi, jika sapi dipotong dan dijual
dagingnya secara ecer kemungkinan besar pemilik sapi yang akan mendapat
untung dan juragan akan mengalami kerugian karena bisa jadi daging yang
dijual secara ecer di pasar tidak laku (permintaan di pasar menurun) dan
mengakibatkan daging menjadi busuk sehingga tidak dapat dijual lagi. Dari
segi perbedaan harga ini, penulis dapat mengkaji tentang bagaimana hukum
adanya tambahan harga pada praktik jual beli sapi dengan sistem
pembayaran berjangka.
Maka dari itu, penulis mengangkat judul “Analisis Hukum Islam
terhadap Praktik Jual Beli Sapi dengan Sistem Pembayaran Berjangka di
Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan” untuk
meneliti lebih lanjut mengenai praktik jual beli tersebut apakah sudah sesuai
dengan prinsip Islam dan juga apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak
dalam Islam.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang bisa dijadikan sebagai bahan penelitian. Adapun
identifikasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:
8
1. Sistem pembayaran berjangka dalam praktik jual beli sapi.
2. Proses jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka.
3. Praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka.
4. Faktor yang melatarbelakangi masyarakat memilih jual beli sapi dengan
sistem pembayaran berjangka.
5. Adanya jangka waktu dalam jual beli sapi di Desa Takerharjo.
6. Adanya keterlambatan dalam pelunasan pembayaran dari jangka waktu
yang telah disepakati.
7. Faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam pelunasan pembayaran.
8. Mekanisme penetapan harga pada jual beli sapi di Desa Takerharjo
Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.
9. Pandangan hukum Islam terhadap jual beli sapi dengan sistem
pembayaran berjangka.
Agar penelitian ini fokus pada permasalahan yang diteliti, maka penulis
memerlukan adanya batasan masalah, diantaranya adalah:
1. Praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
Kabupaten Lamongan.
2. Pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem
pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
9
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari identifikasi dan batasan masalah, maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah yang akan dikaji, yakni:
1. Bagaimana praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di
Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan
sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
Kabupaten Lamongan?
D. Kajian Pustaka
Kajian kepustakaan adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan
topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya sehingga tidak terjadi suatu pengulangan materi secara
mutlak.6
Kegiatan jual beli memang sudah tidak asing lagi dikalangan
masyarakat, sehingga banyak buku-buku maupun penelitian sebelumnya
yang membahas tentang praktik jual beli. Untuk itu, sebagai bahan
perbandingan dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa
penelitian terdahulu, diantaranya sebagai berikut:
1. Nurul Nisfu Suci Rofikhoh, 2008, dengan judul “Tinjaun Hukum Islam
terhadap Utang Uang dengan Sistem Jual Beli Barang (Mura>bah}ah) dari
Piutang di Desa Sawo Babat Lamongan”. Dalam penelitian ini
10
menyatakan, bahwa praktik hutang uang dengan sistem jual beli dari
piutang di Desa Sawo Babat Lamongan dilakukan oleh sebagian warga
yang bertindak sebagai berhutang dan berpiutang sekaligus sebagai
penjual dan pembeli adalah ibu-ibu rumah tangga, yang terdapat batasan
waktu dalam pengembalian hutang selama 3 bulan. Adapun tinjauan
hukum Islam terhadap transaksi tersebut adalah sah karena telah
memenuhi syarat-syarat dalam utang piutang menurut hukum Islam dan
masih sejalan dengan aturan dalam prinsip-prinsip utang piutang Islam.7
2. Diffatussunnah Riadinna, 2016, dengan judul “Analisis Fikih Mazhab
Syafi’i terhadap Perubahan Harga Sepihak: Studi Kasus Jual Beli Daging
Sapi di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang”. Dalam
penelitian ini menyatakan, bahwa praktik jual beli daging sapi di Desa
Omben dilakukan oleh seorang pembeli yang memesan daging sapi
kepada supplier pada malam hari sebelum sapi disembelih, melalui sms
atau telepon dengan meyebutkan perkilo gramnya yang kemudian supplier
menyebutkan harga perkilo gramnya. Dan apabila esok hari daging yang
dikirimkan supplier kepada pembeli tidak sesuai dengan keinginan
pembeli, maka pembeli dengan semaunya sendiri mematok harga perkilo
gramnya atau jika daging tersebut sampai fatal tidak sesuai dengan
keinginan pengecer maka pengecer akan mengembalikan kepada supplier.
Berdasarkan hasil analisis, jual beli tersebut dianggap sah atau lazim
7Nurul Nisfu Suci Rofikhoh, “Tinjaun Hukum Islam terhadap Utang Uang dengan Sistem Jual
11
apabila penjual dan pembeli tersebut rela, dan jual beli tersebut dapat
dikatakan fasid atau rusak apabila supplier tidak rela (terpaksa) atau
merasa berat hati menjual daging sapi tersebut daripada tidak terjual atau
ruginya semakin besar.8
3. Erfa Erfiana, 2016, dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik
Jual Beli Sawah Berjangka Waktu di Desa Sukomalo Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan”. Dalam penelitian ini menyatakan,
bahwa jual beli yang terjadi di Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan adalah praktik jual beli yang terdapat adanya
tenggang waktu dan sebuah syarat, yang mana jual beli tersebut hanya
berlaku selama tenggang waktu yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dan syarat yang terdapat dalam jual beli ini yaitu selama barang ada di
pihak pembeli, maka pembeli tidak boleh menjualnya kepada siapapun
selain penjual. Setelah waktu yang ditentukan keduanya tiba, maka
barang yang ditentukan keduanya telah tiba, maka barang yang
diperjualbelikan kembali dibeli oleh pnejual sesuai dengan penjualan
harga semula.9
Dari beberapa penelitian di atas, penelitian yang dilakukan penulis
memiliki persamaan dari segi praktik yang sama-sama menggunakan jangka
8 Diffatussunnah Riadinna, “Analisis Fikih Mazhab Syafi’i terhadap Perubahan Harga Sepihak:
Studi Kasus Jual Beli Daging Sapi di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).
9Erfa Erfiana, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Sawah Berjangka Waktu di Desa
12
waktu dalam pembayarannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada obyek
yang perjualbelikan.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan
daripada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran
berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap jual beli sapi dengan
sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
Kabupaten Lamongan.
F. Kegunaan Penelitian
Dilihat dari tujuan dilakukannya penelitian, maka hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Aspek teoritis
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang praktik jual beli,
terutama dalam jual beli dengan sistem pembayaran berjangka.
b. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan hukum,
13
2. Aspek praktis
a. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat untuk melakukan jual beli
dengan sistem pembayaran berjangka.
b. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang membahas
tentang jual beli dengan sistem pembayaran berjangka.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah
konsep atau variabel penelitian sehingga bisa dijadikan acuan dalam
menelusuri, menguji atau mengukur variabel tersebut melalui penelitian.
Pemberian definisi operasional hanya terhadap sesuatu konsep atau variabel
yang dipandang masih belum operasional dan bukan kata perkata.10 Jadi,
untuk memahami skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap
Praktik Jual Beli Sapi Dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa
Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan” ini penulis dirasa
perlu untuk menjelaskan definisi dari variabel-variabel judul tersebut:
1. Hukum Islam
Adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan Alquran, hadis dan pendapat ulama fikih.11 Jadi, untuk
menganalisis praktik jual beli dengan sistem pembayaran berjangka
penulis menggunkan ketentuan hukum Islam yang berdasarkan pada
10 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya:
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 9.
14
Alquran surah Albaqarah ayat 25 tentang jual beli, Hadis riwayat Ibnu
Majah tentang jual beli atas suka sama suka serta pendapat ulama fikih
mengenai hukum jual beli dalam Islam.
2. Sistem pembayaran berjangka
Adalah suatu cara yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai
uang dari satu pihak ke pihak lain dengan cara berjangka. Sedangkan jual
beli dengan sistem pembayaran berjangka berdasarkan hasil wawancara
adalah jual beli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh, yakni
juragan sapi bisa memberikan panjar terlebih dahulu atau tidak kepada
pemilik sapi kemudian pelunasan akan dibayar ketika jangka waktu yang
telah disepakati kedua pihak berakhir dengan ketentuan adanya perbedaan
harga antara sistem tunai dan sistem pembayaran berjangka.12
Dari uraian penelitian-penelitian di atas, dapat diketahui bahwa pokok
permasalahan skripsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu, yang mana dalam
hal ini pokok permasalahannya adalah mengenai perbedaan harga antara jual
beli dengan pembayaran tunai dan jual beli dengan pembayaran berjangka.
H. Metode Penelitian
Metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan
pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan penelitian
adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan
15
menganalisis sampai menyusun laporannya.13 Jadi, metode penelitian adalah
anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berpikir dan
bertindak dalam melaksanakan penelitian.
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian lapangan (field
research), yaitu suatu penelitian yang meneliti objek di lapangan untuk
mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan data yang konkrit tentang
hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sehingga, untuk
mendapatkan sebuah gambaran dan data-data yang diperlukan, penulis
melakukan penelitian terhadap masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan
Solokuro Kabupaten Lamongan. Adapun metode-metode yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
Kabupaten Lamongan, lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena
Desa Takerharjo adalah tempat terjadinya praktik jual beli sapi dengan
sistem pembayaran berjangka.
2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan secara berkala, yakni pada bulan Oktober
2016 kemudian dilanjutkan kembali pada bulan Desember 2016 sampai
bulan Januari 2017.
3. Obyek penelitian
16
Obyek penelitian pada penelitian ini adalah sistem pembayaran
berjangka dalam praktik jual beli sapi di Desa Takerharjo Kecamatan
Solokuro Kabupaten Lamongan.
4. Subyek penelitian
Subyek penelitian pada penelitian ini adalah masyarakat Desa
Takerharjo yang berjumlah 6 orang responden dan 5 orang informan, yang
mana terdiri dari 4 orang responden pemilik sapi, yakni bapak
Muhammad Syafi’i, bapak Yasmaun, bapak Tambah dan bapak jaman dan
2 orang responden juragan sapi, yakni bapak H. Srijo dan Adi Sholih.
Sedangkan untuk inforaman terdapat 6 orang informan, yaitu bapak
Astro, bapak Anwar, bapak Kastum, bapak Supaji, Ibu Sukarti dan
Maratus Sholihah.
5. Data yang dikumpulkan
Untuk menjawab sebuah rumusan masalah, maka peneliti harus
mengumpulkan data-data sebagai berikut:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer
atau sumber pertama dilapangan.14 Adapun data primer yang diteliti
adalah:
1) Data tentang sejarah jual beli sapi dengan sistem pembayaran
berjangka.
14 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-Format Kuantitatif untuk Studi
17
2) Data tentang proses jual beli sapi dengan sistem pembayaran
berjangka.
3) Data tentang akad jual beli sapi dengan sistem pembayaran
berjangka.
4) Data tentang perbedaan penetapan harga antara jual beli sistem
tunai dengan jual beli sistem pembayaran berjangka.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau
sumber sekunder.15 Adapun data sekunder yang diteliti adalah:
1) Data tentang akad jual beli, meliputi pengertian jual beli, dasar
hukum jual beli, rukun jual beli, syarat dalam jual beli, penambahan
harga berdasarkan waktu proses transaksi, jual beli dengan harga
cicilan, persyaratan-persyaratan untuk keabsahan akad jual beli
kredit, jual beli dengan uang muka, manfaat jual beli, kesaksian
dalam akad jual beli, etika jual beli, khiyar dalam jual beli, dan
bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.
2) Data tentang gambaran umum Desa Takerharjo, yakni data
geografis, data kependudukan, data perekonomian, data jumlah
peternak dan data jumlah ternak di Desa Takerharjo.
6. Sumber data
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber
sekunder.
18
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber pertama di mana sebuah data
dihasilkan.16 Maksudnya, sumber yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi
yang dicari. Sumber primer ini diperoleh secara langsung dari para
responden di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan sebagai tempat penelitian, diantaranya adalah:
1) Pemilik sapi, yakni selaku penjual atau seseorang yang memilih
akad jual beli dengan sistem pembayaran berjangka. Pada hal ini
penulis memilih 4 orang responden pemilik sapi, yakni bapak
Muhammad Syafi’i, bapak Yasmaun, bapak Tambah dan bapak
Jaman.
2) Juragan sapi, yakni selaku pembeli atau seseorang yang menerapkan
jual beli dengan sistem pembayaran berjangka. Dalam hal ini
penulis memilih 2 responden juragan sapi, yakni bapak H. Srijo dan
Adi Sholih.
3) Masyarakat, yakni selaku informan atau salah seorang yang dipilih
menjadi saksi dalam praktik jual beli sapi dengan sistem
pembayaran berjangka. Dan pada hal ini penulis memilih 6 orang
sebagai informan, yakni bapak Astro, bapak Anwar, bapak Kastum,
bapak Supaji, Ibu Sukarti dan Maratus Sholihah.
19
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah sumber kedua sesudah sumber primer.17
Yakni sebagai pendukung sumber primer yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Adapun data-data tersebut bisa berupa
kitab, catatan, buku, jurnal, skripsi dan dokumen-dokumen lain yang
berkaitan dengan permasalahan. Sumber sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1) Fiqhu al-Isla>m wa Adilatuhu> jilid 5, karangan Wahbah az-Zuhaili.
2) Fiqhu al-Sunnah jilid 4, karangan Sayyid Sabiq.
3) Fiqih Muamalah, karangan Rachmat Syafe’i.
4) Dokumen Format Isian Data Profil Desa Takerharjo dan Data
Kesekretariatan Desa Takerharjo.
7. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti, maka dibutuhkan beberapa teknik dalam pengumpulan data
tersebut, diantaranya adalah:
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis
fenomena-fenomena yang diteliti.18 Jadi untuk memperoleh data-data
yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini, peneliti terjun langsung
ke lapangan, yakni Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten
17 Ibid., 129.
20
Lamongan untuk mengamati bagaimana praktik jual beli sapi yang
dilakukan oleh pemilik sapi dengan juragan sapi.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi,
motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan dengan orang yang diwawancarai.19
Untuk itu, dibutuhkan beberapa responden sebagai seseorang yang
akan diwawancarai atau sebagai sampel untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah ada. Sehingga dalam hal ini untuk mendapatkan
informasi lebih detail mengenai praktik jual beli dengan sistem
pembayaran berjangka peneliti melakukan wawancara terhadap
masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan, khususnya juragan sapi dan pemilik sapi serta pihak lain
yang berkepentingan.
8. Teknik pengolahan data
Untuk mempermudah hasil analisis data yang telah dikumpulkan,
maka diperlukan adanya teknik pengolahan yang dapat digunakan,
diantaranya:
a. Editing, yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh
para pengumpul data yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan atau
kekurangan yang ada di dalam daftar pertanyaan yang sudah
19 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam
21
diselesaikan sampai sejauh mungkin.20 Data yang perlu diedit adalah
data yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian diedit dan
dijadikan sebuah kalimat yang berbentuk narasi.
b. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.21 Data yang
perlu disusun secara sistematis adalah data hasil wawancara yang telah
diedit kemudian diklasifikasikan menurut masing-masing kategori
untuk mendapatkan sebuah hasil susunan penelitian yang sistematis.
c. Analyzing, yaitu suatu proses dalam menjawab masalah yang diteliti dengan cara menganalisis data yang diperoleh untuk memperoleh
sebuah kesimpulan. Data yang perlu dianalisis adalah data yang telah
tersusun secara sistematis menurut kategori masing-masing kemudian
dianalisis dengan menggunakan ketentuan hukum Islam untuk
menghasilkan sebuah kesimpulan akhir.
9. Teknik analisis data
Teknik analisis data merupakan cara pengumpulan data dengan
menggunakan teknik observasi, wawancara dan lainnya untuk
meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai tujuan bagi orang lain.
Penelitian yang dilakukan ini adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu
salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Jadi, peneliti
20 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian..., 153.
22
harus mengumpulkan data-data yang ada di lapangan berkaitan dengan
jual beli sistem pembayaran berjangka kemudian mengolahnya menjadi
sebuah susunan deskriptif.
Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, penulis
menggunakan metode pendekatan analisis deskriptif, yaitu metode
penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti
sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara
sistematis, fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Jadi,
data-data mengenai jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka
yang telah tersusun secara sistematis kemudian dianalisis menggunakan
ketentuan hukum Islam untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Sedangkan
pola pikir yang digunakan dalam proses analisis ini adalah pola pikir
deduktif, yaitu cara berpikir yang ditangkap atau diambil dari pernyataan
yang bersifat umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Yang
mana dalam hal ini peneliti menganalisis data tentang praktik jual beli
secara umum kemudian ditarik kesimpulan menggunakan ketentuan
hukum Islam untuk mendapatkan data khusus mengenai jual beli dengan
sistem pembayaran berjangka.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memahami isi dari keseluruhan skripsi ini maka penulis membagi
sistematika pembahasan ini menjadi beberapa bab yang saling berkaitan,
23
Bab pertama, yaitu bab pendahuluan, yang mana merupakan langkah awal
dari sebuah skripsi yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah
dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian teori, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, yaitu bab tinjauan umum jual beli dalam Islam, yakni
merupakan teori yang digunakan sebagai bahan analisis permasalahan yang
telah diteliti. Adapun tinjauan umum mengenai teori jual beli penulis
gambarkan sebagai berikut: pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun
jual beli, syarat dalam jual beli, penambahan harga berdasarkan waktu proses
transaksi, jual beli dengan harga cicilan, persyaratan-persyaratan untuk
keabsahan akad jual beli kredit, jual beli dengan uang muka, manfaat jual beli,
kesaksian dalam akad jual beli, etika jual beli, khiyar dalam jual beli, dan
bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.
Bab ketiga, yakni praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran
berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.
Bab ini merupakan sebuah deskripsi gambaran umum dari keadaan tempat
penelitian dan praktik jual beli sapi yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.
Bab keempat, yaitu analisis hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi
dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro
Kabupaten Lamongan. Bab ini merupakan gambaran dari bab II dan bab III,
24
mendapatkan sebuah hasil analisis dalam penentuan hukum praktik jual beli
dengan sistem pembayaran berjangka.
Bab kelima, adalah bab penutup yang merupakan bab terakhir berisikan
kesimpulan atas jawaban ringkas dari rumusan masalah, selain itu pada bab ini
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli (Bay’)
Menurut etimologi, jual beli diartikan:
ِئْيشلِِ
ِئْيشلا
ُةَلَ باَقُم
Artinya: Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
Kata lain dari al-bay’ adalah al-shira>’ (beli), al-muba>dalah (pertukaran) dan al-tija>rah (perdagangan).1 Berkenaan dengan kata al-tija>rah, dalam
Alquran surah Fa>t}ir ayat 29 dinyatakan:
Artinya: Mereka mengharapkan ija>rah (perdagangan) yang tidak akan rugi. (QS. Fa>t}ir: 29).2
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, antara lain:3
1. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli (al-bay’) secara definitif yaitu
tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diingingkan dengan sesuatu yang
sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
2. Menurut ulama mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, jual
beli (al-bay’) adalah tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk
pemindahan milik dan kepemilikan.
1 Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 73.
2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: t.p., 2002), 621.
26
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa jual beli merupakan
kegiatan tukar-menukar barang atau benda dengan sesuatu yang sepadan
sebagai bentuk pemindahan milik atau kepemilikan, yang mana pihak satu
menerima barang atau bendanya dan pihak lain menerima sesuatu yang
sepadan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan dibenarkan
syarak.
Maksud dari sesuai dengan ketentuan syarak ialah telah memenuhi
rukun dan syarat-syarat serta hal-hal lain yang berkaitan dengan jual beli.
Sehingga, apabila jual beli tidak memenuhi rukun dan syarat-syaratnya maka
jual beli dapat diartikan tidak sesuai dengan ketentuan syarak.
Untuk benda-benda yang dimaksud di atas adalah mencakup pengertian
barang dan uang. Menurut Fukaha mazhab Hanafi, benda tersebut
merupakan benda yang berwujud, boleh diambil dan disimpan serta memiliki
nilai kebendaan dikalangan manusia, yakni benda-benda yang berharga dan
dapat dibenarkan penggunaannya menurut syarak. Benda itu adakalanya
bergerak atau tidak tetap (ma>l manqu>l) dan adakalanya tidak bergerak atau
tetap (ma>l ‘uqar), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya yang tidak dapat
dibagi-bagi, ada harta yang memiliki padanan atau persamaan tanpa
mempertimbangkan adanya perbedaan satuan jenisnya (mithli) dan tidak
memiliki persamaan atau padanan atau harta yang berpadanan tetapi
perbedaan kualitas sangat diperhitungkan (qi>mi>) dan yang lain-lainnya.4
Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syarak.
27
Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram
diperjualbelikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika
dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
Jual beli menurut ulama mazhab Maliki ada dua macam, yaitu jual beli
yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus:
1. Jual beli dalam artian umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu
yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang
mengikat dua belah pihak, sedangkan tukar-menukar yaitu salah satu
pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh
pihak lain. Sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang
ditukarkan adalah zat (berbentuk), berfungsi sebagai objek penjualan. Jadi
bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.5
2. Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya
tarik, penukarannya bukan emas dan juga bukan perak, bendanya dapat
direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang
baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang
sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.6
Dalam hal ini, jual beli yang akan dibahas pada penelitian ini adalah jual
beli dengan sistem pembayaran berjangka. Jual beli dengan sistem
pembayaran berjangka hampir sama dengan jual beli kredit. Hanya saja jual
beli kredit pembayarannya dicicil, sedangkan pembayaran berjangka
5Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (
Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 69.
28
pembayarannya ditangguhkan pada jangka waktu tertentu. Akad jual beli
kredit dalam ilmu fikih disebut dengan istilah at-taqsi>t} atau secara bahasa}
berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian. Dan diantara
sistem jual beli yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu
cara menjual barang dengan pembayaran tidak tunai (pembayaran
ditangguhkan atau diangsur). Meskipun sistem ini adalah sistem klasik,
namun terbukti hingga saat ini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk
menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan
berbagai modifikasi.7 Dan dari definisi jual beli kredit, dapat tarik
kesimpulan bahwa persamaan antara sistem pembayaran kredit dengan
sistem pembayaran berjangka adalah pembayaran antara keduanya
sama-sama ditangguhkan diakhir.
B. Dasar Hukum Jual Beli
Berdasarkan dalil-dalil Alquran, sunnah dan ijmak, hukum jual beli
adalah boleh.8 Adapun dalil Alquran yang menjadi dasar hukum
diperbolehkannya jual beli adalah:
1. Surah Albaqarah ayat 25, yang berbunyi:
َ أ
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Albaqarah: 275).9
7 Agus Pranowo, Tinjauan Syariat terhadap Jual Beli Kredit, https://muslim. or.id/20961-tinjauan-syariat-terhadap-jual-beli-kredit.html?,_e_pi=7%2CPAGE_ID10%2C7696127398, diakses pada 19 Mei 2017.
8 Wahbah al-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa Adilatuhu>, (Abdul Hayyie al-Kattani, et.al.), Jilid 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2007), 26.
29
2. Surah Albaqarah ayat 282, yang berbunyi:
ْمُتْعَ ياَبَ ت اَذِإ آْوُدِهْشَأَو
Artinya: Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli. (Albaqarah: 282).10
3. Surah Annisa’ ayat 29, yang berbunyi:
ِّإ
sama suka diantara kamu. (Annisa’:29).11Selain dasar hukum jual beli berdasarkan dalil-dalil Alquran, terdapat
pula dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah saw., diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Hadis dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:
اََِإ
Artinya: Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka.12
2. Hadis yang diriwayatkan al-Tirmidhi>, Rasulullah saw. bersabda:
ُرِجاتلا
Artinya: Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang rela mati berjuang di jalan Allah.13
Adapun menurut ijmak, mereka menyatakan bahwa umat Islam sepakat
jual beli hukumya boleh. Pada dasarnya, manusia bergantung pada barang
10 Ibid., 59. 11 Ibid., 108.
12 Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Hadis Nomor 1-2389, Kitab al-tija>rah, Da>r al-Fikr, 287.
30
yang dijual oleh seseorang dan tentu penjual tersebut juga tidak akan
memberikannya tanpa ada imbalan. Oleh karena itu, dengan
diperbolehkannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan
setiap orang dan membayar atas kebutuhannya itu.
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan
bahwa:
Semua jenis jual beli hukumnya boleh kalau dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing mempunyai kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang atau diharamkan dengan izinnya maka termasuk dalam kategori yang dilarang, selain itu jual beli hukumnya boleh selama berada pada bentuk yang ditetapkan Allah.14
C. Rukun Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab
dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada
empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta>’aqidayn (penjual dan pembeli).
Adapun syarat penjual dan pembeli adalah:
a. Berakal dan balig (orang gila atau anak kecil yang belum berakal tidak
sah jual belinya).
31
b. Dengan kehendaknya sendiri (bukan paksaan), yakni atas dasar suka
sama suka.
c. Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang
mubazir itu ditangan walinya.15
2. Ada s}i>ghat (lafal ijab dan kabul). Adapun syarat s}i>ghat (lafal ijab dan
kabul) adalah:
a. Menurut jumhur ulama, orang yang mengucapkannya telah balig dan
berakal atau menurut mazhab Hanafi telah berakal.
b. Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual
buku ini seharga Rp. 20.000,00” lalu pembeli menjawab: “Saya beli
buku ini dengan harga Rp.20.000,00”. Apabila antara ijab dan qabul
tidak sesuai maka jual beli tidak sah.16
c. Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang
sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum
mengucapkan qabul atau pembeli mengerjakan aktifitas lain yang tidak
terkait dengan masalah jual beli kemudian ia ucapkan kabul, maka
menurut kesepakatan ulama fikih jual beli ini tidak sah sekalipun
mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan
qabul. Dalam kaitan ini, ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki
mengatakan bahwa antara ijab dan qabul boleh saja diantarai waktu,
15 Abdul Rahman Ghazaly, et al., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 75-76.
32
yang diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat untuk berpikir.
Namun, ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpendapat
bahwa jarak antara ijab dan qabul tidak terlalu lama yang dapat
menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan telah berubah.
Di zaman modern, perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan,
tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang
oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh
penjual tanpa ucapan apapun. Misalnya jual beli yang berlangsung di
swalayan. Dalam fikih Islam, jual beli ini disebut dengan bay’
al-mu’a>t}ah.17
3. Ada barang yang dibeli. Adapun syarat barang yang boleh
diperjualbelikan adalah:
a. Suci
b. Bermanfaat
c. Milik penjual (dikuasainya)
d. Bisa diserahkan
e. Diketahui keadaannya.18
4. Ada nilai tukar pengganti barang. Adapun syarat nilai tukar pengganti
barang adalah sesuatu yang memenuhi tiga syarat, yaitu
a. Bisa menyimpan nilai (store of value)
b. Bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account)
17 Ibid., 74.
33
c. Bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).19
Menurut ulama mazhab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli,
dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat jual beli, bukan rukun jual
beli.20
D. Syarat dalam Jual Beli
Syarat dalam jual beli ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Syarat yang sah dan dibolehkan
Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan
kepentingan transaksi. Syarat-syarat tersebut ada tiga macam, yaitu:
a. Syarat-syarat yang tidak harus ada dalam sebuah transaksi, seperti
serah terima barang dan pelunasan pembayaran.
b. Syarat-syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan akad seperti,
penangguhan pembayaran atau kriteria tambahan mengenai barang
yang diperjualbelikan, misalnya binatang ternak yang masih menyusui
atau binatang yang masih menyusui tersebut harus hasil buruan. Jika
syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka jual beli bisa dilaksanakan.
Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka si pembeli berhak
membatalkan akad dengan alasan tidak memenuhi syarat. Rasulullah
bersabda bahwa “transaksi jual beli antar sesama orang Islam
dilakukan syarat-syarat yang mereka sepakati”. Pihak pembeli juga
19 Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol.3, No. 2, (Desember, 2015), 251.
34
memiliki hak untuk mengurangi harga barang, juga sebagian disepakati
tidak terpenuhi.21
c. Syarat-syarat yang diketahui manfaatnya oleh kedua belah pihak.
Contoh, transaksi rumah dengan syarat pihak penjual boleh
menempatinya selama satu atau dua bulan. Contoh lain, jual beli
binatang ternak dengan syarat harus membawanya ke tempat tertentu.
Dalilnya adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Jabir
menjual seekor unta kepada Nabi dan disyaratkan unta membawanya
ke Madinah. Boleh juga kepada penjual agar mendapat manfaat
tertentu seperti disyaratkan membawa barang yang dijual tersebut ke
tempat tertentu dan lain sebagainya.
Muhamad bin Maslamah pernah membeli seikat kayu dari
seseorang dengan syarat kayu itu dibawa ke tempat tertentu. Kabar
tersebut diketahui khalayak luas, namun tidak ada yang menentangnya.
Pendapat tersebut diyakini oleh Ahmad , al-Auza’i Abu> Thur, Isha>q,
dan Ibnu Mundzir. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanafi tidak
membenarkan jual beli seperti diatas, karena Nabi saw telah melarang
jual beli denagn bersyarat. Akan tetapi alasan pelarangan tersebut
tanpa alasan yang kuat. Rasulullah hanya melarang penggabungan dua
syarat yang saling bertentangan dalam satu transaksi.22
2. Syarat yang membatalkan akadnya
35
Syarat-syarat yang membatalkan akad. Dalam hal ini ada beberapa
kategori:
a. Syarat yang membatalkan akad sejak awal. Contoh, salah satu pihak
yang melakukan akad mensyaratkan akad lain. Misalnya, penjual
berkata, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu menjual kepadaku
barang ini atau kau pinjamkan kepadaku barang ini”. Dalilnya
menjelaskan bahwa tidak boleh menggabungkan akad jual beli dan
akad pinjam meminjam, dan tidak boleh pula menggabungkan dua
syarat dalam satu transaksi.
Imam Ahmad berkata, “Begitu juga halnya yang memiliki makna
sama seperti perkataan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kau kawini
anak wanitaku”. Semua itu tidak sah menurut Imam Abu Hanifa, Imam
Syafi’i dan mayoritas ahli fikih. Sedangkan Imam Malik membolehkan
dan menganggap iwad} (pengganti) pada syarat tersebut yang rusak.
Malik menyatakan, “Saya tidak mengesampingkan lafal kalimat yang
dianggap fasid (rusak) apabila jual beli tersebut sudah jelas dan halal
hukumnya.23
b. Syaratnya batal, jual belinya tetap sah. Seperti pihak pejual
mensyaratkan kepada pihak pembeli agar tidak membenarkan menjual
barang yang ia beli atau tidak boleh menghibahkannya lagi. Dalilnya,
“Semua syarat yang bukan berasal dari Kitabullah adalah batil
sekalipun itu memuat seratus syarat.”
36
Demikian pendapat yang dikemukakan Ahmad, Hasan, Sya’bi,
Nakha’i, Ibnu Abi Laila dan Abu Thur. Sedangkan Abu Hanifah dan
Syafi’i menyatakannya sebagai transaksi jual beli yang fasid (rusak).24
c. Sesuatu yang tidak dikongkritkan pada saat akad seperti perkataan
penjual, “Aku jual kepadamu jika si fulan rela atau jika kau
mendatangiku dengan membawa sekian. Demikian juga akad jual beli
yang bersyarat di masa mendatang.25
E. Penambahan Harga Berdasarkan Waktu Proses Transaksi
Akad jual beli boleh dilakukan berdasarkan harga sekarang dan harga
mendatang atau sebagian dengan harga sekarang dan sebagian lain dengan
harga mendatang apabila telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Jika pembayaran akad jual beli ditangguhkan dan ada penambahan harga dari
pihak penjual karena penagguhannya, maka jual beli tersebut dibolehkan
karena penangguhan adalah bagian dari harga. Hal tersebut menurut mazhab
Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Muayyad Billah dan mayoritas ahli fikih dengan
alasan umumnya kaidah halal jual beli dan pendapat tersebut dikuatkan oleh
asy-Syaukani.26
24 Ibid.
37
F. Jual Beli dengan Harga Cicilan
Para ulama dan kalangan jumhur membolehkan jual beli barang yang
diserahkan sekarang dengan harga cicilan yang melebihi harga tunai apabila
transaksi semacam ini berdiri sendiri dan tidak dimasuki unsur ketidakjelasan
seperti misalnya melakukan dua transaksi dalam satu transakasi agar tidak
terjebak pada tipe dua jual beli dalam satu jual beli yang dilarang. Ibnu
Qudamah dalam kitab al-Mughni mengatakan bahwa sebenarnya jual beli
dengan harga tidak tunai bukanlah sesuatu yang diharamkan, juga tidak
makruh berdasarkan kesepakatan ulama. Maka apabila kedua pihak pembeli
dan penjual sepakat atas jual beli alat atau barang lain dengan harga 1100
(seribu seratus) secara tidak tunai, sementara harga tunai hanya 1000
(seribu), maka jual beli dianggap sah meskipun dalam proses tawar-menawar
sempat penjual menyebutkan dua harga yaitu harga tunai dan harga tidak
tunai, karena yang penting adalah akhir transkasi harus secara tidak tunai.27
Tetapi, apabila dalam satu transaksi penjual sejak awal mengatakan kepada
pihak pembeli “Saya menjual kepadamu barang ini dengan harga 1000 secara
tunai dan dengan harga 1100 secara tidak tunai.”, lalu pembeli menerima
tanpa menentukan maksudnya atau tanpa memutuskan tipe transaksi yang
mana dia inginkan, maka jual beli seperti ini batal menurut jumhur, fasid
menurut ulama mazhab Hanafi karena terjadinya ketidakjelasan dan sebagian
dari ulama mazhab Zaydi> mengatakan bahwa tidak sah jual beli dengan harga
38
yang melebihi harga hari dimana transaksi dilangsungkan karena alasan harga
tidak tunai.
Pada hakikatnya jual beli dengan harga tidak tunai (cicilan) berbeda
substansinya dari riba, meskipun antara keduanya terjadi kesamaan dari sisi
bahwa harga tidak tunai berbeda dari harga tunai karena faktor keterlambatan
membayar. Sisi perbedaannya adalah bahwa Allah menghalalkan jual beli
karena faktor kebutuhan dan mengharamkan riba karena tambahan hanya
betul-betul karena faktor keterlambatan pembayaran. Disamping itu dalam
hal riba, tambahan yang diberikan oleh salah seorang pihak transaksi adalah
sama jenisnya dengan sesuatu yang ia ambil dan tambahan karena faktor
pembayaran diserahkan kemudian. Seperti misalnya menjual satu s}a’ gandum
sekarang dengan harga dua s}a’ gandum yang akan dibayar beberapa waktu
kemudian atau memberi kredit seribu dirham sekarang dan akan dibayar
seribu seratus dirham beberapa waktu kemudian.28
Adapun jual beli dengan harga yang tidak tunai, maka barang jualan
berupa barang yang bernilai 1000 saat transaksi dilakukan dan akan bernilai
1100 pada beberapa bulan kemudian misalnya. Hal ini tidak termasuk riba,
tetapi salah satu bentuk toleransi dalam hal jual beli, karena dalam jual beli
ini pembeli mengambil barang, bukan uang tunai dan dia tidak memberi
tambahan dari jenis yang ia terima dari penjual. Dan sudah menjadi
pegetahuan umum bahwa sesuatu harga yang ada sekarang lebih baik dan
berharga dari apa yang akan diterima pada waktu-waktu mendatang. Apalagi
39
pihak penjual akan berkorban ketika menghadirkan barang kepada orang yang
akan membelinya dengan harga yang tidak tunai karena harga barang akan
dibayar kemudian dan itu berarti penjual tidak akan memanfaatkannya ketika
ingin membeli barang-barang lain.29
G. Persyaratan-Persyaratan untuk Keabsahan Akad Jual Beli Kredit
Meskipun pada jual beli dengan harga kredit harga yang ditawarkan lebih
mahal dibandingkan dengan harga tunai, hal tersebut pada dasarnya
diperbolehkan, akan tetapi terdapat persyaratan yang harus dipenuhi untuk
keabsahannya dan apabila hal ini tidak terpenuhi maka hal tersebut menjadi
tidak sah bahkan bisa menjadi riba dan keuntungannya menjadi harta haram.
Adapun syarat tersebut adalah:30
1. Akad tersebut tidak dimaksudkan untuk melegalkan riba.
2. Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual beli kredit
dilangsungkan.
3. Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi
belum diterima dan belum berada ditangannya.
4. Barang yang dijual kredit, bukan berbentuk emas, perak atau mata uang,
karena hal ini termasuk riba bay’.
5. Barang yang dijual secara kredit harus diterima pembeli tunai pada saat
akad berlangsung.
29 Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa..., 139.
40
6. Pada saat transaksi harga harus disepakati satu dan jelas serta besarnya
angsuran dan jangka waktu juga harus jelas.
7. Akad jual beli kredit harus tegas. Maka akad tidak boleh dibuat dengan
cara beli sewa (leasing).
8. Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membayar denda atau harga
barang menjadi bertambah jika pembeli terlambat membayar.
H. Jual Beli dengan Uang Muka
Jual beli dengan uang muka atau panjar atau disebut dengan istilah
‘urbun adalah bahwa pihak pembeli membeli suatu barang dan membayar
sebagian total pembayarannya kepada penjual. jika jual beli dilaksanakan,
panjar dihitung sebagai bagian total pembayarannya dan jika tidak maka
panjar diambil penjual dengan dasar sebagai pemberian dari pihak pembeli.31
Misalnya, seseorang membeli sebuah barang lalu ia membayar satu dirham
saja atau sebagian kecil dari harga barang kepada penjual, dengan syarat jika
jual beli dilanjutkan maka satu dirham yang telah dibayarkan itu akan
terhitung sebagai bagian dari harga. Namun, apabila tidak terjadi jual beli,
maka satu dirham yang telah dibayar akan menjadi pemberian (hibah) bagi
penjual. Dalam jual beli ini, pembeli mempunyai hak khiyar (hak untuk
melanjutkan transaksi atau membatalkannya). Konsekuensinya, jika jual beli
berlanjut maka uang yang telah dibayarkan akan menjadi bagian dari harga
barang, tetapi jika jual beli dibatalkan maka ‘urbun yang ia bayarkan menjadi
41
hangus. Masa berlaku waktu khiya>r sendiri tidak terbatas. Adapun untuk
penjual, jual beli menjadi lazim (tidak punya hak khiya>r) baginya.32
Menurut hadis riwayat Ibnu Majah, mayoritas ahli fikih mengatakan
bahwa jual beli ‘urbun adalah jual beli yang dilarang dan tidak sah. Tetapi,
menurut Hanafi jual beli ‘urbun hukumnya hanya fasid. Sedangkan ulama
selain mazhab Hanafi mengatakan bahwa jual beli ini adalah jual beli yang
batal, berdasarkan larangan Nabi terhadap jual beli ‘urbun, disamping jual
beli ini mengandung unsur penipuan (gharar), spekulasi dan termasuk
memakan harta orang tanpa ada imbalan juga mengandung dua syarat yang
fasid; pertama, syarat hibah dan kedua, syarat akan mengembalikan barang
bila tidak suka dan pembeli mensyaratkan kepada penjual sesuatu tanpa ada
imbalan sehingga jua beli menjadi tidak sah.33
Berbeda dengan Imam Ahmad yang menganggap hadis riwayat Ibnu
Majah tersebut sangat lemah sehingga ia membolehkan jual beli dengan
panjar dengan dalil hadis yang diriwayatkan dari Nafi’ bin Abdul Harits,
bahwa ia membelikan umar sebuah rumah untuk dijadikan penjara dari
Shafwan bin Umayyah dengan harga empat ratus dirham. Jika Umar setuju
maka jual beli dilaksanakan dan jika tidak Shafwan mendapatkan empat ratus
dirham yang dijadikan sebagai uang panjarnya.
Sedangkan dewasa ini jual beli dengan memakai sistem uang muka telah
menjadi dasar komitmen dalam hubungan bisnis yang dijadikan sebagai
perjanjian memberi kompensasi bahaya bagi pihak lain karena resiko
42
menunggu dan tidak berjalannya usaha. Hal ini menurut Wahbah adalah sah
dan halal dilakukan berdasarkan ‘urf (tradisi yang berkembang) karena
hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kasus jual beli ini, baik yang pro maupun
yang kontra tidak ada satu pun hadis sahih.34
I. Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Adapun manfaat jual beli adalah sebagai berikut:
1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt., bahkan 90% sumber rezeki berputar dalam aktifitas perdagangan.35
4. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya
dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang
dan menerima barang dagangan dengan puas juga. Dengan demikian, jual
beli juga mampu mendorong untuk saling membantu antara keduanya
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
5. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram (batil).
34 Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa..., 120.
43
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Keuntungan dan laba dari
jua beli dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat
sehari-hari. Apabila kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi, maka diharapkan
ketenangan dan ketentraman jiwa dapat pula tercapai.36
J. Kesaksian dalam Akad Jual Beli penulis dipersulit dan begitu juga saksi. (Albaqarah: 282)37
Perintah dalam ayat tersebut hukumnya sunnah (dianjurkan) karena ada
kebaikan di dalamnya, dan bukan sebagai perintah wajib sebagaimana
pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa mendatangkan saksi
dalam jual beli adalah keawajiban yang tidak boleh ditinggalkan untuk
menghindari terjadinya perselisihan dan sikap saling menyangkal, khususnya
apabila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat penting
(mahal).38 Al-Jas}s}a>s} dalam kitab Ah}ka>m al-Qur’a>n mengatakan bahwa
mayoritas ahli fikih sepakat bahwa perintah untuk menuliskan akad dan
adanya saksi hukumnya sunnah.39 Sebagai contoh, seorang pembeli dan
penjual melakukan akad jual beli dengan tempo pembayaran tiga hari.
36 Abdul Rahman Ghazaly, et.al., Fiqh Muamalat..., 87-88. 37 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya..., 84. 38 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah..., 105.