• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI

SAPI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA

TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO

KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Oleh: Noor Hazlina NIM. C72213154

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. Adapun permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?, 2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Sedangkan untuk menganalisis data-data yang diperoleh, peneliti menggunakan metode pendekatan analisis deskriptif, yakni mengumpulkan data-data yang ada dilapangan terlebih dahulu kemudian dianalisis dengan ketentuan hukum Islam. Untuk pola pikirnya menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang umum terhadap yang khusus.

Hasil penelitian menyatakan, bahwa jual beli sapi di Desa Takerharjo memiliki perbedaan dari segi pembayaran, yakni antara sistem pembayaran berjangka dan sistem pembayaran tunai. Apabila pemilik sapi memilih menjual sapinya dengan sistem tunai maka harga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan dengan sistem pembayaran berjangka, sedangkan apabila pemilik sapi memilih menjual sapinya dengan sistem pembayaran berjangka maka harga yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tunai dengan jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu yang telah disepakati juragan tidak mampu menjual sapi di atas harga yang diperjanjikannya, maka juragan harus melunasi pembayaran dengan uang milik pribdi. Meskipun pembayaran berjangka ini terkadang dapat merugikan juragan, akan tetapi sapi-sapi yang dijual dengan pembayaran berjangka dapat membantu juragan sebagai modal usahanya. Menurut hukum Islam praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka ini adalah sah karena sudah memenuhi syarat keabsahan akad jual beli dan sudah sesuai dengan ketentuan syarak.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM. ... i

PERNYATAAN KEASLIAN. ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... iii

PENGESAHAN. ... iv

ABSTRAK. ... v

KATA PENGANTAR. ... vi

DAFTAR ISI. ... viii

DAFTAR TABEL. ... x

DAFTAR TRANSLITERASI. ... xi

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

A.Latar Belakang Masalah. ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah. ... 7

C.Rumusan Masalah. ... 9

D.Kajian Pustaka. ... 9

E. Tujuan Penelitian. ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian. ... 12

G.DefinisiOperasional. ... 13

H.Metode Penelitian. ... 14

I. Sistematika Pembahasan. ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM JUAL BELI DALAM ISLAM. ... 25

A.Pengertian Jual Beli. ... 25

B.Dasar Hukum Jual Beli. ... 28

C.Rukun Jual Beli. ... 30

D.Syarat dalam Jual Beli. ... 33

E. Penambahan Harga Berdasarkan Waktu Proses Transaksi. ... 36

(8)

H. Jual Beli dengan Uang Muka. ... 40

I. Manfaat Jual Beli. ... 42

J. Kesaksian dalam Akad Jual Beli. ... 43

K.Etika Jual Beli. ... 45

L. Khiyar dalam Jual Beli. ... 47

M.Bentuk-bentuk Jual Beli yang Dilarang. ... 48

BAB III PRAKTIK JUAL BELI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN. ... 53

A. Gambaran Umum Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 53

B. Praktik Jual Beli Sapi dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BERJANGKA DI DESA TAKERHARJO KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN... 69

A. Analisis Praktik Jual Beli dengan Sitem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 69

B. Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. ... 76

BAB V PENUTUP. ... 83

A. Kesimpulan. ... 83

B. Saran. ... 84 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki tujuan masing-masing untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, baik dalam hal kebutuhan pokok maupun dalam hal kebutuhan

lainnya. Sehingga, untuk mewujudkan hal-hal tersebut manusia perlu

menjalin hubungan kerjasama dengan sesama. Salah satu wujud dari bentuk

hubungan kerjasama tersebut adalah dengan cara bermuamalah.

Kegiatan muamalah merupakan semua akad yang membolehkan manusia

saling tukar-menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang

telah ditentukan Allah Swt. dan manusia wajib untuk mentaatinya.

Termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan

tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.1 Contohnya, jual

beli (al-bay’), utang-piutang (qard}), mud}a>rabah, musha>rakah, muza>ra’ah,

mukha>barah, ija>rah dan sebagainya.

Setiap manusia selalu membutuhkan barang dan jasa seseorang dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan seseorang tersebut tidak akan

memberikan barang dan jasanya dengan percuma. Untuk itu, dari berbagai

akad-akad kegiatan muamalah di atas, akad jual belilah yang paling dominan

dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan jual beli

tidak pernah luput dari kehidupan sehari-hari setiap manusia.

(10)

2

Jual beli secara istilah fikih disebut dengan al-bay’ yang berarti menjual.

Sedangkan secara istilah, jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar

benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua

belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya

sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang dibenarkan syarak dan

disepakati.2

Jual beli dikalangan masyarakat terjadi dengan berbagai macam cara.

Dilihat dari segi pembayaran, terdapat jual beli secara tunai dan jual beli

yang pembayarannya menggunakan jangka waktu. Jual beli tunai adalah jual

beli yang pembayarannya dilakukan secara tunai setelah akad jual beli

berlangsung. Sedangkan jual beli dengan pembayaran berjangka adalah jual

beli yang pembayarannya bisa dilakukan dengan membayar uang panjar atau

juga bisa tidak kemudian sisa pembayaran akan dilunasi dalam jangka waktu

yang telah disepakati kedua belah pihak, yakni antara penjual dan pembeli.

Fenomena yang terjadi pada masa kini, masyarakat seringkali memilih

transaksi jual beli dengan pembayaran ditangguhkan atau pembayaran

berjangka. Bahkan hal ini sudah biasa terjadi hingga sebagian masyarakat

menjadikannya sebagai sebuah tradisi. Begitu pula peminat jual beli dengan

sistem pembayaran berjangka ini adalah kebanyakan masyarakat kelas

menengah ke bawah dengan latar belakang keterbatasan dana, sehingga

masyarakat berpikir bahwa pembayaran berjangka adalah pilihan yang paling

tepat. Berbeda dengan alasan masyarakat pada umumnya yang melakukan

(11)

3

pembayaran tangguh atau pembayaran berjangka dikarenakan keterbatasan

dana, pada penelitian ini justru hal yang menjadi alasan masyarakat

melakukan praktik jual beli dengan sistem pembayaran berjangka adalah

untuk mengharapkan keuntungan lebih dari hasil transaksi yang dilakukan.

Jual beli dengan sistem pembayaran berjangka ini juga dilakukan oleh

sebagian masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten

Lamongan. Gambaran sementara praktik jual beli yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Takerharjo ini adalah jual beli antara seorang pemilik sapi

dengan juragan sapi, dimana objek yang diperjualbelikan dalam transaksi

tersebut adalah sapi dan menggunakan sistem pembayaran berjangka atau

masyarakat Desa Takerharjo menyebutnya dengan istilah jual beli sapi

dengan cara diutangkan. Pemilik sapi adalah seseorang yang akan menjual

sapinya kepada juragan sapi dengan cara menghutangkan sapinya terlebih

dahulu kepada juragan dan kemudian pembayarannya akan dilakukan di lain

waktu yang telah disepakati, sedangkan juragan sapi adalah seseorang yang

akan membeli sapi dari pemilik sapi dan juga seseorang yang memiliki

tanggung jawab untuk melunasi pembayaran sapi pada hari yang telah

disepakati.

Umumnya, masyarakat Desa Takerharjo memilih jual beli dengan sistem

pembayaran berjangka adalah karena harga jual dengan sistem pembayaran

berjangka lebih tinggi dibandingkan harga sistem tunai, selain itu

masyarakat membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup

(12)

4

sebagainya. Sebagian masyarakat berfikir apabila sapi yang dimiliki dijual

dengan cara dihutangkan kepada juragan sapi terlebih dahulu maka pemilik

sapi akan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil penjualan sapi meskipun

pembayarannya tidak dilakukan secara kontan dan bisa jadi satu minggu

setelah terjadinya kesepakatan harga sapi di pasar akan naik sehingga dapat

menguntungkan pihak juragan sapi. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh

setiap pemilik sapi, hanya saja pada pemilik sapi yang tidak membutuhkan

dana segera dan menginginkan jual beli dengan sistem pembayaran

berjangka.3

Untuk melakukan jual beli dengan sistem pembayaran berjangka, sapi

yang digunakan sebagai objek jual beli akan dibawa terlebih dahulu oleh

juragan sapi dan dijual ke jagal sapi untuk disembelih atau dirawat terlebih

dahulu kemudian akan dijual ketika ada pembeli yang menginginkan

sapi-sapi tersebut. Ketika musim haji seorang juragan bisa mendapat keuntungan

lebih, karena ketika itulah permintaan di pasar sedang melonjak tinggi. Akan

tetapi tidak dimungkinkan juragan sapi selalu mendapat untung besar.

Karena ketika sehari-hari juragan menjual sapi kepada jagal dan dijual

dagingnya secara ecer maka keuntungan bisa tidak sebanding dengan harga

sapi yang diperjanjikan dan dapat dikatakan rugi sehingga untuk membayar

harga yang diperjanjikan juragan harus membayarnya dengan uang pribadi.

Proses pembayaran yang diterapkan bisa menggunakan uang panjar atau

bisa juga tidak. Pembayaran dilakukan secara berjangka dengan kesepakatan

(13)

5

bahwa pemilik sapi dapat mengambil uangnya apabila jangka waktu yang

disepakati sudah jatuh tempo. Adapun jangka waktu pelunasan terdapat

sistem mingguan yang dikhususkan untuk sesama juragan sapi dan jagal sapi,

sedangkan sistem bulanan untuk pemilik sapi perorangan dengan pilihan

jangka waktu 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan hingga 4 bulanan. Dalam

jangka-jangka itulah juragan harus melunasi pembayaran atas hutangnya kepada

pemilik sapi apabila jangka waktu pembayaran yang disepakati kedua pihak

telah berakhir. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan juragan sapi

tidak dapat melunasi hutangnya pada pemilik sapi, maka juragan sapi harus

mendatangi pemilik sapi untuk meminta tambahan jangka waktu dan

meminta maaf agar pemilik sapi tidak merasa kecewa atas keterlambatan

pembayaran tersebut.

Mengenai pelunasan pembayaran, sesekali juragan sapi juga pernah

mengalami keterlambatan. Keterlambatan tersebut dikarenakan juragan sapi

hanya memperoleh keuntungan kecil dari penjualan sapi-sapi yang dimiliki.

Selain itu, apabila dalam jangka waktu yang telah disepakati juragan tidak

mampu menjual sapi-sapi yang dijual kepadanya dengan sistem pembayaran

berjangka di atas harga yang dijanjikannya, maka juragan harus membayar

tambahan harga yang telah disepakti dengan uang milik pribadi. Akan tetapi,

dalam masalah ini pemilik sapi dan juragan tidak memberlakukan adanya

tambahan harga jika terjadi keterlambatan dalam pelunasan, keduannya

(14)

6

kepada pemilik sapi dan meminta tambahan jangka waktu serta berjanji akan

melunasi pembayarannya di lain waktu.

Dalam pelaksanaannya, bukti pelunasan pembayaran maupun bukti

proses terjadinya akad jual beli dengan sistem pembayaran berjangka selama

ini tidak menggunakan bukti tertulis, pemilik sapi dan juragan hanya

mempercayai seseorang dari pihak masing-masing untuk menjadi saksi

dalam jual beli tersebut dan dalam pelunasan pembayarannya di kemudian

hari setelah jangka waktu telah berakhir. Bahkan apabila antara pejual dan

pembeli sudah saling mengenal maka saksi bisa jadi tidak diperlukan lagi

dan keduanya hanya bermodalkan kepercayaan. Firman Allah Swt.:

B.

ُه ْوُ بُ تْك اآف ىمآسم ٍلآجآأ آَِإ ٍنْي آدِب ْمُتْ نآ ي اآدآت

ا

آذِإ آْوُ نآم اآء آنْي ِذلا اآه ي آآَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Albaqarah: 282).4

Untuk ketentuan harga, terdapat perbedaan antara jual beli dengan

sistem tunai dan jual beli dengan sistem pembayaran berjangka, sebagaimana

dijelaskan sebelumnya bahwa sistem tunai dan sistem pembayaran berjangka

selain terdapat perbedaan dari segi sistem pembayaran juga terdapat

perbedaan dari segi harga. Penjual dan pembeli sepakat apabila seekor sapi

dijual dengan tunai maka harganya adalah Rp. 20.000.000,00. Sedangkan

jika jual beli dilakukan dengan cara diutangkan atau dengan pembayaran

berjangka maka harganya menjadi Rp. 21.000.000,00 dengan jangka waktu

(15)

7

pelunasan dua bulan.5 Dalam jangka waktu yang telah disepakati harga sapi

di pasar dapat dipastikan akan naik sehingga dapat menguntungkan juragan

dan dapat merugikan pemilik sapi, yakni dari harga Rp. 21.000.000,00 bisa

menjadi Rp. 21.500.000,00. Akan tetapi, jika sapi dipotong dan dijual

dagingnya secara ecer kemungkinan besar pemilik sapi yang akan mendapat

untung dan juragan akan mengalami kerugian karena bisa jadi daging yang

dijual secara ecer di pasar tidak laku (permintaan di pasar menurun) dan

mengakibatkan daging menjadi busuk sehingga tidak dapat dijual lagi. Dari

segi perbedaan harga ini, penulis dapat mengkaji tentang bagaimana hukum

adanya tambahan harga pada praktik jual beli sapi dengan sistem

pembayaran berjangka.

Maka dari itu, penulis mengangkat judul “Analisis Hukum Islam

terhadap Praktik Jual Beli Sapi dengan Sistem Pembayaran Berjangka di

Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan” untuk

meneliti lebih lanjut mengenai praktik jual beli tersebut apakah sudah sesuai

dengan prinsip Islam dan juga apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak

dalam Islam.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi

beberapa masalah yang bisa dijadikan sebagai bahan penelitian. Adapun

identifikasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

(16)

8

1. Sistem pembayaran berjangka dalam praktik jual beli sapi.

2. Proses jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka.

3. Praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka.

4. Faktor yang melatarbelakangi masyarakat memilih jual beli sapi dengan

sistem pembayaran berjangka.

5. Adanya jangka waktu dalam jual beli sapi di Desa Takerharjo.

6. Adanya keterlambatan dalam pelunasan pembayaran dari jangka waktu

yang telah disepakati.

7. Faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam pelunasan pembayaran.

8. Mekanisme penetapan harga pada jual beli sapi di Desa Takerharjo

Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.

9. Pandangan hukum Islam terhadap jual beli sapi dengan sistem

pembayaran berjangka.

Agar penelitian ini fokus pada permasalahan yang diteliti, maka penulis

memerlukan adanya batasan masalah, diantaranya adalah:

1. Praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

Kabupaten Lamongan.

2. Pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan sistem

pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

(17)

9

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari identifikasi dan batasan masalah, maka dapat diambil

beberapa rumusan masalah yang akan dikaji, yakni:

1. Bagaimana praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka di

Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi dengan

sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

Kabupaten Lamongan?

D. Kajian Pustaka

Kajian kepustakaan adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan

topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya sehingga tidak terjadi suatu pengulangan materi secara

mutlak.6

Kegiatan jual beli memang sudah tidak asing lagi dikalangan

masyarakat, sehingga banyak buku-buku maupun penelitian sebelumnya

yang membahas tentang praktik jual beli. Untuk itu, sebagai bahan

perbandingan dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa

penelitian terdahulu, diantaranya sebagai berikut:

1. Nurul Nisfu Suci Rofikhoh, 2008, dengan judul “Tinjaun Hukum Islam

terhadap Utang Uang dengan Sistem Jual Beli Barang (Mura>bah}ah) dari

Piutang di Desa Sawo Babat Lamongan”. Dalam penelitian ini

(18)

10

menyatakan, bahwa praktik hutang uang dengan sistem jual beli dari

piutang di Desa Sawo Babat Lamongan dilakukan oleh sebagian warga

yang bertindak sebagai berhutang dan berpiutang sekaligus sebagai

penjual dan pembeli adalah ibu-ibu rumah tangga, yang terdapat batasan

waktu dalam pengembalian hutang selama 3 bulan. Adapun tinjauan

hukum Islam terhadap transaksi tersebut adalah sah karena telah

memenuhi syarat-syarat dalam utang piutang menurut hukum Islam dan

masih sejalan dengan aturan dalam prinsip-prinsip utang piutang Islam.7

2. Diffatussunnah Riadinna, 2016, dengan judul “Analisis Fikih Mazhab

Syafi’i terhadap Perubahan Harga Sepihak: Studi Kasus Jual Beli Daging

Sapi di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang”. Dalam

penelitian ini menyatakan, bahwa praktik jual beli daging sapi di Desa

Omben dilakukan oleh seorang pembeli yang memesan daging sapi

kepada supplier pada malam hari sebelum sapi disembelih, melalui sms

atau telepon dengan meyebutkan perkilo gramnya yang kemudian supplier

menyebutkan harga perkilo gramnya. Dan apabila esok hari daging yang

dikirimkan supplier kepada pembeli tidak sesuai dengan keinginan

pembeli, maka pembeli dengan semaunya sendiri mematok harga perkilo

gramnya atau jika daging tersebut sampai fatal tidak sesuai dengan

keinginan pengecer maka pengecer akan mengembalikan kepada supplier.

Berdasarkan hasil analisis, jual beli tersebut dianggap sah atau lazim

7Nurul Nisfu Suci Rofikhoh, “Tinjaun Hukum Islam terhadap Utang Uang dengan Sistem Jual

(19)

11

apabila penjual dan pembeli tersebut rela, dan jual beli tersebut dapat

dikatakan fasid atau rusak apabila supplier tidak rela (terpaksa) atau

merasa berat hati menjual daging sapi tersebut daripada tidak terjual atau

ruginya semakin besar.8

3. Erfa Erfiana, 2016, dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik

Jual Beli Sawah Berjangka Waktu di Desa Sukomalo Kecamatan

Kedungpring Kabupaten Lamongan”. Dalam penelitian ini menyatakan,

bahwa jual beli yang terjadi di Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring

Kabupaten Lamongan adalah praktik jual beli yang terdapat adanya

tenggang waktu dan sebuah syarat, yang mana jual beli tersebut hanya

berlaku selama tenggang waktu yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Dan syarat yang terdapat dalam jual beli ini yaitu selama barang ada di

pihak pembeli, maka pembeli tidak boleh menjualnya kepada siapapun

selain penjual. Setelah waktu yang ditentukan keduanya tiba, maka

barang yang ditentukan keduanya telah tiba, maka barang yang

diperjualbelikan kembali dibeli oleh pnejual sesuai dengan penjualan

harga semula.9

Dari beberapa penelitian di atas, penelitian yang dilakukan penulis

memiliki persamaan dari segi praktik yang sama-sama menggunakan jangka

8 Diffatussunnah Riadinna, Analisis Fikih Mazhab Syafi’i terhadap Perubahan Harga Sepihak:

Studi Kasus Jual Beli Daging Sapi di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).

9Erfa Erfiana, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Sawah Berjangka Waktu di Desa

(20)

12

waktu dalam pembayarannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada obyek

yang perjualbelikan.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan

daripada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran

berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten

Lamongan.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap jual beli sapi dengan

sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

Kabupaten Lamongan.

F. Kegunaan Penelitian

Dilihat dari tujuan dilakukannya penelitian, maka hasil dari penelitian

ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Aspek teoritis

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang praktik jual beli,

terutama dalam jual beli dengan sistem pembayaran berjangka.

b. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan hukum,

(21)

13

2. Aspek praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat untuk melakukan jual beli

dengan sistem pembayaran berjangka.

b. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang membahas

tentang jual beli dengan sistem pembayaran berjangka.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah

konsep atau variabel penelitian sehingga bisa dijadikan acuan dalam

menelusuri, menguji atau mengukur variabel tersebut melalui penelitian.

Pemberian definisi operasional hanya terhadap sesuatu konsep atau variabel

yang dipandang masih belum operasional dan bukan kata perkata.10 Jadi,

untuk memahami skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap

Praktik Jual Beli Sapi Dengan Sistem Pembayaran Berjangka di Desa

Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan” ini penulis dirasa

perlu untuk menjelaskan definisi dari variabel-variabel judul tersebut:

1. Hukum Islam

Adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan

berdasarkan Alquran, hadis dan pendapat ulama fikih.11 Jadi, untuk

menganalisis praktik jual beli dengan sistem pembayaran berjangka

penulis menggunkan ketentuan hukum Islam yang berdasarkan pada

10 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya:

UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 9.

(22)

14

Alquran surah Albaqarah ayat 25 tentang jual beli, Hadis riwayat Ibnu

Majah tentang jual beli atas suka sama suka serta pendapat ulama fikih

mengenai hukum jual beli dalam Islam.

2. Sistem pembayaran berjangka

Adalah suatu cara yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai

uang dari satu pihak ke pihak lain dengan cara berjangka. Sedangkan jual

beli dengan sistem pembayaran berjangka berdasarkan hasil wawancara

adalah jual beli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh, yakni

juragan sapi bisa memberikan panjar terlebih dahulu atau tidak kepada

pemilik sapi kemudian pelunasan akan dibayar ketika jangka waktu yang

telah disepakati kedua pihak berakhir dengan ketentuan adanya perbedaan

harga antara sistem tunai dan sistem pembayaran berjangka.12

Dari uraian penelitian-penelitian di atas, dapat diketahui bahwa pokok

permasalahan skripsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu, yang mana dalam

hal ini pokok permasalahannya adalah mengenai perbedaan harga antara jual

beli dengan pembayaran tunai dan jual beli dengan pembayaran berjangka.

H. Metode Penelitian

Metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan

pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan penelitian

adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan

(23)

15

menganalisis sampai menyusun laporannya.13 Jadi, metode penelitian adalah

anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berpikir dan

bertindak dalam melaksanakan penelitian.

Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian lapangan (field

research), yaitu suatu penelitian yang meneliti objek di lapangan untuk

mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan data yang konkrit tentang

hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sehingga, untuk

mendapatkan sebuah gambaran dan data-data yang diperlukan, penulis

melakukan penelitian terhadap masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan

Solokuro Kabupaten Lamongan. Adapun metode-metode yang dibutuhkan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

Kabupaten Lamongan, lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena

Desa Takerharjo adalah tempat terjadinya praktik jual beli sapi dengan

sistem pembayaran berjangka.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan secara berkala, yakni pada bulan Oktober

2016 kemudian dilanjutkan kembali pada bulan Desember 2016 sampai

bulan Januari 2017.

3. Obyek penelitian

(24)

16

Obyek penelitian pada penelitian ini adalah sistem pembayaran

berjangka dalam praktik jual beli sapi di Desa Takerharjo Kecamatan

Solokuro Kabupaten Lamongan.

4. Subyek penelitian

Subyek penelitian pada penelitian ini adalah masyarakat Desa

Takerharjo yang berjumlah 6 orang responden dan 5 orang informan, yang

mana terdiri dari 4 orang responden pemilik sapi, yakni bapak

Muhammad Syafi’i, bapak Yasmaun, bapak Tambah dan bapak jaman dan

2 orang responden juragan sapi, yakni bapak H. Srijo dan Adi Sholih.

Sedangkan untuk inforaman terdapat 6 orang informan, yaitu bapak

Astro, bapak Anwar, bapak Kastum, bapak Supaji, Ibu Sukarti dan

Maratus Sholihah.

5. Data yang dikumpulkan

Untuk menjawab sebuah rumusan masalah, maka peneliti harus

mengumpulkan data-data sebagai berikut:

a. Data primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer

atau sumber pertama dilapangan.14 Adapun data primer yang diteliti

adalah:

1) Data tentang sejarah jual beli sapi dengan sistem pembayaran

berjangka.

14 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-Format Kuantitatif untuk Studi

(25)

17

2) Data tentang proses jual beli sapi dengan sistem pembayaran

berjangka.

3) Data tentang akad jual beli sapi dengan sistem pembayaran

berjangka.

4) Data tentang perbedaan penetapan harga antara jual beli sistem

tunai dengan jual beli sistem pembayaran berjangka.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau

sumber sekunder.15 Adapun data sekunder yang diteliti adalah:

1) Data tentang akad jual beli, meliputi pengertian jual beli, dasar

hukum jual beli, rukun jual beli, syarat dalam jual beli, penambahan

harga berdasarkan waktu proses transaksi, jual beli dengan harga

cicilan, persyaratan-persyaratan untuk keabsahan akad jual beli

kredit, jual beli dengan uang muka, manfaat jual beli, kesaksian

dalam akad jual beli, etika jual beli, khiyar dalam jual beli, dan

bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.

2) Data tentang gambaran umum Desa Takerharjo, yakni data

geografis, data kependudukan, data perekonomian, data jumlah

peternak dan data jumlah ternak di Desa Takerharjo.

6. Sumber data

Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber

sekunder.

(26)

18

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber pertama di mana sebuah data

dihasilkan.16 Maksudnya, sumber yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi

yang dicari. Sumber primer ini diperoleh secara langsung dari para

responden di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten

Lamongan sebagai tempat penelitian, diantaranya adalah:

1) Pemilik sapi, yakni selaku penjual atau seseorang yang memilih

akad jual beli dengan sistem pembayaran berjangka. Pada hal ini

penulis memilih 4 orang responden pemilik sapi, yakni bapak

Muhammad Syafi’i, bapak Yasmaun, bapak Tambah dan bapak

Jaman.

2) Juragan sapi, yakni selaku pembeli atau seseorang yang menerapkan

jual beli dengan sistem pembayaran berjangka. Dalam hal ini

penulis memilih 2 responden juragan sapi, yakni bapak H. Srijo dan

Adi Sholih.

3) Masyarakat, yakni selaku informan atau salah seorang yang dipilih

menjadi saksi dalam praktik jual beli sapi dengan sistem

pembayaran berjangka. Dan pada hal ini penulis memilih 6 orang

sebagai informan, yakni bapak Astro, bapak Anwar, bapak Kastum,

bapak Supaji, Ibu Sukarti dan Maratus Sholihah.

(27)

19

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah sumber kedua sesudah sumber primer.17

Yakni sebagai pendukung sumber primer yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti. Adapun data-data tersebut bisa berupa

kitab, catatan, buku, jurnal, skripsi dan dokumen-dokumen lain yang

berkaitan dengan permasalahan. Sumber sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1) Fiqhu al-Isla>m wa Adilatuhu> jilid 5, karangan Wahbah az-Zuhaili.

2) Fiqhu al-Sunnah jilid 4, karangan Sayyid Sabiq.

3) Fiqih Muamalah, karangan Rachmat Syafe’i.

4) Dokumen Format Isian Data Profil Desa Takerharjo dan Data

Kesekretariatan Desa Takerharjo.

7. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti, maka dibutuhkan beberapa teknik dalam pengumpulan data

tersebut, diantaranya adalah:

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis

fenomena-fenomena yang diteliti.18 Jadi untuk memperoleh data-data

yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini, peneliti terjun langsung

ke lapangan, yakni Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten

17 Ibid., 129.

(28)

20

Lamongan untuk mengamati bagaimana praktik jual beli sapi yang

dilakukan oleh pemilik sapi dengan juragan sapi.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk

mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi,

motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu

pewawancara yang mengajukan dengan orang yang diwawancarai.19

Untuk itu, dibutuhkan beberapa responden sebagai seseorang yang

akan diwawancarai atau sebagai sampel untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang telah ada. Sehingga dalam hal ini untuk mendapatkan

informasi lebih detail mengenai praktik jual beli dengan sistem

pembayaran berjangka peneliti melakukan wawancara terhadap

masyarakat Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten

Lamongan, khususnya juragan sapi dan pemilik sapi serta pihak lain

yang berkepentingan.

8. Teknik pengolahan data

Untuk mempermudah hasil analisis data yang telah dikumpulkan,

maka diperlukan adanya teknik pengolahan yang dapat digunakan,

diantaranya:

a. Editing, yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh

para pengumpul data yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan atau

kekurangan yang ada di dalam daftar pertanyaan yang sudah

19 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam

(29)

21

diselesaikan sampai sejauh mungkin.20 Data yang perlu diedit adalah

data yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian diedit dan

dijadikan sebuah kalimat yang berbentuk narasi.

b. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.21 Data yang

perlu disusun secara sistematis adalah data hasil wawancara yang telah

diedit kemudian diklasifikasikan menurut masing-masing kategori

untuk mendapatkan sebuah hasil susunan penelitian yang sistematis.

c. Analyzing, yaitu suatu proses dalam menjawab masalah yang diteliti dengan cara menganalisis data yang diperoleh untuk memperoleh

sebuah kesimpulan. Data yang perlu dianalisis adalah data yang telah

tersusun secara sistematis menurut kategori masing-masing kemudian

dianalisis dengan menggunakan ketentuan hukum Islam untuk

menghasilkan sebuah kesimpulan akhir.

9. Teknik analisis data

Teknik analisis data merupakan cara pengumpulan data dengan

menggunakan teknik observasi, wawancara dan lainnya untuk

meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan

menyajikannya sebagai tujuan bagi orang lain.

Penelitian yang dilakukan ini adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu

salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Jadi, peneliti

20 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian..., 153.

(30)

22

harus mengumpulkan data-data yang ada di lapangan berkaitan dengan

jual beli sistem pembayaran berjangka kemudian mengolahnya menjadi

sebuah susunan deskriptif.

Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, penulis

menggunakan metode pendekatan analisis deskriptif, yaitu metode

penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti

sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara

sistematis, fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Jadi,

data-data mengenai jual beli sapi dengan sistem pembayaran berjangka

yang telah tersusun secara sistematis kemudian dianalisis menggunakan

ketentuan hukum Islam untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Sedangkan

pola pikir yang digunakan dalam proses analisis ini adalah pola pikir

deduktif, yaitu cara berpikir yang ditangkap atau diambil dari pernyataan

yang bersifat umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Yang

mana dalam hal ini peneliti menganalisis data tentang praktik jual beli

secara umum kemudian ditarik kesimpulan menggunakan ketentuan

hukum Islam untuk mendapatkan data khusus mengenai jual beli dengan

sistem pembayaran berjangka.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memahami isi dari keseluruhan skripsi ini maka penulis membagi

sistematika pembahasan ini menjadi beberapa bab yang saling berkaitan,

(31)

23

Bab pertama, yaitu bab pendahuluan, yang mana merupakan langkah awal

dari sebuah skripsi yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah

dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian teori, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, yaitu bab tinjauan umum jual beli dalam Islam, yakni

merupakan teori yang digunakan sebagai bahan analisis permasalahan yang

telah diteliti. Adapun tinjauan umum mengenai teori jual beli penulis

gambarkan sebagai berikut: pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun

jual beli, syarat dalam jual beli, penambahan harga berdasarkan waktu proses

transaksi, jual beli dengan harga cicilan, persyaratan-persyaratan untuk

keabsahan akad jual beli kredit, jual beli dengan uang muka, manfaat jual beli,

kesaksian dalam akad jual beli, etika jual beli, khiyar dalam jual beli, dan

bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.

Bab ketiga, yakni praktik jual beli sapi dengan sistem pembayaran

berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.

Bab ini merupakan sebuah deskripsi gambaran umum dari keadaan tempat

penelitian dan praktik jual beli sapi yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Takerharjo Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.

Bab keempat, yaitu analisis hukum Islam terhadap praktik jual beli sapi

dengan sistem pembayaran berjangka di Desa Takerharjo Kecamatan Solokuro

Kabupaten Lamongan. Bab ini merupakan gambaran dari bab II dan bab III,

(32)

24

mendapatkan sebuah hasil analisis dalam penentuan hukum praktik jual beli

dengan sistem pembayaran berjangka.

Bab kelima, adalah bab penutup yang merupakan bab terakhir berisikan

kesimpulan atas jawaban ringkas dari rumusan masalah, selain itu pada bab ini

(33)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli (Bay)

Menurut etimologi, jual beli diartikan:

ِئْيشلِِ

ِئْيشلا

ُةَلَ باَقُم

Artinya: Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).

Kata lain dari al-bay’ adalah al-shira>’ (beli), al-muba>dalah (pertukaran) dan al-tija>rah (perdagangan).1 Berkenaan dengan kata al-tija>rah, dalam

Alquran surah Fa>t}ir ayat 29 dinyatakan:

َنْوُجْرَ ي

اَِِ

ةَر

ْنَل

َرْوُ بَ ت

ُ

رطاف

:

٩٩

َ

Artinya: Mereka mengharapkan ija>rah (perdagangan) yang tidak akan rugi. (QS. Fa>t}ir: 29).2

Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat

dalam mendefinisikannya, antara lain:3

1. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli (al-bay’) secara definitif yaitu

tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diingingkan dengan sesuatu yang

sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

2. Menurut ulama mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, jual

beli (al-bay’) adalah tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk

pemindahan milik dan kepemilikan.

1 Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 73.

2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: t.p., 2002), 621.

(34)

26

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa jual beli merupakan

kegiatan tukar-menukar barang atau benda dengan sesuatu yang sepadan

sebagai bentuk pemindahan milik atau kepemilikan, yang mana pihak satu

menerima barang atau bendanya dan pihak lain menerima sesuatu yang

sepadan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan dibenarkan

syarak.

Maksud dari sesuai dengan ketentuan syarak ialah telah memenuhi

rukun dan syarat-syarat serta hal-hal lain yang berkaitan dengan jual beli.

Sehingga, apabila jual beli tidak memenuhi rukun dan syarat-syaratnya maka

jual beli dapat diartikan tidak sesuai dengan ketentuan syarak.

Untuk benda-benda yang dimaksud di atas adalah mencakup pengertian

barang dan uang. Menurut Fukaha mazhab Hanafi, benda tersebut

merupakan benda yang berwujud, boleh diambil dan disimpan serta memiliki

nilai kebendaan dikalangan manusia, yakni benda-benda yang berharga dan

dapat dibenarkan penggunaannya menurut syarak. Benda itu adakalanya

bergerak atau tidak tetap (ma>l manqu>l) dan adakalanya tidak bergerak atau

tetap (ma>l ‘uqar), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya yang tidak dapat

dibagi-bagi, ada harta yang memiliki padanan atau persamaan tanpa

mempertimbangkan adanya perbedaan satuan jenisnya (mithli) dan tidak

memiliki persamaan atau padanan atau harta yang berpadanan tetapi

perbedaan kualitas sangat diperhitungkan (qi>mi>) dan yang lain-lainnya.4

Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syarak.

(35)

27

Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram

diperjualbelikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika

dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.

Jual beli menurut ulama mazhab Maliki ada dua macam, yaitu jual beli

yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus:

1. Jual beli dalam artian umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu

yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang

mengikat dua belah pihak, sedangkan tukar-menukar yaitu salah satu

pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh

pihak lain. Sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang

ditukarkan adalah zat (berbentuk), berfungsi sebagai objek penjualan. Jadi

bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.5

2. Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang

bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya

tarik, penukarannya bukan emas dan juga bukan perak, bendanya dapat

direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang

baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang

sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.6

Dalam hal ini, jual beli yang akan dibahas pada penelitian ini adalah jual

beli dengan sistem pembayaran berjangka. Jual beli dengan sistem

pembayaran berjangka hampir sama dengan jual beli kredit. Hanya saja jual

beli kredit pembayarannya dicicil, sedangkan pembayaran berjangka

5Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (

Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 69.

(36)

28

pembayarannya ditangguhkan pada jangka waktu tertentu. Akad jual beli

kredit dalam ilmu fikih disebut dengan istilah at-taqsi>t} atau secara bahasa}

berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian. Dan diantara

sistem jual beli yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu

cara menjual barang dengan pembayaran tidak tunai (pembayaran

ditangguhkan atau diangsur). Meskipun sistem ini adalah sistem klasik,

namun terbukti hingga saat ini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk

menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan

berbagai modifikasi.7 Dan dari definisi jual beli kredit, dapat tarik

kesimpulan bahwa persamaan antara sistem pembayaran kredit dengan

sistem pembayaran berjangka adalah pembayaran antara keduanya

sama-sama ditangguhkan diakhir.

B. Dasar Hukum Jual Beli

Berdasarkan dalil-dalil Alquran, sunnah dan ijmak, hukum jual beli

adalah boleh.8 Adapun dalil Alquran yang menjadi dasar hukum

diperbolehkannya jual beli adalah:

1. Surah Albaqarah ayat 25, yang berbunyi:

َ أ

لَح

َُا

َعْيَ بْلا

َمرَحَو

َبِّرلا

ُ . . .

ةرقبلا

:

٩٧٢

َ

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Albaqarah: 275).9

7 Agus Pranowo, Tinjauan Syariat terhadap Jual Beli Kredit, https://muslim. or.id/20961-tinjauan-syariat-terhadap-jual-beli-kredit.html?,_e_pi=7%2CPAGE_ID10%2C7696127398, diakses pada 19 Mei 2017.

8 Wahbah al-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa Adilatuhu>, (Abdul Hayyie al-Kattani, et.al.), Jilid 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2007), 26.

(37)

29

2. Surah Albaqarah ayat 282, yang berbunyi:

ْمُتْعَ ياَبَ ت اَذِإ آْوُدِهْشَأَو

...

ُ

:ةرقبلا

٩٨٩

َ

Artinya: Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli. (Albaqarah: 282).10

3. Surah Annisa’ ayat 29, yang berbunyi:

ِّإ

ْنَأ

ْوُكَت

َن

اَِِ

ةَر

ْنَع

ٍضاَرَ ت

ْمُكِّْم

ُ . . .

ءاسّلا

:

٩٩

َ

Artinya: Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. (Annisa’:29).11

Selain dasar hukum jual beli berdasarkan dalil-dalil Alquran, terdapat

pula dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah saw., diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Hadis dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:

اََِإ

ُعْيَ بْلا

ْنَع

ٍضاَرَ ت

ُ .

يقهيبلا اور

َ

Artinya: Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka.12

2. Hadis yang diriwayatkan al-Tirmidhi>, Rasulullah saw. bersabda:

ُرِجاتلا

ُقْوُدصلا

ُْيِمَْْا

َعَم

َْيِّيِب لا

َْيِقْيِّدِّصلاَو

اَدَهشلاَو

ِء

ُ .

يذمرلا اور

َ

Artinya: Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang rela mati berjuang di jalan Allah.13

Adapun menurut ijmak, mereka menyatakan bahwa umat Islam sepakat

jual beli hukumya boleh. Pada dasarnya, manusia bergantung pada barang

10 Ibid., 59. 11 Ibid., 108.

12 Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Hadis Nomor 1-2389, Kitab al-tija>rah, Da>r al-Fikr, 287.

(38)

30

yang dijual oleh seseorang dan tentu penjual tersebut juga tidak akan

memberikannya tanpa ada imbalan. Oleh karena itu, dengan

diperbolehkannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan

setiap orang dan membayar atas kebutuhannya itu.

Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan

bahwa:

Semua jenis jual beli hukumnya boleh kalau dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing mempunyai kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang atau diharamkan dengan izinnya maka termasuk dalam kategori yang dilarang, selain itu jual beli hukumnya boleh selama berada pada bentuk yang ditetapkan Allah.14

C. Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terdapat

perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab

dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan

ucapan maupun perbuatan.

Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada

empat, yaitu:

1. Ada orang yang berakad atau al-muta>aqidayn (penjual dan pembeli).

Adapun syarat penjual dan pembeli adalah:

a. Berakal dan balig (orang gila atau anak kecil yang belum berakal tidak

sah jual belinya).

(39)

31

b. Dengan kehendaknya sendiri (bukan paksaan), yakni atas dasar suka

sama suka.

c. Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang

mubazir itu ditangan walinya.15

2. Ada s}i>ghat (lafal ijab dan kabul). Adapun syarat s}i>ghat (lafal ijab dan

kabul) adalah:

a. Menurut jumhur ulama, orang yang mengucapkannya telah balig dan

berakal atau menurut mazhab Hanafi telah berakal.

b. Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual

buku ini seharga Rp. 20.000,00” lalu pembeli menjawab: “Saya beli

buku ini dengan harga Rp.20.000,00”. Apabila antara ijab dan qabul

tidak sesuai maka jual beli tidak sah.16

c. Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah

pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang

sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum

mengucapkan qabul atau pembeli mengerjakan aktifitas lain yang tidak

terkait dengan masalah jual beli kemudian ia ucapkan kabul, maka

menurut kesepakatan ulama fikih jual beli ini tidak sah sekalipun

mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan

qabul. Dalam kaitan ini, ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki

mengatakan bahwa antara ijab dan qabul boleh saja diantarai waktu,

15 Abdul Rahman Ghazaly, et al., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 75-76.

(40)

32

yang diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat untuk berpikir.

Namun, ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpendapat

bahwa jarak antara ijab dan qabul tidak terlalu lama yang dapat

menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan telah berubah.

Di zaman modern, perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan,

tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang

oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh

penjual tanpa ucapan apapun. Misalnya jual beli yang berlangsung di

swalayan. Dalam fikih Islam, jual beli ini disebut dengan bay’

al-mu’a>t}ah.17

3. Ada barang yang dibeli. Adapun syarat barang yang boleh

diperjualbelikan adalah:

a. Suci

b. Bermanfaat

c. Milik penjual (dikuasainya)

d. Bisa diserahkan

e. Diketahui keadaannya.18

4. Ada nilai tukar pengganti barang. Adapun syarat nilai tukar pengganti

barang adalah sesuatu yang memenuhi tiga syarat, yaitu

a. Bisa menyimpan nilai (store of value)

b. Bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account)

17 Ibid., 74.

(41)

33

c. Bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).19

Menurut ulama mazhab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli,

dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat jual beli, bukan rukun jual

beli.20

D. Syarat dalam Jual Beli

Syarat dalam jual beli ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Syarat yang sah dan dibolehkan

Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan

kepentingan transaksi. Syarat-syarat tersebut ada tiga macam, yaitu:

a. Syarat-syarat yang tidak harus ada dalam sebuah transaksi, seperti

serah terima barang dan pelunasan pembayaran.

b. Syarat-syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan akad seperti,

penangguhan pembayaran atau kriteria tambahan mengenai barang

yang diperjualbelikan, misalnya binatang ternak yang masih menyusui

atau binatang yang masih menyusui tersebut harus hasil buruan. Jika

syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka jual beli bisa dilaksanakan.

Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka si pembeli berhak

membatalkan akad dengan alasan tidak memenuhi syarat. Rasulullah

bersabda bahwa “transaksi jual beli antar sesama orang Islam

dilakukan syarat-syarat yang mereka sepakati”. Pihak pembeli juga

19 Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol.3, No. 2, (Desember, 2015), 251.

(42)

34

memiliki hak untuk mengurangi harga barang, juga sebagian disepakati

tidak terpenuhi.21

c. Syarat-syarat yang diketahui manfaatnya oleh kedua belah pihak.

Contoh, transaksi rumah dengan syarat pihak penjual boleh

menempatinya selama satu atau dua bulan. Contoh lain, jual beli

binatang ternak dengan syarat harus membawanya ke tempat tertentu.

Dalilnya adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Jabir

menjual seekor unta kepada Nabi dan disyaratkan unta membawanya

ke Madinah. Boleh juga kepada penjual agar mendapat manfaat

tertentu seperti disyaratkan membawa barang yang dijual tersebut ke

tempat tertentu dan lain sebagainya.

Muhamad bin Maslamah pernah membeli seikat kayu dari

seseorang dengan syarat kayu itu dibawa ke tempat tertentu. Kabar

tersebut diketahui khalayak luas, namun tidak ada yang menentangnya.

Pendapat tersebut diyakini oleh Ahmad , al-Auza’i Abu> Thur, Isha>q,

dan Ibnu Mundzir. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanafi tidak

membenarkan jual beli seperti diatas, karena Nabi saw telah melarang

jual beli denagn bersyarat. Akan tetapi alasan pelarangan tersebut

tanpa alasan yang kuat. Rasulullah hanya melarang penggabungan dua

syarat yang saling bertentangan dalam satu transaksi.22

2. Syarat yang membatalkan akadnya

(43)

35

Syarat-syarat yang membatalkan akad. Dalam hal ini ada beberapa

kategori:

a. Syarat yang membatalkan akad sejak awal. Contoh, salah satu pihak

yang melakukan akad mensyaratkan akad lain. Misalnya, penjual

berkata, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu menjual kepadaku

barang ini atau kau pinjamkan kepadaku barang ini”. Dalilnya

menjelaskan bahwa tidak boleh menggabungkan akad jual beli dan

akad pinjam meminjam, dan tidak boleh pula menggabungkan dua

syarat dalam satu transaksi.

Imam Ahmad berkata, “Begitu juga halnya yang memiliki makna

sama seperti perkataan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kau kawini

anak wanitaku”. Semua itu tidak sah menurut Imam Abu Hanifa, Imam

Syafi’i dan mayoritas ahli fikih. Sedangkan Imam Malik membolehkan

dan menganggap iwad} (pengganti) pada syarat tersebut yang rusak.

Malik menyatakan, “Saya tidak mengesampingkan lafal kalimat yang

dianggap fasid (rusak) apabila jual beli tersebut sudah jelas dan halal

hukumnya.23

b. Syaratnya batal, jual belinya tetap sah. Seperti pihak pejual

mensyaratkan kepada pihak pembeli agar tidak membenarkan menjual

barang yang ia beli atau tidak boleh menghibahkannya lagi. Dalilnya,

“Semua syarat yang bukan berasal dari Kitabullah adalah batil

sekalipun itu memuat seratus syarat.”

(44)

36

Demikian pendapat yang dikemukakan Ahmad, Hasan, Sya’bi,

Nakha’i, Ibnu Abi Laila dan Abu Thur. Sedangkan Abu Hanifah dan

Syafi’i menyatakannya sebagai transaksi jual beli yang fasid (rusak).24

c. Sesuatu yang tidak dikongkritkan pada saat akad seperti perkataan

penjual, “Aku jual kepadamu jika si fulan rela atau jika kau

mendatangiku dengan membawa sekian. Demikian juga akad jual beli

yang bersyarat di masa mendatang.25

E. Penambahan Harga Berdasarkan Waktu Proses Transaksi

Akad jual beli boleh dilakukan berdasarkan harga sekarang dan harga

mendatang atau sebagian dengan harga sekarang dan sebagian lain dengan

harga mendatang apabila telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Jika pembayaran akad jual beli ditangguhkan dan ada penambahan harga dari

pihak penjual karena penagguhannya, maka jual beli tersebut dibolehkan

karena penangguhan adalah bagian dari harga. Hal tersebut menurut mazhab

Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Muayyad Billah dan mayoritas ahli fikih dengan

alasan umumnya kaidah halal jual beli dan pendapat tersebut dikuatkan oleh

asy-Syaukani.26

24 Ibid.

(45)

37

F. Jual Beli dengan Harga Cicilan

Para ulama dan kalangan jumhur membolehkan jual beli barang yang

diserahkan sekarang dengan harga cicilan yang melebihi harga tunai apabila

transaksi semacam ini berdiri sendiri dan tidak dimasuki unsur ketidakjelasan

seperti misalnya melakukan dua transaksi dalam satu transakasi agar tidak

terjebak pada tipe dua jual beli dalam satu jual beli yang dilarang. Ibnu

Qudamah dalam kitab al-Mughni mengatakan bahwa sebenarnya jual beli

dengan harga tidak tunai bukanlah sesuatu yang diharamkan, juga tidak

makruh berdasarkan kesepakatan ulama. Maka apabila kedua pihak pembeli

dan penjual sepakat atas jual beli alat atau barang lain dengan harga 1100

(seribu seratus) secara tidak tunai, sementara harga tunai hanya 1000

(seribu), maka jual beli dianggap sah meskipun dalam proses tawar-menawar

sempat penjual menyebutkan dua harga yaitu harga tunai dan harga tidak

tunai, karena yang penting adalah akhir transkasi harus secara tidak tunai.27

Tetapi, apabila dalam satu transaksi penjual sejak awal mengatakan kepada

pihak pembeli “Saya menjual kepadamu barang ini dengan harga 1000 secara

tunai dan dengan harga 1100 secara tidak tunai.”, lalu pembeli menerima

tanpa menentukan maksudnya atau tanpa memutuskan tipe transaksi yang

mana dia inginkan, maka jual beli seperti ini batal menurut jumhur, fasid

menurut ulama mazhab Hanafi karena terjadinya ketidakjelasan dan sebagian

dari ulama mazhab Zaydi> mengatakan bahwa tidak sah jual beli dengan harga

(46)

38

yang melebihi harga hari dimana transaksi dilangsungkan karena alasan harga

tidak tunai.

Pada hakikatnya jual beli dengan harga tidak tunai (cicilan) berbeda

substansinya dari riba, meskipun antara keduanya terjadi kesamaan dari sisi

bahwa harga tidak tunai berbeda dari harga tunai karena faktor keterlambatan

membayar. Sisi perbedaannya adalah bahwa Allah menghalalkan jual beli

karena faktor kebutuhan dan mengharamkan riba karena tambahan hanya

betul-betul karena faktor keterlambatan pembayaran. Disamping itu dalam

hal riba, tambahan yang diberikan oleh salah seorang pihak transaksi adalah

sama jenisnya dengan sesuatu yang ia ambil dan tambahan karena faktor

pembayaran diserahkan kemudian. Seperti misalnya menjual satu s}a’ gandum

sekarang dengan harga dua s}a’ gandum yang akan dibayar beberapa waktu

kemudian atau memberi kredit seribu dirham sekarang dan akan dibayar

seribu seratus dirham beberapa waktu kemudian.28

Adapun jual beli dengan harga yang tidak tunai, maka barang jualan

berupa barang yang bernilai 1000 saat transaksi dilakukan dan akan bernilai

1100 pada beberapa bulan kemudian misalnya. Hal ini tidak termasuk riba,

tetapi salah satu bentuk toleransi dalam hal jual beli, karena dalam jual beli

ini pembeli mengambil barang, bukan uang tunai dan dia tidak memberi

tambahan dari jenis yang ia terima dari penjual. Dan sudah menjadi

pegetahuan umum bahwa sesuatu harga yang ada sekarang lebih baik dan

berharga dari apa yang akan diterima pada waktu-waktu mendatang. Apalagi

(47)

39

pihak penjual akan berkorban ketika menghadirkan barang kepada orang yang

akan membelinya dengan harga yang tidak tunai karena harga barang akan

dibayar kemudian dan itu berarti penjual tidak akan memanfaatkannya ketika

ingin membeli barang-barang lain.29

G. Persyaratan-Persyaratan untuk Keabsahan Akad Jual Beli Kredit

Meskipun pada jual beli dengan harga kredit harga yang ditawarkan lebih

mahal dibandingkan dengan harga tunai, hal tersebut pada dasarnya

diperbolehkan, akan tetapi terdapat persyaratan yang harus dipenuhi untuk

keabsahannya dan apabila hal ini tidak terpenuhi maka hal tersebut menjadi

tidak sah bahkan bisa menjadi riba dan keuntungannya menjadi harta haram.

Adapun syarat tersebut adalah:30

1. Akad tersebut tidak dimaksudkan untuk melegalkan riba.

2. Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual beli kredit

dilangsungkan.

3. Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi

belum diterima dan belum berada ditangannya.

4. Barang yang dijual kredit, bukan berbentuk emas, perak atau mata uang,

karena hal ini termasuk riba bay’.

5. Barang yang dijual secara kredit harus diterima pembeli tunai pada saat

akad berlangsung.

29 Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa..., 139.

(48)

40

6. Pada saat transaksi harga harus disepakati satu dan jelas serta besarnya

angsuran dan jangka waktu juga harus jelas.

7. Akad jual beli kredit harus tegas. Maka akad tidak boleh dibuat dengan

cara beli sewa (leasing).

8. Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membayar denda atau harga

barang menjadi bertambah jika pembeli terlambat membayar.

H. Jual Beli dengan Uang Muka

Jual beli dengan uang muka atau panjar atau disebut dengan istilah

‘urbun adalah bahwa pihak pembeli membeli suatu barang dan membayar

sebagian total pembayarannya kepada penjual. jika jual beli dilaksanakan,

panjar dihitung sebagai bagian total pembayarannya dan jika tidak maka

panjar diambil penjual dengan dasar sebagai pemberian dari pihak pembeli.31

Misalnya, seseorang membeli sebuah barang lalu ia membayar satu dirham

saja atau sebagian kecil dari harga barang kepada penjual, dengan syarat jika

jual beli dilanjutkan maka satu dirham yang telah dibayarkan itu akan

terhitung sebagai bagian dari harga. Namun, apabila tidak terjadi jual beli,

maka satu dirham yang telah dibayar akan menjadi pemberian (hibah) bagi

penjual. Dalam jual beli ini, pembeli mempunyai hak khiyar (hak untuk

melanjutkan transaksi atau membatalkannya). Konsekuensinya, jika jual beli

berlanjut maka uang yang telah dibayarkan akan menjadi bagian dari harga

barang, tetapi jika jual beli dibatalkan maka ‘urbun yang ia bayarkan menjadi

(49)

41

hangus. Masa berlaku waktu khiya>r sendiri tidak terbatas. Adapun untuk

penjual, jual beli menjadi lazim (tidak punya hak khiya>r) baginya.32

Menurut hadis riwayat Ibnu Majah, mayoritas ahli fikih mengatakan

bahwa jual beli ‘urbun adalah jual beli yang dilarang dan tidak sah. Tetapi,

menurut Hanafi jual beli ‘urbun hukumnya hanya fasid. Sedangkan ulama

selain mazhab Hanafi mengatakan bahwa jual beli ini adalah jual beli yang

batal, berdasarkan larangan Nabi terhadap jual beli ‘urbun, disamping jual

beli ini mengandung unsur penipuan (gharar), spekulasi dan termasuk

memakan harta orang tanpa ada imbalan juga mengandung dua syarat yang

fasid; pertama, syarat hibah dan kedua, syarat akan mengembalikan barang

bila tidak suka dan pembeli mensyaratkan kepada penjual sesuatu tanpa ada

imbalan sehingga jua beli menjadi tidak sah.33

Berbeda dengan Imam Ahmad yang menganggap hadis riwayat Ibnu

Majah tersebut sangat lemah sehingga ia membolehkan jual beli dengan

panjar dengan dalil hadis yang diriwayatkan dari Nafi’ bin Abdul Harits,

bahwa ia membelikan umar sebuah rumah untuk dijadikan penjara dari

Shafwan bin Umayyah dengan harga empat ratus dirham. Jika Umar setuju

maka jual beli dilaksanakan dan jika tidak Shafwan mendapatkan empat ratus

dirham yang dijadikan sebagai uang panjarnya.

Sedangkan dewasa ini jual beli dengan memakai sistem uang muka telah

menjadi dasar komitmen dalam hubungan bisnis yang dijadikan sebagai

perjanjian memberi kompensasi bahaya bagi pihak lain karena resiko

(50)

42

menunggu dan tidak berjalannya usaha. Hal ini menurut Wahbah adalah sah

dan halal dilakukan berdasarkan ‘urf (tradisi yang berkembang) karena

hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kasus jual beli ini, baik yang pro maupun

yang kontra tidak ada satu pun hadis sahih.34

I. Manfaat dan Hikmah Jual Beli

Adapun manfaat jual beli adalah sebagai berikut:

1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.

2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.

3. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt., bahkan 90% sumber rezeki berputar dalam aktifitas perdagangan.35

4. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya

dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang

dan menerima barang dagangan dengan puas juga. Dengan demikian, jual

beli juga mampu mendorong untuk saling membantu antara keduanya

dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

5. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram (batil).

34 Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Isla>m wa..., 120.

(51)

43

6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Keuntungan dan laba dari

jua beli dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat

sehari-hari. Apabila kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi, maka diharapkan

ketenangan dan ketentraman jiwa dapat pula tercapai.36

J. Kesaksian dalam Akad Jual Beli

Allah memerintahkan adanya saksi dalam akad jual beli seperti dalam

firman-Nya:

ْمُتْعَ ياَبَ تاَذِإآْوُدِهْشَأَو

ىلص

َلَو

ٌدْيِهَش َلو ٌبِتاَك رآَضُي

ىلق

Artinya: Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. (Albaqarah: 282)37

Perintah dalam ayat tersebut hukumnya sunnah (dianjurkan) karena ada

kebaikan di dalamnya, dan bukan sebagai perintah wajib sebagaimana

pendapat sebagian ulama yang menyata

Gambar

Tabel 3.1.
Tabel 3.2.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli hasil tanah wakaf di Dusun Kalitunggak Desa Salamrojo Kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk” adalah merupakan

analisis, yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi yang diperoleh peneliti di lapangan mengenai praktik jual beli teralis pada bengkel Logam Jaya di Desa Ngadiluwih

Berdasarkan itulah yang melatarbelakangi penulis melakukan peneletian dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Perubahan Harga Jual Beli Sapi Secara Sepihak di

Dalam praktik jual beli produk pertanian bayar panen di Desa Barurejo Kecamatan Siliragung Kabupaten Banyuwangi sudah sesuai dengan tujuan hukum ekonomi Islam yaitu rasa

Praktik Jual Beli Daging Lutung Jawa yang Dijadikan Makanandalam Perspektif Hukum Islam.. Jika dianalisis dari segi rukun dan syarat jual beli, mulai

Hasil analisis berdasarkan tinjauan hukum Islam praktik jual beli tembakau dengan perubahan harga secara sepihak oleh pengepul yang dilakukan di Desa Lekor Kecamatan Janapria adalah

Akad jual beli cicil mubeng di Desa Munggung Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo belum sesuai dengan hukum Islam, karena dalam pelaksanaan jual beli barang yang dilakukan oleh cicil

iii ANALISIS HUKUM EKONOMI ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BERAS CAMPURAN DI PASAR SENTRAL KABUPATEN PINRANG Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana