EVALUASI PERATURAN PERBANKAN
YANG MENGHAMBAT PEMBIAYAAN USAHA KECIL DI JAWA TIMUR
Ketua: Dr. Jazim Hamidi, SH., MH., Anggota: Siti Hamidah, SM., MM, Dr. Sukarmi, SH.MH., Dr. Sihabuddin, SH., MH., Adi Kusumaningrum, SH.
Abstrak:
This research is aimed at analyzing the banking rules and other rules, which have the indication on blocking the funding of small trade, and give the
recommendation related to the matter. By normative juridical approach, this research is more focused on the investigation of literary study that is aimed at investigating the meaning, purpose and viewing the synchronization and appropriateness of principle on every rules managing informal sector from the analysis of law corporation: as the primary, secondary and tertiary corporation which related to informal sektor and infomal sector funding, and supported by the field data.
This research proves that the two kinds of rules have the potential/indication on blocking the funding and development of small trade. Some of them are as indicated on: Section 8 verse (1) the Constitution (UU) No. 10, 1998 on the change of Constitution (UU) No. 7, 1992 on banking is an ambiguous rule related to intangible and tangible guarantee within Small Trade Credit. The inconsistency of rules on the guarantee within the Constitution (UU) No. 9, 1995 on the Small Trade with Section 8 verse (2) Banking Constitution (UU) No. 10, 1998 on Banking related to Credit Guide in the form of Self Regulatory Banking, as well as some city/Regency Regional Rules particularly on retribution.
The recommendation found from this research is the needs of revision toward some rules that have the indication on blocking the small trade, that should be done by Bank Indonesia and the government. Bank Indonesia should revise PBI that related to the small trade, while the government should revise the Constitution (UU) No. 10, 1998 on the change of Constitution (UU) No. 7, 1992 on Banking, especially, which related to the carefulness principles and the Constitution No. 9, 1995 on the Small Trade to get the more comprehensive, responsive, and integrative rules toward the wish and needs of small trade. Beside that, the government needs to do reformation toward the taxation, illegal taxes and expense, so that it is created the more adequate trade climate that can reflect the proper business practice on racing the development of small trade.
Usaha Kecil (UK) sebagai
bagian integral ekonomi rakyat
mempunyai kedudukan, potensi, dan
peran yang strategis dalam
perekonomian nasional. UK merupakan
kegiatan usaha yang mampu
memperluas lapangan kerja dan
memberikan pelayanan ekonomi yang
luas pada masyarakat, dapat berperan
dalam proses pemerataan dan
peningkatan pendapatan masyarakat,
serta mendorong pertumbuhan ekonomi
dan berperan dalam mewujudkan
stabilitas ekonomi pada khususnya. Hal
ini terbukti ketika Indonesia mengalami
situasi krisis ekonomi di tahun 1997,
usaha kecil menjadi penyangga yang
mampu bertahan terhadap terpaan badai
krisis. Untuk itu usaha kecil perlu lebih
diberdayakan dalam memanfaatkan
peluang usaha dan menjawab tantangan
perkembangan ekonomi di masa yang
akan datang.
Salah satu kendala yang sering
dihadapi oleh UK adalah sulitnya
mengakses kredit dari lembaga
perbankan. Selain itu, Pemerintah
Daerah melalui dinas-dinas terkait yang
ada di daerah, baik dari aspek
permodalan, teknologi, manajemen
maupun pemasaran hasil, dirasakan
masih kurang membantu UK untuk
berkembang. Dengan kendala-kendala
tersebut UK masih belum dapat
mewujudkan kemampuan dan
peranannya secara optimal dalam
perekonomian nasional.
Dalam upaya meningkatkan
peran UK untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, diperlukan suatu
kajian mengenai kebijakan perbankan
yang menghambat pembiayaan usaha
kecil di Jawa Timur, sehingga diperoleh
gambaran mengenai kebijakan apa saja
yang menghambat pembiayaan usaha
kecil, dan rekomendasi yang dapat
diberikan guna perbaikan dalam
pembiayaan UK.
Penelitian tentang ”Evaluasi
Kebijakan Perbankan Yang
Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil
Di Jawa Timur” ini menggunakan
metode pendekatan “yuridis normatif”,
yaitu lebih memfokuskan pada kajian
data sekunder dengan menganalisis
bahan hukum, berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier yang
terkait dengan UK dan pembiayaan UK
dengan mengedepankan pada
pendekatan ekonomis, sosiologis dan
politis. Disamping itu untuk mendukung
data sekunder dilakukan penelitian
lapangan, dengan melakukan
wawancara dan pembagian kuesioner
kepada para responden yang sudah
terpilih (metode snawball purposive
sampling).
Survei berhasil menggali
informasi dari berbagai aspek kebijakan
yang terkait dengan UK. UK yang
menjadi objek penelitian ini adalah UK
yang berstatus badan hukum dan non
badan hukum. Pengelompokan skala
usaha ini didasarkan atas kebijakan
perbankan yang hanya memberikan
bantuan kredit kepada UK yang
3/2/PBI/2001). Pengelompokan ini
untuk memudahkan pengelompokannya
mengingat sebagian besar UK sudah
terdaftar di Kantor Pendaftaran
Perusahaan Departemen Perindustrian
dan Perdagangan, sehingga dapat
diketahui dengan mudah jumlahnya
secara pasti dan fokus kebutuhan
pembinaannya.
Peraturan perbankan dan
peraturan di luar peraturan perbankan
dapat mempengaruhi perkembangan
UK. Setelah dilakukan penelitian
maupun kajian secara normatif selain
membantu perkembangan UK, kedua
peraturan tersebut mempunyai
potensi/berindikasi menghambat
pembiayaan dan perkembangan UK.
Hal tersebut sebagaimana yang akan
diuraikan di bawah ini:
Tabel 1.1
Peraturan Perbankan yang Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil
No Nama, Nomor Tahun Peraturan
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. UU No. 10 Tahun 1998 Perbankan Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan Jaminan dan Agunan dalam Kredit Usaha Kecil
Pasal 8 ayat (1)
”dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 8 ayat (1) yang mewajibkan Bank Umum mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa keyakinan diperoleh dari analisis yang mendalam, dimana collateral (agunan) merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan. Dikaitkan dengan kebebasan bagi bank dalam rangka SRB, maka dalam praktek collateral bukan sekedar pertimbangan, tetapi lebih cenderung pada kewajiban. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang tidak tegas, bersifat ambigo. Khususnya apabila dibandingkan dengan UU 14 Tahun 1967 yang mewajibkan jaminan atas kredit.
2. Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: berkaitan dengan Pedoman Perkreditan dalam bentuk Self Regulatory Banking
“Bank Umum wajib memiliki Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
bank untuk menentukan sendiri model yang tepat. Hal ini akan memberikan kebebasan bagi Bank Umum untuk membuat aturan sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa melihat siapa yang akan menjadi sasarannya, karena tidak semua nasabah atau pengguna jasa perbankan sama kondisinya (UKM).
3. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta berdasar SK Direksi Bank
Indonesia No.
27/162/KEP/DIR/1995 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UPPB/1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum
Pasal 8 (2) UU Perbankan serta SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR/1995 dan SE BI No. 27/7/UPPB/1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum yang diuraikan lebih rinci pada bagian pedoman penyusunan perkreditan
maka membuka peluang praktek agunan dan menjadi sesuatu yang bernilai wajib, sehingga ketentuan pasal 8 ayat (1) berikut penjelasannya menjadi kurang bermakna
4. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil juncto Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
Pasal 1 ayat (2) : Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau Valuta Asing kepada
nasabah usaha kecil dengan
plafon kredit keseluruhan maksimum Rp. 500.000.000,00 untuk membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK.
Pemberian KUK hanya diberikan kepada Usaha Kecil yang menjadi nasabah bank dan dipersyaratkan harus berbadan hukum, dan tidak sebutkan secara tegas dalam bunyi pasalnya apakah nasabah debitur ataukah nasabah kreditur, sehingga dapat menimbulkan multi tafsir dan membuka peluang yang memberatkan debitur, khususnya jika dilihat dalam penjelasan pasal tersebut hanya tertulis “cukup jelas”. Demikian juga ketentuan berbadan hukum hal ini sangat menyulitkan bagi usaha kecil yang tidak berbadan hukum
5. PBI No. 7/2/PBI/2005 jo PBI No. 8/2/PBI/2006
Ketentuan mengenai konsep
one obligor untuk penetapan
kualitas aktiva produktif menjadi konsep/pendekatan
uniform classification.
Dipandang kurang mendukung penyaluran kredit UMKM, khususnya ketentuan mengenai one obligor untuk penetapan kualitas aktiva produktif, kewajiban penyampaian laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dan ketentuan mengenai tatacara penempatan dana oleh bank umum.
Untuk bank syariah, beberapa bank secara khusus menyebutkan ketentuan yang kurang mendukung penyaluran kredit UMKM adalah kolektibilitas pembiayaan sistem syariah.
Pertama: Dari sisi peraturan
perbankan yang berpotensi menghambat
pembiayaan UK ditemukan data baik
berdasarkan analisis normatif maupun
didukung dengan hasil wawancara
terlihat bahwa pasal 8 ayat (1) UU
Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
berkaitan dengan Jaminan dan Agunan
dalam Kredit Usaha Kecil. Adapun
kaitan pasal ini dengan potensinya
dalam menghambat pembiayaan UK
pada dasarnya terletak pada akibat
hukum ketidaktegasan pengertian
jaminan dan agunan dibandingkan
dengan UU Perbankan sebelumnya. UU
N0. 7 Tahun 1992 dan perubahannya
yaitu UU No. 10 Tahun 1998 menjadi
lebih tidak tegas dalam mengambil
sikap terkait dengan kedudukan
jaminan.
Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
menyatakan “bank umum tidak
memberikan kredit tanpa jaminan
kepada siapapun juga” telah dihapus
dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1992.
Walaupun pasal ini bersifat collateral
oriented tetapi secara prinsip selaras
dengan KUHPerdata, khususnya pasal
1131 dimana walau bank tidak meminta
jaminan, sebenarnya telah ada berlaku
jaminan atas pinjaman kredit yang
diberikan, yaitu berupa jaminan umum.
Dengan dihapuskannya pasal 24
dan digantikannya pengertian jaminan
sebagaimana dalam pasal 8 UU No. 7
Tahun 1992 yang berbunyi,” “dalam
memberikan kredit bank umum wajib
mempunyai keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan” dan selanjutnya diubah
lagi dalam pasal 8 (1) UU 10 Tahun
1998 yang berbunyi: ”dalam
memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, bank
umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam
atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan”, maka
sesungguhnya UU perbankan ini
membatasi pengertian jaminan itu
sendiri, yang justru bertentangan
dengan KUHPerdata.
1995 tentang Usaha Kecil telah
memberikan pedoman dan rujukan
mengenai masalah penjaminan yaitu
pasal 1 angka 7, yang berbunyi
”penjaminan adalah pemberian jaminan
pinjaman Usaha Kecil oleh lembaga
penjamin sebagai dukungan untuk
memperbesar kesempatan memperoleh
pembiayaan dalam rangka memperkuat
kesempatan memperoleh pembiayaan
dalam rangka memperkuat
permodalan”. Dengan ketentuan ini
diharapkan akan mengurangi kendala
yang dihadapi UK untuk menyediakan
jaminan dalam mengakses kredit
perbankan.
Pada pasal 23 UU No. 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil disebutkan
bahwa UK dapat dijamin oleh lembaga
penjamin yang dimiliki pemerintah
dan/atau swasta. Lembaga penjamin
tersebut menjamin pembiayaan UK
dalam bentuk :
a. Penjaminan pembiayaan kredit
perbankan;
b. Penjaminan pembiayaan atas
bagi hasil;
c. Penjaminan pembiayaan
lainnya, seperti jaminan orang
perseorangan, jaminan
perusahaan (avalis).
Kemudahan di atas
ditindaklanjuti dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah No. 95 Tahun
2000 tanggal 7 November 2000 dan
keberadaan Perusahaan Umum Sarana
Pengembangan Usaha (Perum Sarana),
sehingga lembaga penjaminan ini
diharapkan dapat mengatasi satu
masalah UK Indonesia. Sayangnya
penggunaan lembaga penjaminan ini
tidak berjalan dengan optimal bagi
kalangan perbankan dalam mengatasi
masalah jaminan bagi kredit usaha
kecil. Hal ini terlihat dari data yang
menunjukkan jumlah kredit yang
dijamin oleh Sarana Pengembangan
Usaha sebagaimana diagram berikut:
Diagram 1.
Jumlah Kredit yang Dijamin Perusahaan Umum Sarana
Pengembangan Usaha Tahun 2001-2005
Sumber: Gunawan, 2006.
Jumlah Kredit yang Dijamin Oleh Perum SPU
0.587 1.34
2.83 5.77
4.19
0 1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
J
u
m
la
h
(
D
a
la
m
T
a
h
u
n
Dari data di atas, pada tahun
2001, volume kredit yang dijamin
Perum Sarana baru mencapai Rp 587
miliar, selanjutnya meningkat menjadi
Rp 1,34 triliun pada tahun 2002. Pada
tahun 2003 angka penjaminan kredit
meningkat menjadi Rp 2,83 triliun,
kemudian meningkat pada tahun 2004
menjadi Rp 5,77 triliun. Sementara pada
semester I tahun 2005, volume kredit
yang dijamin oleh Perum Sarana telah
mencapai Rp 4,19 triliun. Outstanding
penjaminan kredit sampai dengan Juni
2005 sebesar Rp 11,93 triliun yang
disalurkan ke sektor agrobisnis Rp. 1,08
triliun, sektor industri dan
pertambangan Rp 47,12 miliar serta
sektor jasa dan perdagangan Rp 10,8
triliun. Angka Rp 4,19 triliun (semester
I Tahun 2005) merupakan pencapaian
72,13% dari target volume penjaminan
kredit dalam rencana anggaran tahun
2005 yang dibebankan oleh kementrian
BUMN sebesar Rp 5,8 triliun
(Gunawan, 2006). Apabila
dibandingkan dengan kredit untuk
UKM pada pertengahan tahun 2005
yaitu dari Rp. 36,38 triliun, maka
pemanfaatan Perum Sarana adalah
sekitar 8,68% dari seluruh kredit UKM
pada pertengahan tahun 2006.
Dari hal di atas terlihat belum
adanya sinkronisasi dan koordinasi
serta semangat yang sama antara
keinginan UU NO. 9 tahun 1995
tentang Usaha Kecil mengenai masalah
penjaminan dengan UU NO. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang Perbankan lebih menekankan
adanya jaminan berupa keharusan
(Pasal 8 (2) tentunya lebih pada jaminan
fisik sementara UU No. 9 Tahun 1995
lebih menekankan pada kelembagaan
jaminan, yang tidak hanya menekankan
pada jaminan fisik saja namun ada
bentuk jaminan lainnya.
Kalangan perbankan lebih
menyukai menggunakan kebebasan
yang diberikan pada ketentuan pasal 8
ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan, yang mewajibkan
bank umum memiliki dan menerapkan
pedoman perkreditan sendiri. Hal ini
selalu terkait dengan prinsip
kehati-hatian yang dipegang teguh oleh
kalangan perbankan. Dengan demikian
tidak salah jika sebagian besar dari hasil
penelitian yang terdahulu maupun hasil
penelitian ini memperoleh jawaban
bahwa sebagian besar usaha kecil
tersebut kurang dapat mengakses dana
dari perbankan, karena bunganya terlalu
fisik, serta prosedurnya sangat rumit.
Kedua: Pasal 8 ayat (2) UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan: berkaitan dengan
Pedoman Perkreditan dalam bentuk Self
Regulatory Banking (SRB). Implementasi SRB dilakukan dengan
mengatur sendiri ketentuan beserta
prosedur intern perkreditan yang
didasarkan atas prinsip kehati-hatian.
Dalam pedoman tersebut juga harus
ditetapkan bahwa penilaian kualitas
kredit harus didasarkan pada suatu tata
cara yang bertujuan untuk memastikan
bahwa hasil penilaian kolektibilitas
kredit yang dilakukan oleh bank telah
sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Apabila dikaitkan dengan
ketentuan PBI Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum Jo. PBI Nomor 8/2/PBI/2006
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
terdapat beberapa ketentuan yang
berindikasi menghambat pembiayaan
bagi UK. Pasal 44 ayat 2 menyebutkan
tentang cadangan khusus, yang mana
dalam Pasal 45 ayat (3) huruf d
dinyatakan bila kredit menjadi macet
maka bank harus membentuk cadangan
khusus sebesar 100% dari aktiva dengan
kualitas macet setelah dikurangi nilai
agunan. Hal tersebut secara tidak
langsung akan mendorong bank-bank
untuk mewajibkan agunan dalam
pemberian kredit.
Ketentuan mengenai konsep one
obligor juga menjadi salah satu ketentuan yang menghambat bagi UK
karena pada saat pelaku UK
mengajukan permohonan kredit pada
salah satu bank, maka akan terhambat
apabila yang bersangkutan telah
menerima pembiayaan dari lembaga
keuangan lain. Hal tersebut didukung
dari data lapangan yang menunjukkan
beberapa pelaku UK yang memenuhi
persyaratan perbankan tidak bisa
memperoleh kredit disebabkan sedang
mempunyai angsuran pada lembaga
keuangan lain. Dalam hal ini terlihat
bahwa kebijakan Sistem Informasi
Debitur (SID) ternyata berpotensi pula
menghambat pembiayaan bagi usaha
kecil. Dengan demikian apabila hal
tersebut diatas tetap diterapkan dalam
penyaluran kredit kepada UK, dapat
dipastikan akan sulit untuk dipenuhi,
sehingga perlu dilakukan
penyederhanaan persyaratan bagi UK.
Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4
Januari 2001 tentang Pemberian Kredit
Usaha Kecil juncto Surat Edaran Bank
Indonesia No. 3/9/BKr tanggal 17 Mei
2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Kredit Usaha Kecil. Dalam
peraturan ini, walau beberapa
kemudahan yang diberikan kepada
pelaku UK namun beberapa ketentuan
dalam peraturan ini juga berpotensi
untuk menghambat pembiayaan UK,
a.l: Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa
kredit UK yang diberikan adalah kredit
atau pembiayaan dari bank untuk
investasi dan atau modal kerja, yang
diberikan dalam rupiah dan atau valuta
asing kepada nasabah UK dengan
plafon kredit keseluruhan maksimum
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) untuk membiayai usaha yang
produktif, selanjutnya disebut KUK.
Ayat (2) ini menyatakan bahwa UK
adalah usaha yang memenuhi kreteria
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 9
Tahun 1995 tentang UK. Dari dua ayat
tersebut diatas, kredit UK dari Bank
hanya diberikan kepada UK yang
memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada UU Nomor 9 tahun
1995 tentang Usaha Kecil. Idealnya dari
ketentuan pasal pada PBI tersebut
disebutkan kriteria nasabah, karena
dalam pengertian perbankan nasabah
bisa bermakna nasabah debitur, kreditur
atau walking customer. Dengan tidak
disebutkannya kriteria nasabah secara
jelas, tentu saja hal tersebut akan dapat
menimbulkan multi tafsir khususnya di
lapangan. Salah satu contohnya adalah
ketika terdapat bank yang mewajibkan
UK menjadi nasabah kreditur terlebih
dahulu sebelum mengajukan kredit,
yang mana besar tabungan didasarkan
pada jumlah kredit yang akan diperoleh.
Sementara itu apabila dilihat dalam
penjelasan PBI tersebut hanya tertulis
“cukup jelas”. Dengan peraturan
tersebut bank dapat mempersepsikan
bahwa perseorangan yang informal
tidak berbadan hukum dan bukan
nasabah kreditur, tidak dapat diberikan
KUK. Terlebih apabila dibebani lagi
dengan persyaratan kepemilikan aset
sampai puluhan juta, dan terkait dengan
jaminan kredit.
Selain Peraturan Perbankan ada
peraturan lain di luar peraturan
perbankan yang mempunyai potensi
untuk menghambat perkembangan UK,
antara lain beberapa peraturan daerah
sebagaimana dijelaskan tabel-tabel
Tabel 4.2
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Blitar
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 5 Tahun 2004 tentang Retribusi Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar serta Pembubaran dan Pencabutan Badan Hukum Koperasi
Pasal 12 huruf a dan huruf b. a. Surat bukti penyetoran
modal awal pada Bank sekurang-kurangnya sebesar Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) bagi Unit Simpan Pinjam (USP);
b. Surat bukti penyetoran modal awal pada Bank sekurang-kurangnya sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi Koperasi Simpan Pinjam;
Persyaratan biaya penyetoran modal awal kepada Bank untuk pembentukan Unit Simpan Pinjam (USP) dan Koperasi Simpan Pinjam pinjam (KSP) terlalu tinggi sehingga
menghalangi/mengurangi akses masyarakat kecil dan menengah untuk membentuk USP maupun KSP.
2 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 11 Tahun 2004, tentang Retribusi Izin Usaha Industri (IUI)
Pasal 21 ayat (6)
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
Ketentuan ini cukup memberatkan karena seharusnya keberatan diselesaikan dulu kemudian kewajiban membayar retribusi dilaksanakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan kepastian hukum dan menciptakan rasa keadilan bagi wajib retribusi yang merasa masih ada masalah. Uang retribusi yang digunakan untuk membayar walau pun masih ada keberatan akan menimbulkan kerugian berupa pengurangan modal usaha.
3 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12 Tahun 2004 tentang Retribusi wajib Daftar Perusahaan (WDP)
Pasal 21 ayat (6)
Pengajuan keberatan tidakmenunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
Ketentuan ini cukup memberatkan karena seharusnya keberatan diselesaikan dulu kemudian kewajiban membayar retribusi dilaksanakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan kepastian hukum dan menciptakan rasa keadilan bagi wajib retribusi yang merasa masih ada masalah. Uang retribusi yang digunakan untuk membayar walau pun masih ada keberatan akan menimbulkan kerugian berupa pengurangan modal usaha.
4 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12 Tahun 2004, tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan (WDP)
Pasal 22 ayat (2)
Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian menolak atau menambah besarnya retribusi yang terutang;
mengakibatkan kerugian bagi kalangan usaha terutama usaha kecil yang modalnya juga kecil. 5 Peraturan daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-Undang Gangguan (HO) di Kotamadya daerah tingkat II Blitar
Pasal 3 ayat (1)
Setiap orang atau badan hukum yang mendirikan atau memperluas tempat-tempat usahanya di daerah diwajibkan memiliki izin tempat usaha dari Walikotamadya Kepala Daerah;
Pasal ini menyetarakan kedudukan semua pengusaha yang didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 dibedakan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut terdapat pengakuan terhadap keberadaan usaha kecil informal. Sedangkan dalam pasal 3 Perda ini bisa dijadikan legitimasi oleh Pemkot untuk mematikan keberadaan usaha-usaha kecil informal yang antara lain : pedagang asaongan, pedagang keliling, pemulung dan pedagang kaki lima dengan alasan tidak memiliki izin.
6 Peraturan daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-undang Gangguan (HO) di Kotamadya Daerah tingkat II Blitar
Pasal 9 ayat (3)
Disamping diancam dengan pidana pelanggaran terhadap ketentuan pasal 3 Peraturan Daerah ini ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diancam sanksi berupa penutupan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU gangguan (HO);
Sanksi terlau memberatkan, sehingga menghambat pertumbuhan usaha kecil, karena pemkot sebelum menerapkan sanksi berupa penutupan tempat usaha, seharusnya memberikan peringatan atau solusi yang tepat bagi para usaha kecil.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.3
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Kota Malang
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 3
Fungsi pasar dan tempat berjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini untuk menampung para pemegang ijin yang berjualan barang atau jasa.
Ketentuan pasal ini terlalu berorientasi pada penciptaan ketertiban dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat kecil (usaha kecil) melalui kemudahan dalam berusaha. Usaha kecil yang mempunyai modal kecil akan sangat terbebani dengan ijin berjualan yang di dalamnya ada kewajiban membayar retribusi (sebagaimana diatur pasal 14 (1): Atas pemberian ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Daerah ini dan pemakaian
diijinkan dikenakan retribusi). Seharusnya ada kekhususan bagi usaha kecil berupa pengecualian dalam pemenuhan perijinan dan pembayaran retribusi. Setidaknya ada pembebasan retribusi dan apabila dalam perkembangannya usaha kecil tersebut telah memiliki modal yang cukup maka dikenakan retribusi.
2. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 dan 17 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Ketentuan pasal 12 ayat (1) berbunyi: Setiap orang atau badan yang bermaksud memakai tempat berjualan secara tetap di pasar atau di
tempat lain yang diperbolehkan harus memiliki ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” usaha kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
3. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaaan Pedagang Kaki Lima
Pasal 6
Setiap Pedagang Kaki Lima yang telah memperoleh ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat (1) dikenakan retribusi sesuai ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku untuk itu.
Pungutan – pungutan terhadap usaha kecil yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima hanya akan memberatkan sektor riil masyarakat ini. Seharusnya justru Pemerintah Kota memberikan subsidi kepada PKL baik berupa pembiayaan, fasilitas, maupun pembinaan. Dalam perda ini subsidi tersebut kurang tampak karena hanya berupa pendataan, penyuluhan dan bimbingan sehingga orientasi pengaturan PKL hanya untuk peningkatan PAD bukan demi perkembangan usaha mereka.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.4
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Surabaya
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 12 ayat (1)
Izin Pemakaian Ruang Terbuka Hijau tidak dapat di perpanjang guna mewujudkan pemanfaatan ruang terbuka
hijau sesuai dengan peranan dan fungsinya (dalam hal ini untuk kepentingan orang atau badan).
jelas bahwa kegiatan usaha dapat dilakukan di Ruang Terbuka Hijau. Padahal salah satu fungsi Ruang Terbuka Hijau adalah untuk rekreasi kota (pasal 8 c). Sehingga dengan sendirinya tempat tersebut menjadi objek usaha yang sangat potensial bagi pengusaha kecil. Izin memang dapat diberikan namun hanya bersifat insidentil dan berlaku untuk jangka waktu 3 bulan (penjelasan pasal 10 ayat 1) dan tidak dapat diperpanjang. Pasal ini dengan jelas sangat mengancam eksistensi usaha kecil yang ada di Surabaya.
2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 10 ayat (2)
Dalam surat izin sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 harus dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan pengendalian dan pelestarian Ruang Terbuka Hijau dan dapat ditambah persyaratan lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah
Pasal ini menimbulkan penafsiran yang absurd (tidak jelas), dalam penjelasan pun tidak ada keterangan lebih lanjut. Dalam Perda ini tidak diatur dalam pasal manapun tentang kewajiban pembayaran retribusi oleh usaha yang didirikan di Ruang Terbuka Hijau. Jika kewajiban yang dimaksudkan dalam pasal ini, ditafsirkan sebagai retribusi maka bersarnya pungutan tersebut tidak jelas sehingga cenderung sewenang-wenang.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.5
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Probolinggo
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Penerbitan Ijin Pas Kecil Bagi Kapal/Perahu
dengan Berat Kotor Dibawah 7 Gross Tonase
Pasal 7
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3 dan 4 peraturan daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).
Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” nelayan kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Apalagi perda ini dikhususkan untuk mengatur nelayan dengan kapal/perahu berberat kotor dibawah 7 gross tonase. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
Terkait peraturan tersebut,
pemberlakukan otonomi daerah
sesungguhnya tidak hanya untuk
peningkatan PAD, namun untuk
menciptakan iklim atau atmosfir yang
memungkinkan masyarakat menolong
dirinya sendiri, mengambil
prakarsa-prakarsa usaha yang bisa membantu
pemerintah sehingga bisa mengurangi
pengangguran dan mengatasi
kemiskinan. Dalam situasi saat ini
diperlukan kebijakan-kebijakan yang
memberikan stimulasi pada sektor
usaha (besar, menengah, dan kecil).
Upaya-upaya pemerintah Pusat
tersebut tidak akan banyak berdampak
mendorong perekonomian di daerah
apabila pemerintahan daerahnya sendiri
tidak melakukan perbaikan internal.
Perbaikan internal meliputi perubahan
cara pandang terhadap makna otonomi
dan paradigma pembentukan perda yang
memenuhi kriteria perda kondusif
terhadap iklim usaha dan investasi.
Dari hasil analisis dan
pembahasan secara umum bahwa
peraturan perbankan maupun peraturan
lainnya dibuat masih berdasarkan pada
ego sektoral, belum dilakukan
koordinasi dan sinkronisasi antara
pihak-pihak yang bertanggungjawab
dan mempunyai komitmen dalam
pengembangan UK. Untuk itu maka
rekomendasi konkrit terhadap
pembiayaan dan pemberdayaan UK
dapat diwujudkan melalui kebijakan
berupa :
1) Bagi pihak pemerintah, perlu
melakukan revisi terhadap UU No.
9 tahun 1995 tentang usaha Kecil
dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan dengan lebih
melibatkan peran serta para
stakeholders yang terkait dengan
Usaha Kecil. Dengan demikian
diharapkan akan diperoleh peraturan
yang responsif terhadap
pengembangan.
2) Bagi pihak Pemerintah, perlu
memperbaiki dan meningkatkan
kinerja sistem penjaminan kredit
yang sudah ada sesuai dengan
kebutuhan pendanaan UK untuk
memfasilitasi kebutuhan dana UK.
Untuk membantu terciptanya skema
penjaminan kredit yang efektif dan
efisien perlu segera dibentuk
undang-undang tentang lembaga
penjaminan kredit untuk UK.
3) Bagi Bank Indonesia, perlu
melakukan peninjauan kembali
terhadap PBI yang mengatur tentang
Banking, yang berkaitan dengan
UK.
Beberapa rekomendasi yang
dapat disampaikan berkaitan dengan
adanya peraturan lain diluar peraturan
perbankan yang dapat menghambat
usaha atau pembiayaan UK sebagai
berikut:
1) Pemerintah Daerah perlu
mempertimbangkan untuk
mengurangi pemungutan retribusi
terhadap UK. Pemerintah harus
secara konsisten dan kontinyu
melakukan pengawasan dan
evaluasi terhadap perda-perda yang
menghambat pengembangan UK.
Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah dapat melakukan
pembatalan terhadap perda-perda
yang melanggar ketentuan
undang-undang, apabila perda tersebut
menimbulkan distorsi bagi
perekonomian.
2) Perlu dilakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pemerintah Daerah
khususnya mengenai Pajak dan
Retribusi Daerah. Beberapa usulan
perubahan mengenai Pajak dan
Retribusi Daerah yang berkaitan
dengan upaya pengurangan perda
bermasalah di antaranya pertama,
memberikan pembatasan kepada
pemda dalam penerbitan perda
untuk pajak dan retribusi daerah.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara
menerapkan jenis-jenis pajak
maupun retribusi daerah yang boleh
dipungut oleh pemda (closed list).
Kedua, memberikan sanksi yang
signifikan bagi pemda yang tetap
menerbitkan dan menerapkan perda
pungutan yang mengganggu
perekonomian. Sanksi tersebut
adalah dengan menunda alokasi
dana perimbangan, maupun dengan
mengurangi jumlah alokasi dana
perimbangan ke daerah
bersangkutan.
3) Perlu pengaturan tempat usaha yang
merupakan fasilitas bagi UK
dengan harga terjangkau.
Penyediaan dan penataan tempat
terbuka untuk pedagang kaki lima
dengan Peraturan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - Buku
Abdulkadir, Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004..
Gunawan, Rachmadi, Efektivitas Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan 10 tahun 1998 melalui Lembaga Penjaminan dalam rangka Melaksanakan Prinsip Kehati-hatian (Studi di bank Mandiri Malang Cabang Wahid Hasyim), Skripsi, Tidak dipublikasikan, Fakultas Hukum Universitas brawijaya, Malang, 2006. Manan, Bagir, Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill. Co, Jakarta, 1992
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Haslim, Hasnanuddin, Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi Bank, Seminar Sehari Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, 17 desember 1997.
Ibrahim, Johanes, Cross Default and Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Radika Aditama, Bandung, 2004.
Siamat, Dahlan , Manajemen Lembaga Keuangan, Penerbit Inter Media, Jakarta, 1995.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Kanisius, Yogjakarta, 2003.
Hamidi, Jazim, Indikator Peraturan Daerah (Perda) Bermasalah Yang Menghambat Investasi Ke Daerah, Makalah Lepas, 2005.
B. Artikel, Jurnal Ilmiah, Dan Hasil Penelitian
Jawa Pos, Kredit Macet Bank di Jatim Melonjak Akibat Peningkatan Suku Bunga, Senin, 6 Februari 2006.
Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Di Indonesia, Biro Kredit, Bank Indonesia, 2005.
Bank Indonesia Malang, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Binaan Dan Sekitar Perguruan Tinggi Di Malang, Juni 2006.
Suara Merdeka, Senin 2 Mei 2005 Sinar Indonesia Baru, Senin 11 Juni 2006
C. Peraturan Perundang-Undangan
KUH Perdata
UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998.
UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Peraturan pemerintah No. 95 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah
Perda tentang Tata Ruang