• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi-April 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institusi-April 2008"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI APRIL 2008

(2)

penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a ft a r I si

Kemiskinan warga dan tanggung jawab negara --- 1

Formulir Pilkada Tiba --- 2

Kampanye Pilkada Dimulai Pemasangan Alat Peraga di Medan Berlangsung Sepi ---- 5

Datang Kampanye Belum Tentu Memilih

---

7

Kevin Rudd dan Politik LN Australia --- 8

Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi --- 10

Reformasi Pertama Birokrasi --- 12

Sengketa Pilkada Ditangani MK --- 14

Upaya Pengentasan Kemiskinan Setengah Hati --- 15

Rencana Penyelesaian Pilkada Malut Masih Wacana --- 17

Memilih Calon Pemimpin Jabar --- 18

Orang Kecil "Menikmati" Kampanye Pilkada --- 20

Pilkada Karanganyar dan Kota Tegal 26 Oktober2008 --- 23

RUU Keterbukaan Informasi Publik Disetujui oleh DPR --- 24

Pemilu dan Pilkada --- 25

Tidak Ada Instrumen Hukum Tunda Pilkada --- 28

Demokrasi Harus Beretika

---30

Sosialisasi Pilgub Jabar Belum Maksimal --- 31

RUU Rahasia Negara Jangan Reduksi UU KIP --- 32

Banyak Parpol Bakal Gugur --- 33

Pilkada--- 35

Pilkada Maluku Utara, Makin Diurai Makin Kusut... --- 37

Golkar Tetapkan Pasangan Pilkada Maluku --- 40

Memperpendek Jalur Sengketa Pilkada --- 41

Perketat Verifikasi Parpol

---44

MK Siap Tangani Sengketa Pilkada --- 45

Krisis Itu Menyakitkan --- 46

Pemerintah Santuni Penganggur --- 47

Manfaat (yuridis) ekonomis UU Informasi dan Transaksi Elektronik --- 49

DPR Setujui UU Pelayaran --- 51

(4)

Menguat, Desakan Revisi UU KIP --- 57

RUU Kesejahteraan Sosial --- 58

Sabam Sirait: Laksanakan Pilkada Damai di Sumut --- 59

Logistik Pilkada Belum Terdistribusi ke PPS --- 60

Lampu Kuning Otsus Papua --- 61

Penentuan Keabsahan Peserta Pemilu 2009

--- 64

RUU Kesos untuk Berdayakan Penganggur --- 66

Pilkada Kabupaten Sumedang KPU Jamin Pilkada Gabungan --- 67

Membajak Demokrasi secara Konstitusional --- 68

Partai Politik dan Prospek Reformasi --- 70

UU Pengelolaan Sampah Sangat Lemah --- 73

Pemasaran Partai Politik --- 74

RUU KIP yang Disetujui DPR Mengecewakan--- 76

Mengapa Hade Menang? --- 77

Pilbup Majalengka Digelar Lebih Awal --- 79

Pilkada Provinsi Dinilai Tak Mendidik --- 80

Konflik Pilkada Membayangi Arung Sejarah Bahari --- 81

Retorika Negara Kesejahteraan

---82

Golput Merajai Pilkada Sumut --- 84

Paradoks Kemiskinan --- 85

Perpres "Lumpur" Dicabut?--- 87

Pemimpin Bicara, Rakyat Tertidur --- 88

Pemimpin yang Pantas --- 90

Partai Politik--- 92

Politik Zig-zag --- 94

(5)

Pemerintah yang Penuh Kebingungan ---107

Warga Tak Memilih Unggul dalam Pilkada Sumut ---110

Tahapan Pilkada Bandung Diubah ---111

Kasad: Perwira Gagal di Pilkada Memalukan Korps ---113

(6)

Ke m isk in a n w a r g a d a n t a n g g u n g j a w a b n e g a r a

Jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam kemelaratan. Kalau kita menggunakan ukuran US$ 2 -PPP (purchasing power parity )/kapita/hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia, pada 2007 angka kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih rendah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%).

Yang menyedihkan, suara 105,3 juta jiwa itu tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, politisi dan kelas menengah yang pongah. Kaum miskin itu, dalam kata-kata Gabriel Marquez, adalah kekuatan yang membisu.

Harus diakui, meski sudah berusaha digenjot, berbagai program pembangunan pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono-Jusuf Kalla tidak optimal dalam memberantas kemelaratan massal itu, yang umumnya sebagai dampak dari kemiskinan struktural. Sebab-sebab kemiskinan struktural sangat dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini:

Pertama, kurangnya demokrasi, di mana hubungan kekuasaan yang menghilangkan kemampuan warga negara atau suatu negara untuk memutuskan masalah yang menjadi perhatian mereka. Kuatnya demokrasi prosedural yang mengangkangi demokrasi substansial seperti dalam kasus Indonesia, merupakan faktor krusial yang menyebabkan kebijakan pengentasan kemiskinan tak efektif.

Kedua, kurangnya memperoleh alat-alat produksi (lahan dan teknologi) dan sumber daya (pendidikan, kredit, dan akses pasar) oleh mayoritas penduduk.

Ketiga, kurangnya mekanisme yang memadai untuk akumulasi dan distribusi. Keempat, disintegrasi ekonomi nasional, yang berorientasi memenuhi pasar asing daripada pasar domestik. Kelima, pengikisan peran pemerintah sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial, contohnya melalui swastanisasi program-program sosial

Keenam, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam dan tercemarnya ekosistem yang secara tidak proporsional berdampak kepada orang miskin, dan ketujuh, Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan polarisasi masyarakat, yang memacu bertambahnya penumpukan pendapatan dan kesejahteraan.

Ukuran kemiskinan yang dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, dengan standar Bank Dunia, ternyata secara empiris acap kali ''tidak bisa atau kurang tepat'' menjelaskan fenomena kemiskinan. Terutama, membandingkan kemiskinan dengan kesejahteraan.

Pengukuran kemiskinan dengan standar Bank Dunia didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), di mana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan.

(7)

Bisnis I ndonesia Selasa, 01 April 2008

Jawaban pertanyaan ini bisa betul dan bisa tidak, tergantung bagaimana pola konsumsi, pola kehidupan serta faktor jaminan keamanan akan kehidupan dari setiap negara kepada penduduknya.

Studi Birdsall (1995) di negara-negara Asia Timur yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi ( >7%), sedang (5%-6%) dan rendah (<5%) selama 30 tahun, menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang berbeda.

Studi Birdsall menunjukkan bahwa Sri Lanka yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang relatif rendah (<5%) dan mempunyai indeks SPI yang rendah (yang menunjukkan tingkat pendapatan per kapita dalam dolar AS rendah atau kurang dari US$500 per tahun) ternyata mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia, atau misalkan Brasil (yang mempunyai pendapatan per kapita di atas US$ 5.000 per tahun).

Anand dan Kanbur (1993) mengusulkan pola pengukuran kemiskinan dengan memasukkan variabel variabel nonkeuangan (non financial variables), seperti kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang luas dan murah, kesempatan kerja yang tinggi, angka kematian balita dan ibu yang melahirkan, tingkat kemungkinan hidup, sistem perumahan dan sarana kesehatan umum, listrik dan lain lain.

Dengan memakai ukuran yang baru Anand dan Kanbur melakukan uji ulang atas data dari studi Montek Ahluwalia terhadap 60 negara. Hasilnya adalah kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Malcolm Gillis (Economics of Development' 1983) menyebutkan faktor tersebut sebagai basic human needs and social indicators dalam penghitungan kemiskinan. Formulasi kebijakan

Dalam konteks ini, salah satu prasyarat keberhasilan program- program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target grup dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang melarat, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya 'kaum miskin' itu? Dan di mana kaum melarat itu berada?

Dalam kasus Indonesia, era Yudhoyono-Kalla, harus diakui bahwa persoalan kemelaratan belum dapat dijawab secara efektif dan tepat. Pemerintah gagal menangkap profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya.

Pemerintah juga gagal mencermati profil kemiskinan dari karakteristik karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/ pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain.

Akibatnya, kemiskinan rakyat dewasa ini tetap meluas dan mendalam serta menjadi amunisi kekuatan sosial dan politik 'oposisi' untuk menyudutkan dan mendelegitimasikan duet Yudhoyono-Kalla, suatu hal yang mestinya dipikirkan dan dipecahkan secara serius oleh seluruh tim kabinet dan jajaran pemerintahan.

Pada akhirnya, meminjam perspektif Joseph E. Stiglitz (peraih Nobel Ekonomi), kemiskinan di Indonesia, hanya bisa dipecahkan jika ada kekompakan dan kesadaran bersama antara negara, dunia usaha dan civil society (masyarakat madani) untuk mengatasinya secara serius, terarah dan efektif, meskipun sejatinya masalah kemiskinan merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya. Semoga.

Oleh Herdi Sahrasad

(8)

For m u lir Pilk a d a Tib a

Polisi a k a n M e m b e r ik a n Pe n g a w a la n

Selasa, 1 April 2008 | 00:27 WIB

Medan, Kompas - Tiga peti kemas berisi logistik pemilihan gubernur Sumatera Utara, Senin (31/3), tiba di Pelabuhan Belawan, Medan. Setelah diterima oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara Irham Buana Nasution, peti kemas berisi formulir tersebut disimpan di gudang milik IAIN Sumatera Utara.

Alasan penggunaan gudang milik IAIN itu, tutur Irham, selain karena KPU Sumatera Utara (Sumut) belum memiliki gudang, posisi IAIN juga tidak jauh dari Kantor KPU Sumut dan Kantor Poltabes Medan. Turut hadir dalam kesempatan itu, antara lain, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sumut Inspektur Jenderal Nurudin Usman dan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut Muhyan Tambuse.

Ketika menerima penyerahan logistik itu, Irham Buana Nasution mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga pengiriman logistik itu lancar dan aman. Hal itu menjadi bagian positif dari upaya penyuksesan pilkada di Sumut.

Dijadwalkan, pada hari Selasa ini kertas suara akan tiba di Medan. ”Kertas suara itu akan diangkut menggunakan lima peti kemas,” kata Irham.

Ketika ditanyakan berapa jumlah formulir yang tiba, Irham mengaku belum mengetahuinya.

Ditemui seusai mengikuti upacara serah terima logistik pilkada, Kepala Polda Sumut Irjen Nurudin Usman mengatakan, kelancaran dan keamanan proses pilkada merupakan buah dari kerja sama antara semua komponen. Menurutnya, itu bukan hanya hasil kerja dari aparat pemerintah saja, tetapi juga dari semua warga masyarakat.

Selanjutnya, logistik itu akan dikirim ke berbagai daerah di Sumut. Polisi, tutur Nurudin, akan mengawal hingga ke tempat tujuan. Pengawalan dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pengawalan terbuka dan pengawalan tertutup.

Dihubungi terpisah, Kepala Subbagian Humas KPU Sumut Handoko mengatakan, pada prinsipnya logistik akan dikirimkan tepat waktu. KPU, tutur Handoko, akan mencari sistem dan metode pengiriman yang baik agar formulir dan kertas suara tidak terlalu cepat sampai atau terlambat tiba.

”Kami akan mencari strategi jitu untuk menyalurkan logistik itu,” ujar Handoko.

Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah menggunakan truk besar untuk mengirim logistik ke beberapa daerah yang searah. Beberapa daerah, seperti Nias, Tapanuli Selatan, Madina, serta Padang Sidempuan, akan diprioritaskan.

(9)

Kompas Selasa, 01 April 2008

(10)

Ka m p a n y e Pilk a d a D im u la i

Pe m a sa n g a n Ala t Pe r a g a d i M e d a n Be r la n g su n g Se p i

Selasa, 1 April 2008 | 00:23 WIB

Medan, Kompas - Mulai Selasa (1/4) ini, proses Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara memasuki tahap kampanye calon gubernur dan wakil gubernur. Pada hari pertama, empat dari lima calon dijadwalkan akan turun langsung menjadi juru kampanye.

Satu-satunya pasangan calon yang belum berkampanye pada hari pertama adalah Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho.

Pada Senin (31/3) malam, beberapa calon bahkan sudah bergerak menuju lokasi kampanye yang telah dijadwalkan.

”Pak Wahab (Abdul Wahab Dalimunthe) akan memulai kampanye di Lapangan Pandan, Sibolga, hari Selasa. Beliau akan berangkat pada Senin malam. Pada minggu pertama, semua juru kampanye masih akan diisi oleh tokoh-tokoh dari Sumatera Utara saja. Pada pekan kedua, kemungkinan beberapa tokoh dari Jakarta akan turun,” ujar Abdul Hakim Siagian, dari tim pemenangan Abdul Wahab Dalimunthe-HR M Syafii, Senin.

Zulfadli, dari tim pemenangan pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, mengatakan, Syamsul belum akan turun pada hari pertama kampanye di zona IV (Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Padang Lawas). Namun, tidak ada penjelasan tidak turunnya Bupati Langkat itu untuk berkampanye.

”Pak Syamsul baru akan berkampanye pada tanggal 2 April di Tarutung, Tapanuli Utara. Pada 3 April beliau akan berada di Medan,” kata Zulfadli.

Adapun pasangan RE Siahaan-Suherdi, menurut anggota tim suksesnya, Sulasno, dijadwalkan berkampanye di Kota Binjai. Kampanye yang dilaksanakan Selasa itu lebih difokuskan dengan kegiatan door to door.

Arak-arakan kecil

”Kalaupun ada kampanye di luar ruangan, (itu) hanya berupa arak-arakan kecil. Kami menghindari pengerahan massa besar-besaran. Juru kampanye kami lebih banyak diisi para saksi yang bakal bertugas di tempat pemungutan suara. Kami akan mengajak masyarakat memilih agar suara golput (golongan putih) semakin kecil,” ujar Sulasno.

Pasangan calon yang diusung Partai Golkar, Ali Umri-Maratua Simanjuntak, memulai kampanye di Lapangan Segitiga, Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun Tritamtomo- Benny Pasaribu mendapat kesempatan pertama kampanye di Medan.

(11)

Kompas Selasa, 01 April 2008

Pada Senin siang hingga petang, pemasangan alat peraga juga hampir tidak ditemukan. Namun, gambar-gambar para calon, baliho, dan spanduk sudah terpasang di seluruh pojok kota, seperti di dinding pagar rumah, tiang listrik, simpang jalan, angkutan kota, dan becak bermotor.

Semua calon sebenarnya sudah memasang alat peraga kampanye jauh hari sebelum penetapan jadwal pemasangan alat peraga yang ditetapkan KPU Sumut. Sebagian poster yang terbuat dari kertas bahkan sudah terlihat kumal dan tidak sedikit pula yang sobek.

Tak berdaya

Ketua Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Sumut David Susanto mengakui, pihaknya tak berdaya membersihkan berbagai spanduk dan baliho pasangan calon sebelum tahapan kampanye dimulai. Spanduk dan baliho yang dipasang lima pasangan calon sudah mengesankan adanya kampanye. Namun, karena peraturan KPU Sumut menyebutkan baliho dan spanduk yang dipasang belum termasuk kategori kampanye, Panwaslih tak bisa membersihkan.

”Akhirnya, kemarin kami mendorong agar masyarakat yang aktif. Rumah atau halamannya jangan mau dipasangi spanduk, stiker, hingga baliho. Kalau Panwaslih yang membersihkan, berdasarkan peraturan KPU, kami bisa digugat. Kalau masyarakat yang membersihkan, itu hak mereka,” ujar David.

(12)

Pilkada Sumut

D a t a n g Ka m p a n y e Be lu m Te n t u M e m ilih

Rabu, 2 April 2008 | 00:25 WIB

Datang menghadiri kampanye calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara, lengkap dengan atribut seperti kaus dan ikat kepala, ternyata bukan jaminan bahwa di hari H pemilihan tanggal 16 April nanti bakal memilih kandidat yang berkampanye.

Simaklah ucapan Darma (21), warga Lubuk Pakam yang datang ke kampanye pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben) di Lapangan Merdeka, Medan, Selasa (1/4). ”Belum tentu nanti saya pilih mereka. Sampai sekarang saya belum menentukan pilihan,” ujar Darma yang datang bersama puluhan temannya.

Darma tertarik datang ke kampanye Triben karena penasaran. ”Ingin tahu saja seperti apa sih kampanye itu. Katanya ada pula artisnya,” ujar Darma.

Namun, bukan artis atau keramaian yang memikat Darma datang ke arena kampanye. Dia dan kawan-kawannya dijanjikan uang transpor dan uang makan jika mau hadir di acara kampanye. ”Enggak banyak sih, lumayan Rp 10.000. Apalagi untuk kami yang kerjanya masih mocok-mocok (serabutan),” ujar Darma.

Senada dengan Darma, Aman (18) mengaku penasaran melihat kemeriahan kampanye. Apalagi ini pertama kalinya menggunakan hak pilih. ”Sekalian jalan-jalan dari Lubuk Pakam ke Medan,” kata Aman singkat.

Kalau soal pilihan, Aman pun mengaku belum memutuskannya. ”Yang penting bagus dan tidak korupsi,” ujarnya.

(13)

Kompas Rabu, 02 April 2008

Ke v in Ru d d d a n Polit ik LN Au st r a lia

Rabu, 2 April 2008 | 00:36 WIB

Oleh Sudirman Nasir

Kunjungan kerja Perdana Menteri Australia Kevin Rudd ke Amerika Serikat, Eropa, dan China dari 27 Maret hingga 13 April menarik dicermati. Perjalanan Rudd ini adalah kunjungan kerja pertamanya sejak resmi dilantik menjadi PM Australia pada 3 Desember 2007, setelah mengalahkan John Howard dalam pemilu November tahun lalu. Kunjungan ini juga menunjukkan secara cukup jelas arah politik luar negeri Australia di bawah Rudd.

Kunjungan Rudd di atas mewakili tiga garis besar kebijakan luar negeri Australia, yaitu tetap pentingnya kerja sama strategis Australia dengan AS, pentingnya kerangka hubungan multilateral, dan pentingnya kerja sama Australia dengan negara-negara Asia.

Seperti dinyatakan Rudd dalam kampanyenya tahun lalu, politik luar negeri Australia di bawah pemerintannya akan tetap menjaga tradisi hubungan strategis dan historis Australia dengan AS (selain dengan Eropa). Namun, berbeda dengan kebijakan Howard, Rudd akan menarik pasukan Australia dari Irak, setelah melakukan konsultasi mendalam dengan pihak AS. Presiden AS George W Bush menerima Rudd minggu lalu dan menyatakan pengertiannya mengenai keputusan Rudd menarik pasukan Australia dari Irak.

Penerimaan Bush cukup menarik dicermati mengingat Bush selama ini tidak menyembunyikan kedekatannya secara politik maupun personal dengan John Howard. Bush tampaknya menyadari bahwa era Howard di Australia telah lewat dan di akhir masa jabatannya sebagai Presiden AS, ia, suka atau tidak, harus menerima Rudd sebagai PM Australia, salah satu sekutu paling dekat AS di Asia Pasifik. Rudd secara hati-hati dan elegan menunjukkan kepada Bush bahwa ia meneruskan tradisi pemimpin Australia yang senantiasa menempatkan AS selaku sekutu utama. Namun, ia juga mengirim isyarat jelas kepada Bush maupun kepada masyarakat Australia bahwa berbeda dengan Howard, ia bukan pendukung membabi buta terhadap apa pun kebijakan luar negeri AS. Sebagaimana di negara-negara Barat lainnya, Perang Irak semakin tidak populer di mata sebagian besar warga Australia.

Menghargai PBB

Dalam kunjungan Rudd ke AS, ia juga sekaligus menemui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki- moon dan menyatakan niat Australia mencalonkan diri untuk menduduki salah satu kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (UN Security Council) tahun 2013-2014. Pernyataan Rudd tersebut menunjukkan komitmennya terhadap kebijakan multilateral dan penghargaannya terhadap PBB. Rudd ingin membuat kontras dengan Howard yang kerap kali tampak menyepelekan PBB (khususnya dalam kasus Perang Irak). Pernyataan Rudd juga mengisyaratkan tekadnya menunjukkan Australia sebagai kekuatan menengah (middle power) di dalam percaturan politik internasional.

(14)

Setelah menemui Presiden AS dan Sekjen PBB, Rudd melakukan lawatan ke Eropa mengunjungi Belgia, Romania, dan Inggris. Di Belgia, Rudd bertemu dengan presiden dan para anggota senior Komisi Eropa. Sementara di Bucharest, Romania, Rudd menghadiri KTT kepala pemerintahan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). KTT NATO itu, antara lain, akan memutuskan cara-cara meningkatkan efektivitas strategi dan misi Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) di Afganistan, di mana Australia juga menyumbangkan pasukan. Di Inggris, Rudd akan menemui PM Gordon Brown dan sejumlah anggota senior kabinet Brown. Kunjungan ke Eropa secara tradisional menjadi ritual bagi setiap PM Australia yang baru terpilih mengingat kedekatan historis, politik, dan strategis Australia dengan Eropa.

Masalah Tibet

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa selain kunjungan Rudd menemui Presiden Bush di AS, yang tak kalah menarik adalah kunjungan Rudd ke China. Setelah lawatan ke AS dan Eropa, Rudd bertolak ke China untuk bertemu Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao. Selama empat hari (9-12 April) di China, negara yang merupakan mitra dagang terbesar Australia itu, Rudd akan bertemu generasi baru kepemimpinan China hasil Kongres Ke-17 Partai Komunis negara itu. Dengan para pemimpin China, Rudd akan membahas isu perluasan hubungan bilateral kedua negara, seperti bidang perdagangan dan penanganan masalah perubahan iklim.

Selain itu, di tengah sorotan dunia pada tindakan keras China terhadap Tibet saat ini, Rudd mau tidak mau harus membicarakan masalah ini. Posisi Rudd menjadi sangat unik dalam masalah Tibet mengingat Australia adalah negara Barat yang secara geografis paling dekat dengan China dan mengingat Rudd satu-satunya pemimpin negara Barat yang mampu berbahasa Mandarin dan dianggap memiliki pengetahuan paling mendalam mengenai China. Kepentingan Australia yang sangat besar pada China membuat Rudd harus secara lihai menyampaikan kecaman keras terhadap China untuk menghentikan kekerasan di Tibet tanpa harus membuat pemimpin-pemimpin negara itu berang. Harus dicatat pula bahwa pemimpin oposisi Australia, Brendan Nelson, dan banyak warga Negeri Kanguru mulai gencar menekan Rudd untuk menyampaikan sikap keras Australia.

Kunjungan ke China juga menjadi momentum keterkaitan Australia dengan negara-negara besar di Asia. Sesaat setelah diumumkan memenangi pemilu tahun lalu, Rudd mengisyaratkan tekadnya untuk meningkatkan fokus Australia terhadap kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, khususnya lewat tiga negara kunci, yakni Indonesia, China, dan India. Rudd telah menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesaat setelah resmi menjadi sebagai PM Australia.

Ke depan kita, sebagai tetangga dekat, akan melihat bagaimana Rudd merangkai kompleksitas tiga pilar politik luar negeri Australia.

(15)

Kompas Rabu, 02 April 2008

Re for m a si Bir ok r a si Bu k a n Bir ok r a t isa si Re for m a si

Rabu, 2 April 2008 | 00:37 WIB

Oleh Dita Indah Sari

Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.

Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.

Pembentukan komisi

Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.

Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.

KPK dan Komnas HAM

(16)

Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.

Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.

(17)

Kompas Rabu, 02 April 2008

Re for m a si Pe r t a m a Bir ok r a si

Rabu, 2 April 2008 | 00:37 WIB

Oleh Eko Prasojo

Gelombang reformasi yang bergulir tahun 1998 ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan umum masyarakat. Dipicu oleh harga minyak dunia, kebutuhan pokok masyarakat pun semakin mahal dan sulit didapatkan. Namun, apakah memang harga minyak dunia yang menjadi penyebab utama semakin sulitnya kehidupan masyarakat? Bukankah di negara- negara lain—bahkan yang tidak memiliki cadangan minyak sekalipun— kondisi ekonomi masyarakatnya tidaklah separah di Indonesia?

Refleksi yang harus dilakukan adalah apakah memang keberadaan dan pekerjaan pemerintah benar-benar menjadi pilar untuk menciptakan kesejahteraan umum masyarakat? Atau sebaliknya pemerintahan yang korup, tidak efisien, tidak profesional, tidak akuntabel, dan tidak sensitiflah yang menjadi akar masalah semakin terpuruknya bangsa ini.

Prahara birokrasi

Barangkali yang paling mudah untuk ditunjuk sebagai penyebab sulitnya menciptakan kesejahteraan umum masyarakat adalah kualitas birokrasi pemerintahan. Lebih jelasnya, negara dan bangsa ini tidak pernah bersungguh-sungguh memperbaiki apa yang disebut sebagai birokrasi pemerintahan.

Kita lebih serius membahas berapa jumlah kursi DPR pada pemilihan umum mendatang, kita lebih konsern berdebat apakah ketentuan electoral treshold tetap akan diberlakukan pada tahun 2009, kita lebih bersemangat untuk melobi apakah jumlah sisa suara akan ditarik ke provinsi atau diletakkan di daerah pemilihan. Namun, siapa yang peduli tentang mengapa dan berapa jumlah uang yang menguap dalam berbagai dana pembangunan dan pelayanan; siapa pula yang harus memberi perhatian tentang buruknya pelayanan publik; dan siapa yang tertarik untuk memerhatikan betapa kecilnya gaji pegawai negeri sehingga terpaksa harus mencuri uang negara dan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik.

Prahara buruknya birokrasi pemerintahan adalah sebab utama mengapa negara ini tidak pernah selesai dengan keterpurukan ekonomi. Birokrasi pemerintahan adalah mesin yang menggerakkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Mesin itu sudah sangat tua dan renta sehingga berjalan sendiri pun sangat sulit, apalagi menggerakkan dan mendorong pembangunan bagi masyarakatnya.

Kondisi ini dipersulit oleh beberapa hal: pertama, keseriusan dan kemauan politik untuk merevitalisasi dan meremajakan mesin birokrasi sangatlah lemah jika tidak mau dikatakan tidak ada. Kedua, birokrasi pemerintahan adalah sasaran yang sangat potensial bagi partai politik untuk menjara uang negara melalui koalisi politik dan birokrasi. Ketiga, sejak kita merdeka ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perilaku birokrasi untuk melayani masyarakat tidaklah kondusif. Keempat, masyarakat berada dalam posisi yang sangat lemah ketika berhadap-hadapan dengan pemerintah, tidak ada posisi tawar dan bahkan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.

(18)

Jalan baru

Buruknya birokrasi pemerintahan harus segera diperbaiki dengan langkah-langkah reformasi. Tidak ada jalan lain. Semakin lama kita menunda reformasi birokrasi, semakin lama dan sulit harapan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah memulai langkah reformasi birokrasi dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). RUU ini penting dalam kacamata reformasi birokrasi karena menjadi instrumen mewujudkan prinsip-prinsip good governance dalam norma hukum yang bersifat mengikat, baik bagi pejabat birokrasi maupun masyarakat. Instrumentasi pasal-pasal dalam RUU ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan—terutama dalam membuat keputusan— serta relasi antara birokrasi dan masyarakat yang setara dalam pemerintahan dan pelayanan.

Konkretisasi prinsip partisipasi dalam pemerintahan diwujudkan melalui pemberian hak kepada setiap individu untuk didengar pendapatnya sebelum sebuah Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bersifat memberatkan dibuat. Dalam praktiknya, hal ini dapat menghindarkan perbuatan semena-mena dan menyalahgunakan kewenangan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Pada sisi lainnya, RUU AP memberikan payung hukum yang bersifat umum bagi semua sektor yang memungkinkan terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk menjamin kesamaan keberlakuan hukum bagi semua orang dan dalam rangka menghindari terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, RUU AP juga memuat ketentuan pejabat pemerintahan yang didiskualifikasikan (tidak boleh terlibat) dalam membuat keputusan administrasi pemerintahan. Dari konteks sosiologis Indonesia, ketentuan ini akan mengurangi kroniisme yang sering kali berhubungan dengan tingkat korupsi. Hal ini akan menjadi tindakan preventif untuk mengurangi KKN dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. RUU ini juga mengatur keberatan dan gugatan individu dan masyarakat terhadap keputusan administrasi pemerintahan yang dianggap memberatkan dan merugikan.

Berbagai instrumen yang diatur dalam RUU AP pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan perbaikan iklim investasi berupa kepastian hukum. Dari sisi penegakan hukum, RUU ini kelak akan menjadi hukum materiil bagi para hakim di Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun demikian, RUU ini harus dilengkapi dengan reformasi birokrasi lainnya, terutama di bidang Kepegawaian Negara. Komitmen pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi birokrasi dapat diawali dengan membahas dan menetapkan RUU Administrasi Pemerintahan. Semoga.

(19)

Suara Pembaruan Rabu, 02 April 2008

Se n g k e t a Pilk a d a D it a n g a n i M K

SP/YC Kurniantoro - Jimmly Asshiddiqie

[JAKARTA] Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengalihan itu dilakukan paling lama 18 bulan sejak Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi secara terbatas, diundangkan.

Alasan pengalihan karena ada perubahan rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilu. Di dalam UUD 1945, diatur bahwa penanganan sengketa pemilu dilakukan oleh MK. Pengalihan tersebut diatur dalam Pasal 236 C revisi terbatas UU 32/2004 yang telah disahkan DPR, Selasa (1/4).

Selain pengalihan tersebut, hal substansi lain, yakni pada saat UU 32/2004 berlaku, kepala daerah/wakil kepala daerah yang sudah terdaftar sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah tidak mengundurkan diri dari jabatannya.

Tetapi, menurut Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, untuk kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya jika mencalonkan diri dalam pemilu kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya sejak pendaftaran.

"Itu untuk menjamin pelaksanaan pemilu kepala daerah dapat berjalan lebih demokratis, jujur, dan menghindari berbagai ekses jabatan," kata Mardiyanto.

Selain itu, juga dilakukan penjadwalan ulang pelaksanaan pilkada untuk mengamankan agenda pemilu nasional baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden/wakil presiden.

Untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir November 2008 hingga Juli 2009, pemungutan suara dilaksanakan paling lama Oktober 2008.

Sedangkan, jika terjadi pilkada putaran kedua, pemungutan suara dilaksanakan maksimal Desember 2008. Untuk pemungutan suara pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam satu daerah yang sama, yang berakhir masa jabatannya pada 2008 hingga Juli 2009, dapat diselenggarakan pada hari yang sama.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimmly Asshiddiqie menegaskan sengketa pilkada yang terjadi pada 2008 masih diselesaikan oleh MA.

"Dalam UU ditentukan bahwa selama 2008 semua sengketa pemilihan kepala daerah masih diselesaikan oleh MA. Nanti pada 2009, karena fokus pada pemilu, selama pemilu tidak akan ada jadwal pemilihan kepala daerah. Jadi, praktis MK akan melaksanakan tugas pada 2009. MK mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri," kata Jimmly.

(20)

Up a y a Pe n g e n t a sa n Ke m isk in a n Se t e n g a h H a t i

Potret warga miskin di Kampung Langon, Desa Mekarsari, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, Banten. Angka kemiskinan di wilayah Provinsi Banten meningkat, di antaranya karena program yang digulirkan pemerintah selama ini sering diselewengkan dan salah sasaran. sp/ laurens dami

Berbagai program telah digulirkan pemerintah untuk memberantas kemiskinan. Menyebut di antaranya, yakni Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) lewat bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100. 000 per keluarga miskin per bulan, program beras untuk rakyat miskin (raskin), dan program bantuan kesehatan berupa pembagian kartu asuransi kesehatan untuk keluarga miskin (Askeskin).

Namun, berbagai program tersebut tidak mampu mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia, termasuk di wilayah Banten. Angka kemiskinan tetap relatif tinggi. Angka pengangguran meningkat.

Selain program-program tersebut, sejak 2007 Pemerintah Pusat mengeluarkan program baru yang dikemas lewat program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) Mandiri. Program itu dijabarkan dalam bentuk program pengembangan kecamatan (PPK) dan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP).

Program itu sebenarnya pengganti program PKPS-BBM yang dinilai kurang efektif dan efisien. Namun, program baru yang digulirkan untuk memberdayakan masyarakat miskin itu, juga belum menunjukkan dampak signifikan.

Dilihat secara nasional, angka kemiskinan memang menurun, tetapi sangat kecil. Pada 2006, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 17,75 persen dan pada 2007 menurun menjadi 16,58 persen. Berdasarkan versi hasil penelitian Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa.

Untuk Provinsi Banten, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) setempat, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) malah naik. Data BPS Banten per Maret 2007 menunjukkan, jumlah penduduk miskin sebanyak 886.100 orang atau 9,07 persen dari total penduduk sembilan juta lebih. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya. Pada Juli 2005, jumlah penduduk miskin 830.500 orang atau 8,86 persen.

Menurut analisis BPS Banten, selama periode Juli 2005 - Maret 2007, penduduk miskin di daerah pedesaan di Banten bertambah sebanyak 26.500 orang, sementara di perkotaan bertambah 29.100 orang. Penduduk miskin di Banten itu tersebar di kabupaten/kota.

(21)

Suara Pembaruan Rabu, 02 April 2008

Membingungkan

Mengacu berbagai fakta angka kemiskinan tersebut, jelas terlihat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten belum serius menangani masalah kemiskinan di Banten.

Berbagai program digulirkan seperti bantuan untuk pedesaan setiap tahun, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak ter-lihat.

Ketua Komisi II DPRD Banten Media Warman, belum lama ini menjelaskan Pemprov Banten sudah memiliki rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Salah satu tujuannya adalah mengentaskan kemiskinan. Karena itu, Pemprov Banten harus secara serius mengimplementasikan program yang sudah termuat dalam RPJMD itu.

"Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah pemberantasan kemiskinan. Karena itu, Pemprov Banten jangan hanya berkutat dengan prog- ram jangka pendek," ujarnya.

Menurut Media Warman, program yang terfokus kepada upaya pengentasan kemiskinan, belum pernah dibuat Pemprov Banten. Yang ada, hanyalah program parsial di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sehingga hasilnya pun setengah-setengah.

"Kalau ada kasus terkait masalah kemiskinan baru pemerintah membuka mata dan mulai sibuk menunjukkan perhatian. Namun, pemerintah daerah tidak pernah terfokus mengatasi kemiskinan," ia menambahkan. Masalah kemiskinan memang masalah nasional, namun pemerintah daerah harus memiliki program tersendiri untuk mengentaskan kemiskinan. Karena itu, Media, mengimbau Pemprov Banten untuk berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam memberantas masalah kemiskinan di Banten.

Hal senada dikatakan Ketua Komisi II DPRD Cilegon, Adad Musadad. Ia mendesak SKPD terkait untuk berkoordinasi dalam melaksanakan program pemberantasan kemiskinan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh dinas terkait di Kota Cilegon, seperti Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Cilegon, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (BPMKB), Badan Pusat Statistik (BPS) Cilegon, dan Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Cilegon, angka kemiskinan di Cilegon sangat kecil. Namun, catatan BPS Banten justru memperlihatkan data kemiskinan di Cilegon yang cukup tinggi.

"Jumlah warga miskin versi BPS lebih tinggi dibandingkan data di dinas dan badan di Cilegon, sehingga perbedaan data kemiskinan ini membingungkan kami untuk melihat mana yang datanya lebih valid," ujarnya.

Perbedaan data angka kemiskinan dikhawatirkan akan menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan. Bukan tidak mungkin, perbedaan data itu bisa menyebabkan adanya warga miskin yang tidak mendapat bantuan seperti bantuan kesehatan dan pendidikan.

Di tempat berbeda, Ketua Komisi B DPRD Pandeglang HM Yusuf menilai, program yang digulirkan Pemerintah Pusat dan Pemkab Pandeglang untuk mengentaskan kemiskinan sudah cukup bagus. Namun, yang menjadi kendala adalah aparat di bawahnya. "Kami melihat program pengentasan kemiskinan belum optimal karena sering terjadinya salah sasaran," katanya.

(22)

SEN GKETA

Re n ca n a Pe n y e le sa ia n Pilk a d a M a lu t M a sih W a ca n a

Kamis, 3 April 2008 | 01:14 WIB

Ternate, Kompas - Rencana penyelesaian sengketa Pilkada Maluku Utara melalui DPRD setempat masih sebatas wacana dan belum diputuskan pihak Departemen Dalam Negeri. Dengan kata lain, belum ada kejelasan tentang penyelesaian masalah ini.

Demikian diungkapkan Pejabat Gubernur Maluku Utara (Malut) Timbul Pudjianto kepada ratusan pendukung calon gubernur-wakil gubernur Malut Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba yang berunjuk rasa ke kantornya, Rabu (2/4) di Ternate. Pernyataan itu disampaikan setelah Timbul menerima perwakilan pengunjuk rasa di ruang kerjanya. Pembicaraan Timbul dengan perwakilan pengunjuk rasa berlangsung tertutup.

”Berbagai macam isu berkembang selama ini. Saya klarifikasi bahwa dalam pertemuan antara saya, ketua DPRD, dan musyawarah pimpinan daerah (dengan Menteri Dalam Negeri) memang ada satu pemikiran atau wacana untuk mengembalikan proses pilkada (pemilihan kepala daerah) kepada DPRD. Saya tekankan, itu baru wacana. Jadi, belum final,” kata Timbul menambahkan.

Hingga kemarin, lanjut Timbul, dia belum juga menerima surat yang menyatakan penyelesaian sengketa pilkada Maluku Utara (Malut) dikembalikan ke DPRD. ”Saya belum melihat atau menyentuh hitam di atas putih keputusan itu. Dengan perkembangan situasi (di Ternate), pemerintah pusat menurunkan tim pencari fakta untuk melihat realitas persoalan agar pemerintah pusat bisa memutuskan penyelesaian proses pilkada,” katanya.

Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD Malut Syaiful Bahri Ruray menyatakan, penyelesaian sengketa pilkada melalui rapat paripurna DPRD tidak berdasar hukum. Tawaran pusat menyelesaikan sengketa pilkada seperti itu dinilai Syaiful sebagai indikasi pragmatisme pemerintah pusat dan indikasi pengabaian peraturan perundang-undangan.

(23)

Kompas Jumat, 04 April 2008

For u m

M e m ilih Ca lon Pe m im p in Ja b a r

Jumat, 4 April 2008 | 16:35 WIB

Oleh Zulrizka Iskandar

Minggu Legi, 13 April, warga Jawa Barat akan melakukan pemilihan kepala daerah atau pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernurnya dari calon-calon yang diusung partai politik. Bagaimana masyarakat dapat memilih pemimpinnya dengan benar? Saat inilah masyarakat dapat melakukan fit and proper test calon pemimpin yang dapat memajukan Jabar.

Penilaian harus menggunakan kriteria obyektif dan banyak diketahui masyarakat. Para calon gubernur dan wakil gubernur merupakan orang yang dikenal masyarakat. Dengan demikian, paling tidak masyarakat mengetahui perilakunya selama calon tersebut menduduki suatu posisi.

Kriteria apa yang dapat digunakan masyarakat dalam menilai calon pemimpinnya? Perilaku memimpin dari para calon selama ia menduduki posisi sebagai pimpinan. Apakah menurut masyarakat calon yang akan kita pilih telah menunjukkan kompetensinya dalam memimpin? Kompetensi untuk memimpin suatu organisasi besar seperti Provinsi Jabar sangatlah penting. Apalagi, pemimpin yang akan dipilih adalah gubernur dan wakil gubernur yang seharusnya dapat memberikan harapan baik bagi masyarakat Jabar. Pemimpin yang akan dipilih dalam pilkada nanti memikul harapan masyarakat yang ingin sejahtera dan daerahnya maju.

Seorang pemimpin tentunya diharapkan masyarakat dapat berbuat yang terbaik untuk daerahnya. Kemampuan memimpin

Apabila kita menggunakan dasar penilaian pada tabel di atas, tampak bahwa semua calon gubernur dan wakil gubernur mempunyai kemampuan memimpin walaupun berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengalaman. Setiap calon gubernur dan wakil gubernur mempunyai pengalaman memimpin suatu organisasi. Kadar yang membedakannya adalah skala dan lingkungan yang dipimpin.

Agum Gumelar dan Iwan R Sulandjana memiliki pengalaman memimpin organisasi berskala nasional. Danny Setiawan, Nu&apos;man Abdul Hakim, dan Iwan R Sulandjana mempunyai pengalaman di Jabar. Adapun Ahmad Heryawan dan Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf) memiliki pengalaman dalam organisasi masing-masing.

Wawasan gubernur dan wakil gubernur sangatlah diperlukan. Gubernur dan wakil gubernur yang wawasannya belum memadai akan sangat sulit memajukan daerah yang dipimpin. Hal ini dapat terlihat pada daerah yang kurang maju. Apabila kita melihat pada tabel, Danny, Iwan, Agum, dan Nu&apos;man dengan pengalamannya memimpin suatu wilayah akan memiliki wawasan yang memadai sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Di sisi lain, Heryawan dan Dede perlu diuji untuk menunjukkan wawasan yang dimiliki dalam pembangunan daerah atau nasional walaupun mereka memiliki pengalaman sebagai anggota legislatif.

(24)

Integritas

Integritas diri seorang pemimpin sangat penting karena perilaku pemimpin yang kurang memiliki integritas diri tidak dapat diduga. Artinya, ia kurang dapat dipercaya pihak internal dan eksternal organisasi. Integritas para calon gubernur dan wakil gubernur adalah baik. Apabila calon gubernur dan wakil gubernur tidak memiliki integritas diri yang baik, tentunya mereka tidak akan dipercaya menduduki jabatan yang pernah dicapainya sekarang.

Gubernur dan wakil gubernur diharapkan masyarakat dapat mengubah keadaan daerahnya. Perubahan yang diharapkan masyarakat adalah perubahan yang lebih baik, yaitu masyarakat lebih sejahtera dan daerah yang dipimpin lebih maju. Untuk mengubah suatu daerah diperlukan kemampuan memimpin, ego strength yang kuat, dan wawasan yang luas.

Apabila dilihat pada calon gubernur, tampaknya mereka mampu mengubah daerah. Danny sudah diketahui kemampuan mengubahnya, seperti yang ditampilkannya saat ini. Agum memiliki kemampuan untuk mengubah daerah, misalnya ketika ia menduduki jabatan sebagai Menteri Perhubungan.

Heryawan mempunyai pengalaman organisasi, terutama dalam agama. Oleh karena itu, arah perubahan yang dilakukannya akan mendekati lingkungan agama, terutama Islam. Adapun kemampuan mengubah dari calon wakil gubernur Iwan dan Nu&apos;man telah teruji saat mereka menjabat. Akan tetapi, kemampuan mengubah dari Dede masih harus diuji.

Untuk melakukan perubahan dibutuhkan kemampuan berpikir strategis dari pemimpin. Apabila seorang pemimpin tidak memiliki kemampuan berpikir strategis, perubahan yang terjadi tidak jelas. Bahkan, sulit diharapkan ada perubahan yang signifikan.

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Heryawan dan Dede tampaknya harus diuji untuk menunjukkan kemampuan berpikir strategis. Kemampuan berpikir strategis dari calon gubernur dan wakil gubernur lain telah terbukti ketika mereka menjabat posisinya.

Berdasarkan potensi psikologis dan kompetensi yang dimiliki calon gubernur dan wakil gubernur Jabar, mereka mempunyai peluang. Para calon harus dapat membuktikannya. Tentunya calon yang dapat memenangi hati rakyat yang akan memiliki peluang paling besar.

Tunjukkan dan buktikan kepada warga Jabar calon yang jujur, dipercaya, dan memiliki komitmen untuk menyejahterakan masyarakat dan memajukan Jabar.

(25)

Kompas Jumat, 04 April 2008

KOM UN I TAS

Or a n g Ke cil " M e n ik m a t i" Ka m p a n y e Pilk a d a

Jumat, 4 April 2008 | 00:02 WIB

Rabu Sore itu, Supriadi berdiri di belakang panggung kampanye Stadion Serbaguna, Tarutung. Dia memakai hem coklat dengan kancing terbuka. Di balik bajunya dia memakai kaus putih bergambar salah satu pasangan calon.

Bersama 60 pengemudi becak motor (betor) asal Siborongborong, Tapanuli Utara, dia seakan menunggu sesuatu. Informasi yang dia tunggu tiba, ”uang minyak” akan mereka terima di tempat mangkal, bukan di lapangan kampanye.

Supriadi dan rekannya yang lain berbarengan meninggalkan lapangan.

Seharian itu para pengemudi betor yang tergabung dalam paguyuban Karya Lestari itu lepas rutinitas. Kompensasinya, mereka menerima imbalan Rp 55.000 per orang ditambah kaus. Imbalan itu cukup lumayan karena rata-rata ia mendapatkan penghasilan kotor Rp 30.000 sampai Rp 60.000. Uang senilai itu dia dapatkan dengan susah payah mengangkut penumpang.

Menghadiri undangan kampanye, bagi Supriadi berarti mendapatkan imbalan. Lebih menyegarkan, para pengemudi betor mendapat hiburan dari artis pemanis kampanye. Meski ada di arena kampanye, saat ditanya kepastian memilih siapa pada 16 April nanti, dia hanya tersenyum. Dia sebenarnya masih bingung. Salah seorang di antara mereka nyeletuk, jika tidak ada uang minyak mereka tidak akan datang di stadion itu. Jarak sejauh 26 kilometer dari Siborongborong ke Tarutung bukan berarti apa-apa jika imbalannya jelas.

Sama halnya dengan Supriadi dan kawan-kawannya, sebagian besar yang hadir di stadion itu memakai kaus bergambar salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu. Hanya sebagian kecil mereka yang ada di stadion tak memakai kaus bergambar pasangan itu.

Jamaknya sebuah kampanye, para artis pemanis acara lebih banyak menguasai panggung. Orasi politik dari calon hanya berlangsung tak lebih dari sepuluh menit.

Komunikasi dialogis terjalin justru saat para artis manggung. Mereka berani mengajak peserta kampanye joget bersama di lapangan.

Hiburan itu juga menyegarkan para penarik betor. Imbalan uang minyak dan berjoget bersama artis cantik melepaskan rutinitas mereka menarik penumpang. Undangan berikutnya mereka tunggu.

Sementara itu, Andris Simbolon, siswa kelas enam sekolah dasar, segera meletakkan keranjang berisi bungkusan brondong jagung atau istilah kerennya popcorn tak jauh dari ibunya. Ia segera berlari ke tengah lapangan bersama dengan rekan sebayanya serta puluhan pemuda lainnya. Mereka merangsek ke tengah kerumunan orang yang telah ada di tengah lapangan itu.

(26)

Andris Simbolon tak ikut menari. Ia hanya melihat dari pinggiran kerumunan, sesekali mencoba mencari celah, tampaknya ia ingin masuk lebih dalam lagi diantara kerumunan itu.

Mungkin ia ingin sekali melihat Camel Petir, pedangdut muda asal Jakarta yang siang itu memanaskan suasana Lapangan Serba Guna Tarutung, Sumatera Utara, dengan lagu Kucing Garong. Camel Petir memang bukan satu-satunya pedangdut yang hadir siang itu. Ada lagi Maya, pedangdut lokal yang juga turut diundang menyemarakkan kampanye salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.

Namun, tampaknya bukan karena kalah pamor, Maya mungkin kurang begitu lheer dibanding Camel Petir yang tiba-tiba turun panggung, dan mengajak massa kampanye berjoget di depan panggung.

Mereka yang sebelumnya bertahan duduk di podium penonton dan enggan berjoget di tengah lapangan, satu demi satu turun dan ikut berjoget bersamanya. Bahkan ketika Camel Petir kembali ke panggung, beberapa penonton ikut serta ke panggung dan berjoget lagi bersamanya. Siang itu, Camel bak ratu lebah, ia menjadi pusat arus kumparan kampanye salah satu pasangan.

Jujur saja, sejak awal memang terkesan seperti itu. Ketika penyanyi lokal mengajak berjoget, massa tetap saja tenang duduk, meski goyangan mereka di atas panggung tak kalah molek dari Camel Petir. Begitu juga ketika Syamsul Arifin dan rombongannya tiba, lima ribuan orang yang telah menunggu kurang begitu semarak menyambutnya. Mereka sempat bersorak ketika Syamsul Arifin berkeliling menyalami massa pendukungnya itu.

Namun, sorakan dan lambaian justru bertaburan ketika di belakang rombongan Syamsul Arifin itu, Camel yang rambutnya bercat warna blonde itu melintas menuju panggung. Setelah itu suasana memang menjadi lebih hangat meskipun hujan deras turun.

Tak dapat dimungkiri, kehadiran penyanyi, apa pun alirannya, adalah magma dalam sebuah kampanye. Demikian juga siang itu. Ketika panitia penyelenggara kampanye beberapa kali mengajak massa turun ke lapangan, ajakan itu tak mendapat respons.

Padahal, kalau mereka hanya duduk manis di podium penonton, sedangkan arena selebar lapangan sepak bola di depan panggung kampanye itu kosong tentu tampak kurang elok, menjadi kurang semarak. Namun, kondisi itu dapat berubah seketika ketika para penyanyi yang disewa dengan jeli melihatnya.

(27)

Kompas Jumat, 04 April 2008

Bagi tim sukses, kehadiran penyanyi-penyanyi itu tentu tidak hanya menjadi hiburan bagi massa pendukung. Mereka pun bagian dari promosi. Di beberapa spanduk undangan, ajakan untuk menghadiri kampanye pun dituliskan bahwa acara yang digelar itu akan dimeriahkan oleh beberapa artis Ibu Kota.

Kehadiran penyanyi-penyanyi itu ditempatkan juga sebagai pemikat massa. Dan memang ada sebagian massa yang datang memang pertama-tama untuk melihat penyanyi itu dan bukan sang politikus.

(28)

Pe m ilih a n Um u m

Pilk a d a Ka r a n g a n y a r d a n Kot a Te g a l 2 6 Ok t ob e r

2 0 0 8

Jumat, 4 April 2008 | 14:29 WIB

Karanganyar, Kompas - Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Karanganyar dan Kota Tegal menjadwalkan pemilihan kepala daerah di masing-masing wilayah mereka akan diselenggarakan pada 26 Oktober 2008. Meski ada Revisi Terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pilkada di kedua daerah itu tidak akan mengganggu Pemilihan Umum 2009.

"Bagi Karanganyar, Revisi Terbatas UU 32/2004 tidak mengubah jadwal sama sekali. Kami sudah mengeluarkan Keputusan KPU Karanganyar No 1/2008 tentang tahapan program dan jadwal penyelenggaran Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Karanganyar," ujar Ketua KPU Karanganyar Sutopo, Kamis (3/4).

Soal percepatan pelaksanaan pilkada agar tidak mengganggu Pemilu 2009, tidak ada persoalan karena masa jabatan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih selesai pada 15 Desember 2008. Sesuai aturan, lima bulan sebelum masa jabatan berakhir, akan ada surat pemberitahuan.

"Lima bulan sebelum habis masa jabatan bupati itu jatuhnya tanggal 15 Juli 2008. Kami menjadwalkan setelah mendapatkan surat pemberitahuan habis masa jabatan bupati berakhir, kami membuka pendaftaran calon tahap I tanggal 24-30 Juli 2008," ujarnya.

Menurut Sutopo, untuk persiapan Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Karanganyar, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar, dan sudah berkonsultasi dengan KPU baik tingkat provinsi maupun pusat.

KPU Kota Tegal juga telah menyiapkan jadwal tahapan pilkada. Ketua Divisi Pendidikan Informasi dan Kajian Pengembangan Pemilu KPU Kota Tegal, Andi Kustomo, mengatakan, tahap pertama adalah pembentukan panitia pemilihan kecamatan atau PPK. Jadwal tahapan tersebut masih mungkin berubah karena belum mempertimbangkan kemungkinan munculnya calon independen.

Menurut dia, sesuai surat edaran KPU pusat tanggal 4 Maret, pelaksanaan pilkada untuk putaran pertama paling lambat dilaksanakan pada 17 Oktober 2008. Meskipun demikian, beberapa waktu yang lalu KPU Kota Tegal telah menyusun jadwal.

Pemilihan Wali Kota Tegal dijadwalkan pada 26 Oktober, berdasarkan pertimbangan Hari Raya Idul Fitri berlangsung pada 1 dan 2 Oktober. Apabila pemungutan suara dilaksanakan pada 17 Oktober, masa kampanye akan berlangsung satu hari setelah Lebaran.

(29)

Kompas Jumat, 04 April 2008

Er a Ke t e r b u k a a n

RUU Ke t e r b u k a a n I n for m a si Pu b lik D ise t u j u i ole h

D PR

Jumat, 4 April 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah delapan tahun diusulkan, Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau RUU KIP akhirnya disetujui secara aklamasi oleh DPR dan pemerintah, Kamis (3/4). Kini pemerintah perlu segera membuat gerakan radikal untuk mengubah sikap birokrasi yang semula tertutup menjadi terbuka.

Demikian pandangan Mas Achmad Santosa, Penasihat Senior United Nation Development Programme (UNDP) untuk Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Hukum di Indonesia, mengenai disahkannya RUU KIP tersebut.

Achmad Santosa bersama Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law Wiwik Awiati yang pertama kali mengusulkan perlunya RUU ini ke DPR pada Agustus 2000.

Dengan adanya gerakan radikal, Achmad Santosa berharap UU ini nantinya bisa segera diberlakukan, tidak harus menunggu dua tahun hingga 2010, seperti tertuang di aturan peralihan. ”Pemerintah tak boleh santai, harus kerja keras, karena UU ini menuntut adanya perubahan cara berpikir dan sikap,” ungkapnya.

Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar serta dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.

RUU KIP mengharuskan semua badan publik untuk mengumumkan informasi publik secara berkala, paling sedikit enam bulan sekali; mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum; juga setiap saat menyediakan informasi publik, antara lain rencana kerja proyek, termasuk perkiraan pengeluaran tahunan, juga prosedur kerja pegawainya yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.

Paling lambat 10 hari kerja sejak diterimanya permintaan, badan publik bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis apakah informasi yang diminta itu berada di bawah penguasaannya atau tidak. Apabila informasi yang diminta itu tak berada di bawah penguasaannya, badan publik wajib memberitahukan badan publik mana yang menguasai informasi itu.

RUU ini juga mewajibkan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara untuk menyediakan informasi publik.

(30)

Pe m ilu d a n Pilk a d a

Baharuddin Aritonang

Sekiranya esensi pemilihan tidak melenceng jauh tentulah tidak akan perlu diperdebatkan apakah pemilihan umum (pemilu) harus disatukan atau tidak dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Mau digabung atau dipisah, tidak banyak masalah. Tinggal disusun untung ruginya.

Memang ketika membahas pemilu dan pilpres di PAH I BP MPR dulu ada yang berkehendak agar pemilu dan pemilihan presiden/wakil presiden digabungkan saja dengan pilkada. Pokoknya yang bernama pemilihan itu disatukan saja. Alasannya antara lain agar efisien dan rakyat tidak berulang-ulang datang ke kotak suara.

Bisalah dibayangkan bila rakyat harus ke tempat pemungutan suara berulang-ulang. Pertama, ketika memilih presiden/wakil presiden, kemudian memilih wakil-wakilnya di tingkat nasional, yakni anggota DPR dan anggota DPD maupun wakil-wakilnya di daerah, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian lain lagi pilkada, mulai dari gubernur sampai bupati atau wali kota. Wah, betapa capai dan tidak efisiennya.

Tapi, sesungguhnya tidak hanya pandangan begitu saja yang berkembang. Sebagaimana juga bermacam-macam fraksi, bahkan ketika itu masih ada Utusan Daerah dan Utusan Golongan, tentu pendapatnya berbeda-beda. Tidak sedikit yang berpandangan, bahwa ada yang dapat digabung, seperti yang sudah kita lakukan, tapi ada pula yang perlu dipisah. Untuk memilih wakil-wakil rakyat memang dapat digabung antara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pemilihan presiden/wakil presiden dibuat tersendiri. Untuk menggabung pemilu (pemilihan DPR, DPD, dan DPRD) dengan pilpres saja dulu dipersoalkan. Bisa-bisa rakyat bingung, berapa kotak yang harus dipisahkan. Pertama kotak pilpres, kemudian kotak DPD, kotak DPR, kotak DPRD provinsi, dan kotak DPRD kabupaten/kota.

Yang jadi masalah tampaknya pilkada, yakni gubernur, bupati, dan wali kota. Pilkada untuk gubernur 33 sedang bupati dan wali kota lebih dari 470 (angkanya pun berubah-ubah, karena pemerintah dan DPR masih melahirkan daerah-daerah baru). Artinya, lebih dari 500 pilkada yang harus diselenggarakan di Tanah Air. Apakah ini bisa digabung dengan pilpres atau pemilu (dalam arti memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD)? Adakah semata kita memandangnya dari sudut efisiensi? Dan apakah efisiensi hanya dapat dilakukan melalui penggabungan?

(31)

Suara Pembaruan Jumat, 04 April 2008

Makna Diluruskan

Kalau saya ditanya, sesungguhnya lebih cenderung seperti yang sekarang ini. Cuma makna pemilihan itu sendiri memang perlu kembali diluruskan. Karena dari sudut pandang saya, esensi pemilihan, dalam skala dan di mana pun diterapkan, sudah berkembang menjadi arena "dagang". Bagi sebagian orang jadi pemimpin (formal) pun acapkali sudah diartikan sebagai dagang. Kalau saya memimpin, apa yang saya dapatkan (terutama dari segi materi). Sebaliknya, untuk menjadi pemimpin pun dibutuhkan sejumlah besar modal yang kelak akan dikembalikan lagi. Kalau modal saya 10, maka setidaknya saya dapatkan 30 selama lima tahun. Biar untung 20. Akibatnya, sang pemimpin (alias pejabat) berubah menjadi pedagang .

Sesungguhnya bukan hanya elite yang terjangkit "penyakit" ini, tapi juga rakyat, para pemilih. Oke, saya akan pilih Anda, tapi apa yang dapat Anda berikan kepada saya? Hasil yang didapat pun sesaat dan langsung. Bentuknya tidak lain dari materi. Bukan sebaliknya, keberhasilan kepemimpinan itu ditunjukkan dalam bentuk pelayanan umum, di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, maupun jasa-jasa sosial. Artinya mennyejahterakan rakyat.

Rasanya keadaan seperti ini sudah menggejala di semua aspek kehidupan. Tak susah kita temukan dan nilainya cenderung membesar. Dalam sebuah pemilihan bupati yang saya amati, perputaran uang tidak kurang dari Rp 50 miliar. Cara mengukurnya begini. Satu pasangan calon menghabiskan tidak kurang dari Rp 10 miliar. Padahal, pada pemilihan itu tampil lima pasangan calon. Artinya oleh para calon dihabiskan tidak kurang dari Rp 50 miliar. Padahal, APBD yang digunakan untuk pilkada "hanya" Rp 3 miliar. Dengan sendirinya yang dapat diaudit hanyalah yang Rp 3 miliar. Sedangkan, belanja para calon yang Rp 50 miliar tidak bisa diaudit, karena memang itu bukan area audit (pemeriksaan) BPK.

Nah, Anda bisa bayangkan jika kabupaten di Indonesia sekitar 470. Artinya, dengan rata-rata biaya pilkada Rp 50 miliar maka setidaknya dibelanjakan Rp 23,5 triliun. Kalau dana ini dialihkan untuk kebutuhan rakyat betapa banyak yang dapat dilakukan. Belum lagi bicara pemilihan gubernur.

Seorang tokoh partai memberikan ancar-ancar, setidaknya dibutuhkan modal awal tidak kurang dari Rp 40 miliar. Wajar saja jika pasangan bupati di atas saja menghabiskan Rp 10 miliar. Untuk gubernur, menurut saya malah jauh di atas Rp 40 miliar. Setidaknya di daerah yang kaya. Kalau terdapat tiga pasangan calon, maka setidaknya membelanjakan Rp 120 miliar. Bagaimana untuk 33 provinsi? Tinggal Anda hitung sendiri.

Uang Pengganti

Yang paling repot adalah untuk menjawab pertanyaan, dari mana uang pengganti yang dibelanjakan itu? Tak heran bila banyak dana perimbangan, dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU), atau dana-dana lainnya, menyimpang. Akibatnya pelayanan publik terabaikan, dana kita habiskan untuk keperluan "politik".

(32)

Kalau ingin menghemat yang lain, lihat saja dalam manajemen pemilu. Mungkinkah tugas KPU dan KPUD itu temporer dan gajinya dibayar tatkala melaksanakan pemilihan saja. Bukankah belanja modal yang pernah kita keluarkan (untuk membeli mobil, peralatan, termasuk komputer dan sistem IT, kotak suara, dan sebagainya) tidak perlu dianggarkan lagi karena memang masih terpelihara? Mungkin juga kita mulai dari perangkat peraturan perundang-undangan yang tidak selalu berubah-ubah. Setiap perubahan niscaya membutuhkan dana dan berbagai penghematan lainnya.

Tapi, semua ini tentulah sebatas pemikiran saya saja. Mungkin saja bisa dilakukan studi yang lebih komprehensif dengan melibatkan mereka yang sudah berpengalaman menyelenggarakan pemilihan, baik pemilu, pilpres, maupun pilkada, serta unsur perguruan tinggi untuk melahirkan suatu naskah akademis yang lebih lanjut dibahas DPR.

(33)

Suara Pembaruan Jumat, 04 April 2008

Tid a k Ad a I n st r u m e n H u k u m Tu n d a Pilk a d a

[JAKARTA] Meski revisi terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah disahkan DPR, namun untuk mengakomodasi calon perseorangan dalam tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) seharusnya diserap di daerah-daerah yang belum memasuki tahapan penetapan pasangan calon. Jika calon sudah ditetapkan, apalagi sudah berlangsung kampanye maka tidak akan diundur hanya untuk mengakomodir calon perseorangan ikut dalam pilkada. Selain anggaran pilkada akan membengkak, saat ini juga sudah mulai memasuki persiapan Pemilu 2009.

"Jadi akan membuat kerepotan kalau pilkada yang sedang berjalan diundur untuk mengakomodasi calon perseorangan," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampow, di Jakarta saat dihubungi SP, Jumat (4/4).

Dikatakan, dalam revisi terbatas tersebut yang diatur adalah tahapan pilkada yang belum memasuki pencalonan, sedangkan yang sedang berkampanye tidak mungkin ditunda atau dihentikan karena tidak ada instrumen hukum yang mengaturnya. Penundaan hanya terjadi jika ada bencana alam.

Dia menegaskan, bagi daerah yang belum menetapkan pasangan calon dan belum memasuki tahapan kampanye, maka calon perseorangan dapat diakomodasi. Desakan agar calon perseorangan masuk dalam tahapan pilkada sudah bermunculan dari daerah-daerah, seperti di Bali yang akan berlangsung 28 Agustus 2008.

"Untuk Sumatera Utara atau Jawa Barat yang sudah memasuki masa kampanye, tidak mungkin ditunda. Di Jawa Timur sudah ada yang akan mendaftarkan namanya sebagai peserta calon perseorangan," kata dia.

Untuk itu, Jeirry mengingatkan pemerintah segera menandatangani revisi terbatas UU 32/2004 itu agar Komisi Pemilihan Umum menyusun peraturan teknis dan hal-hal yang terkait dengan calon perseorangan.

"Jika sudah tandatangani pekan depan, berarti calon perseorangan yang dapat diakomodasi pada bulan Juni yaitu di daerah yang belum memasuki tahapan pencalonan seperti di NTT dan Jawa Tengah. Tapi kalau ditandatangani bulan depan berarti baru bisa diterapkan pada pilkada Juli," kata mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Ini (GMKI) ini.

Belum Dibuat

Sementara itu, anggota KPU, Abdul Aziz, di tempat terpisah mengatakan KPU belum membuat peraturan tentang calon perseorangan karena revisi UU itu belum ditandatangani presiden. Sejauh ini, KPU baru menyusun sembilan peraturan KPU terkait tahapan pemilu.

"Tapi dalam waktu dekat pasti (disusun, Red). Bentuknya nanti tergantung undang-undang," kata Aziz.

Bagi KPU, tidak ada masalah untuk mengakomodir calon perseorangan dalam pilkada, tetapi harus terkait dengan aturan yang lain.

Aziz juga secara khusus menegaskan perlunya perubahan peraturan, jadwal dan proses verifikasi. Selain itu, anggaran pilkada juga sudah diketok DPRD setempat dan baru akan direvisi pada Oktober mendatang.

(34)

Tujuh kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada pada Oktober dan November 2008 adalah Deli Serdang, Tapanuli Utara, Dairi, Langkat, Batubara, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara.

(35)

Jurnal Nasional Sabtu, 04 April 2008

Legislatif Jakarta | Sabtu, 05 Apr 2008

D e m ok r a si H a r u s Be r e t ik a

by : Abdul Razak

ETIKA dan moral hendaknya menjadi bagian untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang akan datang. Perlu ada etika dalam berdemokrasi. Etika berdemokrasi harus ditingkatkan dalam penyelenggaraan pemilu, pemilihan kepala daerah (pilkada), serta pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres).

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah Basri Bermanda saat jumpa pers di Jakarta, Jum'at (4/4), jelang peringatan hari lahir atau milad ke-80 organisasi Islam (ormas) yang berdiri 5 Mei 1928 tersebut. "Kami melihat, pilpres dan pilkada kurang bermoral dan beretika. Maka khusus pilkada kerap diakhiri dengan anarkisme. Mestinya, masyarakat harus siap menang dan siap kalah," ujarnya.

Basri menjelaskan, Tarbiyah Islamiyah merupakan ormas Islam yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945, ormas ini sempat menjadi partai politik. Namun, sejak 1969 kembali ke khittah-nya dan berkonsentrasi pada bidang pendidikan.

(36)

Pilkada

Sosia lisa si Pilg u b Ja b a r Be lu m M a k sim a l

Sabtu, 5 April 2008 | 01:10 WIB

Bandung, Kompas - Sosialisasi pemilihan gubernur Jawa Barat dinilai belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Karena itu, tingkat partisipasi masyarakat diperkirakan tidak akan lebih dari 60 persen dari 27,9 juta pemilih tetap.

Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jabar Yusuf Kurnia di Bandung, Jumat (4/4), mengatakan, sosialisasi pemilihan gubernur (pilgub) yang sangat terbatas itu tidak hanya di pedesaan, tetapi juga di kawasan perkotaan.

”Pengetahuan sebagian pemilih masih terbatas soal jadwal pencoblosan, tetapi belum memahami visi dan misi para calon gubernur dan wakil gubernur. Apalagi, porsi waktu pemaparan program pasangan calon saat kampanye pun lebih singkat dibanding hiburan,” kata Yusuf.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar Ferry Kurnia Rizkiansyah mengakui, sosialisasi pilgub kurang optimal sebab waktunya sangat terbatas. Sosialisasi hanya dilakukan selama dua bulan, yaitu Februari hingga Maret 2008. Meski demikian, dari segi target, hal itu sudah tercapai.

Artinya, aktivitas sudah dilakukan pada semua media mulai dari poster, baliho, spanduk, hingga radio, televisi dan surat kabar. Selain itu, KPU Jabar juga berkoordinasi dengan kelompok masyarakat sipil, seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat. ”Saya pikir upaya yang dilakukan sudah optimal. Kalau banyak yang menilai tidak maksimal, saya tekankan, sosialisasi tidak hanya tugas KPU,” kata Ferry.

Pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota, partai politik, serta tokoh masyarakat dan agama, lanjutnya, juga perlu melakukan sosialisasi. Ferry mengatakan, pihaknya sudah meminta Majelis Ulama Indonesia Jabar agar menyebarkan informasi tentang pilgub.

Hasil investigasi

JPPR menyebar lebih dari 2.000 pemantau di seluruh wilayah Jabar sejak Maret lalu. ”Sejumlah titik sudah dievaluasi dan kesimpulannya, kami memandang sosialisasi masih sangat terbatas,” ujarnya.

KPU Jabar dan kabupaten/kota merupakan penanggung jawab utama sosialisasi. Namun, perangkat dan anggaran mereka terbatas sehingga hal itu bukan seluruhnya kesalahan KPU.

(37)

Kompas Sabtu, 04 April 2008

LEGISLASI

RUU Ra h a sia N e g a r a Ja n g a n Re d u k si UU KI P

Sabtu, 5 April 2008 | 01:12 WIB

Jakarta, Kompas - Pengesahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP oleh rapat paripurna DPR, Kamis lalu, dinilai belum bisa dikatakan menggembirakan lantaran belum memenuhi tuntutan atau mencerminkan keinginan masyarakat atas keterbukaan informasi demi kepentingan publik.

Berbagai kalangan elemen masyarakat sipil diminta berhati-hati dan terus memantau secara saksama pengajuan dan pembahasan draf Rancangan Undang- Undang Rahasia Negara, yang sebelumnya disepakati pemerintah dan DPR untuk ditunda menunggu disahkannya UU KIP.

Pernyataan itu disampaikan peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti, Jumat (4/4), saat dihubungi per telepon. Menurut Ikrar, baik secara substansi maupun redaksional, UU KIP yang telah disahkan sekarang sudah banyak berubah dari draf yang sebelumnya diajukan.

”Kalau mendengar pernyataan Menkominfo Mohammad Nuh di DPR kemarin, saya kira masyarakat tidak bisa berharap terlalu banyak. Apalagi penekanannya lebih ke keterbukaan anggaran, belum terkait kegiatan atau kebijakan berbagai institusi negara, yang, misalnya, dianggap melanggar HAM atau penyalahgunaan kewenangan,” ujar Ikrar.

Walau meyakini dan membenarkan tidak semua informasi bisa dibuka secara ”telanjang”, Ikrar tetap mengaku khawatir pemerintah memanfaatkan RUU Rahasia Negara sebagai salah satu cara untuk kembali ”mementahkan” kemajuan yang telah dicapai dalam UU KIP.

Dihubungi di tempat terpisah, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, mengingatkan pemerintah, RUU Rahasia Negara harus menjadikan UU KIP sebagai acuan atau rujukan utama.

(38)

Ba n y a k Pa r p ol Ba k a l Gu g u r

[JAKARTA] Meski pencanangan tahapan Pemilu 2009 mulai digelar hari ini, namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai belum siap melaksanakan tahapan tersebut. Pasalnya, peraturan KPU hingga saat ini belum disosialisasikan ke parpol, masyarakat, serta KPU provinsi dan kabupaten/kota.

Selain itu, KPU diharapkan menerapkan aturan yang ketat sesuai undang-undang dalam memverifikasi partai politik (parpol). Dengan penerapan aturan yang ketat, akan ada banyak partai yang gugur dalam proses verifikasi di KPU.

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay saat dihubungi SP, Sabtu (5/4), berkaitan dengan pemberian status badan hukum kepada 24 parpol oleh Departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Hingga saat ini tercatat 74 parpol telah memiliki badan hukum.

"Kalau KPU menerapkan peraturan secara ketat, maka akan banyak partai yang gugur," tegasnya.

(39)

Suara Pembaruan Sabtu, 04 April 2008

Dikatakan, maksimal 74 parpol yang akan mendaftarkan diri ke KPU. Dari jumlah itu, 16 partai sudah pasti sebagai peserta pemilu dan hanya cukup mendaftar untuk menda

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

sumber dana yang tersimpan dari masyarakat terpakai dalam pemakaian kredit. Jika dalam penyalurannya, kredit yang diberikan melebihi

Dalam prosedur ini, pemohon kredit atau calon debitur harus memenuhisegala persyaratan yang telah ditentukan agar permohonan kreditnya dapatdiproses.. Persyaratan yang

perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian

[r]

bahwa dengan terbentuknya Kota Pariaman sebagai daerah otonom berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Provinsi Sumatera Barat, maka Ibu

Peraturan Pemerintah ini merupakan pengganti terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak Keluar

Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang merupakan bentuk emulsi minyak dalam air (Manullang dan Elingsari, 1994). Penelitian ini mencakup pembuatan nugget

Die Festlegungen dieses Dokuments gelten für alle Aufträge des Auftraggebers, welche die Ausführung von Leistungen durch Dritte für die BASF Schwarzheide GmbH betreffen und finden,