• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01369

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01369"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN

DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN

Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum1

Abstrak

Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran bahwa hukum modern mereduksi kenyataan social. Hukum aspiratif memberikan pertimbangan terbuka terhadap hokum. Hukum berbasis pada perpaduan antara legalitas dan moralitas dalam keadilan substansial, dan membebaskan cara berpikir positivistis legisme menuju hukum yang sesuai dengan habitus tuntutan sosial masyarakat. Hukum berparadigma kerakyatan memiliki karakter yang menuntut tidak adanya kesenjangan antara hukum dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam

masyarakat, termasuk acces to justice sebagaimana ide hukum responsive, critical legal studies,

hukum progresif. Interpretasi juridis tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan

juga terhadap kenyataan kemasyarakatan, oleh karenanya paradigma kerakyatan menjadi penting.

PENDAHULUAN

Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi „conflct of interest‟ karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas.

Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi

tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pendekatan „rechtsdogmatic‟ yang berkutat pada

rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana

1

(2)

karakter hukum modern, dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dan pembangunan senyatanya.

Pandangan positivisme ini menjadikan keluaran keadilan yang dituju adalah keadilan prosedural, sebagaimana acuan pada model hukum otonom dari Nonet dan Selznick yang sangat

menekankan pada formalitas demi integritas institusi.2

Pemahaman hukum secara komprehensif, menuntut pada saat pembentukan undang-undang bahkan penegakan hukum itu sendiri terlebih dahulu mengadakan suatu refleksi terhadap interaksi hukum pada akar-akar sosial, politik, budaya, ekonomi, dan bukan hanya dari

sistem hukum serta peraturan-peraturannya sebagai kajian closed system. Hal ini berhubungan

dengan kenyataan-kenyataan masyarakat, yang harus mampu dijabarkan dalam hukum ketika menjadi suatu sumber-sumber formal yang mengadobsi sumber hukum material. Oleh karena itu, perspektif resmi yang dipakai oleh lembaga hukum yang berperan dalam pembentukan dan penegakan hukum, akan selalu mendapatkan evaluasi dalam kemampuannya menjawab kebutuhan masyarakat.

Selaras dengan pendapat Blau and Meyer bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan yang

sangat besar untuk mengatur masyarakat3 Aparat kontrol sosial memiliki monopoli kekuasaan

atau otoritas untuk berhadapan dengan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat pencari keadilan

acapkali diposisikan sebagai pihak yang menduduki „ketakberdayaan masyarakat‟ .Karakter

paradigma civil (civilian paradigm) masih kurang menjadi bagian dari akuntabilitas penegakan

hukum.

2

Dalam hukum otonom dari Nonet dan Selznick, prosedur adalah jantung hukum, keteraturan dan keadilan (fairness) dan bukannya keadilan substantif meupakan tujuan utama tertib hukum. Pada cara hukum otonom seperti birokrasi modern , mendorong suatu pandangan yang bersifat sempit mengenai kewajiban aparat, dan lembaga hukum menafsirkan kekuasaannya secara sempit menjauhkan diri dari isu –isu kebijakan, bersembunyi dibalik netralitas dan menghindari inisiatif. Philippe Nonet, dan Philip Selznick , Law and Society In Transition, Harper and Row, London, 1978.

3

(3)

Tuntutan akan Paradigma Kerakyatan

Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, termasuk hakikat hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada

keluwesan. 4 Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual

(rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.5.

Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana hukum itu sendiri. Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses resiprositas dengan masyarakat merupakan respon birokrasi atau individu di dalamnya dalam menghadapi kemampatan formalitas prosedur organisasi yang kaku dan upaya penegak hukum untuk menigkatkan dan menarik keuntungan dari masyarakat serta menekan hambatan-hambatannya.

4

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 83-84. Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama keadilan. Kelamahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif dari suatu kodrat .faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma , atau hukum, moral tidak lagi dipahami sebagai hukum kodrat melainkan menurut paham etika pada umunya. lihat Ibid, hal. 95,98-99. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan-peraturan yang ada serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain . Mengutip dari Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.19-20

5

(4)

Kecenderungan penegakan hukum meringankan golongan masyarakat yang berkekuasaan dan menekan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma masyarakat terhadap bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif.

Mengkaji mengenai tuntutan akan paradigm kerakyatan dalam berhukum, maka hal ini

sangat terkait dengan akses keadilan/acces to justice dari masyarakat untuk diakomodasi oleh

lembaga dan pranata hukum Dalam tulisan ini, tidak hanya dibatasi pada akses keadilan dalam

sistem peradilan pidana, namun secara umum akses keadilan atau acces to justice dari

masyarakat terhadap birokrasi penegak hukum baik pidana, perdata, bahkan birokrasi eksekutif..

Sikap secretive dan self devence dari birokrasi/lembaga hukum masih dialami publik

untuk mengakses keadilan. Adapun sikap yang tertutup dari birokrasi ini tercermin dari sikap

yang tidak berkooperatif, tidak mengemukakan secara jelas/clearly defined scope of

responsibility.

The resistance phenomena masih muncul manakala penegak hukum memandang bahwa komplain dari masyarakat mengenai tugas Penegak hukum merupakan intervensi

terhadap birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu terjadilah mistrustful of the attempt to

orchestrate change from outside. Kemampuan dan kemauan penegak hukum untuk merespon

komplain juga menjadi kunci penting. Institusi penegak hukum masih extremely formalistic,

dan masih berpedoman pada keadilan prosedur semata.

Dalam kenyatannya wajah hukum dimasyarakat ditandai oleh tuduhan yaitu diskriminatif, arogan, sewenang-wenang, tertutup dalam pengkonstruksian pengambilan keputusan, tertutup terhadap aspek pengawasan publik, tidak profesional, tidak mempedomani ketentuan normatif yang menjunjung hak asasi, serta hanya memberikan informasi prosedural. Oleh karena itu,wajah hukum di mata masyarakat dalam era demokrasi ini tidalah memiliki wajah „manusia /”human face”, melainkan menjadi sekedar mesin atau robot.

Penggalian akan pemaknaan paradigma kerakyatan, adalah manakala terkukuhkan

adanya acces to justice dari para pencari keadilan yang notabene memiliki ketidakberdayaan.

Paradigma ini berarti berseberangan dengan Positivisme yuridis dari karakter hukum modern

(5)

hukum. Melalui ‟learning from the bottom up view‟s of law”, acces to justice dari kebutuhan hukum dari masyarakat pencari keadilan dapat mendukung akuntabilitas hukum.

Adrian Bedner mengutip UNDP : acces to justice is the ability of the people to seek and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice, and in conformity with human rights standards. Acces to justice exists if : people , notably poor and isadvantage, suffering from injustices, have the ability, to make their grievances be listened to, by state or non state institutions, leading to redress of those injustice, on the basis of rules or principle of state law, religious law or customary law, in accordance with the rule of law. 6

Dalam acces to justice membutuhkan „accessibility‟ maupun „intelligibility„, sehingga

acces to justice membutuhkan suatu “open justification‟,7 pada taraf proses dari justifikasi. Informasi yang disampaikan juga harus memiliki akses keadilan ”to achieve better substantive outcomes8. Oleh karena itu, paradigma kerakyatan memberikan adanya suatu partisipasi publik, pengawasan publik yang mengegaliterkan suatu kekuasaan, supaya lebih dirasa populis dan humanis. Hal ini berarti memberikan suatu ruang publik untuk memperjuangkan hak-hak subatansial mereka.

Publik isu yang dilontarkan masyarakat berkaitan dengan akuntabilitas penegakan hukum memiliki tipikal untuk mengekaplorasikan problem hukum dan membuat rekomendasi untuk perubahan kebijakan dan prosedur. Nilai dari pengawasan yang dilakukan melalui pandangan publik ini dalam kapasitas untuk mengawal investigasi publik. Aspek laporan masyarakat ini menyediakan „valuable information” mengenai pentingnya perubahan kebijakan birokrasional. Sebenarnya penegsk hukum dan masyarakat melalui LSM maupun media dapat

melakukan share the common goal of serving the public.

Persoalan akan terpolarisasi dalam dua kutub yaitu antara keterikatan dengan formalitas

dan kewajiban mengemban „moral code‟ atau formality di satu pihak dan acces to justice untuk

6

Adriaan Bedner, Jacqueline Vel, Rolax, An analytical Frame work for Empirical Research on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made Training Program : Training on Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland. p.3-5.

7

Fred D.Agostino, Free Public Reason, Making it up as we go, New York : Oxford University Press, New York, 1996,p. 58-60.

8

(6)

menunjukkan equity , accountability di lain pihak.

Menilik dari kesalahan positivisme sebagaimana karakter hukum modern, menurut Scholten adalah bahwa positivisme sebagai material hanya melihat undang-undang,peraturan-peraturan dan melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif terdapat hukum sebagai bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam

kebersamaan.9

Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan secara kaku dan tertutup, tanpa melihat

keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom,10merupakan suatu

tertib hukum yang mendukung „model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial, resistensi Penegak hukum terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat maupun pemerhati hukum lainnya. Sehingga birokrasi penegak hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural.

Hukum Berparadigma Kerakyatan

Peraturan hukum itu memuat keinginan dan cita-cita para pembuatnya mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh warga negara dan apa yang dituntut hukum dari warga negara. Dalam kajian ini berarti bah wa dalam substansi pembuatan perundang-undanngan diharapkan melindungi kepentingan hukum masyarakat dan memuat nilai-nilai moral yang diharapkan dalam masyarakat tersebut. Penulis berpendapat bahwa kehidupan hukum sudah selayaknya merupakan suatu ekspresi nilai-nilai yang dihayati oeh anggota masyarakat untuk lebih menggambarkan

suatu „social nature‟ dari hukum .

Sebagai contoh misalnya, dari sisi korban, jalur peradilan pidana lebih dirasa memberatkan dan kurang memuaskan rasa keadilan baik secara psikis maupun materiil Oleh

9

Paul Scholten, Op.cit, hal. 18. 10

(7)

karena itu, perlu digali dan dikembangkan upaya-upaya hukum adat yang mampu

menyelesaikan sengketa-sengketa melalui prosedur perdamaian (conciliation procedures).

Demikian pula dalam suatu upaya penyelesaian atau pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam contoh yang lain, misalnya dalam suatu kebijakan pemerintah untuk penaggulangan kemiskinan, maka memahami kebutuhan yang riil dalam masyarakat akan menjadikan kebijakan tersebut tepat dan mengena bagi masyarakat. Menyelami kebutuhan social

masyarakat akan membawa suatu kebijakan hukum menjadi kebijakan yang tidak kehilangan

korelasi atau kontak dengan kehidupan social yang sesungguhnya dalam masyarakat.

Edmond Cahn menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi

pihak-pihak yang harus dilindungi hukum yang disebut dengan ‟konsumen hukum‟ dalam hal

ini masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat diperlukan. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen-konsumen paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan akan menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara bekerja sebagaimana dikemukakan oleh Cohn yakni :

1. Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari

setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.

2. Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari

manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita , dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya.

3. Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan

efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar kepada kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.

4. Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahi hukum memakai

(8)

statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan. Dalam kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus tertentu sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah suatu sistem

apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh. 11

Teori yang lain yang membidik pentingnya paradigm kerakyatan dalam berhukum adalah konsep hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum „tercerai berai dari kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan

sendiri. 12 Untuk lebih mengkaji hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick , yaitu „repressive law, autonomus law, dan responsive law‟ dalam bukunya „Law and Society in Transition.13

Hukum represif seringkali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban, dengan kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan kebutuhan dan perspektif mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini adalah demi kepentingan negara sendiri. Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya

hukum otonom yang menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan

prosedural. Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial. Model kekuasaan berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada otoritas dari pada kritik atas otoritas.

Dalam perkembangannya timbul kritik terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik terhadap kekakuan legislatif yang asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum

11

Edmond Cahn, Hukum Dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani. Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 144,152-154. Hukum dalam perspektif ini diperhadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan sebagai cara memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang kekuasaan.

12

Ibid, hal. 158. 13

(9)

responsif menekankan pada kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan

substantif sebagai jaminan bagi perlakuan adil.14

Apabila disejajarkan, maka hukum modern lekat dengan paradigma legalisme liberal (liberal legalism) yang menempatkan tujuan keadilan dicapai melalui prosedur dan memiliki karakter pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban dalam frame hukum otonom.

Dalam perspektif Hukum Responsif sebagaimana disampaikan oleh Nonet dan Selznick bahwa dalam hukum perlu responsivitas dengan menjadi sistem yang terbuka, mendorong partisipasi. Namun demikian, Nonet dan Selznick juga mengungkapkan adanya kelemahan dari suatu partisipasi publik yakni dengan konsep hukum resiko tinggi dan resiko rendah yang muncul karena ketegangan antara dua pendekatan yaitu kebebasan dan kontrol sosial.

Pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban, menekankan betapa besar sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas. Hukum dilihat sebagai resep vital untuk tertib sosial, dan penghormatan yang tinggi kepada otoritas. Perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan yang ada pada agen-agen hukum yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan. Pada pandangan risiko tinggi tentang hukum dan ketertiban dikemukakan bahwa hukum dinilai sebagai sumber kritik dan sebagai instrumen untuk perubahan, terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana pihak pihak yang diperintah memaknai hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral mereka.

Untuk menjadi responsif, sistem perlu terbuka terhadap dalam banyak hal dan mendorong partisipasi. Terhadap kedua resiko hukum tersebut dikemukakan kelemahannya oleh Nonet dan Selznick. Pada pandangan risiko rendah tentang hukum, karena relatif tidak responsif, bisa mendorong penolakan kepada hukum dan mendatangkan krisis dan kekacauan dengan ditutupnya saluran untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan perubahan. Pada perspektif

14

(10)

risiko tinggi, bisa mengundang lebih banyak kesulitan daripada apa yang diperjuangkan, bisa memunculkan kelemahan dan kebimbangan ketika berhadapan dengan tekanan, dan terlalu

banyak memberi kepada minoritas aktivis.15

Dari sudut hukum responsif, dilibatkannya konstituen baru menambah energi untuk kinerja institusi-institusi hukum. Perluasan partisipasi hukum dari masyarakat pencari keadilan, juga berarti mengambangkan nilai demokratik dari tatanan hukum, dan juga mampu memberi kontribusi kepada kompentensi institusi-institusi hukum.

Hal menarik dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang diperjuangkan dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik namun dalam pemikiran „inwoord looking„ dari rasa keadilan masyarakat, yang berarti menjadi inti dari paradigma kerakyatan dalam berhukum. Rasa keadilan masyarakat adalah suatu keadilan yang tentu dalam wajah keadilan substansial dan bukan pragmatis yang sebenarnya memiliki muatan kepentingan latent yang justru melukai keadilan itu sendiri.

Memang, sisi positif dari tuntutan publik akan hukum yang berparadigma kerakyatan memiliki sisi negatif, namun terkait dengan sumber daya yang menjadikan hukum yang terbuka menjadi beresiko tinggi, maka kekhawatiran bahwa opini publik yang dibawa dalam tuntutan tersebut mungkin atau bisa saja sebenarnya memiliki kepentingan latent dari sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan hukum. Inilah yang berarti hukum diposisikan sebagai sesuatu yang dinamis menterjemahkan apa hukum yang berkeadilan substansial demi keberpihakan pada rakyat tersebut. Dalam mana terjadi suatu selektivitas kebijakan pula, dan keterelatifan dari suatu ‟ legitimasi ‟ publik yang harus diseleksi pula dan ini juga berada dalam suatu lapangan penafsiran hukum.

Critical Legal Studies yang dianut dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa

hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi. Melalui karakter critical legal

studies, pemenuhan nilai –nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal

studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap menuju pada suatu perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam

15

(11)

hukum. Bonaventura De Sausa Santos 16 mengungkapkan suatu gagasan baru yang mendobrak gagasan lama yang bersifat individual, liberal, kapitalistik .

Unger menyatakan dalam teori hukum kritisnya bahwa tatanan hukum sebagai sistem formalitas menghadapi dua masalah besar yang mendominasi hukum modern. Pertama adalah perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi buta, keadilan yang zalim, yang kedua adalah upaya untuk menciptakan perdamaian antara legalitas dan moralitas dengan menolak ekstrem-ekstrem individualisme dan kolektivisme serta

menyediakan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas. 17

Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer 18 , dapat digambarkan adanya suatu

fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora.

Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma

yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya

dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah

hukum yang bersangkutan.

Diskrepancy antara pemegang otoritas hukum dan pencari keadilan, menandakan bahwa

kepekaaan birokrasi hukum untuk memaknai „public face of justice‟ masih lemah, sehingga

wajar apabila masyarakat kurang mempercayai bekerjanya hukum. Judicial corruption

menandakan ketidakpekaan lembaga hukum untuk lebih berkeadilan. Dialektis menjadi tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum tanpa keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya.. Masyarakat pencari keadilan juga selayaknya mengacu pada cita hukum bersama yakni nilai keadilan substansial.

16

Bonaventura de Sausa Santos “ Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, Routledge, London, 1995, P.8-9 The collapse of emancipation into regulation

17

Roberto Mangabeira Unger, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Nusa media, Bandung, 2007, hal. 275.

18

(12)

Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya ternyata dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam pengambilan kebijakan.

Pada sisi masyarakat, kepentingan yang diperjuangkan pada satu sisi, hendaknya juga perlu melihat pertimbangan lain. Hak asasi manusia yang dibawa, diperhadapkan juga pada hak asasi masyarakat, dan hak-hak lainnya dalam jagad ketertiban. Untuk itu pertimbangan moral yang mencakup keadilan substansial akan menjadi pertimbangan yang harus dielaborasi dari sisi masyarakat.

Pencapaian akuntabilitas hukum yang berpihak pada masyarakat selama ini ternyata

masih samar dan belum optimal , karena nilai kejujuran terutama yang diharapkan masyarakat belum sepenuhnya dilakukan. Pemaknaan hukum yang berparadigma kerakyatan berarti juga wujud kejujuran sistem hukum yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif, dan diharapkan masyarakat. Birokrasi hukum memiliki nilai demokrasi dan keterbukaan dengan membuka dialog dan emansipasi masyarakat. Pada sisi lain, Selektivitas atas pengambilan keputusan hukum merupakan selera yang diakui bersama baik masyarakat pencari keadilan maupun sistem hukum itu sendiri guna keadilan substansial.

Pemikiran tersebut di atas, ini selaras dengan pemaparan Satjipto Rahardjo dalam hukum progresif yang menolak pandangan bahwa hukum merupakan institusi yang otonom, secluded, isolated dan isoteric. Dikemukakan Satjipto pula :

(13)

keduanya saling bersilangan. Apa yang dikerjakan oleh hukum itu menusuk dan mengiris

ke dalam daging realitas, baik sosial, organisme maupun kehidupan lingkungan.19

Berdasar kajian teoretik di atas, jelaslah tekanan sosial dari masyarakat pencari keadilan merupakan sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi kewibawaan hukum modern itu sendiri. Untuk itu tujuan keadilan substansial harus menjadi panduan, dan bukannya keadilan prosedural. Tujuan ini, menjadi pedoman untuk mengurangi kekakuan, secretif, oportunisme, positivistik dan mekanistik birokrasi ataupun sistem hukum yang ada, di samping juga mengurangi resiko terjadinya kegagalan dalam penegakan hukum yang terarah pada nilai-nilai keadilan. Inilah juga maksud dari paradigma kerakyatan dalam berhukum.

Penutup

Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses–proses sosial pengaturan atau

pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman manusia.

Perlunya suatu pendobrakan terhadap pembelajaran hukum yang selama ini lebih berorientasikan kepada paradigma liberal positivistik dalam hukum modern, sehingga hanya mengandalkan rasio /nalar sebagai pembenar. Dimensi di luar rasionalitas yang mengembangkan kecerdasan di luar kecerdasan rasionalitas merupakan suatu angin segar yang akan membawa peru bahan pada cara berhukum untuk lebih mendekatkan hukum pada habitusnya yakni rakyat demi keadilan substansial dengan hukum yang berparadigma kerakyatan.

Peraturan dan prosedur rasional birokratis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras dengan watak manusia, dan bisa mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum. Untuk membangun hukum yang mampu menjawab kenyataan sosial adalah hukum yang mampu belajar

19

(14)

dari kenyataan sosial itu, melalui cara pandang paradigma keraktaran yang bertolak bahwa habitus hukum adalah rakyat, dengan tetap bertujuan pada keadilan substansial.

DAFTAR PUSTAKA

Bedner, Adriaan , Vel, Rolax, Jacqueline, An analytical Frame work for Empirical Research

on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made Training Program : Training on Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and Customary Law In Indonesia., March-April 2010, Leiden University, Netherland.

Bibas, Stephanos, 2006, Transparency and Participation In Criminal Procedural,: University

Law reviews, New York Vol.86.

D.Agostino, Fred, Free Public Reason, Making it up as we go, New York :Oxford University

Press, New York, 1996.

Magnis Suseno, Frans, :Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991..

M.Blau Peter and.Meyer, Marshall W, terj.Gary R.Jusuf, ,Birokrasi dalam Masyarakat

Modern, Jakarta: UI Press,Jakarta, 1987.

Nonet, Philippe dan Selznick , Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and

Row, London, 1978.

Peters, AAG; Siswosoebroto, Koesriani., Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.

. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

---, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing,

Malang, 2008.

Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in

The Paradigmatic Transition, London : Routledge.,London, 1995.

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa

(15)

Sidharta, B.Arief; 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008.

Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Jadi dengan dem ikian tahapan yang harus dilakukan dalam pembuatan tarompa datuak : (1) mengeksplorasi semua bentuk tarompa datuak yang ada disentra- sentra kerajin

Gambar 4.39 Hasil pewarnaan digital pada peta Monumen Tugu Pahlawan Sumber : Dokumentasi penulis.. Dari hasil digital diatas terdapat bermacam warna yang digunakan sebagai.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul (2010), wilayah pesisir di Kabupaten Bantul terbentang dari barat ke timur dengan luas 6.446 ha yang meliputi

Hal ini mengingat bahwa ketersediaan lahan untuk budidaya tumbuhan obat di Indonesia masih cukup luas sehingga memungkinkan tumbuhan akar kuning di tanam dalam skala

Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengatur perasaan dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri, berempati ketika menghadapi gejolak emosi diri maupun orang lain, manusia

Analisis data dengan menggunakan metode permukaan responmemberikan hasil bahwa kadar minyak yang terikut pada air rebusan yang optimum akan diperoleh dengan perebusan

sebagai akibat tindakan manusia dalam melakukan pengolahan tanah, penggunaanbenih/bibit tanaman yang memerlukan input yang tinggi, pengairan, penyiangan,