Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh: Asteria Herbani
09406241037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
memberikan sumbangan materi dan pemikiran serta motivasi dan inspirasi, yaitu:
1. Ibu Utik Margarini, ibu yang kucinta di dunia ini, selalu mendoakan dan
memberikan semangat terhadap anaknya. Terima kasih atas semuanya yang telah
kau berikan untukku.
2. Bapak Banu Mujiyanto, penyemangat terbaik dalam hidup ku, sangat bertanggung
vi
Jangan membanggakan apa yang kamu lakukan hari ini, sebab engkau tidak akan tahu apa yang akan diberikan hari esok.
(Phytagoras)
Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja. (Plato)
Kemenangan yang seindah-indahnya dan yang paling sukar diraih adalah menundukkan diri sendiri.
(Kartini)
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)
Hiduplah seperti pohon yang lebat buahnya, hidup ditepi jalan dan dilempari orang dengan batu, namun dibalas dengan buah.
(Abu Bakar Sibli)
Apabila anda berbuat kebaikkan kepada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri sendiri.
(Benyamin Franklin)
Dilahirkan dengan ketidaksempurnaan bukan penghalang untuk terus maju, walaupun tidak ada yang sempurna namun tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
vii 09406241037
ABSTRAK
Aceh merupakan salah satu pelopor kelahiran Republik Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai oleh perjuangan dan pergolakan serta munculnya gerakan separatisme yang berujung diberlakukannya Daerah Operasi Militer. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998; (2) mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998; (3) mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998.
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis menurut Kuntowijoyo. Tahap pertama adalah pemilihan topik untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji. Tahap kedua adalah pengumpulan sumber yang berkaitan tentang permasalahan yang akan di kaji. Tahap ketiga adalah verifikasi yang disebut juga kritik sejarah atau keabsahan sumber. Tahap keempat adalah interpretasi yang merupakan tahap penafsiran. Tahap kelima adalah penulisan sejarah atau historiografi sebagai hasil dari penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi yang kompleks dalam konflik di Aceh. Timbulnya gerakan pemberontakan mulai dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 merupakan wujud kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat; (2) Pada tahun 1989 gangguan keamanan di Aceh semakin mengkhawatirkan dengan semakin meningkatnya kekuatan GAM. Pemerintah pusat kemudian memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kekerasan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin memperumit permasalahan yang menimbulkan berbagai pelanggaran HAM; (3) Pemberlakuan DOM untuk mengatasi GAM telah menimbulkan banyak korban. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang, berakhir pula status Daerah Operasi Militer di Aceh.
viii
Operasi Militer (1989-1998)” dengan lancar. Penyelesaian skripsi ini menjadi
pengalaman yang luar biasa bagi penulis selama menempuh studi di Pendidikan Sejarah
FIS-UNY. Skripsi ini dapat terwujud berkat dukungan doa, motivasi, dan inspirasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Rochmat Wahab, M.Pd., MA., selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta.
3. M. Nur Rokhman, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah.
4. Terry Irenewaty, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik sekaligus Dosen
Pembimbing yang memberikan inspirasi dan motivasi dalam penyusunan skripsi
ini.
5. Dosen Pendidikan Sejarah yang telah membimbing, mengajar, dan mendidik
dengan sepenuh hati.
6. Seluruh jajaran Sub Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan yang telah membantu
dan melayani urusan administrasi.
7. Kepada seluruh jajaran staf di Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta,
Laboratorium dan Perpustakaan Pendidikan Sejarah, Jogja Library Center,
ix
9. Anna Handayani terimakasih atas nasihat dan semangatnya.
10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah Reguler 2009 yang memberi
motivasi, inspirasi, pengalaman, dan waktu untuk saling berbagi.
11. Cepi, Mbak Sri, Mbak Tia, Inggit, Rini, Alifi, Arif, Shedu, Dika, Teti, Melky, Zola,
dan Sony yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama.
12. Teman-teman kontrakan PJKR 2009 dan KKN PPL SMA N 2 Banguntapan yang
banyak memberikan pengalaman yang berharga.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Penulis
Asteria Herbani
x
HALAMAN PERSETUJUAN………... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERNYATAAN………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………. v
MOTTO….……….. vi
ABSTRAK..………. vii
KATA PENGANTAR………….……… viii
DARTAR ISI……… x
DAFTAR LAMPIRAN………...……… xii
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR SINGKATAN………. xiv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
E. Kajian Pustaka... 7
F. Historiografi yang Relevan... 10
G. Metode dan Pendekatan Penelitian... 11
xi
B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Aceh... 26
C. Situasi Politik Aceh... 39
BAB III. ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER A. Gerakan Separatisme Aceh………... 50
B. Pemberlakuan Status Daerah Operasi Militer di Aceh………... 59
1. Proses Terjadinya Operasi Militer di Aceh 1989-1998... 65
2. Rakyat Aceh dibawah Tekanan Militer…...………... 70
BAB IV. AKHIR KONFLIK OPERASI MILITER ACEH A. Pencabutan Status Daerah Operasi Militer di Aceh……... 75
B. Dampak Daerah Operasi Militer Bagi Masyarakat Aceh... 84
BAB V. PENUTUP...……….. 91
DAFTAR PUSTAKA ………... 93
xii
Lampiran 2: Peta Jalur Perdagangan Aceh………. 99
Lampiran 3: Surat Undangan Perjamuan GASIDA untuk Soekarno………. 100
Lampiran 4: Foto Pesawat Seulawah...……… 101
Lampiran 5: Foto Daud Beureueh...……….. 102
Lampiran 6: Foto Penyerahan Cek Pesawat……….. 103
Lampiran 7: Foto Bung Hatta Menggunakan Pesawat Seulawah...……. 104
Lampiran 8: Foto Cut Nyak Arief...………. 105
Lampiran 9: Foto Tempat Pertemuan Soekarno dengan GASIDA………. 106
Lampiran 10: Foto Bendera Gerakan Aceh Merdeka...……… 107
Lampiran 11: Foto Hasan Tiro...………... 108
Lampiran 12: Foto Koran Kompas 26 Agustus 1998...…………. 109
Lampiran 13: Foto Pemeriksaan KTP oleh Aparat Keamanan Aceh... 110
Lampiran 14: Foto Demo Anti Militer di Aceh... 111
Lampiran 15: Foto Koran Kompas 8 Agustus 1998...……… 112
Lampiran 16: Foto Kampung Janda di Aceh... 113
Lampiran 17: Foto Kuburan Massal Korban DOM Aceh... 114
Lampiran 18: Foto Koran Kompas 16 Juni 1999...……….. 115
xiii
xiv
AGAM : Angkatan Gerakan Aceh Merdeka
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DMA : Delegasi Masyarakat Aceh
DOM : Daerah Operasi Militer
DPKSH : Dewan Penegak Keamanan dan Sistem Hukum
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
GASIDA : Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh
GPK : Gerakan Pengacau Keamanan
GPL : Gerakan Pengacau Liar
HAM : Hak Asasi Manusia
KMB : Konferensi Meja Bundar
KOMNAS : Komisi Nasional
KOREM : Komando Resor Militer
LNG : Light Natural Gas
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
xv
POLDA : Polisi Daerah
PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh
RI : Republik Indonesia
RIA : Republik Islam Aceh
RIS : Republik Islam Indonesia
09406241037
ABSTRAK
Aceh merupakan salah satu pelopor kelahiran Republik Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai oleh perjuangan dan pergolakan serta munculnya gerakan separatisme yang berujung diberlakukannya Daerah Operasi Militer. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998; (2) mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998; (3) mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998.
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis menurut Kuntowijoyo. Tahap pertama adalah pemilihan topik untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji. Tahap kedua adalah pengumpulan sumber yang berkaitan tentang permasalahan yang akan di kaji. Tahap ketiga adalah verifikasi yang disebut juga kritik sejarah atau keabsahan sumber. Tahap keempat adalah interpretasi yang merupakan tahap penafsiran. Tahap kelima adalah penulisan sejarah atau historiografi sebagai hasil dari penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi yang kompleks dalam konflik di Aceh. Timbulnya gerakan pemberontakan mulai dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 merupakan wujud kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat; (2) Pada tahun 1989 gangguan keamanan di Aceh semakin mengkhawatirkan dengan semakin meningkatnya kekuatan GAM. Pemerintah pusat kemudian memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kekerasan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin memperumit permasalahan yang menimbulkan berbagai pelanggaran HAM; (3) Pemberlakuan DOM untuk mengatasi GAM telah menimbulkan banyak korban. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang, berakhir pula status Daerah Operasi Militer di Aceh.
1
Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatra
dan paling barat kepulauan nusantara. Aceh yang dikenal dengan nama
lain Serambi Mekkah adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan
kultur. Aceh bukanlah wilayah yang homogen, tetapi heterogen.1 Aceh
merupakan daerah kaya akan sumber daya alam dan mineral, terutama gas
dan minyak bumi, serta hasil hutan dan lautan. Daerah yang terletak di
utara Pulau Sumatera ini terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai
dengan luas wilayah 57.365,57 kilometer persegi.2
Banyak potensi alam yang tersimpan dalam wilayah Aceh baik dari
keindahan panorama alamnya bagi pariwisata, kekayaan alam maupun
kebudayaannya. Aceh seharusnya menjadi salah satu wilayah makmur di
Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai
oleh perjuangan dan pergolakan. Pada masa pendudukan Belanda dan
Jepang, rakyat Aceh memberikan kontribusi yang besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Pada waktu Agresi Militer Belanda,
1 Masyarakat Aceh dari segi suku bangsanya memiliki keunikan
tersendiri, karena menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya menjadi etnik baru yang disebut Aceh. Etnik Aceh diduga berasal dari India dan Timur Tengah, memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di Nusantara maupun di Semenanjung Melayu lainnya. Lihat A. Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 7.
2 Moh. Soleh Isre. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer.
seluruh wilayah Indonesia telah kembali direbut oleh musuh, namun Aceh
merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dikuasai sehingga Republik
Indonesia masih tetap berdiri.3
Kontribusi secara materi juga diberikan rakyat Aceh dalam bentuk
dua buah pesawat terbang yang dibutuhkan oleh Indonesia pada saat awal
kemerdekaan. Bahkan Presiden Soekarno pernah menjuluki Aceh sebagai
daerah modal untuk seluruh perjuangan rakyat Indonesia. Selain
perjuangan pada masa kemerdekaan, sejarah Aceh juga diwarnai dengan
pergolakan dan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Indonesia.
Bagi pemerintah Indonesia konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting
bagi keberlangsungan Republik Indonesia (RI), karena Aceh merupakan
indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari
Republik Indonesia, maka dapat disusul gerakan-gerakan separatis di
daerah lain. 4
Pada tahun 1953-1962 terjadi pemberontakan yang pertama di
Aceh yakni pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
yang dipimpin oleh Teungku Daud Beure’uh.5 Pemberontakan ini terjadi
3 Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 45.
4 Ibid., hlm. 45.
akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia karena
Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang
telah dijanjikan Presiden Soekarno, tetapi justru kemudian dimasukkan ke
dalam Provinsi Sumatra Utara. Selain itu kekecewaan rakyat Aceh
semakin diperburuk dengan disingkirkannya Teungku Daud Beure’uh oleh
pemerintah pusat.
Setelah pemberontakan DI/TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat
Aceh terhadap pemerintah pusat kembali terefleksikan dalam
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan
pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro.6 Namun, berbeda dengan
Teungku Daud Beure’uh, Hasan Tiro tidak menempatkan Islam sebagai
misi utama, melainkan nasionalisme dan patriotisme Aceh.
Pada masa Soeharto, GAM dipandang sebagai gerakan pengacau
liar, sehingga harus dibasmi, karena itu tidak ada referensi pada masa
pemerintah Soeharto untuk melakukan upaya integrasi politik bagi
kelompok ini yang kemudian menempuh pendekatan militer.7 Pendekatan
militer ini belakangan hari kemudian terkenal dengan istilah Daerah
Operasi Militer (DOM) dengan nama operasi militernya adalah Operasi
Jaring Merah (OJM). Pada masa Orde Baru, tidak ada toleransi bagi kaum
6 Hasan Tiro adalah seorang cucu dari pahlawan perang yang sangat terkenal di Aceh, Teungku Cik Di Tiro. Lihat, Nazaruddin Syamsuddin. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 70.
pemberontak, karena itu pendekatan integrasi tidak memungkinkan pada
waktu itu.8
Keputusan pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata
mengatasi resistensi seperti ini merupakan suatu kejadian yang
mengandung kemungkinan resiko tinggi bagi ketentraman dan
keselamatan rakyat. Keputusan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII
tahun 1953 serta pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, tahun 1989
sampai 1999, telah membawa ribuan korban, baik aparat pemerintah
Indonesia maupun rakyat Aceh. Pola keputusan pemerintah semacam ini
terutama kebijakan pemerintah yang dibuat pada tahun 1989 sampai 1998,
telah menyalurkan energi sekelompok komunitas Aceh kearah
pemberontakan.9
Dalam memahami konflik Aceh perlu diketahui bahwa konflik
Aceh adalah konflik yang multidemensional. Tidaklah mungkin untuk
menyebutkan satu faktor yang menjadi akar konflik. Berbagai hal saling
terkait dalam kompleksitas konflik tersebut. Faktor sosial, ekonomi, dan
politik secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik yang
akhirnya melahirkan sebuah gerakan separatisme untuk memperjuangkan
hak-hak masyarakat Aceh. Hal itu kemudian mendapat respon dari
pemerintah pusat Indonesia bahwa apa yang terjadi di Aceh bisa
8 Moch. Nurhasim. Konflik dan Intergrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 9.
mengganggu ketentraman NKRI yang dapat memicu gerakan sepataris di
daerah lain sehingga pemerintah mengambil keputusan untuk
memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer pada tahun
1989-1998. Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk mengkaji
tentang Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Penulis
memilih topik tersebut dikarenakan pada tahun 1989-1988 merupakan
puncak operasi militer karena semakin parahnya keamanan di Aceh akibat
adanya Gerakan Aceh Merdeka yang berujung pada banyaknya korban
dari masyarakat sipil, ABRI maupun pihak GAM.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah
Operasi Militer tahun 1989-1998?
2. Bagaimanakah proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun
1989-1998?
3. Bagaimanakah dampak diberlakukannya Daerah Operasi Militer di
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah
Operasi Militer pada tahun 1989-1998.
2. Mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun
1989-1998.
3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari Daerah Operasi Militer
tahun 1989-1998 di Aceh.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pembaca
a. Dengan membaca skripsi ini diharapkan pembaca mengetahui dan
memperoleh wawasan tentang latar belakang Daerah Operasi
Militer yang diberlakukan di Aceh 1989-1998.
b. Mengetahui bagaimana proses saat diberlakukannya Daerah
Operasi Militer Aceh.
c. Dengan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi untuk
penulis selanjutnya.
2. Bagi Penulis
a. Skripsi ini menjadi tugas akhir penulis guna menyelesaikan studi
b. Skripsi ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kemampuan penulis
dalam merekonstruksi, menganalisis dan menyajikan suatu
peristiwa sejarah dalam suatu karya ilmiah yang objektif.
c. Melatih kemampuan penulis dalam penelitian suatu peristiwa
sejarah secara objektif dan kritis.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan hal yang penting dalam penulisan sebuah
penelitian atau karya ilmiah. Kajian pustaka merupakan telaah terhadap
pustaka atau teori yang menjadi landasan pemikiran. Penelitian bisa hanya
menggunakan kajian pustaka atau kajian teori atau menggunakan
kedua-duanya.10 Kajian pustaka akan mempermudah penulis dalam memperoleh
informasi tentang sebuah penelitian atau karya ilmiah yang akan ditulis.
Aceh merupakan daerah yang kaya akan hasil Bumi, namun hal itu
tidak bisa dinikmati oleh masyarakat Aceh. Semua kekayaan alam dikuras
habis oleh pemerintah pusat dan hanya menyisakan sedikit sekali untuk
dikembalikan lewat APBD Provinsi Aceh yang tidak sampai satu persen.
Berbagai macam ketimpangan itulah, yang menjadi salah satu faktor
pemicu gejolak di Aceh. Mulai dari gerakan DI/TII pada tahun 1953,
dilanjutkan dengan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4
Desember 1976, yang pada akhirnya dengan alasan untuk menjaga
keamanan Aceh dari GAM maka diberlakukanlah status Daerah Operasi
Militer tahun 1989-1998 di Aceh.
Separatisme yang muncul di Aceh adalah fenomena yang sulit
diselesaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, mulai dari kekecewaan
historis rakyat Aceh, peminggiran identitas kultural masyarakat Aceh,
eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, hingga memicu adanya gerakan
separatisme di Aceh. Gerakan separatisme akibat kekecewaan masyarakat
Aceh itulah yang memicu konflik berdarah yang merupakan perjalanan
panjang Aceh untuk menuju perdamaian hingga kini. Buku karya Syamsul
Hadi yang berjudul “Disintegrasi Pasca Orde Baru” yang diterbitkan oleh
Yayasan Obor Indonesia tahun 2007 ini, digunakan penulis untuk
menjelaskan kondisi dan situasi di Aceh sebelum dijadikan Daerah
Operasi Militer, baik dilihat dari kondisi geografis, sosial, ekonomi
maupun politik di Aceh hingga terjadinya konflik pada tahun 1989-1998
Keputusan pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata mengatasi
resistensi seperti ini merupakan suatu kejadian yang mengandung
kemungkinan risiko tinggi bagi ketentraman dan keselamatan rakyat.
Keputusan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII tahun 1953 serta
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, tahun 1989 sampai 1998, telah
membawa ribuan korban, baik aparat pemerintahan maupun rakyat biasa.
Pola keputusan pemerintah semacam ini terutama kebijakan pemerintah
sekelompok komunitas Aceh ke dalam pemberontakan.11 Buku kedua
yakni karya Dr. Sebastian Koto yang berjudul “Pengambilan Keputusan
dalam Konflik Aceh (1989-1999). Buku ini digunakan penulis untuk
menjelaskan latar belakang pengambilan keputusan Aceh sebagai Daerah
Operasi Militer.
Selanjutnya buku karya Al Chaidar yang berjudul “Aceh Bersimbah
Darah”. Buku ini mengungkapkan penerapan status Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Buku ini banyak mengungkapkan
mengenai kejadian saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer dengan
sejumlah kasus kekejaman dan data-data para korban tentara Orde Baru.
Buku ini juga mengulas tentang sejarah pembantaian peradaban di Aceh
mulai dari masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde
Baru hingga diberlakukannya Aceh sebagai DOM.
Konflik dan kekerasan di Aceh yang semakin berlarut-larut
membuktikan strategi yang digunakan pemerintah Indonesia tidak
berhasil. Pada masa pemberlakuan DOM tahun 1989-1998, banyak
terjadinya kasus pelanggaran HAM dan membawa dampak buruk bagi
masyarakat Aceh. Buku karya Abdullah Sani Usman yang berjudul “Krisis
Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh” yang diterbitkan
oleh Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur
Keagamaan tahun 2010, penulis gunakan untuk memaparkan akibat
diberlakukannya DOM bagi masyarakat Aceh.
F. Historiografi yang Relevan
Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.12 Berbagai pernyataan
mengenai masa silam yang telah disintesakan selanjutnya ditulis dalam
bentuk kisah sejarah atau historiografi.13 Historiografi yang relevan adalah
karya-karya tulis ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang
akan diajukan. Historiografi dapat berupa buku, desertasi, tesis maupun
skripsi yang kevalidannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penulisan
sejarah, penggunaan historiografi yang relevan adalah untuk dapat
membedakan karya-karya ilmiah sejarah yang telah ada sebelumnya.
Historiografi merupakan rekonstruksi sejarah melalui proses pengujian
dan menganalisis secara kritis dari peninggalan masa lampau.14
Penulis menemukan sebuah karya berupa skripsi yang ditulis oleh
Ana Ngatiyono mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta. Skripsi ini berjudul “Gerakan Aceh Merdeka: Konflik Aceh
dari Berdirinya GAM sampai MoU Helsinki (1976-2008)” yang disusun
pada tahun 2008. Karya skripsi yang ditulis oleh Ana Ngatiyono ini
membahas mengenai gerakan separatisme di Aceh yakni Gerakan Aceh
12 Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 76.
13 Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2011, hlm. 51.
Merdeka dari awal berdiri hingga MoU Helsinki dengan segala konflik
yang ada dan sepak terjang dari pemberontak GAM itu sendiri.
Hal yang membedakan skripsi di atas dengan skripsi yang dibuat
penulis adalah cakupan peristiwa yang lebih menyoroti Aceh saat
dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998. Skripsi
ini terfokus saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun
1989-1998. Penulis juga membahas mengenai latar belakang
diberlakukannya DOM, situasi dan kondisi Aceh baik dari segi geografis,
sosial, ekonomi maupun politik sebelum terjadi DOM, munculnya gerakan
separatisme di Aceh hingga keputusan pemerintah untuk menjadikan Aceh
sebagai Daerah Operasi Militer dan terakhir mengenai pencabutan status
DOM serta dampak dari DOM bagi masyarakat Aceh yang sarat akan
pelanggaran HAM.
G. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian
Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah.
Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis. Metode sejarah dalam pengertiannya yang umum
adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan
pemecahannya dari perspektif historis.15 Dalam melakukan penelitian
sejarah, diperlukan suatu aturan baku dan sesuai yang disebut dengan
metode. Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan
kembali fakta-fakta masa lampau.16
Metode yang digunakan penulis dalam menulis skripsi ini
adalah metode historis kritis. Metode historis kritis adalah proses
menguji dan menganalisis secara kritis rekaman serta peninggalan
masa lampau. Pilihan yang tepat atas salah satu metode ini sangat
bergantung pada maksud dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa
lampau maka metode yang dipergunakan adalah metode historis.17
Penulisan skripsi ini mengikuti metode sejarah yang dikemukakan
oleh Kuntowijoyo. Penelitian sejarah mempunyai lima tahap yaitu
pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik), kritik sejarah atau
keabsahan sumber (verifikasi), analisis dan sintetis (interpretasi), dan
penulisan (historiografi).18
a. Pemilihan Topik
Topik penelitian adalah masalah atau obyek yang harus
dipecahkan melalui penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan
untuk diteliti umumnya telah dikenal sebelumnya meskipun secara
16 Helius Sjamsuddin dan Ismaun. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud Dirjend Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akamedik, 1966, hlm. 61.
17 Dudung Abdurahman, op.cit., hlm. 63.
garis besar, tidak mendalam, bahkan samar-samar.19 Penentuan
topik hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan
kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan
berpengaruh terhadap aspek subjektif dan objektif penulis.
Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998. Penulis memilih
topik tersebut dikarenakan pada tahun 1989-1988 merupakan
puncak operasi militer karena semakin parahnya keamanan di Aceh
akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka yang berujung pada
pelanggaran HAM.
b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik adalah proses mengumpulkan sumber-sumber
sejarah yang terkait dengan topik penelitian. Semua jenis tulisan
atau penelitian tentang sejarah menempatkan sumber sejarah
sebagai syarat mutlak yang harus ada. Tanpa sumber sejarah, kisah
masa lalu tidak dapat direkonstruksikan oleh sejarawan.20 Sumber
sejarah dapat ditemukan di perpustakaan, arsip, atau museum.
Heuristik dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber
sekunder.
19 Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 72.
1. Sumber sejarah primer adalah sumber sejarah yang direkam
dan dilaporkan oleh para saksi mata. Data-data dicatat dan
dilaporkan oleh pengamat atau partisipan yang benar-benar
mengalami dan menyaksikan suatu peristiwa sejarah.21 Sumber
primer bisa berupa dokumen sejaman, arsip, surat kabar,
rekaman peristiwa atau wawancara dengan pelaku sejarah.
Sumber primer yang digunakan dalam skripsi ini yakni:
Sebastian Koto. 2004. Pengambilan Keputusan dalam Konflik Aceh. Surabaya: Papyrus.
Mba, (dkk). “Dicabut Status DOM Aceh”, Kompas, 8 Agustus 1998.
Bambang Sujatmoko, (dkk). “Ladang Pembantaian di Aceh”, Gatra, 8 Agustus 1998.
2. Sumber sejarah sekunder disampaikan bukan oleh yang
menyaksikan atau partisipan suatu peristiwa sejarah. Penulis
sumber sekunder bukanlah orang yang hadir dan menyaksikan
sendiri suatu peristiwa, namun hanya melaporkan apa yang
terjadi berdasarkan kesaksian.22 Sumber sekunder misalnya
buku pendukung yang berkaitan dengan pengetahuan Aceh.
Abdullah Sani Usman. 2010. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan.
21 Daliman. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 55.
Al-Chaidar. 1998. Aceh Bersimbah Darah: Pengungkapan Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hasan Saleh. 1992. Mengapa Aceh Bergolak. Jakarta: Grafiti.
Neta S. Pane. 2001. Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Jakarta: Grasindo.
Ruslan, (dkk). 2008. Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka
Syamsul Hadi. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Teungku Ibrahim Alfian. 1999. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
c. Kritik Sumber (Verifikasi)
Bukti-bukti sejarah adalah kumpulan fakta-fakta atau informasi
sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui proses validasi yang
dalam ilmu sejarah disebut sebagai kritik atau verifikasi sumber.
Terdapat dua jenis kritik sumber yakni eksternal dan internal. Kritik
eksternal dimaksud untuk menguji otetisitas atau keaslian suatu
sumber. Kritik internal dimaksudkan untuk menguji kreadibilitas dan
reliabilitas suatu sumber.23
Langkah yang harus ditempuh untuk melakukan kritik sumber
ialah dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari sumber
yang satu dengan sumber yang lain untuk membuktikan kebenaran
data yang telah dikumpulkan. Pada saat melakukan verifikasi, penulis
beramsumsi wartawan yang menulis berita tersebut merupakan orang
yang mengalami peristiwa sejarah tersebut, karena tahun penulisan
berita tersebut merupakan tahun terjadinya peristiwa Daerah Operasi
Militer di Aceh.
d. Analisis Sumber (Interpretasi)
Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada
fakta-fakta sejarah atau bukti-bukti sejarah. Interpretasi diperlukan
karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi realitas dimasa
lampau adalah hanya saksi bisu belaka.24 Dalam hal ini penulis
dituntut untuk bisa kreatif dan imajinatis dalam menulis. Interpretasi
dibagi menjadi dua tahap yaitu analisi dan sistematis. Analisis berarti
menguraikan yang nanti akan menghasilkan sebuah fakta, sedangkan
sintesis adalah menyatukan. Dengan dikumpulkannya data-data yang
ada maka akan memunculkan sebuah fakta.25
Pada tahap interpretasi penulis berusaha menguraikan sumber dan
mengaitkan fakta kemudian mengolah dan mengalisis dengan
menggunakan pendekatan sehingga mempunyai arti dan bersifat logis.
Penulis dapat menafsirkan fakta sejarah yang ditemukan dan telah
melalui proses verifikasi sehingga dapat menghasilkan sebuah karya.
24 Ibid., hlm. 81.
Dalam tulisan ini penulis mencoba membangun pemahaman dan
menguraikan saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer tahun
1989-1998.
e. Penulisan (Historiografi)
Penulisan sejarah atau historiografi menjadi sarana
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan
diinterpretasikan. Kalau penelitian sejarah bertugas merekonstruksi
masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila
hasil-hasil pendirian tersebut ditulis. Penulisan sejarah tidak semudah
dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan
informasi dan argumentasi.26 Dalam hal ini penulis dituntut untuk bisa
mengembangkan ide-ide hubungan antara fakta sehingga tulisan yang
ditulis bisa bersifat objektif sesuai dengan fakta yang ada.
2. Pendekatan Penelitian
Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada
pendekatan. Hal tersebut dapat dilihat dari segi mana kita
memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana
yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Dalam skripsi ini, penulis
menggunakan pendekatan multidimensional (Sosial Scientific).27
26 Daliman, op.cit., hlm. 99.
Penulis menggunakan beberapa pendekatan dalam penulisan skripsi
ini. Pendekatan-pendekatan tersebut, antara lain:
a. Pendekatan Politik
Sejarah sangat identik dengan politik, sejauh keduanya
menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor
dalam interaksi dan peranannya, untuk memperoleh apa, kapan,
dan bagaimana. Pendekatan politik merupakan tindakan sebagai
manusia dalam wadah kenegaraan yang bertujuan untuk
mengubah, mempengaruhi dan mempertahankan bentuk susunan
masyarakat.28 Dalam mengkaji Daerah Operasi Militer Aceh
1989-1998, penulis menggunakan pendekatan politik. Pendekatan
politik tersebut digunakan saat mengkaji kondisi dan situasi
politik di Aceh dan pemerintah pusat yang saling bertentangan
hingga pada akhirnya pemerintah pusat mengambil keputusan
dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh pada
tahun 1989-1998.
b. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang
mementingkan peranan dan faktor sosial dalam menjelaskan
peristiwa masa lalu. Menurut Sartono Kartodirjo pendekatan
sosiologi adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk meilhat
segi sosial yang berkaitan dengan peristiwa yang dikaji, misalnya
golongan sosial yang berperan, nilai yang berlaku, konflik yang
berdasarkan kepentingan, dan ideologi.29 Pendekatan sosiologi ini
digunakan untuk mengetahui kondisi sosial mulai dari
kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat
Indonesia yang mengekploitasi sumber daya Aceh tanpa
memperhatikan kesejahteraan masyarakat Aceh itu sendiri hingga
timbulnya protes dan gerakan separatis yang memperjuangkan
nasib rakyat Aceh yang terpuruk.
c. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi adalah penjabaran dari konsep-konsep
ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi dan konsumsi yang
berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasi yang dapat
mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam keadaan ekonomi
sehingga dapat dipastikan hukum kaidahnya.30 Seperti halnya
pendekatan sosial, pendekatan ekonomi sangat diperlukan dalam
mengkaji Daerah Operasi Militer Aceh tahun 1989-1998. Kondisi
ekonomi yang buruk pada saat itu juga merupakan salah satu
faktor terjadi perlawanan untuk memperjuangkan nasib rakyat
Aceh itu sendiri.
29 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 4.
d. Pendekatan Militer
Pendekatan militer dijelaskan sebagai kebijakan pemerintah
mengenai persiapan dan pelaksanaan perang yang menentukan
baik buruknya serta besarkecilnya potensi dan kekuatan negara,
dengan demikian aktivitas militer mengikuti aktivitas politik
soatu negara.31 Terjadinya DOM di Aceh tidak lepas dari campur
tangan militer bawahan pemerintahan Soeharto. Dalam skripsi ini
membahas keterlibatan ABRI dalam Operasi Militer yang
diberlakukan di Aceh serta pelanggaran HAM yang melibatkan
ABRI.
e. Pendekatan Agama
Pendekatan agama sangat penting digunakan dalam
mengkaji sebuah masyarakat. Agama dapat menjadi ide dasar
motivasi terhadap suatu perubahan sosial dan adakalanya menjadi
suatu dasar yang menentukan.32 Pendekatan agama yang penulis
kaji dalam skripsi ini menyangkut masyarakat Aceh yang sangat
menjunjung tinggi adat istiadat dengan nilai-nilai Islam. Awal
perjuangan masyarakat Aceh juga berlandaskan semangat jihad
untuk menegakkan syariat Islam secara utuh di Serambi Mekkah.
31 Dwi Pratomo Putranto. Militer dan Kekuasaan: Puncak-puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi, 2005, hlm. 1.
32 Thomas F. O’dea. “The Sciology of Religion”. a.b. Tim
f. Pendekatan Antopologi
Pendekatan Antropologi digunakan untuk mengungkapkan
nilai-nilai dan pola kehidupan yang mendasari perilaku bangsa
ataupun negara hingga tokoh sejarah.33 Pendekatan ini akan lebih
condong menganalisis bentuk kekecewaan masyarakat Aceh
kepada ABRI. Saat operasi militer berlangsung banyak terjadi
kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI yang
menimbulkan kemarahan terhadap aparat negara tersebut.
H. Sistematika Pembahasan
Guna memperoleh gambaran yang jelas dan tepat secara keseluruhan
mengenai skripsi yang berjudul “Daerah Operasi Militer Aceh
1989-1998”, ini maka penulis akan menguraikan secara singkat dalam
sistematika sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah
yang dikaji, tujuan dan manfaat dari penulisan, kajian pustaka,
historiografi yang relevan, metode yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu metode sejarah kritis, serta sistematika pembahasan yang berisi garis
besar dari isi skripsi ini.
BAB II. SITUASI DAN KONDISI ACEH SEBELUM DIBERLAKUKANNYA DAERAH OPERASI MILITER TAHUN 1989-1998
Bab ini memberikan gambaran latar belakang terjadinya konflik di
Aceh serta kondisi geografis, sosial, ekonomi dan politik sebelum Aceh
dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998.
BAB III. ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER
Bab ini membahas mengenai Aceh yang telah dijadikan Daerah
Operasi Militer sejak tahun 1989 dan berakhir tahun 1998. Dalam bab ini
juga membahas kondisi dan situasi saat Aceh dijadikan Daerah Operasi
Militer serta kasus-kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Aceh
saat operasi militer berlaku.
BAB IV. AKHIR KONFLIK OPERASI MILITER DI ACEH
Bab ini membahas akhir dari konflik berdarah yang dialami
masyarakat Aceh saat Daerah Operasi Militer berlangsung dan juga
kondisi pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh.
BAB V. PENUTUP
Bab ini ditarik kesimpulan singkat tentang hasil dari pembahasan,
sekaligus menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab
23 A. Kondisi Geografis Aceh
Provinsi Daerah Istimewa Aceh disebut sebagai salah satu daerah
istimewa didasarkan pada putusan Pemerintah Republik Indonesia yaitu
Keputusan Wakil Perdana Menteri I pada tanggal 26 Mei 1959 tentang
perubahan status Provinsi Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh.1 Provinsi
Daerah Istimewa Aceh terletak di ujung Barat pulau Sumatra dengan Ibukota di
Banda Aceh. Provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah nama menjadi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 9 Agustus 2001.2
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi paling barat di
Indonesia, daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra
Utara di sebelah tenggara dan selatan.3 Secara geografis dari arah barat laut ke
1 Berdasarkan keputusan itu, Provinsi Daerah Istimewa Aceh memiliki tiga keistimewaan yang diakui oleh undang-undang, yaitu di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Lihat Muhammad Gade Ismail, (dkk). Tantangan dan Rongrongan terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Sejarah dan nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, hlm. 7.
2 Bambang Soeprianto, (dkk). Menuju Aceh Baru Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Lembaga Informasi Nasional, 2001, hlm. 1.
tenggara terletak pada posisi 2o-6o Lintang Utara dan 95o-98o Bujur Timur.4
Letak geografis daerah Istimewa Aceh strategis karena merupakan pintu gerbang
sebelah barat Kepulauan Indonesia. Di samping itu, karena sebagian wilayahnya
di pantai utara terletak di Selat Malaka, maka daerah ini penting pula dipandang
dari sudut lalu lintas internasional sejak permulaan tarikh Masehi.5
Berdasarkan posisi geografis tampak bahwa provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam memiliki wilayah yang strategis dari segi perekonomian.6 Semua
kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui selat Malaka, oleh karena
itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain
itu, Aceh telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di
Semenanjung Malaya dan India.7
Luas wilayah Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 57.365,57 km2 atau
2,88% dari luas Indonesia. Daerah ini terdiri atas 119 pulau, 35 gunung, dan 73
sungai.8 Bagian tengah wilayah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
bentangan pegunungan Bukit Barisan. Pegunungan Bukit Barisan ini
memanjang mulai dari Banda Aceh hingga Aceh Tenggara. Dalam rangkaian
4 Agus Budi Wibowo. Tueng Bila dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Nasional, 2009, hlm. 28.
5 Muhammad Gade Ismail, (dkk)., loc.cit.
6 Peta jalur perdagangan Aceh dapat dilihat pada Lampiran 2, hlm. 99.
7 Agus Budi Wibowo, op.cit., hlm. 29.
pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal
diantaranya Gunung Seulawah Agam dan Gunung Leuser. Gunung ini adalah
gunung tertinggi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di bagian ujung
gugusan kepulauan Nusantara menduduki posisi penting sebagai pintu gerbang
lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan belahan dunia
Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau.10 Kontak perdagangan orang Aceh
dengan bangsa asing sudah dimulai semenjak tumbuhnya peradaban di
Nusantara. Hubungan antar bangsa yang dibina pada awal perkembangan
manusia melalui perdagangan. Perkembangan interaksi dan perdagangan antar
bangsa pada awal peradaban Yunani, menandakan peradaban Aceh sudah mulai
berkiprah walaupun tak sebanding dengan peradaban Yunani pada waktu itu.11
Banyak saudagar dari Arab dan India mencari rempah-rempah dari Sumatra
untuk dibawa melalui India yang selanjutnya diteruskan ke Timur Tengah.
Selat Malaka merupakan jalan penting dalam gerak migrasi
bangsa-bangsa di Asia, dalam gerakan ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan
niaga dunia. Selat Malaka adalah jalan penghubung utama antara dua pusat
kebudayaan Cina dan India.12 Oleh karena itu, wilayah sekitar Malaka selalu
9 Agus Budi Wibowo, op.cit., hlm. 32.
10 Bambang Soeprianto, (dkk)., loc.cit.
11 Abdul Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 8.
mempunyai arti penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Muncul dan
perkembangnnya pusat-pusat kekuasaan di kawasan ini semenjak masa
pengaruh Hindu dan Islam berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan di sekitar
Selat Malaka.
Aceh yang sekarang ini pada awalnya terpisah-pisah oleh kerajaan kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja. Sebelum Aceh lahir sebagai
kerajaan Islam, ada enam kerajaan penting yang ada di sana, yaitu Kerajaan
Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Teumiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan
Indera Purba, dan Kerajaan Indera Jaya. Keenam kerajaan tersebut dapat
dipersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah
Aceh Darussalam pada 870-885 H (1465-1480 M).13 Pada Masa inilah kesatuan
Aceh terbentuk menjadi satu nama, satu bangsa, dan satu negara. Kesatuan
inilah yang membuat Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman
gemilangnya.
B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Aceh
Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku bangsa yang tergolong ke
dalam etnik Melayu atau ras Melayu. Etnik Aceh sering diidentikkan dengan
Arab, Cina, Eropa, dan India. Melihat dari segi fisik, bentuk muka orang Aceh
cenderung mirip dengan orang Arab atau India.14 Ureueng Aceh merupakan
salah satu sub etnis yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah
penduduk terbanyak.15
Aceh sejak dulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing
terutama India, Timur Tengah dan Cina. Realitas tersebut karena letaknya yang
strategis dengan jalur pelayaran internasional serta berdekatan dengan lautan
India dan selat Malaka. Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung Pulau Sumatra
menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai jalan sekaligus
mengakibatkan terjadinya kontak budaya antara bangsa-bangsa yang singgah di
Aceh. Kehadiran pada saudagar tersebut sekaligus mengakibatkan terjadinya
kontak budaya antara bangsa-bangsa yang singgah di Aceh.
Kehadiran para saudagar tersebut di Aceh dari hari ke hari semakin
bertambah, sehingga pada waktu tertentu para pendatang tersebut menetap di
Aceh. Imigran yang datang ke Aceh merupakan suku bangsa yang tidak berbeda
dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, terutama di Sumatra. Adanya
kehidupan dan struktur masyarakat Aceh, maka diindikasikan sejarah
kedatangan imigran ke Aceh terjadi ribuan tahun sebelum Masehi.16
14 Abdul Rani Usman, op.cit., hlm 6.
15 Selain Ureueng di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat pula tujuh sub etnis lain, yaitu Alas, Aneuk, Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang berbeda, tetapi kemudian kedelapan sub etnis tersebut lebih dikenal sebagai etnis Aceh. Lihat Agus Budi Wiboowo, op.cit., hlm. 33.
Begitu banyaknya bahasa yang berkembang di Aceh membuat bahasa
Aceh sebelum Kerajaan Islam berkembang hanya digunakan sebagai bahasa
lisan atau bahasa tutur keseharian.17 Sedangkan bahasa Melayu lebih banyak
digunakan dalam ilmu pengetahuan.18 Munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada
abad ke-13 adalah salah satu gambaran awal diterimanya Islam sebagai landasan
kehidupan kerajaan-kerajaan di Sumatra setelah pengaruh Hindu dan Budha
lebih awal diterima dan hidup di wilayah tersebut.19
Saat Islam mulai berkembang, Kerajaan Aceh Darussalam memiliki
suatu struktur masyarakat yang sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur
kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh dapat membentuk suatu sistem
masyarakat yang stabil dan menjadi lembaga yang dapat menjaga atau sebagai
pengendalian sosial dalam masyarakat. Kehadiran lembaga tersebut sebagai
lembaga pengontrol dan pengendali terhadap sosial keagamaan yang ada dalam
masyarakat Aceh.
Struktur pemerintahan Kerjaan Aceh Darussalam ada lima, yaitu
Gampong. Mukim, Nanggroe, Sagou, dan Kerajaan atau negara yang sekarang
disebut sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Gampong sebagai suatu kesatuan
17 Al-Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jakarta: Madani Press, 1999, hlm. 15.
18 Setelah Kerajaan Samudra Pasai berkembang, bahasa Aceh mulai dipergunakan sebagai bahasa tulis terutama dalam penulisan hikayat dan cerita rakyat. Lihat Al-Chaidar, Ibid., hlm. 32.
terdiri dari banyak masyarakat.20 Beberapa Gampong-gampong tersebut
dipimpin oleh seorang Mukim. Dalam struktur masyarakat Aceh, Mukim
merupakan suatu pemimpin yang dapat menjaga dan mengayomi masyarakat,
terutama tempat berkonsultasi serta tempat bertanya bagi masyarakat setempat.
Berbeda dengan Gampong, Nanggroe merupakan suatu wilayah yang
dipimpin oleh seorang Uleebalang.21 Nanggroe mempunyai wilayah secara
struktur dan hukum. Artinya Nanggroe merupakan wilayah-wilayah yang
dikomandoi oleh Uleebalang namun kebijakan yang dicanangkan dan
diputuskan oleh Uleebalang tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Kerajaan Aceh, sedangkan Sagou yaitu federasi dari beberapa
Nanggroe. Wilayah Sagou yang dipimpin oleh panglima Sangou hanya ada di
Aceh Besar. Terakhir adalah kerajaan, yaitu sistem kenegaraan yang mempunyai
wilayah undang-undang serta batas-batas wilayah. Kekuasaan Kerajaan Aceh
mulai diujung barat Pulau Sumatra sampai ke Bengkulu dan Semenanjung
Malaka.22
20 Gampong dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem kemasyarakatan yang dapat mengatur diri sendiri sekaligus Gampong sebagai suatu kesatuan yang mengorganisasikan masyarakat yang berdomisili di lingkungan administrasi atau lingkungan hukum desa. Lihat Abdul Rani Usman, op.cit., hlm. 47.
21 Uleebalang adalah kepala wilayah tertentu. Seorang Uleebalang berkedudukan tinggi pada zaman kerajaan. Para Uleebalang mempunyai hak otonom mengurus daerah-daerah dalam hal tertentu, asal tidak bertentangan dengan Kanun Al-Asyi atau undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam. Lihat Abdul Rani Usman, ibid., hlm. 49.
Salah satu ciri dari identitas Aceh adalah kuatnya hubungan antara raja,
adat, dan ulama, serta pembagian kekuasaan yang terstruktur di antara
ketiganya. Sistem kekuasaanya dipengaruhi oleh norma-norma, nilai-nilai, dan
adat-istiadat dalam kaidah Islam, karena itu pemimpin agama merupakan salah
satu simbol utama dalam konfigurasi sosial budaya Aceh. Unsur adat dan agama
merupakan dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidup
masyarakat Aceh.23 Pihak Sultan dan Uleebalang merupakan dua pilar utama
yang mendukung kehidupan adat, dan menjadi simbol keberadaan dan peranan
adat dalam masyarakat Aceh. Posisi Sultan sebenarnya adalah penyeimbang dua
kekuatan antara ulama dan Uleebalang.24
Struktur masyarakat Aceh tersebut berjalan semenjak lahirnya Kerajaan
Aceh Darussalam abad ke-15 sampai inegrasinya Aceh ke Republik Indonesia.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki identitas kultural yang kuat,
serta menjunjung adat mereka yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagai
sebuah komunitas, memang Aceh telah memiliki konsep yang mapan yang telah
terbentuk sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Keistemewaan Aceh melalui identitas sosial kultural dan religi yang kuat,
layaknya menjadi sebuah kekuatan dan kelebihan rakyat Aceh di antara
kemajemukan etnis di Indonesia. Identitas sosio-kultural yang begitu kuat inilah
yang menyebabkan masyarakat Aceh menuntut diterapkannya identitas
23 Sihbudi. Bara dalam Sekam. Bandung: Mizan, 2001, hlm. 54.
keislaman Aceh dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberontakan Daud Beureuh
pada tahun 1950-an salah satunya disebabkan oleh tuntutan untuk menerapkan
identitas keislaman masyarakat Aceh.25
Struktur masyarakat Aceh yang saat ini sebagian masih berjalan ialah
Mukim dan Gampong. Sedangkan yang lainnya secara formal sudah hilang.
Proses perubahan sosial dalam masyarakat Aceh berlangsung lama yaitu dimulai
dengan ekspansi bangsa Portugis, Belanda, Jepang, dan perang saudara sampai
pada integrasinya Aceh dalam negara kesatuan Indonesia.26
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk
wilayah Indonesia bagian barat. Pada saat itu Aceh dijadikan persinggahan
kapal-kapal dari berbagai bangsa sekaligus merupakan titik awal terjadinya
kontak budaya dari bangsa-bangsa yang pernah singgah di Aceh. Masyarakat
Aceh pada saat itu bermata pencaharian sebagai pedagang. Selain itu sejak abad
ke-16, merupakan produsen lada. Puncaknya pada periode 1800-1870 ketika
kesultanan Aceh menjadi pemasok sekitar separuh dari total persediaan lada
dunia dan terbukalah hubungan dagang yang kuat dengan Turki, India, Inggris,
Amerika Serikat, Prancis, dan Italia 27
25 Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 48.
26 Abdul Rani Usman, op.cit., hlm. 51
Pada masa itu negara–negara yang memiliki hubungan dagang dengan
Aceh juga memiliki hubungan diplomatik. Sejak sekitar tahun 1850,
perdagangan Aceh banyak dilakukan melalui Penang. Akibatnya, terbangun
persepsi dalam masyarakat Aceh bahwa penguasa Inggris lebih menguntungkan
mereka, ketimbang masyarakat Belanda. Pada kurun abad ke-19, wajar bagi
Kesultanan Aceh untuk menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan
Inggris pada tahun 1819, atau cenderung ke arah tersebut, terutama setelah
serangan Belanda pada tahun 1973. Hal tersebut terjadi karena Aceh lebih
bersahabat dengan Inggris dan tidak menyukai Belanda. Ketika Kesultanan Aceh
menyadari bahwa Inggris tidak akan memberikan perlindungan yang dijanjikan
terhadap ancaman Belanda, Aceh berupaya mengadakan perjanjian pertahanan
bersama Amerika pada tahun 1873.28
Sejak tahun 1898 di daerah Aceh Timur mulai dibuka kesempatan bagi
penanaman modal swasta di bidang pertambangan minyak bumi dan perkebunan
besar. Usaha perkebunan tembakau telah dicoba pada beberapa daerah konsensi
sekitar Tamiang, tetapi usaha ini mengalami kegagalan karena tanahnya tidak
cocok untuk tanaman tersebut. Pada tahun 1905, dengan modal perusahaan
Belgia, tanaman tersebut diganti dengan tanaman karet. Melihat kenyataan
bahwa tanah di Aceh Timur amat cocok untuk perkebunan karet, sejak tahun
1907 Pemerintah Hindia Belanda membuka kebun karet di sekitar Langsa.
Usaha ini pun segera diikuti oleh perusahaan-perusahaan swasta lainnya.29
Usaha penanaman modal swasta di Aceh Timur dalam bidang
perkebunan karet dan kelapa sawit menjadikan wilayah ini berubah menjadi
pusat perkebunan besar di Aceh. Keadaan serupa juga terjadi dalam sektor
pertambangan minyak bumi. Khusus di bidang perekonomian rakyat, beberapa
upaya perbaikan dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Diantaranya
ialah pembangunan irigasi dan memperkenalkan tenaga penyuluh pertanian.30
Usaha-usaha ini membawa hasil dalam perbaikan ekonomi rakyat.
Setelah merdeka, pemerintah Republik Indonesia menghadapi berbagai
persoalan yang harus diselesaikan. Pada bidang sosial ekonomi masyarakat,
merupakan masalah yang tidak bisa diabaikan. Pendudukan Jepang berakhir
dengan meninggalkan masyarakat Indonesia dalam kemiskinan. Hal ini terjadi
akibat tekanan-tekanan dan pemerasan yang dilakukan Jepang selama menjajah
Indonesia. Jepang tidak memberikan kesempatan pada rakyat Indonesia untuk
bekerja dengan leluasa. Sebagian besar rakyat Indonesia dipaksa untuk bekerja
pada proyek-proyek bangunan Jepang, sehingga banyak lapangan produksi, areal
pertanian, dan perkebunan yang ditinggalkan. Kemiskinan rakyat yang
29 Muhammad Gade Ismail, (dkk)., op.cit., hlm. 20.
ditinggalkan Jepang ini ditambah pula dengan kembalinya para tawanan dan
bekas romusa ke kota-kota tanpa pekerjaan.31
Saat berada ditengah krisis pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia,
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam tak patah semangat bahkan Aceh
menjadi daerah modal bagi Indonesia pada saat itu. Semasa Agresi Militer
Belanda I dan II, Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang tidak dikuasai
oleh Belanda.32 Pengorbanan Aceh tidak saja dalam bentuk pertahanan, bahkan
juga dalam bentuk keuangan, peralatan, dan perobatan. Setelah Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang berakibat kepada kerugian besar di pihak Indonesia
sehingga meninggalkan hutang sebesar hampir USS 1,130 juta dari Pemerintah
Hindia Timur.33 Untuk membayar hutang itu, sekaligus untuk mengurangi beban
keuangan pemerintah, maka pemerintah harus mampu merampingkan sistem
pemerintahannya seefisien mungkin agar pengeluaran dapat lebih ditekan.
Ketika Yogyakarta menjadi ibukota negara, pemerintah Indonesia sudah
tidak mampu membiayai pemerintahannya lagi, maka rakyat Aceh memberikan
bantuan berupa keuangan, peralatan, dan obat-obatan. Oleh karena itu, Soekarno
berulang kali mengagumi perjuangan rakyat Aceh, sebagaimana dalam setiap
pidatonya didepan masyarakat Aceh. Beliau menyatakan Aceh adalah “Daerah
31 Ibid., hlm. 225.
32 Syamsuddin Haris, (dkk). Indonesia di Ambang Perpecahan?. Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 39.
33 Ruslan, (dkk). Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara
Modal” bagi Republik Indonesia, benteng perjuangan, dan pelopor perjuangan
kemerdekaan Indonesia. 34
Pernyataan Soekarno beralasan, karena Aceh dijadikan simbol bahwa
Indonesia tidak dapat diduduki oleh Belanda sepenuhnya. Aceh dijadikan bukti
bahwa masih ada wilayah Republik Indonesia yang tetap bebas untuk memberi
fakta kepada dunia internasional, terutama didalam Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB). Dari proses ini Aceh bergabung menjadi wilayah Republik Indonesia.
Lebih lanjut Soekarno menyatakan bahwa rakyat Aceh adalah contoh kepada
perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia dan menjadi tumpuan
perhatian rakyat disamping juga menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia.35
Tidak hanya itu saja, saat itu Soekarno mengundang tokoh-tokoh
pejuang dan pengusaha Aceh untuk memberikan dukungan moral maupun
materiil dan mengharapkan dapat mengumpulkan sejumlah dana untuk dapat
membeli sebuah pesawat terbang.36 Orang akan terharu apabila mendengar kisah
pengumpulan dana untuk pembelian dua buah pesawat terbang tersebut.37 Ketika
pemerintah meminta sumbangan kepada rakyat Aceh dalam jumlah yang besar,
dengan penuh rasa tanggungjawab mereka menyanggupi permintaan tersebut
34 Abdullah Sani Usman. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010, hlm. 191.
35 Ibid., hlm. 191.
36 Surat undangan perjamuan GASIDA untuk Presiden Soekarno dapat dilihat pada Lampiran 3, hlm 100.
padahal kondisi rakyat Aceh serba kekurangan dan hartanya telah habis kerena
penjajahan Belanda dan Jepang.
Melalui pengaruh Teungku Daud Beureueh38 yang saat itu menjabat
sebagai pemimpin di Aceh Langkat dan tanah Karo, beliau memanggil para
saudagar dan pemimpin Aceh lainnya untuk bermusyawarah membicarakan
masalah permintaan Soekarno. Pada waktu itu para saudagar Aceh yang
tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)39,
dalam tempo yang singkat dapat mengumpulkan dana yang besar yaitu uang
$120,000 dan 20 kg emas untuk membeli dua buah pesawat terbang.40
Masyarakat Aceh pada saat itu hidup di bawah garis kemiskinan, namun
dengan optimis rakyat Aceh mengumpulkan sedikit demi sedikit perhiasan dan
emas untuk disumbangkan ke pemerintah Indonesia. Dokumen pembelian
pesawat tersebut berasal dari sumbangan para pengusaha, sumbangan emas
kawin dan perhiasan para wanita-wanita desa serta zakat-zakat yang seharusnya
diterima oleh fakir miskin. Untuk memenuhi harapan Presiden Soekarno dalam
kesempatan berkunjung ke Banda Aceh pada tahun 1948, akhirnya rakyat Aceh
mampu membeli dua buah pesawat Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002.41
38 Foto Daud Beureueh dapat dilihat pada Lampiran 5, hlm. 102.
39 Foto penyerahan cek untuk pembelian pesawat Seulawah oleh GASIDA kepada Presiden Soekarno dapat dilihat pada Lampiran 6, hlm. 103.
40 Abdul Sani Usman, op.cit., hlm. 192.
Soekarno memberi nama kedua pesawat ini dengan nama seulawah yang
berarti “gunung emas” sebagai penghargaan atas pengorbanan rakyat Aceh.
Seulawah yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia Airways tidak hanya
menjadi instrumen paling penting dalam memberikan modal bagi upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan pesawat Seulawah inilah,
Indonesia mampu menembus blokade tentara pendudukan kolonial dan mampu
membawa tokoh Indonesia ke luar negeri untuk memperkenalkan Indonesia di
kancah dunia internasional.42 Pesawat Seulawah juga pernah digunakan Bung
Hatta untuk mengelilingi Sumatra, Yogyakarta, Payakumbuh, Jambi, dan Banda
Aceh.43
Sebagian dari dana tersebut masih dapat dialokasikan untuk membiayai
kegiatan duta-duta dan kantor perwakilan Republik Indoneasia (RI) di luar
negeri, diantaranya Singapura, Penang, India, Manila, perwakilan di PBB dan
biaya duta keliling H. Agus Salim ke Timur Tengah serta biaya konferensi Asia
di New Delhi, India.44 Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa
kontribusi rakyat Aceh pada Republik Indonesia sudah sangat banyak.
Pada masa Orde Baru kebijakan pemerintah ditekankan pada
pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik. Aset-aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks
42 Ruslan, (dkk)., op.cit., hlm. 91.
43 Foto Bung Hatta bersama pesawat Seulawah dapat dilihat pada Lampiran 7, hlm. 104.
pembangunan. Saat ditemukannya sumber gas alam cair pada tahun 1969 di
kampung Arun, maka pada 1971 dimulailah pembangunan kilang gas alam.
Pabrik Light Natural Gas (LNG) dan Pupuk Islandar Muda yang dibangun
tersebut maju dengan pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG
terbesar dan 90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor.45 Karena kontrol
terhadap semua output dikuasai oleh rezim orde baru, kebijakan industri dan
ekonomi Aceh menjadi terkonsentrasi pada otoritas pemerintahan pusat
Indonesia.46 Pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan
bila dibandingkan dengan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah ini.
Masyarakat Aceh tidak hanya merasakan kerimbangan kekuatan pusat
dan daerah yang tidak adil, tetapi juga ketimpangan sosial ekonomi antara
kelompok pendatang yang mengeksploitasi kekayaan alam yang dimiliki Aceh
dengan masyarakat Aceh itu sendiri. Jumlah masyarakat Aceh yang hidup dalam
kemiskinan masih banyak, terutama mereka yang tinggal di wilayah pedesaan di
Aceh bagian utara. Masyarakat mulai menyadari bahwa hasil tambang gas dan
minyak sebenarnya bisa membawa kemakmuran tapi tidak pernah digunakan
45 Produksi gas alam ini berdasarkan data tahun 1998, dihasilkan devisa U$ 2,6 milyar per tahun, atau sama dengan Rp. 316 triliun sesuai dengan nilai rupiah pada tahun 1997. Devisa ini masih ditambah dengan hasil dari industri hilir dan dan hasil kekayaan hutan Aceh yang luasnya lebih dari 4 juta hektar. Kekayaan hutan yang diolah oleh perusahaan HPH menghasilkan Rp.900 miliar per tahun, sedangkan PAD Aceh dari sektor hutan ini hanya Rp. 45 miliar atau sebesar 0,5%. Lihat Al-Chaidar, op.cit., hlm. 10.
untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Aceh.47
Kemakmuran justru dibawa ke Jakarta, sementara sekelompok kecil elit Aceh
menjadi begitu makmur, maka semua itu membawa masyarakat Aceh pada
perasaan kecewa.
C. Situasi Politik Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini merupakan peninggalan
Kerajaan Aceh Darussalam. Perbedaan besar antara keduanya adalah Kerajaan
Aceh Darussalam merupakan sebuah negara yang berdaulat yang
mempraktikkan hukum Islam didalamnya. Kerajaan Aceh Darussalam
mempunyai hubungan baik dengan beberapa negara di Eropa, Asia, dan Arab.
Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat sehingga dapat menguasai
beberapa wilayah terdekat. Wilayah Kerajaan Aceh Darussalam melingkupi
setengah dari pulau Sumatra, semenanjung Malaya, dan terkenal diseluruh
dunia.48
Kerajaan Aceh Darussalam terkenal dengan ketangguhan militer dan
rakyatnya makmur, oleh karena itu Kerajaan Aceh Darussalam kedudukannya
sama dengan kerajaan lain di dunia seper