• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER (1989-1998).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER (1989-1998)."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh: Asteria Herbani

09406241037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

memberikan sumbangan materi dan pemikiran serta motivasi dan inspirasi, yaitu:

1. Ibu Utik Margarini, ibu yang kucinta di dunia ini, selalu mendoakan dan

memberikan semangat terhadap anaknya. Terima kasih atas semuanya yang telah

kau berikan untukku.

2. Bapak Banu Mujiyanto, penyemangat terbaik dalam hidup ku, sangat bertanggung

(6)

vi

Jangan membanggakan apa yang kamu lakukan hari ini, sebab engkau tidak akan tahu apa yang akan diberikan hari esok.

(Phytagoras)

Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja. (Plato)

Kemenangan yang seindah-indahnya dan yang paling sukar diraih adalah menundukkan diri sendiri.

(Kartini)

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)

Hiduplah seperti pohon yang lebat buahnya, hidup ditepi jalan dan dilempari orang dengan batu, namun dibalas dengan buah.

(Abu Bakar Sibli)

Apabila anda berbuat kebaikkan kepada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri sendiri.

(Benyamin Franklin)

Dilahirkan dengan ketidaksempurnaan bukan penghalang untuk terus maju, walaupun tidak ada yang sempurna namun tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

(7)

vii 09406241037

ABSTRAK

Aceh merupakan salah satu pelopor kelahiran Republik Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai oleh perjuangan dan pergolakan serta munculnya gerakan separatisme yang berujung diberlakukannya Daerah Operasi Militer. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998; (2) mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998; (3) mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998.

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis menurut Kuntowijoyo. Tahap pertama adalah pemilihan topik untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji. Tahap kedua adalah pengumpulan sumber yang berkaitan tentang permasalahan yang akan di kaji. Tahap ketiga adalah verifikasi yang disebut juga kritik sejarah atau keabsahan sumber. Tahap keempat adalah interpretasi yang merupakan tahap penafsiran. Tahap kelima adalah penulisan sejarah atau historiografi sebagai hasil dari penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi yang kompleks dalam konflik di Aceh. Timbulnya gerakan pemberontakan mulai dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 merupakan wujud kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat; (2) Pada tahun 1989 gangguan keamanan di Aceh semakin mengkhawatirkan dengan semakin meningkatnya kekuatan GAM. Pemerintah pusat kemudian memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kekerasan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin memperumit permasalahan yang menimbulkan berbagai pelanggaran HAM; (3) Pemberlakuan DOM untuk mengatasi GAM telah menimbulkan banyak korban. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang, berakhir pula status Daerah Operasi Militer di Aceh.

(8)

viii

Operasi Militer (1989-1998)” dengan lancar. Penyelesaian skripsi ini menjadi

pengalaman yang luar biasa bagi penulis selama menempuh studi di Pendidikan Sejarah

FIS-UNY. Skripsi ini dapat terwujud berkat dukungan doa, motivasi, dan inspirasi dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Rochmat Wahab, M.Pd., MA., selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Negeri Yogyakarta.

3. M. Nur Rokhman, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah.

4. Terry Irenewaty, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik sekaligus Dosen

Pembimbing yang memberikan inspirasi dan motivasi dalam penyusunan skripsi

ini.

5. Dosen Pendidikan Sejarah yang telah membimbing, mengajar, dan mendidik

dengan sepenuh hati.

6. Seluruh jajaran Sub Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan yang telah membantu

dan melayani urusan administrasi.

7. Kepada seluruh jajaran staf di Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta,

Laboratorium dan Perpustakaan Pendidikan Sejarah, Jogja Library Center,

(9)

ix

9. Anna Handayani terimakasih atas nasihat dan semangatnya.

10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah Reguler 2009 yang memberi

motivasi, inspirasi, pengalaman, dan waktu untuk saling berbagi.

11. Cepi, Mbak Sri, Mbak Tia, Inggit, Rini, Alifi, Arif, Shedu, Dika, Teti, Melky, Zola,

dan Sony yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama.

12. Teman-teman kontrakan PJKR 2009 dan KKN PPL SMA N 2 Banguntapan yang

banyak memberikan pengalaman yang berharga.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Penulis

Asteria Herbani

(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERNYATAAN………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………. v

MOTTO….……….. vi

ABSTRAK..………. vii

KATA PENGANTAR………….……… viii

DARTAR ISI……… x

DAFTAR LAMPIRAN………...……… xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR SINGKATAN………. xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Kajian Pustaka... 7

F. Historiografi yang Relevan... 10

G. Metode dan Pendekatan Penelitian... 11

(11)

xi

B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Aceh... 26

C. Situasi Politik Aceh... 39

BAB III. ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER A. Gerakan Separatisme Aceh………... 50

B. Pemberlakuan Status Daerah Operasi Militer di Aceh………... 59

1. Proses Terjadinya Operasi Militer di Aceh 1989-1998... 65

2. Rakyat Aceh dibawah Tekanan Militer…...………... 70

BAB IV. AKHIR KONFLIK OPERASI MILITER ACEH A. Pencabutan Status Daerah Operasi Militer di Aceh……... 75

B. Dampak Daerah Operasi Militer Bagi Masyarakat Aceh... 84

BAB V. PENUTUP...……….. 91

DAFTAR PUSTAKA ………... 93

(12)

xii

Lampiran 2: Peta Jalur Perdagangan Aceh………. 99

Lampiran 3: Surat Undangan Perjamuan GASIDA untuk Soekarno………. 100

Lampiran 4: Foto Pesawat Seulawah...……… 101

Lampiran 5: Foto Daud Beureueh...……….. 102

Lampiran 6: Foto Penyerahan Cek Pesawat……….. 103

Lampiran 7: Foto Bung Hatta Menggunakan Pesawat Seulawah...……. 104

Lampiran 8: Foto Cut Nyak Arief...………. 105

Lampiran 9: Foto Tempat Pertemuan Soekarno dengan GASIDA………. 106

Lampiran 10: Foto Bendera Gerakan Aceh Merdeka...……… 107

Lampiran 11: Foto Hasan Tiro...………... 108

Lampiran 12: Foto Koran Kompas 26 Agustus 1998...…………. 109

Lampiran 13: Foto Pemeriksaan KTP oleh Aparat Keamanan Aceh... 110

Lampiran 14: Foto Demo Anti Militer di Aceh... 111

Lampiran 15: Foto Koran Kompas 8 Agustus 1998...……… 112

Lampiran 16: Foto Kampung Janda di Aceh... 113

Lampiran 17: Foto Kuburan Massal Korban DOM Aceh... 114

Lampiran 18: Foto Koran Kompas 16 Juni 1999...……….. 115

(13)

xiii

(14)

xiv

AGAM : Angkatan Gerakan Aceh Merdeka

APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

DMA : Delegasi Masyarakat Aceh

DOM : Daerah Operasi Militer

DPKSH : Dewan Penegak Keamanan dan Sistem Hukum

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GASIDA : Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh

GPK : Gerakan Pengacau Keamanan

GPL : Gerakan Pengacau Liar

HAM : Hak Asasi Manusia

KMB : Konferensi Meja Bundar

KOMNAS : Komisi Nasional

KOREM : Komando Resor Militer

LNG : Light Natural Gas

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

NAD : Nanggroe Aceh Darussalam

(15)

xv

POLDA : Polisi Daerah

PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh

RI : Republik Indonesia

RIA : Republik Islam Aceh

RIS : Republik Islam Indonesia

(16)

09406241037

ABSTRAK

Aceh merupakan salah satu pelopor kelahiran Republik Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai oleh perjuangan dan pergolakan serta munculnya gerakan separatisme yang berujung diberlakukannya Daerah Operasi Militer. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998; (2) mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998; (3) mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun 1989-1998.

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis menurut Kuntowijoyo. Tahap pertama adalah pemilihan topik untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji. Tahap kedua adalah pengumpulan sumber yang berkaitan tentang permasalahan yang akan di kaji. Tahap ketiga adalah verifikasi yang disebut juga kritik sejarah atau keabsahan sumber. Tahap keempat adalah interpretasi yang merupakan tahap penafsiran. Tahap kelima adalah penulisan sejarah atau historiografi sebagai hasil dari penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi yang kompleks dalam konflik di Aceh. Timbulnya gerakan pemberontakan mulai dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 merupakan wujud kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat; (2) Pada tahun 1989 gangguan keamanan di Aceh semakin mengkhawatirkan dengan semakin meningkatnya kekuatan GAM. Pemerintah pusat kemudian memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kekerasan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin memperumit permasalahan yang menimbulkan berbagai pelanggaran HAM; (3) Pemberlakuan DOM untuk mengatasi GAM telah menimbulkan banyak korban. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang, berakhir pula status Daerah Operasi Militer di Aceh.

(17)

1

Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatra

dan paling barat kepulauan nusantara. Aceh yang dikenal dengan nama

lain Serambi Mekkah adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan

kultur. Aceh bukanlah wilayah yang homogen, tetapi heterogen.1 Aceh

merupakan daerah kaya akan sumber daya alam dan mineral, terutama gas

dan minyak bumi, serta hasil hutan dan lautan. Daerah yang terletak di

utara Pulau Sumatera ini terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai

dengan luas wilayah 57.365,57 kilometer persegi.2

Banyak potensi alam yang tersimpan dalam wilayah Aceh baik dari

keindahan panorama alamnya bagi pariwisata, kekayaan alam maupun

kebudayaannya. Aceh seharusnya menjadi salah satu wilayah makmur di

Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai

oleh perjuangan dan pergolakan. Pada masa pendudukan Belanda dan

Jepang, rakyat Aceh memberikan kontribusi yang besar dalam

memperjuangkan kemerdekaan. Pada waktu Agresi Militer Belanda,

1 Masyarakat Aceh dari segi suku bangsanya memiliki keunikan

tersendiri, karena menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya menjadi etnik baru yang disebut Aceh. Etnik Aceh diduga berasal dari India dan Timur Tengah, memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di Nusantara maupun di Semenanjung Melayu lainnya. Lihat A. Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 7.

2 Moh. Soleh Isre. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer.

(18)

seluruh wilayah Indonesia telah kembali direbut oleh musuh, namun Aceh

merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dikuasai sehingga Republik

Indonesia masih tetap berdiri.3

Kontribusi secara materi juga diberikan rakyat Aceh dalam bentuk

dua buah pesawat terbang yang dibutuhkan oleh Indonesia pada saat awal

kemerdekaan. Bahkan Presiden Soekarno pernah menjuluki Aceh sebagai

daerah modal untuk seluruh perjuangan rakyat Indonesia. Selain

perjuangan pada masa kemerdekaan, sejarah Aceh juga diwarnai dengan

pergolakan dan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Indonesia.

Bagi pemerintah Indonesia konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting

bagi keberlangsungan Republik Indonesia (RI), karena Aceh merupakan

indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari

Republik Indonesia, maka dapat disusul gerakan-gerakan separatis di

daerah lain. 4

Pada tahun 1953-1962 terjadi pemberontakan yang pertama di

Aceh yakni pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)

yang dipimpin oleh Teungku Daud Beure’uh.5 Pemberontakan ini terjadi

3 Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 45.

4 Ibid., hlm. 45.

(19)

akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia karena

Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang

telah dijanjikan Presiden Soekarno, tetapi justru kemudian dimasukkan ke

dalam Provinsi Sumatra Utara. Selain itu kekecewaan rakyat Aceh

semakin diperburuk dengan disingkirkannya Teungku Daud Beure’uh oleh

pemerintah pusat.

Setelah pemberontakan DI/TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat

Aceh terhadap pemerintah pusat kembali terefleksikan dalam

pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan

pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro.6 Namun, berbeda dengan

Teungku Daud Beure’uh, Hasan Tiro tidak menempatkan Islam sebagai

misi utama, melainkan nasionalisme dan patriotisme Aceh.

Pada masa Soeharto, GAM dipandang sebagai gerakan pengacau

liar, sehingga harus dibasmi, karena itu tidak ada referensi pada masa

pemerintah Soeharto untuk melakukan upaya integrasi politik bagi

kelompok ini yang kemudian menempuh pendekatan militer.7 Pendekatan

militer ini belakangan hari kemudian terkenal dengan istilah Daerah

Operasi Militer (DOM) dengan nama operasi militernya adalah Operasi

Jaring Merah (OJM). Pada masa Orde Baru, tidak ada toleransi bagi kaum

6 Hasan Tiro adalah seorang cucu dari pahlawan perang yang sangat terkenal di Aceh, Teungku Cik Di Tiro. Lihat, Nazaruddin Syamsuddin. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 70.

(20)

pemberontak, karena itu pendekatan integrasi tidak memungkinkan pada

waktu itu.8

Keputusan pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata

mengatasi resistensi seperti ini merupakan suatu kejadian yang

mengandung kemungkinan resiko tinggi bagi ketentraman dan

keselamatan rakyat. Keputusan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII

tahun 1953 serta pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, tahun 1989

sampai 1999, telah membawa ribuan korban, baik aparat pemerintah

Indonesia maupun rakyat Aceh. Pola keputusan pemerintah semacam ini

terutama kebijakan pemerintah yang dibuat pada tahun 1989 sampai 1998,

telah menyalurkan energi sekelompok komunitas Aceh kearah

pemberontakan.9

Dalam memahami konflik Aceh perlu diketahui bahwa konflik

Aceh adalah konflik yang multidemensional. Tidaklah mungkin untuk

menyebutkan satu faktor yang menjadi akar konflik. Berbagai hal saling

terkait dalam kompleksitas konflik tersebut. Faktor sosial, ekonomi, dan

politik secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik yang

akhirnya melahirkan sebuah gerakan separatisme untuk memperjuangkan

hak-hak masyarakat Aceh. Hal itu kemudian mendapat respon dari

pemerintah pusat Indonesia bahwa apa yang terjadi di Aceh bisa

8 Moch. Nurhasim. Konflik dan Intergrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 9.

(21)

mengganggu ketentraman NKRI yang dapat memicu gerakan sepataris di

daerah lain sehingga pemerintah mengambil keputusan untuk

memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer pada tahun

1989-1998. Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk mengkaji

tentang Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Penulis

memilih topik tersebut dikarenakan pada tahun 1989-1988 merupakan

puncak operasi militer karena semakin parahnya keamanan di Aceh akibat

adanya Gerakan Aceh Merdeka yang berujung pada banyaknya korban

dari masyarakat sipil, ABRI maupun pihak GAM.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah

Operasi Militer tahun 1989-1998?

2. Bagaimanakah proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun

1989-1998?

3. Bagaimanakah dampak diberlakukannya Daerah Operasi Militer di

(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui situasi dan kondisi Aceh sebelum dijadikan Daerah

Operasi Militer pada tahun 1989-1998.

2. Mengetahui proses terjadinya Daerah Operasi Militer di Aceh tahun

1989-1998.

3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari Daerah Operasi Militer

tahun 1989-1998 di Aceh.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pembaca

a. Dengan membaca skripsi ini diharapkan pembaca mengetahui dan

memperoleh wawasan tentang latar belakang Daerah Operasi

Militer yang diberlakukan di Aceh 1989-1998.

b. Mengetahui bagaimana proses saat diberlakukannya Daerah

Operasi Militer Aceh.

c. Dengan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi untuk

penulis selanjutnya.

2. Bagi Penulis

a. Skripsi ini menjadi tugas akhir penulis guna menyelesaikan studi

(23)

b. Skripsi ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kemampuan penulis

dalam merekonstruksi, menganalisis dan menyajikan suatu

peristiwa sejarah dalam suatu karya ilmiah yang objektif.

c. Melatih kemampuan penulis dalam penelitian suatu peristiwa

sejarah secara objektif dan kritis.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan hal yang penting dalam penulisan sebuah

penelitian atau karya ilmiah. Kajian pustaka merupakan telaah terhadap

pustaka atau teori yang menjadi landasan pemikiran. Penelitian bisa hanya

menggunakan kajian pustaka atau kajian teori atau menggunakan

kedua-duanya.10 Kajian pustaka akan mempermudah penulis dalam memperoleh

informasi tentang sebuah penelitian atau karya ilmiah yang akan ditulis.

Aceh merupakan daerah yang kaya akan hasil Bumi, namun hal itu

tidak bisa dinikmati oleh masyarakat Aceh. Semua kekayaan alam dikuras

habis oleh pemerintah pusat dan hanya menyisakan sedikit sekali untuk

dikembalikan lewat APBD Provinsi Aceh yang tidak sampai satu persen.

Berbagai macam ketimpangan itulah, yang menjadi salah satu faktor

pemicu gejolak di Aceh. Mulai dari gerakan DI/TII pada tahun 1953,

dilanjutkan dengan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4

Desember 1976, yang pada akhirnya dengan alasan untuk menjaga

(24)

keamanan Aceh dari GAM maka diberlakukanlah status Daerah Operasi

Militer tahun 1989-1998 di Aceh.

Separatisme yang muncul di Aceh adalah fenomena yang sulit

diselesaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, mulai dari kekecewaan

historis rakyat Aceh, peminggiran identitas kultural masyarakat Aceh,

eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, hingga memicu adanya gerakan

separatisme di Aceh. Gerakan separatisme akibat kekecewaan masyarakat

Aceh itulah yang memicu konflik berdarah yang merupakan perjalanan

panjang Aceh untuk menuju perdamaian hingga kini. Buku karya Syamsul

Hadi yang berjudul “Disintegrasi Pasca Orde Baru” yang diterbitkan oleh

Yayasan Obor Indonesia tahun 2007 ini, digunakan penulis untuk

menjelaskan kondisi dan situasi di Aceh sebelum dijadikan Daerah

Operasi Militer, baik dilihat dari kondisi geografis, sosial, ekonomi

maupun politik di Aceh hingga terjadinya konflik pada tahun 1989-1998

Keputusan pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata mengatasi

resistensi seperti ini merupakan suatu kejadian yang mengandung

kemungkinan risiko tinggi bagi ketentraman dan keselamatan rakyat.

Keputusan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII tahun 1953 serta

pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, tahun 1989 sampai 1998, telah

membawa ribuan korban, baik aparat pemerintahan maupun rakyat biasa.

Pola keputusan pemerintah semacam ini terutama kebijakan pemerintah

(25)

sekelompok komunitas Aceh ke dalam pemberontakan.11 Buku kedua

yakni karya Dr. Sebastian Koto yang berjudul “Pengambilan Keputusan

dalam Konflik Aceh (1989-1999). Buku ini digunakan penulis untuk

menjelaskan latar belakang pengambilan keputusan Aceh sebagai Daerah

Operasi Militer.

Selanjutnya buku karya Al Chaidar yang berjudul “Aceh Bersimbah

Darah”. Buku ini mengungkapkan penerapan status Daerah Operasi

Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Buku ini banyak mengungkapkan

mengenai kejadian saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer dengan

sejumlah kasus kekejaman dan data-data para korban tentara Orde Baru.

Buku ini juga mengulas tentang sejarah pembantaian peradaban di Aceh

mulai dari masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde

Baru hingga diberlakukannya Aceh sebagai DOM.

Konflik dan kekerasan di Aceh yang semakin berlarut-larut

membuktikan strategi yang digunakan pemerintah Indonesia tidak

berhasil. Pada masa pemberlakuan DOM tahun 1989-1998, banyak

terjadinya kasus pelanggaran HAM dan membawa dampak buruk bagi

masyarakat Aceh. Buku karya Abdullah Sani Usman yang berjudul “Krisis

Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh” yang diterbitkan

oleh Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur

Keagamaan tahun 2010, penulis gunakan untuk memaparkan akibat

diberlakukannya DOM bagi masyarakat Aceh.

(26)

F. Historiografi yang Relevan

Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan

hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.12 Berbagai pernyataan

mengenai masa silam yang telah disintesakan selanjutnya ditulis dalam

bentuk kisah sejarah atau historiografi.13 Historiografi yang relevan adalah

karya-karya tulis ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang

akan diajukan. Historiografi dapat berupa buku, desertasi, tesis maupun

skripsi yang kevalidannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penulisan

sejarah, penggunaan historiografi yang relevan adalah untuk dapat

membedakan karya-karya ilmiah sejarah yang telah ada sebelumnya.

Historiografi merupakan rekonstruksi sejarah melalui proses pengujian

dan menganalisis secara kritis dari peninggalan masa lampau.14

Penulis menemukan sebuah karya berupa skripsi yang ditulis oleh

Ana Ngatiyono mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Yogyakarta. Skripsi ini berjudul “Gerakan Aceh Merdeka: Konflik Aceh

dari Berdirinya GAM sampai MoU Helsinki (1976-2008)” yang disusun

pada tahun 2008. Karya skripsi yang ditulis oleh Ana Ngatiyono ini

membahas mengenai gerakan separatisme di Aceh yakni Gerakan Aceh

12 Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 76.

13 Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2011, hlm. 51.

(27)

Merdeka dari awal berdiri hingga MoU Helsinki dengan segala konflik

yang ada dan sepak terjang dari pemberontak GAM itu sendiri.

Hal yang membedakan skripsi di atas dengan skripsi yang dibuat

penulis adalah cakupan peristiwa yang lebih menyoroti Aceh saat

dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998. Skripsi

ini terfokus saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun

1989-1998. Penulis juga membahas mengenai latar belakang

diberlakukannya DOM, situasi dan kondisi Aceh baik dari segi geografis,

sosial, ekonomi maupun politik sebelum terjadi DOM, munculnya gerakan

separatisme di Aceh hingga keputusan pemerintah untuk menjadikan Aceh

sebagai Daerah Operasi Militer dan terakhir mengenai pencabutan status

DOM serta dampak dari DOM bagi masyarakat Aceh yang sarat akan

pelanggaran HAM.

G. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah.

Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau

petunjuk teknis. Metode sejarah dalam pengertiannya yang umum

adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan

pemecahannya dari perspektif historis.15 Dalam melakukan penelitian

sejarah, diperlukan suatu aturan baku dan sesuai yang disebut dengan

(28)

metode. Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan

kembali fakta-fakta masa lampau.16

Metode yang digunakan penulis dalam menulis skripsi ini

adalah metode historis kritis. Metode historis kritis adalah proses

menguji dan menganalisis secara kritis rekaman serta peninggalan

masa lampau. Pilihan yang tepat atas salah satu metode ini sangat

bergantung pada maksud dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini

adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa

lampau maka metode yang dipergunakan adalah metode historis.17

Penulisan skripsi ini mengikuti metode sejarah yang dikemukakan

oleh Kuntowijoyo. Penelitian sejarah mempunyai lima tahap yaitu

pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik), kritik sejarah atau

keabsahan sumber (verifikasi), analisis dan sintetis (interpretasi), dan

penulisan (historiografi).18

a. Pemilihan Topik

Topik penelitian adalah masalah atau obyek yang harus

dipecahkan melalui penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan

untuk diteliti umumnya telah dikenal sebelumnya meskipun secara

16 Helius Sjamsuddin dan Ismaun. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud Dirjend Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akamedik, 1966, hlm. 61.

17 Dudung Abdurahman, op.cit., hlm. 63.

(29)

garis besar, tidak mendalam, bahkan samar-samar.19 Penentuan

topik hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan

kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan

berpengaruh terhadap aspek subjektif dan objektif penulis.

Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai Aceh sebagai

Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998. Penulis memilih

topik tersebut dikarenakan pada tahun 1989-1988 merupakan

puncak operasi militer karena semakin parahnya keamanan di Aceh

akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka yang berujung pada

pelanggaran HAM.

b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik adalah proses mengumpulkan sumber-sumber

sejarah yang terkait dengan topik penelitian. Semua jenis tulisan

atau penelitian tentang sejarah menempatkan sumber sejarah

sebagai syarat mutlak yang harus ada. Tanpa sumber sejarah, kisah

masa lalu tidak dapat direkonstruksikan oleh sejarawan.20 Sumber

sejarah dapat ditemukan di perpustakaan, arsip, atau museum.

Heuristik dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber

sekunder.

19 Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 72.

(30)

1. Sumber sejarah primer adalah sumber sejarah yang direkam

dan dilaporkan oleh para saksi mata. Data-data dicatat dan

dilaporkan oleh pengamat atau partisipan yang benar-benar

mengalami dan menyaksikan suatu peristiwa sejarah.21 Sumber

primer bisa berupa dokumen sejaman, arsip, surat kabar,

rekaman peristiwa atau wawancara dengan pelaku sejarah.

Sumber primer yang digunakan dalam skripsi ini yakni:

Sebastian Koto. 2004. Pengambilan Keputusan dalam Konflik Aceh. Surabaya: Papyrus.

Mba, (dkk). “Dicabut Status DOM Aceh”, Kompas, 8 Agustus 1998.

Bambang Sujatmoko, (dkk). “Ladang Pembantaian di Aceh”, Gatra, 8 Agustus 1998.

2. Sumber sejarah sekunder disampaikan bukan oleh yang

menyaksikan atau partisipan suatu peristiwa sejarah. Penulis

sumber sekunder bukanlah orang yang hadir dan menyaksikan

sendiri suatu peristiwa, namun hanya melaporkan apa yang

terjadi berdasarkan kesaksian.22 Sumber sekunder misalnya

buku pendukung yang berkaitan dengan pengetahuan Aceh.

Abdullah Sani Usman. 2010. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan.

21 Daliman. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 55.

(31)

Al-Chaidar. 1998. Aceh Bersimbah Darah: Pengungkapan Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Hasan Saleh. 1992. Mengapa Aceh Bergolak. Jakarta: Grafiti.

Neta S. Pane. 2001. Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Jakarta: Grasindo.

Ruslan, (dkk). 2008. Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka

Syamsul Hadi. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Teungku Ibrahim Alfian. 1999. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

c. Kritik Sumber (Verifikasi)

Bukti-bukti sejarah adalah kumpulan fakta-fakta atau informasi

sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui proses validasi yang

dalam ilmu sejarah disebut sebagai kritik atau verifikasi sumber.

Terdapat dua jenis kritik sumber yakni eksternal dan internal. Kritik

eksternal dimaksud untuk menguji otetisitas atau keaslian suatu

sumber. Kritik internal dimaksudkan untuk menguji kreadibilitas dan

reliabilitas suatu sumber.23

Langkah yang harus ditempuh untuk melakukan kritik sumber

ialah dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari sumber

(32)

yang satu dengan sumber yang lain untuk membuktikan kebenaran

data yang telah dikumpulkan. Pada saat melakukan verifikasi, penulis

beramsumsi wartawan yang menulis berita tersebut merupakan orang

yang mengalami peristiwa sejarah tersebut, karena tahun penulisan

berita tersebut merupakan tahun terjadinya peristiwa Daerah Operasi

Militer di Aceh.

d. Analisis Sumber (Interpretasi)

Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada

fakta-fakta sejarah atau bukti-bukti sejarah. Interpretasi diperlukan

karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi realitas dimasa

lampau adalah hanya saksi bisu belaka.24 Dalam hal ini penulis

dituntut untuk bisa kreatif dan imajinatis dalam menulis. Interpretasi

dibagi menjadi dua tahap yaitu analisi dan sistematis. Analisis berarti

menguraikan yang nanti akan menghasilkan sebuah fakta, sedangkan

sintesis adalah menyatukan. Dengan dikumpulkannya data-data yang

ada maka akan memunculkan sebuah fakta.25

Pada tahap interpretasi penulis berusaha menguraikan sumber dan

mengaitkan fakta kemudian mengolah dan mengalisis dengan

menggunakan pendekatan sehingga mempunyai arti dan bersifat logis.

Penulis dapat menafsirkan fakta sejarah yang ditemukan dan telah

melalui proses verifikasi sehingga dapat menghasilkan sebuah karya.

24 Ibid., hlm. 81.

(33)

Dalam tulisan ini penulis mencoba membangun pemahaman dan

menguraikan saat Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer tahun

1989-1998.

e. Penulisan (Historiografi)

Penulisan sejarah atau historiografi menjadi sarana

mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan

diinterpretasikan. Kalau penelitian sejarah bertugas merekonstruksi

masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila

hasil-hasil pendirian tersebut ditulis. Penulisan sejarah tidak semudah

dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan

informasi dan argumentasi.26 Dalam hal ini penulis dituntut untuk bisa

mengembangkan ide-ide hubungan antara fakta sehingga tulisan yang

ditulis bisa bersifat objektif sesuai dengan fakta yang ada.

2. Pendekatan Penelitian

Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada

pendekatan. Hal tersebut dapat dilihat dari segi mana kita

memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana

yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Dalam skripsi ini, penulis

menggunakan pendekatan multidimensional (Sosial Scientific).27

26 Daliman, op.cit., hlm. 99.

(34)

Penulis menggunakan beberapa pendekatan dalam penulisan skripsi

ini. Pendekatan-pendekatan tersebut, antara lain:

a. Pendekatan Politik

Sejarah sangat identik dengan politik, sejauh keduanya

menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor

dalam interaksi dan peranannya, untuk memperoleh apa, kapan,

dan bagaimana. Pendekatan politik merupakan tindakan sebagai

manusia dalam wadah kenegaraan yang bertujuan untuk

mengubah, mempengaruhi dan mempertahankan bentuk susunan

masyarakat.28 Dalam mengkaji Daerah Operasi Militer Aceh

1989-1998, penulis menggunakan pendekatan politik. Pendekatan

politik tersebut digunakan saat mengkaji kondisi dan situasi

politik di Aceh dan pemerintah pusat yang saling bertentangan

hingga pada akhirnya pemerintah pusat mengambil keputusan

dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh pada

tahun 1989-1998.

b. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang

mementingkan peranan dan faktor sosial dalam menjelaskan

peristiwa masa lalu. Menurut Sartono Kartodirjo pendekatan

sosiologi adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk meilhat

(35)

segi sosial yang berkaitan dengan peristiwa yang dikaji, misalnya

golongan sosial yang berperan, nilai yang berlaku, konflik yang

berdasarkan kepentingan, dan ideologi.29 Pendekatan sosiologi ini

digunakan untuk mengetahui kondisi sosial mulai dari

kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat

Indonesia yang mengekploitasi sumber daya Aceh tanpa

memperhatikan kesejahteraan masyarakat Aceh itu sendiri hingga

timbulnya protes dan gerakan separatis yang memperjuangkan

nasib rakyat Aceh yang terpuruk.

c. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi adalah penjabaran dari konsep-konsep

ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi dan konsumsi yang

berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasi yang dapat

mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam keadaan ekonomi

sehingga dapat dipastikan hukum kaidahnya.30 Seperti halnya

pendekatan sosial, pendekatan ekonomi sangat diperlukan dalam

mengkaji Daerah Operasi Militer Aceh tahun 1989-1998. Kondisi

ekonomi yang buruk pada saat itu juga merupakan salah satu

faktor terjadi perlawanan untuk memperjuangkan nasib rakyat

Aceh itu sendiri.

29 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 4.

(36)

d. Pendekatan Militer

Pendekatan militer dijelaskan sebagai kebijakan pemerintah

mengenai persiapan dan pelaksanaan perang yang menentukan

baik buruknya serta besarkecilnya potensi dan kekuatan negara,

dengan demikian aktivitas militer mengikuti aktivitas politik

soatu negara.31 Terjadinya DOM di Aceh tidak lepas dari campur

tangan militer bawahan pemerintahan Soeharto. Dalam skripsi ini

membahas keterlibatan ABRI dalam Operasi Militer yang

diberlakukan di Aceh serta pelanggaran HAM yang melibatkan

ABRI.

e. Pendekatan Agama

Pendekatan agama sangat penting digunakan dalam

mengkaji sebuah masyarakat. Agama dapat menjadi ide dasar

motivasi terhadap suatu perubahan sosial dan adakalanya menjadi

suatu dasar yang menentukan.32 Pendekatan agama yang penulis

kaji dalam skripsi ini menyangkut masyarakat Aceh yang sangat

menjunjung tinggi adat istiadat dengan nilai-nilai Islam. Awal

perjuangan masyarakat Aceh juga berlandaskan semangat jihad

untuk menegakkan syariat Islam secara utuh di Serambi Mekkah.

31 Dwi Pratomo Putranto. Militer dan Kekuasaan: Puncak-puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi, 2005, hlm. 1.

32 Thomas F. O’dea. “The Sciology of Religion”. a.b. Tim

(37)

f. Pendekatan Antopologi

Pendekatan Antropologi digunakan untuk mengungkapkan

nilai-nilai dan pola kehidupan yang mendasari perilaku bangsa

ataupun negara hingga tokoh sejarah.33 Pendekatan ini akan lebih

condong menganalisis bentuk kekecewaan masyarakat Aceh

kepada ABRI. Saat operasi militer berlangsung banyak terjadi

kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI yang

menimbulkan kemarahan terhadap aparat negara tersebut.

H. Sistematika Pembahasan

Guna memperoleh gambaran yang jelas dan tepat secara keseluruhan

mengenai skripsi yang berjudul “Daerah Operasi Militer Aceh

1989-1998”, ini maka penulis akan menguraikan secara singkat dalam

sistematika sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah

yang dikaji, tujuan dan manfaat dari penulisan, kajian pustaka,

historiografi yang relevan, metode yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu metode sejarah kritis, serta sistematika pembahasan yang berisi garis

besar dari isi skripsi ini.

(38)

BAB II. SITUASI DAN KONDISI ACEH SEBELUM DIBERLAKUKANNYA DAERAH OPERASI MILITER TAHUN 1989-1998

Bab ini memberikan gambaran latar belakang terjadinya konflik di

Aceh serta kondisi geografis, sosial, ekonomi dan politik sebelum Aceh

dijadikan Daerah Operasi Militer pada tahun 1989-1998.

BAB III. ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER

Bab ini membahas mengenai Aceh yang telah dijadikan Daerah

Operasi Militer sejak tahun 1989 dan berakhir tahun 1998. Dalam bab ini

juga membahas kondisi dan situasi saat Aceh dijadikan Daerah Operasi

Militer serta kasus-kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Aceh

saat operasi militer berlaku.

BAB IV. AKHIR KONFLIK OPERASI MILITER DI ACEH

Bab ini membahas akhir dari konflik berdarah yang dialami

masyarakat Aceh saat Daerah Operasi Militer berlangsung dan juga

kondisi pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh.

BAB V. PENUTUP

Bab ini ditarik kesimpulan singkat tentang hasil dari pembahasan,

sekaligus menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab

(39)

23 A. Kondisi Geografis Aceh

Provinsi Daerah Istimewa Aceh disebut sebagai salah satu daerah

istimewa didasarkan pada putusan Pemerintah Republik Indonesia yaitu

Keputusan Wakil Perdana Menteri I pada tanggal 26 Mei 1959 tentang

perubahan status Provinsi Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh.1 Provinsi

Daerah Istimewa Aceh terletak di ujung Barat pulau Sumatra dengan Ibukota di

Banda Aceh. Provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah nama menjadi Nanggroe

Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 9 Agustus 2001.2

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi paling barat di

Indonesia, daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,

Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra

Utara di sebelah tenggara dan selatan.3 Secara geografis dari arah barat laut ke

1 Berdasarkan keputusan itu, Provinsi Daerah Istimewa Aceh memiliki tiga keistimewaan yang diakui oleh undang-undang, yaitu di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Lihat Muhammad Gade Ismail, (dkk). Tantangan dan Rongrongan terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Sejarah dan nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, hlm. 7.

2 Bambang Soeprianto, (dkk). Menuju Aceh Baru Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Lembaga Informasi Nasional, 2001, hlm. 1.

(40)

tenggara terletak pada posisi 2o-6o Lintang Utara dan 95o-98o Bujur Timur.4

Letak geografis daerah Istimewa Aceh strategis karena merupakan pintu gerbang

sebelah barat Kepulauan Indonesia. Di samping itu, karena sebagian wilayahnya

di pantai utara terletak di Selat Malaka, maka daerah ini penting pula dipandang

dari sudut lalu lintas internasional sejak permulaan tarikh Masehi.5

Berdasarkan posisi geografis tampak bahwa provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam memiliki wilayah yang strategis dari segi perekonomian.6 Semua

kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui selat Malaka, oleh karena

itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat

persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain

itu, Aceh telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di

Semenanjung Malaya dan India.7

Luas wilayah Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 57.365,57 km2 atau

2,88% dari luas Indonesia. Daerah ini terdiri atas 119 pulau, 35 gunung, dan 73

sungai.8 Bagian tengah wilayah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan

bentangan pegunungan Bukit Barisan. Pegunungan Bukit Barisan ini

memanjang mulai dari Banda Aceh hingga Aceh Tenggara. Dalam rangkaian

4 Agus Budi Wibowo. Tueng Bila dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Nasional, 2009, hlm. 28.

5 Muhammad Gade Ismail, (dkk)., loc.cit.

6 Peta jalur perdagangan Aceh dapat dilihat pada Lampiran 2, hlm. 99.

7 Agus Budi Wibowo, op.cit., hlm. 29.

(41)

pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal

diantaranya Gunung Seulawah Agam dan Gunung Leuser. Gunung ini adalah

gunung tertinggi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di bagian ujung

gugusan kepulauan Nusantara menduduki posisi penting sebagai pintu gerbang

lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan belahan dunia

Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau.10 Kontak perdagangan orang Aceh

dengan bangsa asing sudah dimulai semenjak tumbuhnya peradaban di

Nusantara. Hubungan antar bangsa yang dibina pada awal perkembangan

manusia melalui perdagangan. Perkembangan interaksi dan perdagangan antar

bangsa pada awal peradaban Yunani, menandakan peradaban Aceh sudah mulai

berkiprah walaupun tak sebanding dengan peradaban Yunani pada waktu itu.11

Banyak saudagar dari Arab dan India mencari rempah-rempah dari Sumatra

untuk dibawa melalui India yang selanjutnya diteruskan ke Timur Tengah.

Selat Malaka merupakan jalan penting dalam gerak migrasi

bangsa-bangsa di Asia, dalam gerakan ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan

niaga dunia. Selat Malaka adalah jalan penghubung utama antara dua pusat

kebudayaan Cina dan India.12 Oleh karena itu, wilayah sekitar Malaka selalu

9 Agus Budi Wibowo, op.cit., hlm. 32.

10 Bambang Soeprianto, (dkk)., loc.cit.

11 Abdul Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 8.

(42)

mempunyai arti penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Muncul dan

perkembangnnya pusat-pusat kekuasaan di kawasan ini semenjak masa

pengaruh Hindu dan Islam berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan di sekitar

Selat Malaka.

Aceh yang sekarang ini pada awalnya terpisah-pisah oleh kerajaan kecil

yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja. Sebelum Aceh lahir sebagai

kerajaan Islam, ada enam kerajaan penting yang ada di sana, yaitu Kerajaan

Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Teumiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan

Indera Purba, dan Kerajaan Indera Jaya. Keenam kerajaan tersebut dapat

dipersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah

Aceh Darussalam pada 870-885 H (1465-1480 M).13 Pada Masa inilah kesatuan

Aceh terbentuk menjadi satu nama, satu bangsa, dan satu negara. Kesatuan

inilah yang membuat Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman

gemilangnya.

B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Aceh

Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku bangsa yang tergolong ke

dalam etnik Melayu atau ras Melayu. Etnik Aceh sering diidentikkan dengan

Arab, Cina, Eropa, dan India. Melihat dari segi fisik, bentuk muka orang Aceh

(43)

cenderung mirip dengan orang Arab atau India.14 Ureueng Aceh merupakan

salah satu sub etnis yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah

penduduk terbanyak.15

Aceh sejak dulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing

terutama India, Timur Tengah dan Cina. Realitas tersebut karena letaknya yang

strategis dengan jalur pelayaran internasional serta berdekatan dengan lautan

India dan selat Malaka. Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung Pulau Sumatra

menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai jalan sekaligus

mengakibatkan terjadinya kontak budaya antara bangsa-bangsa yang singgah di

Aceh. Kehadiran pada saudagar tersebut sekaligus mengakibatkan terjadinya

kontak budaya antara bangsa-bangsa yang singgah di Aceh.

Kehadiran para saudagar tersebut di Aceh dari hari ke hari semakin

bertambah, sehingga pada waktu tertentu para pendatang tersebut menetap di

Aceh. Imigran yang datang ke Aceh merupakan suku bangsa yang tidak berbeda

dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, terutama di Sumatra. Adanya

kehidupan dan struktur masyarakat Aceh, maka diindikasikan sejarah

kedatangan imigran ke Aceh terjadi ribuan tahun sebelum Masehi.16

14 Abdul Rani Usman, op.cit., hlm 6.

15 Selain Ureueng di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat pula tujuh sub etnis lain, yaitu Alas, Aneuk, Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang berbeda, tetapi kemudian kedelapan sub etnis tersebut lebih dikenal sebagai etnis Aceh. Lihat Agus Budi Wiboowo, op.cit., hlm. 33.

(44)

Begitu banyaknya bahasa yang berkembang di Aceh membuat bahasa

Aceh sebelum Kerajaan Islam berkembang hanya digunakan sebagai bahasa

lisan atau bahasa tutur keseharian.17 Sedangkan bahasa Melayu lebih banyak

digunakan dalam ilmu pengetahuan.18 Munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada

abad ke-13 adalah salah satu gambaran awal diterimanya Islam sebagai landasan

kehidupan kerajaan-kerajaan di Sumatra setelah pengaruh Hindu dan Budha

lebih awal diterima dan hidup di wilayah tersebut.19

Saat Islam mulai berkembang, Kerajaan Aceh Darussalam memiliki

suatu struktur masyarakat yang sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur

kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh dapat membentuk suatu sistem

masyarakat yang stabil dan menjadi lembaga yang dapat menjaga atau sebagai

pengendalian sosial dalam masyarakat. Kehadiran lembaga tersebut sebagai

lembaga pengontrol dan pengendali terhadap sosial keagamaan yang ada dalam

masyarakat Aceh.

Struktur pemerintahan Kerjaan Aceh Darussalam ada lima, yaitu

Gampong. Mukim, Nanggroe, Sagou, dan Kerajaan atau negara yang sekarang

disebut sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Gampong sebagai suatu kesatuan

17 Al-Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jakarta: Madani Press, 1999, hlm. 15.

18 Setelah Kerajaan Samudra Pasai berkembang, bahasa Aceh mulai dipergunakan sebagai bahasa tulis terutama dalam penulisan hikayat dan cerita rakyat. Lihat Al-Chaidar, Ibid., hlm. 32.

(45)

terdiri dari banyak masyarakat.20 Beberapa Gampong-gampong tersebut

dipimpin oleh seorang Mukim. Dalam struktur masyarakat Aceh, Mukim

merupakan suatu pemimpin yang dapat menjaga dan mengayomi masyarakat,

terutama tempat berkonsultasi serta tempat bertanya bagi masyarakat setempat.

Berbeda dengan Gampong, Nanggroe merupakan suatu wilayah yang

dipimpin oleh seorang Uleebalang.21 Nanggroe mempunyai wilayah secara

struktur dan hukum. Artinya Nanggroe merupakan wilayah-wilayah yang

dikomandoi oleh Uleebalang namun kebijakan yang dicanangkan dan

diputuskan oleh Uleebalang tidak boleh bertentangan dengan hukum yang

berlaku di Kerajaan Aceh, sedangkan Sagou yaitu federasi dari beberapa

Nanggroe. Wilayah Sagou yang dipimpin oleh panglima Sangou hanya ada di

Aceh Besar. Terakhir adalah kerajaan, yaitu sistem kenegaraan yang mempunyai

wilayah undang-undang serta batas-batas wilayah. Kekuasaan Kerajaan Aceh

mulai diujung barat Pulau Sumatra sampai ke Bengkulu dan Semenanjung

Malaka.22

20 Gampong dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem kemasyarakatan yang dapat mengatur diri sendiri sekaligus Gampong sebagai suatu kesatuan yang mengorganisasikan masyarakat yang berdomisili di lingkungan administrasi atau lingkungan hukum desa. Lihat Abdul Rani Usman, op.cit., hlm. 47.

21 Uleebalang adalah kepala wilayah tertentu. Seorang Uleebalang berkedudukan tinggi pada zaman kerajaan. Para Uleebalang mempunyai hak otonom mengurus daerah-daerah dalam hal tertentu, asal tidak bertentangan dengan Kanun Al-Asyi atau undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam. Lihat Abdul Rani Usman, ibid., hlm. 49.

(46)

Salah satu ciri dari identitas Aceh adalah kuatnya hubungan antara raja,

adat, dan ulama, serta pembagian kekuasaan yang terstruktur di antara

ketiganya. Sistem kekuasaanya dipengaruhi oleh norma-norma, nilai-nilai, dan

adat-istiadat dalam kaidah Islam, karena itu pemimpin agama merupakan salah

satu simbol utama dalam konfigurasi sosial budaya Aceh. Unsur adat dan agama

merupakan dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidup

masyarakat Aceh.23 Pihak Sultan dan Uleebalang merupakan dua pilar utama

yang mendukung kehidupan adat, dan menjadi simbol keberadaan dan peranan

adat dalam masyarakat Aceh. Posisi Sultan sebenarnya adalah penyeimbang dua

kekuatan antara ulama dan Uleebalang.24

Struktur masyarakat Aceh tersebut berjalan semenjak lahirnya Kerajaan

Aceh Darussalam abad ke-15 sampai inegrasinya Aceh ke Republik Indonesia.

Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki identitas kultural yang kuat,

serta menjunjung adat mereka yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagai

sebuah komunitas, memang Aceh telah memiliki konsep yang mapan yang telah

terbentuk sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.

Keistemewaan Aceh melalui identitas sosial kultural dan religi yang kuat,

layaknya menjadi sebuah kekuatan dan kelebihan rakyat Aceh di antara

kemajemukan etnis di Indonesia. Identitas sosio-kultural yang begitu kuat inilah

yang menyebabkan masyarakat Aceh menuntut diterapkannya identitas

23 Sihbudi. Bara dalam Sekam. Bandung: Mizan, 2001, hlm. 54.

(47)

keislaman Aceh dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberontakan Daud Beureuh

pada tahun 1950-an salah satunya disebabkan oleh tuntutan untuk menerapkan

identitas keislaman masyarakat Aceh.25

Struktur masyarakat Aceh yang saat ini sebagian masih berjalan ialah

Mukim dan Gampong. Sedangkan yang lainnya secara formal sudah hilang.

Proses perubahan sosial dalam masyarakat Aceh berlangsung lama yaitu dimulai

dengan ekspansi bangsa Portugis, Belanda, Jepang, dan perang saudara sampai

pada integrasinya Aceh dalam negara kesatuan Indonesia.26

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk

wilayah Indonesia bagian barat. Pada saat itu Aceh dijadikan persinggahan

kapal-kapal dari berbagai bangsa sekaligus merupakan titik awal terjadinya

kontak budaya dari bangsa-bangsa yang pernah singgah di Aceh. Masyarakat

Aceh pada saat itu bermata pencaharian sebagai pedagang. Selain itu sejak abad

ke-16, merupakan produsen lada. Puncaknya pada periode 1800-1870 ketika

kesultanan Aceh menjadi pemasok sekitar separuh dari total persediaan lada

dunia dan terbukalah hubungan dagang yang kuat dengan Turki, India, Inggris,

Amerika Serikat, Prancis, dan Italia 27

25 Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 48.

26 Abdul Rani Usman, op.cit., hlm. 51

(48)

Pada masa itu negara–negara yang memiliki hubungan dagang dengan

Aceh juga memiliki hubungan diplomatik. Sejak sekitar tahun 1850,

perdagangan Aceh banyak dilakukan melalui Penang. Akibatnya, terbangun

persepsi dalam masyarakat Aceh bahwa penguasa Inggris lebih menguntungkan

mereka, ketimbang masyarakat Belanda. Pada kurun abad ke-19, wajar bagi

Kesultanan Aceh untuk menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan

Inggris pada tahun 1819, atau cenderung ke arah tersebut, terutama setelah

serangan Belanda pada tahun 1973. Hal tersebut terjadi karena Aceh lebih

bersahabat dengan Inggris dan tidak menyukai Belanda. Ketika Kesultanan Aceh

menyadari bahwa Inggris tidak akan memberikan perlindungan yang dijanjikan

terhadap ancaman Belanda, Aceh berupaya mengadakan perjanjian pertahanan

bersama Amerika pada tahun 1873.28

Sejak tahun 1898 di daerah Aceh Timur mulai dibuka kesempatan bagi

penanaman modal swasta di bidang pertambangan minyak bumi dan perkebunan

besar. Usaha perkebunan tembakau telah dicoba pada beberapa daerah konsensi

sekitar Tamiang, tetapi usaha ini mengalami kegagalan karena tanahnya tidak

cocok untuk tanaman tersebut. Pada tahun 1905, dengan modal perusahaan

Belgia, tanaman tersebut diganti dengan tanaman karet. Melihat kenyataan

bahwa tanah di Aceh Timur amat cocok untuk perkebunan karet, sejak tahun

(49)

1907 Pemerintah Hindia Belanda membuka kebun karet di sekitar Langsa.

Usaha ini pun segera diikuti oleh perusahaan-perusahaan swasta lainnya.29

Usaha penanaman modal swasta di Aceh Timur dalam bidang

perkebunan karet dan kelapa sawit menjadikan wilayah ini berubah menjadi

pusat perkebunan besar di Aceh. Keadaan serupa juga terjadi dalam sektor

pertambangan minyak bumi. Khusus di bidang perekonomian rakyat, beberapa

upaya perbaikan dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Diantaranya

ialah pembangunan irigasi dan memperkenalkan tenaga penyuluh pertanian.30

Usaha-usaha ini membawa hasil dalam perbaikan ekonomi rakyat.

Setelah merdeka, pemerintah Republik Indonesia menghadapi berbagai

persoalan yang harus diselesaikan. Pada bidang sosial ekonomi masyarakat,

merupakan masalah yang tidak bisa diabaikan. Pendudukan Jepang berakhir

dengan meninggalkan masyarakat Indonesia dalam kemiskinan. Hal ini terjadi

akibat tekanan-tekanan dan pemerasan yang dilakukan Jepang selama menjajah

Indonesia. Jepang tidak memberikan kesempatan pada rakyat Indonesia untuk

bekerja dengan leluasa. Sebagian besar rakyat Indonesia dipaksa untuk bekerja

pada proyek-proyek bangunan Jepang, sehingga banyak lapangan produksi, areal

pertanian, dan perkebunan yang ditinggalkan. Kemiskinan rakyat yang

29 Muhammad Gade Ismail, (dkk)., op.cit., hlm. 20.

(50)

ditinggalkan Jepang ini ditambah pula dengan kembalinya para tawanan dan

bekas romusa ke kota-kota tanpa pekerjaan.31

Saat berada ditengah krisis pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia,

masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam tak patah semangat bahkan Aceh

menjadi daerah modal bagi Indonesia pada saat itu. Semasa Agresi Militer

Belanda I dan II, Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang tidak dikuasai

oleh Belanda.32 Pengorbanan Aceh tidak saja dalam bentuk pertahanan, bahkan

juga dalam bentuk keuangan, peralatan, dan perobatan. Setelah Konferensi Meja

Bundar (KMB) yang berakibat kepada kerugian besar di pihak Indonesia

sehingga meninggalkan hutang sebesar hampir USS 1,130 juta dari Pemerintah

Hindia Timur.33 Untuk membayar hutang itu, sekaligus untuk mengurangi beban

keuangan pemerintah, maka pemerintah harus mampu merampingkan sistem

pemerintahannya seefisien mungkin agar pengeluaran dapat lebih ditekan.

Ketika Yogyakarta menjadi ibukota negara, pemerintah Indonesia sudah

tidak mampu membiayai pemerintahannya lagi, maka rakyat Aceh memberikan

bantuan berupa keuangan, peralatan, dan obat-obatan. Oleh karena itu, Soekarno

berulang kali mengagumi perjuangan rakyat Aceh, sebagaimana dalam setiap

pidatonya didepan masyarakat Aceh. Beliau menyatakan Aceh adalah “Daerah

31 Ibid., hlm. 225.

32 Syamsuddin Haris, (dkk). Indonesia di Ambang Perpecahan?. Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 39.

33 Ruslan, (dkk). Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara

(51)

Modal” bagi Republik Indonesia, benteng perjuangan, dan pelopor perjuangan

kemerdekaan Indonesia. 34

Pernyataan Soekarno beralasan, karena Aceh dijadikan simbol bahwa

Indonesia tidak dapat diduduki oleh Belanda sepenuhnya. Aceh dijadikan bukti

bahwa masih ada wilayah Republik Indonesia yang tetap bebas untuk memberi

fakta kepada dunia internasional, terutama didalam Persatuan Bangsa-Bangsa

(PBB). Dari proses ini Aceh bergabung menjadi wilayah Republik Indonesia.

Lebih lanjut Soekarno menyatakan bahwa rakyat Aceh adalah contoh kepada

perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia dan menjadi tumpuan

perhatian rakyat disamping juga menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia.35

Tidak hanya itu saja, saat itu Soekarno mengundang tokoh-tokoh

pejuang dan pengusaha Aceh untuk memberikan dukungan moral maupun

materiil dan mengharapkan dapat mengumpulkan sejumlah dana untuk dapat

membeli sebuah pesawat terbang.36 Orang akan terharu apabila mendengar kisah

pengumpulan dana untuk pembelian dua buah pesawat terbang tersebut.37 Ketika

pemerintah meminta sumbangan kepada rakyat Aceh dalam jumlah yang besar,

dengan penuh rasa tanggungjawab mereka menyanggupi permintaan tersebut

34 Abdullah Sani Usman. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010, hlm. 191.

35 Ibid., hlm. 191.

36 Surat undangan perjamuan GASIDA untuk Presiden Soekarno dapat dilihat pada Lampiran 3, hlm 100.

(52)

padahal kondisi rakyat Aceh serba kekurangan dan hartanya telah habis kerena

penjajahan Belanda dan Jepang.

Melalui pengaruh Teungku Daud Beureueh38 yang saat itu menjabat

sebagai pemimpin di Aceh Langkat dan tanah Karo, beliau memanggil para

saudagar dan pemimpin Aceh lainnya untuk bermusyawarah membicarakan

masalah permintaan Soekarno. Pada waktu itu para saudagar Aceh yang

tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)39,

dalam tempo yang singkat dapat mengumpulkan dana yang besar yaitu uang

$120,000 dan 20 kg emas untuk membeli dua buah pesawat terbang.40

Masyarakat Aceh pada saat itu hidup di bawah garis kemiskinan, namun

dengan optimis rakyat Aceh mengumpulkan sedikit demi sedikit perhiasan dan

emas untuk disumbangkan ke pemerintah Indonesia. Dokumen pembelian

pesawat tersebut berasal dari sumbangan para pengusaha, sumbangan emas

kawin dan perhiasan para wanita-wanita desa serta zakat-zakat yang seharusnya

diterima oleh fakir miskin. Untuk memenuhi harapan Presiden Soekarno dalam

kesempatan berkunjung ke Banda Aceh pada tahun 1948, akhirnya rakyat Aceh

mampu membeli dua buah pesawat Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002.41

38 Foto Daud Beureueh dapat dilihat pada Lampiran 5, hlm. 102.

39 Foto penyerahan cek untuk pembelian pesawat Seulawah oleh GASIDA kepada Presiden Soekarno dapat dilihat pada Lampiran 6, hlm. 103.

40 Abdul Sani Usman, op.cit., hlm. 192.

(53)

Soekarno memberi nama kedua pesawat ini dengan nama seulawah yang

berarti “gunung emas” sebagai penghargaan atas pengorbanan rakyat Aceh.

Seulawah yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia Airways tidak hanya

menjadi instrumen paling penting dalam memberikan modal bagi upaya

mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan pesawat Seulawah inilah,

Indonesia mampu menembus blokade tentara pendudukan kolonial dan mampu

membawa tokoh Indonesia ke luar negeri untuk memperkenalkan Indonesia di

kancah dunia internasional.42 Pesawat Seulawah juga pernah digunakan Bung

Hatta untuk mengelilingi Sumatra, Yogyakarta, Payakumbuh, Jambi, dan Banda

Aceh.43

Sebagian dari dana tersebut masih dapat dialokasikan untuk membiayai

kegiatan duta-duta dan kantor perwakilan Republik Indoneasia (RI) di luar

negeri, diantaranya Singapura, Penang, India, Manila, perwakilan di PBB dan

biaya duta keliling H. Agus Salim ke Timur Tengah serta biaya konferensi Asia

di New Delhi, India.44 Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa

kontribusi rakyat Aceh pada Republik Indonesia sudah sangat banyak.

Pada masa Orde Baru kebijakan pemerintah ditekankan pada

pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas

politik. Aset-aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks

42 Ruslan, (dkk)., op.cit., hlm. 91.

43 Foto Bung Hatta bersama pesawat Seulawah dapat dilihat pada Lampiran 7, hlm. 104.

(54)

pembangunan. Saat ditemukannya sumber gas alam cair pada tahun 1969 di

kampung Arun, maka pada 1971 dimulailah pembangunan kilang gas alam.

Pabrik Light Natural Gas (LNG) dan Pupuk Islandar Muda yang dibangun

tersebut maju dengan pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG

terbesar dan 90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor.45 Karena kontrol

terhadap semua output dikuasai oleh rezim orde baru, kebijakan industri dan

ekonomi Aceh menjadi terkonsentrasi pada otoritas pemerintahan pusat

Indonesia.46 Pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan

bila dibandingkan dengan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah ini.

Masyarakat Aceh tidak hanya merasakan kerimbangan kekuatan pusat

dan daerah yang tidak adil, tetapi juga ketimpangan sosial ekonomi antara

kelompok pendatang yang mengeksploitasi kekayaan alam yang dimiliki Aceh

dengan masyarakat Aceh itu sendiri. Jumlah masyarakat Aceh yang hidup dalam

kemiskinan masih banyak, terutama mereka yang tinggal di wilayah pedesaan di

Aceh bagian utara. Masyarakat mulai menyadari bahwa hasil tambang gas dan

minyak sebenarnya bisa membawa kemakmuran tapi tidak pernah digunakan

45 Produksi gas alam ini berdasarkan data tahun 1998, dihasilkan devisa U$ 2,6 milyar per tahun, atau sama dengan Rp. 316 triliun sesuai dengan nilai rupiah pada tahun 1997. Devisa ini masih ditambah dengan hasil dari industri hilir dan dan hasil kekayaan hutan Aceh yang luasnya lebih dari 4 juta hektar. Kekayaan hutan yang diolah oleh perusahaan HPH menghasilkan Rp.900 miliar per tahun, sedangkan PAD Aceh dari sektor hutan ini hanya Rp. 45 miliar atau sebesar 0,5%. Lihat Al-Chaidar, op.cit., hlm. 10.

(55)

untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Aceh.47

Kemakmuran justru dibawa ke Jakarta, sementara sekelompok kecil elit Aceh

menjadi begitu makmur, maka semua itu membawa masyarakat Aceh pada

perasaan kecewa.

C. Situasi Politik Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini merupakan peninggalan

Kerajaan Aceh Darussalam. Perbedaan besar antara keduanya adalah Kerajaan

Aceh Darussalam merupakan sebuah negara yang berdaulat yang

mempraktikkan hukum Islam didalamnya. Kerajaan Aceh Darussalam

mempunyai hubungan baik dengan beberapa negara di Eropa, Asia, dan Arab.

Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat sehingga dapat menguasai

beberapa wilayah terdekat. Wilayah Kerajaan Aceh Darussalam melingkupi

setengah dari pulau Sumatra, semenanjung Malaya, dan terkenal diseluruh

dunia.48

Kerajaan Aceh Darussalam terkenal dengan ketangguhan militer dan

rakyatnya makmur, oleh karena itu Kerajaan Aceh Darussalam kedudukannya

sama dengan kerajaan lain di dunia seper

Gambar

Tabel 1.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Bank BNI Syariah Cabang Surabaya, dalam melakukan pembiayaan Griya Syariah telah memberitahukan harga perolehan griya tersebut kepada nasabah, tetapi Bank BNI Syariah

Dengan menganggap hal-hal tersebut sebagai praktek, ditekankan bahwa meskipun tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, namun berdasarkan fakta yang ada

Pemodelan 2D geolistrik pada line 1 yang terletak di bagian barat laut daerah penelitian menunjukan 4 lapisan batuan dengan rentang seperti yang terlihat gambar

1) Dra. Endang Sri Rahayu, M.Pd., selaku dosen pembimbing materi yang telah membimbing peneliti sejak awal penyusunan proposal hingga skripsi ini selesai serta

Sehingga dilakukan tugas akhir dengan judul "Perancangan Aplikasi Chat Translator Berbasis Desktop Untuk Komunikasi Dua Bahasa Dalam Jaringan Komputer"yang

Dengan melihat khasiat daun papaya yang beragam dan melihat masih sedikitnya pemanfaatan daun papaya dan juga melihat kondisi mahasiswa yang banyak mengkonsumsi mie instan yang

No Lokasi Wilayah Budaya Unggulan dan Kawasan Industri Pengembangan Komoditas Infrastruktur dan Konektivitas Pembangunan Pembangkit Listrik/ Telkom/Air Bersih Pendidikan