• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) DESMAWITA KRISTIN BARUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) DESMAWITA KRISTIN BARUS"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

LIAR

Attacus atlas

L. (Lepidoptera : Saturniidae)

DESMAWITA KRISTIN BARUS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Upaya Intesifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Desmawita Kristin Barus

(4)

RINGKASAN

DESMAWITA KRISTIN BARUS. Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae). Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH dan DAMIANA R. EKASTUTI.

Ulat sutera liar Attacus atlas merupakan salah satu serangga asli Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kokon yang dihasilkan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan kokon dari jenis ulat sutera lain, sehingga hasil olahannya dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pemenuhan kebutuhan kokon yang masih terus-menerus diambil dari alam dapat mengakibatkan penurunan populasi A. atlas di alam, oleh karena itu perlu dilakukan budidaya dan intensifikasi pemeliharaan di dalam ruangan dengan penerapan manajemen perkawinan dan pakan yang sesuai sehingga produksi dapat ditingkatkan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan upaya intensifikasi pemeliharaan ulat sutera liar A. atlas dengan mengatur perkawinan serta mengamati pengaruh jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan larva ulat sutera liar A. atlas. Penelitian ini terbagi dalam dua tahap : tahap pertama adalah manajemen perkawinan A. atlas dilakukan dengan lama perkawinan yang berbeda yaitu selama 3, 6, 12 dan 24 jam dan dilihat pengaruhnya terhadap peubah yang diamati meliputi waktu peletakan telur, jumlah telur, rataan bobot telur, waktu penetasan dan persentase daya tetas. Tahap kedua adalah pemberian dua jenis pakan alternatif (daun jambu biji dan daun kenari) dengan frekuensi pemberian yang berbeda (3 dan 4 kali sehari) dan pengaruhnya terhadap pertumbuhannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan waktu perkawinan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah telur. Jumlah telur dari hasil perkawinan selama 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata masing-masing 225.80 + 24.30 butir, 245.00 + 50.70 butir dan 288.40 + 77.63 butir, berbeda nyata dengan jumlah telur hasil perkawinan selama 3 jam yaitu 155.60 + 48.75 butir. Persentase daya tetas telur dipengaruhi sangat nyata (p<0.01) oleh lama waktu perkawinan yang berbeda dengan persentase rata-rata daya tetas sebesar 92.16 + 6.57 %. Persentase daya tetas telur tidak berbeda nyata antar waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tetapi berbeda nyata dengan persentase daya tetas telur saat perkawinan 3 jam.

Lama perkawinan yang berbeda tidak mempengaruhi waktu peletakan telur (oviposisi) dengan rataan waktu 5,00 + 0,65 hari. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa lama perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap waktu tetas telur dengan nilai rata-rata 9.80 + 0.87 hari. Lama perkawinan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap bobot telur.

Hasil penelitian pada tahap kedua yakni penerapan manajemen pakan menunjukkan bahwa larva A. atlas menyukai dua jenis daun yakni daun jambu biji dan daun kenari yang diberikan. Perlakuan pakan yang diberikan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap konsumsi pakan, kecernaan pakan, pakan yang tercerna, pertambahan bobot badan, pertambahan diameter badan, mortalitas serta periode instar. Jenis pakan dan frekuensi yang berbeda berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap rataan konsumsi larva dari instar I sampai instar IV. Larva instar I dan II

(5)

yang diberi daun kenari mengkonsumsi pakan (0.310 ± 0.021g/larva; 0.442 ± 0.033g/larva) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun jambu biji (0,279 ± 0.010g/larva; 0.392 ± 0.011g/larva ). Saat instar III dan IV, hal sebaliknya terjadi, larva yang diberi daun jambu biji mengkonsumsi pakan lebih banyak yaitu 0.967± 0.098g/larva dan 1.211 ± 0.189g/larva.

Kecernaan dan pakan tercerna dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh jenis dan frekuensi pemberian pakan. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari menghasilkan nilai kecernaan dan pakan tercerna yang lebih besar dibandingkan pemberian daun jambu biji. Sebaliknya larva instar III dan IV yang diberi daun jambu biji memiliki kecernaan dan pakan tercerna lebih tinggi dibandingkan daun kenari. Frekuensi pemberian pakan yang berbeda juga mempengaruhi kecernaan dan pakan tercerna. Nilai kecernaan dan pakan tercerna larva yang diberi pakan empat kali sehari lebih besar dibanding yang diberi pakan tiga kali per hari.

Pertambahan bobot dan diameter badan larva juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh perlakuan. Pertambahan bobot dan diameter badan larva instar I dan II yang diberi daun kenari memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan larva yang mengkonsumsi daun jambu biji namun, saat instar III dan IV pertambahan bobot dan diameter badan larva yang diberi pakan jambu lebih besar dari daun kenari. Pertumbuhan larva juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh frekuensi pemberian pakan. Larva instar I sampai instar IV memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika diberi pakan dengan frekuensi empat kali per hari dibanding tiga kali sehari. Persentase kematian tertinggi di instar I terjadi pada larva yang diberi daun kenari tiga kali pemberian. Peningkatan kematian terjadi secara ekstrim saat instar III dan instar IV. Lama daur instar juga dipengaruhi secara nyata (p <0.05) oleh perlakuan terutama saat instar I.

Kata kunci: Attacus atlas, manajemen perkawinan, manajemen pakan, intensifikasi.

(6)

SUMMARY

DESMAWITA KRISTIN BARUS. Intensification Effort Of Wild Silkworm Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) Rearing. Supervised by ASNATH MARIA FUAH and DAMIANA R EKASTUTI.

Wild silkworm Attacus atlas is one of Indonesian native insect which has high potential to be developed. The cocoons are superior compared with others types of silk, so various processed products can be made such as handicraft, clothes and art that has a high economic value. The cocoon retrieval from nature resulting in population decline of A. atlas in nature, therefore intensive indoor rearing of A. atlas with feed and mating management to increase production is necessary.

The purpose of this research was to perform intensive effort of A. atlas

rearing by examining the mating management and observed the effect of the feeding treatment on the growth of wild silkworm A. atlas. The research was divided into two phases. The first experiment focussed on mating management of

A. atlas done by the different length of mating period of 3, 6, 12 and 24 hours to assess its effect on egg performance, including eggs laying period, number of eggs, the average weight of eggs, eggs hatching period and the hatchability. The second stage was the provision of two types of alternative feed (guava leaves and walnut leaves) with a different frequency of feeding (3 and 4 times a day) to observe its influence on larval growth.

The results showed that the different of mating duration significantly affected (p<0.05) to number of eggs. The number of eggs of the mating for 6, 12 dan 24 hours was not significanly different for each 225.80 + 24.30 eggs, 245.00 + 50.70 eggs dan 288.40 + 77.63 eggs, significantly different from the number of eggs in mating for 3 hours was 155.60 + 48.75 eggs. The egg hatchability was significantly influenced (p<0.01) by different time mating with means 92.16 + 6.57 %. Percentage of eggs hatchability with mating time of 6, 12 and 24 hours were not significantly different, but significantly different from the time of mating for 3 hours.

The different time of mating did not significantly affected (p > 0.05) egg laying period (oviposition) with an average time was 5.00 ± 0.65 days. The result also showed that different time of mating was not significantly different (p> 0.05) to the time of hatching eggs with an average value of 9.80 ± 0.87 days. Moths are mated in different time of mating produced eggs that were not significantly different weighy (p> 0.05).

The results at the second research showed that larvae of A. atlas liked both types of the given leaves. Interaction of treatment types of feed and the feeding frequency significantly affected (p<0.05) feed intake, digestibility, digested food, weight gain, diameter increament, mortality and instar period. Difference in feed and feeding frequency significantly affected (p<0.05) the average of larvae’s consumption from instar I to instar IV. Larvae fed with walnut leaf consumpt 0.310 g/larva (instar I) and 0.442g/larva (instar II) higher that fed with guava leaves (0,279g/larva; 0.392 g/larva). At the third and fourth instars, larvae fed

(7)

with leaves of guava has the higher consumption average with 0.967± 0.098 g/larva and 1.211 ± 0.189g/larva.

Digestibility and digested feed were influenced significantly (p <0.05) by feed treatment. At instars I and II larvae that fed with walnut leaves have greater value of digestibility and digested feed than larvae feed with guava leaves while, the opposite happens at the third and fourth instars, larvae fed with leaves of guava has the higher value of digestibility and digested feed. Different feeding frequency also affects digestibility and digested feed. Value and digestibility of feed ingested larvae fed four times a day greater than those fed three times per day Weight gain and body diameter larvae were affected significantly (P <0.05) by treatment. Weight gain and diameter gain of the first and second instar larvae fed with walnut leaves have increament of four times higher than guava. When it get to the third and fourth instar, larvae weight gain fed with guava leaves were higher than larvae fed with walnut leaves. Highest percentage of death occurred in the first instar larvae fed on leaves walnut with three times feeding. Extreme increase of mortality occurred at the third instar and fourth instar. Stadia period also affected significantly (P <0.05) by treatment interaction, especially at instar I. Key word: Attacus atlas, mating management, feed management, intensification

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

i

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

LIAR

Attacus atlas

L. (Lepidoptera : Saturniidae)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)

Penguji: Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA

(11)

Judul Tesis : Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L.

(Lepidoptera: Saturniidae). . ama : Desmawita Kristin Barus NIM : D1511l0051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr If. Asnath M. Fuah. MS Dr Drh Damiana R. Ekastuti, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Petemakan

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(12)

Judul Tesis : Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae).

Nama : Desmawita Kristin Barus NIM : D151110051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir. Asnath M. Fuah, MS Ketua

Dr Drh Damiana R. Ekastuti, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 23 Juli 2013

(13)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012- Februari 2013 ini ialah Ulat sutera, dengan judul Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS dan Ibu Dr. Drh. Damiana R. Ekastuti, MS selaku pembimbing dan kepada penguji Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Terimakasih kepada teman-teman Pasca IPTP 2011 atas dukungannya dan kepada seluruh staf Laboratorium NRSH. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

I MANAJEMEN PERKAWINAN 5

Pendahuluan 5

Metode 5

Hasil dan Pembahasan 7

Simpulan dan Saran 10

Daftar Pustaka 10

II MANAJEMEN PAKAN 12

Pendahuluan 12

Metode 12

Hasil dan Pembahasan 19

Simpulan dan Saran 27

Daftar Pustaka 28

PEMBAHASAN UMUM 30

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

RIWAYAT HIDUP 35

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur ... 7 Tabel 2 Hasil analisis proksimat daun kenari dan daun jambu biji... 19 Tabel 3 Rataan konsumsi pakan segar daun kenari dan jambu biji dengan

frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas. ... 20 Tabel 4 Kecernaan pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi

pemberian yang berbeda pada A. atlas. ... 21 Tabel 5 Pakan yang tercerna dengan pemberian daun kenari dan daun jambu

(15)

vi

Tabel 6 Pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan

daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. ... 23

Tabel 7 Pertambahan diameter badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. ... 24

Tabel 8 Daur hidup larva A. atlas yang diberi pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda. ... 27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran ... 4

Gambar 2 Perkawinan imago betina dan jantan A. atlas ... 6

Gambar 3 Pola peletakan telur A. atlas pada lama perkawinan yang berbeda ... 8

Gambar 4 Uji palabilitas pakan pada larva A. atlas ... 14

Gambar 5 Bagan perlakuan pakan ... 15

Gambar 6 Pengukuran bobot badan ... 17

Gambar 7 Pengukuran diameter badan ... 17

Gambar 8Persentase mortalitas A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi berbeda. ... 25

(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki beragam jenis plasma nutfah dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggul. Melalui suatu proses budidaya dan pengolahan yang intensif, sumber hayati unggulan dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai jual di pasar bebas. Salah satunya adalah ulat sutera liar Attacus atlas yang hidupnya masih di alam bebas. Attacus atlas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia di antaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, (Peigler 1989). Serangga ini adalah hewan asli Indonesia dan memiliki potensi besar dalam bidang industri karena hasil olahan kokon dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kokonnya memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan kokon ulat sutra lainnya. Attacus atlas menghasilkan serat yang lebih kuat, benang yang panjang (bisa mencapai 2500 m/kokon), warna kokon yang bervariasi (coklat muda, coklat tua, keabu-abuan), tidak kusut, halus, tahan panas, anti alergi dan dapat dijadikan berbagai jenis bahan sandang (Faatih 2005; Indrawan 2007).

Selain kokon yang berkualitas, larva A. atlas memiliki sifat yang menguntungkan yaitu polivotin, polyfagus (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010) dan cukup adaptif terhadap perubahan pakan dan lingkungan baru. Kelebihan-kelebihan tersebut menjadikan sutra liar ini banyak diminati dan pada akhirnya permintaan pasar tinggi sehingga menjadi suatu tantangan untuk dapat memenuhi tuntutan konsumen.

Kebutuhan terhadap kokon dan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Harga kokon ulat sutra A. atlas mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000, sedangkan harga kokon ulat sutera murbai (Bombyx mori) hanya Rp. 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin dan Fuah 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dilakukan domestifikasi ulat sutera jenis A. atlas untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup potensial.

Salah satu tempat yang memiliki populasi A. atlas cukup besar adalah perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai hama pohon teh, sehingga selalu disemprot menggunakan pestisida. Pembasmian terhadap larva ulat sutra ini menambah tingkat kematian di alam selain pengambilan kokon langsung dari alam untuk permintaan konsumen. Pengambilan kokon dari alam secara terus - menerus tanpa disertai langkah pembibitan tentunya akan mengakibatkan kepunahan plasma nutfah ini.

Kemampuan A. atlas hidup di alam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Veda et al 1997) yang terdiri dari berbagai faktor, antara lain temperatur, jenis pakan, kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, kecepatan angin, curah hujan, predator dan parasit. Faktor-faktor alam tersebut menentukan tingkat mortalitas dan daya hidup hewan ini (Awan 2007). Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90% (Situmorang, 1996). Imago betina mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang tinggi, namun di alam populasi Attacus sangat rendah. Hal ini terjadi karena

(17)

2

40 – 80 % telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat terinfeksi parasitoid

Anastatus menzeli Ferr., sedangkan pada stadium larva, Attacus juga dapat diserang oleh lalat Exorista sorbillans (Tachiniae : Diptera) dan Xanthopimpla

(Ichneumonidae : Hymenoptera) (Situmorang, 1996). Oleh karena itu, perlu dilakukan program untuk meningkatkan produktivitasnya dengan cara domestikasi dan pemeliharaan secara intensif.

Tahapan awal melakukan budidaya yaitu dengan domestikasi A. atlas,

seleksi bibit unggul (breeding), habituasi pada pakan target (sirsak, daun kenari, teh, jambu biji dan budidaya dalam ruangan. Tahap berikutnya adalah intensifikasi dalam budidaya A. atlas. Pemeliharaan intensif dilakukan dalam kandang dengan cara mengatur sistem perkawinan, pemberian pakan, baik jenis, cara dan frekuensi pemberian pakan. Budidaya berkelanjutan dalam perjalanannya masih terbentur berbagai masalah diantaranya saat dikandangkan rasio imago jantan dan betina tidak seimbang. Imago jantan dibatasi umur hidup yang singkat sehingga perlu dilakukan pengaturan perkawinan untuk efisiensi pejantan dalam membuahi telur imago betina. Selain mengatur perkawinan, perlu pula mencari pakan alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan pakan secara cukup dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk mendukung perlunya pemeliharaan secara intensif dengan pengaturan manajemen perkawinan dan pakan adalah:

1. Keluarnya imago jantan tidak bersamaan dengan imago betina. Umur jantan lebih pendek dari umur betina dan jumlah jantan lebih sedikit dari betina. Oleh karena itu seringkali telur tidak dibuahi sehingga steril. Hal ini perlu diatasi dengan pengaturan waktu perkawinan untuk efisiensi pejantan. 2. Pakan larva A.atlas yang telah diketahui memberikan pertumbuhan paling

baik adalah daun teh dan sirsak, namun tanaman teh hanya dapat ditanam pada kondisi lingkungan tertentu. Tanaman sirsak memiliki produktivitas daun yang rendah dan bersaing dengan kebutuhan manusia karena digunakan sebagai bahan obat-obatan. Oleh karena itu perlu dicari tanaman alternatif yang produktivitas daunnya tinggi dan perbanyakan tanaman mudah dan cepat.

3. Larva A. atlas membutuhkan pakan yang segar untuk dikonsumsi sehingga mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan dan produksi. Dengan demikian dilakukan peningkatan frekuensi pemberian pakan

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan upaya intensifikasi pemeliharaan ulat sutera liar Attacus atlas dengan mengatur perkawinan serta mengamati pengaruh pemberian jenis dan frekuensi pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A. atlas

(18)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi peternak ulat sutra liar Attacus atlas terkait waktu perkawinan yang optimum, serta informasi tentang jenis dan cara pemberian pakan pada larva ulat sutra liar Attacus atlas.

Ruang Lingkup Penelitian

Perkembangan akan kebutuhan untuk kesejahteraan manusia saat ini menuntut segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah pemenuhan gaya hidup melalui sandang (pakaian). Saat ini bahan atau komponen dasar pembuatan pakaian menjadi penentu kualitas dan harga produk. Sutra merupakan bahan yang dikenal berkualitas, mewah dan dengan harga yang cukup fantastis jika dibandingkan bahan lain. Hal ini yang menjadi dasar tingginya permintaan kain sutra baik untuk lokal maupun internasional.

Attacus atlas sebagai penghasil sutra berkualitas masih dipelihara di alam bebas dan belum diintensifikasi secara berkelanjutan. Harga sutra yang mahal dan permintaan yang tinggi sampai saat ini masih dipenuhi dengan pengambilan kokon secara terus-menerus tanpa adanya langkah pembibitan. Hal ini tentunya akan mengancam keberadaan plasma nutfah asli Indonesia tersebut, menjadi punah. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah awal yang konsisten yaitu pemeliharaan secara intensif.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Awan 2007 telah berhasil membuktikan bahwa larva A. atlas dapat didomestikasi dengan produktivitas kokon yang tinggi, mortalitas 0%, dan adanya perubahan tingkah laku larva dari yang liar menjadi jinak. Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan. Informasi tersebut menunjukkan bahwa larva Attacus memiliki sifat adaptasi yang baik terhadap perlakuan yang diberikan. Respon positif diperoleh dari hasil pemeliharan di ruangan, namun yang menjadi permasalahan adalah keluarnya imago jantan dan betina dari kokon terkadang tidak bersamaan. Rasio yang sering terjadi betina lebih banyak dibandingkan dengan jantan, terlebih umur jantan lebih singkat (2-4 hari) dari betina (2-10 hari). Selain itu saat di kandang terkadang jantan dan betina tidak melakukan perkawinan sehingga perlu dilakukan manajemen perkawinan dengan harapan dapat mengefisiensikan pejantan. Penelitian tentang manajemen perkawinan ini belum pernah dilakukan sehingga hal ini menjadi kebaharuan informasi bagi peternak dalam budidaya yang intensif. Dalam penelitian ini juga dilakukan pemberian pakan daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan dasar bahwa belum ada informasi terkait produktivitas kokon dari pemberian kedua jenis pakan tersebut. Alasan lainnya adalah daun kenari adalah tumbuhan yang pemanfaatannya tidak bersaing dengan manusia. Daun jambu biji dipilih karena produktivitas daun tinggi, mudah dibudidayakan dan daunnya tumbuh sepanjang tahun. Frekuensi pemberian pakan 3 dan 4 kali per hari diberikan karena larva lebih menyukai pakan yang segar, hal ini terkait kandungan kadar air daun. Kadar air daun menentukan palatabilitas pakan dan konsumsi larva.

Semua penelitian yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan ini diharapkan mampu menjadi titik tolak peningkatan produktivitas (kokon dan telur) berkelanjutan serta membantu melestarikan plasma nutfah dari ancaman kepunahan. Lebih jauh diharapkan melalui domestikasi yang dilanjutkan dengan

(19)

4

intensifikasi dapat diwujudkan usaha pembibitan ulat sutra A. atlas sehingga lebih mudah untuk dijadikan ternak berpotensi.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran

Attacus atlas Kepunahan Tidak terjadi

Domestikasi Ternak I N T E N S I F I K A S I 1. Manajemen Perkawinan 2. Manajemen Pakan Permintaan kokon dan benang tinggi Mencegah

(20)

I MANAJEMEN PERKAWINAN

Pendahuluan

Attacus atlas merupakan serangga asli yang dimiliki Indonesia dan banyak tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Peigler 1989). Serangga ini memiliki beberapa potensi untuk dibudidayakan. A. atlas bersifat polivoltin yang berarti siklus hidupnya lebih dari satu generasi dalam satu tahunn dan jumlah telur yang dihasilkan per induk mencapai ratusan butir. Potensi lainnya adalah serangga ini polifagus dengan kata lain A. atlas mampu mengkonsumsi banyak jenis pakan diantaranya adalah daun teh, sirsak, ylang-ylang, dadap, cengkeh, jeruk, mangga, kayu manis, nangka, alpukat, kaliki (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Selain dari potensi fisiologis, A. atlas dapat menghasilkan kokon dengan kualitas baik (Faatih 2005; Indrawan 2007). Kokon dapat dijadikan berbagai macam produk baik berupa benang, pakaian, tas, asesoris, hiasan dan kerajinan tangan lainnya.

Potensi-potensi yang dimiliki A. atlas menjadi dasar untuk pelaksanaan budidaya. Pelaksanaan budidaya dibutuhkan karena sampai saat ini belum ada yang mampu menyediakan bibit A. atlas baik perorangan maupun instansi. Lebih lanjut budidaya harus segera dilakukan karena hingga saat ini bibit A. atlas masih diperoleh dari alam. Proses budidaya yang dilakukan pada A. atlas tidak jarang mengalami beberapa permasalahan diantaranya adalah jumlah imago jantan dan betina yang tidak seimbang, munculnya imago jantan dan betina tidak bersamaan, umur imago jantan yang relatif lebih singkat dibandingkan imago betina, banyaknya telur infertil yang dihasilkan imago betina karena tidak dibuahi pejantan.

Permasalahan yang dihadapi dalam proses budidaya ini perlu dicari pemecahannya. Salah satunya adalah dengan mengefisiensikan imago jantan. Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen perkawinan dalam waktu yang berbeda (3, 6, 12 dan 24 jam). Lama perkawinan yang berbeda diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi permasalahan budidaya A. atlas. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati pengaruh lama perkawinan terhadap performa telur ulat sutera liar A. atlas.

Metode Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan mulai dari bulan September 2012 sampai Februari 2013. Bertempat di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah ulat sutra liar A. atlas yang diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta dan bahan kimia yang digunakan adalah formalin 4% dan aquades. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah kandang kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3,cawan petri dan wadah pemeliharaan.

(21)

6

Prosedur Analisis Data

Kokon ulat sutra yang dibawa dari alam diletakkan dalam kandang kasa. Imago jantan maupun betina yang keluar dibiarkan kawin selama 3, 6, 12 dan 24 jam. Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Imago betina yang telah kawin dipisahkan dari jantan untuk selanjutnya dipelihara dalam wadah plastik untuk oviposisi. Telur yang diperoleh dihitung jumlahnya, ditimbang bobotnya dan dicatat lama waktu menetas.

Gambar 2 Perkawinan imago betina dan jantan A. atlas

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan (lama perkawinan: 3,6, 12 dan 24 jam), masing-masing terdiri dari lima ulangan. Model matematik yang digunakan menurut (Mattjik dan Sumertajaya 2000):

Yij = + Pi + Yj+ ij Keterangan :

Yij : Variabel respon akibat pengaruh kelompok (blok) ke-i dan lama perkawinan yang berbeda ke-j

µ : Nilai rataan umum

Pi : Pengaruh kelompok (blok) ke-i YJ : Pengaruh lama perkawinan ke-j

ij : Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-i dalam lama perkawinan ke-j.

Peubah yang diamati adalah: 1. Waktu Peletakan Telur (hari)

Waktu peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan ngengat betina untuk meletakkan telur sampai tidak menghasilkan telur lagi.

2. Jumlah Telur per Induk (butir)

Jumlah telur dihitung secara manual untuk setiap induk per perlakuan. 3. Waktu Penetasan Telur (hari)

(22)

Lamanya telur menetas dihitung dari waktu pada saat induk oviposisi sampai telur menetas menjadi larva

4. Persentase Daya Tetas Telur (%)

Dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang dihasilkan dan dikalikan 100%.

5. Rataan Bobot Telur perbutir (mg)

Rataan diperoleh dengan menimbang telur yang dihasilkan

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan.

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur per induk ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur

Peubah Perkawinan (jam)

3 6 12 24 WPT ( hari) 4.60 ± 0.55a 5.20 ± 0.84a 5.20 ± 0.45a 5.00 ± 0.63a JT (butir/imago) 155.60 ± 48.75b 225.80 ± 24.30ab 245.00 ± 50.70a 288.40 ± 77.63a WTT (hari) 9.91 ± 0.93a 9.57 ± 0.99a 9.94 ± 1.14a 9.77 ± 0.59a DTT (%) 82.06 ± 5.18b 94.89 ± 1.23a 95.28 ± 0.82a 96.41 ± 2.08a BT (mg/butir) 6.90 ± 0.20a 7.00 ± 0.70a 6.80 ± 0.20a 6.90 ± 0.60a Keterangan : WPT : Waktu peletakan telur; JT : Jumlah telur ; WTT : Waktu tetas telur ; DTT :

Daya tetas telur; BT: Bobot telur. Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang beda berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Waktu Peletakan Telur (Oviposisi)

Hasil penelitian pada Tabel 1. menunjukkan bahwa lama waktu perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap waktu peletakan telur. Waktu peletakan telur untuk lama kawin 3 jam yaitu 4.60 ± 0.55 hari, 6 jam: 5.20 ± 0.84hari, 12 jam: 5.20 ± 0.45hari dan 24 jam: 5.00 ± 0.63hari. Waktu peletakan telur dari hasil penelitian ini lebih seragam jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, Awan (2007) 2-10 hari, Desiana (2008) 2-5 hari. Menurut Dewi (2010) semakin banyak telur yang dioviposisikan pada awal peletakan maka semakin pendek masa bertelur. Keseragaman waktu peletakan telur merupakan hal yang baik dalam proses budidaya.

(23)

8

Gambar 3 Pola peletakan telur A. atlas pada lama perkawinan yang berbeda Pola peletakan telur (oviposisi) pada lama perkawinan yang berbeda terlihat pada Gambar 3. Pola peletakan telur yang terjadi pada lama perkawinan yang berbeda cendrung menurun setiap harinya. Pola ini terjadi dikarenakan energi yang dimiliki ngengat untuk melakukan oviposisi mulai menurun.

Ngengat betina umumnya menghasilkan telur dengan jumlah ratusan dan diletakkan secara individu atau berkelompok dengan jumlah 3-10 butir (Adria dan Idris, 1997). Ngengat betina akan melakukan oviposisi atau peletakan telur setelah perkawinan, peletakan telur dapat berlangsung selama 4-6 hari (Goswami dan Singh 2012). Ngengat betina akan meletakkan telur tidak hanya di satu tempat tetapi secara acak.

Jumlah Telur Per Induk

Jumlah telur dipengaruhi secara nyata (P<0.05) oleh lama waktu perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1, terjadi peningkatan jumlah telur seiring dengan peningkatan lama perkawinan (3, 6, 12 dan 24 jam). Ngengat betina yang dikawinkan selama 24 jam menghasilkan jumlah telur terbanyak yaitu 288.40 +77.63 butir dan diikuti ngengat yang dikawinkan selama 12 jam (245.00 + 50.70 butir), 6 jam (225.80 + 24.30 butir) dan 3 jam (155.60 + 48.75 butir). Jumlah telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. Jumlah telur yang dihasilkan pada penelitian ini 155 – 288 butir tidak berbeda dengan hasil penelitian di alam oleh Nazar (1990) yaitu 286 butir.

Lama perkawinan antara 3 dan 6 jam memiliki selisih waktu yang cukup singkat sehingga jumlah telur yang dihasilkan dari kedua waktu perkawinan tersebut tidak berbeda nyata. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan ngengat untuk bertelur. Sing et al (2003) menyatakan bahwa proses peneluran tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormonal, lingkungan, fisik dan tingkah laku. Kondisi fisik yang kurang baik dari ngengat akan mempengaruhi tingkah laku kawin dan perkawinan sangat penting dalam pembentukan telur ulat sutera. Jumlah telur dipengaruhi oleh kualitas pakan yang

(24)

dikonsumsi ngengat selama masih menjadi larva dan juga dipengaruhi oleh sifat betina (maternal effect).

Jumlah telur yang dihasilkan ngengat betina dapat menentukan jumlah larva baru yang akan menetas. Semakin banyak jumlah telur maka semakin banyak pula bibit baru yang tersedia. Jumlah telur yang dihasilkan merupakan salah satu faktor penting bagi peternak ulat sutra dalam menopang keseimbangan populasi dan produksi.

Waktu Telur Menetas

Waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan (P>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tetas telur untuk lama perkawinan 3 jam adalah 9.91 ± 0.93hari, 6 jam: 9.57 ± 0.99 hari, 12 jam: 9.94 ± 1.14hari dan 24 jam : 9.77 ± 0.59hari. Waktu tetas telur dari semua lama perkawinan terlihat lebih seragam jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya: 7-13 hari (Adria dan Idris 1997) dan 10-12 hari (Awan 2007). Waktu tetas yang seragam mempermudah peternak dalam pemeliharaan. Waktu tetas telur dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan saat inkubasi berlangsung, hormon ekdison dan juvenile dan adanya aktivitas enzim (Triplehorn dan Johnson 2005) sedangkan menurut Yusuf (2009) perbedaan waktu penetasan dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan dalam proses pembentukan embrio setiap individu. Proses perkembangan embrio telah sempurna pada hari ke 6-7, namun larva belum mampu membuka cangkang telur. Oleh karena itu sesuai hasil penelitian untuk semua perlakuan lama perkawinan, telur menetas 9.80 + 0.87 hari maka embrio yang dihasilkan telah sempurna. Waktu tetas telur perlu diketahui oleh peternak agar dapat dilakukan persiapan dalam penyediaan pakan, tempat pemeliharaan dan penyesuaian kondisi lingkungan.

Daya Tetas Telur

Lama perkawinan yang berbeda sangat mempengaruhi (P<0.001) persentase daya tetas telur A. atlas. Persentase daya tetas telur dengan waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan waktu perkawinan 3 jam. Persentase daya tetas telur tertinggi terjadi pada lama kawin 24 jam (96.41 + 2.08 %) dan terendah pada lama kawin 3 jam (82.06 + 5.18). Penelitian Adria dan Idris (1997) memperlihatkan bahwa daya tetas telur A. atlas

di alam sebesar 72.06%. Proses penetasan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan telur, hormon ekdison dan juvenil (Triplehorn dan Johnson 2005). Lama perkawinan memberikan banyak kesempatan ngengat betina menerima sperma untuk disimpan dan membuahi telur. Banyaknya sperma yang ada akan meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas, sehingga lama perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Tingginya persentase daya tetas telur dan keseragaman waktu tetas telur merupakan hal yang penting dalam proses pemeliharaan ulat sutra. Kedua hal tesebut dijadikan tolok ukur terhadap kualitas bibit ulat sutra.

Rataan Bobot Telur

Lama perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rataan bobot telur karena pada dasarnya rataan bobot telur lebih dipengaruhi oleh

(25)

10

genetik dan kualitas pakan yang dikonsumsi ngengat betina selama masih menjadi larva. Rataan bobot telur secara berturut dari hasil perkawinan 3, 6, 12 dan 24 jam yaitu 6.90 ± 0.20 mg/butir, 7.00 ± 0.70 mg/butir, 6.80 ± 0.20 mg/butir dan 6.90 ± 0.60 mg/butir. Kualitas dan kuantitas pakan yang rendah akan mempengaruhi berbagai proses fisiologis serangga sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan pada imago yang mengakibatkan produksi dan mutu telur berkurang.

Simpulan dan Saran Simpulan

1. Lama perkawinan yang berbeda (3, 6,12 dan 24 jam) mempengaruhi jumlah telur dan tingginya persentase daya tetas telur yang dihasilkan.

2. Jumlah telur dan persentase daya tetas telur pada lama kawin 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata.

3. Waktu perkawinan yang optimum adalah 6 jam

4. Lama perkawinan yang berbeda tidak mempengaruhi waktu peletakan telur, waktu tetas telur dan rataan bobot telur.

Saran

1. Perkawinan dalam waktu singkat (6 jam) dapat dilakukan saat ratio ngengat jantan yang muncul jauh lebih sedikit dibanding ngengat betina sehingga efisiensi pejantan tercapai.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh suhu, kelembaban dan cahaya saat pengambilan data perkawinan.

3. Perlunya ruangan yang terpisah untuk pemeliharaan imago dan pemeliharaan larva.

Daftar Pustaka

Adria dan Idris H. 1997. Aspek Biologis Hama Daun Attacus atlas pada Tanaman Ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. III (2). No. 35-48 Adria 2010. Populasi dan Intensitas Serangan Hama Attacus atlas (Lepidoptera :

Saturniidae) dan Aspidomorpha miliaris (Coleoptera : Chrysomelidae pada Tanaman Ylang-ylang). Jurnal Litri Vol. 16 No. 2: 77 – 82.

Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dewi S. 2009. Pertumbuhan larva dan produktivitas kokon A. atlas pada jenis pakan (sirsak, kayu manis, alpukat) dan kepadatan yang berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Dewi A. 2010. Pengaruh penyimpanan dan hari oviposisi terhadap waktu penetasan dan daya tetas telur A. atlas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(26)

Desiana R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur A. atlas asal Purwakarta pada berbagai jenis kandang pengawinan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Faatih M. 2005. Aktivitas Anti-Mikroba Kokon Attacus atlas, L. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 6. No. 1. 35-48.

Goswami D. & Singh HI. 2012. Bioecological Studies of Indian Golden Silk Moth, Antheraea assamensis Helfer (Lepidoptera: Saturniidae). Munis Entomology & Zoology, 7 (1): 274-283].

Indrawan, Muhammad. 2007. Karakter Sutra Ulat Jedung (Attacus atlas L.) yang Dipelihara pada Tanaman Pakan Senggugu (Clerodendron serratum

Spreng). J. Biodiversitas. Volume 8, No. 3. Hal: 215-217.

Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Rincinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropa curca L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nazar A. 1990. Beberapa Aspek Biologi Ulat Perusak Daun (Attacus atlas Linn) pada Tanaman Cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. XVI (1); 35-37.

Peiger R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Leptidoptera Research Foundation. California (ID): Inc. Beverly Hills. Singh,T., B. Saratchandra and H.S.P.Raj. 2003. Physiological and Biochemical

Modulations During Oviposition and Egg Laying in the Silkworm, Bombyx mori L. J. Indust. Entomol. 6(2) 115-123.

Situmorang J. 1996. An Attemp to Produce Attacus atlas L. Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. Of Wild Silkmoth and Silk. 1. 25-29.

Triplehorn, C. A. and N. F. Johnson. 2005 Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insects. 7th Edition. Tomson, Australia.

Yusuf Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L. (Lepidoptera:

(27)

12

II MANAJEMEN PAKAN Pendahuluan

Attacus atlas merupakan salah satu serangga penghasil sutra terbaik dan masih hidup di alam. Larva ulat sutra bersifat polivoltin dan polifagus yang artinya dapat mengkonsumsi banyak jenis daun. Daun yang dikonsumsi diantaranya adalah daun teh, sirsak, ylang-ylang, dadap, cengkeh, jeruk, mangga, kayu manis, alpukat, kaliki (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Perbedaan kualitas daun yang dikonsumsi akan mempengaruhi lama siklus hidup larva dan kualitas kokon yang dihasilkan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Awan 2007 bahwa siklus hidup yang dipelihara di dalam ruangan dan diberi makan secara intensif mampu memperpendek siklus hidup larva. Selain siklus hidup produktivitas juga mengalami peningkatan dan tingkah laku liar menjadi lebih jinak.

Kemampuan Attacus mengkonsumsi banyak jenis pakan menjadi suatu potensi untuk dikembangkan. Pemeliharaan larva juga harus diiringi dengan penyediaan pakan dengan palatabilitas yang baik. Pakan yang dipilih sebaiknya dapat dibudidayakan dalam waktu singkat dan memiliki produktivitas daun tinggi. Oleh karena itu eksplorasi pakan perlu dilakukan. Selain jenis pakan, kualitas daun juga perlu diperhatikan karena larva lebih menyukai pakan dalam kondisi segar ( Nazar 1990 ; Ekastuti 1999; Awan 2007) seperti di alam maka frekuensi pemberian pakan untuk pemeliharaan di dalam ruangan perlu ditingkatkan.

Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90%, sehingga walaupun imago betina mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak, namun di alam populasi Attacus sangat rendah. Hal ini terjadi karena 40 – 80% telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat terinfeksi parasitoid Anastatus menzeli Ferr, sedangkan pada stadium larva

Attacus juga dapat diserang oleh lalat Exorista sorbillans (Tachiniae : Diptera) dan Xanthopimpla (Ichneumonidae : Hymenoptera). Pemeliharaan secara intensif di dalam ruangan juga menjadi dasar untuk mengurangi mortalitas akibat predator maupun parasitasi. Pengendalian kondisi lingkungan selama pemeliharaan juga mengurangi mortalitas (Situmorang 1996; Veda et al 1997; Atmosoedarjo et al

2000; Dolezal 2007). Olehkarena itu perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif dengan penerapan manajemen pakan serta frekuensi pemberian pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian jenis pakan dan frekuensi yang berbeda terhadap pertumbuhan ulat sutra Attacus atlas.

Metode Lokasi dan Waktu

Penelitian tahap dua dilakukan selama enam bulan mulai dari bulan September 2012 sampai Februari 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.

(28)

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada tahap ini adalah adalah ulat sutera liar Attacus atlas, pakan berupa daun kenari dan jambu biji. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah kandang kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3 ,cawan petri, tempat pemeliharaan yang berukuran 25 x 25 x 20 cm3, thermohygrometer digital, digital caliper, lux meter, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, dan oven.

Tahap persiapan 1. Persiapan kandang

Ruangan tempat pemeliharaan beserta seluruh peralatan kandang, rak dan alat dibersihkan. Sumber pakan yang akan digunakan berupa daun jambu biji diletakkan serta dirawat dekat ruangan pemeliharaan.

2. Uji palabilitas

Larva Attacus atlas instar V dan VI yang diambil dari Perkebunan Teh di Purwakarta diberi beberapa jenis daun yaitu daun kenari, kunyit, daun bunga kembang sepatu, jambu biji dan ketapang. Eksplorasi pakan dilakukan untuk melihat pakan yang lebih tinggi palatabilitasnya. Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa daun jambu biji dan daun kenari palatabilitasnya tertinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

3. Persiapan bibit

Kokon yang diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta, kemudian ditempatkan di dalam kandang kasa sampai menjadi imago. Imago jantan dan betina yang keluar dibiarkan kawin dalam kandang kasa, kemudian induk betina dipisahkan dan dipelihara dalam sebuah wadah untuk bertelur (oviposisi). Telur yang diperoleh dari imago betina direndam dalam larutan desinfektan formalin 4% selama 1-2 menit dan dibilas dengan air mengalir. Telur dikeringkan dengan menggunakan tissue kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Telur yang diinkubasi akan menetas dalam 7-10 hari. Telur yang menetas dan menghasilkan larva pada hari yang sama dipindahkan ke beberapa cawan petri sesuai perlakuan pakan masing-masing. Tiap cawan yang merupakan unit percobaan berisi 15 ekor larva ulat sutera.

(29)

14

Gambar 4 Uji palabilitas pakan pada larva A. atlas

(A) Daun kenari; (B) Daun jambu biji; (C) Daun ketapang; (D) Daun bunga kembang sepatu; (E) Daun kunyit

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial, dengan perlakuan sebanyak 2 faktor, yaitu: 1). pemberian dua jenis pakan (daun jambu biji dan daun kenari), 2). Frekuensi pemberian pakan (3 kali dan 4 kali sehari). Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali dengan pola: 2x2x5. Perlakuan pakan berupa daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian pakan yang dilakukan sebanyak tiga kali per hari yaitu pukul 08.00, 12.00 dan 17.00 WIB dan empat kali per hari pada pukul 08.00, 11.00, 14.00 dan 17.00 WIB.

(30)

Gambar 5 Bagan perlakuan pakan

Pengambilan data bobot dan diameter badan dilakukan dengan cara mengambil sampel larva secara acak sebanyak 50% dari total populasi tiap tempat pemeliharaan dari masing-masing perlakuan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 08.00-09.00), siang hari (pukul 12.00-13.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00) WIB.

Peubah yang Diamati

1. Konsumsi pakan segar (g/larva/instar)

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan seekor larva ulat sutera per tahap instar. Jumlah pakan yang diberikan pada larva pada hari itu ditimbang (a). Sisa pakan keesokan harinya ditimbang kembali (b). Perhitungan konsumsi dihitung dengan memasukkan faktor koreksi. Faktor koreksi (penguapan kandungan air pakan) didapatkan dengan memisahkan daun (sampel daun) dari daun yang diberikan pada larva. Daun ditimbang diletakkan pada wadah terpisah dan ditempatkan berdekatan dengan perlakuan. Sampel daun tersebut ditimbang kembali keesokan harinya. Perhitungan faktor koreksi yaitu berat awal sampel

(31)

16

daun dikurangi berat akhir sampel daun dibagi berat awal daun. Konsumsi pakan segar per larva per hari (X) dihitung menggunakan rumus :

Keterangan :

X = konsumsi pakan segar per ekor per hari a = pakan segar yang diberikan setiap hari b = pakan sisa

c = faktor koreksi

n = jumlah larva yang berhasil hidup hari tersebut

Konsumsi pakan segar per larva per instar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Konsumsi pakan segar = X1+X2+X3+ ………..+ Xi 2. Kecernaan pakan (%)

Kecernaan adalah persentase pakan yang dicerna oleh tubuh. Kecernaan dapat dihitung dengan cara selisih antara berat kering (BK) pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses dibagi dengan berat kering pakan yang dikonsumsi. Rumus yang digunakan :

3. Pakan tercerna (g/larva)

Pakan tercerna adalah jumlah pakan segar yang dapat dicerna larva dari pakan yang dikonsumsi. Perhitungan jumlah pakan tercerna untuk mengetahui jumlah pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Perhitungan jumlah pakan tercerna dengan cara mengalikan jumlah konsumsi pakan dengan besarnya daya cerna. Rumus yang digunakan :

Pakan tercerna = kecernaan x konsumsi pakan segar 4. Pertambahan bobot badan (g)

Pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal instar. Pengukuran bobot badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan ditimbang tiap larva seperti pada Gambar 5. Pertambahan bobot badan setiap tahap instar diperoleh dari selisih antara bobot badan pada akhir instar dengan penimbangan bobot badan awal instar. Rumus yang digunakan yaitu:

Pertambahan bobot badan = BBx – (BBx - i) Keterangan :

BBx : rataan bobot badan pada akhir instar BBx-i : rataan bobot badan pada awal instar

(32)

5. Pertambahan Diameter badan (cm)

Pengukuran diameter badan yaitu selisih antara diameter badan akhir instar dengan awal instar. Pengukuran diameter badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan diukur tiap larva. Pertambahan diameter badan per instar diperoleh dari selisih antara diameter badan pada akhir instar dengan diameter awal instar. Rumus yang digunakan yaitu:

Pertambahan diameter badan = PDx – (PDx - i) Keterangan :

PDx : rataan diameter badan pada akhir instar PDx-i : rataan diameter badan pada awal instar

6. Mortalitas (%)

Mortalitas dihitung setiap dilakukan pergantian pakan dan persentase mortalitas dilihat setiap akhir instar. Persentase mortalitas diperoleh dengan membagi selisih jumlah larva pada awal tahapan instar dengan jumlah individu akhir instar dikalikan seratus persen. Rumus yang digunakan yaitu :

Gambar 7 Pengukuran diameter badan Gambar 6 Pengukuran bobot badan

(33)

18

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial). Perlakuan yang diberikan adalah jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan. Masing-masing perlakuan diberikan ulangan lima kali dan setiap ulangan terdiri atas 15 ekor larva. Model matematik yang digunakan menurut (Mattjik dan Sumertajaya 2000) :

Yijk = + Pi + Yj+ PYij + ijk Keterangan :

Yijk : Variabel respon akibat pengaruh frekuensi pemberian pakan ke-i dan pakan yang berbeda ke-j pada ulangan ke-k

µ : Nilai rataan performa pertumbuhan pada larva ulat sutera liar Pi : Pengaruh frekuensi pemberian pakan pada taraf ke-i

YJ : Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda (daun kenari dan jambu biji) pada taraf ke-j

Pyij : Pengaruh interaksi antara frekuensi pemberian pakan ke-i dengan jenis pakan yang berbeda ke-j

ij : Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij.

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika pada analisis ANOVA didapatkan hasil yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.

(34)

Hasil dan Pembahasan

Uji proksimat dilakukan pada daun jambu biji dan daun kenari yang digunakan sebagai pakan larva A. atlas. Daun yang diuji terdiri dari enam sampel yaitu daun jambu biji dan daun kenari yang muda, sedang, dan tua. Pembagian uji ini disesuaikan dengan kondisi daun yang diberikan saat pemeliharaan instar awal (I dan II) daun muda, sedangkan untuk instar III dan IV diberi daun sedang, dan Instar V diberi daun tua. Pembagian kondisi daun muda, sedang dan tua dilihat dari urutan daun pada tangkai. Hasil uji proksimat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil analisis proksimat daun kenari dan daun jambu biji

Kode Sampel Kadar

Air

Abu Lemak Protein Serat Kasar

BETN ...%...

Daun jambu biji Muda 74.29 1.40 0.88 3.65 4.10 15.68 Daun jambu biji Sedang 68.85 1.84 1.04 4.34 6.14 17.79 Daun jambu biji Tua 61.13 1.98 1.43 5.21 6.00 24.25 Daun kenari Muda 81.26 0.92 0.55 3.10 2.67 11.50 Daun kenari Sedang 77.1 1.18 0.61 3.51 5.19 12.41 Daun kenari Tua 59.74 4.49 0.82 4.64 7.61 22.70

Suhu, kelembaban dan cahaya ruang pemeliharaan

Temperatur dan kelembaban harian ruangan pemeliharaan Attacus atlas

berfluktuasi baik pagi, siang dan sore hari. Suhu rata-rata pada pagi hari 27,44 ± 0.38 oC, siang hari 28,21 ± 0.45 oC dan sore hari 27.52 ± 52 oC. Suhu maksimum dan minimum yang tercatat selama pemeliharaan secara berurutan adalah 28.9 oC pada siang hari dan 26.2 oC pada sore hari.

Kelembaban pagi, siang dan sore hari berturut turut yaitu 83.93 ± 3.37%, 75.33 ± 6.57% dan 82.42± 5.14%. Kelembaban minimum 56,9% yang terjadi di siang hari dan kelembaban maksimum 91,7% di sore hari. Cahaya pagi 0.009±0,004 Klux, siang 0.015 ± 0.008 Klux dan sore 0.008± 0.017 Klux. Cahaya minimum terjadi di sore hari 0.001 Klux dan maksimum di siang hari 0.029 Klux. Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna Larva A. atlas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas mengkonsumsi kedua jenis pakan perlakuan yang diberikan yaitu daun jambu biji dan daun kenari. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa A. atlas merupakan serangga yang polipagus (Peigler 1989; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Konsumsi pakan segar dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan konsumsi pakan segar tiap ekor larva A. atlas. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih besar dibandingkan dengan larva yang mengkonsumsi daun jambu biji yaitu sebesar 0.310±0.021 g/larva. Frekuensi pemberian pakan yang diberikan kepada larva instar I dan II sebanyak empat kali sehari menghasilkan rataan konsumsi pakan yang lebih besar dibandingkan larva yang hanya diberi pakan tiga kali sehari.

(35)

20

Konsumsi pakan tertinggi pada larva instar I dan II terjadi saat larva diberi daun kenari dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari dengan masing-masing nilai konsumsi sebesar 0.317 ± 0.015 g/larva dan 0.459 ± 0.015 g/larva. Tabel 3 Rataan konsumsi pakan segar daun kenari dan jambu biji dengan

frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas.

Instar Frekuensi Daun kenari (g) Jambu (g) Rataan (g) Instar I 3 kali 0.304 ± 0.010b 0.274 ± 0.012c 0.289 ±0.011b 4 kali 0.317 ± 0.015a 0.284 ± 0.003c 0.300 ±0.012a Rataan 0.310 ± 0.021a 0.279 ± 0.010b P < 0.05 Instar II 3 kali 0.425 ± 0.039b 0.392 ± 0.012c 0.408 ±0.032b 4 kali 0.459 ± 0.015a 0.392 ± 0.012c 0.422 ±0.037a Rataan 0.442 ± 0.033a 0.392 ± 0.011b P < 0.05 Instar III 3 kali 0.815 ± 0.038c 0.935 ± 0.040b 0.875±0.115b

4 kali 0.924 ± 0.050b 1.000 ± 0.010a 0.962±0.091a Rataan 0.869 ± 0.085b 0.967 ± 0.098a P < 0.05 Instar IV 3 kali 0.918 ± 0.125b 1.132 ± 0.217b 1.025±0.201b

4 kali 1.025 ± 0.162b 1.291 ± 0.132a 1.158±0.197a Rataan 0.972 ± 0.148b 1.211 ± 0.189a P < 0.05

Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).

Hal yang sebaliknya terjadi pada instar III dan IV. Larva instar III dan IV yang diberi pakan daun jambu biji memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih tinggi dibandingkan dengan larva yang diberi daun kenari. Frekuensi pemberian pakan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap raatan konsumsi pakan segar larva instar III dan IV. Hal ini terlihat dari larva yang diberi makan empat kali perhari memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih banyak dibanding tiga kali sehari yaitu sebesar 0.962±0.091 g/ larvauntuk instar III dan 1.158±0.197 g/larva untuk instar IV. Konsumsi pakan tertinggi pada larva instar III dan IV terjadi saat larva diberi daun jambu biji dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari dengan masing-masing nilai konsumsi sebesar 1.000 ± 0.010 g/larva dan 1.291 ± 0.132g/larva.

Larva yang diberi pakan empat kali sehari memiliki rataan konsumsi pakan yang lebih besar dibandingkan dengan larva yang diberi pakan tiga kali sehari. Hal ini disebabkan larva A. atlas lebih menyukai pakan dalam kondisi segar, dimana kandungan yang terdapat pada daun seperti kadar air, protein, lemak dan serat masih baik (Ekastuti 1999; Awan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Hamamura 2001). Daun yang berkualitas baik dan segar mengeluarkan aroma dari zat yang terkandung di dalamnya sehingga meningkatkan selera dan aktivitas makan larva (Mulyani 2008).

Uji proksimat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa daun kenari muda memiliki kadar air lebih tinggi (81.26%) dibandingkan daun jambu biji muda (74.29%). Kandungan serat kasar daun jambu biji lebih banyak (4.10%) dibanding daun kenari (2.67%) tetapi kadar proteinnya tidak jauh berbeda. Pada awal instar biasanya kebutuhan akan kadar air menjadi sangat penting, namun serat kasarnya tidak terlalu tinggi. Hal ini yang menyebabkan awal instar lebih banyak

(36)

mengkonsumsi daun kenari dibandingkan daun jambu biji. Pakan yang sesuai bagi larva harus mengandung nutrisi lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera (Ahmad et al 2006). Instar III dan IV lebih menyukai daun jambu biji dikarenakan kebutuhan larva berubah. Larva membutuhkan serat kasar yang lebih besar dan kadar air yang tidak terlalu tinggi.

Banyak atau sedikitnya pakan segar yang dikonsumsi larva bukan menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Selain jumlah pakan yang dikonsumsi kecernaan pakan juga perlu diketahui. Hasil uji statistik terhadap kecernaan dari dua jenis pakan dan frekuensi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kecernaan pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas.

Instar Frekuensi Daun kenari (%) Jambu (%) Rataan (%) Instar I 3 kali 25.90 ± 0.010b 21.70 ± 0.003c 23.80 ± 0.007b 4 kali 27.60 ± 0.012a 22.60 ± 0.004c 25.10 ± 0.008a Rataan 26.75 ± 0.011a 22.15 ± 0.005b P < 0.05 Instar II 3 kali 26.10 ± 0.027b 22.90 ± 0.009c 24.50 ± 0.019b 4 kali 28.10 ± 0.027a 23.40 ± 0.005c 25.75 ± 0.018a Rataan 27.10 ± 0.025a 23.15 ± 0.008b P < 0.05 Instar III 3 kali 27.50 ± 0.006c 29.70 ± 0.007b 28.6 ± 0.010b

4 kali 29.70 ± 0.005b 31.70 ± 0.004a 30.7 ± 0.012a Rataan 28.60 ± 0.006b 30.70 ± 0.007a P < 0.05 Instar IV 3 kali 30.70 ± 0.006b 32.50 ± 0.008a 31.6 ± 0.012b

4 kali 31.50 ± 0.007b 35.50 ± 0.008a 33.5 ± 0.013a Rataan 31.10 ± 0.009a 34.00 ± 0.007b P < 0.05

Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).

Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan kecernaan pakan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa rataan kecernaan pakan instar I dan instar II lebih besar dihasilkan saat larva diberi daun kenari. Frekuensi pemberian pakan empat kali sehari menghasilkan rataan kecernaan pakan yang lebih tinggi dengan nilai 25.10±0.008% untuk instar I dan 25.75±0.018% instar II. Larva instar I yang diberi daun kenari sebanyak empat kali sehari menghasilkan kecernaan pakan tertinggi, begitu juga dengan larva instar II. Rataan kecernaan pakan pada larva instar III dan IV dipengaruhi oleh jenis pakan dan frekuensi pemberian. Nilai kecernaan pakan berubah saat instar III dan IV. Larva yang diberi pakan daun jambu biji memiliki kecernaan pakan yang lebih besar dibanding larva yang diberi daun kenari. Namun, untuk frekuensi pemberian empat kali tetap lebih baik dibanding pemberian tiga kali sehari. Larva instar III dan IV yang menghasilkan nilai kecernaan tertinggi adalah saat larva diberi daun jambu biji dengan frekuensi pemberian empat kali sehari.

Rataan kecernaan pakan pada larva instar I dan II yang diberi daun kenari lebih baik dibandingkan daun jambu biji. Hal ini disebabkan daun jambu biji memiliki struktur daun yang lebih keras dibandingkan dengan daun kenari sehingga larva kecil lebih menyukai daun kenari, hal ini sesuai dengan pernyataan

(37)

22

Vonny dan Nugroho (2005) yang menyatakan bahwa kondisi permukaan epidermis dan struktur daun mempengaruhi preferensi pakan dan kesukaan makanan pada larva A. atlas sedangkan, daun dengan struktur keras dan adanya trikoma mempersulit aktivitas makan larva sehingga kurang disukai oleh larva muda A. atlas. Daun yang disediakan empat kali sehari memiliki kecernaan pakan yang lebih baik dibanding tiga kali sehari. Frekuensi pemberian pakan yang lebih sering (empat kali sehari) menjaga kesegaran daun dan kadar air yang cukup tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pertumbuhan larva Lepidoptera sangat tergantung kadar air pakan (Elzinga 2004). Persentase kecernaan daun jambu biji dari mulai instar I sampai V mengalami peningkatan, sebaliknya persentase kecernaan daun kenari di awal tinggi dan menurun di instar selanjutnya. Hal ini karena nutrient yang terkandung dalam daun mempengaruhi pakan yang tercerna.

Pada Tabel 5. memperlihatkan bahwa perlakuan jenis dan frekuensi pemberian pakan mempengaruhi (p<0.05) pakan yang tercerna. Pengukuran pakan yang tercerna bertujuan untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang dicerna tubuh. Tercernanya pakan di dalam organ pencernaan tergantung dari kandungan yang ada di dalam pakan.

Tabel 5 Pakan yang tercerna dengan pemberian daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda pada A. atlas

Instar Frekuensi Daun kenari (g) Jambu (g) Rataan (g) Instar I 3 kali 0.067 ± 0.004b 0.048 ± 0.003c 0.057 ± 0.003a 4 kali 0.071 ± 0.006a 0.050 ± 0.002c 0.060 ± 0.004a Rataan 0.069 ± 0.007a 0.049 ± 0.004b P < 0.05 Instar II 3 kali 0.111 ± 0.012b 0.093 ± 0.014c 0.102 ± 0.013b 4 kali 0.133 ± 0.012a 0.095 ± 0.005c 0.114 ± 0.013a Rataan 0.122 ± 0.011a 0.094 ± 0.012b P < 0.05 Instar III 3 kali 0.229 ± 0.008c

0.290 ± 0.037b 0.260 ± 0.041b 4 kali 0.287 ± 0.023b 0.331 ± 0.009a 0.309 ± 0.038a Rataan 0.258 ± 0.026b 0.310 ± 0.033a P < 0.05 Instar IV 3 kali 0.283 ± 0.042c 0.378 ± 0.070a 0.331 ± 0.071b 4 kali 0.323 ± 0.051b 0.432 ± 0.044a 0.378 ± 0.073a Rataan 0.303 ± 0.049b 0.405 ± 0.065a P < 0.05

Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).

Pakan yang tercerna pada awal instar I dan II yang diberi daun kenari lebih besar dibanding larva yang diberi daun jambu biji. Larva instar I dan II akan menghasilkan pakan tercerna yang tertinggi saat diberi daun daun kenari dengan empat kali pemberian pakan dengan masing-masing nilai sebesar 0.071±0.006 g/larva dan 0.133±0.012 g/larva . Namun, pada instar I larva yang diberi pakan dengan frekuensi pemberian tiga dan empat kali sehari menghasilkan pakan tercerna yang tidak berbeda nyata. Pada saat instar II besarnya pakan yang tercerna dari frekuensi pemberian empat kali lebih baik dibanding tiga kali sehari.

(38)

Sama halnya dengan konsumsi pakan dan kecernaan pakan, jumlah pakan tercerna dari larva yang diberi daun jambu biji semakin meningkat saat memasuki instar III dan IV. Terlihat bahwa rataan pakan tercerna daun jambu biji lebih tinggi (0.310 ±0.033 g/larva dan 0.405 ± 0.065g/larva ) dibanding daun kenari (0.258 ± 0.026g/larva dan 0.303 ± 0.049 g/larva), begitu juga dengan frekuensi pemberian pakan empat kali berbeda nyata dibanding pemberian tiga kali sehari. Larva instar III dan IV memiliki kecernaan pakan tertinggi saat diberi pakan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian empat kali sehari. Larva yang diberi pakan daun kenari memiliki pakan tercerna yang lebih kecil hal ini menyebabkan daya tahan tubuh berkurang sehingga menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan larva dan mengakibatkan kematian.

Pertumbuhan Larva A. atlas

Pertumbuhan larva dapat dilihat melalui pertambahan bobot badan. Bobot badan menjadi indikator eksternal terhadap palatabilitas pakan, tingkat kecernaan dan pakan yang tercerna. Tabel 6 merupakan hasil uji statistik untuk pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun jambu biji dan daun kenari dengan frekuensi yang berbeda.

Tabel 6 Pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda.

Instar Frekuensi Daun kenari (g) Jambu (g) Rataan (g) Instar I 3 kali 0.033 ± 0.001b 0.017 ± 0.001d 0.025 ± 0.009b 4 kali 0.037 ± 0.001a 0.019 ± 0.002c 0.028 ± 0.010a Rataan 0.035 ± 0.002a 0.018 ± 0.002b P < 0.05 Instar II 3 kali 0.102 ± 0.005a 0.023 ± 0.001b 0.062 ± 0.052b 4 kali 0.121 ± 0.004a 0.033 ± 0.002b 0.077 ± 0.050a Rataan 0.111 ± 0.005a 0.028 ± 0.002b P < 0.05 Instar III 3 kali 0.209 ± 0.015c 0.354 ± 0.060b 0.281 ± 0.087b

4 kali 0.221 ± 0.019c 0.527 ± 0.016a 0.374 ± 0.162a Rataan 0.215 ± 0.017b 0.440 ± 0.100a P < 0.05 Instar IV 3 kali 0.380 ± 0.035b 0.428 ± 0.062b 0.404 ± 0.054b

4kali 0.499 ± 0.035b 0.660 ± 0.215a 0.580 ± 0.168a Rataan 0.439 ± 0.071b 0.544 ± 0.193a P < 0.05

Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).

Pertambahan bobot badan dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh jenis pakan dan frekuensi pemberiannya. Rataan pertambahan bobot badan larva instar I dan II berbeda nyata antara daun kenari dan jambu. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari memiliki rataan pertambahan bobot badan yang lebih besar dibanding larva yang mengkonsumsi daun jambu biji. Pertambahan bobot badan juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh frekuensi pemberian pakan. Pertambahan bobot badan larva yang diberi pakan empat kali sehari lebih besar dibanding larva yang hanya diberi pakan tiga kali sehari. Lebih lanjut terlihat bahwa pertambahan bobot badan tertinggi saat instar I sebesar 0.037±0.001

Gambar

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
Gambar 3 Pola peletakan telur A. atlas pada lama perkawinan yang berbeda
Gambar 4 Uji palabilitas pakan pada larva A. atlas
Gambar 5 Bagan perlakuan pakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Topik Bahasan : Pengelolaan dan pengembangan kawasan resort &amp; leisure Tujuan Pembelajaran Umum (kompetensi): Mahasiswa mampu melaksanakan travelling experience ke

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui harga mempunyai pengaruh terhadap minat beli Smartphone Samsung pada konsumen di Delta Cell Matahari Singosaren

mata-tangan tinggi dan rendah terhadap hasil belajar servis atas dalam.. 3) Ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan koordinasi mata-tangan. terhadap hasil

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendiskripsikan penerapan metode SQ3R dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Konsep Dasar IPA tentang Tata Surya pada Mahasiswa

Sebagai panduan dan bahan ajaran dalam pemilihan pemberian intervensi untuk meningkatakn ekspansi thorak, mengurangi sesak nafas, mengurangi nyeri akibat spasme otot

kemampuan penalaran dan kretivitas belajar matematika melalui upaya. penerapan teknik pembelajaran Brainstorming siswa kelas

terhadap fogging insektisida malathion 5% yang digunakan untuk pemberantasan vektor nyamuk di wilayah Kota Denpasar sebagai daerah endemis DBD tahun 2016 ”.. 1.3

Untuk memperjelas penelitian, maka dibatasi hanya mengkaji pengaruh dua variabel saja yaitu strategi dengan ilustrasi model pizza dan kemampuan penalaran