• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengetahuan itu terekam secara verbal, baik berupa leksikon-leksikon,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan pengetahuan itu terekam secara verbal, baik berupa leksikon-leksikon,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa dan lingkungan sangat erat kaitannya. Selain merepresentasikan lingkungan, bahasa menjadi cerminan realitas kehidupan manusia di lingkungan tertentu (Kaelan, 2007). Para penutur bahasa yang berada di suatu lingkungan misalnya lingkungan kesungaian atau lingkungan pesisir, pasti memiliki pengetahuan tentang jenis ikan, tanaman, bebatuan, dan pasir. Pengetahuan itu berkaitan dengan pengalaman yang diwariskan oleh generasi penutur sebelumnya dan pengetahuan itu terekam secara verbal, baik berupa leksikon-leksikon, ungkapan-ungkapan maupun teks-teks lainnya. Menurut Sapir (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:19), leksikon-leksikon dan ungkapan itu merupakan gambaran tentang interaksi, interelasi, dan interdepedensi masyarakat dengan tumbuhan, hewan, bebatuan, dan pasir yang ada di lingkungan itu.

Bahasa seperti halnya elemen-elemen kebudayaan lainnya senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Perubahan bahasa mencerminkan perubahan lingkungan dari waktu ke waktu yang tercermin dalam dinamika kekayaan pengetahuan kebahasaan, khususnya leksikon-leksikon dan ungkapan-ungkapan yang dimiliki oleh masyarakat. Perubahan itu semakin jelas terlihat pada perubahan kosakata yang dikenal oleh setiap generasi mulai dari kosakata yang masih digunakan sampai kosakata yang sudah tidak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari. Dengan kata lain, gejala perubahan itu menunjukkan bahwa perangkat kata

(2)

tertentu tidak diwariskan lagi kepada generasi muda antara lain karena faktor lingkungan yang berubah sehingga apa yang generasi tua ketahui dan alami tidak bisa diketahui dan tidak dialami lagi oleh generasi muda.

Pengetahuan dan pemahaman tentang unsur-unsur yang ada di lingkungan hidup (dalam kaitan dengan fungsi bahasa yang merekam pengetahuan masyarakat bahasa tentang kekayaan lingkungan itu) diasumsikan berlaku pula bagi masyarakat penutur bahasa Bali, khususnya para penutur bahasa-bahasa lokal lainnya yang mendiami bantaran Tukad Badung. Tukad Badung melintasi Kota Denpasar dari hulu hingga ke hilir. Dalam kaitan ini, masyarakat penutur asli bahasa Bali sebagai penduduk asli Kota Denpasar, khususnya yang tinggal sejak lama di sekitar bantaran sungai tersebut, sudah dapat dipastikan memiliki hubungan dengan Tukad Badung, khususnya dengan berbagai biota, tumbuhan, hewan, air sungai, bahkan bebatuan, yang tentunya direkam secara verbal dalam bahasa Bali. Namun, dalam perkembangan dan kenyataan sekarang para penghuni yang tinggal di sekitar Tukad Badung bukan hanya penduduk asli Bali, melainkan juga banyak masyarakat dari etnis yang berbeda seperti etnis Jawa, Madura, etnis Tionghoa, dan Arab. Keberagaman etnik, budaya, dan bahasa telah menjadi karakteristik wajah penduduk Kota Denpasar, khususnya di lingkungan Tukad Badung.

Sebagai penutur bahasa Bali yang tinggal di sepanjang bantaran sungai, penduduk asli beserta guyub-guyub etnik itu pada awalnya menggunakan bahasa lokalnya masing-masing. Akan tetapi, dengan adanya perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, masyarakat heterogen yang hidup di sekitar

(3)

Tukad Badung menggunakan bahasa Indonesia. Melalui bahasa Indonesia pula mereka mengembangkan dan memperkaya kebudayaan Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelbagai ranah kehidupan. Seiring dengan itu, berbagai bangunan, jasa, dan industri mengisi ruang di sepanjang bantaran sungai tersebut sehingga pencemaran di sekitar Tukad Badung tidak bisa dihindari. Pencemaran di Tukad Badung dan daerah sekitar yang merupakan lingkungan hidup biota dan merupakan pemukiman masyarakat tidak dihindarkan. Hal tersebut, terlihat dari warna air Tukad Badung yang pada awalnya jernih, yang dalam kosakata bahasa Bali disebut ning ’jernih’, menjadi putek ‘keruh’. Juga telah berkurangnya hewan-hewan yang bertahan hidup di Tukad Badung. Bahkan, biota-biota yang hidup di sana sudah berbeda seiring

dengan perubahan Tukad Badung yang semakin tercemar. Penelitian

membuktikan bahwa pengetahuan yang terekam dalam bahasa Bali bukan hanya pengetahuan yang berkaitan dengan wajah Tukad Badung, melainkan perubahan “isi sungai” Tukad Badung.

Perubahan ataupun pergeseran kosakata terkait erat dengan perubahan lingkungan. Menurut Foucault (2007:101), kosakata yang dimiliki oleh para penutur merupakan rekaman otoritatif guyub tuturnya dan semua pengetahuan yang ada dapat dibandingkan jika keadaan berbeda atau berubah dalam waktu yang berbeda karena segala sesuatu yang diketahui di alam ini ditandai dan dikodekan secara lingual, khususnya dalam wujud satuan-satuan leksikon. Pemikiran Foucault mengisyaratkan bahwa kekayaan kosakata para penutur atau sekelompok penutur di daerah tertentu merupakan representasi yang menandai

(4)

karakteristik, ide, gagasan, disiplin berpikir, dan dunianya (lihat Sapir, 2001:14). Sejalan dengan pemikiran Foucault, kosakata bahasa Bali yang dimiliki penutur bahasa Bali yang tinggal di bantaran Tukad Badung, juga kosakata bahasa-bahasa lainnya yang hidup di lingkungan ikut mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan lingkungan Tukad Badung.

Para tetua di daerah ini masih mengenal istilah nyempal, mubu, ngerawe sebagai cara menangkap ikan yang menjadi ciri khas kegiatan mencari ikan di aliran Tukad Badung. Leksikon-leksikon seperti yang disebutkan di atas, dewasa ini tidak hanya dikenal sebagai penghias ingatan para penutur tua, tetapi juga para penutur muda di sekitar Tukad Badung. Kegiatan-kegiatan tersebut, dahulu kerap kali menjadi kegiatan yang lumrah dilakukan di aliran Tukad Badung. Akan tetapi, sekarang kegiatan tersebut sudah ditinggalkan. Hal ini, disebabkan beberapa faktor, salah satu faktornya yaitu perubahan lingkungan kesungaian Tukad Badung. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan, pada masa lalu, Tukad Badung dihuni oleh cukup banyak biota sungai. Akan tetapi, sedimentasi, pendangkalan, dan pencemaran sejak belasan tahun silam telah mengakibatkan banyak biota sungai yang punah. Perubahan itu berdampak juga pada sejumlah kegiatan yang terkait dengan sumber daya sungai dan sumber daya airnya. Misalnya, kegiatan menangkap ikan, membuat penampungan air minum di Tukad Badung, dan sebagainya menjadi hilang. Tidak tampak lagi warga yang membuat penampungan air dan mengambil air dari Tukad Badung untuk minum. Melalui pengetahuan-pengetahuan tersebut informasi diperoleh dan menjadi cerminan yang menunjukkan adanya hubungan lingkungan dan bahasa, khususnya

(5)

di lingkungan Tukad Badung. Mbete (2014) mengatakan bahwa manusia sebagai penutur menyadari adanya keberadaan sejumlah bentuk dan makna kata tertentu dalam alur waktu yang secara kontekstual dan kontemporer dinamis, variatif, dan kreatif. Disebutkan juga dari sebuah kata yang secara literal memiliki makna dasar yang tidak istimewa akan berubah dalam penggunaannya. Proses morfologis dan sintaksis menjadi bagian dari tuturan bahkan wacana dan penggunaannya secara praktis dalam lingkungan sosial menjadikan kata, teks, dan diskursus kaya makna kontekstual.

Di dalam kehidupan masyarakat, tuturan yang memiliki makna kontekstual dan berkaitan dengan fenomena alam di sekitarnya sering tidak bisa dilukiskan secara langsung sehingga muncul istilah-istilah dengan dwiarti atau banyak arti. Sebagai contoh kata gatep ‘gayam’ memiliki makna dasar yang tidak istimewa tetapi setelah menjadi tuturan gatep ane luwung abe mulih, gatep ane puyung kutang bermakna ‘jika mencari pendamping carilah yang baik budi pekertinya, jangan yang buruk perilakunya’. Kata gatep ‘gayam’ yang merupakan nomina pada awalnya bermakna harfiah lalu bermakna metaforis setelah dibentuk menjadi sebuah tuturan yang dikaitkan secara simbolik dengan lingkungan sosial. Tuturan tersebut bisa dijadikan prinsip dalam kehidupan tradisional para penutur bahasa Bali yang hidup di bantaran Tukad Badung.

Müller (dalam Cassirer,1987) mengatakan bahwa bahasa yang bersifat dwiarti

bahkan banyak arti itu merupakan asal mitos yang muncul di masyarakat. Begitu juga masyarakat tutur yang hidup di bantaran Tukad Badung memiliki sebuah kepercayaan tentang sosok “penguasa” yang ada di Tukad Badung. Kepercayaan

(6)

ini membuat masyarakat khawatir atas ketercemaran yang terjadi di Tukad Badung yang berujung pada “kemarahan alam” berwujud banjir besar yang berasal dari Tukad Badung dan menghancurkan rumah-rumah dan pemukiman warga.

Secara tidak langsung kepercayaan yang dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal menjadi kontrol sosial dan untuk menjaga lingkungan Tukad Badung diharapkan agar pencemaran dan kerusakan tidak semakin luas. Bukan hanya di Bali, melainkan di Jawa Timur pun ada upacara Yadnya Kasada yang dilakukan untuk menghormati leluhur dan menjaga lingkungan. “Yadnya Kasada, Pesan leluhur; Peduli pada Lingkungan” (Werdiono, Kompas, 6 September 2014) yang berisi ritual turun-temurun yang dilakukan masyarakat subetnis Tengger bertempat tinggal di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ritual ini dilakukan setiap malam ke-14 pada bulan kasada dalam kalender tradisional Tengger, terusan dari kalender Hindu lama. Malam bulan Kasada adalah malam saat bulan purnama tampak di langit secara utuh setahun sekali. Upacara ini merupakan wujud rasa terima kasih masyarakat kepada alam terutama Gunung Bromo yang telah memberi mereka berkah dalam kehidupannya. Mereka percaya bahwa apa yang mereka dapatkan merupakan hadiah dari alam dan hasilnya juga dikembalikan ke alam selain dinikmati untuk kehidupan mereka. Masyarakat melarung ‘melempar’ hasil bumi seperti palawija dan sayuran yang dirangkai pada bambu (ongkek) ke kawah Gunung Bromo. Selain palawija dan sayuran, hewan seperti kambing dan ayam hidup, dan uang juga dilempar ke kawah setelah diberikan mantra oleh dukun daerah masing-masing. Upacara ini

(7)

bermula dari keinginan sepasang suami istri yaitu Jaka Seger seorang keturunan Brahmana dan Rara Anteng seorang putri keturunan Majapahit memiliki seorang anak lalu mereka bersemedi di Gunung Bromo dengan berjanji akan mengorbankan anak bungsunya jika doa mereka terkabul. Setelah itu mereka dikaruniai 25 anak dengan anak bungsu bernama Dewata Kusuma. Rasa sayang kedua orang tuanya membuat mereka melanggar janji kepada Sang pencipta (Ida Sang Hyang Widhi) dan suatu hari Dewata Kusuma menghilang, masuk ke kawah Gunung Bromo. Dewata Kusuma mengatakan itu takdirnya dan sebuah mandat untuk mewakili orang tuanya menghadap Sang Pencipta. Ia pun mengingatkan kedua orang tuanya untuk melakukan upacara setiap purnama Kasada dengan membawa hasil bumi ke Gunung Bromo. Masyarakat setempat menjadikan peristiwa itu sebagai prinsip hidup dan tidak akan melanggar janji untuk menghindari petaka yang akan terjadi.

Persoalan mitologi tidak jauh dari bahasa yang sifat dan hakikatnya metaforis. Metafora yang muncul di lingkungan masyarakat tertentu berfungsi untuk menjelaskan hal-hal yang sulit dijelaskan secara langsung. Keberadaan metafora menunjukkan adanya keterkaitan, ketergantungan, dan keterhubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, metafora juga menyadarkan guyub tutur bahwa fenomena ini tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu proses dan produk pikiran, perasaan, dan perilaku manusia (Masinambow, 2000). Manusia dikatakan sentral dari kebudayaan yang memiliki bentuk berupa wujud dan struktur, dan kebudayaan berfungsi meningkatkan harkat dan martabat manusia karena di dalam bahasa yang

(8)

merupakan “sarang” kebudayaan terdapat nilai dan makna. Menurut Bawa (2004), kebudayaan terlahir dari interaksi manusia, baik dengan penciptanya, dengan sesama, maupun dengan lingkungannya.

Masyarakat Bali, termasuk masyarakat Bali di sepanjang bantaran Tukad Badung menyadari bahwa interaksi manusia dengan ketiganya berkaitan dengan konsep Tri Hita Karana yang merupakan tiga faktor ketenangan hidup manusia Bali yaitu (1) memelihara hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), (2) manusia dengan sesama (Pawongan), dan (3) manusia dengan lingkungannya dalam hal ini lingkungan Tukad Badung (Palemahan). Hal tersebut memperkuat pernyataan bahwa kebudayaan tercipta untuk kehidupan manusia karena manusia adalah makhluk ekologi (Keraf, 2014) yang hidup, dan tergantung pada lingkungan. Dengan demikian, kebudayaan membantu kehidupan manusia menuju pada kesejahteraan dan ketenangan yang diinginkan.

Selain terjadi secara alamiah, perubahan lingkungan juga dipengaruhi oleh pola pikir dan perilaku manusia yang terlibat secara intens dengan lingkungan tersebut dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pola pikir masyarakat yang terus ingin memenuhi hasrat untuk hidup, tanpa disadari telah mengubah lingkungan. Pohon-pohon, misalnya bambu-bambu yang dahulunya terdapat di bantaran Tukad Badung pada tebing-tebing telah digantikan oleh batu, tembok, dan bangunan. Perubahan lingkungan tersebut memengaruhi perubahan pengetahuan guyub tutur seperti kemunculan leksikon baru menggantikan leksikon-leksikon lama, penggunaan leksikon-leksikon-leksikon-leksikon lama berkurang dalam komunikasi antarguyub tutur di lingkungan tersebut bahkan ada leksikon lama yang tidak

(9)

digunakan lagi oleh guyub tutur. Berdasarkan survei awal pula, sebagai contoh dahulu masyarakat sekitar Tukad Badung tidak mengenal leksikon plastik, infus, spait, dan lain-lain di aliran Tukad Badung. Dewasa ini, leksikon-leksikon tersebut sudah dikenal baik oleh masyarakat sekitar Tukad Badung ini. Hal ini mencerminkan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan yang mengarah pada kerusakan lingkungan.

Fenomena perubahan lingkungan kesungaian Tukad Badung yang diuraikan di atas, menarik dan menjadi objek kajian ekolinguistik. Adanya keterkaitan antara bahasa dan lingkungan memberikan informasi, baik berupa leksikon-leksikon, ungkapan, teks, maupun wacana serta kebudayaan yang hidup di bantaran Tukad Badung. Bahasa yang hidup dalam lingkungan tersebut

menggambarkan lingkungan Tukad Badung, terlebih adanya perubahan

lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang memengaruhi bahasa, khususnya leksikon-leksikon yang dimiliki guyub tutur bahasa Bali di bantaran Tukad Badung. Seperti disinggung di atas, pengetahuan kognitif guyub tutur bahasa Bali yang tinggal di bantaran Tukad Badung menyimpan kekayaan kebahasaan khususnya bahasa Bali dan kebudayaan Bali.

Upaya penataan Kota Denpasar yang dilakukan oleh Pemerintah Kota, telah memengaruhi perubahan lingkungan Tukad Badung. Selain itu, perubahan lingkungan fisik Tukad Badung sendiri, pertumbuhan pemukiman, kemajuan industri barang dan jasa yang hidup di sekitar Tukad Badung memiliki pengaruh besar juga dalam perkembangan pengetahuan leksikon dan tataran bahasa yang dimiliki guyub tutur bahasa Bali di sekitar Tukad Badung. Pengetahuan kognitif

(10)

yang dimiliki memuat gambaran tentang khazanah biota kesungaian Tukad badung, baik khazanah biota di permukaan air, di dalam air maupun yang hidup di sekitarnya. Selain itu kekayaan atau pengetahuan guyub tutur bahasa Bali berkaitan pula dengan unsur-unsur abiotik yang ada di bantaran Tukad Badung. Fakta kerusakan lingkungan juga menjadi perhatian dalam penelitian ini sehingga memunculkan keingintahuan untuk mengkaji perubahan lingkungan kebahasaan khususnya khazanah leksikon kesungaian dan perubahan lingkungan kesungaian tersebut serta berharap dapat berguna dalam rangka upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan sungai Tukad Badung.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, ada tiga masalah penelitian yang dirumuskan sebagai berikut.

1) Bentuk dan kategori leksikon-leksikon apa sajakah yang merepresentasikan pengetahuan verbal masyarakat penutur bahasa Bali di lingkungan kesungaian pada guyub tutur bahasa Bali di bantaran Tukad Badung?

2) Bagaimanakah dinamika khazanah leksikon yang merepresentasikan perubahan lingkungan kesungaian Tukad Badung?

3) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi dinamika khazanah leksikon kesungaian Tukad Badung?

4) Tuturan-tuturan mitos kesungaian apa sajakah yang berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di lingkungan Tukad Badung?

Masalah pertama membahas perangkat-perangkat leksikon yang ditemukan di lingkungan kesungaian Tukad Badung sebagai khazanah pengetahuan verbal para

(11)

penutur tentang lingkungan itu. Pengetahuan verbal kesungaian diklasifikasikan menurut bentuk dan kategori secara linguistik dan ekolinguistik. Pengategorian meliputi kategori nomina, baik nomina bernyawa maupun tidak bernyawa. Kategori verba menunjukkan adanya kegiatan di lingkungan kesungaian, dan kategori adjektiva menunjukkan keadaan atau sifat-sifat entitas-entitas dan kondisi yang ada di lingkungan itu.

Masalah kedua menggali informasi tentang perubahan pengetahuan dan pemahaman tentang khazanah leksikon yang menguraikan pengetahuan leksikon dengan bantuan tuturan yang dimiliki oleh para penutur tua dan generasi muda sehingga dinamika khazanah leksikon dan lingkungan yang terjadi di lingkungan kesungaian Tukad Badung dapat dipaparkan dengan jelas.

Masalah ketiga menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya dinamika khazanah leksikon yang tercermin dari pengetahuan leksikon dan tuturan yang dimiliki guyub tutur di bantaran Tukad Badung. Dinamika khazanah leksikon juga menunjukkan perubahan lingkungan Tukad Badung melalui pengetahuan kognitif guyub tutur yang hidup di bantaran Tukad Badung.

Masalah keempat menggali tuturan-tuturan mitos yang berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di Tukad Badung beserta leksikon-leksikon yang tersimpan dalam ingatan guyub tutur di bantaran Tukad Badung. Tuturan-tuturan mitos yang tersimpan dalam ingatan guyub tutur menunjukkan adanya hubungan yang erat antara guyub tutur dan lingkungan Tukad Badung. Hubungan itulah yang merupakan bagian atau unsur kebudayaan yang tercipta dan melahirkan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang dimaksudkan adalah

(12)

adanya mitos yang hidup di lingkungan guyub tutur bantaran Tukad Badung itu hidup. Selain itu, keberadaan mitos di Tukad Badung juga memengaruhi keberlanjutan kehidupan guyub tutur, hewan, dan tumbuhan serta leksikon-leksikon sebagai pengetahuan kognitif guyub tutur yang hidup di lingkungan Tukad Badung.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam tesis ini ada dua yaitu tujuan umum dan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan secara singkat berikut ini.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan pengetahuan kognitif penutur berupa leksikon-leksikon, wacana, dan tuturan-tuturan melalui penerapan teori ekolinguistik. Fakta ekolinguistik itu berkaitan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat penutur bahasa Bali khususnya hubungan mereka dengan lingkungan kesungaian Tukad Badung. Bahasa Bali yang terekam dalam ingatan para penutur juga menunjukkan telah terjadinya perubahan lingkungan fisik dan lingkungan kebahasaan sebagai fakta dinamika yang tercermin pada khazanah leksikon kesungaian dalam rekaman kognitif para penutur yang mendiami bantaran Tukad Badung.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1) menemukan dan menganalisis bentuk-bentuk morfologi dan kategori leksikon khazanah leksikon kesungaian pada guyub tutur bahasa Bali di bantaran Tukad Badung;

(13)

2) mendeskripsikan perubahan dinamis khazanah leksikon yang tercermin pada leksikon-leksikon dan tuturan sebagai representasi perubahan lingkungan kebahasaan dan lingkungan kesungaian Tukad Badung;

3) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika khazanah leksikon kesungaian Tukad Badung;

4) menemukan dan menganalisis tuturan-tuturan mitos yang berfungsi untuk keberlanjutan Tukad Badung.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoretis dan praktis yang diuraikan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah informasi kelinguistikan, khususnya informasi faktual terbaru tentang ekolinguistik. Hal tersebut dilakukan melalui pendokumentasian dan penemuan-penemuan makna referensial eksternal dari leksikon-leksikon dan tuturan-tuturan yang terdapat dalam khazanah leksikon yang ditemukan di lingkungan kesungaian Tukad Badung dan tuturan mitologis tentang Tukad Badung dan yang hidup di lingkungan hidup guyub tutur bahasa Bali di bantaran Tukad Badung. Fenomena kebahasaan ini layak dikaji sehingga dapat menjadi awal pengungkapan realitas ekologis yang ada. Selain itu, fakta-fakta dan informasi itu diharapkan menjadi awal pengembangan penelitian yang semakin dalam dan kompleks untuk menambah informasi kelinguistikan dalam rangka pengembangan makrolinguistik ataupun linguistik terapan khususnya ekolinguistik.

(14)

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis bagi masyarakat khususnya di bantaran Tukad Badung adalah untuk memberikan informasi bahwa bahasa Bali dan lingkungan saling terkait seperti tampak pada pengetahuan kosakata dan tuturan-tuturan para penutur. Seperti diuraikan di atas khazanah leksikon merupakan ingatan dan cerminan, serta hasil interelasi dan interaksi masyarakat dengan lingkungan Tukad Badung. Pengetahuan itu juga gambaran interdependensi masyarakat dengan bantaran Tukad Badung. Disimak dari segi fungsi representasionalnya, bahasa Bali menggambarkan keadaan lingkungan khususnya lingkungan Tukad Badung. Representasi itu telah ada sejak lama hingga keberadaannya masa sekarang melalui memori kolektif atau ingatan guyub tutur yang memiliki hubungan timbal balik dan ketergantungan dengan lingkungan tersebut.

Manfaat praktis lain penelitian ini ialah untuk memunculkan kembali kesadaran kepedulian masyarakat untuk menggali kembali pengetahuan guyub tutur memberdayakan lagi kearifan lokal dan melestarikan lingkungan Tukad Badung keterkaitan dan ketergantungan antara makhuk hidup dan lingkungan yang dimaksudkan itu tergambar melalui bahasa. Keberadaan tentang adanya keterkaitan dan ketergantungan yang dibedah melalui bahasa itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepedulian baru untuk bersama-sama mengupayakan pelestarian Tukad Badung. Semuanya itu secara nyata bermula dari pencegahan dan pemulihan kerusakan ekosistem Tukad badung dari ketercemarannya.

Walaupun upaya peningkatan kepedulian masyarakat seperti adanya PROKASIH (Program Kali Bersih) telah dilakukan Pemerintah Kota Denpasar

(15)

tetapi kepedulian dan keterlibatan masyarakat untuk menjaga dan merawat Tukad Badung cenderung rendah. Seperti dirilis dalam media cetak Bali Post (Bali Post pada Kamis, 7 Juni 2007) berjudul Kendala Mewujudkan Kali Bersih -- Sebagian

Masyarakat Menggunakan Kali sebagai TPA, tentang PROKASIH ternyata tidak

berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini dikarenakan perilaku masyarakat yang tidak kooperatif bahkan menjadikan Tukad Badung sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA), segala jenis sampah.

Berdasarkan fakta tentang kekayaan biota dan abiota yang pernah ada di Tukad Badung, selanjutnya dapat menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kebersihan Tukad Badung. Tukad Badung yang bersih sesungguhnya bermanfaat bagi masyarakat sendiri untuk memenuhi berbagai keperluan. Pengetahuan tentang entitas-entitas yang terekam dalam bahasa Bali khususnya, juga mitos-mitos tentang kearifan lokal penting untuk menuntun perilaku dan sikap positif masyarakat terhadap sumber daya air lingkungan Tukad Badung secara keseluruhan.

Referensi

Dokumen terkait

Data tentang pembentukan tunas pada kedelai non-tranrsformasi merupakan informasi penting bila akan melakukan transformasi tanaman kedelai, karena dengan data ini

perilaku petani dalam menjual hasil panen terhadap fluktuasi harga lada dan apa. faktor - faktor yang menyebabkan petani menjual hasil panen serta

Sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat. sepanjang hayat melalui

Plasa Telkom Lembong Bandung diharapkan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang dimiliki dari segi responsiveness dan reliability dengan terus berupaya untuk

[r]

[r]

Penelitian yang akan datang juga dapat menganalisis pengaruh gambaran maskulinitas pada iklan produk perawatan laki-laki pada keseharian laki- laki sebenarnya dan

Artinya ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Jawa atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umunya, bahasa yang menjadi