• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor risiko diare persisten pada anak balita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-faktor risiko diare persisten pada anak balita"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-faktor risiko diare persisten

pada anak balita

Lannywati Ghani

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Tak Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I.

ABSTRACT

Persistent diarrhea is still a major health problem in children. It is mentioned that the case fatality rate of persistent diarrhea in under five years of age is about 45%. A case control study was conducted to determine the risk factors for persistent diarrhea such as nutritional status, sex, fat malabsorption, lactose intolerance, stools containing mucus and blood, use of antibiotics, and anemia. Cases were children with persistent diarrhea and control groups were children with acute diarrhea. Persistent diarrhea is defined as an episode which starts acutely but which last at least 14 days. Both cases and controls were diarrhea patient who were hospitalized in the Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital from 1st of January 1996 to 31st of December

1996. There were 121 cases and 484 controls. The statistical analysis was done using univariate, bivariate and multivariate logistic regressions. The result showed that potential risk factors are undernutrition, use of antibiotics, stools containing mucus and blood , fat malabsorption, lactose intolerance, and anemia. It is very important to consider those risk factors in the management of children with acute diarrhea in order to prevent persistent diarrhea.

Key words: persistent, diarrhea, risk factors, children under five

ABSTRAK

Diare persisten merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Angka kematian akibat diare persisten pada balita berkisar 45%. Studi kasus kontrol dilakukan untuk menentukan faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten, seperti status gizi, jenis kelamin, melabsorpsi lemak, intoleransi laktosa, tinja berlendir, tinja berdarah, penggunaan antibiotik, dan anemi. Kasus adalah anak yang menderita diare yang berlanjut lebih dari 14 hari dan kontrol adalah anak yang menderita diare yang akut dan sembuh sebelum 7 hari. Baik kasus maupun kontrol adalah penderita diare yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dari 1 Januari 1996 sampai dengan 31 Desember 1996. Terkumpul 121 kasus dan 484 kontrol yang dianalisis menggunakan analisis univariat, bivariat dan regresi logistik ganda Pada analisis regresi logistik ganda didapatkan faktor risiko yang potensial adalah gizi kurang, pemakaian antibiotik, tinja berlendir, tinja berdarah, malabsorpsi lemak, intoleransi laktosa, dan anemi. Penelitian ini menyimpulkan perlunya mempertimbangkan faktor-faktor risiko diare persisten dalam tata laksana diare akut pada anak.

Kata kunci : persisten, diare, faktor-faktor risiko, anak balita PENDAHULUAN

Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun telah banyak kemajuan diperoleh di bidang pemberantasan penyakit diare di Indonesia

namun hingga kini angka kesakitan diare tetap masih tinggi. Angka kesakitan diare diperkirakan antara 120-130 kejadian per 1000 penduduk, 60% kejadian diare tersebut terjadi pada balita. (1)

(2)

Penyakit diare sebagian besar merupakan diare akut yang akan sembuh dalam waktu 3-5 hari. (2) Oleh karena beberapa hal diare akut (kurang atau sama dengan 7 hari), memanjang (8-14 hari) dan melanjut

≥ 14 hari atau lebih disebut sebagai diare persisten.

(3,4) Walaupun diare telah diteliti selama lebih dari 2 dekade, sebagian besar penelitian lebih terpusat pada diare akut. Telah banyak kemajuan yang diperoleh sehingga angka kematian dari diare akut sudah dapat ditekan, tetapi angka kematian diare persisten pada anak balita masih tinggi yaitu berkisar antara 23-62% dengan rata-rata 45%. (5) Ditinjau dari sudut kematian bayi dan anak karena diare, kini diare persisten merupakan masalah utama. Di samping itu penderita diare persisten yang tidak meninggal akan mengalami gangguan pertumbuhan di kemudian hari, juga tatalaksana diare persisten sangat sulit dan seringkali membuat tenaga kesehatan frustasi.(6) Terdapat faktor-faktor yang merupakan predisposisi terjadinya diare persisten. Faktor-faktor ini disebut faktor risiko diare persisten.(7) Identifikasi faktor risiko diare persisten sangat bermanfaat untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit dan perencanaan intervensi pencegahan untuk menurunkan kejadian diare persisten.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM, rancangan penelitian kasus kontrol digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah semua anak balita yang menderita diare yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI -RSCM dari 1 Januari 1996 s/d 31 Desember 1996. Sampel untuk kasus adalah anak balita yang menderita diare 14 hari atau lebih, sedangkan kontrol adalah anak balita yang menderita diare akut yang dipilih secara random. Pada perhitungan untuk menentukan besar sampel faktor - faktor risiko diare persisten digunakan Alfa= 0,05 (satu arah) maka Z Alfa=1,64 dan Beta=0,20 maka Z Beta=0,84. Jumlah sampel dihitung untuk satu kasus dan satu kontrol tidak berpadanan dari Schlesselman (1982) diperoleh sebanyak 199. Untuk memenuhi jumlah sampel minimal oleh karena kasus diare persisten

sedikit maka diambil 1 kasus untuk 4 kontrol supaya kekuatan dari uji kemaknaan optimal. Setelah dihitung tiap-tiap variabel faktor risiko maka jumlah sampel terbesar untuk memenuhi jumlah sampel minimal adalah 119 orang. Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak komputer epi info 6,02 & stata 4 dengan analisis univariat, bivariat dan regresi logistik ganda pada tingkat kemaknaan sebesar 0,05.

HASIL

Dari penelitian yang telah dilakukan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM dari 1 Januari 1996 sampai dengan 31 Desember 1996 didapatkan 121 kasus dan 484 diare akut sebagai kontrol untuk dianalisis.

Tabel 1. Distribusi frekuensi penderita diare persisten berdasarkan kelompok umur.

Tabel 1 menunjukkan, penderita diare persisten terbanyak adalah di bawah umur 2 tahun. Analisis secara bivariat antara diare persisten dengan berbagai faktor dapat di lihat pada tabel 2. Pada tabel 2 didapatkan, jenis kelamin tidak merupakan faktor risiko untuk terjadinya diare persisten. Intoleransi laktosa juga merupakan faktor risiko diare persisten, tetapi secara statistik tidak bermakna.Gizi kurang, malabsorpsi lemak, tinja berlendir dan berdarah, pemakaian antibiotik dan anemi merupakan faktor risiko terjadinya diare persisten dan secara statistik bermakna.

(3)

Tabel 2. Hubungan beberapa faktor risiko dengan kejadian diare persisten.

OR = odds rasio 95% CI = 95% Confidence Interval

Tabel 3. Model regresi logistik ganda faktor-faktor risiko diare persisten.

FAKTOR RISIKO β STD ERROR P OR 95 % CI Gizi 0,9805 0,2325 0,000 2,66 1,69 - 4,20 Malabsorpsi lemak 0,3959 0,2323 0,088 1,48 0,94 - 2,34 Intoleransi laktosa 0,5315 0,2537 0,036 1,70 1,03 - 2,79 Tinja berlendir 1,3782 0,2303 0,000 3,97 2,52 - 6,23 Tinja berdarah 1,8485 0,7934 0,020 6,35 1,34 - 30,06 Antibiotik 1,0873 0,2409 0,000 2,96 1,85 - 4,76 Anemi 0,1439 0,2554 0,573 1,15 0,70 - 1,90 Konstanta -3,4795 0,3388 0,000

(4)

Tabel 4. Ratio ODDS sebelum dan sesudah dikontrol oleh variabel lain pada diare persisten. BELUM TERKONTROL TERKONTROL

FAKTOR RISIKO OR 95 % CI OR 95 % CI Gizi 2,48 1,65 - 3,72 2,66 1,69 - 4,20 Malabsorpsi lemak 1,59 1,06 - 2,39 1,48 0,94 - 2,34 Intoleransi laktosa 1,57 1,00 - 2,45 1,70 1,03 - 2,79 Tinja berlendir 4,20 2,76 - 6,39 3,97 2,52 - 6,23 Tinja berdarah 11,35 2,96 - 43,46 6,35 1,34 - 30,06 Antibiotik 3,36 2,16 - 5,23 2,96 1,85 - 4,76 Anemi 1,61 1,03 - 2,49 1,15 0,70 - 1,90

Setelah dilakukan regresi logistik ganda didapatkan ratio ODDS yang sudah terkontrol (adjusted) dengan confounding yang ada dalam model. Analisis menunjukkan faktor risiko anemia dan malabsorpsi lemak tidak termasuk dalam model, tetapi secara substansi keilmuan mendukung terjadinya diare persisten. Untuk itu ke dua faktor risiko tersebut tetap dimasukkan ke dalam model.Maka didapat model untuk diare persisten. Z =-3,48 + 0,98 * gizi + 0,39 * malabsorpsi lemak + 0,53 * intoleransi laktosa + 1,38 * tinja lendir +1,85, * tinja darah + 1,09 * antibiotik + 0,14 * anemi.

Desain penelitian ini adalah kasus kontrol maka prediksi probabilitas berdasarkan interpretasi ratio ODDS (Kleinbaum, 1994) yang sudah terkontrol (Lihat Tabel 4).

Pada Tabel 4 terlihat bahwa faktor risiko (ratio ODDS yang sudah terkontrol) yang paling besar untuk menjadi diare persisten adalah tinja berdarah yaitu 6,35 yang bermakna secara statistik. Setelah tinja darah berturut-turut ratio ODDS yang tinggi adalah tinja berlendir yaitu 3,97, pemakaian antibiotik yaitu 2,96, lalu gizi kurang yaitu 2,66, kemudian intoleransi laktosa yaitu 1,70. Mulai tinja darah sampai dengan intoleransi laktosa mempunyai ratio ODDS yang akurat dengan presisi yang juga baik. Malabsorpsi lemak serta anemi dengan uji statistik tidak bermakna, berarti mempunyai presisi yang kurang baik, tetapi tetap merupakan faktor risiko.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan umur anak balita merupakan faktor risiko diare persisten, hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menyatakan sebagian besar diare persisten terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Apabila dirinci lebih lanjut, angka tertinggi terdapat pada usia 6-11 bulan, kemudian anak berusia 18-23 bulan. (9-12) Dan tidak satupun penelitian yang menyatakan ada perbedaan risiko menjadi diare persisten antara laki-laki dan perempuan. Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten, gizi yang kurang merupakan faktor risiko terjadinya diare persisten.(7,13,14) Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sunoto (15) yang menyatakan malabsorpsi lemak merupakan faktor risiko diare persisten. Persentase malabsorpsi lemak lebih tinggi dari pada intoleransi laktosa. Karena pada malabsorpsi lemak ada 4 organ yang berperan yaitu;

 Pankreas, maka lipase berkurang.

 Hati dan saluran empedu yang terganggu sedangkan lemak butuh empedu dan terjadi maldigesti.

 Gangguan pada usus dengan terjadi atrofi usus.  Pembuluh lymphe oleh karena lemak diangkut dengan pembuluh lymphe.

Sedangkan pada intoleransi laktosa hanya enzim laktase saja yang terganggu. Juga ditemukan diare steatore dan malnutrisi. (3) Dan gangguan mukosa usus halus pada awalnya menghasilkan malabsorpsi lemak. (16) Menurut beberapa penelitian

(5)

intoleransi laktosa berpengaruh pada kejadian diare persisten juga berkaitan dengan malnutrisi yang parah, dan juga berhubungan dengan diare dan infeksi. Dikatakan pada gangguan mukosa usus, terjadi gangguan intoleransi laktosa yang pada fase akhir menjadi gastroentritis kronis. (3,15) Faktor risiko lainnya adalah tinja berlendir dan berdarah, terjadinya pendarahan akibat adanya penyebab agen yang invasif menembus usus, merusak mukosa usus, menimbulkan perdarahan, gangguan malabsorpsi, dan maldigesti. (11,14,17-20) WHO merekomendasikan untuk tidak memberikan antibiotik pada penderita diare, kecuali indikasi khusus seperti kolera. (12) Pemberian antibiotik pada diare akut seharusnya dihindari karena akan menyebabkan kematian mikroflora usus yang bermanfaat untuk menjaga homeostasis tubuh. Penggunaan antibiotik selama episode diare akut merupakan risiko terjadinya diare yang berkepanjangan. (21)

Anemi defisiensi besi menyebabkan kelainan mukosa usus, dan terjadi atrofi vili. Bila dilakukan perbaikan kadar hemoglobin maka akan terjadi perbaikan fungsi absorpsi maupun morfologi mukosa usus. (22) Jadi anemi menyebabkan regenerasi sel-sel mukosa usus yang rusak oleh karena diare terhambat, sehingga diare melanjut terus.

Ilustrasi kasus : seorang anak balita menderita diare datang berobat, setelah diperiksa ternyata gizinya juga kurang. Dalam penelitian ini, oleh karena penelitiannya kasus kontrol jadi hanya dapat diinterprestasikan berdasarkan ratio ODDS saja yaitu untuk gizi kurang besarnya = 2,66. Jadi dikatakan anak tersebut mempunyai risiko 2,66 kali menjadi diare persisten dibandingkan dengan anak balita yang menderita diare dan tidak disertai dengan gizi kurang. Yang perlu diperhatikan pada penelitian ini yaitu faktor risiko tinja berdarah yang merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk menjadikan diare melanjut hingga diare persisten. Tetapi mempunyai 95% CI yang lebar berarti presisinya kurang baik. Jadi presisinya tidak tepat tapi tetap merupakan faktor risiko yang akurat.

KESIMPULAN

Diare persisten banyak dijumpai pada anak berusia di bawah 2 tahun. Tinja berdarah, berlendir, gizi kurang, pemakaian antibiotik dan intoleransi laktosa merupakan faktor potensial untuk terjadinya diare persisten pada anak balita. Sebuah model diare persisten berdasarkan faktor risiko telah dibentuk untuk mencegah berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Agus Firmansyah DSAK, dan Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmojo, M.Sc. yang telah memberikan bimbingannya sehingga terselesaikannya penelitian ini.

Daftar Pustaka.

1. Departemen Kesehatan R.I. Hasil evaluasi program pemberantasan penyakit diare tahun 1993 & 1993. Jakarta: Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan;1996.

2. Suharyono. Diare akut. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;1986.

3. Soeparto P. Diare kronik pada bayi (Tinjauan epidemiologik) . Dalam : Sudigbia I, Haryono R, Sumantri A, editors. Naskah lengkap peningkatan berkala ilmu kesehatan anak. Semarang : Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 1987.hal. 8-19.

4. Lanata CF, Black RE, Creed-Karashiro H. eeding during acute diarrhea as a risk factor for persistent diarrhea. Acta paediatr Suppl 1992a; 381 : 98-103.

5. Sunoto. Chronic diarrhea in children. Presented at the Nutricia Workshop of Chronic Diarrhea and Constipation. Jakarta, July 3, 1977 6. Black RE. Persistent diarrhoea in children of

developing countries. Pediatr Infect Dis J 1993; 12 : 751-61.

(6)

7. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries : Memorandum from a WHO meeting. Bull WHO : 1988; 66 : 709-17. 8. Schlesselman JJ, Case-Control Studies Design Conduct Analysis. New York : Oxford University Press; 1982.

9. Shahid NS, Sack DA, Bhandari N. Risk factors for persistent diarrhoea. Br Med J 1988; 297 : 1036-8.

10. Bhan MK, Bhandari W, Sazawal S, Clemens J, Raj P, Levine MM, Karper JB. Descriptive epidemilogy of persistent diarrhoea among young children in rural Nothern India. Bull WHO 1989; 67 : 281-8.

11. Baqui AH, Black RE, Sack RB, Yunus MD, iddique AK, Chowdhury HR. Epidemiological and clinical characteristic of acute and persistent diarrhoea in rural Bangladeshi children. Acta Paediatr Suppl 1992a; 381 : 15-21.

12. WHO. Readings on diarrhea : Student manual. Geneva : WHO; 1992.

13. Fauveau V, Henry Fj, Briend A. Persistent diarrhea as a cause of childhood mortality in rural Bangladesh. Acta Paediatr 1992; Suppl 381 : 12-4.

14. Deivanayagam N, Mala N, Ashok TP, Ratnam SR, Sunkaranarayanan VS. Risk factors for persistent diarrhoea among children under 2 years of age. Case-control study. Indian Pediatrics 1993; 30 : 177-85.

15. Sunoto. Persistent diarrhea: possible risk factors in Indonesia. Pediatr Indones 1993; 33 : 126-32.

16. Soeparto P. Etiologic factors of persistent diarrhea in developing countries. Proceeding of Teaching Workshop Asean Pan-Pacific Society for Paediatric Gastroenterology and Nutrition, 1996; 20 : 161-175.

17. Bhan MK, Raj P, Levine MM, Karper JB, Bhandari N, Srivastava R et al. Enteroaggregative Escherichia coli associated with persistent diarrhea in a cohort of rural children in India. The Journal of Infectious diseases 1989; 159 : 1061-4.

18. Huttly SRA, Hoque BA, Aziz KMA, Hasan KZ, Patway MY, Rachman MM et al. Persistent diarrhoea in a rural area of Bangladesh : a community-based longitudinal study. Int J Epidemiol 1989; 18 : 964-9.

19. Mahalanabis D, Alan AN, Rahman N. Prognostic indicators and risk factors for increased duration of acute diarrhoea and for persistent diarrhoea in children. Int J Epidemiol 1991; 29 (4) : 1064-72. 20. Henry FJ, Udoy AS, Wanke CA, Aziz KMA. Epidemiology of persistent diarrhea and etiologic agents in Mizapur, Bangladesh. Acta Paediatr Suppl 1992; 381 : 27-31.

21. Schorling JB, de Sousa MA, Guerrant RL. Antibiotic use among children in an urban Brazilian slum : a risk factor for diarrhea? Am J Publ Health 1991; 81 (1) : 99-100.

22. Naiman J.L Oskifa, Diamond LK. The Gastrointestinal effects of Iron Deficiency Anemi. Pediatrics, 1964 : 83-99.

23. Kleinbaum D. G, Logistic Regression : A self-Learning Text. New York; 1994.

Gambar

Tabel 1. Distribusi frekuensi penderita diare persisten berdasarkan kelompok umur.
Tabel 3. Model regresi logistik ganda faktor-faktor risiko diare persisten.
Tabel 4. Ratio ODDS sebelum dan sesudah dikontrol oleh variabel lain pada diare persisten.

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Smart Election mampu melakukan pengelolaan data yang berkaitan dengan pemilihan umum yaitu data kandidat calon yang akan dipilih. Aplikasi Smart Election mampu

Dalam hal ini, penting ditentukan siapa pelaksana yang tepat untuk suatu program, jika banyak sasaran yang ditangani oleh bidan praktek mandiri, akan lebih baik jika

Berikut adalah rancangan form input kemajuan proses digunakan untuk mengisi informasi proses yang sudah terjadi dilapangan. 6 Rancangan Form Cek

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga pada kesempatan kali ini penulis

Kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif yaitu terdapat gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan atau dalam beberapa

Dalam penelitian ini mengambil topik yang berkaitan dengan “Analisis Pengaruh Lokasi, Kualitas Produk, Harga, Merek, Program Promosi dan layanan terhadap Keputusan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Hasil analisis deskriptif menunjukkan efektivitas tugas Camat dalam mengevaluasi

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan perbedaan rerata kadar MDA plasma antara kelompok kontrol positif dan perlakuan 2 sebesar 4,85 nmol/ml, sedangkan antara