• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH STRESS DAN STRATEGI KOPING TERHADAP KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL MUTHIA OCTAVIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH STRESS DAN STRATEGI KOPING TERHADAP KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL MUTHIA OCTAVIANI"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STRESS DAN STRATEGI KOPING TERHADAP

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KELUARGA ORANG

TUA TUNGGAL

MUTHIA OCTAVIANI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Stress dan Strategi Koping terhadap Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Orang Tua Tunggal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Muthia Octaviani

(4)
(5)

ABSTRAK

MUTHIA OCTAVIANI. Pengaruh Stress dan Strategi Koping terhadap Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Orang Tua Tunggal. Dibimbing oleh TIN HERAWATI.

Orang tua tunggal dalam penelitian ini yaitu ibu tunggal karena perceraian. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan dan pengaruh karakteristik keluarga ibu tunggal, stress, dan strategi koping terhadap kesejahteraan subjektif. Responden diambil secara purposive

sampling sebanyak 40 orang di Kelurahan Cilendek Barat dan Sindang

Barang, Kecamatan Bogor Barat serta Kelurahan Kebon Pedes dan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan ibu tunggal menggunakan panduan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pendidikan berhubungan positif sangat signifikan dengan strategi koping, besar keluarga berhubungan negatif sangat signifikan dengan kesejahteraan subjektif, dan lama menikah berhubungan negatif signifikan dengan strategi koping. Lama bercerai dan stress berhubungan negatif signifikan dengan kesejahteraan subjektif. Faktor yang berpengaruh negatif signifikan terhadap kesejahteraan subjektif yaitu besar keluarga.

Kata kunci: ibu tunggal, keluarga orang tua tunggal, stress, strategi koping, kesejahteraan subjektif.

ABSTRACT

MUTHIA OCTAVIANI. The Influence of Stress and Coping Strategy toward Subjective Well-Being in Single Parent Families. Supervised by TIN HERAWATI.

Single parent in this study was single mother bercause of divorce. The purpose of this study were to analyze correlation and influence between family characteristics, stress level, and coping strategy toward subjective well-being. Sample in this study were single mothers which selected by purposive sampling counted 40 single mothers in Cilendek Barat and Sindang Barang village, Bogor Barat Sub district and Kebon Pedes and Tanah Sareal village, Tanah Sareal Sub district, Bogor City. Data were collected through interviews with single mothers using questionnaire. The results showed that age, length of education positively correlate with coping strategy, family size correlate negatively with subjective well-being, and length of marriage correlate negatively with coping strategy Length of divorced and stress correlate negatively with subjective well-being. The effected negative significant factor toward subjective well-being was family size.

Keywords: single mother, single parent families, stress, coping strategy, and subjective well-being.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

PENGARUH STRESS DAN STRATEGI KOPING TERHADAP

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KELUARGA ORANG

TUA TUNGGAL

MUTHIA OCTAVIANI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian mengenai keluarga tunggal ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 hingga Juni 2016 dengan judul Pengaruh Stress dan Strategi Koping terhadap Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Orang Tua Tunggal.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tin Herawati SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar disertai saran-sarannya yang bermanfaat untuk penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, MSc sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS sebagai dosen penguji I dan Neti Hernawati, SP, MSi sebagai dosen penguji II atas saran dan koreksinya demi perbaikan karya ilmiah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada jajaran pihak kecamatan, kelurahan, rukun warga (RW), dan rukun tetangga (RT) yang telah membantu dalam pengumpulan data juga kepada seluruh responden ibu tunggal yang telah bersedia untuk diwawancara, tanpa seluruh responden tersebut, penelitian ini tidak akan terlaksana. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, teman-teman (IKK 49 dan PS IKA 2015) atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 TINJAUAN PUSTAKA 4

Teori Struktural Fungsional 4

Stress 5

Strategi Koping 7

Kesejahteraan Subjektif 9

KERANGKA PEMIKIRAN 10

METODE 11

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 11

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 12

Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel 13

Pengolahan dan Analisis Data 15

Definisi Operasional 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Hasil 17

Pembahasan 31

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 41

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berfikir pengaruh stress, strategi koping terhadap kesejahteraan subjektif

11

2 Metode penarikan contoh 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran jawaban responden berdasarkan stress 41 2 Sebaran jawaban responden berdasarkan strategi koping 45 3 Sebaran jawaban responden berdasarkan kesejahteraan

subjektif

48 4 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga, stress, strategi koping,

dan kesejahteraan subjektif

1 Variabel, skala, kategori, dan instrumen 14

2 Sebaran usia responden 18

3 Sebaran responden berdasarkan kategori lama pendidikan 18 4 Sebaran responden berdasarkan kategori pekerjaan 19 5 Sebaran responden berdasarkan kategori besar keluarga 19 6 Sebaran responden berdasarkan kategori pendapatan per kapita 20 7 Sebaran responden berdasarkan kategori lama menikah 20 8 Sebaran responden berdasarkan kategori lama bercerai 20 9 Rata-rata dan standar deviasi penyebab stress 21 10 Sebaran responden berdasarkan tanda-tanda stress 24 11 Sebaran responden berdasarkan kategori strategi koping 25 12 Sebaran responden berdasarkan kategori kesejahteraan

subjektif

28 13 Sebaran koefisien korelasi antar variabel-variabel penelitian 29 14 Pengaruh karakteristik keluarga, stress, strategi koping

terhadap kesejahteraan subjektif

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang terikat karena pernikahan dan hubungan darah. Idealnya, suatu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun, saat ini dimungkinkan struktur keluarga mengalami perubahan, yaitu adanya orang tua tunggal. Menurut Yarber dan Sharp (2010), beberapa hal yang menyebabkan orang tua tunggal diantaranya perceraian, ibu yang melahirkan namun tidak menikah, dan karena meninggalnya pasangan. Di Indonesia, orang tua tunggal yang jumlahnya tercatat yaitu orang tua tunggal dengan penyebab perceraian (cerai hidup) dan kematian pasangan (cerai mati).

Perceraian dan kematian pasangan merupakan penyebab perubahan struktur normal keluarga (Usakli 2013). Di Indonesia, pada tahun 2012-2013, terjadi peningkatan persentase orang tua tunggal, baik yang disebabkan karena perceraian maupun kematian pasangan (BPS 2015). Pada tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah orang tua tunggal karena perceraian dari 1.68 persen menjadi 1.78 persen pada tahun 2013 (BPS 2015).

Menjadi orang tua tunggal dapat memicu stress karena adanya penyesuaian terhadap perubahan, perasaan kehilangan, dan perasaan tidak mampu menghadapi masalah yang berat (Pickhardt 2006). Dalam istilah psikologis, stress merupakan respon tubuh terhadap apapun yang dipersepsikan sebagai situasi darurat (Glassman dan Hadad 2009). Sementara itu, menurut Puspitawati et al. (2013), stress merupakan bentuk emosi dan pikiran yang dirasakan oleh individu bahwa situasinya tidak menguntungkan atau dapat mengancam dirinya yang kemudian dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan perilaku manusia. Berdasarkan penelitian Compas dan Williams (1990), kehidupan keluarga orang tua tunggal, terutama ibu, menampilkan sejumlah stress dalam kehidupan sehari-hari dibanding ibu yang menikah. Konsep stress keluarga dapat dijelaskan melalui model stress ABCX oleh Hill dimana X merupakan krisis keluarga sementara tiga faktor yang mempengaruhi krisis keluarga (X) yaitu A yang merupakan penyebab stress atau kesulitan, B yang merupakan kemampuan keluarga untuk memanajemen stress, dan C merupakan definisi keluarga mengenai stress.

Orang tua tunggal merupakan kepala keluarga, sehingga mempunyai tugas untuk menangani situasi stress agar tidak menjadi lebih buruk (Pickhardt 2006). Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi koping bagi keluarga orang tua tunggal. Strategi koping didefinisikan sebagai perubahan cara pandang dan usaha nyata untuk mengatur permintaan internal dan atau eksternal yang melebihi kapasitas atau sumberdaya seseorang (Lazarus dan Folkman 1984). Selain itu, menurut Puspitawati et al. (2013), strategi koping merupakan perilaku yang terlihat dan atau tidak terlihat yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan secara psikologis dan kondisi yang penuh stress. Berdasarkan penelitian

(18)

2

Simanjuntak (2010), strategi koping memiliki hubungan terhadap kesejahteraan subjektif keluarga.

Kesejahteraan subjektif keluarga merupakan perasaan puas dan perasaan bersyukur anggota keluarga terhadap kehidupannya, oleh karena itu dimungkinkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan subjektif pada setiap individu atau keluarga (Puspitawati 2013). Berdasarkan hasil penelitian Herbst (2012), orang tua tunggal sebagai ibu (single mother) pada dasarnya kurang bahagia dibanding kelompok wanita lain. Berdasarkan hasil penelitian Odaci dan Cikrikci (2012), strategi koping dan stress memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang berkaitan dengan stress dan strategi koping pada keluarga orang tua tunggal, terutama ibu menjadi penting sebagai implikasi terhadap kesejahteraan subjektif. Selain itu, penelitian mengenai orang tua tunggal belum banyak diteliti, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

Perumusan Masalah

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 mencatat persentase orang tua tunggal di Jawa Barat sebesar 2.28 persen dengan penyebab perceraian dan 5.36 persen dengan penyebab kematian pasangan. Lebih spesifik lagi, BPS mencatat persentase wanita sebagai orang tua tunggal di Jawa Barat sebesar 2.97 persen dengan penyebab perceraian dan 8.99 persen dengan penyebab kematian pasangan. Sementara itu, menurut laporan Dinas Tenaga Kerja, Sosial, dan Transmigrasi Kota Bogor (2015), wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) yaitu orang tua tunggal yang mempunyai anak usia sekolah berjumlah sekitar 7000. Data tersebut menunjukkan tingginya jumlah orang tua tunggal.

Saat ini, perceraian di Indonesia banyak diajukan oleh wanita (Pengadilan Agama Kota Bogor 2014). Banyaknya perceraian yang diajukan oleh wanita tersebut, menunjukkan bahwa dampak yang mungkin dirasakan oleh ibu setelah perceraian lebih besar dibandingkan dampak perceraian yang dirasakan oleh ayah. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa stress, karena terdapatnya penambahan peran di sektor publik yang mungkin sebelumnya tidak diembannya, ditambah pula fungsi pengasuhan yang harus dilaksanakan tanpa figur ayah sejalan dengan perceraian khususnya terhadap anak-anaknya akan menimbulkan stress (Aida 2013).

Stress pada orang tua tunggal terutama berkaitan dengan aspek finansial dan situasi ekonomi yang selanjutnya dapat membuat keluarga orang tua tunggal menjadi rentan (Hashim et al. 2015; Mgbenkemdi dan Hyacinth 2014). Selain itu, tugas sehari-hari seperti pengasuhan anak dan kewajiban domestik merepresentasikan kategori lain dari sumber stress yang berkaitan dengan fungsi sehari-hari orang tua tunggal (Hashim et al. 2015). Tantangan yang terdapat dalam diri orang tua tunggal diantaranya kekecewaan yang besar, frustrasi, putus asa, dan cemas (Hamid dan Salleh 2013). Lebih spesifik lagi, ibu tunggal dihadapkan dengan peningkatan

(19)

3 jumlah stress sehari-hari dan ketegangan ketika dibandingkan dengan tingkat pengalaman stress ibu yang memiliki pasangan (Compas dan Williams 1990).

Faktor stress yang mempengaruhi orang tua tunggal dapat memicu depresi, oleh karena itu diperlukan strategi koping untuk mengatasi stress (Mgbenkemdi dan Hyacinth 2014). Secara spesifik, orang tua tunggal, terutama ibu dilaporkan menggunakan lebih banyak strategi koping berkaitan dengan pengelolaan emosi (Compas dan Williams 1990). Menurut Yilmaz et al. (2013), terdapat hubungan yang positif signifikan antara strategi koping berfokus masalah dan kesejahteraan subjektif, semakin tinggi strategi koping berfokus pada masalah, maka semakin tinggi pula kesejahteraan subjektifnya.

Menanggapi pentingnya hubungan antara stress dan strategi koping, maka hal tersebut perlu dikaji. Selain itu, stress juga mencerminkan keadaan kehidupan seseorang yang dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Orang tua tunggal diduga akan memiliki stress yang berat sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Berdasarkan hal tersebut, maka stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif pada orang tua tunggal, terutama ibu menjadi bagian penting untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dan perbedaan stress dan strategi koping terhadap kesejahteraan subjektif keluarga:

1. Bagaimana karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan keluarga subjektif ibu tunggal?

2. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif?

3. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, stress, dan strategi koping terhadap kesejahteraan subjektif?

Tujuan Penelitian Tujuan umum:

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaruh stress dan strategi koping terhadap kesejahteraan keluarga subjektif.

Tujuan khusus:

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan keluarga subjektif.

2. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif.

3. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, stress, dan strategi koping terhadap kesejahteraan keluarga subjektif.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi penulis dapat memperkaya pengalaman penelitian dan kegiatan keilmuan sebagai aplikasi ilmu yang telah didapat

(20)

4

selama perkuliahan. Adapun secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keluarga dan dapat menjadi saran maupun pertimbangan bagi penelitian-penelitian yang serupa di masa yang akan datang. Manfaat penelitian ini bagi masyarakat yaitu diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan mengantisipasi hal-hal yang mengakibatkan stress setelah perceraian, dapat menggunakan strategi koping yang tepat, lebih jauh lagi diharapkan masyarakat tidak memutuskan untuk bercerai berkenaan dengan dampak yang ditimbulkan. Bagi instansi terkait diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan orang tua tunggal.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Struktural Fungsional

Pendekatan struktural fungsional berasal dari konsep sosiologi yang diterapkan dalam keluarga. Pada dasarnya, pendekatan struktural fungsional menekankan adanya struktur dan fungsi dalam keluarga. Penganut pandangan teori struktural fungsional melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan (Puspitawati 2013). Menurut Mooney et al. (2007) pendekatan struktural fungsional menekankan adanya harmoni untuk menjaga sistem tetap seimbang dan stabil, misalnya keluarga sebagai unit terkecil dari institusi sosial memiliki tugas dalam konteks reproduksi, pengasuhan, dan fungsi sosialisasi kepada anak. Selain itu, pendekatan struktural fungsional menekankan adanya ketergantungan dalam suatu sistem, apabila salah satu komponen dalam suatu sistem berubah atau rusak, maka akan mempengaruhi sistem lainnya, misalnya peningkatan keluarga dengan orang tua tunggal dan peningkatan suami-istri bekerja akan mempengaruhi jumlah anak yang gagal berprestasi di sekolah karena orang tua tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membimbing anaknya mengerjakan tugas sekolah (Mooney et al. 2007). Pendekatan struktural fungsional menganggap keluarga orang tua tunggal sebagai struktur yang tidak lengkap namun dapat mencapai keseimbangan (White dan Klein 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan teori struktural fungsional mentolerir adanya keragaman dan konflik, namun sistem tersebut tetap berusaha mencapai keseimbangannya.

Menurut Megawangi (2014), terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga menurut pendekatan struktural fungsional: 1) status sosial yaitu setiap anggota keluarga memiliki identitas dan ciri sebagai bagian dari masyarakat dalam hubungan timbal balik antar individu, 2) fungsi sosial yaitu tingkah laku yang diharapkan akan muncul dari seseorang akibat status sosialnya, misalnya seseorang yang mempunyai status kepala keluarga diharapkan mampu memberi nafkah dan menjamin kebutuhan hidup anggota keluarganya, 3) norma sosial yaitu aturan yang menggambarkan bagaimana seharusnya seseorang bertindak.

(21)

5

Stress

Istilah stress yang digunakan dalam ilmu fisik mengacu pada tidak aktif atau pasifnya tubuh akibat tekanan dari lingkungan. Namun dalam ilmu biologis, stress merupakan proses aktif tubuh dalam upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang membuat stress agar terjadi keseimbangan (Lazarus dan Folkman 1984). Stress merupakan respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang diterimanya, suatu fenomena universal dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap orang mengalaminya (Selye dalam Pedak 2009). Dalam ilmu biomedis, stress merupakan respon organisme terhadap stimulasi yang merugikan atau yang tidak menguntungkan. Sementara itu, dalam psikologi, stress timbul akibat interaksi individu dengan lingkungannya (Lestari 2013). Istilah stress juga digunakan dalam pengasuhan. Stress pengasuhan merupakan serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua (Lestari 2013).

Konsep stress berdasarkan Selye, yaitu stress berdasarkan respon. Stress merupakan respon non-spesifik terhadap stimulus yang berbahaya. Respon fisiologis selalu sama tanpa memperhatikan stimulus. Hal tersebut dikenal sebagai general adaptation syndrome (GAS). Sementara itu, konsep stress berdasarkan Holmes dan Rahe, yaitu stress berdasarkan stimulus. Istilah stress sama dengan ―peristiwa dalam kehidupan‖. Peristiwa dalam kehidupan merupakan ―stress‖ yang membutuhkan usaha adaptasi. Konsep lain yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman yaitu stress berdasarkan transaksi. Istilah stress merupakan sebuah ―aturan‖ dari rangkaian kerumitan fenomena subjektif, termasuk penilaian kognitif (ancaman, kekerasan, dan tantangan), emosi stress, respon koping, dan penilaian. Stress merupakan pengalaman ketika permintaan dari situasi cukup atau melebihi sumberdaya seseorang dan sebagai antisipasi terhadap kerusakan atau kehilangan (Lyon 2012).

Menurut Pedak (2009), terdapat dua komponen stress, yaitu tuntutan (bersifat eksternal) dan repons atau tanggapan (bersifat internal). Stress timbul karena kejadian atau lingkungan yang menimbulkan perasaan tegang, dalam hal ini penyebab stress disebut sebagai stressor. Stressor dapat didefinisikan secara berbeda oleh masing-masing individu. Stressor bagi seorang individu belum tentu menjadi stressor bagi individu lain (Pedak 2009). Stress dimulai dengan adanya stressor, yang didefinisikan sebagai kejadian yang nyata atau dibayangkan, kondisi, situasi, atau stimulus yang mengawali keterkejutan respons dari stress manusia (Everly dan lating dalam Matthieu dan Ivanoff 2006). Stress sebagai respon (rangsangan) yaitu cara individu menanggapi suatu kejadian akibat tidak tercapainya suatu keinginan. Jadi, yang terpenting adalah cara individu memaknai suatu peristiwa (Pedak 2009). Stress bersifat universal, artinya setiap individu pasti mengalami stress, namun cara pengungkapannya yang berbeda. Pengungkapan stress berdasarkan pada karakteristik dan kemampuan individu dalam menghadapi suatu peristiwa (Pedak 2009). Konsep stimulus dan respons, yaitu adanya stress diakibatkan adanya stimulus. Dalam hal ini,

(22)

6

stimulus stress terbagi menjadi dua, yaitu perubahan secara besar yang berkaitan dengan bencana alam atau perubahan agregat serta kerepotan sehari-hari (Lazarus dan Folkman 1984). Konsep relasional, yaitu stress berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, misalnya adanya wabah atau penyakit menular dapat menyebabkan stress (Lazarus dan Folkman 1984). Stress merupakan kondisi yang dinamis, yang didasarkan pada keragaman kemampuan individu dan situasi stress itu sendiri. Kondisi dinamis dari stress juga berkaitan dengan dinamisnya lingkungan individu yang sulit diprediksi (Lazarus dan Folkman 1984). Menurut Lazarus, dua konsep utama mengenai teori psikologis stress yaitu penilaian dan koping. Penilaian berkaitan dengan evaluasi individu terhadap apa yang sedang terjadi. Sementara koping merupakan usaha individu dalam berpikir dan bertindak untuk mengatur permintaan spesifik (Krohne 2002).

Indikator stress diantaranya mengalami kecemasan, gugup, konflik, frustrasi, gangguan emosional, trauma, dan merasa terisolir (Cofer dan Appley dalam Lazarus dan Folkman 1984). Dilihat dari sudut pandang biologis, stress terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan pada tubuh yang dicirikan oleh kondisi kedinginan, kekurangan oksigen, serta rendahnya kadar gula dalam darah (Walter Cannon dalam Lazarus dan Folkman 1984). Beberapa karakteristik perasaan stress yaitu sakit kepala, memiliki nafas yang pendek, pening, merasa muak, tegang otot, merasa lelah, melunturkan keberanian, jantung berdebar-debar, kehilangan nafsu makan atau kelaparan, dan memiliki masalah tidur. Sementara itu, manifestasi perilaku stress umumnya berupa menangis, merokok, berlebihan dalam makan, meminum alkohol, berbicara secara cepat, dan gemetaran (Lyon 2012).

Sementara itu, indikator stress keluarga dapat dicirikan dengan adanya perubahan yang terjadi pada anggota keluarga atau terjadi peristiwa yang dapat merubah keadaan keluarga. Selain itu, kerepotan yang dialami keluarga sehari-hari juga dapat memicu stress, seperti kesulitan dalam mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan domestik (Hashim, Azmawati, dan Endut 2015). Sementara itu, McCubbin dan Thompson dalam Koswara (2009) mendefinisikan stressor sebagai suatu peristiwa kehidupan atau suatu transisi, misalnya kematian, membeli rumah, menjadi orang tua, dll yang memberikan dampak dalam keluarga.

McCubbin dan Patterson mengembangkan teori stress keluarga berdasarkan pengembangan model stress Hill. Teori tersebut dinamakan teori ABC-X, yang terdiri dari faktor A sebagai simbol stress keluarga, B sebagai simbol kemampuan koping keluarga (sumberdaya maupun manajemen stress), C sebagai persepsi terhadap sumber stress, dan X sebagai adaptasi keluarga (Arianti 2002). Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Faktor-faktor yang menyebabkan stress diantaranya perubahan sosial dan cara seseorang menyikapi perubahan sosial tersebut. Selain itu, keadaan yang terjadi dalam keluarga juga dapat menimbulkan stress misalnya keadaan anak-anak meninggalkan rumah (empty nest), krisis paruh baya, menjanda atau menduda, dan pensiun (Lazarus dan Folkman 1984). Faktor lain penyebab stress yaitu pengaruh kuat dari lingkungan atau sosial ekologi.

(23)

7 Tekanan dari lingkungan dan sumberdaya merupakan faktor penting penyebab stress sekaligus penentu strategi koping yang akan digunakan (Lazarus dan Folkman 1984). Ketidakcukupan uang, hutang, kewajiban domestik, pengasuhan anak, konflik pekerjaan dan keluarga merupakan faktor-faktor penyebab stress pada orang tua tunggal (Hashim et al. 2015; Hamid dan Salleh 2013). Dukungan sosial, sensitivitas koherensi, kerepotan sehari-hari (hardiness), self-efficacy, dan optimisme juga dapat mempengaruhi stress (Schwarzer dan Leppin; Antonovsky; Kobasa; Bandura; Scheier dan Carver dalam Krohne 2002). Faktor lain penyebab stress yaitu karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, kesehatan fisik, dan keadaan lingkungan ekologis (lokasi geografis, status sosial-ekonomi, ras, dan etnis) (Cronin et al. 2015).

Strategi Koping

McCubbin dalam Dyk dan Schvaneveldt (1987) membuktikan bahwa perilaku koping merupakan bagian integral dari sumberdaya keluarga dan sudah seharusnya menjadi bagian dari teori stress keluarga. Koping didefinisikan sebagai perubahan kognitif seseorang secara konstan dan usaha nyata berupa perilaku untuk mengatur permintaan yang berasal dari dalam diri maupun yang berasal dari luar diri yang dinilai melebihi kemampuan atau kapasitas sumberdaya yang dimiliki oleh individu tersebut (Lazarus dan Folkman 1984). Terdapat tiga faktor kunci menanggapi definisi diatas. Pertama, orientasi proses, yaitu berfokus pada apa yang sebenarnya seseorang pikirkan mengenai kondisi stress, orientasi proses ini lebih melihat pendekatan kepribadian, melihat bagaimana perlakuan seseorang terhadap stress serta menekankan stabilitas daripada perubahan (Folkman et al. 1986). Kedua, melihat koping sebagai kontekstual, yaitu dipengaruhi oleh penilaian seseorang terhadap permintaan dan membandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatur kedua hal tersebut. Pendekatan kontekstual ini melihat bahwa sebenarnya individu dan situasi sama-sama membentuk usaha strategi koping (Folkman et al. 1986). Ketiga, asumsi mengenai koping tidak dinyatakan, apakah koping itu termasuk koping yang baik atau koping yang buruk. Koping didefinisikan sebagai usaha seseorang untuk mengatur permintaan, terlepas dari koping itu berhasil atau tidak (Folkman et al. 1986).

Menurut Lazarus dan Folkman, koping diartikan sebagai fenomena yang berorientasi pada proses, bukan merupakan suatu kepribadian atau hasil (Lyon 2012). Jenis strategi koping menurut Lazarus dan Folkman (1984) terdiri dari koping berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan koping berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Menurut Selye, tidak ada konseptualisasi untuk strategi koping. Namun, Selye menggunakan konsep ―tahap resisten‖, yang bertujuan untuk menentang bahaya (konsep ini merupakan bagian dari GAS) (Lyon 2012). Menurut Lazarus dan Folkman, koping dikonseptualisasikan sebagai usaha untuk memperbaiki persepsi yang mengancam atau untuk mengatur emosi berkenaan karena stress (Lyon 2012).

(24)

8

Koping melibatkan proses mengatur suatu sumber stress, termasuk usaha untuk meminimalisir, menghindari, mentoleransi, merubah, atau menerima situasi stress (Lyon 2012). Koping berfokus pada masalah serupa dengan taktik penyelesaian masalah. Strategi ini meliputi usaha untuk mengartikan masalah, menimbang keuntungan dan kerugian berbagai tindakan, mengambil tindakan untuk mengubah apa yang dapat diubah, mempelajari keterampilan baru (Lazarus dan Folkman 1984). Koping berfokus pada masalah dapat secara langsung mengarah keluar untuk mengubah beberapa aspek lingkungan atau mengarah ke dalam untuk mengubah beberapa aspek dalam diri. Usaha-usaha secara langsung terhadap diri masuk ke dalam kategori penilaian—contohnya berusaha merubah makna situasi atau kejadian, mengurangi keterlibatan ego, atau mengenali keberadaan sumberdaya atau kekuatan diri. Koping berfokus masalah biasanya dilakukan pada masalah yang masih dapat diperbaiki (Lyon 2012). Menurut Parker dan Endler dalam Arianti (2002), pada

problem focused coping tercakup lima dimensi, yaitu: perilaku aktif

mengatasi stress, perencanaan, penekanan kegiatan lain untuk mengatasi stress, pengendalian perilaku menghadapi stress, dan pencarian dukungan sosial berupa bantuan.

Sementara itu, koping berfokus pada emosi secara langsung bertujuan mengurangi stress yang bersifat emosional. Taktiknya termasuk usaha menjauhi, menghindari, menaruh perhatian secara selektif, menyalahkan, meminimalisir, berharap, mengeluarkan emosi, mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, melakukan latihan, dan bermeditasi. Koping berfokus pada emosi biasanya dilakukan pada masalah yang tidak dapat diubah (Lazarus dan Folkman dalam Lyon 2012). Menurut Parker dan Endler dalam Arianti (2002), pada emotion focused coping

tercakup pula lima dimensi, yaitu: mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri, penolakan, penerimaan, dan melakukan kegiatan keagamaan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping diantaranya karakteristik individu, yakni individu yang mempunyai kepercayaan diri dalam kemampuan untuk mengatur masalah sehari-hari (Natovova dan Chylova 2014). Pendidikan serta pengalaman dalam menggunakan strategi koping yang tepat (Jenaabadi 2014) juga menjadi faktor yang mempengaruhi strategi koping. Sumber keuangan, tingkat pendidikan, status kesehatan, keragaan psikologis dan karakteristik individu, sumberdaya keluarga serta dukungan sosial sangat berpengaruh terhadap penggunaan strategi koping (Jenaabadi 2014). Kepribadian berhubungan dengan penentuan strategi koping (Karimkaze dan Besharat 2011). Korelasi antara strategi koping stress dan kepuasan pernikahan berhubungan secara signifikan dan positif, semakin baik strategi koping, maka kepuasan pernikahan juga akan semakin tinggi (Mahmoodi 2011).

(25)

9

Kesejahteraan Subjektif

Kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan evaluasi afektif individu mengenai kehidupan individu tersebut. Evaluasi tersebut mencakup reaksi emosional terhadap kejadian seperti penentuan kepuasan dan pemenuhan (Diener, Lucas, dan Oishi 2002).Menurut Tinkler dan Hicks (2011), kesejahteraan subjektif mengukur bagaimana orang berpikir dan merasakan kepuasan hidup mereka, kebahagiaan, dan kesejahteraan psikologis.Kesejahteraan subjektif juga mencakup bagaimana seseorang menilai tingkat kepuasannya dari segi fisik, emosi, finansial, dan sosial (WHO 1992). Kesejahteraan subjektif merupakan konsep yang luas termasuk pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya suasana hati negatif, dan tingginya kepuasan hidup. Pengalaman positif merupakan konsep inti dalam mewujudkan tingginya kesejahteraan subjektif.

Menurut Diener et al. (1999), kesejahteraan subjektif terdiri dari respon emosi seseorang, kepuasan, kebahagiaan, dan pernyataan kepuasan mengenai kehidupan. Evaluasi mengenai emosi dan suasana hati seseorang juga termasuk ke dalam kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif terdiri dari dua komponen, yaitu kognitif dan emosi (Yilmaz dan Arslan 2013). Komponen kognitif yaitu persepsi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup juga dapat membentuk kebahagiaan (Dorahy et al. dalam Yilmaz dan Arslan 2013). Komponen emosi terdiri dari emosi positif dan negatif (Rask et al. dalam Yilmaz dan Arslan 2013). Emosi positif seseorang akan membawa pada kepuasan, komitmen terhadap diri, kelekatan, dan arti kehidupan (Diener dan Seligman dalam Yilmaz dan Arslan 2013). Perasaan positif termasuk kepercayaan, minat, harapan, kebanggaan, kebahagiaan. Sementara itu, perasaan negatif termasuk kemarahan, kebencian, perasaan bersalah, dan kesedihan (Myers dan Diener dalam Yilmaz dan Arslan 2013).

Kepribadian, dalam hal ini temperamen dan faktor demografi berkorelasi terhadap kesejahteraan subjektif (Wilson dalam Diener, Lucas, dan Oishi 2002). Pendapatan secara konsisten berhubungan dengan kesejahteraan subjektif (Diener et al; Haring et al dalam Diener, Lucas, dan Oishi 2002). Usia dan jenis kelamin berkaitan dengan kesejahteraan subjektif, namun dampaknya sedikit terhadap kesejahteraan subjektif (Diener, Lucas, dan Oishi 2002). Norma dan kebudayaan dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif (Diener, Lucas, dan Oishi 2002). Menurut Diener (1984) dalam Yilmaz dan Arslan (2013), kesejahteraan subjektif juga dipengaruhi oleh variabel dukungan sosial seperti keluarga dan kepuasan terhadap pekerjaan. Status demografi lain seperti status pernikahan dan aktivitas keagamaan juga berpengaruh positif dengan kesejahteraan subjektif (Diener, Lucas, dan Oishi 2002).

(26)

10

KERANGKA PEMIKIRAN

Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori struktural fungsional. Berdasarkan pendekatan struktural fungsional, maka struktur keluarga dengan orang tua tunggal merupakan struktur yang tidak lengkap dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan di dalam keluarga. Ketidakseimbangan yang terjadi dalam keluarga dapat memicu stress. Stress pada keluarga orang tua tunggal dipengaruhi oleh karakteristik anggota keluarga dan karakteristik keluarga itu sendiri. Karakteristik anggota keluarga sebagai individu akan berbeda dalam hal mempersepsikan stress, karena stress bagi seseorang belum tentu menjadi stress bagi individu lain. Selain itu, usia dan jenis kelamin juga mempengaruhi stress. Semakin tinggi usia maka semakin banyak tugas yang harus dilakukan sehingga dapat memicu stress. Wanita juga cenderung memiliki stress lebih tinggi dibanding pria. Pendapatan yang diperoleh orang tua tunggal ayah atau ibu tunggal juga berpengaruh terhadap stress, apabila pendapatan yang diperoleh tinggi, maka stress untuk aspek finansial rendah, begitu pula sebaliknya. Karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga juga dapat mempengaruhi stress. Apabila orang tua tunggal memiliki banyak anak dan tanggungan anggota keluarga lain maka banyak yang harus diurus dan diperhatikan, hal tersebut dapat memicu stress.

Adanya stress membutuhkan strategi koping bagi setiap individu. Strategi koping yang diukur dalam penelitian ini yaitu strategi koping berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi koping berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Karakteristik individu dan karakteristik keluarga seperti lama pendidikan diduga akan mempengaruhi jenis strategi koping apa yang akan digunakan ketika menghadapi stress. Selain itu, penggunaan strategi koping berfokus masalah cenderung akan mengurangi efek dari stress dibanding penggunaan strategi koping berfokus emosi.

Faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Pendapatan juga berhubungan dengan kesejahteraan subjektif, semakin tinggi pendapatan, maka kesejahteraan subjektif akan semakin baik pula. Selain itu, strategi koping dan stress memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif.

(27)

11

Gambar 1 Kerangka berfikir pengaruh stress, strategi koping, terhadap kesejahteraan subjektif

METODE

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul ―Tekanan Ekonomi, Dukungan Sosial, Ketahanan, Stress, Strategi Koping, serta Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Orang Tua Tunggal‖. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu melakukan penelitian pada satu waktu tertentu.Lokasi penelitian dipilih secara

purposive, yaitu di Kota Bogor. Alasan pemilihan lokasi penelitian di Kota

Bogor yaitu dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor merupakan salah satu Karakteristik Individu dan

Keluarga - Usia responden

- Lama pendidikan responden

- Pendapatan per kapita

- Jumlah anggota keluarga

- Lama menikah

- Lama bercerai

Stress

-Tanda-tanda stress mental -Tanda-tanda stress fisik

Strategi koping

- Problem focused coping

- Emotional focused coping

Kesejahteraan Subjektif

-Fisik-ekonomi -Sosial

-Psikologis

(28)

12

kota yang tinggi tingkat perceraiannya di Jawa Barat dengan jumlah sebesar 34 399 atau 3.95 persen dari jumlah total penduduk di Kota Bogor. Selanjutnya, Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal dipilih sebagai kecamatan penelitian karena berdasarkan penelitian terdahulu, kedua kecamatan tersebut tinggi angka perceraiannya (Asilah dan Hastuti 2014; Sukaidawati 2015). Waktu penelitian terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data yang dilakukan mulai bulan Maret 2016 hingga Juni 2016.

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

Populasi pada penelitian ini adalah keluarga orang tua tunggal (single

parent). Responden pada penelitian ini adalah ibu tunggal karena cerai

hidup, serta bersedia untuk dijadikan sampel. Teknik penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling. Jumlah contoh pada penelitian ini yaitu 40 ibu tunggal. Berikut adalah kerangka pengambilan contoh penelitian (Gambar 2). Kota Bogor dipilih secara purposive dengan alasan karena salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang tinggi tingkat perceraiannya. Selanjutnya Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal dipilih secara purposive dengan alasan bahwa Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal merupakan kecamatan yang memiliki jumlah perceraian tertinggi di Kota Bogor berdasarkan penelitian Asilah dan Hastuti (2014) serta Sukaidawati (2015). Setelah melakukan diskusi dengan pihak Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal, penulis disarankan untuk melakukan penelitian di Kelurahan Cilendek Barat dan Kelurahan Sindang Barang untuk Kecamatan Bogor Barat serta Kelurahan Kebon Pedes dan Tanah Sareal karena di kelurahan-kelurahan tersebut tinggi jumlah penduduknya sehingga diasumsikan tinggi pula jumlah penduduk yang bercerai. Kemudian penulis meminta data jumlah orang tua tunggal yang bercerai kepada para ketua rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) di masing-masing kelurahan sehingga didapatlah 40 ibu tunggal.

(29)

13

Gambar 2 Metode penarikan contoh

Jenis, Cara Pengumpulan Data, dan Cara Pengukuran Variabel

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari wawancara langsung dengan orang tua tunggal serta menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Data sekunder didapatkan dari kantor kecamatan dan kantor kelurahan yaitu data mengenai jumlah penduduk dan data jumlah orang tua tunggal, data dari ketua rukun warga (RW) dan ketua rukun tetangga (RT) mengenai data penduduk orang tua tunggal yang bercerai. Data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, meliputi:

1. Karakteristik keluarga contoh (usia responden, lama pendidikan responden, pekerjaan responden, pendapatan responden, jumlah anggota keluarga, lama menikah, dan lama bercerai).

2. Kuesioner stress pada ibu tunggal dikembangkan dari Family

Inventory of Life Events and Changes (FILE) oleh McCubin dan

Thompson (1991) dalam Fischer dan Corcoran (2000), Puspitawati (2013), dan Koswara (2009). Kuesioner stress berjumlah 46 pertanyaan dengan pilihan jawaban ―0=tidak pernah, 1=jarang,

Kota Bogor

Kecamatan Bogor

Barat

Kecamatan Tanah Sareal

Kelurahan Cilendek Barat Kelurahan Sindang Barang Kelurahan Kebon Pedes Kelurahan Tanah Sareal 6 RW 1 RW 7 RW 2 RW n= 19 n= 2 n= 15 n= 4 purposive purposive purposive purposive purposive

(30)

14

2=sering, 3=kadang-kadang, dan 4=selalu‖ serta memiliki nilai

Cronbach’s alpha sebesar 0.925.

3. Kuesioner strategi koping dikembangkan dari Family Coping

Inventory (FCI) oleh McCubin dan Thompson (1991) dalam Fischer

dan Corcoran (2000) dan Ways of Coping Questionnaire oleh Lazarus dan Folkman (1985). Kuesioner strategi koping berjumlah 40 pertanyaan dengan pilihan jawaban ―0=tidak pernah, 1=jarang, 2=kadang-kadang, 3=sering, dan 4=selalu‖ serta memiliki nilai

Cronbach’s alpha sebesar 0.777.

4. Kuesioner kesejahteraan subjektif dimodifikasi dari kuesioner Kesejahteraan Keluarga Subjektif oleh Puspitawati (2012). Kuesioner kesejahteraan subjektif berjumlah 36 pertanyaan dengan pilihan jawaban ―0=tidak puas hingga 2=puas sekali‖ serta memiliki nilai Cronbach’s alpha sebesar 0.921.

Tabel 1 Variabel, skala, kategori, dan instrumen

Variabel Skala Pengolahan data

Karakteristik individu dan keluarga

Usia responden Rasio Rataan data

Lama menikah Rasio Rataan data

Lama bercerai Rasio Rataan data

Jumlah anggota keluarga Rasio BKKBN 2005

[1] Keluarga kecil (0-4 orang) [2] Keluarga sedang (5-7 orang) [3] Keluarga besar (≥ 8 orang) Lama pendidikan responden

Rasio Rataan data

Pekerjaan responden Nominal [0] Tidak bekerja

[1] Petani [2] Buruh tani [3] Buruh non tani [4] PNS/ ABRI/ Polisi

[5] Jasa (tukang ojek, tukang cukur, dll)

[6] Ibu rumah tangga [7] Pedagang/ wirausaha [8] Lainnya (sebutkan)

Pendapatan per kapita Rasio Rataan data

Stress

Penyebab stress

Tanda-tanda stress mental Tanda-tanda stress fisik

Ordinal [1] Rendah: 0.00-33.33

[2] Sedang: 33.33-66.67 [3] Tinggi: 66.68-100.00

Strategi Koping

Strategi koping berfokus masalah

Strategi koping berfokus emosi

Ordinal [1] Rendah: <60

[2] Sedang: 60-80 [3] Tinggi: >80

(31)

15

Variabel Skala Pengolahan data

Kesejahteraan subjektif Fisik-ekonomi Sosial Psikologis Ordinal [1] Rendah: <60 [2] Sedang: 60-80 [3] Tinggi: >80

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan melalui wawancara kemudian diolah dan dianalisis melalui Microsoft Excel dan SPSS 16.0. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, scoring, dan analyzing. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga (usia responden, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan responden, pekerjaan responden, lama menikah, dan lama bercerai), stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif. Adapun analisis statistik dalam penelitian ini lebih detail dilakukan dengan cara:

1. Analisis deskriptif (rata-rata, nilai minimum dan maksimum, dan persentase) untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga orang tua tunggal, stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif.

2. Uji hubungan menggunakan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif.

3. Uji pengaruh dilakukan dengan uji regresi linear berganda. Uji tersebut digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel karakteristik keluarga orang tua tunggal, stress, strategi koping, terhadap variabel kesejahteraan keluarga subjektif.

Variabel penelitian selanjutnya diberikan skor penilaian pada setiap pertanyaan kuesioner. Setelah itu, skor total dari masing-masing variabel ditransformasikan menjadi skor indeks. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Selain itu, bertujuan untuk menyamakan satuan agar perbandingan pengkategorian data setiap variabel seragam (Puspitawati dan Herawati 2013). Indeks dihitung dengan rumus:

Indeks = Skor aktual – nilai minimum x 100 Nilai maksimum – nilai minimum Keterangan:

Indeks = skala nilai 0-100

Nilai aktual = nilai yang diperoleh responden

Nilai maksimal = nilai tertinggi yang seharusnya dapat diperoleh responden

Nilai minimal = nilai terendah yang seharusnya dapat diperoleh responden

Skor indeks yang telah didapat dimasukkan ke dalam pengkategorian. Skor indeks dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian rendah, sedang, dan tinggi dikategorikan berdasarkan

(32)

16

Bloom’s cut off (Yimer et al. 2014) yaitu <60 dikategorikan rendah, 60-80 dikategorikan sedang, dan >80 dikategorikan tinggi.

Analisis hubungan digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga, stress, strategi koping, dan kesejahteraan subjektif. Sementara itu, uji regresi linier berganda merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh beberapa buah variabel independen dan sebuah variabel dependen. Analisis regresi linier digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, stress, dan strategi koping terhadap kesejahteraan keluarga subjektif.

Persamaan linier yang digunakan untuk uji regresi, yaitu:

Y1 = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + β7 X7 + € Keterangan: Y = kesejahteraan subjektif α = konstanta regresi β1… β7 = koefisien regresi X1 = stress (skor)

X2 = strategi koping (skor) X3 = usia suami dan istri (tahun) X4 = lama pendidikan (tahun) X5 = pendapatan per bulan (rupiah) X6 = lama menikah (tahun)

X7 = lama bercerai (tahun) € = galat

Definisi Operasional

Karakteristik individu dan keluarga adalah ciri khas yang dimiliki oleh individu sebagai anggota keluarga berupa karakteristik keluarga responden dalam hal ini yaitu usia responden, lama pendidikan responden, pekerjaan responden, pendapatan responden, jumlah anggota keluarga, lama menikah, dan lama bercerai.

Keluarga orang tua tunggal yaitu keluarga dengan ibu tunggal sebagai kepala keluarga, baik mempunyai anak ataupun tidak dengan penyebab menjadi orang tua tunggal yaitu cerai hidup.

Usia responden adalah jumlah tahun lengkap sejak lahir sampai usia ulang tahun responden.

Lama pendidikan responden adalah lama pendidikan formal yang ditempuh atau diperoleh responden dalam tahun.

Pekerjaan responden adalah pekerjaan atau mata pencaharian utama maupun sampingan baik secara formal maupun informal yang menambah pendapatan keluarga.

Pendapatan responden adalah pendapatan yang diperoleh responden setelah perceraian yang dimasukkan ke dalam pendapatan keluarga.

Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota dalam keluarga yang dikelompokkan berdasarkan BKKBN (2005) menjadi tiga kategori yaitu kecil (= 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang).

(33)

17

Lama menikah adalah lama menikah dimulai dari tahun pertama sampai ulang tahun pernikahan yang terakhir sebelum bercerai.

Lama bercerai adalah lamanya perceraian sejak disahkan oleh pengadilan maupun agama bahwa secara resmi sudah tidak lagi menjadi suami dan istri.

Stress adalah tanda-tanda stress baik secara mental maupun fisik yang dialami ibu tunggal.

Strategi koping adalah upaya orang tua tunggal ayah atau ibu dalam mengurangi atau mengelola stress.

Strategi koping berfokus masalah adalah upaya yang dilakukan orang tua ibu tunggal dalam mengurangi atau mengelola stress dengan berusaha mengubah keadaan atau lingkungan.

Strategi koping berfokus emosi adalah upaya yang dilakukan orang tua tunggal ibu dalam mengurangi atau mengelola stress dengan cara mengelola emosi tanpa mengubah lingkungan secara langsung.

Kesejahteraan keluarga subjektif adalah tingkat kepuasan hidup dan penerimaan keluarga terhadap apa yang dialami dalam keluarganya saat ini berdasarkan perspektif orang tua tunggal ibu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Cilendek Barat

Kelurahan Cilendek Barat merupakan satu dari 16 kelurahan di Kecamatan Bogor Barat dan 68 Kelurahan di Kota Bogor, dengan posisi strategis dekat dengan pusat pelayanan pemerintahan kecamatan. Kelurahan Cilendek Barat terbagi dalam 18 RW dan 68 RT. Garis batas Kelurahan Cilendek Barat yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Curug Mekar, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Ciendek Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Menteng, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sindangbarang.

Kelurahan Sindang Barang

Kelurahan Sindang Barang memiliki luas wilayah 159.0115 Ha yang terbagi ke dalam 9 RW dan 48 RT. Garis batas kelurahan yaitu sebelah utara Keluruhan Bubulak, sebelah selatan Kelurahan Loji, sebelah barat Kelurahan Margajaya, dan sebelah Timur kelurahan Menteng.

Kelurahan Tanah Sareal

Kelurahan Tanah Sareal memiliki luas wilayah 105 Ha, 7 RW dan 36 RT dengan sebagian besar lahan dipergunakan bagi pemukiman penduduk. Batas wilayah Kelurahan Tanah Sareal terdiri dari sebelah utara yaitu sungai Cipakancilan, sebelah selatan kelurahan Sempur, sebelah barat Kelurahan Kebon Pedes, dan sebelah timur yaitu Sungai Ciliwung.

(34)

18

Kelurahan Kebon Pedes

Kelurahan Kebon Pedes adalah salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor seluas 104 Ha. Garis batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak, sebelah Selatan dengan Kelurahan Cibogor, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Ciwaringin dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanah Sareal. Penduduk Kebon Pedes tersebar di 13 RW dan 74 RT.

Karakteristik Keluarga Orang Tua Tunggal

Usia minimum responden saat ini yaitu 24 tahun dan usia maksimum responden saat ini yaitu 60 tahun. Rata-rata usia responden yaitu 40.9 tahun (Tabel 2). Sebanyak 50.0 persen responden berada di usia dewasa awal dan dewasa madya (Tabel 2).

Tabel 2 Sebaran usia responden

Usia* n %

Dewasa awal (20-40 tahun) 20 50.0

Dewasa madya (41-60 tahun) 20 50.0

Total 40 100.0 Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi 24.0-60.0 40.9±9.2 *) Hurlock (1980)

Berdasarkan Tabel 3, sebagian besar responden telah menamatkan pendidikan setara sekolah menengah atas (47.5%). Diikuti oleh responden yang telah menempuh pendidikan setara sekolah menengah pertama (30.0%) dan masih terdapat responden yang hanya menempuh pendidikan sekolah dasar (17.5%). Berdasarkan hasil penelitian Rizkillah (2014), status pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi jenis pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh.

Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan kategori lama pendidikan

Pendidikan n %

SD (6-8 tahun) 7 17.5

SMP (9-11 tahun) 12 30.0

SMA (12 tahun) 19 47.5

Perguruan Tinggi (> 12 tahun) 2 5.0

Total 40 100.0

Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi

6.0-15.0 10.2±2.4

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 32.5 persen responden merupakan ibu rumah tangga. Sebagian besar responden tersebut tinggal bersama anak atau orang tuanya sehingga mengandalkan pendapatan dari anak dan orang tua. Responden yang merupakan ibu rumah tangga juga terkadang mendapat bantuan keuangan dari saudara atau kerabat. Sementara itu, pekerjaan lain yang sebagian besar dilakukan oleh responden yaitu

(35)

19 karyawan swasta dan kader sebanyak 32.5 persen serta wirausaha/ pedagang sebanyak 25.0 persen. Menurut Diener (1984) dalam Yilmaz dan Arslan (2013), kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh kepuasan terhadap pekerjaan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Sumarwan et al. (2006), jenis pekerjaan merupakan salah satu yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga sehingga dapat mempengaruhi kepuasan keluarga terhadap pekerjaan (Tabel 4).

Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan kategori pekerjaan

Jenis pekerjaan n %

Buruh non tani 3 7.5

PNS 1 2.5

Ibu Rumah Tangga 13 32.5

Wirausaha 10 25.0

Lainnya (kader, karyawan swasta) 13 32.5

Total 40 100.0

Tabel 5 menunjukkan bahwa besar keluarga responden berjumlah antara 2 sampai 7 orang dengan rata-rata besar keluarga 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden (82.5%) termasuk ke dalam keluarga kecil (BKKBN 2005). Berdasarkan hasil penelitian Sumarwan et al. (2006), jumlah anggota keluarga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kesejahteraan objektif sehingga dapat mempengaruhi pula kesejahteraan subjektif.

Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan kategori besar keluarga

Besar keluarga* n % Kecil (0-4) orang 33 82.5 Sedang (5-7) orang 7 17.5 Total 40 100 Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi 2.0-7.0 3.4±1.1 *)BKKBN (2005)

Berdasarkan Tabel 6, pendapatan keluarga responden per kapita per bulan berkisar antara Rp40 000 hingga Rp12 500 000. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga responden yaitu Rp1 069 230. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden terkategori miskin yaitu sebanyak 40.0 persen berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2013 (BPS 2015). Pendapatan dapat menjadi prediktor kesejahteraan subjektif (Diener et al; Haring et al dalam Diener, Lucas, dan Oishi 2002).

(36)

20

Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan kategori pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita* n %

Miskin (<360 518) 16 40.0 Hampir miskin (360 518-721 036) 11 27.5 Tidak miskin (>721 036) 13 32.5 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi 40 000-12 500 000 1 069 230±2 031 850 *) BPS Kota Bogor (2015)

Lama menikah responden berkisar antara 1 hingga 30 tahun dengan rata-rata lama menikah 13.9 tahun. Sebagian besar responden (60.0%) memiliki lama menikah lebih dari 13 tahun dan sisanya memiliki lama menikah kurang dari 13 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ambert (2009) bahwa pada umumnya orang memutuskan bercerai setelah menjalani 13.8 tahun pernikahan.

Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan kategori lama menikah

Lama menikah n % <13 tahun 16 40.0 ≥13 tahun 24 60.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi 1.0-30.0 13.9±8.1

Berdasarkan Tabel 8, lama bercerai responden berkisar antara 0 hingga 10 tahun dengan rata-rata lama bercerai 5.3 tahun. Lama bercerai terendah yaitu 3 bulan sehingga belum masuk hitungan tahun. Sebanyak 63.8 persen responden memiliki lama bercerai kurang dari 8 tahun dan sisanya yaitu 36.2 persen memiliki lama bercerai lebih dari 8 tahun.

Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan kategori lama bercerai

Lama bercerai n % <8 tahun 30 63.8 ≥8 tahun 17 36.2 Total 47 100.0 Minimum-Maksimum Rata-rata±Standar Deviasi 0.25-10.0 5.3±2.8 Stress Penyebab Stress

Berdasarkan hasil studi pustaka yang dituangkan dalam kuesioner, berikut ini merupakan pengelompokkan penyebab stress (stressor) pada orang tua tunggal. Berdasarkan Tabel 9, nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu pada hal hubungan dengan anak, dengan demikian hubungan dengan anak merupakan penyebab stress yang paling banyak terjadi pada responden. Penyebab stress berikutnya yaitu pemenuhan kebutuhan, diikuti oleh stress dalam hal pekerjaan dan terakhir perubahan kehidupan keluarga.

(37)

21 Tabel 9 Rata-rata dan standar deviasi penyebab stress

No Penyebab Rata-rata Standar Deviasi

1 Perubahan Kehidupan Keluarga 15.9 10.6

2 Hubungan dengan Anak 36.4 21.6

3 Pemenuhan Kebutuhan 29.7 27.0

4 Pekerjaan 27.5 20.0

1. Perubahan Kehidupan Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian, penyebab stress yang termasuk ke dalam perubahan keluarga yaitu waktu bersama keluarga semakin berkurang (30.2%), terjadi peningkatan kesulitan dalam menyelesaikan masalah ketika sudah berpisah dengan pasangan (34.0%), dan kesedihan karena ayah atau ibu responden telah meninggal dunia (32.1%) (Lampiran 1). Waktu bersama keluarga yang semakin berkurang disebabkan karena sebagian besar responden bekerja sehingga waktu bersama anggota keluarga, terutama anak menjadi berkurang pula. Peningkatan kesulitan dalam menyelesaikan masalah diakui oleh responden karena setelah bercerai, responden tidak mempunyai pasangan yang dapat dimintai pendapat mengenai solusi ketika menghadapi masalah. Sebagian besar responden telah kehilangan orang tuanya sehingga responden terkadang masih merasa sedih ketika mengingat orang tuanya.

2. Hubungan dengan Anak

Beberapa hal yang menjadi stressor bagi responden dalam hubungannya dengan anak yaitu anak menjadi lebih sulit diatur (35.8%), anak-anak sering bertengkar (30.2%), sulit mendisiplinkan anak (32.1%), merasa sulit mengasuh anak (30.2%), dan sulit memperoleh kepuasan dalam hal mengasuh anak (28.3%) (Lampiran 1). Keempat hal tersebut disebabkan karena beberapa responden ada yang memiliki anak remaja dan anak usia sekolah dasar sehingga responden merasa anak-anak sulit diatur dan sulit untuk mendisiplinkan anak. Anak-anak lebih sering membantah nasehat orang tua dan banyak bermain bersama teman-temannya. Anak-anak yang sering bertengkar disebabkan karena sebagian besar responden tidak hanya memiliki satu anak, dan anak tersebut memiliki kakak dan atau adik sehingga menyebabkan anak-anak sering bertengkar. Sulit mengasuh anak dan sulit memperoleh kepuasan dalam hal mengasuh anak disebabkan karena sebagian besar responden bekerja sehingga waktu yang digunakan untuk mengasuh anak-anak berkurang. Selain itu, anak dari responden juga ada yang memiliki permasalahan perilaku sehingga responden merasa menyesali cara mengasuh yang telah dilakukannya.

3. Pemenuhan Kebutuhan

Responden mengalami kesulitan pada aspek pemenuhan kebutuhan non pangan yaitu untuk pengeluaran kesehatan (34.0%), pembelian pakaian dan pembelian bahan bakar (26.4%), dan cukup sering mengalami kesulitan pengeluaran untuk pendidikan anak (26.4%). Namun, terdapat 22.6 persen responden yang terkadang masih mengalami kesulitan dalam pemenuhan pangan (Lampiran 1). Dalam hal pembelian pakaian, sebagian besar responden hanya dapat membeli pakaian satu tahun sekali saat hari raya tiba. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa sebanyak

(38)

22

40.0 persen responden berada dalam kategori miskin. Begitu pula dengan pembelian bahan bakar, baik bahan bakar untuk memasak maupun untuk kendaraan. Sebanyak 26.4 persen responden terkadang merasa kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk memasak dan ada beberapa responden yang memiliki kendaraan motor sehingga merasa kesulitan ketika harus membeli bahan bakar motor.

4. Pekerjaan

Sebanyak 26.4 persen responden merasa memiliki beban dalam pekerjaan karena merasa semua orang bergantung pada dirinya, terutama dalam keluarga. Terdapat beberapa responden yang merupakan pencari nafkah utama keluarga dan satu-satunya orang yang mencari nafkah sehingga terkadang responden merasa anggota keluarga lain bergantung pada dirinya terutama dalam hal ekonomi. Sebanyak 69.8 persen responden merasa tidak nyaman ketika melakukan pekerjaan sebagai orang tua tunggal. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa responden yang mengaku sering dibicarakan oleh tetangga maupun teman kerja akibat statusnya sebagai orang tua tunggal. Namun, responden yang mengalami hal tersebut tidak memikirkannya dan tetap melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya (Lampiran 1).

Tanda-tanda Stress Mental

Berdasarkan Tabel 10, seluruh tanda-tanda stress mental responden berada pada kategori rendah (100.0%). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden memiliki pikiran positif dan keyakinan bahwa masalah yang dihadapi akan selalu mempunyai jalan keluar. Sebagian besar responden tidak memikirkan adanya masalah yang sedang dihadapi juga memiliki rasa syukur yang tinggi sehingga walaupun diri sendiri menilai masih banyak kekurangan dalam hidup, namun poin penting yaitu mensyukuri apa yang telah dimiliki. Responden memiliki dukungan dari keluarga besar, teman, maupun tetangga ketika menghadapi masalah perceraian. Sebagian besar responden memiliki pekerjaan dan sehari-harinya bekerja sehingga masalah lain yang dihadapi dapat teralihkan oleh rutinitas pekerjaan. Terdapat juga responden yang masih tinggal bersama orang tuanya sehingga ketika menghadapi masalah, responden dapat langsung meminta bantuan orang tua.

Rendahnya stress responden juga dikarenakan sebanyak 62.3 persen responden tidak pernah merasa kesepian, sebanyak 60.4 persen tidak pernah merasa mudah tersinggung, dan sebanyak 98.1 persen tidak pernah berpikir untuk bunuh diri (Lampiran 1).

Tanda-tanda Stress Fisik

Berdasarkan hasil penelitian, tanda-tanda stress fisik pada ibu tunggal seluruhnya berada pada kategori rendah (100.0%). Hal ini disebabkan sebanyak 79.2 persen responden tidak pernah merasa tidak mau makan, sebanyak 50.9 persen tidak pernah merasa kurang tidur, sebanyak 35.8 persen tidak pernah merasa mudah lelah, dan sebanyak 32.1 persen tidak pernah merasa sakit kepala. Rendahnya stress juga dikarenakan terdapat 32.5 persen responden yang sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga tidak mendapatkan tekanan pekerjaan.

(39)

23

Tanda-tanda Stress Total

Berdasarkan Tabel 10, stress seluruh responden (100.0%) berada pada kategori rendah. Hal ini disebabkan responden sudah merasa terbiasa menjadi orang tua tunggal. Dukungan yang diberikan oleh keluarga juga cukup besar, hal ini dibuktikan dari sebagian besar responden tinggal bersama anak, orang tua, atau saudara lainnya. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar responden tidak terlalu memikirkan masalah dan tetap menganggap hidup ini menyenangkan. Sebagian besar responden juga merasa bersyukur atas kehidupan saat ini meskipun masih banyak aspek di kehidupan yang harus ditingkatkan. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Sum (1996), Koswara (2009), serta Asilah dan Hastuti (2014) yaitu sebagian besar responden berada dalam kategori rendah dalam stressnya. Rendahnya stress responden dapat disebabkan karena stressor bagi seorang individu belum tentu menjadi stressor bagi individu lain (Pedak 2009). Selain itu, menurut Allen dalam Koswara (2009), rendahnya stress dapat disebabkan perbedaan persepsi tentang stress, dukungan sosial, rutinitas sehari-hari, dan waktu bersama keluarga. Rendahnya stress juga diduga karena responden yang bercerai menganggap perceraian merupakan solusi sesuai penelitian Sum (1996) bahwa perceraian bagi orang tua tunggal yang bercerai merupakan solusi menyikapi telah hancurnya keberfungsian keluarga.

Strategi Koping Koping Berfokus Masalah

Berdasarkan hasil penelitian, strategi koping berfokus masalah berada pada kategori rendah (92.5%) dan hanya 7.5 persen yang berada pada kategori sedang. Hal ini disebabkan sebagian besar responden tidak meminta bantuan apabila mengalami kesulitan keuangan (84.9%), tidak menabung untuk persiapan masa depan (73.6%), dan tidak menunda kegiatan yang dapat menimbulkan masalah baru (60.4%) (Lampiran 2). Responden yang berada pada kategori sedang tidak terburu-buru dalam menghadapi masalah yang ada dan memikirkan segala cara yang dapat dilakukan sebelum mengatasi masalah, serta sering membuat rencana dalam mengatasi masalah. Selain itu, ketika mendapatkan masalah, responden juga sering mencari saran dan nasehat dari keluarga besar maupun teman. Saran atau nasehat yang diberikan kemudian dijadikan cara untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

(40)

24

Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan tanda-tanda stress

Kategori tanda stress mental n %

Rendah (<60) 40 100.0 Sedang (60-80) 0 0.0 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 0.0-48.0 Rata-rata±Standar Deviasi 19.7±13.1

Kategori tanda stress fisik n %

Rendah (<60) 40 100.0 Sedang (60-80) 0 0.0 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 0.0-47.0 Rata-rata±Standar Deviasi 22.9±15.3

Kategeori stress total n %

Rendah (<60) 40 100.0 Sedang (60-80) 0 0.0 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 0.0-44.5 Rata-rata±Standar Deviasi 20.8±11.9

Koping Berfokus Emosi

Strategi koping berfokus emosi merupakan strategi koping yang lebih banyak digunakan oleh responden dibanding strategi koping berfokus masalah. Hal ini dapat diketahui berdasarkan Tabel 11 bahwa sebagian besar responden (70.0%) berada pada kategori sedang dalam menggunakan strategi koping berfokus emosi. Hal ini disebabkan karena responden sering menerima kenyataan bahwa masalah telah terjadi (94.3%), sering membiasakan diri dengan pikiran bahwa masalah telah terjadi (94.3%), dan sering bersabar ketika menghadapi masalah (94.3%). Selain itu, responden juga mencari makna positif dari suatu masalah (92.5%), mencari hikmah dari masalah, dan berserah diri kepada Tuhan atas masalah yang dihadapi (92.5%) (Lampiran 2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi koping berfokus emosi lebih sering digunakan dibanding strategi koping berfokus masalah. Strategi koping berfokus emosi lebih sering digunakan karena secara langsung ke dalam diri dan bertujuan mengurangi stress bersifat emosional. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Stone dan Neale dalam Ryan (2013) bahwa perempuan cenderung lebih menggunakan koping emosi dibanding laki-laki. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian

(41)

25 Arianti (2002) bahwa ibu lebih banyak menggunakan strategi koping berfokus emosi dibanding strategi koping berfokus masalah.

Strategi Koping Total

Berdasarkan Tabel 11, sebagian besar responden (75.0%) berada pada kategori rendah pada variabel strategi koping dan sisanya (25.0%) berada pada kategori sedang. Hal ini disebabkan hampir seluruh responden berada pada kategori rendah pada dimensi strategi koping berfokus masalah dan masih terdapat responden yang berada pada kategori rendah pada strategi koping berfokus emosi. Rendahnya penggunaan strategi koping ini dapat disebabkan karena responden tidak mengetahui bagaimana sebenarnya cara yang tepat untuk mengatasi stress (Broussard et al. 2012).

Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kategori strategi koping

Kategori strategi koping berfokus masalah n %

Rendah (<60) 37 92.5 Sedang (60-80) 3 7.5 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 16.0-68.0 Rata-rata±Standar Deviasi 43.4±12.8

Kategori strategi koping berfokus emosi n %

Rendah (<60) 12 30.0 Sedang (60-80) 28 70.0 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 52.0-78.0 Rata-rata±Standar Deviasi 63.2±6.1

Kategeori strategi koping total n %

Rendah (<60) 30 75.0 Sedang (60-80) 10 25.0 Tinggi (>80) 0 0.0 Total 40 100.0 Minimum-Maksimum 36.0-69.0 Rata-rata±Standar Deviasi 53.3±8.6 Kesejahteraan Subjektif Dimensi Fisik-Ekonomi

Kesejahteraan subjektif pada dimensi fisik-ekonomi, responden tidak puas dengan keadaan keuangan keluarga saat ini (41.5%), keadaan usaha atau pekerjaan yang dijalankan (37.7%), cara mengatur keuangan (32.1%), keadaan tempat tinggal keluarga (30.2%), dan cara mengatur waktu (28.3%)

Gambar

Gambar  1  Kerangka  berfikir  pengaruh  stress,  strategi  koping,  terhadap  kesejahteraan subjektif
Gambar 2 Metode penarikan contoh
Tabel 1 Variabel, skala, kategori, dan instrumen
Tabel 2 Sebaran usia responden
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan penelitian yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai modal sosial, strategi koping ekonomi, dan kesejahteraan objektif

Didapatkan hasil adanya pengaruh negatif nyata (p&lt;0,01) antara strategi penyeimbangan dengan kesejahteraan keluarga subjektif yang berarti bahwa semakin contoh melakukan

Kegunaan penelitian yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai modal sosial, strategi koping ekonomi, dan kesejahteraan objektif

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Strategi Pengembangan Bisnis Perusahaan

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Peningkatan Kinerja Karyawan PT Bakrie

i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perumusan Strategi Keunggulan Kompetitif Unit Bisnis

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Strategi Bisnis PT Robotaqua Indonesia adalah

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Strategi Peningkatan Daya Saing Hotel Individu