• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Alwisol (2009) dalam bukunya Psikologi Kepribadian mengemukakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Alwisol (2009) dalam bukunya Psikologi Kepribadian mengemukakan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Striving for Superiority

1. Pengertian

Alwisol (2009) dalam bukunya Psikologi Kepribadian mengemukakan teori Adler tentang perasaan inferioritas dan superioritas. Menurut Adler dalam Alwisol (2009) setiap individu hidup dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, perasaan yang menggerakkan orang untuk berjuang menjadi superior atau untuk menjadi sukses. Individu yang secara psikologis kurang sehat yang berjuang untuk menjadi pribadi yang superior dan individu yang secara psikologis sehat termotivasi untuk mensukseskan umat manusia. Inferioritas bagi Adler berarti perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan. Bukan rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, walaupun ada unsur membandingkan kemampuan khusus diri dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman.

Adler dalam Suryabrata (2002) mengatakan bahwa rasa rendah diri (inferiorioritas) ini muncul dan disebabkan karena adanya suatu perasaan kurang berharga yang timbul karena ketidak mampuan psikologis maupun sosial yang dirasakan secara subyektif, dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri anak tersebut akan menjadikannya tersingkir dari kehidupan disekitarnya. Berkaitan dengan perasan subjektif akan

(2)

kekurangan-kekurangannya karena tidak lulus ujian nasional ini, Alfred Adler seorang ahli optamologis dan psikiatri dari Wina (Boeree, 2004) menyatakan bahwa setiap manusia memang pada dasarnya memiliki kelemahan dan kelebihan baik secara organik maupun psikologis.

Menurut Engler (2009) dalam menjelaskan konsep adler menyatakan bahwa kehidupan manusia berjalan sesuai dengan insting atau dorongan kebutuhan, seperti dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berkembang, namun walaupun terdapat begitu banyak insting hewani pada manusia, manusia tetap memiliki penghargaan terhadap lingkungan yang menjadikannya peduli terhadap hubungan dengan lingkungan, atau yang biasa disebut minat sosial, dengan adanya minat tersebut manusia dapat menyingkirkan insting hewani, dalam konteks ini adalah inferioritas.

Sebagaimana yang telah dikemukakan Alwisol (2009) tentang perasaan inferior dan superior, yang mempengaruhi adalah minat sosial. Dimana orang yang minat sosialnya berkembang baik, berjuang bukan untuk superioritas pribadi tetapi untuk kesempurnaan semua orang dalam masyarakat luas. Menurut Adler minat sosial merupakan bagian dari hakekat manusia dan dalam besaran yang berbeda muncul pada tingkah laku setiap orang misalnya kriminal, psikotik atau orang yang sehat. Minat sosial lah yang membuat orang mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang sehat dan tidak tersesat kesalahsuai (maladjustment)

Meskipun minat sosial itu dilahirkan, menurut Adler terlalu lemah dan kecil, untuk dapat berkembang sendiri. karena itu tugas ibu (manusia

(3)

pertama dalam pengalaman bayi) mengembangkan potensi innate bayinya. Ketika masih dalam kandungan, bayi mengalami kesatuan dengan Ibunya, dan setelah lahir bayi berjuang untuk tetap menyatu dengan ibu melalui mengisap susu. Bayi sangat tergantung kepada ibunya untuk memperoleh kepuasan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologisnya. Karena minat sosial dikembangkan melalui hubungan ibu dan anak, setiap anak akan memiliki minat sosial dalam kadar tertentu. Tugas ibu mendorong kemasakan minat sosial anaknya, melalui ikatan hubungan ibu anak yang kooperatif. Ibu seharusnya memiliki cinta yang murni dan cinta yang mendalam kepada anaknya, cinta yang pusatnya pada kesejahteraan anak, bukan berpusat pada keinginan dan kebutuhan ibu. Hubungan cinta yang sehat berkembang dari kepedulian orang lain. Jika ibu memahami bagaimana memberidan menerima cinta dari orang lain, ibu itu tidak akan mengalami kesulitan memperluas minat sosial anaknya (Alwisol, 2009).

Sebaliknya, kalau kasih sayang ibu hanya terpusat pada anaknya, dia tidak akan mampu mengajar bagaimana mentransfer minat sosial kepada orang lain. Cinta ibu kepada suaminya, kepada anak-anaknya yang lain, dan kepada masyarakat lingkungannya menjadi model bagi anak. Dengan mengamati minat sosial ibunya,anak belajar ada orang lain yang penting diluar ibu dan dirinya sendiri. Ibu harus memberi perhatian yang seimbang kepada anak, suami, dan masyarakatnya, agar minat sosial anaknya berkembang baik. Kalau ibu lebih mencintai anaknya dibanding cinta kepada suami dan masyarakatnya, anak akan menjadi dimanja. Sebaliknya

(4)

kalau ibu lebih berat ke suami atau ke masyarakatnya, anak menjadi terabaikan. Keduanya itu sama-sama menghambat kemandirian dan kemampuan bekerjasama anak (Alwisol, 2009).

Orang penting yang kedua dalam lingkungan sosial adalah ayah. Dia memikul fungsi yang sulit, yang hanya sedikit ayah berhasil melakukannya. Dia harus mempunyai sikap yang baik terhadap istrinya, pekerjaannya, dan masyarakatnya. Menurut Adler, ayah yang sukses tidak melakukan dua kesalahan, mengabaikan anak atau otoriter pada anak. Keduanya itu menghambat minat sosial pada anak. Kesalahan pertama, ayah yang mengabaikan anaknya, membuat perkembangan minat sosial anak menjadi kacau, anak merasa diabaikan, dan mungkin timbul kasih sayang neurotik kepada ibu. Anak yang diabaikan orang tuanya menciptakan tujuan superioritas pribadi alih-alih tujuan minat sosial. Kesalahan kedua, orang tua yang otoriter, mungkin juga menimbulkan gaya hidup yang neurotik. Anak yang melihat ayahnya sebagai tiran belajar berjuang mendapat kekuasaan dan superioritas pribadi (Alwisol, 2009).

Selain minat sosial yang dipengaruhi oleh kehadiran ayah dan ibu, lingkungan juga mempengaruhi pemahaman anak tentan minat sosial, ketika anak melewati usia lim tahun, dampak hereditas menjadi kabur, karena pengaruh lingkungan sosial, dan sejak saat itu anak akan belajar mengubah hampir semua aspek kepribadian. Kehidupan sosial dalam pandangan Adler merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, dan minat sosial adalah

(5)

perekat kehidupan sosial itu. Menurut Adler bayi secara alami mengembangkan cinta dan kasih sayang dengan orang lain.

Minat sosial dijelaskan oleh Alferd Adler membimbing manusia dalam mengembangkan fictinal final goal atau tujuan semu, dalam proses striving for superiority, sebelumnya menjelaskan bahwa setiap seseorang memiliki kecendrungan untuk memasa inferior atas kelemahan yang dia miliki, dengan adanya minat sosial yang dibangun oleh anak berdasarkan pengamatan terhadap ayah dan ibu, serta gaya hidup dan self kreatif, dan munculnya fictinal final goal maka individu tersebut dapat menggapai superioritas

Adler (1930) dalam buku Kepribadian teori klasik dan riset modern karangan Friedman & Schustack (2008) tentang perjuangan ke arah superioritas, inti dari kepribadian adalah pencarian dan perjuangan untuk menggapai superioritas. Ketika seseorang tenggelam dalam rasa ketidakberdayaan atau mengalami suatu peristiwa yang membuat dirinya tidak tidak mampu berbuat apa-apa, orang tersebut kemungkinan akan merasa inferior. Jika perasaan tersebut semakin dalam, ia sangat mungkin mengembangkan kompleks inferioritas (inferiority complex) yaitu rasa minder. Kompleks inferioritas membuat perasaan normal akan ketidakmampuan menjadi berlebihan, membuat individu merasa tidak mungkin meraih tujuan dan akhirnya tidak mau lagi mencoba.

Striving for perfection or superiority tidak lepas dengan terwujudnya fictinal final goal, atau yang biasa disebut dengan tujuan final yang semu,

(6)

Menurut Adler dalam Alwisol (2009) setiap orang menciptakan sebuah tujuan final yang semu dalam membimbing tingkah laku, dengan memakai bahan yang diperoleh dari keturunan dan lingkungan, fictinal final goal tersebut tidak harus di dasarkan oleh kenyataan, namun tujuan itu lebih menggambarkan fikiran orang tersebut mengenai bagaimana seharusnya kenyataan itu, bersadarkan interpretasi manusia atau secara subyektif mengenai dunia, dengan adanya sebuah fictinal final goal yang ciptakan oleh seseorang tersebut maka akan mengurai kesakitan atau penderitaan akibat inferioritas

Konsep adler tentang Striving for perfection or superiority dalam Engler (2009) bukan mengarah pada menggunakan kata superior dalam kehidupans sehari- hari, bukan juga mengacu pada sebuah derajat atau kasta antara sesama manusia, namun lebih pada keinginan atau dorongan berkaitan dengan kompetensi seseorang untuk melakukan sesuatu, konsep ini hampir mirip dengan konsep Jung tentang diri dasar.

Friedman & Schustack (2008) juga menjelaskan bahwa Striving for perfection or superiority dengan penetapan tujuan semu berbeda- beda pada setiap manusia, yang merefleksikan apa yang dianggap oleh orang orang sebagai sesuatu yang sempurna dan bertujuan menghapus kekurangan mereka. kepercayaan tentang adanya tujuan semu ini biasanya disebut dengan filsafat, seolah oleh atau “as if”

Berdasarkan pada pengertian dan penjelasan tentang striving for seperiority yang dikemukakan oleh adler, maka seseorang tersebut dalam

(7)

kainnya dapat mencapai sebuah striving for seperiority secara positif harus memiliki beberapa indikator sebagai berikut:

a. Kepemilikan ketidakmampuan secara lahiriah serta bersifat bawaan b. Kesadaran secara utuh ketidakmampuan atau perasaan inferior dalam diri

individu tersebut secara normal

c. Kemampuan mengembangkan minat sosial atau Gemeinschaftsgefuhl atau perasaan sosial

d. Kemampuan untuk membangun fictinal final goal atau tujuan semu “as if” dalam usaha individu tersebut dalam menutupi perasaan inferior. Adler dalam Alwisol (2009) juga menjelaskan keunikan manusia dengan melihat konsep gaya hidup seseorang. Setiap orang memiliki tujuan, merasa inferior, berjuang menjadi superior, dan dapat mewarnai atau tidak mewarnai usaha superiornya dengan minat sosial. Gaya hidup adalah cara yang unik dari setiap orang yang berjuang mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana individu itu berada. Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup itu tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intrinsik (hereditas) dan lingkungan obyektif, tetapi dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretasinya terhadap keduanya. Terutama, hidup ditentukan oleh inferioritas-inferioritas khusus yang dimiliki seseorang (bisa khayalan bisa nyata), yakni kompensasi dari inferioritas itu.

Prinsip terakhir dari teori Adlerian adalah gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif yang ada pada diri manusia. Adler percaya bahwa setiap orang

(8)

memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri. Self Kreatif atau kekuatan kreatif adalah kekuatan ketiga yang paling menentukan tingkah laku, penggerak utama, sendi atau obat mujarab kehidupan, yang membawahi kedua kekuatan dan konsep-konsep lainnya (kekuatan pertama: heredity, kedua: lingkungan). Diri kreatif bersifat padu, konsisten, berdaulat dalam struktur kepribadian. Menurut Adler keturunan memberi “kemampuan tertentu”, dan lingkungan memberi “impresi/kesan tertentu”. Keduanya beserta bagaimana manusia mengalami dan menginterpretasi keturunan dan lingkungan itu adalah bahan (batu bata). Diri kreatif memakai bahan itu untuk membangun sikap terhadap kehidupan dan hubungan-hubungan dengan dunia luar. Jadi, diri kreatif adalah sarana yang mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan fakta-fakta itu menjadi kepribadian yang bersifat subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik. Diri kreatif memberi arti kepada kehidupan, menciptakan tujuan atau sarana untuk mencapainya.

Adler berpendapat, setiap orang memiliki kekuatan untuk bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu sendiri yang bertanggung jawab tentang siapa dirinya dan bagaimana dia bertingkah laku. Manusia mempunyai kekuatan kreatif untuk mengontrol kehidupan dirinya, bertanggung jawab mengenai tujuan finalnya, menentukan cara memperjuangkan mencapai tujuan itu, dan menyumbang pengembangan minat sosial. Kekuatan diri kreatif itu membuat setiap manusia menjadi manusia bebas, bergerak menuju tujuan yang terarah (Alwisol, 2009).

(9)

2. Bentuk-bentuk Striving for Superiority

Striving for Superiority ini memiliki beberapa bentuk sebagaimana yang dikatakan oleh Adler (dalam Boeree; 2004) bahwa striving for superiority ini memiliki 2 (dua) bentuk pokok, kedua bentuk tersebut adalah

a. Kompensasi

Kompensasi merupakan sebuah istilah yang pertama kali perkenalkan oleh Alfred Adler seorang ahli optamologis dan psikiatri dari Wina. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alwisol (2007) bahwa Alfred Adler pertama kali mengenalkan istilah kompensasi dalam hubungannya dengan perasaan inferior ini dalam bukunya yang berjudul “Study of Organ Inferiority and Its Physical Compensation” (1907), Adler mengatakan bahwa setiap individu mempunyai perasaan inferioritas, mereka mempunyai suatu tendensi alamiah untuk menyembunyikan perasaan ini. Untuk itu mereka mencari ekspersi yang tepat guna menutupi perasaan inferiornya tersebut. Dalam hal ini Boeree (2004) menjelaskan lebih lanjut bahwa kompensasi ini merupakan sebuah strategi yang digunakan untuk menutupi dan melindungi kelemahan dan ketidakmampuan yang ada dengan kemampuan-kemampuan yang lain. Menutupi atau melindungi kelemahan, frustasi, nafsu, merasa lemah atau tidak mampu dalam satu area kehidupan lewat sesuatu yang menyenangkan atau keahlian di area lain.

Lundin (1989) mencontohkan sebuah usaha kompensasi sebagai berikut, seorang gadis yang memiliki tubuh gendut, dalam artian tidak

(10)

ideal secara umum, dia mengembangkan sebuah kepribadian yang baik, ramah dan santun. dengan kepribadian tersebut gadis tersebut merasa memiliki nilai atau derajat tambah untuk menutupi ketidak ideal an tubuhnya atau lebih tepat nya perasaan inferior yang dia miliki.

b. Komplek Superioritas

Selain mengenalkan istilah kompensasi di atas, Afred Adler juga mengenalkan istilah komplek superioritas dalam kaitannya dengan perasaan inferior pada seseorang. Menurut Adler (dalam Boeree, 2004) komplek superioritas ini dilakukan untuk menutupi kelemahan dan keinferioran dengan cara berpura-pura memiliki suatu kelebihan. Kompleks superioritas ini biasanya akan menjadikan seseorang menjadi diktator dan suka mengintimidasi orang lain sebagai wujud superiornya. Perasaan-perasaan komplek superioritas yang muncul ini biasanya seperti kebutuhan kekuatan, keinginan berkuasa, tidak menghormati orang lain, biasanya dikombinasikan dengan kebutuhan prestise dan kepemilikan yang berujud sebagai kebutuhan mengontrol orang lain dan menolak perasaan lemah.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa striving for superiority ini dapat dilakukan melalui dua bentuk, yaitu kompensasi dan komplek superioritas. Kompensasi merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk menutupi suatu kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya dengan mencari kelebihan-kelebihannya dibidang yang sama dan atau kemampuan kemampuan dibidang yang lain. Sedangkan komplek

(11)

superioritas ini merupakan suatu usaha yang digunakan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dengan berpura-pura memiliki suatu kelebihan tertentu.

3. Faktor yang mempengaruhi striving for superiority

Sebagaimana yang dikatakan oleh Santoso (2004) bahwa setidaknya ada 4 (empat) faktor utama yang dapat membangkitkan keberanian dalam diri seseorang tersebut, ke-empat faktor tersebut adalah:

a. Visi Hidup

Visi hidup merupakan sebuah keyakinan yang paling bernilai yang menjadi tujuan untuk diraih dalam kehidupan ini. Visi hidup yang jelas berdasarkan suara hati spiritual sebagai pusat makna tertinggi dalam hidup ini yang akan mendorong keberanian dan kebermaknaan hidup seseorang, yang berupa visi hidup untuk mencari keridhoan Allah semata, hidupnya, matinya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanyalah untuk mengharapkan keridhoan-Nya.

b. Keyakinan Hati

Keyakinan hati yang berupa keyakinan akan kemampuan diri dan potensi diri yang diiringi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala dapat melahirkan rasa yakin dalam diri seseorang.

(12)

c. Rasa Percaya Diri

Rasa percaya diri ini akan tumbuh dalam diri seseorang jika mampu menguasai diri sendiri, memahami diri, mengenali berbagai bakat dan kemampuan diri serta kompetensi yang ada pada dirinya.

d. Semangat dan Ambisi

Semangat dan ambisi ini merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan keberanian dan motivasi hidup seseorang. Semangat dan ambisi hidup ini muncul karena adanya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

B. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Hurlock (1980) menyebutkan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Definisi Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa awal diharapkan memaikan peran baru, seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, keinginan-keingan baru, mengembangkan sikap-sikap baru, dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru ini (Hurlock, 1980).

Masa dewasa awal menurut Santrock (2003) dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20an dan berlangsung sampai usia 30an. Masa ini merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi.

(13)

Levinson (dalam Monks & Knoers, 2006) menjelaskan masa dewasa awal dimulai pada usia 17 tahun hingga 45 tahun.

Valliant (dalam Papalia, olds, & Feldmen, 1998) membagi tiga masa dewasa awal yaitu masa pembentukkan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukkan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan pernikahan, sedangkan masa transisi (sekitar usia 40-tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh

Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat disimpulkan bahawa dewasa awal merupakan masa dewasa atau satu tahap yang dianggap kritikal selepas alam remaja yang berumur dua puluhan (20-an) sampai tiga puluhan (30-an). Masa tersebut dianggap kritikal karena disebabkan pada masa ini manusia berada pada tahap awal pembentukan karir dan keluarga. Pada peringkat ini, seseorang perlu membuat pilihan yang tepat demi menjamin masa depannya terhadap pekerjaan dan keluarga. Pada masa ini juga seseorang akan menghadapi dilema antara pekerjaan dan keluarga.

2. Ciri – ciri Masa Dewasa Awal

Valliant (dalam Papalia, olds, & Feldmen, 1998) mengidentifikasi empat karakter dari masa dewasa awal sebagai mekanisme adaptasi yaitu menjadi matang, tidak matang, psikosis, neurosis. Individu yang matang, secara fisik

(14)

dan mental lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih puas dalam kehidupan pribadinya.

Hurlock (1980) menguraikan secara ringkas ciri-ciri dewasa yang menonjol dalam masa – masa dewasa awal sebagi berikut:

a. Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan

Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan. Pada masa ini individu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Yang berarti seorang pria mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai kariernya, dan wanita diharapkan mulai menerima tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

b. Masa dewasa dini sebagai usia repoduktif

Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang kawin berperan sebagai orang tua pada waktu saat ia berusia duapuluhan atau pada awal tiga puluhan.

c. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dengan dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. d. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan emosional

Pada usia ini kebanyakan individu sudah mampu memecahkan masalah – masalah yang mereka hadapi secara baik sehingga menjadi stabil dan lebih tenang.

(15)

e. Masa dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial

Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir, sehingga keramahtamahan masa remaja diganti dengan persaingan dalam masyarakat dewasa.

f. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen

Setelah menjadi orang dewasa, individu akan mengalami perubahan, dimana mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri dan memiliki komitmen-komitmen sendiri.

g. Masa dewasa dini sering merupakan masa ketergantungan

Meskipun telah mencapai status dewasa, banyak individu yang masih tergantung pada orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua yang membiayai pendidikan.

h. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai

Perubahan karena adanya pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan nilai-nilai itu dapat dilihat dari kacamata orang dewasa. Perubahan nilai ini disebabkan karena beberapa alasan yaitu 16 individu ingin diterima oleh anggota kelompok orang dewasa, individu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilainilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku.

i. Masa dewasa dini masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru.

Masa ini individu banyak mengalami perubahan dimana gaya hidup baru paling menonjol dibidang perkawinan dan peran orangtua.

(16)

j. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif

Orang yang dewasa tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan orangtua maupun guru-gurunya sehingga terlebas dari belenggu ini dan bebas untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas ini tergantung dengan minat dan kemampuan individual.

3. Tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal

Kartono (2007) menjelaskan tugas tahap perkembangan seorang wanita berusia dewasa awal dalam statusnya sebagai individu yang sudah menikah atau berkeluarga yaitu menjalankan fungsi sebagai istri dan teman hidup, sebagai partner seksual, pengatur rumah tangga, ibu dari anak-anak dan pendidik bagi mereka dan makhluk sosial yang berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial. Bentuk dari hambatan tugas perkembangan yang terjadi pada odapus wanita usia dewasa awal

Havinghurst menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah sebagai berikut (Andi, 1983):

a. Memilih teman bergaul (sebagai calon suami atau istri).

Umumnya, pada masa dewasa awal individu sudah mulai berpikir dan memilih pasangan yang cocok dengan dirinya untuk kemudian dilanjutkan dengan pernikahan.

b. Belajar hidup bersama suami atau istri.

Masing-masing individu mulai menyesuaikan baik pendapat, keinginan, dan minat dengan pasangan hidupnya.

(17)

c. Hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga.

Dalam hal ini, individu akan mengabaikan keinginan pribadi dan memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan keluarga.

d. Adanya kesamaan cara dan paham.

Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa bingung harus mengikuti cara ayah atau cara ibunya. Oleh karenanya, pasangan suami isteri harus menentuan bagaimana cara pola asuh bagi anak-anaknya.

e. Mengelola rumah tangga.

Adanya keterusterangan suami isteri dalam mengelola rumah tangga mereka untuk menghindari terjadinya konflik.

f. Bekerja dalam suatu jabatan.

Seseorang yang sudah memasuki masa dewasa awal dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara bekerja, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia bekerja.

g. Bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak.

Seseorang yang dikatakan sudah memasuki masa dewasa sudah berhak menentukan cara hidupnya, termasuk dalam hal ini adalah hak dan tanggung jawab sebagai warga negara.

h. Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai atau pahamnya.

(18)

Setiap individu mempunyai nilai-nilai dan paham yang berbeda satu sama lain. Pada dekade ini individu terdorong untuk mencari atau bergabung dengan siapa saja yang memiliki paham yang sama.

C. Single Mother

1. Pengertian Single Mother

Peran orangtua dalam hal pengasuhan memiliki pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian seorang anak, Dalam hal ini fokus penelitian adalah pengasuhan yang dilakukan oleh single mother atau ibu tunggal. Pola asuh adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anak dalam pengertian pengasuhannya. Single mother didefinisikan sebagai seorang ibu yang memiliki peran ganda di dalam sebuah keluarga, selain sebagai ibu yang mengurus urusan rumah tangga seperti membesarkan, membimbing dan memenuhi kebutuhan psikologis anak, ibu juga berperan sebagai ayah atau kepala keluarga yang bertugas mengambil keputusan dan memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Penyebab terjadinya single mother antara lain, kehilangan pasangan akibat meninggal, perceraian, ditelantarkan atau ditinggal suami tanpa dicerai, pasangan yang tidak sah (kumpul kebo), tanpa menikah namun mengadopsi anak (Suryati & Anna. 2009).

Hurlock (1980) mengatakan alasan seseorang menjadi single parent (mother) adalah adanya kematian dari salah satu pasangan, yang kemudian meng haruskan pasangan yang ditinggal sendiri untuk dapat memelihara anak- anaknya. Keluarga yang hanya memiliki salah satu orang tua akibat kematian ataupun perpisahan disebut dengan single parent.

(19)

Banyak wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal ini menurut Bell (1980) antara lain disebabkan wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua, dan lebih banyak duda yang menikah kembali, sehingga lebih banyak janda dari pada duda.

Berdasarkan pada penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebab seorang wanita menjadi single mother atau orang tua tunggal karena kematian, perceraian, pranikah, dan pengadopsian anak.

Seorang single mother pasti banyak menemui kesulitan dalam proses penyesuaiannya. Berikut beberapa kesulitan penyesuaian yang dihadapi oleh single mother menurut Hozman dan Froiland (1997) diantaranya; a. fase penyangkalan

b. fase kemarahan c. fase tawar menawar d. fase depresi

e. fase penerimaan. 2. Fungsi Single Mother

Di dalam suatu keluarga, seorang single mother adalah satu-satunya orangtua yang paling dibutuhkan dan paling berperan penting bagi anak-anaknya. Seorang single mother menjalankan kehidupan berkeluarga tanpa bantuan suami, jadi harus secara mandiri menjalankan fungsi serta perannya sebagai seorang single mother. Fungsi single mother dapat dijabarkan dalam beberapa fungsi: fungsi melanjutkan keturunan atau reproduksi, fungsi

(20)

afeksi, fungsi sosialisasi, fungsi edukatif, fungsi ekonomi, fungsi pengawasan atau kontrol, fungsi religius, fungsi proteksi, fungsi rekreatif (Hariani. 2010).

Ciri-ciri keluarga single mother yang berhasil menerima tantangan yang ada selaku single mother dan berusaha melakukan dengan sebaik-baiknya. Pengasuhan anak merupakan prioritas utama, disiplin diterapkan secara konsisten dan demokratis, orangtua tidak kaku dan tidak longgar, menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengungkapan perasaan, mengakui kebutuhan untuk melindungi anak-anaknya, membangun dan memelihara tradisi dan ritual dalam keluarga, percaya diri selaku orangtua dan independent, berwawasan luas dan beretika positif dan mampu mengelola waktu dan kegiatan keluarga (Suryasoemirat. 2007).

Ditinjau dari keutuhuhan fungsi keluarga tersebut, jelaslah bahwa keluarga memiliki fungsi yang signifikan dalam pembentukan individu. Jika salah satu fungsi tidak berfungsi, maka akibatnya fatal termasuk munculnya istilah single parent dan yang menjadi korban tak lain adalah anak-anak. Jika ditinjau dari segi psikologi, menurut Rogers (1997) dalam Zamralita & Henny & Wirawan (2003) tentang perempuan yang berstatus single parent berdasarkan teori kepribadian akan mengalami tingkat kesulitan adaptasi yang berbeda antara yang bekerja dan yang tidak bekerja serta antara yang ditinggal mati suaminya dengan yang akibat perceraian.

(21)

Single mother dalam kiatannya interaksi dengan anak diharuskan memiliki beberapa teknik yang digunakan untuk keberhasilan teknik tersebut antara lain:

a. Bersikap jujur kepada anak tentang kondisi penyebab menjadinya orang tua tunggal.

b. Bila situasinya menyangkut masalah perceraian maka yakinkanlah anak tidak akan memilkul beban tanggung jawab apapuntentang putusnya hubungan orang tua.

c. Jujurlah pada diri sendiri karena hal itu akan menunjukkan pada anak bahwa perasaan adalah hal yang penting.

d. Usahakan memberikan keadaan dan lingkungan yang serupa karena akan memberikan kondisi yang aman dan nyaman pada anak.

e. Jangan mencoba menjadi ibu sekaligus ayah pada anak, berusahalah menciptakan keluarga yang team work.

f. Jika dalam keadaan sudah bercerai, sadarilah bahwa kehidupan suami istri telah selesai jangan memberi harapan pada anak akan rujuk.

g. Anak-anak harus diyakinkan bahwa mereka akan tetap disayang/dicintai, diperhatikan dan dibantu dalam kehidupan.

h. Anda tidak boleh menggunakan anak-anak untuk usaha melakukan tawar menawar dengan pasangan anda.

(22)

3. Karakteristik anak yang hidup dengan Single mother

Anak yang hidup dengan single mother tidak dipungkiri memiliki beberapa masalah yang mungkin muncul, anak anak dengan ketidakhadiran ayah dapat mengalami ketegangan, sehingga anak akan terpukul dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, suka melamun, bahkan suka menyendiri (Munanndar, 2000).

Ketegangan-ketegangan yang muncul sebagai akibat dari lingkungan keluarga akan menunjukan konflik pada anak dalam membentuk kepribadiannya (Moesono, 2000). Beberapa hasil penelitian sebelumnya membahas mengenai kecenderungan karakter anak akan muncul jika anak tinggal dengan orangtua tunggal. Biasanya anak tersebut akan cenderung tidak begitu baik dalam sosial dan edukasional dibandingkan dengan anak dengan orang tua yang utuh, karena orang tua tunggal cenderung lemah dalam segi finansial. Namun biasanya, anak yang hidup dengan orang tua tunggal akan lebih mandiri, daripada anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya. Selain itu, mereka memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga, lebih banyak konflik dengan saudara kandung, kurangnya kekompakkan dalam keluarga, kurangnya mendapat support, kontrol dan disiplin dari ayah, apabila ayah absen dalam rumah tangga tersebut (Papalia, olds, & Feldmen, 1998)

Analisis terhadap 33 studi dari 814 anak dalam perwalian bersama dan 1.846 anak dalam perwalian tunggal menunjukkan anak yang berada dalam perwalian bersama baik secara legal maupun fisik, mampu menyesuaikan diri

(23)

lebih baik serta memiliki harga diri lebih tinggi, serta hubungan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan orang tua dengan perwalian tunggal. Faktanya anak yang hidup dengan perwalian bersama mampu menyesuaikan diri dengan baik, sama dengan anak yang hidup dalam keluarga dengan orang tua yang utuh (Papalia, olds, & Feldmen, 1998). Penelitian menjelaskan bahwa anak yang hidup dengan orang tua tunggal baik karena perceraian maupun kematian ada kecenderungan memiliki kemampuan yang kurang dalam menyesuaikan diri. Selain itu, anak cenderung kurang memiliki harga diri dan hubungan keluarga yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang hidup dengan orang tua yang utuh (Papalia, olds, & Feldmen, 1998). Dalam sebuah keluarga dengan orang tua tunggal yang bercerai, terdapat riset terkini yang menyatakan bahwa percekcokan perkawinan menyakiti anak jauh lebih parah dibandingkan perceraian (Hetherington et al., 1998; Hetherington & StanleyHagan, 1999 dalam Papalia, 2011). Namun, dua tahun setelah perceraian, anak menderita lebih banyak dari pertengkaran dibandingkan dengan anak dengan orang tua yang utuh. Hal ini akan terjadi apabila setelah perceraian konflik masih belum mereda antar orang tua. Satu tim peneliti memeriksa data kelompok longitudinal 11.407 pria dan wanita yang lahir di Inggris pada Maret 1958. 16% dari mereka yang usianya 33 tahun, melaporkan bahwa orang tua mereka telah bercerai pada suatu waktu. Dalam penelitian ini, para peneliti juga mampu mengontrol karakteristik awal dari anak-anak tersebut. Hasil riset menunjukkan bahwa terlepas dari beberapa perbedaan, baik itu pria atau wanita yang merasakan perceraian

(24)

orang tua pada usia berapapun, menunjukkan outcome yang sama pada beberapa aspek. Mereka menunjukkan ketidakbugaran tubuh, cenderung memiliki pendidikan dan kualifikasi pekerjaan yang lebih rendah dan kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi pengangguran dibandingkan dengan anak yang hidup dengan orang tua yang utuh (Papalia, olds, & Feldmen, 1998).

Selain itu, hasil penelitian Kalter dan Rembar dari Children’s Pasychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai ditemukan bahwa 63% diantaranya mengalami masalah psikologis seperti kegelisahan, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan mengalami stress (Wiludjeng, 2011, hlm. 54). Meskipun secara fisik anak terlihat normal, namun ada saja kekurangan yang dirasakan dari dirinya, dan kemungkinan anak menjadi introvert (Wiludjeng 2011).

D. Striving for Superiority dewasa awal yang hidup dengan Single Mother

Perjuangan ke arah superioritas, atau striving for superiority tidak lepas dengan terwujudnya fictinal final goal, atau yang biasa disebut dengan tujuan final yang semu, Adler (1937/ 1964 e) dalam Mozak & Maniacci (1999) setiap seseorang memiliki keinginan untuk menjadi superior, itua adalah satu yang menjadi motivasi penekan seseorang untuk melanjutkan hidup, sedana dengan yang diungkapakan oleh Alwisol (2009) setiap orang menciptakan sebuah tujuan final yang semu dalam membimbing tingkah laku, dengan memakai bahan yang diperoleh dari keturunan dan lingkungan, fictinal final goal tersebut tidak harus di dasarkan oleh kenyataan, namun tujuan itu lebih

(25)

menggambarkan fikiran orang tersebut mengenai bagaimana seharusnya kenyataan itu, bersadarkan interpretasi manusia atau secara subyektif mengenai dunia, dengan adanya sebuah fictinal final goal yang ciptakan oleh seseorang tersebut maka akan mengurai kesakitan atau penderitaan akibat inferioritas. Alferd Adler sebelumnya menjelaskan bahwa setiap seseorang memiliki kecendrungan untuk memasa inferior atas kelemahan yang dia miliki, dengan adanya minat sosial yang dibangun oleh anak berdasarkan pengamatan terhadap ayah dan ibu, serta gaya hidup dan self kreatif, dan munculnya fictinal final goal yang dikembangkan setiap anak pada rentan usia empat dan lima tahun, anak yang tumbuh dengan rasa aman dan cinta mereka membuat tujuan yang sebagian besar disadari dan difahami. anak yang secara psikologis sehat, berjuang ke arah superioritas dengan memakai tolak ukur kesuksesan dan minat seosial dan memungkinkan anak tersebut untuk meraih striving for superiority dengan kompensasi.

Adler menambahkan dalam Alwisol (2009) bahwa anak yang dibesarkan dengan cara dimanja dan atau diabaikan tidak dapat mengembangkan sosial, sebagian munculnya fictinal final goal mereka tetap dan tidak disadari, atau anak yang diabaikan dan dimanja tidak mencerminkan perjuangan menjadi superorita, indikasi dari kondisi tidak sadar tujuan. maka dalam proses menutupi inferioitasnya, mereka mengembangkan kompleks superiority. seperti terlihat pada bagan di bawah ini:

(26)

Bagan 1. perjuangan ke arah superioritas Tujuan final dipersepsi

kabur

Tujuan final dipersepsi jelas

Superioritas Pribadi Sukses

Keuntungan Pribadi Minat Sosial

Perasaan tidak lengkap yang

berlebihan

Perasaan tidak lengkap yang normal

Perasaan Inferior

Kelemahan Fisik

Kekuatan perjuangan dibawa dari kelahiran

(27)

Selain dijelaskan dengan melalui teori psikososial Alferd Adler, Teori psikososial oleh Erikson juga mengemukakan bahwa perkembangan kepribadian merupakan rangkaian yang dipengaruhi oleh lingkungan bagaimanan setiap individu menerima setiap interaksi dan perkembangan individu tersebut ditetapkan secara genetic dan budaya dimana pertumbuhan individu berlangsung. Sedangkan Erikson mendefinisikan generativitas sebagai “generasi akan manusia baru sebagaimana poduk dan gagasan baru”.

Generativitas (hal-hal menghasilkan) secara khas tidak haya diungkapkan dengan membesarkan anak dan mengasuh pertumbuhan pada anak-anak muda, tetapi juga dengan mengajar, dan membimbing. Generativitas yang tinggi sangat penting untuk menjadi orangtua yang efektif. Anak-anak dengan orangtua yang sangat generatif lebih memiliki keyakinan terhadap diri mereka sendiri, memiliki rasa kebebasan yang lebih besar, dan secara keseluruhan lebih bahagia dalam hidup. Selain itu, anak-anak dengan orangtua yag sangat generatif memiliki orientasi masa depan yang lebih kuat, yang berarti mereka meluangkan waktu memikirkan masa depan mereka.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka sangat dimunkinkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh seorang single mother mampu menpengaruhi tumbuh kembang minat sosial seorang dewasa awal yang memiliki sebuah kelemahan atau inferioritas sehingga mampu mencapai sebuah striving for superiority.

Referensi

Dokumen terkait

Dwi Riyadi (2010), melakukan penelitian dengan judul “Analisa Potensi Batugamping Untuk Perencanaan Penambangan di Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul”. Tujuan

diajukan guru kepada siswa meliputi pertanyaan pemahaman misalnya seorang guru memberikan permasalahan kepada siswa mengenai suatu materi, setelah itu guru

Adler (dalam alwisol, 2004:79) menyebutkan bahwa remaja sulung memiliki kemandirian yang tinggi, remaja tengah memiliki kemandirian yang lebih baik yakni bertingkah laku

2001 DINAS PARIWISATA KABUPATEN BANTUL BULAN PENARIKAN PANTAI PARANGTRITIS PANTAI SAMAS PANTAI PANDANSIMO GOA SELARONG TIRTOTAMANSARI JUMLAH PERBULAN Wisatawan

Dengan demikian, maka mesin pencari akan menampilkan seluruh referensi di internet yang mengandung kata “exploration” kecuali yang terdapat di alamat “nasa.gov”, Namun

Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x dapat dilihat aktivasi dan distribusi NF-ĸB pada sel MCF-7 pada kontrol sel tanpa

Strain potensial BbEd 10 yang diunggulkan dalam penelitian akan diuji lebih lanjut apabila bersifat patogenik pula terhadap hama utama kapas yang lain, baik terhadap

energi listrik yang cukup besar untuk menghasilkan cahaya yang sama dengan.