• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN BERBAHASA BANJAR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR KELUA KABUPATEN TABALONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESANTUNAN BERBAHASA BANJAR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR KELUA KABUPATEN TABALONG"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KESANTUNAN BERBAHASA BANJAR

DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

DI PASAR KELUA KABUPATEN TABALONG

(

POLITENESS OF SPEAKING BANJARESE ON TRADING TRANSACTION AT

KELUA MARKET OF TABALONG DISTRICT

)

Arta Normiani dan Sabhan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail

pm_pbsid@yahoo.co.id Abstract

Politeness of Speaking Banjarese on Trading Transaction at Kelua Market of Tabalong District. Politeness of speaking is our ethics in have socialization in society with good word election and use and also pay attention to whereabout, when, to whom, with an eye to what we converse decently. Research focused Brown politeness theory and Levinson. Pursuant to the theory a acting to say can represent threat to face. Face relate at emotional and social meaning of it self which each and everyone own and expect others to know it. This research aim to obtain get deskription objectively about (1) existing the negative and positive politeness, (2) strategy of negative and positive politeness, (3) function of negative and positive politeness in transaction of sales in market Kelua. Type of this Research is descriptive research qualitative. Source of data is tuturan of containing buyer and seller of suavity in sales transaction. Data obtained by through recording. Analyse data conducted by after data gathered continually in each research step. Result of research in sales transaction indicate that to exist positive suavity seen from acting to say direct, word use change personal ' I am' as subjek, and the next name to what the partner say and also the same view between both orienting at approach. Exist negative suavity seen from name use of behind and the opdon gift to partner say and also tuturan orienting at evasion weared in negotiation at work. Politeness strategy used by is positive suavity strategy, and off-record negativity. Politeness function there is six, that is function ask, expressing and governing conducted by penutur, function reply conducted by partner say, inclusive of function reply at one blow refuse and accept. Pursuant to result of this research, is suggested that to be conducted by a research which is more amount of about politeness of along with developing of method and base of other theory.

Keywords: politeness, language banjar, sales transaction Abstrak

Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Kesantunan berbahasa adalah etika dalam bersosialisasi di masyarakat dengan pemilihan kata yang baik dan penggunaan dan juga memperhatikan ke mana, kapan, kepada siapa, dengan apa yang kita berbicara santun. Penelitian menggunakan teori kesantunan Brown dan Levinson. Berdasarkan teori yang bertindak untuk mengatakan dapat mewakili ancaman terhadap wajah. Wajah mengacu pada makna emosional dan sosial itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang

(2)

lain mengetahuinya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi objektif tentang (1) keberadaan kesantunan negatif dan positif (2) strategi kesantunan negatif dan positif (3) fungsi kesantunan negatif dan positif dalam transaksi jual beli di pasar Kelua. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data adalah tuturan dari pembeli dan penjual dalam transaksi penjualan yang mengandung kesantunan. Data diperoleh melalui rekaman. Analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan terus-menerus dalam setiap langkah penelitian. Hasil penelitian dalam transaksi penjualan menunjukkan bahwa untuk eksis kesopanan positif dilihat dari bertindak untuk mengatakan langsung, kata perubahan penggunaan pribadi 'saya' sebagai subjek, dan nama di samping apa yang pasangan mengatakan dan juga pandangan yang sama antara berorientasi baik pada pendekatan. Keberadaan kesantunan negatif terlihat dari penggunaan nama di belakang dan karunia opdon untuk bermitra katakan dan juga tuturan berorientasi pada penghindaran dipakai dalam negosiasi di tempat kerja. Strategi kesantunan yang digunakan adalah strategi kesopanan positif, dan off-record negatif. Fungsi kesantunan ada enam, yaitu fungsi bertanya, mengekspresikan dan mengatur dilakukan oleh penutur, fungsi yang dilakukan oleh mitra mengatakan, termasuk jawaban fungsi sekaligus menolak dan menerima. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar dapat dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi tentang kesantunan dari seiring dengan pengembangan metode dan basis teori lainnya.

Kata-kata kunci: kesantunan, bahasa banjar, transaksi jual beli

PENDAHULUAN

Levinson (Rahardi, 2003: 13) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai suatu perihal ilmu yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturnya. Bahasaitusendirisebagai media merupakan unsur budaya yang sangat akrab dengan kehidupan manusia. Bahasa Banjar merupakan bahasa asli daerah Kalimantan Selatan yang masih sangat kental digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam transaksi jual beli di pasar. Pasar Kelua adalah pasar tradisional yang sangat terkenal di Kabupaten Tabalong. Bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di Pasar Kelua adalah bahasa Banjar dan bahasa Indonesia ragam tidak baku, yang saling mempengaruhi untuk mendapatkan keuntungan masing-masing.

Hingga saat ini, peneliti belum menemukan penelitian dengan judul Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Sebagai bahan perbandingan, ada penelitian oleh Syaipullah pada tahun 2007 tentang Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Interaksi antara Guru dan Siswa. Berikutnya, Herliana pada tahun 2010 yang membahas Realisasi Kesantunan Berbahasa Debat Pemilukada. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong? Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Manfaat penelitian ini terdiri atas manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat menunjang terhadap pengembangan teori kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Secara praktis,

(3)

hasil penelitian ini bagi peneliti dapat digunakan untuk menambah ilmu, pengalaman, dan pengetahuan dalam mengkaji permasalahan tentang kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Selain itu, dapat menjadi masukan bagi ilmu bahasa dan sebagai referensi kepustakaan untuk penelitian selanjutnya.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial yang menghubungkan bahasa dengan pelbagai aspek dalam struktur sosial sebagaimana halnya dengan aturan perilaku dan etika.

Wujud Kesantunan Muka Positif dan Muka Negatif Ciri-ciri kesantunan positif adalah:

1) dipakainya tindak tutur langsung,

2) asumsi bahwa atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa adalah teman, 3) dipakainya nama depan untuk menyapa mitra tutur,

4) dipakainya kata ganti personal „aku‟, „kamu‟, „kau‟, dan „dia‟, 5) pemberian pujian,

6) dipakainya bahasa yang intim,

7) berorientasi pada pendekatan, bukan pada penghindaran,

8) diusahakan agar terdapat pandangan yang sama antara penutur dengan petutur, 9) kesantunan positif sering dipakai sebagai suplemen terhadap kesantunan negatif, Ciri-ciri kesantunan negatif adalah:

1) dipakainya tindak tutur tidak langsung,

2) asumsi bahwa atasan dan bawah, dosen dan mahasiswa berbeda derajat sosialnya, 3) dipakainya sapaan „Bapak‟, „Ibu‟, „Prof‟, „Dr‟ dan nama belakang,

4) dipakainya kata ganti personal „saya‟, „anda‟, dan „beliau‟, 5) pemberian opsi kepada mitra tutur,

6) dipakainya bahasa yang apologetik,

7) berorientasi pada penghindaran, bukan pada pendekatan, 8) dipakainya piranti pragmatik yang disebut „pagar‟,

9) sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses.

Dalam bahasa Indonesia, wujud formalnya berupa kalimat imperatif, deklaratif, dan interogatif (Chaer, 2004: 50).

Strategi Kesantunan

a) Strategi-strategi kesantunan negatif (strategi penghormatan), yaitu langsung berbicara pada inti persoalan, tidak mengira-ngira, jangan memaksa, komunikasikan keinginan untuk tidak menekan pendengar, dan penuhi keinginan lain pendengar.

Selanjutnya, 5 mekanisme tersebut dibagi menjadi 10 strategi kesantunan negatif sebagai berikut. (1) gunakan tuturan tidak langsung, (2) gunakan pagar atau kalimat tanya, (3) tunjukkan sikap pesimis, (4) minimalkan paksaan, (5) berikan penghormatan, (6) mintalah maaf, (7) pakailah bentuk impersonal, (8) ujaran tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum, (9) nominalisasi (mengubah kata tertentu menjadi kata benda), dan (10) menyatakan diri berhutang budi.

b) Strategi-strategi kesantunan positif (strategi kesetiakawanan)

a. Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur.

b. Menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, atau jargon). c. Menumbuhkan sikap optimis.

(4)

e. Membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada pendengar serta memberikan pujian.

f. Menghindari sedemikian rupa ketidakcocokan dengan berpura- pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong untuk kebaikan, kata berpagar.

g. Melucu.

h. Mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa.

i. Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran. j. Menunjukkan hal- hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi dan

presuposisi.

k. Menyatakan paham akan keinginan pendengar. l. Memberikan tawaran atau janji.

m. memberikan pertanyaan atau meminta alasan. n. menyatakan hubungan secara timbal balik.

o. Memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama

c) Strategi-strategi kesantunan off-record, yaitu dengan menghindari gangguan utama, misalnya mengisyaratkan, bukan membuat perintah langsung.

Fungsi Kesantunan

a. Fungsi tuturan dari pihak tutur antara lain: fungsi menyatakan (deklaratif) dan fungsi menanyakan (interogatif) dan fungsi memerintah (imperatif).

b. Fungsi tuturan dilihat dari mitra tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik.

Hapip (2008: 9) membedakan bahasa Banjar menjadi bahasa Banjar dialek kuala dan bahasa Banjar dialek hulu. Dialek Banjar Kuala dipakai oleh penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari. Dialek Banjar Hulu dipakai oleh penduduk di daerah Hulu Sungai, yaitu Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan Tabalong. Bahasa Banjar hulu termasuk subdialek Kalua di dasarkan atas tiga hal pokok, yaitu:

a. Hanya terdapat tiga fonem vokal, yaitu /i/, /u/, dan /a/.

b. Ada sejumlah kosa kata yang hanya terdapat atau dipakai oleh penutur Banjar hulu.

c. Pada aksen bahasa Banjar hulu ucapannya lebih alon, dan kalau ada suku kata yang akhirnya terbuka, fonem vokal pada suku akhir itu cenderung dipanjangkan.

METODE

Penelitian yang berjudul Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan Kualitatif. Menurut Sudaryanto (1993), data adalah objek penelitian dan sebagai bahan penelitian data merupakan bahan jadi penelitian. Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2002: 107). Subjek pada penelitian ini adalah pedagang dan pembeli yang melakukan transaksi ketika peneliti melakukan penelitian di Pasar Kelua. Pedagang yang menjadi subjek berjumlah 6 orang, dimana laki-laki dan perempuan masing-masing berjumlah 3 orang. Pembeli yang menjadi subjek berjumlah 29 orang. Dengan jumlah laki-laki sebanyak 3 orang dan perempuan berjumlah 26 orang. Menurut Arikunto (2002: 136), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah formulir observasi dengan bantuan alat rekam dan formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan

(5)

dalam penelitian ini adalah pengamatan. Alat bantu yang digunakan untuk memperoleh data adalah alat perekam. Dengan demikian, data yang diambil lebih representatif. Kedudukan peneliti sebagai observer non-partisipant. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif.

a. Pengumpulan data.

b. Penelaahan dan penyeleksian data.

c. Mengidentifikasi data dengan mencatat hasil rekaman yang terdapat kesantunan berbahasa. d. Penggolongan data dengan menyusun hasil data sesuai klasifikasi.

e. Penyimpulan data (verifikasi) merupakan tahap akhir dari analisis data. HASIL DAN PEMBAHASAN

Wujud Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif

1) Wujud kesantunan positif menggunakan tindak tutur langsung dan pandangan yang sama antara penutur dengan petutur.

[1 ] Pembeli : Barapa bawang separapat anu? (1)

(„Berapa bawang seperempat kilogram?‟) Nia : Ampat ribu. (2)

(„Empat ribu‟).

Pembeli : Kada tiga lih? tiga rajin. (3)

(„Mau kah tiga ribu? Biasanya tiga ribu‟). Nia : Iyalih. (4)

(„Iyakah‟).

* lih, pank, lah dan kah ialah partikel dalam bahasa Banjar.

Tuturan (1) merupakan wujud kalimat interogatif yang menggunakan tindak tutur langsung yang diperlihatkan penutur kepada mitra tutur. Tuturan (3) merupakan wujud kalimat deklaratif yang diperlihatkan oleh penutur supaya terdapat pandangan yang sama dengan mitra tutur.

2) Wujud kesantunan positif yang berorientasi pada pendekatan bukan pada penghindaran. [2] Pembeli : Kutak nasi adakah?(1)

(„Kotak nasi, ada?‟)

Nia : Kadada. Ada di subarang warung iwak. (2) („Tidak ada. Adanya di seberang toko ikan‟).

Tuturan (2) termasuk kalimat deklaratif yang berorientasi pada pendekatan bukan penghindaran. Walaupun menyatakan “tidak ada” tetapi tetap menjelaskan di mana tempat yang dimaksud oleh pembeli.

3) Wujud kesantunan positif menggunakan kata ganti personal „aku‟ sebagai subjek. [3] Pembeli : Ngini barapa sakilu? (manunjuk kerupuk)(1)

(„Berapa satu kilogramnya?‟) Yunus : Saapa Cil?(2)

(„Berapa Cil?‟) Pembeli : Sakilu!(3)

(„Satu kilogram!‟) Yunus : Dua blas.(4)

(6)

Pembeli : Bungkusakan aku pang sakilu ja!.(5) („Bungkuskan aku satu kilogram saja!‟).

 Acil/Cil sebutan perempuan dewasa Banjar.

Tuturan (5) termasuk kalimat imperatif yang menggunakan kata ganti personal „aku‟. 4) Wujud kesantunan positif yang menggunakan nama depan untuk menyapa mitra tutur.

[4] Pembeli : Barapa nih, Zik?(1) („Berapa ini, Zik?‟) Zikri : Tiga blas ribu.(2)

(„Tiga belas ribu‟)

Pembeli : Kada kurang lagi kah?(3) („Tidak bisa kurang lagi?‟) Zikri : Salitar tu Cil ai.(4)

(„Itu satu liter Cil‟) Pembeli : Barapa ngini?(5)

(„Berapa ini?‟) Zikri : Sapuluh ribu.(6)

(„Sepuluh ribu‟)

Dalam wacana [4] tuturan (1) adalah kalimat interogatif, dimana mitra tutur disapa dengan nama depan. Hal ini mengambarkan kedekatan yang erat antara penutur dan mitra tutur. 5) Wujud kesantunan negatif yang menggunakan nama belakang untuk menyapa mitra tutur.

[5] Pembeli : (sambil mengambil pewarna makanan) Barapa Tuy? (1)

(„Berapa Tuy?‟) Firman/ Utuy : Dua ribu.(2)

Pembeli : Minta kantongan pang yang halus jangan yang ganal.(3) („Minta kantong plastik yang kecil, jangan yang besar‟).

Dalam wacana [5] tuturan (1) adalah kalimat interogatif dimana mitra tutur disapa dengan nama belakang. Pada tuturan (3) juga terlihat wujud kesantunan negatif berupa kalimat imperatif. Konteks dalam tuturan (3) penutur meminta sesuatu kepada mitra tuturnya. Permintaan yang dilakukan disertai dengan persyaratan sehingga mitra tutur tidak diberikan pilihan untuk memilih.

6) Wujud kesantunan negatif yang sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses.

[6] Pembeli : Saapa karupuk saparapat?(1)

(„Berapa kerupuk seperempat kilogram?‟) Yunus : Lima ribu.(2)

Pembeli : Milih karupuknya kawalah? Nungkar sakilu.(3) („Kerupuknya dipilih, bisa tidak?Beli satu kilogram‟). Yunus : Hi ih.

(„Iya‟).

Dalam wacana [6] tuturan (3) terlihat negosiasi yang dilakukan penutur kepada mitra tutur agar mitra tutur sepakat dengan syarat yang diajukan penutur sehingga transaksi berjalan

(7)

dengan baik. Wujud tuturan (3) berupa kalimat imperatif, yang lazimnya didukung dengan kata kerja dasar dan berpartikel pengeras –ginlah atau –lah.

7) Wujud kesantunan negatif yang memberikan opsi kepada mitra tutur. [7] Pembeli : Ngini barapa?(1)

(„Berapa ini?‟)

Yunus : Lima ribu, satangah. Sakilu sapuluh ribu di higanya tu.(2)

(„Lima ribu, setengah kilogram. Satu kilogram sepuluh ribu yang di sampingnya itu‟)

Pembeli : Kawa kah kurang, sambilan kah?(3) („Bisa tidak kurang, sembilan ribu saja?‟) Yunus : Ih, ayuha.(4)

(„Iya‟).

Pada tuturan (3) wacana [7] adalah wujud kesantunan negatif dalam kalimat interogatif. Dalam konteks ini, penutur memberikan opsi kepada mitra tutur. Bila mitra tutur setuju dengan opsi yang diberikan penutur, maka transaksi akan berlangsung. Pada tuturan (2) mitra tutur yang memberikan opsi kepada penutur.

8) Wujud kesantunan negatif yang berorientasi pada penghindaran bukan pada pendekatan. [8] Pembeli : Ubat nyamuk “Baygun” barapa?

(„Berapa harga obat nyamuk “Baygon”?‟) Zikri : Dua ribu. “Vapi” haja ada lagi. Dua ribu jua.

(„Dua ribu. Sisa „Vape‟. Harganya sama dua ribu‟). Pembeli : Yang ada ja gin. Anukan sabuting.

Tukarlah.

(„Yang ada saja. Bungkuskan satu‟). („Aku Beli‟).

Zikri : Juallah. („Aku jual‟).

Wacana [8] adalah wujud kesantunan negatif yang lebih berorientasi pada penghindaran bukan pendekatan. Penutur menghindari pembebanan yang berlebihan terhadap mitra tutur. Jadi, penutur membeli obat nyamuk apa yang ada di sana. Tanpa harus mencari obat nyamuk yang pada awalnya dia inginkan.

Strategi Kesantunan Positif, Kesantunan Negatif dan Kesantunan Off-record

1) Strategi kesantunan negatif menggunakan ujaran tidak langsung. [9] Pembeli : Tulung pang, tih baculup nang kuning.

(„Tolong, teh celup yang berwarna kuning‟). Firman/ Utuy : Iya

Pembeli : Dua lah (meminta kepada pedagang yang lain) („Dua‟).

Zikri : Ada ai. („Ada‟).

Dalam wacana [9] merupakan strategi kesantunan negatif yang secara tidak langsung meminta kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Hal ini

(8)

dapat dilihat dari kata “tolong” yang menunjukkan adanya keinginan penutur untuk memberikan ruang pilihan bagi penutur.

[10] Pembeli : Bagus bagus lah bawangnya, barapaan? („Baik baik bawangnya, berapa harganya?‟) Janah : Bawang tiga ribu.

Pembeli : Bawang putih? Janah : Sama ah.

(„Sama saja‟).

Dalam wacana [10] merupakan strategi kesantunan negatif yang menggunakan tuturan tidak langsung. Penutur melakukan basa-basi terlebih dahulu dengan menyatakan keadaan barang yang akan dibeli sebelum menanyakan harga barang tersebut.

2) Strategi kesantunan negatif menggunakan pertanyaan, pagar atau kalimat tanya. [11] Pembeli : Adakah bajual galapung tapiuka?(1)

(„Ada menjual tepung tapioka?‟) Janah : Mudil kanjikah?(2)

(„Seperti kanji?) Pembeli : Hi ih, mudil kanji.(3)

(„Iya, Seperti Kanji‟). Janah : Ada ai.(4)

(„Ada‟).

Pembeli : Handak maulah pintul.(5) („Mau membuat bakso‟).

Janah : Nah, maulah pintul masin disitu. Urang manjulungi.(6) („Membuat bakso asin di sana. Orang menyediakan‟). Pembeli : Kada saurang nungkar lih?(7)

(„Tidak beli sendiri?‟)

Janah : Hi ih, hintadi, mana urang tadi. Jaku napa kam mambawa daging ka situ? Urang sabarataan, Cil ai. Kita tahu mambawa dagingnya haja, bumbunya sudah urang julungi. Hintadi anak Haji Sanah.(8)

(„Iya, seperti orang tadi. Saya bertanya ‘kenapa kamu membawa daging ke sana’? Orang semuanya yang menyediakan, cil. Kita membawa dagingnya saja, bumbunya orang yang menyediakan. Seperti anak Haji Sanah‟).

Dalam wacana [11] merupakan strategi kesantunan negatif yang menggunakan pertanyaan berupa frasa. Strategi ini secara eksplisit dapat memperbaiki terancamnya muka dengan mengungkapkan keraguan mengenai apakah tindakan yang dimaksudkan penutur dapat dipenuhi pendengar (Brown dan Levinson, 1987: 173). Dalam konteks ini, apakah pertanyaan yang diberikan penutur, dijawab oleh mitra tutur.

3) Strategi kesantunan negatif meminta maaf.

[12] Pembeli : (sambil mengambil pewarna makanan) Barapa Tuy? (1)

(„Berapa Tuy?‟) Firman/ Utuy : Dua ribu.(2)

(9)

(„Minta kantong plastik yang kecil, jangan yang besar‟). Firman/ Utuy : Maaf Cil,barapa duit pian tadi?(4)

(„Maaf Cil, berapa uangnya tadi?‟) Pembeli : Harga dua puluhan tadi!(5)

(„Dua puluh ribuan!‟)

Sambilan blas maangsul, ih lapan blas maangsulnya.(6)

(„Sembilan belas ribu kembaliannya, eh delapan belas ribu kembaliannya‟).

Dalam wacana [12] strategi ini mengkomunikasikan keinginan penutur untuk tidak menekan pendengar dengan menggunakan kata „maaf‟. Dalam konteks ini, Penjual agak lupa berapa uang yang telah diserahkan kepadanya oleh pembeli. Sehingga, penjual menanyakannya dan agar penjual tetap terjaga „mukanya‟ serta pembeli tidak merasa ditekan, maka digunakanlah kata ‟maaf‟.

4) Strategi kesantunan negatif memakai bentuk impersonal. [13] Pembeli : Ni 50 kah?

(„Ini isi 50?‟)

Nia : 50 kah isinya ngintu? („Itu isi 50 ?‟)

Janah : 30 Nia : Ih, 30.

Pembeli : Dua. anam ribu, lih? („Dua, enam ribu, mau?‟) Nia : Kada dapat.

(„Tidak bisa‟).

Janah : Kada kawa lagi kami mengurangiakan. („Tidak bisa lagi kami mengurangi‟).

Pembeli : Nang ngini haja dua (sambil memberikan 2 kantong plastik merah). Tukar.

(„Ini saja dua‟)

Dalam wacana [13] adalah strategi kesantunan negatif dalam bentuk impersonal. Strategi yang ditempuh menghindari penggunaan kata „saya‟ dan „kamu‟ menggandakan kata ganti „saya‟ menjadi „kami‟. Strategi ini dilakukan seolah-olah diri penutur adalah orang lain atau bukan hanya penutur sendiri.

5) Strategi kesantunan negatif meminimalkan paksaan atau tekanan. [14] Pembeli : Adakah patis?

(„Ada petis?‟) Janah : (mengangguk) Pembeli : Barapa sa anu?

(„Berapa?‟) Janah : Sa apa handak?

Saparapat tiga ribu. Itungan dua ribukah? („Berapa mau beli?‟)

(„Seperempat tiga ribu. Mau, dihitungkan dua ribu?‟) Pembeli : Bulihai kalu nungkar saribu. Juali akan saribu haja nah

(10)

(„Beli seribu saja, boleh kan? Juali seribu saja‟) Janah : Jual

Dalam wacana [14] adalah strategi kesantunan negatif yang meminimalkan paksaan. Dalam konteks ini, penutur meminta izin terlebih dahulu secara halus kepada mitra tutur untuk membeli petis seharga seribu rupiah saja.

6) Strategi kesantunan berupa strategi kesantunan positif menggunakan penanda identitas kelompok seperti bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang.

[15] Pembeli : Barapa, Man! ( mengangkat minyak isi ulang) („Berapa, Man!‟)

Firman/ Utuy : 13 (membungkusakan) Juallah.

(„13 (membungkuskan‟) („Aku jual‟).

Pembeli : Tukar.

(„Aku beli‟)

Dalam konteks ini, penutur menyapa mitra tutur dengan kata sapa „paman‟ yang merupakan penanda identitas kelompok.

7) Strategi kesantunan berupa strategi kesantunan positif dengan memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur.

[16] Zikri : Manungkar minyak kah Cil? („ Mau membeli minyak, Cil?‟)

Pembeli : Hi ih. Barapa minyak saini? (membawa botol) („Iya. Berapa minyak se ini?‟)

Zikri : Tiga blas. („Tiga belas‟).

Iyakah? (bertanya kepada Firman) Firman/ Utuy : Hi ih.

(„Iya‟).

Dalam wacana [16] adalah strategi kesantunan positif dimana penutur memperhatikan dan mengetahui apa yang diinginkan oleh mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas, penjual mengetahui keinginan pembeli yang membawa botol untuk membeli minyak.

8) Strategi kesantunan positif dengan mencari persetujuan melalui pengulangan sebagian/ seluruh ujaran.

[17] Pembeli : Minyak satangah litar, barapa? („Minyak setengah liter, berapa?‟) Zikri : Pun. Satangah litar kah?

(„Iya. Setengah liter kah?‟) Pembeli : Iya. Satangah litar.

(„Iya. Setengah liter‟). Zikri : Lima ribu.

Di muka Cil ai. (sambil mengambilkan minyak yang letaknya di depan) („Di depan Cil‟).

(11)

Pembeli : Tukarlah. („Aku beli‟). Zikri : Ih, Jual.

(„Iya, Jual‟).

Dalam wacana [17] adalah strategi kesantunan positif dimana penutur menyatakan sesuatu hal dan diulangi kembali oleh mitra tutur. Dalam konteks ini, pengulangan tuturan dimaksudkan untuk menegaskan „apakah betul, penutur membeli minyak setengah liter‟.

9) Strategi kesantunan positif dengan memberikan tawaran atau janji. [18] Pembeli : Ui, kayapa jar sabun arum yang bawadah?(1)

(„Seperti apa sabun harum yang ada tempatnya?‟) Zikri : Inikah?(2)

Pembeli : Lain, sabun arum kayapa ngintu.(3) („Lain, sabun harum seperti?‟) Firman/ Utuy : Ih, kadada. Ini ja lagi.(4)

Ini gin harum jua daripada ngintu.(5) („Tidak ada, yang ada cuma ini‟).

(„Ini juga lebih harum bila dibandingkan dengan yang itu‟). Pembeli : Mun kda harum bulikakan lah? (6)

(sambil tersenyum)

(„Bila tidak harum saya kembalikan, bisa?‟) Barapa ngini?(7)

(„Berapa ini?‟) Firman/ Utuy : Ih, Sambilan.(8) („Iya. Sembilan ribu‟).

Pembeli : Tukar (sambil memberikan uang). („Beli‟).

Dalam wacana [18] tuturan (6) strategi kesantunan positif yang dilakukan penutur untuk meminta persetujuan terhadap janji yang diucapkan. Dalam konteks ini, penutur meminta kepada mitra tutur, apabila sabun yang dia beli tidak harum, maka dia dapat mengembalikannya.

10) Strategi kesantunan positif dengan memberikan pertanyaan atau meminta alasan. [19] Pembeli : Nungkar wadai karing. Barapa sapakkan tu?(1)

Sapakkan yang ganal tu, tu yang cuklat pang.(2) Barapa harganya?(3)

(„Beli kue kering. Berapa satu paknya?‟) („Satu pak yang besar warna coklat‟). („Berapa harganya?‟)

Dewi : Tiga satangah (menyebutkan harga kue perbungkus)(4) („Tiga ribu lima ratus‟)

Pembeli : Barapa harganya?(5) („Berapa harganya?‟) Dewi : Tiga satangah. (6)

Kanapa pian rancak manungkar yang cuklat haja?(7) („Tiga ribu lima ratus‟).

(12)

(„Mengapa anda sering membeli yang warna cokelat saja?‟) Pembeli : Pina nyaman daripada yang lain jar ku. Makasih.(8)

(„Menurut saya, lebih enak bila dibandingkan dengan yang lain‟. „Terima kasih‟).

Dalam wacana [19] tuturan (7) penutur meminta alasan tentang apa yang ingin dia ketahui dengan menyertakan mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas penjual ingin mengetahui, mengapa pembeli lebih sering membeli kue kering yang berwarna coklat bila dibandingkan dengan warna lain. Jadi, selain memberikan pertanyaan juga meminta alasan mengapa hal tersebut terjadi.

11) Strategi kesantunan positif dengan menyatakan paham akan keinginan pendengar. [20] Pembeli : Barapa? (mengambil kue kering)(1)

(„Berapa?‟) Dewi : Anam ribu.(2)

(„Enam ribu‟).

Pembeli : Pipsudint sabuting.(3) („Pepsodent satu‟). Dewi : Yang mintul kah?(4)

Nia : Lain, Julak tu yang biasa ja. Sidin kada katuju yang mintul.(5)

(„Bukan, Paman itu yang biasa saja. Beliau tidak suka dengan yang menthol‟)

Pembeli : Eeh, yang biasa haja. Mintul tu padas.(6) (sambil memberikan sejumlah uang) („Iya, yang biasa saja. Menthol itu pedas‟).

Dalam wacana [20] merupakan strategi kesantunan positif dimana penutur mengetahui dan paham akan keinginan mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas penjual mengetahui bahwa pembeli tidak suka „pepsodent‟ yang rasa menthol. Pembeli lebih menyukai „pepsodent‟ yang biasa saja.

12) Strategi kesantunan off-record yaitu dengan menghindari gangguan utama misalnya mengisyaratkan.

[21] Pembeli : Adakah kasumba kuning?

(„Ada pewarna yang berwarna kuning?‟) Janah : Ada ah, ninya nih! (menunjukkan letaknya)

(„Ada, ini!‟) Pembeli : Barapa sabuting?

(„Berapa satu?‟)

Janah : (mengacungkan jari satu yang artinya seribu rupiah) Jual lah.

(„Aku jual‟).

Pada wacana ini pembeli menanyakan berapa harga pewarna yang berwarna kuning kepada penjual. Untuk menghindari gangguan seperti kesalahpahaman pengertian yang diakibatkan suara yang bising, maka penjual menggunakan bahasa isyarat dengan mengacungkan jari satu yang artinya seribu rupiah.

(13)

(„Berapa, Sari murninya, Cil?‟) Pembeli : (mengacungkan jari satu)

Barapa? („Berapa?‟) Firman/ Utuy : Tiga ribu

Wacana [22] merupakan tuturan yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Penjual menanyakan berapa jumlah “sari murni“ yang akan dibeli, tapi pembeli hanya menunjukkan isyarat saja dengan mengacungkan satu jari tangan. Hal ini dilakukan sebagai isyarat untuk menghindari gangguan utama yang mungkin terjadi.

Fungsi Kesantunan Berbahasa Banjar

1) Fungsi menanyakan yang dilakukan oleh penutur [23] Pembeli : Galapung ngini barapa?(1)

(„Tepung terigu ini berapa?‟)

Nia : Ngintu tiga satangah (sambil menimbangakan bawang) (2) („Itu tiga setengah‟ („sambil menimbangkan bawang‟)

Tuturan (1) dalam penggalan wacana [23] dituturkan oleh seorang pembeli yang bertindak sebagai penutur kepada penjual sebagai mitra tutur. Penutur secara langsung menanyakan berapa harga tepung terigu dan dijawab secara lisan oleh mitra tutur.

[24] Pembeli : Mi burung adakah?(1) („Mie burung ada?‟) Janah : Mi burung ada ah?(2)

(„Mie burung ada?‟)

Pembeli : Mi kriting ja gin dua bungkus.(3) („Mie keriting saja dua bungkus‟). Nia : Mi kriting lih?(4)

(„Mie keriting?‟)

Pembeli : Ngini kadada yang halus lih? (5)(mengangkat S) („Ini tidak ada yang kecil?‟)

Janah : Hi ih, ganal barataan.(6) („Iya, besar semuanya‟).

Nia : Ni dua, dua satangahkah, Nah? (7) (menunjukkan mie kriting)

(„Ini dua, dua ribu lima ratus, Nah?‟) Janah : Napanya? Dua satangah.(8)

(„Apa yang dua ribu lima ratus?‟). Pembeli : Barapa?(9)

(„Berapa?‟)

Nia : Lima satangah.(10) („Lima ribu lima ratus‟).

Dalam wacana [24] tuturan (1), (2), (4), (5), (7), (8), dan (9) merupakan fungsi menanyakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur. Semua tuturan tersebut menghendaki jawaban, baik jawaban lisan maupun jawaban dalam bentuk tindakan.

(14)

[25] Pembeli : Ruyku sapi adakah? Barapa salusin? (1) („Royco sapi ada? Berapa selusin?‟) Janah : Tiga satangah.(2)

(„Tiga ribu lima ratus‟).

Pembeli : Nungkar salusin. Ladaku jua.(3) („Beli selusin. Ladaku juga‟).

Tuturan (2) dalam penggalan wacana [25] merupakan fungsi menjawab. Dalam konteks ini, penutur menanyakan apakah mitra tutur menjual royco sapi dan berapa harga satu lusinnya. Pertanyaan itu, langsung dijawab oleh mitra tutur yaitu bahwa harga royco sapi satu lusinnya adalah Rp.3.500,-.

[26] Pembeli : Adakah mi sakura?(1) („Ada mie sakura?‟) Yunus : Ada ai.(2)

(„Ada‟).

Pembeli : Barapa sapuluh?(3) („Berapa sepuluh?‟) Yunus : Sapuluh ribu.(4)

(„Sepuluh ribu rupiah‟). Pembeli : Mi sutu banjar 5 jua.(5)

(„Mie soto banjarnya 5 buah‟). Yunus : Tujuh blas tangah.(6)

(„Tujuh belas ribu lima ratus rupiah‟). Pembeli : Tukar.(7)

(„Aku beli‟). Yunus : Jual.(8)

(„Aku jual‟).

Tuturan (2) dan (4) dalam penggalan wacana [26] merupakan fungsi menjawab. Dalam konteks ini, penutur menanyakan apakah mitra tutur menjual mie sakura dan berapa harganya. Mitra tutur mengatakan ada, dan harganya adalah sepuluh ribu rupiah.

3) Fungsi menjawab sekaligus fungsi menolak yang dilakukan oleh mitra tutur

[27] Pembeli : Gula 5, suun 2, tih sari murni, kecap lawan tumat sabuting sabuting (sambil menyusun barang sendiri). (1)

(„Gula 5, suun 2, teh sari murni, kecap dan tomat satu- satu‟). Zikri : Tih apa? (2)

(„Teh apa?‟) Pembeli : Ganal (3)

(„Besar‟).

Gulpara adakah? Sabuting. (4) („Golpara ada? Satu‟).

Zikri : Gulpara ganal. (5) („Golpara besar‟).

Firman/ Utuy : Sari murninya, Cil. Barapa? (6) („Berapa, Sari murninya, Cil?‟) (7)

(15)

Pembeli : (mengacungkan jari satu) Barapa? (8)

(„Berapa?‟) Firman/ Utuy : Tiga ribu

Pembeli : Dua, lima ribu lih? (9) („Dua, lima ribu ya?‟) Firman/ Utuy : Kada dapat. (10)

(„Tidak bisa‟).

Pembeli : Maraha sabuting. (11) („Biar satu saja‟).

Tuturan (10) dalam penggalan wacana [27] merupakan fungsi menjawab sekaligus menolak. Mitra tutur secara langsung menolak keinginan penutur dengan kalimat kada dapat (tidak bisa).

[28] Pembeli : Saapa tuh? Hah? (1)(menunjuk bawang merah) („Berapa? Apa?‟)

Yunus :Tiga ribu saparapat, sakilu 12.(2)

(„Tiga ribu seperempat kilogram, 1 kg dua belas ribu‟) Pembeli : Jar ku sablas haja, nukar itungan tangah dua kilu. (3)

(„Kalau mau sebelas ribu saja, saya beli hitungkan 1,5 kg‟). Yunus : Kada kawa kurang Cil ai, kada dapat.(4)

(„Tidak bisa kurang lagi Cil‟).

Dalam wacana [28] tuturan (4) merupakan fungsi menjawab sekaligus menolak. Mitra tutur secara langsung menolak keinginan penutur dengan kalimat kada kawa kurang Cil ai, kada dapat (Tidak bisa kurang Cil, tidak bisa).

4) Fungsi menjawab sekaligus fungsi menerima yang dilakukan oleh mitra tutur [29] Pembeli : Barapa patis? (1)

(„Berapa petis?‟) Yunus : Sakilu tiga blas. (2)

(„Sekilo tiga belas ribu‟). Pembeli : Kada dua blas kah?(3)

(„Dua belas ribu,mau?‟) Yunus : Ih. ayuha.(4)

(„Iya. bisa‟). Pembeli : Tukarlah.(5)

(„Aku beli‟). Yunus : Juallah.(6)

(„Aku jual‟).

Tuturan (4) dalam penggalan wacana [29] merupakan fungsi menjawab sekaligus menerima. Penutur menawar harga yang disebutkan oleh mitra tutur, dari harga Rp.13.000,- menjadi Rp.12.000,-. Mitra tutur secara langsung menerima dan menyetujui keinginan penutur dengan kalimat ih, ayuha (iya, bisa).

(16)

5) Fungsi menyatakan (deklaratif) yang dilakukan oleh penutur [30] Pembeli : Ngini barapa?(1)

(„Berapa ini?‟)

Yunus : Lima ribu, satangah. (2)

Sakilu sapuluh ribu di higanya tu.(3)

(„Lima ribu, setengah kilogram. Satu kilogram sepuluh ribu yang di sampingnya itu‟)

Tuturan (3) dalam penggalan wacana [30] merupakan fungsi menyatakan. Dalam konteks ini, penutur menyampaikan informasi tentang harga barang. Penutur menanyakan harga barang dan dijawab oleh mitra tutur. Mitra tutur juga sekaligus menginformasikan harga barang yang ada di sebelah barang yang ditanyakan oleh penutur.

[31] Pembeli : Kecap ABC nya adakah yang ganal, babungkus?(1) („Apakah ada menjual kecap ABC isi ulang yang besar?‟) Dewi : Kadada, BANGU ja lagi.(2)

(„Tidak ada, cuma ada BANGO‟). Pembeli : Itu ja gin. (3)

(„Itu saja‟).

Tuturan (2) dalam penggalan wacana [31] merupakan fungsi deklaratif yaitu menyampaikan informasi. Tuturan ini menyampaikan informasi kepada mitra tutur bahwa kecap ABC tidak ada, yang ada cuma kecap BANGO.

6) Fungsi memerintah yang dilakukan oleh penutur

[32] Pembeli : Adakah gula habang nang halus-halus?(1) („Ada gula merah yang kecil?‟)

Yunus : Ada.(2)

Pembeli : Anukan satangah.(3)

(„Timbang dan bungkuskan setengah kilogram‟) Yunus : Ambilakan yang di sabalah baras tu, Zik!(4)

(„Ambilkan yang di sebelah beras itu, Zik!‟) Zikri : Inikah?(5)

(„Ini?‟)

Yunus : Ih, julungakan dengan Acil baju habang. („Iya, serahkan dengan Acil berbaju merah‟).

Tuturan (4) dan (5) dalam penggalan wacana [32] penutur memerintahkan agar mitra tutur mengambil gula merah yang ada di sebelah beras dan menyerahkannya kepada pembeli. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut. 1) Wujud kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua ialah dalam

kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif. Wujud kesantunan positif, yaitu menggunakan tindak tutur langsung, kata ganti personal „aku‟ sebagai subjek dan nama depan untuk menyapa mitra tutur. Adanya pandangan yang sama antara dua belah pihak yang berorientasi

(17)

pada pendekatan. Wujud kesantunan negatif dilihat dari penggunaan nama belakang dan pemberian opsi kepada mitra tutur. Karena tuturan berorientasi pada penghindaran bukan pada pendekatan. Hal itu juga sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses.

2) Strategi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua, yaitu strategi kesantunan positif, negatif dan off-record.

3) Fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua, yaitu fungsi menanyakan, menyatakan, dan memerintah yang dilakukan oleh penutur. Fungsi menjawab, fungsi menjawab sekaligus menolak, dan fungsi menjawab sekaligus menerima yang dilakukan oleh mitra tutur.

Saran

Penelitian kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di pasar ini masih belum seluruhnya mengungkap wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi penelitian kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di pasar dan ranah-ranah sosiolinguistik lainnya.

(18)

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Brown, P dan Levinson, S. 1987. Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Chaer, Abdul. 2004. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Hapip, Abdul Djebar. 2008. Tata Bahasa: Bahasa Banjar. Banjarmasin: CV. Rahmat Hafiz Al Mubaraq.

Herliana. 2010. Realisasi Kesantunan Berbahasa Debat Pemilukada. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin: PBSI FKIP Unlam.

Rahardi, R. Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Syaipullah. 2007. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Interaksi antara Guru dan Siswa. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin: PBSI FKIP Unlam.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, hipotesis diterima apabila penerapan teori karir Ginzberg tehnik modeling diterapkan secara efektif maka komitmen karir siswa kelas XIA

Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas kinerja Oriflame yang diukur dengan variabel-variabel Oreintasi Pelanggan (X1), Orientasi Pembelajaran (X2) dan Motivasi

Keaktifan peserta didik pada siklus I masih kurang, hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Hasil pelaksanaan strategi Index Card Match

Az AKI PÁIR adatai szerint átlagosan 47-48 ezer forint/tonna termelői áron cserélt gazdát a ta- karmánykukorica április első hetében, az egy évvel ko- rábbinál 16

Jarak rumah/ balla rate’ dengan tempat aktifitas pengolah batu bata di desa Maccinibaji. Jarak rumah/ balla tingka’ dengan tempat aktifitas pengolah batu bata

PROJECT MILESTONE in 1 st Semester National Commitment from stakeholders WS MCQ review, IBA, CBT Center in national & regional; Standard Setting WS OSCE

Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis uji-t pada masing- masing kelompok dengan hasil analisis data yaitu t h = 7,45 > t t = 2,000 pada taraf signifikansi 0,05 yang

Konya kentinde Alaaddin Tepesi olarak bilinen “arkeolojik, tarihi ve do ğ al sit alanı” statüsündeki, yakla ş ık dört binyıllık tarihsel kültür katmanlarından olu ş