• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tingginya keanekaragaman hayati laut memiliki potensi sumberdaya laut dan selayaknya dapat dimanfaatkan secara optimal, baik berpotensi dalam bidang lingkungan, ekonomi, maupun kesehatan khususnya dalam bidang farmasi. Salah satu keanekaragaman hayati potensial adalah mikroalga. Saat ini, mikroalga telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar, terutama dalam bidang farmasi karena beberapa jenis mikroalga memiliki kandungan senyawa utama seperti protein, karbohidrat dan lemak. Selain itu mikroalga juga memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak dan pigmen yang dapat digunakan sebagai senyawa bioaktif dalam bidang farmasi untuk antiinflamasi, antivirus, antikanker, antifungi, dan antimikroba (Borowitzka, 1994).

Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan. Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga dikelompokkan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan fotosintesis (Kabinawa 2001). Selain itu, air dan karbon dioksida dengan adanya energi surya dari matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat anorganik, maka disebut sebagai produsen primer (Nontji, 1993).

Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian mulai ditujukan untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi diantaranya sebagai sumber bahan kimia yang dapat menghasilkan produk seperti gliserol, vitamin, protein, pigmen, enzim, dan bahan-bahan bioaktif lain. Bahan-bahan bioaktif yang telah diketahui dapat dihasilkan dari mikroalga yaitu antioksidan, toksin, bahan obat-obatan, dan zat pengatur pertumbuhan (Kabinawa 1994).

Aplikasi bioteknologi sumberdaya perairan berperan dalam mengetahui sekaligus menghasilkan bahan aktif termasuk antimikroba sehingga diperoleh bahan

(2)

aktif yang dapat dimanfaatkan untuk manusia dan lingkungan. Potensi sumber daya alam terutama mikroalga belum banyak diungkap dan diteliti sehingga informasi yang dapat diperoleh masih sangat terbatas. Berbagai hasil penelitian mengenai bahan aktif termasuk antimikroba dari mikroalga telah dilaporkan oleh para pakar (Hashimoto 1979 dalam Indhira 2004).

Senyawa antimikroba dari mikroalga umumnya belum teridentifikasi, namun beberapa telah diketahui komponen penyusunnya, ada yang terdiri dari asam lemak, fenol, dan asam organik. Hasil penelitian melaporkan beberapa mikroalga yang memiliki potensi sebagai antimikroba antara lain Pophyridium cruentum, Lyngbya sp, Spirulina platensis, Phormidium sp dan Chlorella sp. Sedangkan dari jenis Dunaliella yang diketahui memiliki potensi antimikroba antara lain Dunaliella primolecta dengan kandungan senyawa asam gama-linoenat, Dunaliella bardawil dengan kandungan senyawa metabolisme karoten seperti neophytadiene dan beta-ionone serta Dunaliella salina dengan kandungan senyawa asam linoleat dan asam palmitat (Weldy dan Huesemann, 2007).

Antimikroba pada mikroalga dapat diekstraksi dari biomassa atau ekstraselulernya. Beberapa metode ekstraksi telah dilakukan untuk mendapatkan senyawa antimikroba dari Dunaliella salina. Ekstraksi dengan metode ini dilakukan secara bertingkat dengan beberapa pelarut seperti metanol, n-heksana dan diklorometan dan hasilnya menunjukkan adanya zona hambat terhadap Escherichhia colli dan Staphylococcus aureus dengan komponen senyawa fenol dan asam 1,2-dikarboksilat (Weldy dan Huesemann, 2007).

Dunaliella merupakan salah satu mikroalga yang cukup banyak diteliti terutama sebagai sumber β-karoten dan gliserol. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di negara-negara maju. Dunaliella salina juga dapat dimanfaatkan sebagai jasad pakan yang cukup baik. Telah dilakukan pemurnian sebagian komponen antibiotik Dunaliella primolecta yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Enterobacter

(3)

aerogenes. Ekstrak Dunaliella tertiolecta menunjukkan hasil positif sebagai antibakteri (Becker, 1994).

(4)

Secara morfologi, Dunaliella merupakan mikroalga yang bersifat uniseluler, mempunyai sepasang flagella yang sama panjangnya, sebuah kloroplast berbentuk cangkir, dan tidak memiliki dinding sel. Dunaliella sering juga disebut sebagai flagellata uniseluler hijau (green unicellulair flagellata). Bentuk sel Dunaliella juga tidak stabil dan beragam, dapat berbentuk lonjong, bulat silindris, ellip dan lain-lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pertumbuhan, dan intensitas sinar matahari (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Dunaliella memiliki kisaran toleransi pH yang luas mulai dari pH 1 (Dunaliella acidophila) sampai pH 11 (Dunaliella salina). Demikian halnya juga dengan suhu, mulai dari -35ºC sampai 40ºC. Spesies Dunaliella dapat tumbuh optimal pada pH 6-6,5 dan kisaran suhu antara 22-25ºC dengan salinitas air 30-35‰. Dunaliella termasuk kelompok Chlorophyceae yang mengandung klorofil a dan b serta karotenoid yang umumnya berupa β-karoten (Borowitzka, 1988).

Klasifikasi Dunaliella (Bougis 1979 dalam Isnansetyo dan Kurniastuty 1995) adalah sebagai berikut:

Phylum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales

Famili : Polyblepharidaceae Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella salina

Genus Dunaliella banyak dimanfaatkan sebagai makanan kesehatan seperti halnya dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang tinggi. Spesies dari genus Dunaliella ini cukup banyak dan telah dimanfaatkan diantaranya Dunaliella viridis, Dunaliella primolecta, Dunaliella salina, Dunaliella acidophila, Dunaliella bardawil, Dunaliella parva dan Dunaliella sp. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di negara-negara maju, Dunaliella salina juga sebagai jasad pakan yang cukup baik dan mendapat perhatian besar di beberapa negara seperti Australia, Amerika dan Israel karena menghasilkan gliserol dan β-karoten (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

(5)

Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan generatif. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembelahan secara memanjang. Saat proses pembelahan inti, maka pirenoid akan melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas akan terbentuk suatu lekukan yang kemudian akan membelah dan menjadi individu-individu baru, masing-masing dengan satu flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma. Stigma yang terbentuk ini merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjahjo et al., 2002).

Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui konjugasi. Zigot berwarna merah atau hijau dikelilingi oleh dinding sporollenin yang halus dan sangat tipis. Nukleus zigot akan membelah secara meiosis. Pembelahan ini terjadi setelah tahap istrahat dan terbentuk lebih dari 32 sel yang dibebaskan melalui retakan atau celah pada dinding sel induk (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

B. Pertumbuhan Dunaliella salina

Pengamatan pertumbuhan bertujuan untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan sel Dunaliella salina selama penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata sel tidak mengalami fase adaptasi, hal ini dikarenakan tidak adanya modifikasi media kultur yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi fase logaritmik, sehingga sel-sel yang diinokulasikan cepat beradaptasi terhadap media kultur yang baru. Pertumbuhan sel diamati setiap hari hingga mencapai fase stasioner, yaitu hari ke 16-18. Setelah kultur mencapai fase stasioner, dilakukan pemanenan dengan cara disentrifus, endapan yang diperoleh, dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50oC agar kandungan nutrisi yang terdapat dalam biomassa tidak rusak. Proses pemanenan dilakukan saat sel pada fase stasioner, hal ini dikarenakan pada fase ini pembentukkan senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak yang dapat sebagai senyawa antibakteri telah mencapai maksimum (Naviner et.al., 1999).

(6)

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Adapun beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut adalah daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Karger et al., 1973).

Ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara pengoperasiannya yaitu ekstraksi dengan menggunakan pelarut (solvent extraction), ekstraksi dengan penekanan yang sering disebut penekanan mekanik dan ekstraksi dengan pemanasan (rendering). Menurut jenis pelarutnya, solvent extraction dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase (dilakukan dengan menggunakan air) dan organic phase (dilakukan dengan menggunakan pelarut organik) (Winarno et al., 1973).

Menurut Harborne (1987), metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus Ekstraksi sederhana terdiri atas: a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam bahan dalam pelarut

dengan atau tanpa pengadukan.

b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.

c) Reperkolasi yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan sampel dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan.

d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara. e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas :

a) Sokletasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut yang bervariasi.

(7)

b) Arus balik yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan

c) Ultrasonik yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 kHz.

Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Oleh karena itu, pemilihan pelarut yang sesuai akan sangat penting. Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut mengalir ke dalam ruang sel sehingga menyebabkan protoplasma membengkak dan menyebabkan kandungan sel akan berdifusi ke luar sel. Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Achmadi, 1992).

Biomassa diekstraksi menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol dengan cara maserasi dan digesti. Metode ini digunakan karena lebih mudah dilakukan dan lebih praktis dibandingkan dengan metode lain. Cara ekstraksi dengan metode maserasi dapat memberikan suatu perbedaan konsentrasi antar cairan penyari dengan cairan di dalam sel. Hal ini menyebabkan isi sel akan larut secara difusi sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara cairan penyari dengan cairan di dalam sel. Keadaan bergerak pada proses maserasi menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif, sedangkan ekstraksi dengan metode digesti dapat memberikan hasil ekstrak dengan kadar yang lebih tinggi karena pada cara ini menggunakan pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan ekstrak (Harborne, 1987).

Biomassa Dunaliella salina diekstraksi sampai terlihat pucat agar senyawa antibakteri yang terkandung dalam biomassa dapat terekstrak secara optimal. Penggunaan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang tersari dari masing-masing pelarut yang berbeda pula (Harborne, 1987).

(8)

Pelarut petroleum eter bersifat non polar yang merupakan campuran hidrokarbon cair yang bersifat mudah menguap dan akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemak-lemak, terpenoid dan steroid. Aseton sebagai pelarut semi polar akan melarutkan senyawa bersifat semi polar seperti polifenol dan senyawa xanthon. Etanol sebagai pelarut polar akan melarutkan senyawa yang bersifat polar seperti karbohidrat, dan klorofil. Pada tahap awal ekstraksi, biomassa yang telah ditambahkan pelarut dipecah selnya dengan sonifier bertujuan untuk memecahkan dinding sel mikroalga sehingga memudahkan penarikan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam Dunaliella salina oleh pelarut, sehingga proses ekstraksi dapat optimal (Harborne, 1987).

D. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Dunaliella salina

Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Escherichia coli sebagai bakteri Gram negatif dan Staphylococcus aureus sebagai bakteri Gram positif. Masing-masing ekstrak diuji aktivitas antibakterinya dengan menggunakan metode difusi agar cara cakram dan dilakukan analisis kualitatif terhadap ekstrak yang menghasilkan zona hambat paling besar. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 100%, 75%, dan 50%. Perbedaan konsentrasi yang digunakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, menunjukkan bahwa kedua bakteri uji menunjukkan adanya zona hambat di sekeliling lubang pada semua konsentrasi ekstrak yang diuji. Konsentrasi ekstrak pada masing-masing metode ekstraksi (maserasi dan digesti) berbanding lurus dengan ukuran diameter zona hambat yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka diameter zona hambat akan besar, dan sebaliknya (Pelczar dan Chan, 2005).

Ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengan cara maserasi, menunjukkan hasil zona hambat terbesar ditunjukkan oleh bakteri E. coli pada ekstrak etanol dan zona hambat terkecil ditunjukkan pada ekstrak aseton. Sedangkan pada bakteri S.aureus zona hambat terkecil terdapat pada ekstrak aseton dan zona hambat terbesar dihasilkan oleh ekstrak etanol. Pada ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengan

(9)

cara digesti menunjukkan hasil bahwa zona hambat terbesar terhadap bakteri S. aureus pada ekstrak etanol dan terkecil pada ekstrak aseton. Demikian pula halnya, pada bakteri E.coli zona hambat terkecil pada ekstrak aseton dan terbesar pada eksrak etanol (Pelczar dan Chan, 2005).

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, ternyata zona hambat terbesar yang terbentuk pada bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli ditunjukkan pada ekstrak etanol (maserasi dan digesti) dibandingkan dengan ekstrak aseton dan ekstrak petroleum eter. Sedangkan jika membandingkan antara kedua bakteri uji yang digunakan ternyata pada semua ekstrak yang diuji, zona hambat bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) lebih besar dibandingkan Gram negatif (Eschericia coli). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sensitifitas antara bakteri Gram poritif (Staphylococcus aureus) dengan bakteri Gram negatif (Escherichia coli), yaitu adanya perbedaan struktur dinding sel (Pelczar dan Chan, 2005).

Pada bakteri Gram positif, struktur dinding selnya tebal (15-80 nm) dan memiliki lapisan tunggal (mono), sedangkan pada bakteri Gram negatif yaitu Escherichia coli, struktur dinding selnya tipis (10-15 nm) dan memiliki tiga lapisan (multi). Disamping itu juga karena struktur dinding sel bakteri Gram positif berupa kandung lemak yang rendah (1-4%) dibandingkan dengan bakteri Gram negatif, kandungan lemaknya tinggi (11-22%) yang menyebabkan sulitnya terabsorpsi senyawa antibakteri ke dalam sel Escherichia coli. Senyawa antibakteri yang mudah terabsorsi ke dalam sel menyebabkan bakteri tersebut mati (Pelczar dan Chan, 2005).

Selain hal diatas, berdasarkan hasil identifikasi dengan KG-SM menunjukkan adanya senyawa fenol dalam semua ekstrak Dunaliella salina yang menyebabkan zona hambat pada E. coli lebih kecil dibandingkan dengan Staphylococcus aureus. E. coli lebih resisten terhadap fenol dan ketahanannya terhadap fenol dalam ekstrak uji dapat mempengaruhi pembentukkan zona hambat mati dan juga dilaporkan bahwa fenol memiliki kemampuan antibakteri yang lebih kuat terhadap bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Fenol memilliki kecenderungan mengikat protein bakteri sehingga menghambat aktivitas enzim yang akhirnya mengganggu aktivitas enzim metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan, 2005).

(10)

Dunaliella salina yang diekstrak dengan cara digesti menunjukkan zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan maserasi, hal ini dikarenakan metode digesti menggunakan pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan senyawa-senyawa antibakteri dalam ekstrak sehingga dapat memberikan hasil ekstrak dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi. Kontrol negatif yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan petroleum eter, aseton, dan etanol, hasilnya menunjukkan tidak adanya zona hambat pada kedua bakteri uji, hal ini menunjukkan ekstrak Dunaliella salina mempunyai sifat antibakteri. Selain itu juga dilakukan kontrol positif menggunakan antibiotik kloramfenikol yang bertujuan untuk menguji sensitivitas bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Mekanisme kerja dari antibiotik kloramfenikol digolongkan sebagai antibiotik dengan spektrum luas yaitu efektif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif (Pelczar dan Chan, 2005).

E. Identifikasi Senyawa Antibakteri Dengan KG-SM

Uji kualitatif dengan KG-SM dilakukan pada ekstrak yang mempunyai zona hambat terbesar, yaitu ekstrak etanol yang didapat dengan cara maserasi dan digesti. Hasil KG-SM yang diperoleh dari ekstrak etanol secara maserasi dengan kualitas persen diatas 90% terdapat senyawa Asam Heksadekanoat (12.98 %), Asam metil ester Heksadekanoat (0.67%), Asam 8,11-metil ester Oktadekadieoat (1.76%), Asam 9,12-Oktadekadienoat (19.70%), yang merupakan senyawa golongan asam lemak Sedangkan hasil KG-SM ekstrak etanol secara digesti adalah senyawa golongan asam lemak, terpenoid, dan fenol, yaitu Asam Heksadekanoat (17.08%), Asam 9, 12-Oktadekadienoat (22.73%), Asam 9, 12-metil ester 12-Oktadekadienoat (2.89%), Neophytadiena (0,68%), Phytol (16.06%) (Herrero et al., 2006).

Berdasarkan analisis kualitatif terhadap ekstrak etanol dengan metode maserasi, senyawa dengan persentase kualitatif diatas 90% sebagian besar merupakan senyawa golongan asam lemak. Sedangkan untuk ekstrak etanol secara digesti, senyawa dengan persentase kualitatif diatas 90% antara lain asam lemak, golongan terpenoid dan fenol. Hal ini yang menyebabkan zona hambat pada ekstrak

(11)

yang dihasilkan dengan metode digesti lebih besar dibandingkan dengan ekstraksi dengan maserasi. Disamping itu, juga karena luas area asam lemak yang dihasilkan dari metode digesti (45,73%) lebih besar dibandingkan dengan metode maserasi (36.06%). Senyawa asam lemak yang terdapat pada ekstrak etanol dengan cara digesti maupun maserasi adalah Asam Heksadekanoat (asam palmitat) dan Asam 9,12-Oktadekadienoat (asam linoleat). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Borowitzka (1988) bahwa, senyawa yang bersifat sebagai antibakteri dalam mikroalga Dunaliella salina adalah 3-trans heksadekanoat dan asam linolenat yang merupakan golongan asam lemak (Herrero et al., 2006).

Asam Heksadekanoat (asam palmitat), Asam 9,12-Oktadekadienoat (asam linoleat), dan neophytadiena merupakan senyawa yang bersifat sebagai antibakteri. Hal ini sesuai dengan hasil analisis kualitatif dengan menggunakan KG-SM pada penelitian ini, bahwa senyawa antibakteri yang diidentifikasi adalah Asam Heksadekanoat, Asam 9,12-Oktadekadienoat, dan neophytadiena di samping senyawa lainnya. Perbedaan kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada

Dunaliella salina sangat dipengaruhi oleh komposisi media kultur yang digunakan, faktor lingkungan tempat tumbuhnya, intensitas cahaya yang diterima dan cara mengekstraksi mikroalga tersebut (Weldy dan Huesemann, 2011).

F. Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri

Cara kerja penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa antimikroba berbeda-beda. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan menghambat enzim-enzim metabolik (Branen dan Davidson, 1993).

1) Kerusakan pada dinding sel

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin, asam N-asetilmuramat, dan suatu peptida yang terdiri dari asam amino yaitu L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin. Lapisan

(12)

lapisan peptidoglikan yang merupakan 50% dari bahan dinding sel sedangkan bakteri Gram negatif hanya ada 1-2 lapisan peptidoglikan dan merupakan 10% dari bahan dinding sel (Pelczar dan Chan, 2005).

Antimikroba dapat menghambat sintesa dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan peptidoglikan yang merupakan komponen penting dari dinding sel mikroba. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat juga disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel, contohnya penisilin dan sefalosporin (Nychas dan Tassou 2000 dalam Parhusip 2006).

2) Perubahan permeabilitas sel

Senyawa antimikroba dapat menyerang membran sitoplasma dan mempengaruhi integritasnya. Membran sitoplasma berperan pada keutuhan sel dimana mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Kerusakan pada membran ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler. Mekanisme minyak atsiri (karvakrol, sitral, dan geraniol) adalah mengganggu lapisan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan unsur penyusun sel, contoh antimikroba ini adalah polimiksin dan golongan polien (Kim et al. 1995 dalam Parhusip 2006).

3) Penghambatan sintesis protein dan asam nukleat

Síntesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam amino melalui ikatan peptida. Senyawa antimikroba mampu menghambat sintesis protein bakteri yaitu senyawa tersebut dapat bereaksi dengan komponen sel ribosom 50 S yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya sintesis protein dan dilanjutkan terbentuknya pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu pembentukan protein, contohnya tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin. Senyawa antimikroba juga dapat menghambat sintesa asam nukleat (DNA dan RNA) dengan cara menghambat DNA girase yang berfungsi dalam penataan kromosom sel mikroba, contohnya enrofloksasin (Setiabudy dan Ganiswara, 1995).

(13)

Enzim yang berperan dalam metabolisme dan juga pertumbuhan pada sel mikroba dapat dihambat aktivitasnya oleh komponen antibakteri sehingga berakibat terganggunya aktivitas maupun pertumbuhan mikroba-mikroba tersebut. Konsentrasi dari antibakteri yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi pada enzim. Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh mikrooganisme melalui inaktivasi enzim-enzim metaboliknya. Senyawa antibakteri sulfit, nitrit dan asam benzoat dapat menginaktivasi berbagai enzim metabolik bakteri (Brown 1962 dalam Parhusip 2006).

III. PENUTUP A. Kesimpulan

(14)

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah tentang Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Aktif Secara Maserasi dan Digesti dalam Berbagai Pelarut dari Mikroalga Dunaliella Salina adalah sebagai berikut:

1. Sel tidak mengalami fase adaptasi karena tidak adanya modifikasi media kultur yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi fase logaritmik.

2. Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Biomassa diekstraksi menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol dengan cara maserasi dan digesti karena lebih mudah dilakukan dan lebih praktis dibandingkan dengan metode lain.

3. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 100%, 75%, dan 50%. Perbedaan konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

4. Perbedaan kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada Dunaliella salina

sangat dipengaruhi oleh komposisi media kultur yang digunakan, faktor lingkungan tempat tumbuhnya, intensitas cahaya yang diterima dan cara mengekstraksi mikroalga tersebut.

5. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan menghambat enzim-enzim metabolik.

B. Saran

Sebaiknya dilakukan juga uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia dari Dunaliella salina dan uji aktivitas antibakteri terhadap mikroorganisme yang lainnya seperti Salmonella, Enterobacter aerogenes dan lain sebagainya.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi S. S. 1992. Teknik Kimia Organik. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

(16)

Becker E. W. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press. USA.

Borowitzka M. A. 1994. Microalgae as Sources of Pharmaceuticals and Other Biologically Active Compounds, Algal Biotechnology Laboratory, School of Biological & Environmental Sciences. Murdoch University. Perth,W. A. 6150.

Branen A. L, Davidson P. M. 1993. Antimicrobial in Foods. Second edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Harborne J. B. 1978. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. edisi II. (Terj.). Padma W. K. Sudiro. I. ITB. Bandung. hal 3-15 . Herrero M, Ibanez. E, Cifuentes A, Reglero. G. 2006. Dunaliella salina Microalga

Pressurized Liquid Extracts as Potential Antimicroials. Instituto de Fermentaciones Industriales CSIC Juan de la Cierva Madrid. Spain.

Indhira TA. 2004. Prospek Bioteknologi Sumberdaya Akuatik dalam Industri Farmasi. Jurnal Perikanan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Universitas Hang Tuah. Surabaya. 1(1): 27-30.

Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta. Kabinawa I. N. K. 1994. Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek. Prosiding Seminar

Nasional Bioteknologi Mikroalga. Puslitbang-Biotek. LIPI. Bogor.

Karger B. L., Synder L., Hosvarth C. 1973. An Introduction to Separation. John dan Sons. Brisbane.

Naviner M, Berge J. P., Duran P., Le Bris H. 1999. Antibacterial Activity of The Marine Diatom Skeletonema Costatum Againts Aquacultural Pathogens. Journal Aquaculture. 174: 15-24.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Djambatan. Jakarta.

Parhusip A. J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. [disertasi]. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Pelczar M. J., Chan E. C. S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2. Hadioetomo R. S., Imas T., Tjitrosomo S. S., Angka S. L., Penerjemah. Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology. Jakarta.

Setiabudy R., Ganiswara V. H. S. 1995. Pengantar Antimikroba. Di dalam: Ganiswara S. G., Setiabudy R., Suyatna F. D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. FKUI. Jakarta.

Tjahyo W., Ernawati L., Hanung S. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan:

(17)

Proyek Pengembangan Perekayasaan Ekologi Balai Budaya Laut Lampung. Lampung. hal 30.

Weldy C. S and Huesemann M. 2011. Lipid Production by Dunaliella salina in Batch Culture: Effects of Nitrogen Limitation and Light Intensity. Science Undergraduate Laboratory Internship Program at Pacific Northwest National Lab. (online). http://www.scied.science.doe.gov.

Winarno F. G., Fardiaz D., Fardiaz S.. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan Elektroforesis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Munculnya tingkat kepercayaan yang tinggi dari warga Korea Selatan terhadap pemerintahnya juga bersumber dari fakta bahwa mereka berhasil mempertahankan kondisi

Издржавање ће трајати за све време док прописане науке не сврши у Београду, а потом би се по свршетку студија имао издржавати још две године

Perlakuan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar, dan luas daun per pot tanaman kacang pinto

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan

Latihan gerak aktif dengan metode latihan Mckenzie diharapkan otot-otot daerah lumbosakral dapat mengalami peregangan dan penguatan sehingga kontraksi otot selama latihan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian dosis pupuk cair dan sistem pengolahan tanah tidak memberikan pengaruh yang

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan lembaga Kepolisian Dan Kejaksaan Sebagai Subsistem Penegakan Hukum Dalam Proses

Allah). Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan Islam &.. 2) Entrepreneurship di pesantren Al-Amien dan Darul Ulum,