• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Kecil dua Politik Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Kecil dua Politik Hukum"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, Konstitusi Indonesia (UUD 1945) termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori konstitusi tertulis, jika menggunakan pendekatan Wheare maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 (tiga) pengertian:1

(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;

(2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan

(3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.

Namun secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu “perubahan” (amandemen), dan “pembaharuan” atau “penggantian” (renewal). Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.

Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara

(2)

mengubah konstitusi.2 Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum. Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota konstituante.

Jika diartikan secarah harfiah, konstitusi berarti “pembentukan” berasal dari bahasa Perancis “constituir”, yang berarti membentuk. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Untuk itu maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara.3

Sementara Kelsen mengartikan konstitusi sebagai …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules

2 Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung : Penerbit Alumni), hal. 133-134.

3 Moh.Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rineka Cipta), Edisi Revisi, hal. 72.

(3)

wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.4 Konstitusi dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi payung terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya.5

Senada dengan Kelsen, dengan mengacu pada kasus Marbury versus Madison dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.6

2. Rumusan Masalah

Dengan melihat sejarah perjalanan konstitusi Indonesia bahwa dinamika politik yang mengiringi setiap pembuatan maupun perubahan konstitusi ternyata tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran politik maupun ideologi yang berkembang di Indonesia. Maka penulis tertarik untuk memmbahas lebih lanjut mengenai:

1. Apakah konstitusi Indonesia merupakan kesepakatan rakyat atau merupakan tawar-menawar (Bargains) politik?;

2. Bagaimana perubahan konstitusi di Indonesia (UUD 1945)?; dan

4 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel), hal 114.

5 Dikutip dari Catatan Perkuliahan Politik Hukum oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. Dikutip pada 18 November 2015.

6 Satya Arinanto, 2001, Politik Hukum 3, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Edisi Pertama, hal. 16.

(4)

3. Apakah yang menjadi tuntutan dan gagasan politik perubahan konstitusi Indonesia (UUD 1945)?

B. Konstitusi: Hasil Kesepakatan Rakyat atau Tawar-Menawar (Bargains) Politik

Negara penganut paham konstitusionalisme adalah negara yang dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan dalam konstitusi.7 Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum yang jelas. Oleh karena itu dikatakan oleh Barendt bahwa “constitutionalism is a belief in imposition of restrains on government by means of a constitution”.8

Essensi dari konstitusionalisme dari kacamata Soetandyo minimal terdiri dari dua hal pokok yakni, pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan politik; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.9

7 Stephen Holmes, 1995, Constitutionalism, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, (Washington : Congressional Quarterly Inc.), hal. 299-306.

8 Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, (New York: Oxford University Press), hal. 14.

9 Soetandyo, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan (Bandung: Rineka Cipta), hlm 145.

(5)

Friedrich juga menyatakan konstitutionalisme sebagai: …a set of an activites organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restrains which attempt to ensure that the power which is need for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing.10 Dari pandangan Friedrich tersebut dapat difahami bahwa tujuan pokok dari konstitutionalisme adalah upaya membatasi kekuasaan mengingat pada masa sebelumnya kekuasaan sangat luas tanpa batas. Pembatasan itu kemudian dilakukan melalui sebuah hukum khusus yaitu konstitusi.

Lalu Wheare mendefinisikan konstitusi sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara. Dalam definisi yang lain, Smith menyatakan konstitusi sebagai dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara. Begitu juga Barendt mengartikan konstitusi sebagai the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and others important national institution.

Jika diartikan secarah harfiah, konstitusi berarti “pembentukan” berasal dari bahasa Perancis “constituir”, yang berarti membentuk. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Untuk itu maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara.11

10 Carl J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia) hal. 57.

(6)

Sementara Kelsen mengartikan konstitusi sebagai …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.12 Konstitusi dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi payung terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Senada dengan Kelsen, dengan mengacu pada kasus Marbury versus Madison dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.13

Jika menggunakan pendekatan Locke, konstitusi pada dasarnya memuat prinsip mayoritas, seperti dikatakannya: …and it being necessary to that which is one body to move one way; it is necessary the body should move that way whither the greater force carries it, which is the consent of majority.14 Setelah kontrak sosial tercapai, maka persetujuan individu hilang dan digantikan dengan kehendak mayoritas (konstitusi). Dan setiap pemerintahan harus tunduk terhadap kehendak mayoritas tersebut. Jika

12 Hans Kelsen, 1961, Loc.Cit.

13 Satya Arinanto, Loc.Cit.

14 John Locke, 1952,The Second Treatise of Government (Indianapolis: The Liberal Arts Press, Inc) Pasal 96, hal. 55.

(7)

kemudian pemerintah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kehendak mayoritas, dalam kacamata Locke, pemerintah harus diturunkan/dilengserkan oleh rakyatnya.

Namun teori ini masih menyisakan pertanyaan kecil yaitu bagaimana pemerintah sebagai penguasa dapat beritikad baik mematuhi konstitusi? Pertanyaan ini dijawab Alder dengan menyuguhkan 4 (empat) jalan sebagaimana yang ditulisnya:

There are boadly four ways in which constitutions have grappled with this. Ultimately though, all depend on political good will.

1) By creating basic principles of justice, and individual rights policed by courts who are independent of the government.

2) By splitting up power between different government bodies to ensure that no one person has too much power (separation of powers).

3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the people and can be removed by the people.

4) By providing for direct participation by the people in the process of government decision-making.

Oleh karena itu bagi Andrews, konsensus sebagai alat untuk menjamin tegaknya konstitusionalisme, di jaman modern pada umumnya difahami dengan bersandar pada tiga elemen konsensus, yaitu:

1) the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government;

2) the basic government;

(8)

Dalam persoalan lain, teori Locke tentang “kehendak mayoritas” juga memunculkan satu dilematika yaitu tertutupnya suara atau kehendak minoritas, sehingga mau tidak mau kelompok minoritas harus tunduk kepada kehendak mayoritas. Jika tidak, maka harus mengambil jalan sendiri dan pindah ke lain wilayah. Bagi Elster dan Slagstad, sistem mayoritas sebenarnya memiliki hal yang bersifat paradoks sebab kelompok minoritas tidak diberikan kesempatan (hak) untuk menolak secara langsung, selain memilih patuh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas itu sendiri. Sebab dalam kacamata demokrasi tanpa adanya persetujuan mutlak (acquiescence) dari suara yang kalah (minoritas) sama dengan bukan demokrasi.

Persetujuan mutlak yang diberikan kelompok minoritas tersebut biasanya disertai dengan jaminan politik dari negara. Jaminan politik itu didasarkan pada teori multiple membership, dimana jika setiap individu memiliki beberapa kelompok lalu sebagian besar masyarakat tergabung dalam kedua koalisi mayoritas dan minoritas, masyarakat yang kalah (minoritas) akan menggunakan dasar kehormatan dirinya sebagai alasan untuk menerima keputusan yang tidak diinginkannya tersebut, dalam situasi lain, toh mereka tetap akan mendapatkan kebaikan dari keputusan yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Sebaliknya, atas dasar persetujuan dari minoritas, kelompok mayoritas akan bertoleran untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas.

Atas dasar itulah maka Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme milik Colhoun menegaskan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak lebih dari proses tawar-menawar (bargains). Konstitusi diyakini pada awalnya lahir dari konflik-konflik kepentingan antar kelas yang saling bermusuhan di dalam masyarakat,

(9)

Aristoteles memberikan gambaran konstitusi dengan pengklasifikasian konstitusi pada 2 (dua) hal pokok yaitu “the ends pursued by states dan the kind of authority exercised by ther government”. Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitutions dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.15

Konstitusi yang terakhir (yang salah) dapat disebut pula sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish (the selfish interest of the rulling authority). Konstitusi yang baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik buruknya atau normal tidaknya kostitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa ”political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled”.16

Dalam kasus ini, Mahfud MD mencoba memberikan gambaran dengan membandingkan kehidupan berkonstitusi era Orde Lama dengan Orde Baru. Salah satu poin yang ditegaskan Moh.Mahfud adalah: jalan yang ditempuh Orde Lama adalah inkonstitusional, sedangkan Orde Baru memilih justifikasi melalui cara-cara konstitusional sehingga perjalanan menuju otoritariannya memang didasarkan pada peraturan yang secara “formal” ada atau dibuat. Dari kacamata Mahfud ini dapat dilihat bahwa jika meminjam istilah Aristoteles bahwa UUD 1945 pada masa Orde Baru tidak

15 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah Konstitusi republik Indonesia), hal. 6

(10)

lebih sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish.

Namun bagaimanapun, bagi Kelsen sebagai pelopor teori hukum murni, konstitusi akan tetap dipandang sah selama tetap dipostulasikan sah (valid) oleh masyarakat. Sebaliknya, jika ternyata konstitusi (perubahan konstitusi) tidak dipatuhi masyarakat (tidak efektif) bahkan berbuah protes, maka pihak-pihak yang menyusun konstitusi tersebut akan berbalik dinilai sebagai pengkhianat dan tindakan mereka dalam menyusun atau merubah konstitusi akan dianggap sebagai perbuatan yang illegal, atas dasar penilaian konstitusi sebelumnya.

C. Perubahan Konstitusi

Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, Konstitusi Indonesia (UUD 1945) termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori konstitusi tertulis, jika menggunakan pendekatan Wheare maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 (tiga) pengertian:17

(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;

(2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan

(3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.

Namun secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu “perubahan” (amandemen), dan “pembaharuan” atau “penggantian” (renewal).18 Amandemen

17 Wheare, Op.Cit., hal. 14-16.

(11)

biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950. Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara mengubah konstitusi.19 Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum. Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota konstituante.

Sementara Lijphart menyebut ada 3 (tiga) tipe amandemen konstitusi. Pertama, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas murni atau

19 C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson), hal. 146-148

(12)

sederhana (separuh lebih satu). Kedua, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas khusus, misalnya dua pertiga atau tiga perempat. Ketiga, amandemen konstitusi yang disiapkan oleh parlemen, namun harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum. Tipologi ini disusun untuk mengetahui watak sistem politik yang dianut, apakah cenderung mengutamakan konsensus dalam pengambilan keputusan (consensus democracy) ataukah cenderung pada suara mayoritas(majoritarian democracy).

Dengan melihat beberapa teori tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa cara atau prosedur amandemen konstitusi dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) model besar, yaitu amandemen dengan model elitis dan partisipatoris.20Model amandemen konstitusi dikatakan elitis bila prosedur pengusulan hingga pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya oleh parlemen. Model partisipatoris bila amandemen konstitusi dilakukan dengan melibatkan peran rakyat dari pengajuan usul amandemen hingga pengambilan keputusan lewat referendum. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tentang “perubahan konstitusi” dalam UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai perubahan oleh parlemen dengan syarat tertentu, yaitu suara mayoritas. Amandemen konstitusi UUD 1945 juga dapat dikategorikan sebagai model amandemen elitis, karena prosedur pengusulan, pembahasan dan pengambilan keputusan semata-mata hanya terbatas dilakukan oleh anggota parlemen, tanpa melalui proses partisipasi rakyat.

Model amandemen elitis tersebut harus diakui memiliki satu kelemahan yaitu rawan subyektifitas elit, karena tidak melibatkan persetujuan rakyat secara langsung. Sebagaimana diketahui, parlemen, bagaimanapun merupakan himpunan

kelompok-20 Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hal. 188-201.

(13)

kelompok kepentingan politik golongan (aliran), atau jika menggunakan istilah Colhoun, konstitusi tidak lebih dari sebuah produk tawar menawar dari berbagai kelompok kepentingan, dan dalam beberapa kasus, konflik kepentingan tersebut justru berkontradiksi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dan bagi Barendt, amandemen seperti itu (tanpa melibatkan partisipasi masyarakat), sama dengan ”hakim mengadili dirinya sendiri”.

Atas dasar persoalan itu, maka MPR walaupun memiliki kewenangan konstitusional untuk merubah UUD tanpa harus melalui proses partisipasi masyarakat, namun MPR tidak dapat begitu saja mengubah UUD sesuai dengan kehendak subyektif dirinya. Jika ini terjadi, hasil amandemen tersebut dalam kacamata Kelsen dapat dinyatakan ”tidak sah” (tidak valid) dan illegal yang ditunjukkan dengan tidak efektifnya hasil perubahan serta munculnya protes dan penolakan dari masyarakat. Dan jika mengacu pada pandangan Kommers terhadap Basic Law Jerman, setiap perubahan konstitusi yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar atau spirit konstitusi akan menjadi unconstitutional dengan sendirinya.

Atas dasar elitisme itu kemudian muncul gagasan dan gerakan amandemen konstitusi oleh “Komisi Konstitusi Independen” Ada dua argumentasi yang diajukan. Pertama, pembentukan komisi konstitusi independen diharapkan untuk menghindari pertarungan dan konflik kepentingan antara berbagai kekuatan politik dalam MPR, mengingat anggota MPR mayoritas merupakan wakil partai politik yang berkepentingan terhadap bagaimana kekuasaan akan dirumuskan dalam konstitusi. Kedua, komisi konstitusi independen diharapkan dapat mengakomodir kepentingan pluralisme masyarakat Indonesia, yaitu dengan memberikan kesempatan partisipatif dari berbagai

(14)

perwakilan rakyat dari daerah. Pada akhirnya dengan mengakomodasi partisipasi rakyat melalui komisi konstitusi independen, diharapkan akan terbentuk konstitusi dengan semangat rasa memiliki (sense of belonging, sense of ownership) terhadap konstitusi.

Hal ini merujuk pada pemikiran Nonet dan Selznick tentang hukum responsif dimana tatanan hukum sebaiknya dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Dalam model hukum responsif ini, pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.21

Dalam perkembangannya, gagasan pembentukan Komisi Konstitusi telah diakomodir oleh MPR melalui Ketetapan MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, dan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2002 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.22 Namun sayangnya, Komisi Konstitusi hasil bentukan MPR tersebut hanya diberikan kewenangan terbatas, yaitu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen, bukan ikut melakukan amandemen konstitusi itu sendiri. Pada akhirnya hasil kerja Komisi Konstitusi sebatas hanya “hasil kajian” dan ternyata tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap struktur dan substansi hasil amandemen konstitusi.

21 Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responseve Law (New York: Harper & Row) hal. 69 – 113

22 Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami), terutama bab Konstitusi Memasuki Era Reformasi, hal. 152-162, dan Hasil Kerja Komisi Konstitusi, hal. 163

(15)

Mengenai tidak dilibatkannya partisipasi masyarakat secara langsung, MPR tetap bertahan pada alasan yuridis-normatif bahwa konstitusi Indonesia memang tidak mengenal mekanisme perubahan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Namun perubahan yang bersifat elitis tersebut, menurut MPR telah tereleminasi karena perubahan yang dilakukan murni didasarkan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berkembang selama reformasi, yang dilakukan melalui dialog-dialog panjang dengan seluruh elemen masyarakat. Tuntutan perubahan itu didasarkan pada beberapa pandangan bahwa UUD 195 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. Selain itu di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.

D. Tuntutan dan Gagasan Politik Perubahan Konstitusi

Munculnya tuntutan Perubahan UUD 1945 diawali dari gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang pada intinya menuntut perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum dan pemberantasan KKN, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan kebebasan pers, serta pemberian hak otonomi terhadap daerah-daerah. Dan semua tuntutan tersebut hanya bisa dipenuhi dengan cara mengubah berbagai ketentuan dalam UUD. Dengan kata lain tuntutan reformasi dapat pula dikatakan sebagai tuntutan perubahan UUD.

Tuntutan perubahan UUD 1945 sampai saat ini masih diyakini sebagai bagian integral dari tuntutan reformasi. Tidak ada catatan resmi mengenai siapa yang pertama kali melontarkan gagasan perubahan UUD 1945 secara eksplisit. Akan tetapi, yang

(16)

jelas, dalam beberapa kesempatan, kelompok mahasiswa yang mengerek bendera reformasi pada tahun 1998 telah mencantumkan amandemen UUD 1945 sebagai butir pertama dalam agenda tuntutan reformasi.

Beberapa gagasan perubahan UUD 1945 sebagian besar dilontarkan oleh kalangan akademisi dan praktisi. Dikalangan akademisi terdapat beberapa gagasan pokok perubahan UUD 1945. Harun Alrasid dan Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa UUD 1945 selama ini terlalu memberikan kekuasaan yang luas kepada Presiden. Yusril mencontohkan dengan menilai keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara namun pratiknya dilumpuhkan oleh kekuasaan Presiden karena keberadaan MPR diatur dengan undang-undang yang notabene merupakan produk Presiden dan DPR. Dengan kata lain Presiden sebagai mandataris malah mengatur lembaga tertinggi yang memberi mandat, kondisi ini menurut Yusril memungkinkan seorang Presiden memerintah tanpa batas waktu tanpa perlu mengindahkan MPR sebagai pemberi mandat mewakili rakyat. Sementara Sri Soemantri lebih pada memberikan justifikasi tentang perlunya Perubahan UUD 1945, karena menurutnya banyaknya produk hukum yang menindas selama Orde Baru karena UUD 1945 sama sekali tidak mengikuti perubahan jaman. Menurut Sri Soemantri jika keadaan ingin berubah, dalam arti produk hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat, konfigurasi politik harus dibuah dari otoriter ke demokrasi, dengan demikian akan dihasilkan produk hukum yang berkarakter responsif.

Dikalangan praktisi, beberapa gagasan perubahan UUD 1945 dilontarkan oleh Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto dan Todung Mulya Lubis. Buyung mengusulkan agar segera dilakukan perubahan atau pembaharuan terhadap UUD 1945

(17)

sebab secara konseptual negara yang dipersepsikan oleh UUD 1945 melalui pikiran-pikiran Soepomo sebagai perumusnya ialah negara yang bersifat feodal, otoriter, dan bahkan fasistis. Jika UUD 1945 dibiarkan, negara Indonesia akan menjurus kepada nazisme dan fasisme. Sementara Bambang melihat UUD 1945 sengaja didesain supaya terjadi executive heavy hingga memungkinkan terjadinya state centralism dan penumpukan kekuasaan yang menyulitkan terjadinya internal built in control, intra dan antar lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari titik inilah dapat dilihat bahwa berbagai problem yang menjerat bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari konstitusi. Todung lebih menekankan pada pentingnya menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan berwibawa. Dalam pandangan Todung, MA harus memiliki hak uji materiil atas semua produk perundang-undangan sehingga MA bisa membatalkan semua produk perundang-undangan yang menghabat, memperlemah dan menindas. Dengan adanya hak uji materiil di tangan MA, para pembuat undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang akan lebih berhati-hati.23 Jika dilihat dari alasan normatif yang tercatat di internal MPR, latar belakang perubahan UUD 1945 disebutkan antara lain sebagai berikut:

1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi yaitu MPR selaku pelaksana kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan mengimbang (ceck and balances) pada institusi-institusi kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi pada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat;

23 Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta), hal.69.

(18)

2) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden), sehingga sistem ketatanegaraan dominan dikuasai oleh Presiden (executive heavy). Akibatnya, pada Presiden terpusat dua kekuasaan sekaligus, yakni kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan legislasi karena Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang;

3) UUD 1945 terlalu banyak mengandung pasal-pasal yang fleksibel sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran;

4) UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang; dan

5) Rumusan UUD 195 tentang semangat penyelenggara negara, belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan masyarakat, penghormatan HAM, dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Dalam proses perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I MPR membuat kesepakatan tentang batas-batas amandemen konstitusi. Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Keempat, Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.24 Kalau diperhatikan

(19)

secara menyeluruh, materi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 meliputi:25

(1) Mempertegas pembatasan kekuasaan presiden. Sebelum terjadinya perubahan konstitusi, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada lembaga kepresidenan begitu besar (executive heavy). Kekuasaan presiden Indonesia meliputi kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudisial sekaligus. Namun kini kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja, sementara kekuasaan legeslatif dalam membuat UU kini berada di tangan DPR, dan dalam kekuasaan yudisial lembaga kehakiman diberikan jaminan independensi.

(2) Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara, hal ini terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan lembaga negara yang lebih terinci. (3) Menghapus keberadaan lembaga negara tertentu (dalam hal ini DPA), dan membentuk lembaga-lembaga negara yang baru (munculnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral).

(4) Memberikan jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia warga negara yang lebih jelas dan terperinci.

(5) Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang selama ini UUD 1945 lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari dihapusnya klaim politik bahwa MPR adalah “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”, dimasukkannya konsep pemilihan umum dalam mengisi jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD, dan digunakannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat untuk mengisi

(20)

jabatan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan sejumlah design baru format kenegaraan sebagai berikut. Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), sedangkan kewenangan MPR hanya sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja.26 Sebagai konsekuensinya, berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih (direct responsible to the people). Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945, di mana kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, dan kini kedaulatan rakyat tetap di tangan rakyat. Sebagai konsekuensinya adalah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD yang keduanya merupakan anggota MPR, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan demikian, masing-masing lembaga negara sama-sama memiliki legitimasi politik yang kuat, dan masing-masing bertanggung jawab langsung kepada pemegang kedaulatan asli yaitu rakyat. Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh berbagai lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing menurut konstitusi UUD 1945. Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas masing-masing lembaga negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga menghindari terjadinya tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar lembaga negara (separation of power). Presiden memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, DPR dan DPD dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden dan

26 Afan Gaffar, 2002, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan Kelembagaan, , (Jakarta : AIPI), hal. 435

(21)

kabinetnya, dan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang melakukan kontrol yuridis lewat judicial review terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, maupun terhadap kebijakan yang dibuat oleh DPR berupa produk undang-undang. Kondisi ini mengarah kepada terciptanya situasi checks and balances antar lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudisial. Ketiga, wajah parlemen dinilai lebih representatif karena adanya kamar baru yaitu DPD sebagai representasi dari wakil-wakil daerah (provinsi). Keempat, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya pemerintahan karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima tahun, dan hanya dapat diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja berdasarkan UUD, serta melalui mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum oleh Mahkamah Konstitusi.27 Dengan demikian Presiden tidak dapat diusulkan oleh DPR untuk diberhentikan semata-mata karena alasan konflik politik. Demikian pula Presiden dilarang untuk membekukan dan/atau membubarkan DPR.

E. Penutup 1. Simpulan

Dengan melihat sejarah perjalanan konstitusi Indonesia bahwa dinamika politik yang mengiringi setiap pembuatan maupun perubahan konstitusi ternyata tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran politik maupun ideologi yang berkembang di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme Colhoun bahwa konstitusi memang merupakan produk politik yang dihasilkan dari proses tawar-menawar (bargains). Perbedaannya jika Colhoun lebih meyakini konstitusi lahir dari konflik

27 Ramlan Surbakti, 2002, Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik, (Jakarta : AIPI), hal. 485-493

(22)

kepentingan antar kelas. Konflik-konflik kepentingan (konflik politik) juga menjadi faktor penentu sulit tidaknya suatu konstitusi diubah. Semakin tinggi konflik politik yang terjadi semakin sulit pula suatu konstitusi diubah sebagaimana upaya perubahan Pasal 29 UUD 1945. Namun semua proses dan hasil Perubahan UUD 1945 tersebut tetaplah akan kembali kepada rakyat. Rakyatlah yang akan menilanya. Sebagaimana pendapat Kelsen, setiap konstitusi berikut perubahannya akan tetap dinyatakan sah (berlaku) selama rakyat menerimanya terlepas dari faktor-faktor politik (kompromi, bargains, dan lain-lain) yang melatarbelakangi perubahannya.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1908, desa Taratara masih berstatus sebagai tempat kedudukan onderdistrik yang masuk distrik Tombariri, namun jarak distrik Tombariri dengan Onderdistrik

[r]

Apabila ditinjau secara global dari hasil kuesioner yang memberikan skor 1,33 (dengan nilai resiko minimum 0 dan skor resiko maksimum 5) untuk faktor ini, maka

Konsep ini juga dapat dilihat sebagai puncak dari eksperimen Belanda terhadap multikulturalisme plural, yang memberikan ruang sebesar-besarnya bagi kebebasan ekspresi

Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan penentuan rute distribusi es kristal menggunakan jenis kendaraan yang berbeda (heterogen) atau disebut juga Heterogeneous

Penelitian yang dilakukan oleh Supriatna dan Jin (2006), menunjukkan bahwa kepuasan pengguna public computer yang diukur melalui variabel inovasi mempunyai pengaruh positif

Model Pembelajaran Financial Literacy untuk membangun karakter non konsumerisme dan jiwa wirausaha pada sekolah dasar, adalah suatu model pembangunan karakter yang

Inasmuch as the tests themselves are in too primitive a state of development to justify their graphical representation, the ratings in the various traits plotted on the following