• Tidak ada hasil yang ditemukan

The 1 st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7 9 November 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The 1 st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7 9 November 2007"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA OPERASI SEBELUM DAN PASCA PADA INITIAL PUBLIC OFFERINGS DI BURSA EFEK JAKARTA

TATANG A GUMANTI

Universitas Jember

DWI LUSI T SWASTIKA

STIE Malangkucecwara Malang

Abstract

This study examines the operating performance of firm making initial public offerings (IPO) at the Jakarta Stock Exchange. Previous studies, using different approach, found evidence on the tendency that IPO firms experience decreasing performance in the periods after the issue. The approach developed in Jain and Kini (1994) was employed in this study. Using a sample of 19 firms that went public between 1995 and 1996, this study found that on average the firms experience decreasing operating performance. The finding reported here reveals that there is a tendency that in the years prior to IPO date, there seems to be an effort to make reported earnings being managed, indicating earnings management practices which is also asserted by Jain and Kini (1994)

Key words: Initial public offering, operating performance, cash

(2)

1. Pendahuluan

Penilitian ini mencoba menguji perubahan kinerja operasi perusahaan yang baru melakukan penawaran saham perdana (initial public offering =IPO) atau go

public. Pengujian terhadap kinerja operasi perusahaan pasca IPO menarik untuk

dilakukan, karena ada bukti yang konsisten di pasar modal bahwa praktek manajemen laba (earnings management) pada periode sebelum go public adalah umum dilakukan oleh perusahaan. Ada indikasi yang kuat bahwa karena praktek manajemen laba pada periode sebelum IPO, manajemen mengalami kesulitan untuk mempertahankan kinerja laba pasca IPO (Jain dan Kini, 1994). Kenyataan ini tidak mengherankan mengingat bahwa jika suatu perusahaan melakukan praktek manajemen laba, maka perusahaan akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan kinerja labanya di kemudian hari. Beberapa penelitian terdahulu banyak yang menekankan pada aspek kinerja perusahaan pasca IPO tanpa secara spesifik mencoba untuk menguji dan membandingkan kinerja antara sebelum dan sesudah IPO. Misalnya, Ritter (1991) dan Loughran dan Ritter (1991) menguji kinerja investasi setelah IPO dan Lang (1991) menguji efek pengumuman laba setelah IPO terhadap harga saham.

Penelitian yang lain dilakukan oleh Degeorge dan Zeckhauser (1993) yang mencoba menguji kinerja operasi pada perusahaan yang melakukan reverse leverage

buyouts (LBO). Sedangkan McLaughlin et al. (1996) menguji kinerja operasi

perusahaan yang melakukan penawaran lanjutan (seasoned offering). Mikkelson et al. (1997) mencoba menguji keterkaitan kinerja operasi dan tingkat kepemilikan

(ownership) pada perusahaan yang baru go public. Penelitian sejenis yang dilakukan

di Indonesia adalah Payamta dan Machfoedz (1999) yang menguji kinerja perbankan sebelum dan sesudah IPO di Bursa Efek Jakarta.

Penelitian ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Jain dan Kini (1994) dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan karakteristik dari perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia. Dalam penelitian ini kami menemukan bukti bahwa perusahaan yang baru go public di pasar modal Indonesia tidak mampu mempertahankan kinerja operasinya dalam jangka waktu sampai dengan tiga tahun setelah go public. Walaupun secara rata-rata perusahaan mampu meningkatkan

(3)

penjualan dan juga total aset-nya, peningkatan tersebut tidak dapat atau belum sepenuhnya membawa dampak terhadap perbaikan kinerja operasi.

Secara keseluruhan, kami menemukan adanya perbedaan kinerja operasi, khususnya dalam hal kinerja yang terkait dengan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan aliran kas operasi antara sebelum dan sesudah go public. Dalam hal ini, kami menemukan kecenderungan bahwa kinerja operasi mengalami penurunan, khususnya pada tahun kedua setelah perusahaan menjadi milik publik. Hasil temuan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Jain dan Kini (1994) dan juga Mikkelson et al. (1997).

Tulisan ini diatur dengan urut-urutan sebagai berikut. Bagian dua membahas tentang penelitian terdahulu dan penjelasan teoritis. Bagian ini diikuti oleh metodologi penelitian yang didalamnya diungkapkan tentang penentuan sampel dan pengukuran variabel. Bagian empat menyajikan hasil penelitian dan analisis tambahan. Bagian akhir dari tulisan ini berisi simpulan, kelemahan, dan saran untuk penelitian yang akan datang.

2. Review Literatur dan Perumusan Hipotesis

Go public atau menjadi perusahaan publik merupakan salah satu tahap

penting dalam siklus kehidupan perusahaan. Banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa perusahaan memutuskan untuk menjadi perusahaan publik. Di antara alasan-alasan tersebut adalah kemungkinan akses terhadap pihak eskternal semakin besar dan juga perusahaan semakin dikenal oleh banyak pihak. Walaupun demikian, ada konsekuensi langsung yang harus dipertimbangkan oleh manajemen sebelum memutuskan untuk go public. Salah satu pertimbangan dimaksud adalah beban biaya tidak langsung yang semakin meningkat, misalnya biaya penerbitan berita atau laporan keuangan, biaya audit dan lain-lain.

Penawaran saham pernana merupakan salah satu cara efektif bagi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dana sebagai konsekuensi dari semakin besarnya atau berkembangnya perusahaan yang pada gilirannya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan penawaran umum perdana akan terjadi perubahan status perusahaan dari perusahaan tertutup menjadi terbuka dan memberikan konsekuensi tanggung jawab kepada pihak manajemen untuk meningkatkan kinerjanya. Sebagai perusahaan

(4)

publik, perusahaan akan selalu menjadi perhatian masyarakat pemodal karena ada andil yang perlu dipertanggungjawabkan yakni modal yang ditanamkan, sehingga peningkatan kinerja perusahaan setelah menjadi perusahaan publik akan diharapkan oleh banyak pihak.

Pada saat melakukan penawaran perusahaan harus menyediakan prospektus yang di dalamnya dimuat informasi keuangan dan non-keuangan. Informasi keuangan terdiri dari neraca (balance sheet), laporan laba rugi (income statement), laporan arus kas (cash flow statement), dan penjelasan atas laporan keuangan (notes

of financial statement). Sedangkan informasi non keuangan berisi antara lain

informasi mengenai underwriter, auditor, konsultan hukum, nilai penawaran saham, persentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, dan informasi lain yang mendukung (Broude, 1997; Sulistyanto dan Wibisono, 2003). Informasi dalam prospektus tersebut dibutuhkan investor dalam proses pembuatan keputusan di bursa (Kim dan Ritter, 1999). Informasi dalam prospektus tersebut akan memberikan gambaran mengenai kondisi, prospek ekonomi, rencana investasi, serta ramalan laba dan dividen yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan keputusan rasional mengenai resiko dan nilai saham yang ditawarkan perusahaan (Firth dan Liau-Tan, 1998).

Melalui penawaran umum perdana inilah para investor atau pemodal melakukan penilaian terhadap perusahaan yang melaksanakan IPO tersebut. Apabila kinerja perusahaan yang tertuang dalam prospektus baik serta proses penjaminan dari

underwriter juga bagus maka para investor cenderung akan merespon dengan baik

saham yang ditawarkan oleh emiten. Fenomena ini akan terlihat pada harga saham yang dibeli dari perusahaan yang bersangkutan. Pemesanan saham akan melebihi jatah yang akan diterbitkan (dijual), sehingga fenomena underpricing akan ditemui.

Underpricing adalah suatu situasi dimana harga saham perusahaan yang baru go

public, biasanya dalam hitungan hari, secara rata-rata lebih tinggi daripada harga

penawarannya. Tetapi tidak sedikit perusahaan yang melakukan go public direspon biasa atau bahkan direspon negatif oleh para investor, yang berakibat pada penurunan harga saham pasca IPO. Peristiwa penurunan harga saham pasca IPO biasa dikenal dengan istilah overpricing. Disamping itu, kondisi perekonomian

(5)

secara makro dan stabilitas keamanan negara juga menjadi indikator berhasil atau tidaknya proses penawaran umum perdana.

Penilaian terhadap kinerja perusahaan sebelum dan sesudah menjadi perusahaan publik sangat penting. Kinerja perusahaan terutama dalam bentuk laporan keuangan diwajibkan untuk dilaporkan secara periodik sebagai wujud dari fungsi full disclosure dari perusahaan publik. Kriteria penilaian terhadap hasil pelaksanaan operasi perusahaan banyak dan bermacam-macam, tergantung dari sudut mana keberhasilan tersebut ditinjau dan pada aspek apa perusahaan tersebut berorientasi. Dalam perusahaan yang berorientasi pada profit, maka indikator keberhasilan perusahaannya adalah jumlah laba yang diperoleh. Laba dipergunakan sebagai salah satu parameter umum untuk menilai keberhasilan manajemen dalam menjalankan tugasnya. Laba yang besar akan mendorong para pemilik modal untuk menanamkan modalnya pada perusahaan guna memperluas usahanya, dan sebaliknya laba yang rendah akan mendorong pemilik modal untuk menarik modalnya. Kinerja perusahaan dapat diukur dengan menganalisis laporan keuangan (rasio-rasio keuangan), karena analisis rasio merupakan suatu hubungan dua unsur yang secara sistematis dapat mengetahui keadaan perusahaan, serta merupakan dasar untuk menilai dan menganalisis prestasi perusahaan.

Dengan mengetahui hasil penilaian terhadap kinerja perusahaan, maka pengambilan keputusan investasi dapat dilakukan secara lebih baik. Pemerintah juga berkepentingan atas penilaian terhadap kinerja perusahaan sebab mempunyai fungsi yang strategis dalam rangka memajukan dan meningkatkan perekonomian negara. Sedangkan masyarakat bisnis dan pihak-pihak lainnya selalu menginginkan perusahaan-perusahaan di sektor industri sehat dan maju sehingga dapat dicapai efisiensi dana.

Pemahaman yang baik terhadap kinerja perusahaan sebelum akan menjadi rekomendasi utama bagi investor dalam membeli saham. Oleh karena itu, kemampuan perusahaan dalam melaporkan laporan keuangan perusahaannya menjadi hal yang sangat diperlukan agar harga pada saat penawaran umum perdana tidak mengalami underpricing atau overpricing berlebihan. Begitu pula kemampuan penjamin emisi harus diperhatikan oleh emiten atau perusahaan yang akan go public

(6)

agar para investor meyakini akan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba atau keuntungan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Penilaian kinerja perusahaan setelah menjadi perusahaan publik juga penting dilakukan sebab apabila kinerja perusahaan setelah menjadi perusahaan publik kurang baik atau jelek, maka akan berpengaruh pada harga saham yang beredar di pasar sekunder atau bursa efek. Perusahaan publik dituntut untuk selalu meningkatkan kinerjanya secara terus menerus, agar para investor atau pemegang saham aktif dalam memperdagangkan sahamnya di pasar modal, dan pada akhirnya harga dari saham perusahaan yang bersangkutan bisa bersaing secara kompetitif sehingga saham tersebut bisa dikategorikan menjadi saham yang blue chip.

Ada banyak cara untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Salah satu pengukur yang cukup baik adalah dengan menggunakan rasio-rasio kinerja operasi

(operating performance) (Jain dan Kini, 1994). Sebagai wujud dari apa yang dicapai

perusahaan dalam suatu periode waktu tertentu, maka kinerja keuangan harus senantiasa baik. Apabila kinerja perusahaan bagus, maka akan menghasilkan prestasi yang bagus pula, begitu juga sebaliknya.

Untuk mengetahui prestasi yang dicapai oleh perusahaan perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Helfert (1999:68) mengemukakan bahwa dalam mengevaluasi/menilai kinerja perusahaan yang paling berkepentingan adalah pemilik perusahaan dalam hal ini investor, para manajer, kreditor, pemerintah dan masyarakat. Mereka akan menilai perusahaan dengan ukuran keuangan tertentu sesuai dengan tujuannya.

Penilaian kinerja perusahaan dapat diketahui melalui perhitungan rasio keuangan dari semua laporan keuangan yang disajikan perusahaan yang dapat berupa lebih dari 35 jenis rasio. Namun demikian, umumnya ukuran yang lazim dipakai dikategorikan dalam lima kelompok utama, yaitu (a) rasio keuntungan, (b) rasio aktivitas, (c) rasio leverage, (d) rasio liquiditas, dan (e) rasio pertumbuhan. Sebagai bagian dari alat penilaian kinerja perusahaan terutama perusahaan industri manufaktur, operating performance yang pernah dipakai oleh Jain dan Kini (1994) dapat digunakan sebagai alat penilaian kinerja perusahaan, maka dalam menilai kinerja perusahaan manufaktur dengan menggunakan kinerja operasi diupayakan menunjukkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya.

(7)

Rasio-rasio operating performance mencakup rasio operating return on assets, operating cash flow to total asset, sales growth, dan total asset turn over.

Operating performance bila diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Indonesia

berarti kinerja operasi. Kinerja sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya merupakan prestasi dari suatu kegiatan yang nyata. Sedangkan operasi itu sendiri berarti kegiatan usaha dari perusahaan, yang berkaitan dengan penjualan, perputaran asset, perputaran kas ataupun perubahan permodalan. Proses operasi perusahaan juga mencerminkan aktivitas yang dilakukan perusahaan. Dari aktivitas yang dilakukan tersebut akan menghasilkan laba usaha yang bisa digunakan sebagai tambahan modal baik itu asset maupun aktiva lainnya atau untuk pengembangan usaha.

Operating return on assets merupakan rasio yang membandingkan operating

income dengan total asset. Operating return on asset diartikan sebagai hasil

pendapatan operasional dari investasi yang mencerminkan tingkat hasil (rate of

return) dari total investasi perusahaan. Operating income merupakan selisih dari

penjualan bersih terhadap harga pokok penjualan ditambah biaya-biaya sebelum depresiasi atau amortisasi. Rasio ini bermanfaat untuk mengukur efektivitas operasional manajemen perusahaan, karena dengan rasio ini akan bisa dibuat kebijakan operasional perusahaan.

Operating cash flow to total asset merupakan rasio peredaran uang dari

kegiatan operasi (operating cash flow) dengan total asset. Cash flow yaitu masuknya uang ke perusahaan dari hasil penjualan atau penerimaan lainnya dan keluarnya uang dari perusahaan dalam bentuk tunai untuk pemasok barang, pembayaran gaji, dan lain sebagainya. Laporan aliran kas suatu perusahaan mencakup tiga hal, yaitu aliran kas dari aktivitas operasi (operating activities), aliran kas dari aktivitas pendanaan

(financing activities), dan aliran kas dari aktivitas investasi (investing activities).

Aliran kas dari aktivitas operasi mencerminkan kemampuan perusahaan menghasilkan kas dari aktivitas-aktivitas operasinya. Jika dari aktivitas operasi diperoleh nilai kas bersih positif, berarti perusahaan mampu mengoptimalkan penjualan dan menekan biaya operasinya.

Sales growth atau pertumbuhan penjualan merupakan selisih penjualan pada

(8)

matematis tingkat pertumbuhan penjualan adalah sebagai berikut (St – St-1)/ St-1,

dimana St adalah penjualan tahun ke-t, dan St-1 adalah penjualan tahun sebelumnya.

Pertumbuhan penjualan ini akan berakibat pada peningkatan modal kerja. Pertumbuhan penjualan yang baik dan konsisten dari waktu ke waktu mencerminkan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan. Pertumbuhan penjualan yang baik akan menyebabkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba juga baik. Oleh karena itu, rasio pertumbuhan penjualan dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran kemampuan perusahaan dalam mengelola usahanya.

Total asset turn over merupakan rasio penjualan bersih terhadap total assets.

Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan dana yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam suatu periode tertentu atau kemampuan modal yang diinvestasikan untuk menghasilkan revenue (Riyanto, 1998:334). Penurunan penjualan akan mempengaruhi rasio ini. Perputaran total assets yang meningkat menunjukkan pemakaian aset yang efisien, sehingga dapat juga dikatakan bahwa semakin tinggi perputaran aktiva, semakin efisien penggunaan aktiva tersebut (Gitman, 2000).

Sebagaimana disebutkan di muka, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kinerja perusahaan pasca IPO, misalnya Jain dan kini (1994) dan McLaughlin, et.al. (1996), Mikkelson et.al. (1997), Friday et al (2000). Berikut ini disajikan review terhadap penelitian-penelitian dimaksud.

Jain dan Kini (1994) meneliti 682 perusahaan yang melakukan IPO dalam kurun waktu mulai 1976 sampai dengan 1988 di New York Stock Exchange untuk mengetahui apakah perusahaan yang melakukan IPO mengalami penurunan kinerja operasi pada beberapa tahun pasca IPO. Mereka menggunakan 5 (lima) variabel sebagai ukuran dari operating performance, yaitu operating return on assets,

operating cash flow/assets, sales, assets turnover, dan capital expenditure. Hasil

analisis menemukan adanya penurunan kinerja operasi perusahaan (operating

performance) sesudah melakukan IPO. Secara implisit mereka menyatakan bahwa

penurunan kinerja operasi merupakan akibat dari upaya manajemen untuk menampilkan kinejra keuangannya yang baik pada periode-periode sebelum IPO. Implikasi dari penyataan tersebut adalah praktek atau upaya untuk meningkatkan kinerja keuangan dapat diidentikkan dengan praktek manajemen laba. Artinya,

(9)

manajemen perusahaan menggunakan kebijakan-kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba yang dilaporkan sebagai upaya untuk menunjukkan kepada calon investor bahwa perusahaan memiliki kinerja keuangan yang baik.

McLaughlin, et.al. (1996) meneliti kinerja operasi 1.296 perusahaan pasca penawaran saham susulan (right issue atau seasoned equity offerings (SEO) selama tahun 1980 sampai dengan 1991 di Amerika Serikat. Variabel penelitian yang diteliti dan sebagai proxy dari operating performance ada empat macam, yaitu cash flow to

book value of assets ratio dan cash flow to sales ratio. Hasil analisis menunjukkan

bahwa kinerja operasi (the operating performance) menurun secara signifikan pada periode tiga tahun pasca terjadinya seasoned equity issuers dengan tingkat penurunan sebesar 20%. Artinya, manajemen tidak mampu mempertahankan kinerja operasinya pasca SEO. Implikasi dari ditemukannya penurunan kinerja operasi adalah manajemen berusaha untuk menaikkan kinejra perusahaan pada periode-periode sebelum SEO, dalam rangka untuk membuat pemilik saham lama tertarik dalam membeli saham baru yang diterbitkan perusahaan.

Mikkelson et.al. (1997) meneliti hubungan antara tingkat kepemilikan saham dan kinerja operasi pasca penawaran saham perdana (IPO) terhadap 283 perusahaan selama empat tahun (1980-1983). Secara khusus Mikkelson et al. meneliti apakah perubahan kepemilikan saham menyebabkan perubahan kinerja operasi perusahaan pasca IPO. Hasil analisis menunjukkan bahwa median operating income turun sampai 12 sen/dollar dari aset sewaktu perusahaan belum go public, sedangkan selam lima tahun masa perdagangan (public trading) menurun sampai 4 sen/dollar. Hal ini dapat dikatakan bahwa kinerja operasi (operating performance) perusahaan mengalami penurunan sesudah penawaran.

Friday et al. (2000) meneliti kinerja operasi pasca penawaran saham susulan

(seasoned equity offerings (SEO)) pada 200 perusahaan kelompok real estate

investment trusts (REITs) yang melakukan SEO pada periode tahun 1990 sampai

tahun 1996. Rasio aliran kas terhadap nilai buku (cash flow to book ratio), baik yang belum disesuikan dengan industri maupun yang sudah disesuaikan masing-masing perusahaan diuji perubahannya selama tujuh tahun, yaitu tiga tahun sebelum SEO, saat SEO, dan tiga tahun setelah SEO. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa kinerja operasi perusahaan mengalami penurunan pasca SEO.

(10)

Peristiani dan Hong (2004) melakukan penelitian yang melibatkan 9.095 IPO di Amerika Serikat menunjukkan bukti bahwa kinerja profitabilitas perusahaan, yang dalam hal ini adalah rasio pengembalian aset (return on assets), mengalami penurunan pada periode setelah IPO jika dibandingkan dengan periode sebelum IPO. Pembandingan dengan perusahaan yang secara kapasitas relatif sebanding (matched firms) juga menunjukkan bahwa kinerja perusahaan yang melakukan IPO secara umum lebih jelek. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat kemampulabaan rendah cenderung mengalami kegagalan dalam operasinya dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat kemampulabaan yang tinggi.

Secara umum penelitian-penelitian yang mencoba melihat kinerja operasi perusahaan pasca IPO menunjukkan bahwa kinerja perusahaan mengalami penurunan. Jain dan Kini (1994) mengklaim bahwa penurunan tersebut identik dengan terjadinya upaya untuk membuat laporan keuangan menjadi baik pada periode-periode sebelum IPO. Upaya-upaya dimaksud identik dengan praktek manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Teoh et al. (1998a) dan Teoh et al. (1998b) secara tegas menunjukkan bahwa praktek manajemen laba pada perusahaan yang akan go public ditemukan merata. Artinya, secara rata-rata ada upaya untuk menaikkan laba yang dilaporkan pada tahun-tahun menjelang IPO. Aksi tersebut nampaknya dipicu oleh adanya harapan agar dengan kinerja keuangan yang baik saham yang akan ditawarkan ke publik dapat diterima pasar dengan baik pula. Jadi, pemilik perusahaan termotivasi untuk menaikkan laba yang dilaporkan dalam upaya memberikan kesan bahwa perusahaan telah dikelola dengan baik.

Berdasarkan hasil literatur review, secara umum dapat dinyatakan bahwa ada kecenderungan penurunan kinerja operasi dan kemampulabaan pada periode pasca perusahaan melakukan IPO atau SEO. Ketidakmampuan perusahaan mempertahankan kinerja operasi yang dicapai pada periode sebelum IPO atau SEO sangat mungkin disebabkan oleh tindakan atau upaya yeng menyebabkan kemampualabaan meningkat. Jain dan Kini (1994) menduga bahwa praktek manajemen laba pada periode sebelum IPO merupakan salah satu penyebab dari ketidakmampuan perusahaan dalam mempertahankan kinerja operasinya pasca IPO atau SEO.

(11)

Dalam penelitian ini penilaian terhadap kinerja perusahaan menggunakan rasio operating performance seperti yang telah di uraikan sebelumnya, yakni (1)

operating return on assets (2) operating cash flows to total assets (3) sales growth,

dan (4) total assets turnover. Dengan demikian maka ringkasan hipotesis alternatif

(Ha) penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ha : kinerja operasi perusahaan sesudah penawaran umum perdana mengalami penurunan.

3. Metode Penelitian 3.1 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 1995 dan 1996. Sampel penelitian diambil secara purposive sampling,

dimana sampel harus memenuhi kriteria berikut.

1. Perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 1995-1996. Penetapan ini dimaksudkan untuk menghindari efek dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Penetapan tahun 1995 sebagai tahun penelitian dilakukan mengingat peraturan yang mewajibkan perusahaan menyajikan laporan arus kas di dalam laporan keuangannya baru efektif per Januari 1995 sebagaimana diatur dalam Prinsip Standar Akuntansi Keuangan Nomor 2. Walaupun sejumlah perusahaan yang go public tahun 1994 telah menyajikan laporan arus kas di dalam laporan keuangan mereka, tetapi karena belum terstandar-nya format laporan keuangan, maka batasan tahun 1995 perlu dikedepankan.

2. Tersedia laporan keuangan untuk tiga tahun buku sebelum dan dua tahun setelah

go public. Penetapan kriteria ini dilandasi anggapan bahwa jika laporan keuangan

perusahaan tidak lengkap maka data untuk kebutuhan analisis menjadi kurang lengkap.

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian semuanya diperoleh dari laporan keuangan perusahaan. Untuk periode sebelum go public data diperoleh dari prospektus yang diterbitkan perusahaan, sedangkan untuk periode sesudah go public

data diperoleh dari laporan keuangan tahunan perusahaan yang tersedia di Database Jakarta Stock Exchange.

(12)

3.2 Pengukuran Variabel

Variabel utama yang diteliti dalam tulisan ini adalah kinerja operasi. Variabel pertama yang digunakan sebagai proxy pengukuran kinerja operasi adalah pengembalian operasi terhadap aset (operating return on assets). Dalam hal ini,

operating return on assets diukur sebagai nisbah laba operasi terhadap aset total

(Jain dan Kini, 1994). Tingkat pengembalian operasi terhadap aset mencerminkan suatu pengukuran efisiensi dalam penggunaan aset. Hal ini berarti bahwa nisbah tersebut menunjukkan seberapa efisien aset yang ada di perusahaan digunakan dalam menghasilkan laba operasi.

Ukuran kinerja operasi kedua yang digunakan adalah nisbah aliran kas operasi (operating cash flow) terhadap total aset yang dikenal dengan istilah tingkat pengembalian aliran kas operasi (operating cash flow return on total assets) (Jain dan Kini, 1994). Nisbah ini mencerminkan kinerja operasi yang baik karena aliran kas operasi merupakan komponen utama dalam perhitungan nilai sekarang bersih

(net present value) yang digunakan oleh perusahaan. Investor secara langsung atau

tidak langsung lebih banyak menekankan analisisnya terhadap kemampuan perusahaan dalam memperoleh kas bersih dari aktivitas operasi. Hal ini tidak lain sebagai cerminan atas kemampuan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.

Variabel ketiga yang diteliti adalah pertumbuhan penjualan (sales growth) yang diukur sebagai selisih penjualan dau tahun dibagi dengan penjualan tahun awal. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam meningkatkan kinerja operasinya. Artinya, jika rasio pertumbuhan penjualan meningkat, perusahaan secara ekonomis akan mampu meningkatkan pendapatan operasinya.

Variabel keempat yang diteliti adalah tingkat perputaran total aset (total

assets turn over) yang diukur sebagai nisbah penjualan terhadap total aset

perusahaan. Semakin tinggi rasio perputaran total aset berarti semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan aset-aset yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan. Perusahaan dikatakan mengalami peningkatan efisiensi penggunaan asetnya jika rasio perputaran total aset dari waktu ke waktu mengalami peningkatan.

(13)

Pengujian kinerja operasi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil nilai median atas perubahan nilai kinerja operasi periode t terhadap nilai kinerja operasi periode t-1. Sebagaimana disarankan oleh Jain dan kini (1994) dan juga Kaplan (1989), Muscarella dan Vetsuypens (1990), dan Smith (1990), penggunaan nilai median akan lebih representatif karena menghindari potensi kemencengan bilamana nilai rata-rata (mean) yang digunakan.

4. Hasil dan Pembahasan

Tabel 1 menyajikan proses pemilihan sampel perusahaan yang digunakan untuk keperluan analisis. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1, terdapat 36 perusahaan yang melakukan IPO selama dua tahun analisis, yaitu tahun 1995 dan 1996. Dari 36 perusahaan yang melakukan IPO, ada delapan perusahaan yang termasuk ke dalam kelompok keuangan bank), asuransi dan real estate. Kedelapan perusahaan tersebut tidak dimasukkan dalam analisis karena ukuran kinerja operasinya secara teori berbeda dengan perusahaan dalam kelompok industri lainnya. Sebanyak sebelas perusahaan akhirnya harus dikeluarkand ari sampel karena laporan keuangannya tidak lengkap. Akhirnya, terpilih 19 perusahaan yang memenuhi kriteria dan ditetapkan sebagai sampel penelitian.

Tabel 1: Proses Pemilihan Sampel

No Keterangan Jumlah

1 Perusahaan yang go public tahun 1995 dan 1996 36 2 Perusahaan kelompok keuangan (bank), asuransi, real estat 8 3 Perusahaan non keuangan (bank), asuransi, dan real estat 28 4 Perusahaan yang laporan keuangannya tidak lengkap 11 5 Perusahaan yang laporan keuangannya lengkap 19

6 Sampel akhir 19

Catatan:

Jumlah perusahaan yang go public yang disajikan dalam Tabel 1 mungkin berbeda dengan data pada beberapa media. Perbedaan tersebut disebabkan karena dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tanggal go public adalah tanggal dimana perusahaan secara resmi melakukan perdagangan yang pertama kalinya di bursa.

(14)

Tabel 2 menyajikan gambaran umum terhadap sampel yang diteliti, yang dibagi menjadi dua panel. Panel A berisi gambaran tentang sampel penelitian yang didasarkan pada tahun go public dan kelompok (jenis) industri. Sebagaimana ditunjukkan dalam Panel A, jumlah perusahaan IPO yang memenuhi kriteria sebagai sampel tahun 1995 adalah 10 perusahaan sedangkan tahun 1996 sebanyak 9 (sembilan) perusahaan. Rata-rata initial return perusahaan yang go public di tahun 1995 adalah -0,82%, sedangkan perusahaan yang go public tahun 1996 memiliki

initial return sebesar 6,50%. Hal ini mengindikasikan bahwa secara rata-rata,

investor yang berinvestasi pada pasar IPO di tahun 1995 mengalami rugi dimana fenomena ini dikenal sebagai overpricing. Sebaliknya, mereka yang berinvestasi di tahun 1996 mencatatkan keuntungan sebesar 6,50%, atau dikenal dengan sebutan

underpricing.

Ditinjau dari jenis industri yang terpilih sampelnya, nampak bahwa initial

return tertinggi diperoleh dari industri barang-barang konsumsi, yaitu sebesar 8,82%,

sedangkan untuk investasi pada industri perdagangan dan jasa mengindikasikan diperolehnya kerugian akibat diperolehnya initial return sebesar -2,70 %. Perbandingan tinggi rendahnya tingkat initial return menurut sektor industrinya untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat initial return antar sektor industri tidak dapat dilakukan karena komposisi jumlah perusahaan pada masing-masing sektor tidak cukup banyak.

Panel B berisi gambaran tentang karakteristik dari sampel yang diteliti dengan ukuran return awal (initial return), ownership, harga penawaran dan penerimaan kotor. Jika diperhatikan dari keseluruhan sampel perusahaan yang terpilih, rata-rata initial return adalah 2,65%. Bukti ini secara tegas mendukung salah satu anomali di pasar IPO yang menyatakan bahwa secara rata-rata perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing, yaitu harga pasar perusahaan secara rata-rata lebih tinggi daripada harga penawarannya.

Apabila diperhatikan dari tingkat kepemilikan saham atau saham yang ditahan oleh pemilik lama (ownership) yang besarnya rata-ratanya 0,73%, maka hal ini dapat diartikan bahwa hampir seperempat saham yang ada ditawarkan ke publik. Jumlah saham yang ditawarkan ke publik yang terendah adalah 6,6% dan yang tertinggi adalah 90%.

(15)

Harga penawaran saham bergerak dari yang terendah sebesar Rp 725,- sampai yang tertinggi sebesar Rp 3.200,-. Rata-rata harga penawaran saham perusahaan yang diteliti adalah Rp 1.838. Rata-rata penerimaan kotor dari hasil IPO adalah Rp 79.863 juta dengan penerimaan terendah adalah sebesar Rp 17.875 juta dan tertinggi sebesar Rp 2.250.00 juta.

Tabel 2. Ringkasan Deskriptif Statistik Sampel Penelitian (n=19) Panel A: Jumlah Sampel Penelitian dan Kelompok Industri

Tahun Jumlah Initial Return (%)

1995 1996 1995-1996 10 9 19 -0,82 6,50 2,65

Jenis Industri Jumlah Initial Return (%)

Pertanian

Industri kimia dasar

Industri barang-barang konsumsi Industri lain-lain

Perdagangan dan jasa

1 4 1 7 6 5,26 1,06 8,82 7,84 -2,70

Panel B: Karakteristik Sampel Penelitian

Ukuran Deskriptif Rata-rata Median Standar

Deviasi Minimum Maksimum

Return awal (%) Ownership (%)a

Harga Penawaran (Rp)b Penerimaan kotor(Rp juta) c

2,651 0,727 1.838 79.863 3,906 0,706 1.950 67.200 9,448 0,066 871 58.967 -25,641 0,616 725 17.875 16,981 0,900 3.200 2.250.000 Keterangan a

Ownership merupakan porsi atau bagian saham yang ditahan oleh pemilik lama

dan dinyatakan dalam persen.

b

Merupakan besarnya penawaran yang dihitung dari hasil kali antara jumlah saham yang ditawarkan dan harga jual dan dinyatakan dalam rupiah.

c

Merupakan nilai penjualan dan total aset satu tahun sebelum go public yang diperoleh dari laporan keuangan lengkap satu tahun dan dinyatakan dalam jutaan rupiah.

(16)

Tabel 3 menyajikan selisih nilai median dan rata-rata yang dinyatakan dalam persentase dan terbagi dalam empat panel sesuai dengan variabel yang diteliti. Uji median dilakukan karena pola distribusi data yang tidak normal. Namun demikian, untuk kelengkapan analisis uji beda rata-rata juga disajikan. Panel A menggambarkan operating return on assets dengan selisih median yang menurun tajam pada tahun pertama setelah IPO, yaitu dari 1,4% menjadi -1,9%, yang signifikan pada tingkat 10%, untuk kemudian meningkat pada tahun kedua menjadi -1,1% dan ketiga menjadi 2,0%. Jika dibandingkan nilai tahun dasar (bechmark), maka pergerakan dari tahun bechmark ke tahun ke 2 setelah IPO yang secara relatif menurun adalah signifikan pada tingkat 5%. Peningkatan nilai median dari tahun dasar ke tahun ketiga setelah IPO secara statistik tidak signifikan. Tidak ditemukannya indikasi penurunan kinerja operasi pasca IPO yang signifikan dari tahun ke tahun menyebabkan penelitian ini tidak dapat menerima hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa kinerja operasi perusahaan sesudah penawaran umum perdana mengalami penurunan.

Pola pergerakan pada nilai median ini diikuti oleh selisih rata-ratanya. Hasil ini konsisten dengan penelitian Jain dan Kini (1994) yang menyimpulkan terjadinya penurunan operating return on assets pasca IPO di tahun pertama, untuk kemudian mengalami peningkatan pada tahun berikutnya tetapi secara rata-rata ada kecenderungan untuk terjadinya peningkatan yang menurun nilai besarannya. Pola seperti ini mengindikasikan bahwa di periode awal IPO, manajemen tidak dapat menghasilkan operating return yang tinggi, namun setelah berjalannya waktu, penyesuaian mulai dilakukan untuk menghasilkan operating return yang semakin meningkat terhadap asset-nya.

Panel B menggambarkan pergerakan nilai operating cash flow on assets. Data yang ada menunjukkan selisih median yang meningkat setelah IPO, dimana median perubahan operating cash flow on assets tahun dasar ke tahun ke-nol adalah -2,1% meningkat menjadi 0,7% di tahun pertama pasca IPO. Namun demikian, median

operating cash flow on assets menurun di tahun kedua menjadi -2,0%, lalu

meningkat lagi di tahun ketiga menjadi 0,6%. Perubahan nilai median operating cash

flow on assets tahun dasar (bechmark) ke tahun ketiga pasca IPO signifikan pada

(17)

pola yang sama pada selisih rata-ratanya. Dari bukti empiris tadi nampak bahwa pergerakan median operating cash flow on assets dari waktu ke waktu tidak dapat diprediksi dengan baik, mengingat terjadi pergerakan yang bervariasi atau naik turun. Namun demikian, secara umum, penelitian ini tidak mampu untuk menerima hipotesis bahwa terjadi penurunan kinerja operasi pasca IPO di Bursa Efek Jakarta.

Tabel 3. Kinerja Operasi Perusahaan yang Melakukan IPO (n=19)

Tahun Relatif Terhadap Pelaksanaan IPO Ukuran Kinerja

Dari -1 ke 0 Dari -1 ke +1 Dari -1 ke +2 Dari -1 ke +3 Panel A: Operating Return on Assets

Selisih Median (%) Selisih Rata-rata (%) 1,4c 2,5 -1,9 -2,1 -1,1b -1,9 2,0 5,9

Panel B: Operating Cash Flow on Assets

Selisih Median Selisih Rata-rata -2,1 -6,7 0,7 8,5 -2,0 -4,6 0,6c 3,9

Panel C: Growth of Sales

Selisih Median Selisih Rata-rata -2,29a 10,31c 36,06a 64,37b 56,41a 145,10b 114,41a 269,86b

Panel D: Asset Turnover

Selisih Median Selisih Rata-rata 48,9a 57,7 36,8 44,0 58,7 74,2 52,1 57,3 Keterangan: a

signifkan pada tingkat 1%, b singifikan pada tingkat 5%, c signifikan pada tingkat 10%.

Tahun 0 adalah tahun dimana perusahaan melakukan IPO.

Operating return on assets diukur dengan cara membagi keuntungan operasi

(operating profit) dengan total assets. Operating cash flow on assets diukur dengan

cara membagi aliran kas dari aktivitas operasi (operating flows) dengan total assets.

Growth of sales merupakan pertumbuhan penjualan yang diukur menurut periode

waktu tahunan. Asset turnover diukur dengan cara membagi penjualan dengan total

(18)

Panel C menggambarkan pertumbuhan penjualan yang semakin tinggi setelah IPO, baik dari tahun dasar ke tahun ke-nol maupun sampai tahun ketiga. Tampak bahwa selisih median signifikan pada tingkat 1%. Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan yang melakukan IPO selama periode penelitian terus mencatatkan penjualan yang naik dari waktu ke waktu. Hal ini juga berarti bahwa secara ekonomis, menjadi perusahaan publik telah mampu ningkatkan kemampuan perusahaan dalam menjual barangnya. Namun demikian, peningkatan penjualan yang terjadi pasca IPO nampaknya belum mampu untuk mendongkrak laba operasi atau aliran kas dari aktivitas operasinya. Kondisi ini dapat diartikan bahwa perusahaan secara rata-rata masih belum mampu menstabilkan aliran kas sebagai bentuk dari terlalu tingginya peningkatan penjualan yang tidak diimbangi oleh kemampuan mengelola usahanya.

Panel D Tabel 3 menggambarkan perputaran aset perusahaan yang menunjukkan belum efisiennya penggunaan aset dalam menghasilkan penjualan. Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa setelah IPO di tahun pertama diperoleh selisih rata-rata median yang menurun (dari 48,9% menjadi 36,8%), tetapi kemudian mengalami peningkatan di tahun kedua (58,7%) untuk selanjutnya menurun lagi ditahun ketiga (52,1%). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa perusahaan secara rata-rata belum mampu mengoptimalkan penggunaan aset dalam bentuk peningkatan penjualan.

Atas hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja operasi perusahaan yang melakukan IPO cenderung menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu. Namun demikian, tidak ditemukannya tingkat perbedaan yang signifikan pada semua variabel yang diteliti, kecuali variabel pertumbuhan penjualan (sales growth), maka penelitian ini tidak mampu menerima hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa kinerja operasi perusahaan sesudah penawaran umum perdana mengalami penurunan

Memperhatikan temuan sebagaimana ditunjukkan, beberapa hal nampaknya perlu untuk dikaji ulang atau diperhatikan. Pertama, pihak manajemen ingin menunjukkan kepada investor bahwa dengan melakukan IPO, perusahaan memiliki dana untuk terus berupaya melakukan ekspansi, sehingga penjualan meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan penjualan yang meningkat dari tahun ke tahun.

(19)

Namun demikian, peningkatan penjualan yang diperoleh ternyata masih belum mampu untuk mengangkat kinerja operasi lainnya. Rasio operating return on assets

dan rasio operating cash flow on assets cenderung menurun dari waktu ke waktu walaupun ada tahun dimana telah terjadi peningkatan.

Kedua, peningkatan penjualan yang dicatatkan oleh perusahaan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan operating return dapat diartikan bahwa ada sumber-sumber yang bocor atau tidak efisien. Kemungkinan adanya kebocoran atau ketidakefisienan penggunaan sumber-sumber yang ada di perusahaan mau tidak mau telah membuat kinerja operasi perusahaan tidak seperti yang diharapkan. Bukti empiris ini secara jelas mendukung temuan yang penelitian di Amerika Serikat, seperti yang dilaporkan oleh Jain dan Kini (1994), Mikkelson et al. (1997), dan Peristiani dan Hong (2004) pada kasus penawaran saham pedana (IPO) atau McLaughlin et al. (1996) dan Friday et al. (2000) pada kasus penawaran saham susulan (SEO).

Ketiga, kinerja operasi yang menurun kemudian naik, artinya berfluktuasi, pasca IPO mengindikasikan adanya ketidakmampuan manajemen dalam menjaga kinerja operasi perusahaan. Ditemukannya kecenderungan penurunan kinerja operasi pasca IPO dapat dikaitkan dengan adanya upaya untuk membuat kinerja keuangan sebelum IPO meningkat. Inidikasi bahwa manajemen perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba (earnings management) pada periode sebelum IPO bisa jadi merupakan salah satu penyebab yang membuat kinerja pasca IPO cenderung menurun. Artinya, jika perusahaan mencoba untuk meningkatkan kinerja operasi sebelum IPO dengan melakukan manajemen laba, maka dampak dari manajemen laba akan dirasakan pada periode pasca IPO. Penlitian dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di pasar Amerika menunjukkan bahwa praktek manajemen laba adalah hal yang biasa ditemukan. Penelitian-penelitian yang ada, misalnya Aharony et al. (1993), Friedlan (1994), dan Teoh, Welch, dan Wong (1998), dan Teoh, Wong, dan Rao (1998), secara empiris menemukan praktek manajemen laba di periode sebelum IPO. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Gumanti (2003) tidak menemukan praktek manajemen pada kasus IPO tetapi penelitian yang lain, yaitu Gumanti (2001) justru menemukan bukti yang kuat bahwa pada periode dua tahun sebelum go public, manajemen melakukan manajemen laba.

(20)

5. Simpulan, Kelemahan, dan Saran

Ditemukannya bukti penurunan kinerja operasi tetapi di sisi lain penjualan yang ada justru mengalami kenaikan tidak serta merta dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan kinerja perusahaan buruk. Penafsiran atas temuan ini harus hati hati. Ada kemungkinan bahwa perusahaan yang baru go public tersebut berusaha untuk menunjukkan kepada investor upaya-upaya untuk terus melakukan investasi atau ekspansi, sehingga penjualan yang meningkat tidak serta merta menyebabkan kinerja operasinya membaik. Kemungkinan lain adalah perusahaan yang diteliti tidak dapat terbebas dari efek resesi ekonomi di Indonesia yang mulai terasa akibatnya di tahun 1998. Tidak dapat dipungkiri bahwa resesi ekonomi telah membuat banyak perusahaan publik mengalami penurunan kinerja.

Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan bukti adanya kecenderungan penurunan kinejra operasi pasca IPO. Namun demikian, karena tidak semua dari penurunan tersebut secara statistik signifikan, maka penelitian ini tidak dapat menerima hipotesis yang menyatakan bahwa kinerja operasi perusahaan sesudah penawaran umum perdana mengalami penurunan.

Sejumlah kelemahan dapat kiranya disampaikan terkait dengan tidak ditemukannya bukti yang kuat bahwa kinerja oeprasipasca IPO mengalami peurunan. Pertama, kecilnya jumlah sampel dalam penelitian ini, yaitu 19 perusahaan, bisa jadi merupakan salah satu penyebab dari tidak ditemukannya penurunan kinerja operasi yang signifikan. Kedua, rentang waktu penelitian yang relatif pendek juga dapat menjadi salah satu penyebab tidak ditemukannya perbedaan yang signifikan. Ketiga, tidak terbebasnya sampel penelitian dari efek krisis ekonomi juga merupakan kelemahan lain dalam penelitian ini.

Mengacu dari beberapa kelemahan tadi, saran yang dapat diajukan untuk penelitian mendatang antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, belum mampunya sampel penelitian untuk mewakili emiten di Bursa Efek Jakarta, memungkinkan penelitian yang akan untuk memperbanyak jumlah sampel, baik dalam hal jumlah sektor industri maupun rentang waktu penelitian. Kedua, penelitian yang akan datang dapat juga dilakukan dengan membandingkan kinerja operasi antar industri atau dengan menggunakan variabel-variabel ukuran kinerja operasi lainnya, misalnya variabel-variabel yang murni berbasis aliran kas (cash flow). Namun demikian, untuk

(21)

penelitian yang murni berbasis aliran kas, penelitian akan lebih mudah dilakukan jika periode waktunya adalah sesudah tahun 1994, karena laporan arus kas belum diwajibkan sebelum Januari 1995. Ketiga, penelitian yang akan datang sebaiknya tidak saja menguji kinerja operasi pasca IPO tetapi juga meneliti ada tidaknya praktek manajemen laba baik pada periode sebelum maupun sesudah IPO agar dapat diketahui apakah penurunan kinerja operasi pasca IPO disebabkan oleh praktek manajemen laba atau bukan. Keempat, penelitian yang akan datang dapat juga menguji hubungan antara kinerja operasi dan tingkat kepemilikan saham, sebagaimana dilakukan oleh Mikkelson et al. (1996).

(22)

Daftar Pustaka

Broude, P. D., 1997, "Going Public", Journal of Management Consulting, 9(3), Mei.

Firth, M., dan C. K. Liau-Tan, 1998, "Auditor Quality, Signaling, and The Valuation of Initial Public Offerings", Journal of Business Finance and Accounting, 25(1): 145-165.

Friday, H.S., S.D. Howton., dan S.W. Howton., 2000, “Anomalous Evidence on Operating Performance Following Seasoned Equity Offerings: The Case of REITs”, Financial Management, Summer: 76-87.

Gitman, L. J., 2000, Principles of Managerial Finance, International Edition, Ninth Edition, Addison Wesley Publishing Company.

Gumanti, T.A., 2001. “Earnings Management Dalam Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 4(2): 165-183.

Gumanti, T.A., 2003, “An Investigation of Earnings Management in Indonesian Manufacturing Initial Public Offerings”, Gadjah Mada International

Business Journal, 5(3): 345-362.

Jain, B.A., dan O. Kini., 1994, “The Post-Issue Operating Performance of IPO Firms”, Journal of Finance, 49(5): 1699-1726.

Kaplan, S., 1989, “The Effect of Management Buyouts on Operating Performance and Value”, Journal of Financial Economics, 24: 217-254.

Kim, M., dan J. R. Ritter., 1999, “Valuing IPO”, Journal of Financial Economics, 53(3): 409-437.

Leland, H.E., dan D. Pyle., 1977, “Information Asymmetries, Financial Structure, and Financial Intermediation”, Journal of Finance, 32(2): 371-387.

McLaughlin, R., A. Safieddine, dan G. K. Vasudevan., 1996, “The Operating Performance of Seasoned Equity Issuers: Free Cash Flow and Post-Issue Performance”, Journal of Financial Management, 25(4): 41-53.

(23)

Mikkelson, W. H., M. M. Partch, dan K. Shah., 1997, “Ownership and Operating Performance of Companies that Go public”, Journal of Finance, 44(3): 281-307.

Muscarella, C.J., dan M.R.Vetsupens., 1990, “Efficiency and Organizational Structure: A Study of Reverse LBOs”, Journal of Finance, 45 (4): 1389-1413.

Payamta dan M. Machfoedz, 1999, “Evaluasi Kinerja Perbankan Sebelum dan Sesudah Menjadi Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta”, Kelola 20(8): 54-69.

Peristiani, S., dan G. Hong., 2004, “Pre-IPO Financial Performance and Aftermarket Survival”, Current Issues and Economics and Finance, 10(2): 1-7.

Ritter, J.R., 1991, “The Long Run Performance of Initial Public Offerings”, Journal

of Finance, 46(1), 3-27.

Riyanto, B., 1998, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi Kelima, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta.

Smith, A., 1990, “Corporate Ownership Structure And Performance: The Case Of Management Buyouts”, Journal of Financial Economics, 27: 143-164.

Sulistyanto, S., dan H. Wibisono, 2003, “Rekayasa Keuangan: Refleksi Sikap Oportunis Manajer?”, Seri Kajian Ilmiah, 12(1): Januari.

Teoh, S.H., I. Welch, dan J. Wong, 1998a, "Earnings management and the Long-term Market Performance of Initial Public Offerings”, Journal of Finance, 53(6): 1935-1974.

Teoh, S. H, T.J. Wong, dan G.R. Rao, 1998b, Are Accruals During Initial Public Offering Opportunististic?", Review of Accounting Studies, 3: 175-208.

Gambar

Tabel 1 menyajikan proses pemilihan sampel perusahaan yang digunakan  untuk keperluan analisis

Referensi

Dokumen terkait

Fractures with absolute indica- tions for operative treatment occur only sporadically and these indications are relatively clear, but children often undergo surgery because of

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis non yang menyatakan “tidak terdapat pengaruh bersama-sama antara modal, tenaga kerja serta promosi secara

fakta bahwa, dalam ilmu-ilmu sosial, seseorang berhadapan dengan 'obyek penelitian' yang menafsirkan sendiri dunia sosial yang kita, sebagai ilmuwan, juga ingin

Sedangkan konsentrasi PO4, NO3, NO3, NH3, Fe, Cl, SO4, H2S, Fenol dan Total Koliform pada AL1 lebih tinggi dari AL2 disebabkan karena telah mengalami proses dekompisisi

Hal ini karena penggunaan COBIT dalam sebuah organisasi memiliki peran antara lain: (1) Penciptaan nilai melalui penggunaan IT yang efektif dan inovatif dalam

Berdasarkan kepada Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, bahwa setiap perguruan tinggi wajib memenuhi Standar Pendidikan

Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa EEDR 800 mg/kgBB terbukti memiliki efek sebagai antidiare pada mencit jantan galur Balb/C yang diinduksi oleh

Dalam kecenderungan untuk menurun, tubuh hitam besar diikuti oleh Dalam kecenderungan untuk menurun, tubuh hitam besar diikuti oleh badan putih dengan harga pembukaan lebih rendah