• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pada awal abad ke-20 memberikan dampak besar bagi museum-museum di Eropa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pada awal abad ke-20 memberikan dampak besar bagi museum-museum di Eropa."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Revolusi Rusia, Perang Dunia ke-2 dan kemunduran ekonomi yang terjadi pada awal abad ke-20 memberikan dampak besar bagi museum-museum di Eropa. Selama perang berlangsung, banyak bangunan cagar budaya yang rusak serta koleksi- koleksi museum terpaksa dipindahkan dari tempat aslinya untuk diselamatkan. Hal tersebut memunculkan kesadaran bangsa Eropa terhadap pentingnya cagar budaya beserta memori dan identitas diri bangsa yang terkandung di dalamnya (Rihter, 2011:7). Perang yang terjadi tidak hanya berdampak secara fisik bagi cagar budaya namun juga berdampak secara sosial. Dampak tersebut berakibat kepada perubahan peran museum bagi publik. Museum yang sebelumnya digunakan sebagai sarana untuk memamerkan kemakmuran kini museum lebih berperan sebagai sarana edukasi, media komunikasi, dan sebagai sarana menghabiskan waktu luang (Lewis, Encyclopaedia Britannica 2014). Perubahan paradigma dalam museum mendorong munculnya konsep-konsep baru dalam dunia permuseuman.

Pada tahun 1971 muncul konsep Ecomuseum yang dipelopori oleh Hugues de Varine. Ecomuseum adalah terobosan baru bagi dunia permuseuman yang menekankan peran komunitas dalam melindungi, mengintepretasi dan mengatur tinggalan budayanya sendiri. Perkembangan selanjutnya yaitu muncul museum-museum komunitas di berbagai negara di Eropa. Semenjak akhir abad ke 20, konsep tentang gerakan new-museology semakin meluas. Inti dari gerakan ini yaitu

(2)

2 museum kini berpusat pada manusianya, berorientasi pada tindakan, mengabdi pada perubahan dan pengembangan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya demokrastisasi dalam museum dan prakteknya, menekankan pentingnya partisipasi komunitas dalam segala aspek pengoperasian museum (Kerp, 2008:28). Salah satu bentuk pengabdian museum kepada masyarakat adalah menjadi sarana pembelajaran.

Pembelajaran dalam museum bukan merupakan hal yang baru. Semenjak museum muncul dalam bentuk ‘cabinet of curiosity’ pada abad ke-16 museum menyediakan informasi melalui koleksi-koleksinya. Kemudian pada awal pertengahan abad ke-19 museum mulai dikenal sebagai institusi pendidikan (Hooper-Greenhill 1992:2). Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan paradigma dalam museologi, pembelajaran yang didapat oleh pengunjung tidak hanya terbatas dari koleksi museum namun lebih kepada pengalaman yang pengunjung rasakan.

Perkembangan permuseuman dunia menjadi tonggak penting perkembangan museum-museum di Indonesia melalui keterkaitan sejarah munculnya kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia. Kolonisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa turut berperan dalam munculnya museum di berbagai belahan dunia, termasuk salah satunya museum di Indonesia. Terdapat anggapan bahwa museum di Indonesia dipelopori pertama kali oleh seorang pegawai VOC bernama G. E. Rumpf atau dikenal dengan nama Rumphius. Ia adalah tokoh pertama yang menulis tentang berbagai koleksi flora, fauna dan mineral dari kawasan Ambon dan sekitarnya. Pada tahun 1705 (tiga tahun setelah kematian Rumphius) terbit buku

(3)

3 berjudul De Amboinsch RariteitKamer berisi tentang jenis-jenis kerang dan siput dari perairan Maluku serta mineral dari kepulauan Nusantara. Buku karya Rumphius lainnya berjudul Het Amboinsch Kruidboek berisi tentang jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di Ambon dan pulau sekitarnya. Jilid pertama dari buku tersebut diterbitkan pada tahun 1741 (Rijoly, 2003:69-71). Kemudian pada tahun 1778 berdiri lembaga Bataviaasch Genootschap Van Kusten en Wetenschappen yang melopori penelitian di bidang seni dan sains. Lembaga ini bertugas untuk mengurusi pembukuan, perlindungan koleksi berupa keramik, koleksi kepurbakalaan, etnografis, naskah- naskah kuno, numismatik, termasuk juga perpustakaan. Pada tahun 1862 dirintislah berdirinya gedung museum yang diberi nama Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Museum ini kemudian menginspirasi munculnya museum-museum di berbagai wilayah nusantara (Munandar dkk., 2011).

Museum di Indonesia pasca kemerdekaan belum berkembang secara signifikan. Museum- museum di Indonesia masih menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mempreservasi benda-benda peninggalan masa lampau dan belum menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Museum di Indonesia mencerminkan museum peninggalan masa kolonial, yaitu tempat yang digunakan untuk mengumpulkan barang-barang kebudayaan, barang kuno dan ilmu pengetahuan dari wilayah lokal dan/atau nasional. Pada dasarnya museum memiliki fungsi yang penting bagi masyarakat seperti yang tertuang dalam definisi museum secara internasional

“A museum is a non-profit, permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which acquires,

(4)

4

conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purposes of education, study and enjoyment.” (ICOM Statutes art.3 para.1, 2006)

Museum di Indonesia dituntut berperan lebih bagi masyarakat terutama dalam perannya sebagai media pembelajaran. Museum sebagai sarana pembelajaran di Indonesia bukanlah hal yang asing. Museum dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non-formal. Beberapa sekolah memiliki program khusus yang mengatur kegiatan kunjungan ke museum. Namun disayangkan bahwa museum di Indonesia masih mengarahkan pengunjung tentang apa yang mereka harus pelajari, secara sistematis, melalui informasi baik dalam teks poster maupun caption. Berdasarkan museum dengan paradigma yang baru, museum tidak lagi hanya sebagai institusi yang memiliki misi untuk memberi pendidikan pada pengunjung dengan menganggap bahwa pengunjung belum berpendidikan, museum lebih berfokus kepada pengunjung sebagai pelajar yang aktif (Mensch, 2011:36). Pembelajaran dalam museum dapat diartikan sebagai proses masuknya informasi kepada pengunjung melalui pengalaman yang dirasakan dan interaksi pengunjung dengan lingkungan yang diciptakan oleh museum (Hein, 1998:6). Berbeda dengan buku, museum menggunakan benda koleksi untuk menjelaskan peristiwa yang diceritakan, sehingga penting bagi perancang museum untuk memilih objek yang tepat agar pesan tersampaikan. Dalam museum, pengunjung bebas memaknai arti dan membangun narasi berdasarkan pengalaman dan minat (Kelly 2011 dalam Mensch 2011:36). Itu sebabnya penting untuk merancang museum yang dapat memberikan informasi kepada pengunjung, dan mengajak

(5)

5 pengunjung agar aktif dalam proses belajar melalui pemilihan objek koleksi, rancangan desain maupun program-program dalam museum.

The purpose of a museum exibition is to transform some aspect of the visitor interest attitude, or values, affectively due to the visitor’s discovery of some level of meaning in the objects on display: a discovery that is stimulate and sustained by the visitor’s confidence the percerved authenticity of those object (Lord dan Lord, 2001)

Museum dapat menjadi salah satu tempat tujuan mempelajari masa lalu. Menurut Nugroho Notosusanto (1979: 35) dalam Luwistiana (2009:19), mempelajari sejarah masa lalu dapat memberikan empat manfaat yaitu manfaat rekreasi, inspirasi, instruksi dan edukasi. Manfaat rekreasi yaitu ketika sejarah disajikan dalam bentuk susuan yang mengalir dan indah, sehingga dapat memberikan pengalaman menyenangkan. Manfaat inspirasi yaitu mempelajari sejarah memberikan inspirasi dari semangat, perjuangan dan segala pengalaman dari masa lalu yang bertujuan untuk mewujudkan identitas diri, bangsa dan kebanggaan kolektif terhadap kelompok. Manfaat instruksi yaitu sejarah memberikan panduan dalam penyampaian pengetahuan seperti teknologi, jurnalistik, dan navigasi yang memiliki dampak besar terhadap peradaban dunia. Manfaat edukasi yaitu dengan mempelajari sejarah, maka seseorang akan mampu mengetahui jati dirinya dan dapat mengetahui proses perubahan jaman dan mengantisipasi masa depan. Dengan mempelajari masa lalu dalam museum, manusia dapat mengerti nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupan saat ini dan generasi yang lebih muda. Nilai-nilai penting itulah yang dimaksudkan oleh museum dapat tersampaikan kepada pengunjung dan dapat menjadi bahan pembelajaran. Nilai-nilai penting dari masa lalu bangsa Indonesia terkandung

(6)

6 dalam kebudayaan leluhur Bangsa Indonesia. Kolonisasi kepulauan di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Salah satu bangsa yang merupakan leluhur Bangsa Indonesia adalah komunitas penutur Austronesia.

Komunitas penutur Austronesia merujuk pada komunitas yang menuturkan bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Komunitas penutur bahasa Austronesia memiliki jumlah bahasa yang diperkirakan mencapai sekitar 1.200 bahasa. Bahasa Austronesia merupakan rumpun bahasa yang anggotanya terbesar di dunia sebelum masa kolonial (Bellwood, 2000:142). Bahasa Austronesia hingga saat ini masih digunakan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Madagaskar, Taiwan (yang diperkirakan sebagai asal komunitas penutur Austronesia), di bagian selatan Vietnam dan Kamboja, lepas pantai Burma, dan Pulau Hainan di Cina selatan hingga mencapai daerah timur yaitu Kepulauan Fiji dan kawasan Oceania (Bellwood 1976a:153; Bellwood, Fox, Tryon 1995:1 dalam Bellwood, 2006:1). Berdasarkan hasil penelitian Arkeologi di kawasan Indonesia, komunitas penutur Austronesia yang hidup berlayar antar pulau dan tiba di Sulawesi pada sekitar 3600 BP berdasarkan pertanggalan yang diperoleh dari penelitian terakhir di Situs Leang Tuwo Manee Talaud (Tanudirjo, 2014 keterangan lisan).

Komunitas penutur Austronesia terkenal dengan teknologi pelayaran yang maju di masanya. Data mengungkapkan bahwa teknologi perakitan sampan bercadik komunitas penutur Austronesia menjadi prinsip bertahan hidup dan kolonialisasi mereka (Horridge, 2006:143). Selain dalam hal pelayaran, leluhur bangsa Indonesia telah mengenal domestikasi hewan, pertanian, perikanan dan

(7)

7 gerabah (Zorc, 199 dalam Bellwood, 2000). Penutur Austronesia masih dapat dijumpai hingga sekarang, berkembang dan beradaptasi sesuai dengan kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang kemudian memunculkan identitas keunikan lokal di setiap daerah dari segi bahasa, kebudayaan dan teknologi (Simanjuntak, 2008:242-243).

Dalam era globalisasi ini, nilai-nilai luhur kebudayaan lokal dapat memberi pandangan yang berbeda terhadap hubungan antar sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam. Namun disayangkan, identitas kebudayaan lokal bangsa Indonesia terancam oleh pengaruh kebudayaan dari timur dan barat. Pelestarian menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan oleh generasi sekarang dan diteruskan pada generasi yang lebih muda. Oleh sebab itu sangat diperlukan konsep perancangan Museum Austronesia sebagai media pembelajaran dan pelestarian nilai-nilai luhur budaya Bangsa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut:

Seperti apakah rancangan Museum Austronesia dengan paradigma baru (new-museology) yang mengutamakan fungsi museum sebagai media pembelajaran?

C. Tujuan Penelitian

1. Terbentuknya konsep Museum Austronesia yang menjadi media pembelajaran bagi masyarakat terhadap nilai-nilai luhur masa lalu.

(8)

8 2. Terciptanya model perancangan pameran dan program yang dapat menciptakan pengalaman pengunjung sebagai sarana pendukung pembelajaran dalam museum.

D. Manfaat Penelitian

1. Rancangan museum ini diharapkan mampu memperlihatkan potensi peninggalan masa lampau yang dimiliki Indonesia yang berhubungan dengan kebudayaan komunitas penutur Austronesia, dan pentingnya hal tersebut untuk dikomunikasikan dan diajarkan kepada masyarakat luas, serta berperan dalam memperkuat identitas bangsa.

2. Karya tulis ini diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi berbagai pihak dalam proses perancangan museum dari konsep, pengembangan ide, hingga desain.

E. Keaslian Penelitian

Artikel mengenai museum pada era pascamodern dibahas oleh Noerhadi Magetsari yang menulis tentang perubahan paradigma museum tradisional yang berpusat pada koleksi dan berubah menjadi museum pasca modern yang berpusat pada manusianya (Magetsari, 2011). Konsep perancangan museum pernah ditulis sebagai tesis oleh Sarjiyanto tahun 2010 dengan judul ‘Pembentukan Museum Arkeologi Indonesia’. Karya tulis tersebut menjelaskan tentang pembentukan museum yang memanfaatkan hasil penelitian-penelitian arkeologi, dan juga model-model kegiatan dalam museum sebagai media komunikasi dengan masyarakat secara timbal balik (Sarjiyanto, 2010). Bentuk peracangan tata pamer museum pascamodern pernah ditulis oleh Dewi Yulianti sebagai tesis dengan judul

(9)

9 ‘Museum Olahraga Nasional Sebagai Museum Pasca Modern’. Karya tulis ini menghasilkan rekomendasi untuk mengubah tata pamer museum nasional olahraga agar lebih komunikatif dan interaktif sebagaimana museum pada pasca modern (Yulianti, 2011). Tulisan-tulisan tersebut membahas tentang museum pada era pasca modern dengan memaparkan konsep museum dengan paradigma baru dan memberikan rekomendasi bagi museum.

Perancangan museum mulai dari konsep awal hingga desain sangat menarik untuk dibahas. Sejauh ini belum ada karya tulis yang mengangkat tema konsep perancangan Museum Austronesia di Indonesia, apalagi dengan paradigma baru. Museum Austronesia dengan paradigma baru dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat tentang kejayaan leluhur bangsa Indonesia masa lalu sebagai bangsa yang besar. Pendekatan yang digunakan dalam Museum Austronesia adalah konstruktivis yaitu pengunjung bebas untuk membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pada pengalaman yang dialaminya selama di museum. Dengan demikian Museum Austronesia, diharapkan menjadi penyedia sarana dan pembangun situasi dalam proses pembelajaran pengunjung terhadap kebudayaan Austronesia melalui desain museum.

F. Metode Penelitian

Penelitian dalam karya tulis ini terdiri dari beberapa tahapan, kegiatan dimulai dengan pengumpulan data dan analisis data. Tahap pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data pustaka mengenai kerangka teoritis yang dapat digunakan untuk konsep museum dengan paradigma baru terutama dalam hal pembelajaran dalam museum, perancangan museum, dan juga penyajian informasi. Pengumpulan

(10)

10 data selanjutnya yaitu data mengenai tema museum yaitu Austronesia. Data yang dikumpulkan berupa hasil penelitian-penelitian para ahli Austronesia dari dalam dan luar negeri, data tentang teori-teori asal-usul, dan hasil kebudayaan Austronesia. Data tersebut diperoleh dengan cara menelusuri dan membaca buku, artikel, laporan-laporan hasil penelitian dan data online tentang Austronesia.

Tahap selanjutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini penulis membangun konsep (pameran dan program) berdasarkan teori pembelajaran di museum yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Selain itu, pada tahap ini penulis akan mengkaji hasil-hasil penelitian tentang Austronesia untuk mendapatkan data mengenai nilai-nilai penting dari kebudayaan Austronesia. Data berupa nilai-nilai penting digunakan sebagai inti dari pembelajaran dalam museum, yang selanjutnya digunakan sebagai tema-tema kecil dalam perancangan museum. Setelah tema ditentukan, tahap selanjutnya ialah merancang media pameran dan desain tata pamer. Analisis terhadap data tersebut juga dilakukan untuk mengetahui potensi data hasil budaya Austronesia untuk menjadi bahan koleksi museum.

(11)

11 Bagan 1.1 Bagan alir penelitian

G. Batasan Penelitian

Berdasarkan paradigma yang baru (new-museology), museum tidak hanya terbatas sebagai tempat untuk mengkonservasi objek, melainkan juga bertugas untuk menginterpretasikan dan menyajikannya kepada pengunjung dalam bentuk pameran (Greenhill, 2007: 1) untuk kepentingan edukasi pengunjung. Dalam penelitian ini penggunaan istilah edukasi(education) dan pembelajaran (learning) merupakan hal yang berbeda namun berkaitan dan digunakan bersama-sama. Edukasi (education) merupakan kegiatan yang menyeluruh perihal pemindahan ilmu pengetahuan kepada pembelajar yang berperan sebagai penerima secara pasif, terarah dan beralasan. Pembelajaran (learning) merujuk kepada proses aktif

(12)

12 pembelajar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan yang di gerakkan oleh rasa ingin tahu dan kesenangan dalam menemukan hal yang baru (www.teachthought.com diakses tanggal 29 Juli 2015). Edukasi dan pembelajaran saat ini menjadi prioritas museum. Dalam mencapai sasaran edukasi, museum perlu menentukan acuan dalam merancang pameran dan program. Untuk itu, museum memiliki kebijakan tentang cara belajar seperti apa yang akan digunakan dalam museum. Penelitian ini akan menggunakan teori pembelajaran konstruktivisme yang menuntut pembelajar membangun pengetahuannya sendiri secara individu atau bersama-sama (Ambrose dan Paine, 2006:48). Pembelajaran dalam museum dibahas oleh George, E. Hein dalam bukunya Learning in the Museum dan Eilean Hopper-Greenhill dalam bukunya Museums and Education: purpose, pedagogy, performance yang membahas tentang pembelajaran yang digunakan dalam museum mulai dari teori-teori, perancangan, praktek hingga sampai ke evaluasi. Penelitian ini juga mengkolaborasikan paradigma pembelajaran yang digunakan di Indonesia yaitu dengan karya Ki Hadjar Dewantara (Perguruan Taman Siswa). Karya Ki Hadjar Dewantara membahas tentang sistem pendidikan yang didasarkan oleh nasionalisme dan pendidikan budipekerti. Penelitian ini mengambil tema Austronesia sebagai objek perancangan museum. Sumber penelitian tentang Austronesia diambil dari laporan penelitian, buku dan artikel tentang Austronesia yang dilakukan baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri.

Perihal perancangan museum Lord, dkk dalam bukunya Manual of Museum Planning, terdapat 4 pokok dari perencanaan museum, yaitu perihal manajemen dan operasional museum, komunikasi dan keterlibatan, arsitektural dan

(13)

13 yang terakhir adalah desain. Karya tulis ini akan difokuskan pada desain museum karena merupakan bagian inti yang sangat penting dalam hal pencapaian tujuan perancangan museum sebagai media pembelajaran. Desain museum yang akan dibahas mencangkup desain program dan desain pameran.

Bagan 1. 2. Empat inti dari perencanaan museum Sumber: Lord,dkk (2012)

Houtgraaf dkk, 2008 menulis dalam buku Mastering A Museum Plan: Strategies For Exhibit Development mengenai langkah-langkah membangun pameran museum dan mengembangkan tema untuk storyline. Perancangan desain pameran Museum Austronesia akan dimulai dari proses membangun konsep awal, pembuatan ide storyline sampai dengan desain pameran, yang dapat dilihat dalam diagram proses dibawah ini:

Bagan 1. 3. Proses perancangan pameran dan produksi Sumber: Houtgraaf, dkk, 2008

konsep storyline desain produksi

MANAJEMEN DAN OPERASIONAL KOMUNIKASI DAN KETERLIBATAN ARSITEKTUR DESAIN PERENCANAAN MUSEUM

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Matahari Department store Kota Bengkulu, penerapan bentuk perjanjian kerja dan peranan perusahaan dalam memberikan kesejahteraan

yang dilakukan oleh LPS dalam rangka penyelamatan Bank Century (yang kemudian berubah nama menjadi Bank Mutiara) maka LPS wajib melakukan penjualan (divestasi) atas saham Bank

Setujukah anda bahwa guru yang memiliki ijazah nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel) dan memiliki akta mengajar, memiliki kompetensi profesional lebih tinggi

ANALISIS PENGGUNAAN KEIGO DALAM LINGKUNGAN KERJA PADA FILM KENCHOU OMOTENASHI KA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Hasil penelitian ini dapat memberikan impilikasi terhadap proses belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa, dan juga sebagai pengkajian pendidikan untuk

International Humanitarian Law In Internal Armed Conflict: Implementing Common Article 3 and 780 Additional Protocol II to Geneva Conventions to Internal and

Tags : Aliran aliran seni rupa modern Aliran aliran seni rupa Contoh Karya seni rupa Contoh Lukisan seni rupa Seniman seni rupa Tokoh tokoh senirupa Materi Tes wawancara

Sementara itu, dengan menggunakan pendekatan semantik sebagai kriteria utama dan afiks verbal dengan kriteria tambahan, Dardjowidjojo dalam Purwo (1986)