• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI ROOTS VERBA MENURUT IBNU FARIS DALAM MU JAM MAQĀYĪS AL-LUGHAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI ROOTS VERBA MENURUT IBNU FARIS DALAM MU JAM MAQĀYĪS AL-LUGHAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI

ROOTS

VERBA MENURUT IBNU FARIS

DALAM

MU’JAM MAQĀYĪS AL-LUGHAH

Afnan Arummi, Reza Sukma Nugraha, Tri Yanti Nurul Hidayati Prodi Sastra Arab

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Email:

afnanarummy85@staff.uns.ac.id reza.sn@staff.uns.ac.id nurulhidayati_t@yahoo.com

Abstrak

Perbedaan pendapat di antara nuhāt (linguis Arab) yang sering terjadi berkenaan dengan konstruksi dasar verba dalam bahasa Arab adalah apakah terdapat bentuk

tsuna’i, ruba’i dan khumasi?. Pengetahuan tentang konstruksi dasar verba ini menjadi sangat urgen untuk menetapkan unsur mana yang menjadi kata dasar dan mana yang menjadi bagian dari proses afiksasi. Untuk itu, tulisan ini akan menelusuri satu pemikiran yang dikembangkan oleh Ibnu Faris melalui karya monumentalnya Mu’jam Maqāyis Al-Lughah terkait konstruksi roots verba dalam bahasa Arab. Beberapa kesimpulan yang dapat dirangkum dalam tulisan ini antara lain: pertama, ketelitian Ibnu Faris dalam mengembangkan teori-teori kebahasaan ditandai dengan munculnya teori al-ushūl wal maqāyis, sebuah teori yang mendobrak stagnasi teknik pencarian makna kata yang berlandaskan

taqlibul-kalimah yang biasa digunakan dalam kamus-kamus fonetik sejak era Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, gurunya. Kedua, roots verba dalam bahasa Arab menurutnya hanya terdiri dari satu bentuk saja yaitu tsulatsi. Bentuk-bentuk selainnya, harus dikembalikan kepada bentuk asalnya yaitu tsulatsi.

Kata Kunci: Konstruksi Roots, Verba, Ibnu Fāris, Mu’jam Maqāyis Al-Lughah

A. Pendahuluan

Ibnu Fāris merupakan salah seorang tokoh nuhāt yang berafiliasi ke madzhab Kufah. Beliau bernama lengkap Abu al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariya bin Muhammad bin Habīb al-Rāzy al-Zahrāwi al-Isytājardī (As-Sāmirā'ī, 1985: 235). Beliau juga dikenal sebagai seorang faqīh yang menganut madzhab Syafī’i dan termasuk salah seorang pemimpin ahlus-sunnah yang berlandaskan pada madzhab ahlul-hadits (Ibrahīm, 1986: 130). Ibnu Fāris banyak memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang ilmu lughah (linguistik Arab) (Amalia, 2017) dan menulis banyak sekali karya. Beberapa di antaranya adalah Al-Mujmal fi al-lughah, Fiqhullughah wa Muqaddimah fī Nahwi, Dzammul Khatha' fī as-Syi’ri, Al-Ittibā’ wal muzāwajah wa ikhtilāfi an-Nahwiyyīn, Al-Intishār li ats-Tsa’lab, Kitāb Gharīb wa I’rābil Qur’ān, Kitāb fī Tafsīri

(2)

Asmā'i an-Nabiy Shallallāhu ‘alaihi wasallam dan lain sebagainya (1979: 352). Menurut Zuhair ‘abdul Muhsin Sulthān dalam bukunya Muqaddimah Tahqīqu Mujmalillughah, Karya-karya Ibnu Fāris mencapai 66 buku (As-Suhaimī, 1426 H: 11).

Salah satu karya terbesar Ibnu Faris adalah Mu’jam Maqāyis Al-Lughah. Buku ini memberi andil besar dalam perkembangan leksikologi bahasa Arab. Melalui karya ini, Ibnu Fāris berusaha menyangkal asas taqlībul kalimah yang dikembangkan oleh Al-Khalīl bin Ahmad (100-170 H/718-786 M). Ia mengganti asas tersebut dengan teori al-Ushul wa al-maqāyīs yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Isytiqāq al-kabīr (high derivation) oleh para ahli linguistik Arab ( Taufiqurrochman, 2008: 298).

Salah satu diskursus yang berkembang dalam ranah konstruksi verba dalam bahasa Arab adalah dari berapa huruf verba (fi’l) tersusun. Beberapa nuhāt mengemukakan pendapatnya mengenai dasar-dasar konstruksi verba bahasa Arab, seperti Al-Khalīl bin Ahmad yang berpendapat bahwa konstruksi dasar verba bahasa Arab terdiri dari empat hal yaitu tsunā'i tsulātsi, rubā’i dan khumāsi. Contoh tsunā'i yang dapat diamati adalah verba: قع (‘aqqa) – ةقعلا (al-‘iqqah). Dari pendapat ini munculah beberapa mu'jam Taqlibat, antara lain At-Tahdzīb, Al-Bāri', Al-Muhakkam, dan Al-Jamharah.

Berbeda dengan pendapat di atas, Sibawaih berpendapat bahwa konstruksi dasar verba bahasa Arab terdiri dari tiga bentuk yaitu: tsulātsi, rubā’i dan khumāsi. Adapun Al-Kisā'i dan Al-Farrā' berpendapat bahwa rubā’i dan khumāsi asalnya adalah tsulātsi. Menurut Al-Kisā'i penambahan dalam rubā’i itu terjadi pada huruf sebelum terakhir. Adapun menurut Al-Farra', ziyādah (afikasasi) dalam rubā’i adalah huruf terakhir, sedangkan pada khumāsi adalah dua huruf akhirnya. Pendapat mereka ini dianut mayoritas ahli Kufah. Sedangkan, Abi Zaid Al-Anshori berpendapat bahwa kata yang kurang dari tiga huruf maka harus ditambah satu huruf, sedangkan yang lebih dari tiga huruf maka harus dikembalikan menjadi bentuk tsulātsi.

Selanjutnya, terdapat pendapat Abi Al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Kurā’ an-Naml yang senada dengan pendapat Al-Kisā'i dan Al-Farrā' yaitu mengembalikan bentuk rubā’i dan khumāsi pada bentuk tsulātsi. Hanya saja menurutnya, penambahan itu tidak terbatas pada huruf akhir maupun sebelum akhir, akan tetapi juga terjadi pada awal, tengah maupun akhir huruf dalam suatu kata.

(3)

Dari pendapat-pendapat di atas, penulis memandang bahwa sepanjang sepengetahuannya masih belum terdapat penjelasan yang komprehensif, logis dan ilmiah mengenai konstruksi verba dalam penyusunannya. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk melakukan penelusuran awal berkenaan dengan pemikiran konstruksi dasar verba dalam bahasa Arab yang mengacu pada pendapat Ibnu Fāris. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran-pemikirannya yang out of the box yang dituangkan dalam karya-karyanya. Banyak penemuan-penemuan baru yang dikemukakan Ibnu Fāris dan membuat para pakar bahasa mengakui kredibilitas dan ketelitiannya dalam memahami bahasa Arab.

Salah satu sumbangsih pemikirannya yang besar adalah munculnya teori al-Ushul wa al-maqāyīs. Dengan munculnya teori ini, asas taqlībul kalimah yang biasa dipakai dalam kamus-kamus fonetik, mulai ditinggalkan sehingga munculnya kamus maqāyis al-lughah mampu mempertegas keberadaan sistem alfabetis khusus yang sebelumnya telah diperkenalkan Ibnu Duraid, tetapi tidak berhasil mendongkrak popularitas sistem alfabetis untuk menyaingi sistem fonetik.(Taufiqurrochman, 2008: 299)

B. Mu’jam Maqāyis Al-Lughah

Mu’jam ini merupakan salah satu karya monumental Ibnu Fāris. Dalam mu’jam ini, ia mengenalkan penemuan barunya dalam memahami konstruksi dasar verba dalam bahasa Arab, yaitu dengan mengembalikan setiap kata kepada satu atau beberapa makna asli yang terkandung dalam semua bentuk unsur-unsur kata tersebut (Ibnu Fāris, 1972: 39). Tujuan dari format penyusunan ini adalah untuk menjelaskan makna-makna asli yang berperan dalam semua bentuk unsur yang disebut dengan makna-makna asli atau al-maqāyīs (ukuran/standar) (Nashār,tt: 435).

Ide dasar Ibnu Fāris dipengaruhi dalam menyusun mu’jam ini oleh Ibnu Duraid melalui kitabnya al-Isytiqāq. Ketidakpuasannya terhadap pembahasan yang terdapat dalam karya Ibnu Duraid tersebut mendorongnya untuk melakukan penyempurnaan-penyempurnaan. Mu’jam Maqāyis Al-Lughah secara umum memiliki dua pokok pikiran. Pertama: al-ushūl yaitu proses mengembalikan semua bentuk materi atau unsur ke asalnya dan ini berlaku juga pada bentuk tsunā'i dan tsulātsi. Kedua: an-nacht, pokok pikiran ini berlaku pada bentuk yang lebih dari tiga huruf.

(4)

Lebih lanjut, dalam penyusunan materi-materi dalam mu’jam ini, Ibnu Fāris menentukan beberapa klasifikasi. Pertama, Ia mengklasifikasikan unsur-unsur atau materi-materi bahasa ke dalam beberapa kitāb, dimulai dari hamzah (أ) dan berakhir pada al-yā' (ي). Terkait istilah yang digunakan dalam pengklasifikasian, Ibnu Fāris menolak sistematika penyusunan kamus yang didasarkan istilah bāb untuk setiap huruf. Ia lebih senang menggunakan istilah kitāb sebagai penggantinya (Taufiqurrochman, 2008: 299). Kedua, pada tiap-tiap kitāb, ia mengkategorikan ke dalam tiga bagian yaitu: tsunā'i mudha’af dan penyesuainnya, tsulātsi yang menjadi materi pokok dan kata-kata yang terdiri dari tiga huruf. Ketiga, pada tiap babnya, ia mengurutkannya secara secara khusus yaitu memulai dari abjad akar kata dari yang terkecil kemudian dua huruf, tiga huruf dan seterusnya. Sebagai contoh: pada bab jīm, ia memulainya dengan jīm-chā kemudian jīm-khā', kemudian jīm-dāl dan seterusnya sampai jīm-yā. Setelah itu kembali lagi ke jīm-hamzah,lalu jīm-bā, lalu jīm-tā, dan seterusnya.

Sebagaimana sebuah karya yang tidak dapat berdiri sendiri, ia akan selalu terikat dan terinspirasi dengan karya-karya sebelumnya, penyusunan mu’jam maqāyis al-lughah mengacu pada beberapa sumber referensi. Beberapa sumber referensi yang diacu antara lain adalah al-‘ain karya Al-Khalīl bin Ahmad, gharībul hadīts dan gharīb al-mushannaf karya Abi ‘ubaid al-qāsim bin salam, ishlāchul manthiq karya Ibnu Sikkīt dan Jamharatul lughah karya Ibnu Duraid.

C. Pendapat Ibnu Fāris Tentang Konstruksi Root dalam Bahasa Arab

Ibnu Fāris berpendapat bahwa kata yang lebih dari tiga huruf mayoritasnya adalah manhūt (coinage). Pemikirannya ini banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat al-Kisā'i, al-Farra', Abi Zaid dan Abi al-Hasan, yang mengakomodir ziyādah (afikasasi) dalam penyusunan konstruksi dasar sebuah verba dalam bahasa Arab. Bahkan terkadang bentuk dasar tsulātsi dikembalikan kepada bentuk tsunā'i. Ia juga terpengaruh oleh pendapat Al-Khalīl bin Ahmad dalam pengembalian bentuk rubā’i kepada bentuk tsulātsi.

Dalam karyanya al-Mu'jam, Ibnu Fāris menitikberatkan pembahasan konstruksi dasar verba dalam bahasa Arab pada tiga klasifikasi, yaitu bentuk tsunā'i, tsulātsi dan kata yang lebih dari tiga huruf (mā zāda ‘alā tsalātsah). Ia tidak menggunakan istilah rubā’i atau khumāsi sebagaimana yang dikenal oleh sebagian pembelajar atau pemerhati

(5)

zāda ‘alā tsalātsah), ia mengklasifikasinnya lagi pada tiga bab yaitu: 1) al-Manhūt, 2) al-Mazīd, 3) al-Mudhū’ wadh’an.

Bagan 1. Susunan Mu’jam Maqāyis Al-Lughah

Di dalam pembahasan tentang al-Manhūt, Ibnu Fāris mendasarkannya pada teori ziyādah (afiksasi). Ia berpandangan untuk mengembalikan bentuk rubā'i dan khumāsi dengan metode al-naht. Menurutnya, al-mazīd merupakan pengantar al-manhut, karena sedikitnya porsi al-mazīd. Adapun selain itu ia kategorikan dalam kategori al-Mudhū’ wadh’an. Secara tegas, Ibnu Fāris menggolongkan al-mazīd sebagai ism musytaq.

Berdasarkan pada uraian di atas, Ibnu Fāris banyak menyinggung masalah Naht sebagai pijakan dalam pembentukan kata dalam bahasa Arab. Dalam teorinya, An-Naht diketahui sebagai proses pembentukan kata baru dari dua kata atau lebih, untuk tujuan meringkas dan mempermudah pengucapan. Beberapa macam An-Naht yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan verba dari klausa, untuk menunjukkan aktifitas orang yang mengucapkannya, contoh:

No Kata Makna

1. ةلدمح (hamdalah) menunjukkan aktifitas membaca دمحلالله 2. ةلليهلا (al-hailulah) menunjukkan aktifitas membaca اللهلاإهلالا 3. ةلمسب (basmalah) menunjukkan aktifitas membaca نمحرلا الله مسب

ميحرلا

Mu’jam Maqāyis Al-Lughah

tsunā'i tsulātsi mā zāda ‘alā tsalātsah

(6)

2. Pembentukan dari nomina ‘alam idhāfi yang disandarkan pada kata sebelumnya (murakkab idhāfi).

No Kata Asal Kata

1. يمشبع (‘absyami) سمشلادبع (‘abdu-sy-syamsi) 2. يردبع (‘abdariy) رادلادبع (‘abdu-d-dār) 3. يسقبع (‘abqasiy) يسقلادبع (‘abdul qasiy)

Ada juga yang dibentuk dari sebagian lafadz verba, tapi ini sangat jarang digunakan dalam bahasa Arab. Contoh: لجرلامشعبت (taba’syama ar-rajulu)

3. Pembentukan dari dua atau lebih asal kata yang berbeda, yang menunjukkan suatu makna yang berbeda jika telah dikumpulkan dalam suatu kata. Contoh:

No Kata Asal Kata

1. نل نأ + لا

2. نايأ نآ +يأ

3. نكل نإ +باطخلافاك+لا

Menurut Al-Khalīl bin Ahmad, an-Naht tidak boleh dibentuk dari huruf-huruf chalqi yang tersusun dalam satu kata, sehingga akan terbentuk seperti bentuk mudha’af. Seperti huruf ح (cha) tidak boleh disatukan dengan huruf ع (‘ain) karena kedua huruf itu makharj-nya sangat dekat, kecuali jika kata itu asalnya dari dua kata yang digabungkan. Contoh: لعيح (chai’ala) yaitu kata yang tersusun dari dua kata ةلاصلا ىلع يح dan ىلع يح حلافلا. Bentuk verbanya dapat disusun menjadi ةلعيح-لعيحي-لعيح

Menurut Ibnu Fāris, an-Naht merupakan proses mengambil dua kata dan diderivasi menjadi satu kata. Hasil proses derivasi tersebut merupakan representasi dari dua kata sebelumnya, dengan tujuan untuk meringkas. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa Ibnu Fāris mengikuti metode Al-Khalīl. Hanya saja, Al-Khalīl mensyaratkan suatu kata harus disusun secara berurutan, adapun Ibnu Fāris tidak mensyaratkannya. Adapun metode derivasi Ibnu Faris untuk mengetahui asal sebuah kata adalah dengan membuang salah satu huruf dari bentuk rubā’i sehingga menjadi tsulātsi, kemudian mengembalikan huruf yang dilesapkan tersebut dan melesapkan salah satu huruf yang lainnya, sehingga akan muncul bentuk tsulātsi yang lain lagi. Artinya dari satu kata rubā’i dapat menderivasi dua kata tsulātsi. Contoh:

(7)

رهمج (jamhara)  berasal dari tsulātsi رمج (dengan melesapkan huruf ـه) atau menjadi رهج (dengan memunculkan kembali huruf ـه dan melesapkan huruf م)

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa Ibnu Fāris membagi asal rubā’i menjadi dua bentuk tsulātsi. Masing-masing dari bentuk tsulātsi tersebut terdiri atas dua huruf yang sama dan satu huruf yang berbeda. Pemilihan huruf yang dilesapkan dengan yang dimasukkan tersebut dilakukan oleh Ibnu Fāris secara acak, artinya ia tidak mempunyai pedoman khusus dalam hal ini, yang digunakannya adalah pedoman makna saja. Meskipun terkadang makna yang dihasilkan antara satu tsulātsi dengan yang lainnya sangat berbeda. Makna yang lebih dekat dengan rubā’i itu disebut dengan kata yang aslinya. Berikut contoh yang dapat diamati:

No. Bentuk rubā’i (al-manhūt)

Tsulātsi 1 Tsulātsi 2

Bentuk Makna Bentuk Makna

1. رتحب (bachtara) رتب (batara) memotong رتح (chatara) Menguatkan, mengokohkan 2. رثحب (bachtsara) ثحب (bachatsa) mencari رثب (batsara) Berbisul,

membarah 3. قثعب (ba’tsaqa) قعب (ba’aqa) Menyembelih,

menggali, membelah قثب (batsaqa) Menyembur, memancar, mengalir deras 4. رمذج (jadzmara) مذج (jadzama) Memotong,

menebang, membabat رذج (jadzara) Mencabut sampai ke akar-akarnya, membubut 5. مضهج (jahdhama) مهج (jahuma) cemberut مضه (hadhama) mencernakan

Jika diperhatikan dari tabel di atas, terdapat perbedan yang mencolok antara Ibnu Fāris dan Al-Khalīl maupun Ibnu Sikkīt. Dalam hal penyusunannya, Al-Khalīl mengharuskan huruf-hurufnya disusun secara beruntun, sedangkan Ibnu Fāris tidak mengharuskannya sehingga terlihat dalam susunan setiap tsulātsi sangat acak.

Dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, inovasi pada bentuk derivasi kata seperti ini baru muncul setelah turunnya Islam. Tak jarang, kata-kata yang digunakan

(8)

dalam bahasa agama Samāwi berasal dari kata asli yang lebih dari satu. Sedangkan kata yang dikaji dan diteliti oleh para ulama justru terbatas jumlahnya. Hal tersebut disebabkan kaidah utama munculnya lafadz dalam bahasa Arab didasarkan dan dilandaskan pada isytiqāq (derivasi) (Mubārak, 1981: 149).

Metode yang dilakukan oleh Ibnu Fāris ini, juga dilakukan oleh beberapa ulama bahasa yang lain, yaitu dengan mengembalikan kata kepada bentuk tsulātsi berlandaskan pada aturan pelafalan lisan. Seperti misalnya, menggantikan salah satu huruf ziyādah dengan huruf lain yang lebih ringan pelafalannya. Contoh: قربأى menjadi

ه

ىقرب kemudian diderivasi menjadi dua bentuk tsulātsi ربه dan قرب. Pada kata tersebut terdapat penggantian huruf hamzah menjadi hā. Contoh lainnya seperti بّضق diubah menjadi بضرق. Pada kata ini, huruf ض yang ditasydid, salah satunya digantikan dengan huruf ر. Selanjutnya, dari kata بضرق diderivasi menjadi dua bentuk tsulātsi ضرق dan بضق.

Konsep yang ditawarkan Ibnu Fāris tersebut jika diterapkan di beberapa kata lain, maka akan ditemukan sedikit kejanggalan, hal itu karena derivasi yang dilakukannya terkadang tidak mengarah pada asal kata derivasinya Seperti contoh kata لمسب, jika diterapkan menggunakan konsep Ibnu Fāris, maka bentuk tsulātsi yang akan muncul menjadi لسب dan مسب, hal ini tentunya sangat jauh dari maksud yang diinginkan, yakni mengembalikan kata derivasi kepada asalnya.

Jika diperhatikan lebih lanjut, pada akhirnya tujuan Ibnu Fāris ini tidak lagi untuk mengembangkan bahasa, tapi terfokus untuk membuat kata-kata dalam bentuk rubā’i menjadi tsulātsi. Di samping itu, konsep yang ditawarkan Ibnu Fāris juga tidak akan sesuai diterapkan pada bentuk khumāsi. Karenanya ia tidak banyak menyebutkan kata-kata khumāsi, kecuali hanya pada lima belas contoh saja, yang diletakkan pada bab mazīd maupun al-Maudhu' wadh'an. Bahkan terkadang ada juga khumāsi yang ia lesapkan salah satu hurufnya, dan diacak susunanya sebagaimana rubā'i, lalu dikatakan bahwa itu bukan berasal dari bahasa Arab.

Ada tujuh contoh khumāsi yang ia cantumkan dalam pembahasan al-Maudhu’-wadh’an: contoh khumasi yang dia cantumkan dalam pembahasan al-manhūt, yaitu:

سيبدردلا -سقادردلا -ردهمسلا ةسبهلقلا – رثعبقلا – ةبعطرق -ةلمعدق

(9)

Ia menyebutkan tiga contoh khumāsi dalam pembahasan mazīd yaitu ،لدرمش ،سيمطلع

مذهلق . Hanya satu contoh khumāsi yang dicantumkan dalam pembahasan al-manhūt yaitu سمهلدلا yang berarti singa, berasal dari kata سمه dan سلاد .

D. Kesimpulan

Dari pembahasan singkat di atas dapat disimpulkan beberapa poin: Pertama, Teori yang dikembangkan oleh Ibnu Fāris dengan mengembalikan semua kata yang berbentuk rubā’i dan khumāsi ke bentuk tsulātsi banyak dipengaruhi oleh ulama bahasa pendahulunya. Beberapa contoh yang terdapat dalam Mu’jam Maqāyis Al-Lughah merupakan kutipan yang terdapat dalam kitab al-muntakhab karya Abu al-Hasan Kurra’ an-Naml.

Kedua, metode yang digunakan Ibnu Fāris adalah metode naht dan mazīd. Melalui metode ini, ia mengklasifikasikan kata-kata yang lebih dari tiga huruf (mā zāda ‘alā tsalātsah) menjadi tiga bentuk baru yang terdiri dari al-Manhūt, Mazīd, dan al-Mudhū’ wadh’an. Dengan metode inilah, ia menegaskan untuk mengembalikan semua kata yang lebih dari tiga huruf kepada bentuk tsulātsi. Namun demikian, metode ini masih memiliki kelemahan yaitu tidak dapat diterapkan pada bentuk khumāsi kecuali hanya beberapa jumlah kecil kata.

Referensi

As-Sāmirā'ī, Ibrāhīm.1985. Nuzhatul Albā'i fī Thabaqātil Udabā'i Li Abi Al Barakāt Kamāluddīn ‘Abdurrahmān bin Muhammad Al Anbārī. Yordania: Maktabah Al-Manār

As-Suhaimī, Salmān bin Sālim bin Rajā'. 1426 H. Ashlu Mā Zāda ‘alā Tsalātsati ‘inda Ibn Fāris min Khilāli Mu’jam Maqāyisillughah. Mekkah: Jāmi’atu Ummul Qurā.

Al-Mujahid, A. Thoha Husein, Al-Khalil, A. Atho’illah Fathoni. 2016. Kamus Al-Wāfi: Arab-Indonesia. Jakarta: Gema Insani

Amalia, Henni. 2017. “Analisis Pemikiran Ibnu Faris Mengenai Ilmu Lughah Dalam Kitab Ash-Shahabiy. UIN Sunan Kalijaga: Jurnal At-Tafkir Vol. 10 No. 2 Desember 2017

Ibrāhīm, Muhammad Abilfadhl. 1986. Inbāhurruwāti ‘alā anbāhi an-nuchāti lilwazīr Jamāluddīn Abī al Hasan ‘Alī ibnu Yūsuf Qifthiy. Kairo: Dārul Kitāb Al-‘Arabiy.

(10)

________________________________. 1979. Baghiyyatu ar-Ri’āti fī Thabaqātil Lughawiyyīn wa an-Nuhāti lil Hāfidz Jalāluddīn ‘Abdurrahmān as-Suyūthi. Dār al-Fikri

Ibnu Fāris, Abu al-Husain Ahmad. 1972. Mu’jam Maqāyis Al-Lughah. Mesir: Al-Bābiy al-Chalabiy

Mubārak, Muchammad. 1981. Fiqhu al-lughah wa Khashāishu al-‘Arabiyyah. Majma’ al-‘Ilmi al-‘Arabiy: Dār al-Fikr

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif

Nashār, Husain. TT. Al-Mu’jam Al-‘Arabiy: Nasy'atuhu wa Tathawwuruhu. Mesir: Dār Mashr

Syuhada, Amir. 2011. “Relevansi Sistematika Pembentukan Ruba’i Ibnu Faris Dalam Perkembangan Bahasa Arab”. UNIDA Gontor: Jurnal At-Ta’dib, vol. 6 no.1 2011

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan pacu jalur yang bersifat non formal yaitu dilaksanakan berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat yang biasa disebut ajang uji coba dan pacu

Marine Corps: Marine Corps Order MCO 3502.3B - Marine Expeditionary Unit (MEU) and MEU (Special Operations Capable) (SOC) Pre-deployment Training Program (PTP), Department

Fischer-Lichte pasiūlytas estetikos suvokimas iškelia klausimus apie teatro meno progresui reikalingas naujo pobūdžio žinias, kurios leistų geriau suvokti žiūrovų patirtis ne

Indonesia dalam konteksnya sebagai negara yang dalam keadaan terpuruk tidak terlepas dari peran serta birokrasi yang selama ini menduduki posisi urgen dalam kehidupan berbangsa

Dengan memanjatkan Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktek Kerja Nyata

Hal lain yang mendukung dalam kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat yang dapat dikelola oleh generasi muda Cibabat adalah letak wilayah Kelurahan Cibabat yang cukup

Hasil analisis dengan menggunakan chi square (x²) dalam taraf nyata α = 0,05 dan derajat bebas = 2 diperoleh hasil x² tabel pada derajat bebas = 2 diperoleh hasil x² hitung

A pabila anda ingin menempatkan sarang semut pada tempat yang baru, hal yang paling penting untuk diingat adalah memastikan bahwa masing-masing individu semut harus berasal dari