• Tidak ada hasil yang ditemukan

MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN PADA KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF KITAB MADZHAB SYAFI'I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN PADA KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF KITAB MADZHAB SYAFI'I"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

80 MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN PADA KOMPILASI

HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF KITAB MADZHAB SYAFI'I Oleh : Ahda Bina Afianto

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang Email : Ahdabina@gmail.com

Abstraksi

Dalam literatur kitab Madzhab Syafi'i, apabila salah seorang suami atau istri murtad, status perkawinan mereka mengalami masalah yang serius, sehingga bisa putus. Apabila belum terjadi hubungan intim (dukhul), perkawinan itu seketika putus. Apabila sudah dukhul, putusnya perkawinan itu ditangguhkan hingga habisnya masa iddah. Bila pihak yang mutad kembali berislam sebelum masa iddah berakhir, maka perkawinan tidak jadi putus. Namun bila pihak yang murtad belum juga berislam hingga masa iddah berakhir, maka perkawinan pun putus.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada dua pasal yang mengatur masalah murtad dalam perkawinan, yaitu Pasal 75 dan Pasal 116. Secara implisit Pasal 75 menyebutkan bahwa perbuatan murtad membatalkan perkawinan, tapi Pasal 70 tidak menyebutkan perbuatan murtad sebagai sebab batalnya perkawinan. Sedangkan Pasal 116 tidak menyebutkan murtad sebagai salah satu alasan perceraian, kecuali terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Putusan KHI ini amat janggal, mengingat Penjelasan atas Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum perkawinan ini adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya mazhab al-Safi‘i. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan kajian pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan konten analisis.

Setelah melakukan penelitian, penulis menyimpulkan bahwa Pasal 75 yang secara implisit menyebutkan perbuatan murtad menyebabkan batalnya perkawinan bersesuaian dengan Madzhab Syafi'i.

Kata Kunci : Perkawinan, Murtad, KHI, Madzhab Syafi'i Abstract

In literature book Shafi'i madhhab, when one spouse apostasy, marital status they have serious problems, so it can be broken. If intercourse has not occurred (dukhul), marriage was instantly broken. When it dukhul, she decided the marriage was deferred until the expiration of the waiting period. When the parties returned mutad berislam before the waiting period ends, the marriage did not break up. However, if the parties have not lapsed berislam until the waiting period expires, the marriage was breaking up.

In the Compilation of Islamic Law there are two chapters that set the apostasy issue in marriage, namely Article 75 and Article 116. Implicitly, Article 75 states that the marriage act apostate, but Article 70 does not mention the act lapsed as cause cancellation of marriage. While Section 116 does not mention apostasy as one reason for divorce, unless there is disharmony in the household.

Decision KHI is very odd, considering the explanation of the Compilation of Islamic Law stated that the material which is used as guidance in the areas of marriage law is derived from the book of 13 pieces which all schools of al-Safi'i.

(2)

81 content analysis approach.

After doing research, the authors got the conclusion that Article 75 which implicitly states that apostates actions caused the cancellation of marriage corresponds to the Shafi'i madhhab.

Key Word: Marriage, Apostasy, KHI, Shafi'i Madhzab

____________________________________________________________________________________ PENDAHULUAN

Hasil pengamatan sejarah Peradilan Agama dalam menyelesaikan dan memutus perkara menggambarkan terjadinya putusan-putusan Peradilan Agama yang sangat berdisparatis antara putusan yang satu dengan yang lain, dalam kasus perkara yang sama. Akhirnya hukum yang tersisih ke belakang.1 Hal itu terjadi karena para hakim selalu menoleh pada kitab-kitab fikih dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara. Sementara fikih merupakan pendapat atau ijtihad para imam mazhab. Fikih bukan hukum positif yang telah dirumuskan secara sistematik dan unifikasi.

Dalam konteks itulah pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.2

Dengan adanya KHI sebagai kitab hukum, para hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang berdisparitas. Dengan mempedomani KHI para hakim diharapkan dapat menegakkan hukum dan kepastian hukum yang seragam tanpa mngurangi kemungkinan

1.Sofyan Hasan, 2003, Hukum Islam: Bekal

Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Literata Lintas Media, hlm. 136-137.

2 Cik Hasan Bisri dkk, 1999, Kompilasi Hukum

Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm 1.

terjadinya putusan-putusan yang bercorak variatif, asal tetap proporsional secara kasuistik.3

Demikian pula halnya bagi pencari keadilan. Mereka tidak dapat lagi mengajukan dalih dan dalil ikhtilaf (perbedaan pendapat). Mereka tidak dapat lagi memaksakan kehendaknya agar hakim mengadilinya menurut pendapat dan doktrin mazhab tertentu. 4

Hal yang sama juga berlaku bagi penasihat hukum. Ia hanya diperkenankan mengajukan tafsir bertitiktolak dari rumusan kitab hukum KHI. Sehingga semua pihak yang terlibat sama-sama mencari sumber dari muara yang sama, yaitu Kitab Kompilasi Hukum Islam.5

Sedikit penjelasan di atas penulis maksudkan sebagai pengantar sebuah permasalahan yang penulis jadikan tema dalam tesis ini. Permasalahan itu secara sederhana bisa penulis jelaskan sebagai berikut:

Terdapat sepasang suami-istri yang beragama Islam. Keduanya menikah dengan rukun dan syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh agama maupun negara. Perkawinan keduanya adalah sah, baik secara agama maupun di hadapan hukum positif. Namun di tengah perkawinan itu, salah satu dari pasangan (suami atau istri) keluar dari agama Islam. Salah satu pasangan itu murtad.

Dalam literatur kitab sunni, apabila salah seorang dari suami atau istri murtad dari agama Islam, terdapat dua macam putusan sebagai berikut:

3 Ibid., hlm. 32.

4 Ibid. 5 Ibid.

(3)

82 Pertama, perkawinan mereka seketika

berakhir tanpa menunggu putusan hakim.6 Secara umum, putusan ini terdapat dalam kitab-kitab Mazhab Hanafi dan Maliki.

Kedua, suami-istri itu harus dipisahkan, namun putusnya perkawinan tersebut harus menunggu selesainya iddah. Apabila pihak yang murtad kembali masuk agama Islam sebelum masa iddah selesai, maka keduanya tetap sebagai suami-istri. Namun apabila sampai berakhirnya masa iddah ia tidak kembali masuk Islam, maka perkawinan pun putus. Secara umum, putusan ini dimuat dalam kitab-kitab Mazhab Shafi‘i dan Hambali.7

Berdasarkan paparan singkat di atas, meskipun ada perbedaan putusan dalam kitab-kitab itu tentang kapan terjadi fasakh, namun amat jelas bahwa tidak ada perbedaan akan ketentuan putusnya perkawinan karena murtadnya salah satu pihak suami-istri. Tidak mengherankan Sa‘di Abu Jaib menyatakan dalam Mausu‘ah al-Ijma fi al-Fiqh al-Islami bahwa masalah ini telah menjadi ijma‘ .8

Menegaskan hal ini, dalam kitab Fiqh al-Sunnah Sayyid Sabiq menyatakan, bahwa apabila seorang suami atau istri yang telah murtad masuk Islam lagi, lalu ingin merujuk istrinya, maka harus ada akad dan mahar baru. Yang demikian itu karena perkawinan yang sebelumnya telah putus.9

Sementara itu, berseberangan dengan kitab-kitab tersebut, Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan murtadnya seorang suami atau istri sebagai sebab untuk membatalkan

6 Wahbah al-Zuhaili, 1985, Al-Fiqh Al-Islami wa

Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, vol. vii hlm. 621.

7 Ibid.

8 Sa‘di Abu Jaib, Mausu‘ah Ijma fi Fiqh

al-Islami. Kitab ini dicetak tanpa menyebutkan penerbit, ataupun keterangan yang lazim, selain nama penulis dan judulnya.

9 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: al-Fath li

al-I’lam al’Arabi, vol. ii hlm. 292.

perkawinan, maupun alasan untuk perceraian. Kenyataan ini jelas terasa ganjil, karena dalam Penjelasan atas Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang hukum perkawinan adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya Mazhab al-Safi‘i.10

Dalam Pasal 70 yang menyebutkan sebab-sebab batalnya perkawinan, Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan murtad sebagai sebab batalnya perkawinan.

Pasal 70 Perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj`’i.

b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.

c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. perkawinan dilakukan antara dua orang

yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. berhubungan semenda, yaitu: mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah

10 Tim Redaksi Fokusmedia, 2007, Kompilasi

(4)

83 tiri.

4. berhubungan sesusuan, yaitu: orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.”

Berdasarkan Pasal 70 ini, hanya sebab-sebab itulah yang membatalkan perkawinan. Dengan demikian, apabila seorang suami atau istri murtad, perkawinan mereka tidak batal. Suami-istri itu tetap bisa melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka.

Pasal 71 yang menyebutkan sebab-sebab dapat dibatalkannya perkawinan juga tidak menyebut masalah murtad sebagai salah satu sebab dapat dibatalkannya perkawinan.

Pasal 71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa

izin Pengadilan Agama.

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.”11

Adapun Pasal 116 yang menyebutkan apa saja yang dapat menyebabkan seorang suami bercerai dari istrinya, KHI tidak menyebutkan murtadnya salah seorang pasangan suami-istri

11..Tim Redaksi Fokusmedia, 2007, Kompilasi

Hukum Islam, Bandung, Fokusmedia, hlm. 26.

sebagai alasan perceraian, kecuali terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga.

KHI menyebutkan: Pasal 116

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain

selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang memba-hayakan pihak lain.

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”12

Dalam Pasal 116 ayat h itu KHI memberikan syarat, bahwa perceraian baru dapat dilakukan dengan alasan murtad apabila terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan demikian, apabila suami-istri masih tetap rukun, perceraian tidak dapat dilakukan dengan alasan salah satu pihak telah murtad. Oleh karena itu, suami-istri itu harus tetap hidup bersama dan beranak-pinak, dimana anak-anak akan terus

(5)

84 lahir, tumbuh dan dewasa dalam asuhan seorang

ayah atau ibu yang telah murtad.

Berangkat dari paparan ini, penulis tertarik, bahkan merasa memiliki tanggung jawab untuk menyoroti dan mengangkat masalah murtadnya salah seorang suami atau istri ini sebagai sebuah tema penelitian.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadikan rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pasal-pasal tentang murtad sebagai sebab putusnya perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimana tinjauan Kitab Madzhab Syafi'i terhadap pasal-pasal KHI tentang murtad sebagai sebab putusnya perkawinan?

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Status Perkawinan Ketika Suami Atau Istri Murtad Dalam Kitab-Kitab Mazhab Safi‘I

Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha’ dalam Mazhab Safi‘i mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam kitab-kitab Mazhab Safi‘i: Al-Umm

"Apabila seorang suami murtad setelah persetubuhan, maka terhalanglah dia dengan isterinya. Bila masa iddah habis sebelum suami kembali ke pangkuan Islam, maka perkawinan pun fasakh. Bila yang murtad adalah pihak perempuan, atau keduanya secara bersama-sama, atau yang salah seorang di antara keduanya lalu disusul oleh pasangan-nya, maka demikian pula. Selalu diberi waktu hingga berakhirnya masa iddah. Bila masa iddah itu habis sebelum keduanya kembali Islam, maka perempuan itu telah fasakh. Bila keduanya kembali Islam sebelum masa iddah habis, maka perempuan itu tetap menjadi isterinya.

"Apabila salah seorang suami-isteri murtad, dan suami belum dukhul dengan isterinya, maka isteri itu telah ba'in dari suaminya. Dan ba'in di sini adalah fasakh, tanpa talak. Yang demikian itu karena tidak ada iddah bagi isteri tersebut.13

Al-Muhazhzhab

Bila salah seorang suami atau istri murtad, bila murtadnya sebelum dukhul, seketika terjadi furqah. Bila murtadnya setelah dukhul, furqah terjadi setelah berakhirnya masa iddah. Bila mereka kembali bersama dalam Islam sebelum berakhirnya masa iddah, mereka tetap dalam perkawinan. Bila mereka belum juga bersama sampai berakhirnya masa iddah, furqah pun terjadi. Karena perpindahan agama itu melarang terjadinya perkawinan. Sama halnya dengan masuk Islamnya salah seorang suami-istri penyembah berhala.14

Berdasarkan kitab ini, perkawinan itu furqah seketika, bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul. Bila setelah dukhul, ditunggu hingga masa iddah.

Al-Majmu‘

Bila salah seorang suami-istri murtad. Bila sebelum dukhul, perkawinan keduanya fasakh. Dawud berkata, “Tidak fasakh.”15

Dalil kami: firman Allah:

ﺮﻓاﻮﻜﻟا ﻢﺼﻌﺑ اﻮﻜﺴﻤﺗﻻو .

Kedua, karena perbedaan agama, dilarang untuk bercampur, maka perkawinan pun fasakh, sama seperti seorang wanita dhimmi yang berada dalam perkawinan seorang kafir masuk Islam.16

13 Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani,

Kitab al-Umm.

14 Abu Ishaq Shirazi (393-476 H.),

al-Muhazhzhab fi Fiqh al-Imam al-Shafi‘i (Damaskus/Beirut: Dar Qalam/Dar al-Shamiyyah, 1996). Vol. iv hlm. 189. Tahqiq: Muhammad al-Zuhayli.

15 Ibid. vol. vxii hlm. 428.

(6)

85 Bila salah seorang di antara suami-istri itu

murtad setelah dukhul, perkawinan mereka ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, keduanya masih berstatus sebagai suami-istri. Bila hing-ga berakhirnya masa iddah, pihak yang murtad belum juga kembali masuk Islam, mereka pun telah ba’in dengan perbuatan murtad itu. Inilah pula pendapat Ahmad. Juga pendapat Malik dalam salah satu riwayat.17

Abu Hanifah berkata, “Perkawinan itu fasakh seketika.” Ini juga pendapat Malik dalam salah satu riwayat.18

Dalil kami, bahwa dalam kasus ini terdapat perbedaan agama setelah dukhul, maka tidak mengharuskan fasakh seketika. Sama halnya ketika seorang harbiyyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi masuk Islam.19

Berdasarkan kitab ini, putusnya hubungan karena perbuatan murtad itu karena dalil al-Qur’an dan larangan bercampurnya orang yang berbeda agama.

Rawdah al-Talibin

Bila salah seorang suami-istri murtad sebelum dukhul, seketika terjadi furqah. Bila terjadi setelah dukhul, kita tangguhkan sampai berakhirnya masa iddah. Bila keduanya bersatu dalam Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan pun berlanjut. Bila tidak, furqah pun terjadi dan dihitung sejak terjadinya murtad. Dan dalam masa penangguhan itu tidak diperbolehkan terjadinya percampuran.20

17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid.

20 Al-Imam Abu Zakariyya Yahya b. Sharaf

al-Nawawi al-Dimashqi (676 H.), 2003, Rawdah al-Talibin, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. Vol. v hlm. 478-479.

Berdasarkan kitab ini, sama dengan kitab sebelumnya, perbuatan menyebabkan putusnya perkawinan dengan rincian di atas.

Minhaj al-Talibin

Bila sepasang suami-istri atau salah seorang suami-istri murtad, seketika perkawinan mereka batal (tanajjazat al-furqah). Bila perbuatan murtad itu setelah dukhul, perkawinan mereka ditangguhkan. Bila Islam kembali mengumpulkan mereka dalam masa iddah, perkawinan mereka tetap sah apa adanya. Bila tidak demikian, maka perkawinan itu fasakh sejak perbuatan murtad. Dan percampuran diharamkan dalam masa penangguhan itu, namun tidak ada hadd.21 Tuhfah al-Muhtaj

"(Bila dua orang suami isteri murtad) secara bersama-sama (atau salah seorang di antara keduanya sebelum dukhul) yaitu persetubuhan atau masuknya air mani yang sah ke dalam farajnya (perkawinan putus seketika) karena perkawinan belum kokoh setelah hilangnya tujuan perkawinan (apabila) keduanya atau salah seorang di antara keduanya murtad (setelah dukhul, maka terjadilah) putusnya perkawinan itu, seperti talak, dhihar atau ila' (bila Islam kembali menyatukan keduanya dalam masa iddah, maka perkawinan pun tetap berlansung) di antara keduanya, karena perkawinan kembali kokoh dan bisa berlanjut (bila tidak tidak, maka perkawinan putus) di antara keduanya (dimulai) sejak (perbuatan murtad) yang dilakukan oleh keduanya atau salah seorang di antara keduanya, dan tidak bisa berlanjut (dan diharampkan persetubuhan dalam) masa (tawaqquf) mengingat perkawinan sedang di ambang kehancuran."22

21...Al-Imam al-‘Allamah Muhy al-Din Abu

Zakariyya b. Sharaf al-Nawawi (631-676 H.), 2005, Minhaj al-Talibin wa ‘Umdah al-Muftin, Jedah, Dar al-Minhaj, hlm. 386.

22 Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani,

(7)

86 Mughni al-Muhtaj

"(Bila dua orang suami-istri murtad) secara bersama-sama (atau salah seorang di antara keduanya sebelum dukhul) di mana tidak ada 'iddah dengan masuknya air mani yang sah (maka perkawinan putus seketika) di antara keduanya, karena tidak adanya kepastian adanya percampuran atau yang semisalnya. Al-Mawardi menyampaikan, bahwa masalah ini sudah ijma'. (atau setelahnya) yaitu setelah dukhul atau dalam makna yang telah disebutkan (bila tidak) di mana keduanya belum bersetubuh (maka putusnya perkawinan) di antara keduanya dihitung (sejak) saat (perbuatan murtad) yang dilakukan keduanya atau salah salah seorang di antara keduan.

"Maksudnya (ditunda) putusnya perkawi-nan itu. Pada waktu itu (apabila Islam kembali menyatukan keduanya dalam masa iddah, perkawinan terus berlanjut) di antara keduanya, karena ia kembali kokoh. Yang demikian itu karena perbedaan agama terjadi setelah persetubuhan, maka tidak mengharuskan fasakh seketika, seperti hal masuk islamnya salah seorang suami-istri yang semua kafir. (Dan diharamkan persetubuhan dalam) masa (tawaqquf itu) karena adanya kemungkinan habisnya masa iddah sebelum keduanya kembali ke pangkuan Islam, sehingga terjadi fasakhnya perkawinan sejak perbuatan murtad, dan terjadinya persetubuhan dalam masa ba'in."23

HashiyatanQalyubiwa 'Amirah

"Perkataan: (bersama-sama) artinya, adanya sifat murtad pada diri keduanya, meskipun tidak bersama-sama dan berasal dari pihak suami, seperti ketika suami mengatakan kepada isterinya: Hai orang kafir. Suami benar-benar bermaksud kafir yang sebenarnya, bukan bermaksud memaki atau talak, atau yang dikatakan oleh selain suami-isteri yang

23 Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani,

Kitab Mughni al-Muhtaj.

berbeda dengan keadaan tadi, seperti seseorang berkata kepada orang lain: Kamu bukan orang Islam. Menurut Mu'tazilah orang itu belum kafir, karena adanya perantara.

"Perkataan: (sebelum dukhul) artinya persetubuhan, meskipun pada dubur. Dalam makna ini juga memasukkan mani dalam qubul.

"Perkataan: (ditangguhkan), karena perbedaan agama terjadi setelah persetubuhan, maka tidak mengharuskan fasakh secara seketika, seperti masuk islamnya salah seorang suami-isteri.

"Perkataan: (apabila Islam kembali menyatukan keduanya) meskipun dengan perkataan suami, seperti halnya suami yang hilang kemudian dia muncul lagi setelah habisnya masa iddah, lalu dia berkata: Aku sudah kembali Islam sebelum habisnya masa iddah. Sementara isteri percara. Bila isteri tidak percaya, maka pernyataan isteri diterima, seperti perkataan isteri dalam hal rujuk."24 Al-Bayan

Ketika salah seorang suami-istri murtad, bila hal itu terjadi sebelum dukhul, perkawinan mereka fasakh. Dawud berkata, “Tidak fasakh.”25

Dalil kami, pertama firman Allah: ﺮﻓاﻮﻜﻟا ﻢﺼﻌﺑ اﻮﻜﺴﻤﺗﻻو .

Kedua, karena adanya perbedaan agama, sehingga dilarang terjadinya percampuran. Oleh karena itu, perkawinan mereka fasakh. Sama halnya dengan ketika seorang wanita

24 Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani,

Kitab Hashiyata Qalyubi wa 'Amirah.

25 Al-Shaykh al-‘Allamah Abu al-Husayn Yahya b.

Abu Khayr b. Salim ‘Imrani Shafi‘i al-Yamani (489-558 H.), 2000, al-Bayan fi Mazhhab Imam Shafi‘i, Beirut, Dar al-Minhaj, Vol. ix hlm. 355.

(8)

87 dhimmi yang dalam perkawinan dengan

seorang kafir masuk Islam.26

Bila salah seorang suami-istri murtad setelah dukhul, perkawinan mereka ditangguhkan sampai berakhirnya masa iddah. Bila orang yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka mereka tetap dalam perkawinan. Namun bila masa iddah telah berakhir, sementara orang yang murtad belum juga kembali masuk Islam, perkawinan mereka menjadi ba’in dengan perbuatan murtad itu. Ini juga pendapat Ahmad. Juga salah satu riwayat dari Malik.27

Sementara Abu Hanifah berkata, “Perkawinan itu fasakh seketika.” Ini juga salah satu riwayat dari Malik.28

Dalil kami, bahwa perbedaan agama sete-lah dukhul tidak mengharuskan fasakh seke-tika terjadinya murtad, sama dengan halnya ketika seorang wanita harbiyyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi yang wanita itu masuk Islam.29

Berdasarkan kitab ini, dibedakan antara murtadnya seorang suami atau istri sebelum dukhul dan setelah dukhul. Bila perbuatan murtad dilakukan sebelum dukhul, perkawinan itu putus dengan fasakh. Bila perbutan itu dilakukan setelah dukhul, perkawinan itu putus dengan talak raj‘i hingga sebelum masa iddah berakhir. Bila sampai berakhirnya masa iddah pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu putus dengan talak ba’in.

Al-Hawi al-Kabir

Al-Shafi‘i berkata, “Bila kedua suami-istri atau salah satu di antara mereka murtad, mereka dilarang untuk bercampur. Bila telah habis masa iddah dan mereka belum kembali

26 Ibid.. Vol. ix hlm. 356.

27 Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid.

masuk Islam, perkawinan mereka fasakh. Bila mereka kembali masuk Islam sebelum habisnya masa iddah, perkawinan mereka tetap sah.30

Al-Mawardi berkata, “Bila salah seorang suami-istri murtad, fuqaha’ berbeda pendapat tentang status perkawinan itu. Mazhab al-Shafi‘i berpendapat, bahwa perkawinan itu ditangguhkan sampai berakhirnya masa iddah. Bila orang yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, kedua suami-istri itu tetap dalam statusnya. Bila pihak yang murtad belum kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah, perkawinan pun batal.31

Malik berkata, “Kepada pihak yang murtad diajak untuk kembali masuk Islam. Bila ia kembali masuk Islam, kedua suami-istri itu tetap dalam statusnya. Bila tidak bersedia, perkawinan pun batal.”32

Abu Hanifah berkata, “Perkawinan itu telah batal dengan perbuatan murtad, tanpa masa penangguhan. Dengan dasar bahwa perbuatan murtad salah satu suami-istri mengharuskan terjadinya furqah seketika, diqiyaskan dengan hal yang sama sebelum dukhul. Atau karena setiap penyebab terjadinya fasakh perkawinan itu sama saja antara sebelum dan sesudah dukhul, seperti karena sepersusuan.33

Adapun dalil kami, bahwa perbedaan agama setelah terjadinya percampuran tidak mengharuskan disegerakannya furqah, dengan qiyas pada Islamnya salah seorang suami-istri yang masih musyrik. Atau karena perbuatan murtad itu mencederai perkawinan yang telah

30 Abu Hasan ‘Ali b. Muhammad b. Habib

al-Mawardi al-Basri, 1993, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Shafi‘i radiy Allah ‘anh/Sharh Mukhtasar Muzni, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Vol. ix hlm. 295.

31 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid.

(9)

88 terjadinya dukhul, sehingga mengharuskan

tiadanya ba’in, dengan diqiyaskan pada murtadnya kedua suami-istri.34

Bantahan atas diqiyaskannya pada sebelum dukhul, bahwa istri yang belum dicampuri itu tidak memiliki masa iddah. Oleh karenanya perlu disegerakan furqah. Sedangkan istri yang telah dicampuri itu memiliki masa iddah. Oleh sebab itu, putusnya perkawinan ditangguhkan sampai masa berakhirnya masa iddah, seperti halnya talak raj‘i yang disegerakan pada kasus istri yang belum dicampuri dan ditangguhkan pada kasus istri yang sudah ditangguhkan sampai berakhirnya masa iddah.35

Adapun jawaban atas diqiyaskannya dengan rusaknya perkawinan dengan Islamnya salah seorang suami-istri yang masih musyrik, bahwa diharamkannya perkawinan karena sepersusuan atau hubungan perkawinan itu berlangsung untuk selamanya (li ta’bid), sementara diharamkannya perkawinan karena perbuatan murtad itu bisa jadi hanya sementara.36

Berdasarkan kitab ini, Mazhab Shafi‘i berpendapat bahwa perkawinan itu dibedakan antara sebelum dukhul dan setelah dukhul, dengan adanya masa iddah pada setelah dukhul. Oleh karena itu, ketika salah seorang suami-istri murtad, juga dibedakan antara sebelum dukhul dan setelah dukhul. Bila perbuatan murtad dilakukan sebelum dukhul, perkawinan itu fasakh seketika. Bila perbuatan murtad dilakukan setelah dukhul, ditunggu hingga berakhirnya masa iddah, untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang murtad untuk kembali ke pangkuan Islam.

34 Ibid.

35 Abu Hasan ‘Ali b. Muhammad b. Habib

al-Mawardi al-Basri, 1993, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Shafi‘i radiy Allah ‘anh/Sharh Mukhtasar Muzni, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Vol. ix hlm. 296.

36 Ibid.

Al-Wasit

Bila seorang muslim murtad, dan semua agama (selain Islam) itu sama saja, maka tidak ada pilihan kecuali pedang (hukuman mati) atau masuk Islam lagi.37

Perkawinan orang yang telah murtad itu terlarang. Bila sampai mencederai keberlanjutan perkawinan, maka putusnya perkawinan terjadi seketika. Bila perbuatan murtad terjadi setelah percampuran, putusnya perkawinan ditunda sampai habisnya masa iddah, menurut al-Shafi’i. Bila ia pihak yang murtad kembali pada Islam sebelum berakhirnya masa iddah, akad bisa dilanjutkan. Bila tidak, maka perkawinan pun batal dengan perbuatan murtad itu. 38

Berdasarkan kitab ini, perkawinan itu furqah seketika bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul. Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, furqah itu ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah.

Nihayah al-Matlab

Bila perbuatan murtad terjadi dalam perkawinan, ada beberapa kemungkinan. Sebelum dukhul dan setelah dukhul. Bila hal itu terjadi sebelum dukhul, furqah pun terjadi tanpa masa penangguhan. Dan tidak ada perbedaan apakah pihak yang murtad itu istri maupun suami, atau bersama-sama. Bila terjadi hal itu, perkawinan pun fasakh seketika. Kembalinya pihak yang murtad ke Islam tidak mengembalikan perkawinan. Berbeda halnya dengan hak milik. Kami memberikan hukum, bahwa hak milik orang yang murtad itu hilang. Namun bila ia kembali masuk Islam, hak miliknya pun kembali padanya. Hal ini tidak berlaku dalam hal perkawinan.39

37 Al-Imam Hujjah al-Islam Muhammad b.

Muhammad b. Muhammad al-Ghazali (505 H.), 1997, al-Wasit fi al-Mazhhab, Kairo, Dar al-Salam, vol. v hlm. 130.

38. Ibid., vol. v hlm. 131

39 .Imam al-Haramayn ‘Abd al-Malik b. ‘Abd

(10)

al-89 Bila perbuatan murtad terjadi setelah

dukhul, tidak ada bedanya antara pihak istri atau suami yang murtad, atau mereka murtad bersama. Hukumnya menurut kami sama saja berkaitan dengan tetap atau batalnya perkawinan. Dalam keadaan itu kami berpendapat, bahwa jika perbuatan murtad terjadi dan terus berlangsung hingga ber-akhirnya masa iddah, maka perkawinan itu batal dan fasakh dihitung sejak perbuatan murtad. Jadi waktu yang berjalan setelah perbuatan murtad itu dihitung masa iddah. Bila perbuatan murtad itu berakhir sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itu tetap sah antara suami-istri itu.40

Kitab ini menyebutkan hal yang sama dengan kesimpulan sebelumnya. Masa iddah dihitung sejak terjadinya perbuatan murtad. Mughni al-Muhtaj

Bila istri atau salah seorang suami-istri murtad sebelum dukhul, di mana tidak ada iddah dengan air mani yang berasal dari suami, perkawinan putus seketika. Al-Mawardi me-ngatakan, bahwa telah ada ijma‘ dalam hal ini. Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, putusnya perkawinan itu ditangguh-kan. Bila keduanya kembali disatukan oleh Islam dalam masa iddah, perkawinan mereka tetap sah. Bila Islam tidak menyatukan mereka kem-bali dalam masa iddah, maka putusnya perkawinan itu dihitung sejak perbuatan murtad, karena adanya perbedaan agama setelah percampuran. Dalam hal ini tidak diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya salah satu suami-istri yang semula masih kafir. Namun diharamkan percampuran dalam masa penangguhan itu karena adanya kemungkinan berakhirnya masa iddah sebelum mereka kembali bersatu dalam Islam, yang menyebab-kan fasakhnya perkawinan yang dihitung sejak

Matlab fi Dirayah Mazhhab, Jedah, Dar al-Minhaj, Vol. xii hlm. 369.

40 Ibid.

perbuatan murtad dan terjadinya percampuran dalam masa iddah talak ba’in.41

Kitab ini menyebutkan hal yang sama dengan kesimpulan sebelumnya. Masa iddah dihitung sejak terjadinya perbuatan murtad. Mukhtasar al-Muzani:

Imam al-Shafi‘i berkata, “Bila salah seorang suami-istri murtad, mereka dilarang bercampur. Bila masa iddah berakhir dan mereka belum juga disatukan dalam Islam, perkawinan mereka fasakh. Bila mereka kembali disatukan Islam sebelum masa iddah berakhir, maka mereka tetap dalam perka-winan yang sah.42

Ringkasan

Seluruh kitab dalam mazhab al-Shafi‘i telah memperoleh tahqiq dari dua imam besar dalam mazhab ini, yaitu Nawawi dan al-Rafi‘i. al-Imam Ibn Hajar al-Haytami berkata, “Para muhaqqiq bersepakat bahwa semua kitab yang datang sebelum shaykhan (al-Nawawi dan al-Rafi‘i) tidak bisa dijadikan argumen, kecuali setelah melakukan penelitian dan penelusuran yang rumit, sehingga bisa diyakini sebagai yang rajih.” Hal ini berlaku apabila ia tidak bertentangan dengan shaykhan.43

Apabila hasil penelitian dan penelusuran itu ternyata bertentangan dengan shaykhan, maka yang dianggap muktabar (mu‘tamad) adalah perkataan shaykhan. Apabila kedua shaykh ini berbeda pendapat, dan tidak ada dasar untuk memenangkan salah satu di antara keduanya, atau ada tetapi sama kuatnya, yang

41 Al-Shaykh Shams Din Muhammad b.

al-Khatib al-Sharbini, 1997, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfazh al-Minhaj, Beirut, Dar al-Ma‘rifah, Vol. iii hlm. 253.

42 Al-Imam Abu Ibrahim Isma‘il b. Yahya b.

Isma‘il al-Misri al-Muzani (264 H.), 1998, Mukhtasar al-Muzani fi Furu‘ al-Shafi‘iyyah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 231.

43 ‘Ali Jum‘ah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasah

(11)

90 rajih adalah perkataan al-Nawawi. Apabila

keduanya berbeda pendapat, dan salah satu ada dasarnya, yang rajih adalah yang ada dasarnya. Apabila al-muta’akhkharun sepakat bahwa apa yang dikatakan keduanya pada sebuah masalah merupakan sebuah kekeliruan (sahwan), perkataan keduanya dalam masalah tersebut tidak lagi mu‘tabar. Namun yang seperti ini amat jarang terjadi.44

Dari 10 kitab Mazhab Shafi‘i di atas, terdapat beberapa kitab yang ditulis oleh al-Imam al-Nawawi, yaitu: al-Majmu‘, Rawdah al-Talibin, dan Minhaj al-Talibin.

Kesimpulan dari 10 kitab itu, bahwa perbuatan murtad itu dibedakan menjadi 2, yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebe-lum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul.

- Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul

Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan itu putus seketika. - Perbuatan murtad yang dilakukan setelah

dukhul

Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan itu ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itu tetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu putus.

Secara ringkas, pendapat-pendapat fuqaha’ yang terhimpun dalam kitab-kitab Mazhab Shafi’i dapat digambarkan melalui tabel berikut:

Putusnya Perkawinan karena Murtadnya Suami atau Istri

44 ‘Ali Jum‘ah Muhammad, al-Madkhal ila

Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah. hlm. 49.

dalam Mazhab Shafi’i

No. Murtad Akibat Hukum terhadap Status Perkawinan Waktu Putusnya Perkawinan 1. Sebelum dukhul. Perkawinan mereka putus seketika (ba’in) dengan jalan fasakh. Perkawinan mereka putus seketika sejak terjadinya perbuatan murtad. 2. Setelah

dukhul. Perkawinan mereka putus dengan fasakh. Perkawinan mereka diberi tenggang hingga berakhirnya masa iddah. Tapi ketika putus, putusnya dihitung sejak terjadinya perbuatan murtad Sumber : Diolah dari berbagai lieratur

2. Murtad Sebagai Sebab Putusnya Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Kata murtad dalam Kompilasi Hukum Islam disebut sebanyak dua kali, yaitu pada Pasal 75 dan Pasal 116. Pasal 75 menyebut kata murtad untuk menjelaskan dampak pembatalan perkawinan karena murtad, sedangkan Pasal 116 menyebut kata murtad sebagai salah satu alasan perceraian.

a. Pasal 75

Pasal 75 menyebutkan beberapa pengecualian dampak pembatalan perkawinan sebagai berikut:

(12)

91 Keputusan pembatalan perkawinan

tidak berlaku surut terhadap:

a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad.

b.anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

c.pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.”

Berdasarkan Pasal 75 ini, suatu perkawinan dapat menjadi sebab batalnya perkawinan, namun tidak sampai membatalkan akad perkawinan. Akad perkawinannya sendiri adalah tetap sah secara hukum. Adapun yang dibatalkan adalah masa perkawinan setelah terjadinya perbuatan murtad.

b. Pasal 116

Pasal 116 yang mengatur apa saja yang dapat diajukan sebagai alasan perceraian menyebutkan:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) salah satu pihak pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e) sakah satu pihak mendapat cacat

badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajiban-nya sebagai suami atau isteri;

f) antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan per-tengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g) Suami melanggar taklik talak; h) peralihan agama atau murtad yang

menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Pasal 116 itu, apabila seorang suami atau istri murtad, terlebih dahulu dilihat, apakah perbuatan murtad itu menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga?

Bila perbuatan murtad itu menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka ia dapat dijadikan alasan perceraian. Sebaliknya, bila perbuatan murtad itu tidak menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka ia tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

Untunglah dalam KHI ini tidak disebutkan adanya kemungkinan perbuatan murtad itu malah menyebabkan bertambah-nya keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam hal perbuatan murtad itu malah menyebabkan bertambahnya keharmonisan dalam rumah tangga, tentu ia semakin tidak mungkin diajukan sebagai sebab perceraian. 3. Tinjauan Madzhab Syafi'i Terhadap

Pasal-Pasal Dalam KHI Tentang Murtad Sebagai Sebab Putusnya Perkawinan

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam hanya ada 2 pasal yang meyinggung masalah murtadnya seorang suami atau istri, yaitu Pasal 75 dan Pasal 116. Oleh karena itu, pembahasan pada bab ini akan penulis fokuskan pada kedua pasal tersebut.

(13)

92 a. Analisa Pasal 75 dalam Perspektif Kitab

Madzhab Syafi'i

Meskipun Pasal 70 sebelumnya tidak menyebutkan murtad sebagai salah satu sebab batalnya perkawinan, Pasal 75 ini memberikan pemahaman, bahwa murtad merupakan salah satu sebab batalnya perkawinan.

Namun demikian, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 75 itu, pembatalan sebuah perkawinan karena perkara murtad itu tidak mengubah keabsahan perkawinan tersebut sebelum dinyatakan batal oleh pengadilan. Oleh karena itu, Pasal 75 ini juga menyebutkan bahwa keputusan pembatalan sebuah perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Dalam kitab-kitab Mazhab Shafi’i, perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri menyebabkan fasakhnya perkawinan. Apabila perbuatan murtad itu dilakukan sebelum dukhul, maka perkawinan itu putus seketika. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi pasangan itu untuk rujuk, meskipun pihak yang murtad sudah kembali masuk Islam, kecuali dengan akad baru. Apabila perbuatan murtad itu dilakukan setelah dukhul, maka pasangan itu masih punya kesempatan untuk rujuk hingga berakhirnya masa iddah.

Berdasarkan keterangan singkat tersebut, Pasal 75 ini sesuai dengan kitab-kitab Mazhab Shafi’i.

b. Analisa Pasal 75 dalam Perspektif Kitab Madzhab Syafi'i

Khusus berkaitan dengan perkara murtad, Pasal 116 ini memberikan dua syarat bagi perceraian dengan alasan murtad, yaitu: telah murtadnya salah seorang suami atau istri, dan murtad itu

menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Dengan demikian, apabila salah seorang suami atau istri murtad, dan perbuatan murtad itu menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, barulah perbuatan murtad itu dapat menjadi alasan perceraian.

Pemilahan Murtad dalam Pasal 116 KHI Jenis Perbuatan Murtad Akibat Hukum Menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dapat menjadi alasan perceraian. Tidak menyebabkkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Tidak dapat menjadi alasan perceraian. Sumber : Diolah dari berbagai lieratur

Ditinjau dari perspektif kitab Madzhab Syafi'i, Pasal 116 ini tidak bersesuaian.

Pemilahan Murtad dalam Kitab Madzhab Syafi'i Jenis Perbuatan Murtad Akibat Hukum Murtad sebelum dukhul. Seketika perkawinan putus dengan fasakh. Murtad setelah

dukhul. Fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang mur-tad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa di-selamatkan. Bila pi-hak yang murtad be-lum atau tidak juga

(14)

93 kembali hingga

ha-bisnya iddah, perka-winan pun fasakh, terhitung sejak ter-jadinya murtad. Sumber : Diolah dari berbagai lieratur

Di sini terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kitab-kitab Madzhab Syafi'i dan Pasal 116. Menurut kitab-kitab Madzhab Syafi'i, perbuatan murtad itu merupakan suatu tindakan yang berbahaya, lebih berbahaya daripada kebiasaan mengkonsumsi minuman keras, berjudi atau berzina. Sementara KHI memandang kebiasaan mengkonsumsi minuman keras, berjudi dan berzina itu sebagai perbuatan yang lebih berbahaya daripada perbuatan murtad.

Hal ini sungguh layak untuk mem-peroleh perhatian. Bila kita amati, per-buatan murtad dalam kitab-kitab Madzhab Syafi'i itu dibahas dalam bab jinayah. Perbuatan murtad dalam taraf tertentu pelakunya bisa dijatuhi hukuman mati. Sedangkan pelaku perjudian dan peminum minuman keras dijatuhi hukuman yang lebih ringan dari hukuman mati. Adapun hukuman rajam bagi pelaku perzinahan harus memenuhi beberapa syarat yang hampir mustahil untuk dipenuhi, kecuali pelakunya mengaku sendiri.

Sementara KHI yang hidup di Indo-nesia, menganggap perbuatan murtad itu sebagai salah satu hak azasi manusia. Kita ingat bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang melindungi tiap warganya untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Hanya saja nampaknya sampai saat ini belum ada Undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat se-seorang yang terbukti mempermainkan agama dengan cara keluarmasuk agama tanpa adanya keyakinan, atau minimal yang

menunjuk-kan pelakunya hendak mempermainmenunjuk-kan agama. Perbedaan cara pandang terhadap perbuatan murtad inilah agaknya yang menyebabkan putusan yang berbeda antara kitab-kitab Madzhab Syafi'i dan KHI.

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis lakukan, berikut ini adalah dua kesimpulan utama yang penulis ambil berkaitan dengan masalah murtadnya seorang suami atau istri:

1. Gambaran pasal-pasal tentang murtad sebagai sebab putusnya perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

Terdapat 2 pasal KHI yang menyebutkan kata murtad, yaitu Pasal 75 dan Pasal 116. Pasal 75 secara eksplisit menyebutkan, bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad. Secara implisit, pasal 75 ini memberikan pemahaman, bahwa murtadnya salah seorang suami atau istri itu membatalkan perkawinan, namun batalnya perkawinan itu dihitung sejak dibatalkannya perkawinan saja, bukan sejak akad perkawinan. Sehingga dampak hukum dari perkawinan itu, seperti anak-anak yang lahir dalam perkawinan, tetap diakui keabsahannya.

Sedangkan Pasal 116 menyebutkan beberapa alasan perceraian yang di antaranya adalah perbuatan murtad yang dilakukan salah seorang suami atau istri yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan kata lain, apabila perbuatan murtad itu tidak disertai dengan ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka perbuatan murtad suami atau istri tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

(15)

94 2. Tinjauan Kitab Madzhab Syafi'i terhadap

Pasal-pasal KHI tentang Murtad sebagai Sebab Putusnya Perkawinan

Seluruh kitab Madzhab Syafi'i menyebutkan, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan seorang suami atau istri mengakibatkan putusnya perkawinan.

Pasal 75 bersesuaian dengan kitab Madzhab Syafi'i yang menyebutkan bahwa perbuatan murtad yang dilakukan oleh suami atau istri itu menyebabkan putusnya perkawinan dengan jalan fasakh, namun fasakhnya perkawinan itu tidak membatalkan akad perkawinan. Fasakhnya perkawinan itu dihitung sejak murtadnya suami atau istri tersebut.

Adapun Pasal 116 tidak bersesuaian dengan kitab Madzhab Syafi'i.

SARAN

Untuk mempertegas perkara murtad dalam rumah tangga, hendaknya kedua pasal KHI (Pasal 75 dan 116) ditinjau ulang; apakah perbuatan murtad itu menyebabkan batalnya perkawinan (Pasal 75) atau perceraian (Pasal 116)?

Adanya dua pasal yang secara bersamaan mengatur satu perkara dengan putusan yang berbeda ini, jelas menunjukkan ketidaktegasan Tim Penyusun KHI dalam merumuskan perkara murtadnya salah seorang suami atau istri, sehingga menimbulkan polemik yang tiada henti.

Bila perkara murtad menyebabkan putusnya perkawinan dengan jalan pembatalan, hendaknya ada penambahan ayat pada Pasal 70, bahwa salah satu sebab batalnya perkawinan adalah murtadnya salah seorang suami atau istri.

Bila perkara murtad menyebabkan putusnya perkawinan dengan jalan perceraian atau talak, hendaknya klausul: “…yang menyebab ketidak-rukunan dalam rumah tangga,” pada Pasal 116 dihapus. Hendaknya kita juga mempertimbang-kan keselamatan agama bagi anggota keluarga

yang masih beriman. Bukannya kita hendak menafikan kebebasan beragama, namun murtadnya salah seorang suami atau istri sudah cukup menjadi bukti, bahwa telah terjadi masalah yang serius menyangkut tujuan perkawinan dalam rumah tangga itu.

Bila ingin memberikan klausul pada “huruf murtad” itu, hendaknya huruf itu berbunyi: “peralihan agama atau murtad yang tidak bisa dikembalikan kepada agama Islam sampai berakhirnya masa iddah.” Dengan demikian, apabila sampai berakhirnya masa iddah pihak yang murtad tidak bersedia kembali kepada Islam, ikatan yang ha-ram itu bisa segera diputus.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Jaib, Sa‘di. Musu‘ah Ijma fi Fiqh al-Islami. Tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun.

Abu Zahrah, Al-Imam Muhammad. Ahwal al-Sakhsiyyah. tt.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt. al-‘Imrani, al-Shaykh al-‘Allamah Abu al-Husayn

Yahya b. Abu al-Khayr b. Salim al-Shafi‘i al-Yamani (489-558 H.). al-Bayan fi Mazhhab al-Imam al-Shafi‘i. Beirut: Dar al-Minhaj, 2000. Editor: Qasim Muhammad al-Nuri.

al-Ghazali, Al-Imam Hujjah al-Islam Muhammad b. Muhammad b. Muhammad (505 H.). al-Wasit fi al-Mazhhab. Kairo: Dar al-Salam, 1997. Tahqiq: Ahmad Mahmud Ibrahim. al-Jabri, Abdul Muta’al. Apa Bahayanya

Menikah dengan Wanita Nonmuslim? Tinjauan Fiqih dan Politik. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

al-Juwayni, Imam al-Haramayn ‘Abd al-Malik b. ‘Abd Allah b. Yusuf. Hidayah al-Matlab fi Dirayah al-Mazhhab. Jedah: Dar al-Minhaj, 2007. Tahqiq: ‘Abd ‘Azhim Mahmud al-Dib.

al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali b. Muhammad b. H}abib -Basri. al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Shafi‘i radiy Allah ‘anh (Sharh Mukhtasar al-Muzni). Beirut:

(16)

95 Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993. Tahqiq:

‘Ali Muhammad Mu‘awwad dan ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud.

al-Muzani, al-Imam Abu Ibrahim Isma‘il b. Yahya b. Isma‘il al-Misri (264 H.). Mukhtasar Muzani fi Furu‘ Shafi‘iyyah. Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.

al-Nawawi, al-Imam Abu Zakariyya Muhy al-Din b. Sharaf. Kitab Majmu‘ Sharh al-Muhazhzhab. Jedah: Maktabah al-Irshad, tt. Tahqiq: Muhammad Najib al-Muti‘i.

al-Nawawi, al-Imam Abu Zakariyya Yahya b. Sharaf Dimashqi (676 H.). Rawdah al-Talibin. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003. Tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘rid.

al-Nawawi, al-Imam al-‘Allamah Muhy al-Din Abu Zakariyya b. Sharaf (631-676 H.). Minhaj al-Talibin wa ‘Umdah al-Muftin. Jedah: Dar al-Minhaj, 2005.

al-Shafi‘i, al-Imam Muhammad b. Idris (204 H). al-Umm. tt.: Dar al-Wafa’, tt.

al-Sharbini, al-Shaykh Shams al-Din Muhammad b. al-Khatib. Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfazh Minhaj. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997. Editor: Muh}ammad Khalil ‘Itani.

al-Shirazi, Abu Ishaq (393-476 H.). al-Muhaz-hzhab fi Fiqh al-Imam al-Shafi‘i. Damas-kus/Beirut: Dar al-Qalam/al-Dar al-Sha-miyyah, 1996. Tahqiq: Muhammad al-Zu-hayli.

al-Zuhaili, Wahbah al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1985. Bisri, Cik Hasan dkk. Kompilasi Hukum Islam

dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Logos, 1999.

Hasan, Sofyan.Hukum Islam: Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Literata Lintas Media, 2003.

Jum‘ah, ‘Ali Muhammad. al-Madkhal ila> Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah. Kairo: Dar al-Salam, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.

Nur, Muliadi. Tipologi Penelitian Hukum.Dalam: http://pojokhukum.blogspot.com/search/lab el/Metode%20Penelitian%20Hukum. Diakses pada tanggal: 30 Desember 2009. Redaksi New Merah Putih.Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Yogya-karta: New Merah Putih, 2009.

Redaksi Sinar Grafika. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap dilengkapi dengan Piagam Jakarta. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Tim Redaksi Fokusmedia. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Hibah harta peninggalan isteri pertama oleh suami kepada isteri kedua menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tidak sah Hal ini didasarkan pada Pasal 87 ayat (2) KHI dan

Adapun yang dimaksud dari arti perkawinan tersebut adalah “ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”, dalam artian ikatan

Sedangkan dalam pasal 855 KUHPerdata yaitu; “ Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal

Jika salah satu pihak (suami atau isteri) meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah, maka ini menjadi alasan diperbolehkannya

Persetujuan istri ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak

Ketentuan tersebut berbunyi, Bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin isteri untuk

1) Hubungan antar keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul. Perkawinan adalah akad yang membolehkan

Menurut firman Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri