• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Unsur-unsur Livelihoods

Secara etimologis makna kata livelihoods meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik) dan aktifitas dimana akses atas aset tersebut dimediasi oleh suatu kelembagaan dan relasi sosial yang secara terpadu mendikte hasil-hasil yang diperoleh individu maupun keluarga. Kata akses didefinisikan sebagai aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang yang memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumberdaya seperti penggunaan lahan di desa atau komunitas kampung (Saragih et al. 2007).

Sumber : Departement for International Development of the United Kingdom diacu dalam Serrat (2008)

Gambar 4 Kerangka Sustainable Livelihood Approach (SLA).

4.1.1 Sumberdaya Manusia

Pengetahuan dan keterampilan masyarakat Kasepuhan Citorek pada dasarnya memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Namun, harus diarahkan ke dalam aspek ekonomi. Keterampilan tersebut berupa kerajinan seperti iket kepala yang

(2)

menjadi ciri khas masyarakat Halimun secara umum, tempat nasi, serta caping untuk bersawah. Caping tersebut terbuat dari rotan dan merupakan salah satu ciri khas yang jarang ditemukan di tempat lain karena bentuknya yang unik. Kerajinan tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah souvenir Kasepuhan Citorek, walaupun keuntungannya tidak terlalu besar apabila dikerjakan dengan skala kecil. Namun, dengan tetap memproduksi barang atau alat tradisional tersebut dapat menjaga kelestarian budaya Kasepuhan Citorek. Perbedaannya terletak pada pemanfaatannya, apabila pendahulu Kasepuhan Citorek memakai alat kerajinan tersebut memang untuk kebutuhan hidup yang dipakai, saat ini kerajinan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menjualnya.

Selain kerajinan tangan yang dapat dijadikan alternatif mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Citorek, produksi padi pun dapat menjadi komoditi dengan nilai jual yang tinggi. Hingga saat ini Kasepuhan Citorek masih memegang sistem pertanian tradisional dengan masa panen setahun sekali. Disamping segala kekurangan pemenuhan kebutuhan dari hasil padi tersebut, pada dasarnya masyarakat dapat memanfaatkan potensi yang baik pada hasil panen padi. Padi hasil panen Kasepuhan Citorek memiliki nilai jual ekonomis yang sangat tinggi di dunia kuliner. Padi Kasepuhan Citorek dikenal dengan beras merah yang memiliki harga jual lebih tinggi dari beras putih pada umumnya. Apabila masyarakat dapat memanfaatkan potensi dan peluang yang untuk kemudian masyarakat melakukan swasembada pangan khusus padi, maka kesejahteraan masyarakat pun dapat terjamin walaupun sudut pandang kesejahteraan sangat luas. Namun, kebutuhan dasar masyarakat akan terjamin.

Aspek lain dari sumberdaya manusia Kasepuhan Citorek adalah kesehatan. Wawancara secara acak dilakukan untuk mengetahui kondisi sebagian besar warga Kasepuhan Citorek. Berdasarkan hasil wawancara tersebut didapat bahwa kondisi kesehatan masyarakat Kasepuhan Citorek secara umum adalah sehat. Penyakit yang diderita masyarakat berdasarkan hasil wawancara pada umumnya berupa sakit maag karena sering terlambat makan dan demam karena flu. Penyakit lain yang masuk kategori parah adalah radang lambung. Kesulitan biaya menjadi salah satu faktor lamanya penyembuhan penyakit tersebut. Selain itu, penyakit

(3)

tersebut hanya diobati dengan obat tradisional yang berasal dari dedaunan dan akar dari hutan.

Kesehatan masyarakat Kasepuhan Citorek secara umum termasuk kategori baik. Pada umumnya, masyarakat Kasepuhan Citorek pada kisaran umur 50an tahun masih melakukan aktifitas meladang dengan kondisi bugar. Hal ini diduga dapat karena adanya budaya jalan kaki masyarakat Kasepuhan Citorek. Selain itu, kondisi sarana transportasi yang sangat minim di Kasepuhan Citorek. Sebagai contoh, pada rentang tahun 1980-1990 masyarakat Kasepuhan Citorek harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk pergi sekolah SMP. Namun, sekitar tahun 2000, keadaan sedikit bergeser dalam hal budaya jalan kaki. Sarana transportasi mulai banyak masuk seperti mobil, motor, dan transportasi umum lainnya. Akibat dari adanya perubahan budaya tersebut terhadap tingkat kesehatan masyarakat Kasepuhan Citorek belum dapat dipastikan. Namun, diduga terdapat sedikit penurunan tingkat kesehatan seiring hilangnya budaya jalan kaki tersebut. Penurunan tingkat kesehatan dapat diukur dengan membandingkan dua generasi masyarakat Kasepuhan Citorek (generasi sebelum dan setelah masuknya sarana transportasi) pada usia yang sama.

4.1.2 Sumberdaya Alam

Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat Kasepuhan Citorek sangat bergantung kepada kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan kondisi potensi sumberdaya alam yang terdapat di sekitar wewengkon Kasepuhan Citorek. Kajian penelitian membatasi ruang lingkup penelitian pada sumberdaya sosial yang ada di Kasepuhan Citorek, maka sumberdaya lain yang terdapat dalam konsep pendekatan livelihoods lain didasarkan pada data sekunder dan hasil pengamatan secara langsung. Beberapa potensi sumberdaya alam yang terdapat di Citorek salah satunya ialah sumberdaya tanah yang subur karena dikelilingi oleh hutan alam yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Potensi sumberdaya tanah tersebut dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan pertanian dan perkebunan oleh masyarakat Citorek. Kegiatan pertanian di Citorek memiliki kekhasan dalam sistem pertaniannya yang hanya menggunakan lahan taninya setahun sekali dengan lama tanam enam bulan. Bibit padi yang digunakan

(4)

adalah bibit lokal yang turun temurun dipakai sebagai bibit utama dalam menanam padi. Bibit lokal ini menghasilkan beras yang berwarna merah dan berukuran lebih besar dan padat dari beras yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sistem pertanian yang telah digunakan secara turun temurun tersebut yang menjadikan sistem pertanian ini diadopsi menjadi adat Kasepuhan Citorek secara keseluruhan. Pada kenyataannya, tidak seluruh warga kasepuhan memakai sistem pertanian adat tersebut. Terdapat 2-3 keluarga di Kasepuhan Citorek yang menggunakan sistem pertanian rekomendasi pemerintah (panen 2-3 kali dalam setahun). Tabel 5 menginformasikan luas penggunaan lahan menurut desa di Kasepuhan Citorek.

Tabel 5 Luas tanah masing-masing desa menurut penggunaannya dalam hektar (ha) di Kasepuhan Citorek

No. Desa Sawah Lahan Bukan

Sawah Lahan Non Pertanian Jumlah 1. Citorek Tengah 992 1.024 207 2.223 2. Citorek Timur 145 1.549 18 1.712 3. Citorek Kidul 750 1.357 5 2.112 4. Citorek Barat 308 1.904 10 2.222 5. Citorek Sabrang 275 1.407 16 2.698

Tabel 5 menunjukan Kasepuhan Citorek masih memiliki luasan lahan untuk sawah cukup tinggi. Penggunaan lahan non pertanian diartikan sebagai lahan yang diperuntukan untuk toko, peternakan, atau usaha lainnya. Angka tersebut masih menunjukan trend positif untuk bidang pertanian bagi masyarakat. Namun, perlu diperhitungkan juga untuk 10-20 tahun kemudian dimana kebutuhan lahan untuk pemukiman dan lahan non pertanian lainnya yang akan meningkat. Hal yang akan terjadi ialah peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Oleh karena itu, peruntukan lahan untuk sawah atau lahan lainnya akan semakin berkurang.

Adanya kecenderungan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan status enclave Kasepuhan Citorek yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional, dirasa perlu dilakukan proyeksi kependudukan untuk menghindari overlap pendudukan lahan antara masyarakat dengan taman nasional di masa mendatang. Kajian penelitian ini mencoba melakukan proyeksi kependudukan hingga 10 tahun kemudian dan kelipatannya. Namun, data terkait kebutuhan penghitungan proyeksi tidak dapat ditemukan baik di tingkat desa ataupun di

(5)

tingkat BPS. Hal tersebut dikarenakan proyeksi penduduk biasanya dilakukan di tingkat kabupaten, provinsi atau nasional.

Masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki kalender tani dalam istem pertanian mereka yang kemudian menjadi adat. Kalender tani ini diartikan sebagai tahapan pasti yang diatur secara adat menggunakan mekanisme musyawarah lembaga adat dalam penentuan tanam dan panen padi. Oleh karena itu, kalender tani ini pun tidak memiliki kepastian tanggal atau bulan kapan tanam atau panen padi. Pihak kasepuhan memiliki kalender astronomi sendiri berdasarkan tanda alam yang terjadi. Adapun tahapan sistem pertanian Kasepuhan Citorek adalah sebagai berikut:

a. Ngagalenganan/mopog: Membetulkan atau merapikan pembatas (pematang sawah) yang menjadi batas dengan sawah yang lainnya.

b. Macul: Macul menyangkut macul badag dan macul alus di sawah.

c. Nyogolan: Meratakan seluruh permukaan tanah di sawah (bagian sawah) yang belum rata.

d. Musyawarah Titiba Binih: Musyawarah baris kolot (petinggi kasepuhan) untuk menentukan waktu tebar.

e. Tebar/sebar: Menumbuhkan bibit padi pada persemaian atau pabinihan (membibitkan awal).

f. Cabut: Mengambil bibit padi pabinihan atau tempat persemaian untuk ditandur atau ditanam.

g. Tandur: Menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah tebar.

h. Ngoyos 1/ngaramet: Membersihkan tanaman penggangu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.

i. Babad: Membersihkan rumputan atau tanaman pengganggu di pematang sawah.

j. Ngoyos 2: Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.

k. Mipit: Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen. l. Dibuat: Panen padi yang matang.

m. Ngalantay/moe: menjemur padi setelah dipanen di atas lantayan (semacam batang kayu yang dibuat horizontal).

(6)

n. Ngunjal: Mengangkut padi dari lantayan ataupun sawah setelah dipocong. Pocong merupakan gabungan tiga ikat padi menjadi satu.

o. Asup leuit: Memasukan padi yang sudah kering dari jemuran lantayan.

p. Nganjaran: Syukuran untuk padi yang baru dipanen dan memasak nasi dari padi yang dipanen pada tahun tersebut.

q. Badamian seren taun: Musyawarah untuk merencanakan acara seren tahun. Sistem pertanian tradisional tersebut sejalan dengan sistem perkebunan yang ada di Kasepuhan Citorek dengan penggunanaan mekanisme tumpang sari seperti huma. Pada dasarnya huma merupakan sistem tanam padi yang menggunakan lahan kering sebagai media tanamnya. Namun, dengan sistem tersebut masyarakat memanfaatkan lahan secara optimal dengan menggunakan beberapa lahan kosongnya dengan tanaman lain yang bersifat produksi baik buah ataupun kayu sebagai hasil panennya. Tanaman yang biasa di tanam di lahan huma adalah jenis palawija dan kayu produksi (jengjeng), jagung, ubi jalar, ubi, dan sayur-sayuran seperti kacang panjang, cabe, tomat dan ketimun. Dalam pengelolaannya huma memiliki beberapa tahapan kagiatan meliputi:

a. Nyacar: Membersihkan lahan dari tanaman yang tumbuh pada lahan yang akan dijadikan huma

b. Ngaduruk: Membakar bekas-bekas tanaman yang ditebang pada lahan yang akan dijadikan huma tetapi menunggu sampai keringnya sisa-sisa tanaman tersebut.

c. Ngaseuk: Menanam padi pada lubang-lubang yang sudah disediakan dengan menggunakan alat aseuk (kayu dengan ukuran sebesar kepalan tangan dengan ujungnya diruncingkan).

d. Ngored: Membersihkan tanaman pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi huma (ngored 1 dan 2).

e. Mipit: Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen padi huma.

f. Panen: Panen mengambil/ memetik tanaman padi yang sudah matang atau sudah layak untuk dipanen.

(7)

4.1.3 Sumberdaya Ekonomi

Pendekatan livelihoods concept memiliki salah satu pilar yakni sumberdaya ekonomi. Sumberdaya ekonomi dalam hal ini mendasarkan pada tabungan, kredit/hutang baik formal maupun informal atau yang diberikan LSM, kiriman dari keluarga yang bekerja di luar daerah, dana pensiun, dan upah/gaji. Pemberdayaan masyarakat di masa sekarang memiliki kendala yang sangat kompleks. Hal ini dikarenakan “rezim pertumbuhan” ala orde baru telah banyak menyisakan rancang bangun yang tidak ramah terhadap rakyat banyak. Selain itu, juga menimbulkan kerusakan yang dahsyat terhadap sumberdaya alam. Kesukaran lain yang juga akan dihadapi adalah menyangkut kesiapan teknis dari berbagai pihak terutama birokrasi/pemerintah dan legislatif. Hal ini dikarenakan gagasan pemberdayaan rakyat harus dibarengi dengan perubahan kultural ditingkat perilaku politik terutama perilaku birokrasi dan legislatif (Sasono 1998). Sumberdaya ekonomi masyarakat Kasepuhan Citorek tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Sumberdaya ekonomi masyarakat Kasepuhan Citorek No Sub sumberdaya ekonomi Uraian

1 Tabungan di bank ya: 13 responden tidak: 87 responden 2 Kredit atau cicilan ya: 4 responden

tidak: 96 responden

3 Pendapatan 24 responden > 1.000.000/bulan 76 responden < 1.000.000/bulan 4 Lahan tani atau kebun dengan

luas 0.5 – 2 ha

ya: 98 responden tidak: 2 responden 5 Alat pertanian modern ya: 8 responden

tidak: 92 responden Keterangan: 100 responden

Sumberdaya ekonomi masyarakat Kasepuhan Citorek pada dasarnya memiliki tingkat yang cukup rendah. Rata-rata pendapatan melalui uji sampel acak 100 responden yang memiliki pendapatan diatas Rp 1 juta hanya 24 orang dan sisanya 76 orang dibawah Rp 1 juta. Namun demikian, pendapatan tersebut bukan merupakan gaji yang sifatnya permanen atau pasti didapatkan di tiap bulannya. Pendapatan tersebut adalah hasil dari usaha-usaha yang dilakukan masyarakat seperti bertani, buruh tambang, buruh tani, buruh bangunan, dagang dan lainnya. Masyarakat yang memiliki pendapatan diatas Rp 1 juta artinya masyarakat yang memiliki rataan pemasukan dari hasil usahanya tersebut minimal Rp 1 juta, sedangkan masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah Rp 1 juta

(8)

memiliki rentang ukuran kecukupan kebutuhan sehari-harinya yang beragam. Perbandingan kecukupan dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat menghasilkan bahwa masyarakat Kasepuhan Citorek sebagian besar masih hidup di level minim bahkan kurang dengan dasar pendapatan tersebut. Namun, faktor lain muncul yaitu sistem bertani masyarakat yang 98 responden dari 100 responden memiliki lahan garapan sawah. Hal tersebut mengartikan bahwa walaupun memiliki pendapatan yang minim bahkan kurang, masyarakat Kasepuhan Citorek setidaknya tidak akan kekurangan makan sehari-harinya.

Tabel 6 menginformasikan bahwa sumberdaya ekonomi yang dimiliki masyarakat Kasepuhan Citorek lebih bersifat harta kekayaan fisik bukan berupa kekayaan yang bersifat nilai jual langsung seperti uang ataupun alat. Namun demikian, irisan jumlah pendapatan a dan b tidak menghasilkan sifat investasi yang berbanding lurus. Jumlah responden yang memiliki tabungan hanya 13 orang dari 76 responden yang memiliki pendapatan b. Hasil tersebut dapat diartikan luas seperti a). tingkat konsumsi responden yang berpendapatan b tersebut tinggi, b). tingkat kebutuhan responden yang berpendapatan b tinggi karena memiliki anak atau pengurusan lahan yang membutuhkan biaya operasional tinggi pula, atau c). budaya menabung di instansi formal seperti bank memang belum terbiasa di Kasepuhan Citorek.

Menurut Rianse (2009) tingkat kesejahteraan petani secara utuh perlu dilihat dari berbagai hal antara lain perkembangan jumlah pengeluaran mereka baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk produksi. Dalam hal ini petani sebagai produsen dan juga konsumsen dihadapkan kepada pilihan dalam mengalokasikan pendapatannya, yaitu:

a. Memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) demi kelangsungan hidup petani serta keluarganya.

b. Pengeluaran untuk budidaya pertanian yang merupakan ladang penghidupannya yang mencakup biaya operasional produksi dan investasi.

Kedua unsur tersebut hanya dapat dilakukan apabila kebutuhan pokok petani telah terpenuhi. Dengan demikian, investasi dan pembentukan barang modal merupakan faktor penentu bagi tingkat kesejahteraan petani. Kemudian apabila masyarakat masih sangat minim untuk menabung maka tingkat

(9)

kesejahteraannya pun belum tercapai dengan baik. Selain itu, hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat masih sangat awam dengan instansi formal seperti bank. Awamnya masyarakat dengan instansi formal dapat menjadi wajar karena aksesibilitas ke kota pun sulit dan jauh. Baru beberapa tahun belakangan ini masyarakat mulai mengenal instansi formal seiring dengan datangnya berbagai peneliti baik individu atau kelompok seperti LSM, masuknya listrik, dan diperbaikinya sebagian jalan oleh pemerintah setempat.

4.1.4 Sumberdaya Fisik

Pendekatan livelihood concept sumberdaya fisik merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunannya. Sumberdaya fisik menekankan pada sarana dan prasarana yang secara fisik terdapat di Kasepuhan Citorek, baik fasilitas yang dibangun swadaya oleh masyarakat ataupun hibah dari pemerintah. Sarana dan prasarana tersebut tersaji pada Gambar 5.

(a) (b)

(c) (d)

(10)

Keterangan: Gambar (a) kondisi jalan di Wewengkon Kasepuhan Citorek; (b) menara pemancar di Wewengkon Kasepuhan Citorek; (c) masjid di Desa Citorek Tengah; (d) pos kamling yang terdapat di Desa Citorek Tengah; (e) sekolah dasar di Desa Citorek Tengah; dan (f) sekolah Diniyah di Desa Citorek Tengah.

Gambar 5 Sarana dan prasarana fisik yang terdapat di Kasepuhan Citorek. Aksesibilitas menuju Kasepuhan Citorek sejak tahun 2011 telah mengalami banyak perbaikan. Jalan berlobang hanya pada beberapa titik dan jalan berbatu pada beberapa bagian akan diperbaiki pada tahun 2012 menurut penuturan pegawai taman nasional di Resort Citorek. Fasilitas umum yang terdapat di Kasepuhan Citorek adalah lapang sepak bola, MCK (Mandi Cuci Kakus) umum, sekolah dari SD hingga SMA, pos jaga atau kamling, tower sinyal, dan masjid. Kondisi fasilitas pendidikan tidak cukup baik dibanding dengan kebutuhan ruang dari jumlah anak yang ada di sekolah tersebut. Hanya terdapat satu bangunan SMP dan SMA di Kasepuhan Citorek. Hal tersebut tidak cukup menaungi kebutuhan penduduk yang memerlukan fasilitas pendidikan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana Masyarakat dan Pemerintah Desa (BP2KBMPD) Kabupaten Lebak, tidak terdapat pemberdayaan masyarakat yang secara langsung dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten dibawah BP2KBMPD tersebut bertindak sebagai fasilitator. Program pemberdayaan pada dasarnya dirancang sendiri oleh masyarakat. Mekanismenya adalah masyarakat masing-masing desa merancang program untuk bantuan sebanyak 2 program yakni sarana dan prasarana. Program tersebut selanjutnya dikompetisikan di tingkat kecamatan. Kompetisi tersebut dilakukan dengan musyawarah untuk menentukan program mana yang mendapat bantuan dana.

Pemerintah kecamatan memiliki konsultan sebagai Fasilitator untuk menyelenggarakan musyawarah penentuan program tersebut dan memiliki UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) dalam mengawasi hingga mengevaluasi program hingga akhir. Total dana untuk bantuan di tingkat kecamatan naik dari tahun 2011 yang bernilai sekitar Rp 600 juta menjadi sekitar Rp 1,05 milyar pada tahun 2012. Pada akhirnya, laporan kegiatan tersebut dihimpun oleh kecamatan dan diserahkan kepada pemerintah kabupaten melalui BP2KBMPD. Kecamatan Cibeber memiliki 22 desa dalam naungannya dan Kasepuhan Citorek untuk tahun 2012 meloloskan tiga desa yang masuk dalam program bantuan dana tersebut

(11)

melalui SPC (Surat Penetapan Camat) yang telah keluar. Tiga desa tersebut ialah desa Citorek Tengah dan Citorek Kidul dengan program perbaikan jalan serta Citorek Barat dengan perbaikan Sekolah Madrasah setingkat SD.

(12)

4.2 Unsur-unsur Sumberdaya Sosial

Sumberdaya sosial adalah setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif (Cohen & Prusak 2001). Sedangkan menurut Hasbullah (2006) modal sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Sumberdaya sosial memiliki definisi yang berbeda-beda tergantung dengan kondisi masyarakat yang diteliti dan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Sumberdaya sosial yang sejalan dengan kondisi masyarakat Kasepuhan Citorek dan tujuan penelitian ini adalah sumberdaya sosial menurut Dharmawan (2002) diacu dalam Margiati (2007) yang menyebutkan bahwa sumberdaya sosial sebagai salah satu modal dalam masyarakat yang mempunyai tiga pilar penting, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma sosial (social norms), dan jaringan sosial (social networking). Penguatan pemahaman tentang tiga pilar penting sumberdaya sosial dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan sejalan dengan Putnam (1993; 1996; 2000) yang menyatakan bahwa sumberdaya sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan sosial yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun kelompok.

4.2.1 Kepercayaan

Kepercayaan menurut Fukuyama (2002) diacu dalam Hasbullah (2006) adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan sumberdaya sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam berbagai

(13)

ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama.

Masyarakat Kasepuhan Citorek sangat menyadari asal usul darimana mereka berasal. Kesadaran akan asal usul tersebut yang secara tidak langsung membangun sistem hubungan sosial yang sangat tinggi. Rasa dan kesadaran tinggi pada moyang yang sama menyebabkan masyarakat Kasepuhan Citorek secara umum menganggap bahwa tetangga, baik yang dekat ataupun yang berbeda desa sekali pun adalah saudara. Anggapan tersebut begitu melekat pada hampir seluruh masyarakat Kasepuhan Citorek. Didukung dengan adanya acara atau kegiatan adat yang memang dilakukan bersama, menumbuhkan tingkat kebersamaan yang sangat tinggi. Kombinasi persepsi persaudaraan yang sangat tinggi dan kegiatan adat yang secara alami terbangun bersama tersebut menimbulkan tingkat kepercayaan antar sesama atau tetangganya sangat tinggi. Tingkat kepercayaan antar warga kasepuhan sangat tinggi dibuktikan dengan rendahnya tingkat konflik yang terjadi. Berbagai instansi seperti desa dan pihak kepolisian tidak memiliki laporan tingkat konflik atau kejahatan yang terjadi diantara masyarakat Citorek.

Masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki tingkat kepercayaan yang berbeda kepada pihak luar. Kepercayaan terhadap pihak luar tersebut secara umum terbilang sedang bahkan rendah. Berdasarkan hasil identifikasi dan wawancara, pihak-pihak yang pernah dan masih melakukan hubungan dengan masyarakat Citorek adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang memiliki kantor resort di Citorek, beberapa LSM (RMI dan Aman) yang pernah melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan instansi pemerintah baik dari provinsi, kabupaten, kecamatan, atau desa.

Kepercayaan terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lebak untuk masyarakat Kasepuhan Citorek kadang-kadang mempercayai. Hal tersebut diakibatkan oleh program kegiatan dari Pemda pun terbilang sedikit. Kabupaten Lebak melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan memberikan bantuannya kepada desa Citorek Tengah. Bantuan tersebut berupa dana yang kemudian dibelanjakan oleh masyarakat untuk dibelikan bibit tanaman produksi. Namun bantuan tersebut tidak menyeluruh diberikan kepada lima desa yang terdapat di Kasepuhan

(14)

Citorek. Hal tersebut dikarenakan bantuan bergantung pada ada atau tidaknya permohonan kepada pihak Pemda.

Kepercayaan terhadap Pengelola Kawasan Taman Nasional (TNGHS) untuk masyarakat adalah rendah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor sejarah ditetapkannya perluasan TNGH menjadi TNGHS yang menekan akses masyarakat terhadap kawasan. Sejarah tersebut yang mendasari masyarakat melakukan beberapa kegiatan yang melanggar peraturan-peraturan taman nasional. Pelanggaran yang sangat jelas adalah adanya kegiatan tambang di areal kawasan taman nasional. Selebihnya bentuk pelanggaran yang terjadi terbilang dalam skala kecil. Kegiatan tambang masyarakat tersebut pada dasarnya diketahui oleh pihak taman nasional. Namun, dengan keterbatasan sumberdaya manusia taman nasional untuk pengamanan kawasan dan ketidakmampuan taman nasional dalam merancang strategi pendekatan masyarakat, berakibat pada terabaikannya kegiatan yang melanggar paraturan taman nasional oleh masyarakat.

Pada kenyataannya, alat-alat pengolahan emas pun sangat jelas terlihat di banyak rumah yang terdapat di Citorek. Namun, pihak taman nasional tidak dapat melakukan tindakan pengamanan karena faktor sejarah taman nasional dengan masyarakat hingga ketidakmampuan taman nasional dalam memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Pada akhirnya hubungan antara taman nasional dengan masyarakat pun mengesankan tidak adanya kerjasama yang membangun dalam upaya membangun kelestarian kawasan taman nasional.

Kepercayaan terhadap pihak LSM untuk masyarakat adalah sedang. Hal tersebut disebabkan oleh kerjasama yang terjalin antara masyarakat dengan LSM sudah memberikan persepsi kepada masyarakat bahwa LSM hanya mampu memberikan pemberdayaan bila LSM tersebut memiliki kepentingan baik dari segi dana ataupun segi publikasi. Oleh karena itu, LSM secara tidak langsung memberikan persepsi keraguan terhadap masyarakat apabila akan menjalin kerjasama. Keraguan akan tujuan LSM menjalin kerjasama untuk pemberdayaan masyarakat atau memiliki kepentingan dana atau publikasi, karena kerjasama yang pernah terjadi tidak sampai benar-benar lestari terbangun dalam kehidupan masyarakat Citorek.

(15)

Keraguan masyarakat terhadap LSM yang telah masuk ke dalam kehidupan Kasepuhan Citorek tersebut tidak memberikan kepastian ditolaknya LSM lain masuk. Keraguan tersebut mengandung arti bahwa masyarakat lebih hati-hati terhadap LSM yang akan masuk agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari apa yang telah diberikan atau dipengaruhi pihak luar tersebut. LSM masih merupakan pihak kuat bagi BTNGHS untuk dijadikan mitra pengelolaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat Kasepuhan Citorek. Hal ini dikarenakan LSM dapat secara langsung diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan instansi pemerintah atau swasta.

Tabel 7 Bentuk-bentuk kepercayaan dan persepsi masyarakat Kasepuhan Citorek No Bentuk kepercayaan Tingkat kepercayaan Keterangan

Tinggi Sedang Rendah

1 Terhadap tokoh

masyarakat 73% 20% 7%

Tokoh agama, tokoh adat kasepuhan, tokoh karena pengaruh ekonomi tinggi, tokoh yang dituakan.

2 Terhadap kasepuhan

(adat) 90% 8% 2%

Kepercayaan

terhadap norma atau kepercayaan adat

3 Terhadap sesawa warga

kasepuhan 97% 3% 0%

Kepercayaan yang terbangun atas dasar kekeluargaan dan tetap memiliki batas.

4

Terhadap pihak luar (LSM, swasta, dan pemerintah)

12% 71% 17%

Kepercayaan

terhadap keberadaan pihak luar akan memberi perubahan positif atau manfaat kepada masyarakat. Keterangan: 100 responden

Bentuk-bentuk kepercayaan dirangkum dari hasil pengamatan langsung dan berperanserta menghasilkan seperti yang disajikan pada Tabel 7. Bentuk kepercayaan sangat bergantung pada kondisi sosial masyarakat yang bersangkutan, maka bentuk kepercayaan akan berbeda untuk kasepuhan lain yang ada di TNGHS. Tingkat kepercayaan mendasarkan pada tingkat ketergantungan pada pihak kedua yang menjadi kepercayaannya dan intensitas ketergantungan tersebut dalam sebuah situasi tertentu di tengah masyarakat Kasepuhan Citorek. Sedangkan responden diambil dari kepala keluarga yang ada di Kasepuhan Citorek.

(16)

Bentuk kepercayaan kepada tokoh masyarakat yang ada di Kasepuhan Citorek adalah tokoh yang dianggap oleh masyarakat berpengaruh seperti tokoh agama, tokoh adat, orang yang dituakan, dan orang yang memiliki derajat sosial yang tinggi atas dasar faktor ekonominya yang tinggi atau kaya. Hasil wawancara kepada 100 responden masyarakat kasepuhan, 73% memiliki tingkat kepercayaan tinggi yang berarti tokoh masyarakat yang terdapat di Kasepuhan Citorek masih cukup berpengaruh dalam dinamika kehidupan kasepuhan. Kemudian pengaruh tersebut masih sejalan dengan masyarakat kasepuhan dalam berbagai dinamika yang ada di tengah masyarakat. Tingkat kepercayaan 20% adalah sedang yang berarti ada sebagian masyarakat kasepuhan merasa bahwa tokoh tersebut tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap dinamika sosial masyarakat kasepuhan. Hal tersebut disebabkan oleh dinamika sosial yang berkembang di Kasepuhan Citorek yang cukup pesat. Perubahan sangat nyata disaat pengaruh sebuah perusahaan tambang emas mulai merubah hampir sebagian besar kebiasaan mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Citorek. Masyarakat kasepuhan mulai mengenal emas dari cara mendapatkan emas hingga pengolahan emas tersebut. Pengaruh perubahan yang nyata tersebut adalah pola hidup masyarakat yang mengikuti tingkat pendapatan dari mata pencaharian baru tersebut. Masyarakat Kasepuhan Citorek mulai meninggalkan sedikit demi sedikit keadatannya seperti bentuk rumah adat dan kearifan tradisional yang dimiliki. Kemudian perubahan tersebut menjadi sangat nyata terlihat disaat aliran listrik masuk di Kasepuhan Citorek serta akses yang saat ini cukup mudah dilalui. Serangkaian proses dinamika tersebut yang memberi pengaruh terhadap tingkat kepercayaan kepada tokoh masyarakat yang ada dengan menurunnya pengaruh tokoh masyarakat karena semakin mandirinya masyarakat itu sendiri.

Tingkat kepercayaan terhadap adat Kasepuhan Citorek itu sendiri adalah 90%. Namun demikian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi tersebut sebagian besar masyarakat hanya memiliki persepsi bahwa adat mengatur sistem pertanian, selebihnya adalah upacara adat yang bersifat syukuran bukan sistem adat yang memberikan pengaturan kemasyarakatan seperti norma. Persepsi tersebut nyata terjadi dengan adanya kebudayaan-kebudayaan Kasepuhan Citorek yang semakin hilang seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat. Sistem adat yang

(17)

benar-benar masih dipahami dan dijalankan hanya sistem pertaniannya saja. Kebudayaan lain sudah semakin menghilang. Hal tersebut disebabkan oleh terbukanya Kasepuhan Citorek dengan kebudayaan luar yang masuk serta tidak adanya aturan dan sanksi terhadap warga kasepuhan atas sistem adat yang ada.

Tabel 8 Perubahan-perubahan kebiasaan adat Kasepuhan Citorek

Kondisi Bentuk Kebiasaan/ adat

Masih

 Ngunjal = rangkaian kegiatan dari mulai panen padi menggunakan etem kemudian dijemur di lantaian (penjemuran padi) kemudian diarak dengan cara dipanggul.

 Mapag pare beukah = kegiatan penyambutan panen padi di masa 4 bulan tanam secara simbolis dengan cara gegendek (menumbuk padi) di lisung (tempat numbuk padi) kosong.  Seren tahun = kegiatan syukuran atas hasil tani masyarakat

kasepuhan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan salah satunya sunatan masal.

 Goong geude = alat kesenian semacam gong dengan ukuran besar

Jarang

 Heleran = = kegiatan sunatan masal yang diangkat oleh tandu dan diarak bersama.

 Iket kepala = ikat kepala khas kasepuhan terbuat dari kain.  Lisung = tempat menumbuk padi.

 Kebaya = kain sarung yang digunakan wanita Kasepuhan Citorek.

Hilang

 Neres = mandi bersama-sama dengan warga yang ada baik tua maupun muda (masih mengenakan pakaian)

 Sedekah bumi = bentuk syukuran hasil bumi yang dilakukan 5 tahun sekali

 Dongdang = membawa makanan ke tandur (sawah) dalam sebuah acara muludan (merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW).

Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sedang 8% adalah masyarakat yang masih memiliki rentang usia muda dan telah mengikuti pola pikir dan pola kehidupan luar kasepuhan. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan berimplikasi kepada tingkat kepercayaannya sedang. Tingkat kepercayaan rendah 2% kepada adat kasepuhan adalah masyarakat yang telah meninggalkan sistem pertanian yang diatur adat dengan menggunakan sistem tani satu tahun dua kali panen padi.

Kasepuhan Citorek masih memegang teguh sistem pertanian untuk sekali panen dalam setahun berdasarkan pengalaman leluhur sehingga menjadi adat yang memberikan waktu istirahat untuk daur tanah agar tetap subur. Selain itu,

(18)

masyarakat kasepuhan percaya bahwa dengan sistem pertanian sekali panen dengan dua kali panen total konsumsinya pun akan sama bahkan dua kali panen total konsumsi masyarakat kasepuhan berlebih sehingga simpanan padi jadi justru berkurang. Menurut Kepala Desa Citorek Sabrang, hal tersebut disebabkan karena bibit padi lokal setahun sekali panen memiliki kualitas padi yang baik dibanding dengan bibit padi lainnya. Sehingga dengan kualitas tersebut total konsumsi yang dihabiskan akan sama saja bahkan sering kali kekurangan bagi yang menggunakan bibit padi dua kali panen.

Tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat kasepuhan tinggi dengan nilai 97%. Tingkat kepercayaan ini adalah hasil wawancara dengan menggunakan sistem survei yang mencari persepsi masyarakat dari segi kedekatan, ketergantungan, dan intensitas pertemuan terhadap tetangga dekatnya atau dengan masyarakat yang ada di desa responden tersebut tinggal. Nilai 97% adalah 97 responden mengaku memiliki kedekatan, ketergantungan, intensitas pertemuan yang tinggi dengan tetangganya. Hal ini membuktikan bahwa pola kedekatan sosial masyarakat Kasepuhan Citorek memang masih menganggap bahwa setiap warga asli Kasepuhan Citorek merupakan saudara kandung dari moyang yang sama pendiri kasepuhan dahulu. Oleh karena itu, antar warga Kasepuhan Citorek terdapat tingkat kepercayaan yang tinggi. Tingkat kepercayaan yang sedang dengan nilai 3% mengindikasikan warga pendatang yang memang secara lahiriah bukan merupakan warga Kasepuhan Citorek.

Tingkat kepercayaan terhadap pihak luar tinggi 12%, sedang 71%, dan 17% rendah merupakan bentuk persepsi penghargaan masyarakat kepada pihak luar yang dinilai biasa-biasa saja. Pihak luar tersebut adalah LSM, swasta, pemerintah (desa dan taman nasional). Pihak-pihak tersebut tidak memberikan kesan kepada masyarakat bahwa mereka memang membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Hasil wawancara tersebut mengartikan bahwa masyarakat pada dasarnya siap untuk diberdayakan dengan tujuan pembangunan ke arah yang lebih baik. Namun, masyarakat harus diberikan program yang dapat membuat masyarakat merasa penting dan menjadi bagian dari program tersebut.

(19)

4.2.2 Jaringan Sosial

Jaringan sosial menurut Calchoun et al. (1994) merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga sebagai pengorganisasian sosial. Rogers dan Kincaid (1980) juga menyatakan jaringan sosial yang menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama, dan perhatian bersama.

Sumberdaya sosial yang terbangun dalam bentuk jaringan sosial tidak dapat dibentuk oleh satu individu dengan individu lainnya, melainkan didasari dari penilaian interaksi didalam sebuah kelompok yang ada dalam masyarakat. Kelompok tersebut dapat dilihat dari kelompok formal maupun informal. Kelompok formal yang terbentuk ialah kelompok tani yang terdapat di masing-masing desa. Pembentukan kelompok tani tersebut dirintis oleh berbagai dasar tergantung kepentingan masyarakat yang ada di desa tersebut. Tabel 9 menunjukkan beberapa kelompok tani yang terdapat di lima desa Kasepuhan Citorek.

Tabel 9 Kelompok tani yang terdapat di masing-masing desa di Kasepuhan Citorek

No. Desa Nama Kelompok Tani Tahun dibentuk Bidang

1. Citorek Timur Mukti 2005 Pertanian

2. Citorek Tengah

Alam Rimba 2008 Perkebunan Alam Subur 2008 Pertanian

Mawar Dua 2008 Ternak

3. Citorek Barat Sauyunan 2008 Pertanian

4. Citorek Sabrang - 2009 Pertanian

- 2009 Pertanian

5. Citorek Kidul - - -

Pembentukan kelompok tani tergantung dari seberapa penting masyarakat yang ada di desa tersebut membutuhkan kelompok yang menaunginya. Kelompok tani yang terdapat di desa Citorek Tengah dibentuk oleh pemerintah desa atas dasar untuk meningkatkan peran serta perlindungan terhadap kawasan dan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Pembentukan kelompok tani desa Citorek Barat didasari oleh inisiatif masyarakat desa itu sendiri karena memandang mata pencaharian yang dimiliki kurang memenuhi kebutuhan yang ada.

(20)

Kelompok formal lain adalah kelompok pemuda Citorek dan ikatan mahasiswa Kabupaten Lebak. Kedua kelompok tersebut dibentuk atas dasar adanya kebutuhan diantara anggotanya untuk menaungi satu sama lain untuk berkumpul karena memiliki hobi yang sama dan disaat mahasiswa yang berasal dari Citorek tersebut merantau keluar kasepuhan.

Kelompok informal yang terdapat di Kasepuhan Citorek adalah kelompok yang berasal dari lembaga adat dan kelompok yang didasari kesamaan mata pencaharian. Kelompok informal yang berasal dari lembaga adat membentuk kelompok non struktural hasil kelembagaan adat. Sebagai contoh ialah terdapat kelompok yang dipandang sebagai keturunan dari pemegang jabatan kasepuhan. Berdasarkan status sosial yang terdapat di masyarakat, kelompok tersebut dipandang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kasepuhan lainnya. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut memiliki pengaruh lebih tinggi dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam penyelesaian sebuah konflik, jalan akhir dalam penyelesaian konflik antara masyararakat ialah dengan meminta solusi dari pemegang jabatan stuktural dari lembaga adat kasepuhan. Hal tersebut merupakan mekanisme penyelesaian konflik di Kasepuhan Citorek. Gambar 6 menunjukkan kelembagaan adat yang terdapat di Kasepuhan Citorek.

(21)

Gambar 6 Kelembagaan adat Kasepuhan Citorek. Keterangan:

= formal = non formal

Kelompok informal selanjutnya ialah kelompok yang memiliki kesamaan mata pencaharian. Mata pencaharian dominan masyarakat Citorek adalah petani. Selain itu, mata pencaharian kedua terbesar yang saat ini dilakukan oleh masyarakat adalah tambang emas. Menambang emas dengan skala cukup besar sudah sangat dominan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat Citorek. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 70% masyarakat Citorek memiliki mata pencaharian alternatif sebagai penambang emas. Masyarakat yang memiliki kesamaan mata pencaharian tersebut berangsur membentuk kelompok. Kelompok tersebut dibentuk oleh beberapa penggerak yang memiliki modal lebih untuk menambang emas. Modal tersebut digunakan untuk keperluan menambang seperti alat gulundung (alat pengolahan emas), tong (alat pengolahan lumpur hasil

Ketua adat Kasepuhan Jaro Adat Baris Kolot (perangkat adat) Penghulu Keamanan Adat Juragan Nagara Jaro Pamarentah Inung Beurang Bengkong gurumul Ronda Adat

(22)

gulundung), hingga kepemilikan lubang emas serta kepemilikan karyawan baik dalam jumlah besar ataupun kecil.

Tabel 10 Bentuk-bentuk jaringan sosial dan persepsi masyarakat Kasepuhan Citorek

No Jaringan sosial yang terbangun

Tingkat jaringan sosial

Keterangan Tinggi Sedang Rendah

1 kerjasama antar warga

kasepuhan 93% 7% 0% Kerjasama terbangun atas dasar kekeluargaan yang saling membantu kebutuhan masing-masing terutama pangan. 2 Lembaga formal 6% 22% 72% Organisasi yang melembaga hanya adat kasepuhan dan sisanya organisasi yang sifatnya temporer 3 Inisiatif penyelesaian konflik 96% 4% 0% Warga kasepuhan sepanjang sejarahnya sangat jarang konflik serius, hanya pada konflik di level remaja.

4 Keterbukaan dalam

hubungan kerja 67% 11% 22%

Hubungan kerja cukup sensitif karena berkaitan dengan kebutuhan hidup. Sensitifitas tersebut yang melahirkan rataan hasil skoring tidak cukup signifikan.

Keterangan: 100 responden

Hasil wawancara memberikan informasi nyata mengenai jaringan sosial yang terbangun di dalam masyarakat Kasepuhan Citorek. Jaringan sosial ini diberi penilaian tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan pada beberapa kriteria hasil modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Kasepuhan Citorek. Sub jaringan sosial yaitu kerjasama antar warga kasepuhan menghasilkan tingkat kerjasama yang tinggi dengan persentase 93%. Hal tersebut mengartikan bahwa berdasarkan faktor hasil modifikasi dengan melihat intensitas kerjasama yang terbangun tinggi selama ini menghasilkan tingkat kerjasama yang tinggi. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil observasi dimana masyarakat kasepuhan selalu mendasarkan hampir setiap kegiatan baik ekonomi, pendidikan, maupun agama

(23)

pada kerjasama baik secara swadaya ataupun swadana. Letak geografis Kasepuhan Citorek yang cukup jauh dari pemukiman atau desa lainnya sejak dahulu, memberikan pengaruh pada tingkat kedekatan antara masyarakatnya yang tinggi dikarenakan tidak adanya lagi pihak yang dapat diharapkan untuk membantu selain masyarakat Citorek itu sendiri.

Sub jaringan sosial berikutnya adalah kelembagaan yang terbangun. Kelembagaan dalam sebuah wadah organisasi baik yang telah melebaga ataupun yang masih bersifat temporer, berdasarkan hasil wawancara menghasilkan rendahnya tingkat inisiatif berorganisasi masyarakat Kasepuhan Citorek dengan persentase 72% dan hanya 6% tinggi. Faktor yang mendasari penilaian tersebut adalah metode wawancara yang melihat masyarakat dari keberadaan organisasi yang ada, keaktifan mengikuti kegiatan organisasi tersebut, serta inisiatif membangun kegiatan atau partisipasi dalam kegiatan organisasi. Organisasi yang terbangun dan berkembang baik saat ini masih sebatas organisasi pemberdayaan masyarakat seperti kelompok tani. Adapun kelompok pemuda seperti karang taruna tidak cukup memberikan pengaruh dan naungan bagi masyarakat lainnya. Namun, di sisi lain, terdapat sedikit masyarakat yang menjadi penggerak keorganisasian dengan ruang lingkup cukup luas. Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB) merupakan organisasi yang menaungi hampir seluruh desa yang berada di sekitar Halimun. Beberapa tokoh masyarakat yang berasal dari Citorek merupakan penggerak organisasi tersebut bersama RMI. Sub sistem inisiatif dalam penyelesaian konflik memiliki tingkat inisiatif tinggi dengan 96% dan hanya 4% saja mengatakan sedang. Tingginya inisiatif penyelesaian konflik didasarkan pada sensitifitas kekeluargaan yang sangat tinggi di Kasepuhan Citorek. Masyarakat Citorek secara umum sangat menghargai kekeluargaan yang terbangun akibat dari berbagai proses yang terjadi di masa lalu. Masyarakat sangat menjaga kekeluargaannya. Hasil wawancara yang memodifikasi faktor penilaian berupa pertanyaan yang berbentuk konflik, menunjukkan respon masyarakat hampir seluruhnya mengatakan bahwa tidak ingin adanya konflik, bilapun ada maka kekeluargaan adalah jalan penyelesaian konflik tersebut. Akan tetapi, konflik tetap tidak bisa dihindari begitu saja. Sejalan dengan semakin berkembangnya pola pikir dan pola kehidupan masyarakat

(24)

Kasepuhan Citorek, konflik yang kemudian terjadi adalah sengketa lahan. Sengketa lahan menjadi salah satu konflik yang cukup sering terjadi akibat ketidakjelasan batas lahan yang hanya diberi tanda batas berupa tanda alam. Konflik yang terjadi tidak mengakibatkan perpecahan. Hal ini dikarenakan untuk setiap permasalahan sengketa ataupun konflik masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki mekanisme penyelesaian tersendiri yang bersifat bottom to top. Artinya, disaat konflik tidak dapat terselesaikan di kedua belah pihak, maka masalah tersebut dibawa ke tingkat RT, dan bila juga tidak terselesaikan maka ke tingkat RW, begitu seterusnya hingga ke level kasepuhan yang tertinggi. Pihak kasepuhan memiliki pengaruh yang sangat tinggi sehingga masyarakat menghormati setiap keputusan pihak kasepuhan. Selain itu, pihak kasepuhan memiliki pengetahuan tentang batas-batas lahan yang secara turun temurun dimiliki.

Keterbukaan masing-masing individu masyarakat Kasepuhan Citorek terhadap hubungan kerjanya berdasarkan hasil wawancara adalah tinggi dengan persentase 67%. Namun, hasil tersebut pada dasarnya mulai cenderung memiliki grafik yang menurun menuju sedang bahkan rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor sensitifitas ekonomi yang saat ini menjadi paradigma terselubung di tengah masyarakat. Lahirnya mata pencaharian alternatif yakni tambang emas tradisional cukup memberikan pengaruh sosial yang nyata. Kesenjangan ekonomi pun mulai jelas terlihat, dapat dilihat dari kepemilikan sandang dan papannya. Rumah dan kendaraan menjadi bukti nyata terjadinya ketimpangan ekonomi yang mulai terjadi walau belum menjadi skeptis di tengah masyarakat. Desa Citorek Tengah dan Timur merupakan inti kemasyarakatan yang ada di Kasepuhan Citorek termasuk kehidupan ekonominya, berbeda jelas dengan Citorek Sabrang, Barat, dan Kidul yang memiliki tingkat ekonomi dibawahnya. Keterbukaan terhadap hubungan kerja kemudian menjadi rataan dan tidak signifikan dengan tingkat keterbukaan sedang 11% dan bahkan rendah 22%. Faktor lain yang menjadi penguat fakta tersebut adalah kesadaran masyarakat Kasepuhan Citorek terhadap aturan taman nasional terkait tambang emas yang menjadi mata pencaharian dominan Kasepuhan Citorek.

(25)

4.2.3 Norma sosial

Norma sosial adalah norma yang mengatur masyarakat, baik yang bersifat formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang formal atau resmi. Norma ini biasanya tertulis, misalnya konstitusi, surat keputusan dan peraturan daerah. Norma non formal biasanya tidak tertulis dan jumlahnya banyak dibandingkan norma yang formal, misalnya kaidah dan aturan-aturan yang terdapat di masyarakat, seperti pantangan-pantangan, aturan-aturan didalam keluarga dan adat istiadat (Maryati & Surjawati 2004).

Norma sosial dijalankan hampir di setiap desa di Kasepuhan Citorek. Beberapa norma sosial yang saat ini masih dijalankan adalah kebiasaan berpakaian yang khas yaitu, memakai samping atau sarung batik untuk wanita dan iket kepala untuk laki-laki. Selain itu, norma yang masih berjalan adalah bagi warga kasepuhan menjual atau membangun sebuah warung nasi merupakan hal yang tabu. Hal tersebut disebabkan warga kasepuhan sejak dahulu tidak pernah kekurangan dalam hal pangan beras karena produksi padinya yang berlimpah. Oleh karena itu, apabila terdapat masyarakat kasepuhan yang menjual nasi maka akan menjadi negatif sosial dikalangan masyarakat. Saat ini, terdapat satu penjual nasi goreng, namun, penjual tersebut merupakan orang pendatang, bukan warga kasepuhan asli.

Iket kepala dan samping adalah salah satu dari norma yang menjadi sebuah kebiasaan yang wajib. Masyarakat pendatang yang akan menetap di Citorek, semakin lama tinggal di Citorek akan mengikuti kebiasaan berpakaian masyarakat Citorek. Hal tersebut disebabkan oleh adanya rasa malu karena memiliki cara berpakaian yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kebiasaan yang masih sangat lekat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Citorek adalah kebiasaan penjamuan dalam menyambut tamu yang datang di masing-masing rumah warganya. Hampir menjadi ciri yang umum dijumpai bahwa setiap tamu yang datang ke salah satu rumah masyarakat kasepuhan akan dijamu dengan kopi dan rokok (bila merokok). Tuan rumah juga seringkali memberikan satu bungkus rokok sebagai ucapan selamat datang bagi tamu. Penjamuan tamu dilanjutkan dengan dihidangkannya makanan pembuka (sesuai keadaan ekonomi warga yang bersangkutan). Pada umumnya, apabila tujuan bertamu dirasa akan membutuhkan

(26)

waktu yang lama, maka suami pemilik rumah akan menyuruh istrinya untuk memasakan makanan berat untuk disantap bersama. Pada akhirnya, setelah makan maka pemilik rumah mempersilahkan tamunya untuk menginap dirumahnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan tamu tersebut.

Norma agama yang secara masal dilakukan di kalangan masyarakat kasepuhan secara keseluruhan masih terbilang baik. Norma tersebut ialah, sholat jumat dan sholat jamaah lain seperti sholat idul adha dan idul fitri. Pada acara syukuran-syukuran seperti khitanan, kelahiran anak, ataupun pernikahan, norma agama islam masih masuk didalamnya. Data kependudukan masing-masing desa mencatat bahwa 100% masyarakat Kasepuhan Citorek memeluk agama Islam. Terdapat cukup masjid, pesantren maupun kelompok pengajian anak di Kasepuhan Citorek. Fasilitas pengajaran agama secara umum telah mencukupi untuk mendukung kegiatan belajar agama di Kasepuhan Citorek.

Tabel 11 Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma yang ada dan persepsi masyarakat Kasepuhan Citorek

No Ketaatan terhadap norma

Tingkat ketaatan

Keterangan Tinggi Sedang Rendah

1 Terhadap norma

sosial 84% 9% 7%

Norma kesopanan dan kesusilaan sangat tinggi di Kasepuhan Citorek, terdapat rendah dan sedang adalah persepsi pernikahan dikalangan remaja saat ini.

2 Terhadap norma

agama 93% 7% 0%

Keagamaan di kasepuhan sangat tinggi dibuktikan dengan terdapat beberapa pesantren dan kelompok pengajian.

3 Terhadap norma

adat 89% 11% 0%

Norma keadatan kasepuhan masih tinggi sedangkan sedang terlahir dari kalangan remaja yang mengindikasikan grafik mendatar cenderung turun terhadap keataatan norma adat.

4 Terhadap norma

pemerintah 45% 31% 24%

Ketaatan terhadap aturan pemerintah cukup tinggi untuk pemerintah desa dan rataan hasil skoring dihasilkan dari anggapan terhadap taman nasional yang tidak cukup memberikan manfaat terhadap masyarakat. Keterangan : 100 responden

Hasil wawancara mengenai norma sosial yang ada di Kasepuhan Citorek menghasilkan kepatuhan terhadap norma yang ada seperti norma sosial tergolong

(27)

tinggi dengan persentase 84%, terhadap norma agama tinggi dengan 93%, terhadap norma adat yang ada dengan 89%, dan norma terhadap aturan pemerintah tergolong merata.

4.2.4 Tindakan yang Pro Aktif

Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang unsur-unsur sumberdaya sosial. Beberapa ahli menyatakan bahwa sumberdaya sosial hanya mencakup saling percaya (trust), norma yang disepakati sosial (social norms), dan jaringan sosial (social network). Namun, berdasarkan hasil penelitian dan tujuan penelitian, maka faktor lain dimasukkan ke dalam unsur sumberdaya sosial ini, diantaranya ialah tindakan yang pro aktif.

Menurut Hasbullah (2006), masyarakat melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubungan sosial dan menguntungkan kelompok tanpa merugikan orang lain secara bersama-sama. Tindakan yang pro aktif yaitu bahwa masyarakat cenderung tidak menyukai bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.

Masyarakat Kasepuhan Citorek pada umumnya merasa dan menyadari bahwa mereka merupakan satu keturunan dari moyang yang sama. Oleh karena itu, masyarakat Citorek memiliki rasa berbagi baik materi maupun non materi yang cukup tinggi. Beberapa contoh yang ditemukan di masyarakat Citorek adalah kegiatan gotong royong dalam membangun rumah salah satu warga di desa Citorek Tengah. Pembangunan rumah tersebut dibantu oleh puluhan orang tetangga. Bantuan tenaga tersebut ditawarkan secara sukarela. Artinya, tetangga tersebut memiliki inisiatif yang cukup baik untuk membantu tetangga lainnya.

(28)

Inisiatif yang tinggi untuk membantu dan berbagi tidak begitu terlihat dalam sebuah organisasi yang ada (kelompok tani ataupun organisasi lain). Masyarakat kasepuhan tidak merintis organisasi tersebut. Inisiatif, partisipasi, rasa memiliki dan ingin berbagi dalam sebuah organisasi pada masyarakat kasepuhan masih cukup rendah. Hal ini diindikasikan dengan minimnya keikutsertaan dalam beberapa kelompok atau organisasi (formal maupun non formal) dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang ada. Sebagai contoh, kelompok tani Alam Rimba di Citorek Tengah hanya beranggotakan sekitar 10 anggota aktif, sedangkan jumlah keluarga di Citorek Tengah mencapai 980 orang.

Pada dasarnya, organisasi atau kelompok yang ada cukup memberikan pengaruh yang baik bagi para anggotanya. Namun, masyarakat masih beranggapan bahwa sulit untuk mengikuti organisasi atau kelompok karena memakai nama “organisasi” ataupun “kelompok”. Selain itu, masyarakat tidak terlalu memahami apa yang akan didapat apabila mengikutinya. Sebagai contoh kelompok tani. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kelompok tani tidak bermanfaat. Masyarakat menganggap mereka lebih memahami sistem pertanian yang ada di Citorek dan tidak perlu belajar dalam kelompok tani.

Keikutsertaan dan inisiatif untuk mengikuti kelompok tani adalah rendah dengan hasil survei lapang yang menunjukan bahwa rata-rata masyarakat mengikuti organisasi kurang dari 10 organisasi. Hal tersebut pada dasarnya cukup wajar apabila pada musim bertanam padi tidak sempat. Namun, masyarakat Citorek menggunakan sistem padi setahun sekali panen. Masyarakat pada dasarnya memiliki waktu 6 bulan sisanya dalam setahun untuk memberdayakan lahan atau mengikuti organisasi. Masyarakat Citorek lebih partisipatif dalam mengikuti kegiatan atau keorganisasian adat dibandingkan pemerintahan. Hal tersebut seperti telah menjadi bagian pemahaman yang utuh dari sebuah Kasepuhan Wewengkon Citorek.

4.2.5 Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan

Masyarakat Citorek memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi tetapi memiliki tingkat kepedulian terhadap lingkungan yang cenderung sedang menuju rendah. Sejalan dengan pola pikir masyarakat Citorek tentang persaudaraan maka kepedulian terhadap sesama merupakan contoh lain dari

(29)

persaudaraan yang terjalin. Kepedulian terhada sesama sangat tinggi dengan ditunjukan dari persaudaraan yang ditunjukan oleh setiap individu masyarakat Citorek.

Kepedulian terhadap lingkungan terbilang memiliki kecenderungan sedang menuju rendah, karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat Citorek tidak terlalu mementingkan kelestarian lingkungan. Pada dasarnya kasepuhan telah memiliki pembagian hutan untuk dimanfaatkan. Namun, seiring berkembangnya pola pikir masyarakat Citorek dan meningkatnya kebutuhan baik primer, sekunder bahkan tersier, pada akhirnya pembagian lahan tersebut hanya menjadi wacana adat yang menjadi sejarah.

Menurut Khalil (2009) Kasepuhan Citorek membagi wewengkon ke dalam tiga wilayah yaitu:

1. Leuweung Tutupan

Leuweung tutupan adalah kawasan hutan milik pemerintah yang telah ditetapkan sebagai taman nasional yang harus dijaga kelestarian dan keberadaannya. Masyarakat biasa menyebutnya sebagai wilayah kehutanan (PPA). Leuweung tutupan terletak di Gunung Keneng. Areal ini merupakan wilayah yang tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Luas leuweung tutupan berdasarkan pengolahan citra Landsat adalah 138,51 Ha.

2. Leuweung Titipan

Leuweung titipan merupakan areal hutan yang diamanatkan oleh para leluhur Kasepuhan Citorek kepada warga kasepuhan untuk dijaga. Areal ini tidak boleh diganggu sampai pada waktunya diperintahkan oleh para leluhur untuk menggunakannya. Areal ini tidak boleh diganggu karena terdapat daerah mata air (sirah cai). Pemanfaatan hasil hutan dari wilayah ini hanya diperbolehkan untuk kepentingan umum setelah terlebih dahulu meminta ijin kepada para leluhur. Areal ini membentang sepanjang pinggir wewengkon dari sebelah Timur laut sampai Barat daya. Luas leuweung titipan berdasarkan pengolahan citra Landsat adalah 2.855,88 Ha.

3. Leuweung Garapan

Leuweung garapan merupakan areal yang dapat dimanfaatkan dan dibuka oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Walaupun boleh dibuka dan

(30)

dipergunakan oleh masyarakat, tetapi sebelum membuka lahan masyarakat harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pimpinan kasepuhan. Leuweung garapan saat ini ada yang berupa sawah, huma, pemukiman, dan masih ada yang berupa hutan. Lahan garapan yang berupa sawah dan huma hanya boleh ditanami padi setahun sekali menurut kalender kasepuhan yang mengacu pada kalender Islam. Areal ini terletak di tengah-tengah wewengkon. Luas leuweung garapan berdasarkan pengolahan citra Landsat adalah 4.684,23 Ha. Secara jelas pembagian wewengkon Kasepuhan Citorek dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Khalil (2009)

Gambar 8 Peta pembagian Wewengkon Kasepuhan Citorek.

4.2.6 Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk melihat sumberdaya sosial menurut Krishna dan Shrader (1999) diacu dalam Oktadiyani (2010), yaitu terdiri aspek kependudukan, aksesibilitas, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Aspek kependudukan dilihat dari lamanya masyarakat tinggal, banyaknya rumah dalam komunitas pertumbuhan penduduk dalam tiga tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja, dan kesediaan masyarakat tetap tinggal. Aspek aksesibilitas dilihat dari rute dalam menjangkau komunitas lain dan ketersediaan serta mutu sarana

(31)

komunikasi. Aspek perumahan dilihat dari ketersediaan dan kondisi rumah dalam komunitas. Aspek sosial dilihat dari taraf hidup dan jaminan kemanan. Aspek pendidikan dilihat dari kondisi sarana pendidikan, tingkat pendidikan komunitas, dan anggota komunitas yang buta huruf. Aspek kesehatan dilihat dari sarana kesehatan yang dimiliki komunitas.

Masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang telah menjadi kebiasaan umum dan diatur secara adat. Sistem pertanian tradisional sebagai penopang ekonomi masyarakat Kasepuhan Citorek yang secara turun temurun diwariskan dari nenek moyang Citorek. Namun, pada akhirnya terjadi pergeseran kebutuhan ekonomi yang semakin nyata. Hal ini terjadi seiring berkembangnya pola pikir dan pola kehidupan masyarakat Kasepuhan Citorek. Selain itu, hal tersebut terjadi karena adanya informasi melalui berbagai akses, dimulai dari jalan yang semakin baik menuju kota, serta masuknya listrik yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi dari televisi.

Pergeseran kebutuhan ekonomi yang terjadi meliputi kebutuhan hidup menjadi keinginan hidup yang lebih layak seperti halnya masyarakat umumnya di kota. Sistem pertanian yang ada dirasa tidak cukup memenuhi keinginan sebagian besar masyarakat Kasepuhan Citorek. Oleh karena itu, masyarakat Kasepuhan Citorek mulai mencari mata pencaharian alternatif untuk mencukupi harapannya tersebut. Mata pencaharian alternatif yang diambil oleh masyarakat kasepuhan cukup beragam, dimulai dari berdagang ke luar Citorek, membuka usaha baik itu warung, bengkel, penyucian mobil atau motor, toko sound system, toko alat dan bahan pertanian, hingga tambang tradisional.

Sistem pertanian di Kasepuhan Citorek masih diatur oleh adat dimulai dari tanam hingga panen. Sistem ini tetap dipercaya dan dijalankan oleh sebagian besar masyarakat. Sistem ini merupakan sistem pertanian yang lebih unggul dibanding sistem pertanian rekomendasi pemerintah daerah dengan sistem panen 2-3 kali dalam setahun. Sistem pertanian yang diatur adat bermula dari penentuan sawah tangtu. Sawah tangtu merupakan sawah komunal adat Kasepuhan Citorek. Penggarapan sawah tangtu ini dilakukan oleh masyarakat adat yang digerakkan oleh Jaro Adat melalui Kepala Desa untuk bergotong royong. Hasilnya

(32)

dipergunakan untuk kegiatan atau kebutuhan adat. Sebelum dimulainya penggarapan sawah dilakukan musyawarah kasepuhan mengenai waktu yang tepat untuk mulai asup leuweung (penggarapan sawah dan huma, berkebun atau bercocok tanam lainnya). Musyawarah Asup Leuweung tersebut satu paket dengan seren tahun. Setelah selesai pengolahan sawah tangtu, masyarakat baru mulai menggarap sawahnya masing-masing.

Masyarakat Kasepuhan Citorek pada umumnya berdasarkan hasil survei telah menetap di Citorek sejak zaman penjajahan Belanda. Pertumbuhan penduduk menunjukan peningkatan hingga saat ini. Akan tetapi, jumlah penduduk yang migrasi (keluar ataupun masuk) rendah dan tidak sebanding dengan angka kelahiran atau kematian. Kondisi tersebut dapat diartikan secara langsung bahwa peningkatan jumlah penduduk Kasepuhan Citorek murni dikarenakan hasil selisih antara kelahiran dan kematian penduduknya yang tinggi bukan karena adanya proses migrasi. Selanjutnya, paradigma tersebut berpotensi menjadi masalah krisis lahan dimasa mendatang.

Tabel 12 Jumlah penduduk, luas dan kepadatan penduduk Kasepuhan Citorek menurut desa

No. Desa Jumlah Penduduk

(jiwa) Luas (km 2 ) Kepadatan (jiwa/km2) 1. Citorek Tengah 3.358 22,23 151 2. Citorek Timur 2.612 17,12 153 3. Citorek Kidul 1.644 21,12 78 4. Citorek Barat 2.444 22,22 110 5. Citorek Sabrang 1.428 16,98 84

Total Kasepuhan Citorek 11.486 99,65 115

Sumber : Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak (2011)

Kajian ekonomi merupakan yang paling sulit untuk diidentifikasi di Kasepuhan Citorek. Ragam mata pencaharian masyarakat Citorek cukup tinggi, walaupun terdapat dua mata pencaharian dominan. Sebanyak 90% masyarakat bermatapencaharian tersebut. Mata pencaharian dominan tersebut adalah bertani dan bertambang. Untuk kegiatan bertambang, tidak terdata di masing-masing desanya. Mata pencaharian masyarakat secara umum adalah bertani (lahan pribadi dan digarap secara pribadi, lahan pribadi namun digarap oleh buruh, ataupun buruh tani). Akan tetapi, perkembangan ke arah mata pencaharian yang lebih produktif sudah mulai terlihat di antara masyarakat Citorek. Pedangang yang berasal dari Citorek dan pergi berdagang keluar daerah, setelah kembali

(33)

memberikan sudut pandang berbeda. Para pedagang tersebut melihat dunia luar yang lebih kompetitif dan mulai mempunyai berbagai keinginan selain kebutuhannya. Selain hal itu, perkembangan mata pencaharian disebabkan oleh terbukanya pola pikir masyarakat Kasepuhan Citorek terhadap perubahan yang ada. Hal tersebut diterima selama tidak menyinggung keadatan kasepuhan yang prinsip, seperti sistem bertani.

Mata pencaharian alternatif dominan pada masyarakat Kasepuhan Citorek adalah tambang emas tradisional. Mata pencaharian dengan bertambang dinilai lebih cepat mendapatkan hasil walaupun tidak selalu mendapatkan keuntungan. Apabila berhasil, maka akan mendapat untung berkali lipat dari modal. Namun, apabila gagal akan rugi berkali lipat dari modal.

Kegiatan pertambangan yang telah menjadi hal yang umum tidak dicantumkan pada jenis mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Citorek di seluruh desanya. Hal tersebut dimungkinkan karena terdapat kekhawatiran masyarakat terhadap legalitas mata pencaharian tambang tersebut, walaupun demikian tidak seluruhnya masyarakat yang menambang di lokasi yang masuk dalam kawasan taman nasional. Pada prinsipnya, masyarakat memahami legalitas mata pencaharian tambang tersebut. Namun, perlu dipahami pula bahwa masyarakat tengah mengalami kondisi yang tidak memiliki banyak pilihan mata pencaharian yang menjanjikan.

Tabel 13 Jumlah penduduk (jiwa) berdasarkan mata pencahariannya di Kasepuhan Citorek

No. Mata pencaharian

Desa Citorek Tengah Desa Citorek Timur Desa Citorek Sabrang Desa Citorek Barat Desa Citorek Kidul 1. Petani 1.394 1.815 899 1.186 685 2. Buruh Tani 0 150 0 0 200 3. PNS dan TNI/POLRI 19 12 2 10 1 4. Industri 2 0 0 6 20 5. Perdagangan 9 10 5 13 37 6. Lainnya 86 72 54 61 55

Sumber : Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak (2011)

Tingkat pendidikan masyarakat Kasepuhan Citorek terbilang rendah dengan persentase tidak tamat sekolah dasar (SD) dan tidak pernah sekolah masih sangat tinggi. Perbandingan dilakukan dengan mengambil dua desa yang memiliki karakterisitik yang berbeda, yakni Citorek Timur yang merupakan pusat

(34)

kebudayaan Kasepuhan Citorek dan Citorek Sabrang yang merupakan perluasan atau pemekaran dari desa Citorek Timur itu sendiri.

Gambar 9 Grafik perbandingan desa (Citorek Sabrang dan Citorek Timur) berdasarkan tingkat pendidikannya.

Tingkat pendidikan yang baik akan memberikan dampak positif pada pola pikir masyarakat. Pola pikir yang baik akan memberikan kesiapan masyarakat itu sendiri kearah kemandirian hidup. Dengan demikian, tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam pun bisa ditekan ke level minimum. Kemandirian masyarakat untuk kesejahteraan akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan Halimun. Hal ini disebabkan sejauh ini tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan dan sumberdaya alam dari kawasan masih sangat tinggi.

Tabel 14 Jumlah penduduk (jiwa) berdasarkan tingkat pendidikannya di Kasepuhan Citorek

No. Tingkat pendidikan

Desa Citorek Tengah Desa Citorek Timur Desa Citorek Sabrang Desa Citorek Barat Desa Citorek Kidul 1. Taman Kanak-kanak (TK) 41 88 0 0 0 2. Sekolah Dasar (SD) 603 358 734* 301 161 3. SMP/SLTP 369 0 826* 0 0 4. SMA/SLTA 97 63* 13* 0 0 5. Diploma-Sarjana 33 7* 2* 0 0 6. Tidak sekolah - 796 699 - -

Keterangan *: dihimpun dari data kependudukan desa 2011 (BPS Kabupaten Lebak 2011) 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% tidak sekolah tidak tamat SD Tidak tamat SMP Tidak tamat SMA 22% 2% 29% 31% 13% 4% 23% 27% P e rs e n ta se

Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa

Citorek Sabrang Citorek Timur

(35)

Berdasarkan laporan desa tahun 2011, tingkat pendidikan masyarakat Citorek terus mengalami peningkatan. Fasilitas pendidikan yang terbilang tidak cukup baik dengan hanya terdapat satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA). Kesiapan untuk pemerataan tingkat pendidikan masih terbilang terbatas hingga SD saja, karena fasilitas pendidikan pun jauh dari kesiapan.

Tabel 15 Jumlah sekolah TK, SD/MI, SLTP/MTS, dan SMA/MA negeri dan swasta di Kasepuhan Citorek

No. Desa TK SD/MI SMP/MTS SMA/MA

Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri 1. Citorek Tengah 1 0 0 3 0 1 0 1 2. Citorek Timur 1 0 1 0 0 0 0 0 3. Citorek Barat 0 0 0 3 0 0 0 0 4. Citorek Kidul 0 0 0 1 0 0 0 0 5. Citorek Sabrang 0 0 0 1 0 0 0 0

Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak (2011)

Tabel 15 menginformasikan sangat minimnya sarana prasarana yang terdapat di Kasepuhan Citorek. Secara keseluruhan, Kasepuhan Citorek dengan lima desa, hanya memiliki 2 bangunan TK, 9 bangunan SD/MI, 1 bangunan SMP/MTS, dan 1 bangunan SMA/MA. Minimnya bangunan pendidikan yang ada juga diikuti dengan kualitas bangunannya. Kualitas masing-masing bangunan jauh dari kualitas standar yang ada. Selain itu, tenaga pengajarnya di Kasepuhan Citorek juga minim.

Gambar

Gambar 4  Kerangka Sustainable Livelihood Approach (SLA).
Tabel  5    Luas  tanah  masing-masing  desa  menurut  penggunaannya  dalam  hektar  (ha) di Kasepuhan Citorek
Tabel 6  Sumberdaya ekonomi masyarakat Kasepuhan Citorek
Tabel 7  Bentuk-bentuk kepercayaan dan persepsi masyarakat Kasepuhan Citorek  No  Bentuk kepercayaan  Tingkat kepercayaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, melalui observasi lapangan, kuesioner di lapangan, yang berhubungan langsung dengan dampak Tempat

Saran yang peneliti kemukakan berdasarkan hasil penelitian adalah : 1) Dengan tidak ditunjukkannya pengaruh signifikan antara Jarak Suramadu maupun jarak Pelabuhan

Definisi 2.1 Graf adalah pasangan himpunan dengan adalah himpunan tidak kosong dan berhingga dari obyek-obyek yang disebut sebagai titik dan adalah

Sehingga setelah diterapkan model pembelajaran levels of inquiry mampu meningkatkan hasil belajar siswa baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.. Kata kunci: Levels

PPL adalah suatu kegiatan intra kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa program studi Kependidikan sebagai latihan mengajar di Sekolah Latihan agar praktikan

Herewith, I declare that this thesis entitled “ Students‟ Perception on Their Speaking (A Descriptive Study on Fourth Semester Students of English Education Department of

Dengan mengusung tema yang ditujukan untuk memberi informasi bagi pelajar atau mahasiswa maupun masyarakat umum, dengan bangga kami mempersembahkan sebuah acara

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan limpahan berkatnya, sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan judul Biostimulasi