• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kontemporer, Penuntun Vol 4 No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 483.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kontemporer, Penuntun Vol 4 No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 483."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Permasalahan

Sejalan dengan situasi politik bangsa Indonesia saat ini, kehidupan sosial perempuan Indonesia tampak membutuhkan adanya reformasi mendasar.1 Artinya, bahwa dalam perkembangan zaman yang semakin modern menjadikan perempuan Indonesia juga semakin membutuhkan suatu perubahan hidup yang lebih bebas, luwes serta menuntut adanya kesetaraan gender dalam tatanan masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menenggelamkan nilai perempuan sebagai manusia untuk dihargai dengan selayaknya telah melatarbelakangi kebutuhan tersebut. Peristiwa nyata yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, pada 12-13 Mei 1998 masih menyisakan luka yang dalam bagi perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan oleh sejumlah orang. Semakin maraknya ekses kekerasan dalam rumah tangga atau yang disingkat menjadi KDRT, dan juga munculnya RUU Pornografi. Ketiga contoh ini adalah peristiwa-peristiwa nyata, yang terulas secara besar dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang telah menimpa kaum perempuan yang membatasi ruang gerak, hak-hak dan juga eksistensi mereka sebagai perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan dalam masyarakat Indonesia masih mengalami diskriminasi dan juga ketidakadilan gender.2 Ketidakdilan gender tersebut

muncul dalam bentuk:3

1. marginalisasi, adalah menempatkan perempuan ke pinggiran. Kedudukan perempuan berada setelah laki-laki karena citra diri yang melekat dalam dirinya seperti halnya; lemah, kurang-tidak rasional, kurang-tidak berani sehingga kesempatan perempuan untuk memimpin tidak dapat dimiliki.

2. stereotip adalah pembakuan yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Contohnya: stereotip dalam keluarga yaitu urusan kerumah tanggaan yang sepenuhnya

1 Dra. Dri Arbiningsih S, M. Ph, “Kartini dan Perjuangan Hak Perempuan Dalam Masyarakat Indonesia

Kontemporer”, Penuntun Vol 4 No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 451.

2 Dr. Sientje Merentek-Abram, “Wanita Dalam Konflik Gereja-Keterlibatan Dalam Pembaharuan”, Penuntun Vol 4

No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 483.

3 A. Nunuk P. Murniati, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM

(2)

2 diserahkan pada isteri dan anak perempuan; stereotip dalam masyarakat adalah perempuan yang tegas mendapatkan penilaian sebagai perempuan yang judes dan galak. 3. subordinasi terhadap perempuan adalah pandangan yang menempatkan perempuan dan

karyanya dalam posisi rendah daripada laki-laki.

4. beban ganda terhadap perempuan, yaitu beban yang disandang perempuan di tempat kerja. Contohnya adalah perempuan yang bekeja dalam sektor publik mendapatkan juga pekerjaan di sektor domestik yaitu keluarga.

5. kekerasan terhadap perempuan adalah bermula dari ungkapan stereotip laki-laki atas perempuan yang menunjukkan kekuasaan.

Lebih lanjut misogini4 perempuan muncul dari pandangan klasik filsafat yang semakin memarginalkan perempuan. Gadis Arivia mengungkapkan pandangan Aristoteles:

“Menurut Aristoteles ada dua kelas manusia yang berada di luar aktivitas rasio manusia, yakni budak dan perempuan. Menurutnya, kehidupan budak adalah semacam properti yang dapat dipakai dan hanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Kelihatannya tidak jauh berbeda jauh juga dengan yang dialami perempuan. Kehidupan perempuan bersifat fungsional. Ia adalah isteri dari laki-laki yang hanya digunakan untuk mempunyai anak, dan sebagaimana budak, ia mengambil bagian untuk menyediakan kebutuhan hidup. Aristoteles mengatakan bahwa hal ini harus dipertahankan demi sebuah negara (polis) di mana laki-lakinya dapat bebas berkonsentrasi untuk kehidupan intelektual dan politiknya.”5

Dengan demikian semakin jelas bahwa perempuan disejajarkan dengan budak yang identik sebagai kaum yang tersisih. Secara eksplisit Aristoteles mengatakan bahwa perempuan hanyalah dibutuhkan untuk kepentingan domestik yang terkait dengan reproduksi. Laki-laki masuk dalam jajaran struktur masyarakat yang utama dan mempunyai kebebasan mutlak. Perempuan dipandang sebagai inferior semata.

Upaya perempuan dalam memenuhi kebutuhan mendasar ini tampak dengan munculnya golongan yang mengatasnamakan mereka dengan gerakan feminis yang mencoba untuk memperhatikan kepentingan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai manusia

4 Misogini adalah kebencian terhadap perempuan yang terutama oleh laki-laki

Drs. Peter Salim&Yenny Salim, Kamus Bahasia Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991) p.986.

Misogini adalah kebencian kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang sering kali diliputi dengan tindak kekerasan kaum laki-laki kepada perempuan.

Lih. Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Ledalero, 2002) p. 440.

(3)

3 yang selayaknya dan utuh. Dalam menanggapi hal ini, penyusun melihat ada 2 (dua) indikasi yang menjadi penyebab munculnya tindakan-tindakan itu, yaitu karena adanya perbedaan gender dan budaya patriarki yang mendominasi.

Perbedaan Gender6

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.7 Akan tetapi, dalam perkembangannya seringkali gender dikukuhkan menjadi sesuatu hal yang sama dengan kodrat sebagai perempuan. Sehubungan dengan ini Dr. Mansour Fakih mengatakan tentang gender demikian:

“gender itu dibentuk, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran agama sehingga melalui suatu proses hal itu dianggap sebagai suatu ketentuan yang datangnya dari Tuhan.”8

Dengan kata lain bahwa adanya perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki ini muncul dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan semakin dikuatkan dengan adanya nilai agama dan juga tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sehingga perbedaan gender itu dipandang sebagai sesuatu hal yang mutlak. Sedangkan kodrat adalah ketentuan yang dilihat secara biologis yang dengan kata lain merupakan ketentuan dari Tuhan. Jelas bahwa pengertian dari keduanya berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidak akan menimbulkan permasalahan selama perbedaan itu juga tidak menimbulkan ketidakadilan di dalamnya. Perbedaan itu telah membawa pada ketidakadilan gender.

Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang berkembang dalam tatanan masyakarakat Indonesia cukup kuat mempengaruhi penilaian terhadap perempuan. Secara harafiah patriarki berarti kekuasaan bapak atau “patriarkh (patriarch)”. Wujud patriarki terlihat dengan lebih menyukai anak laki-laki, diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam pembagian makanan, beban kerja rumah tangga pada perempuan dewasa dan perempuan muda, rendahnya kesempatan bersekolah untuk

6 Teori feminis kontemporer berhati-hati dalam membedakan jenis kelamin dengan gender. Gender dipandang

sebagai konstruksi sosial.

Lih. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminism (terj: Mundi Rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007) p. 177.

7 Band. Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 8. 8 Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 9.

(4)

4 anak perempuan, rendahnya kebebasan dan gerak bagi kalangan perempuan, pemukulan isteri, kontrol laki-laki atas perempuan dewasa dan muda, usikan seksual di tempat kerja, rendahnya hak perempuan atas harta dan warisan, kontrol laki-laki atas tubuh perempuan dan seksualitasnya.9 Nilai-nilai yang muncul dan berkembang dalam masyarakat Indonesia hingga kini masih di bawah pengaruh patriarki. Implikasi dari pengaruh budaya patriarkhal ini adalah dengan menempatkan perempuan “di bawah” kekuasaan laki-laki dan perempuan tidaklah lepas dari sekedar obyek laki-laki.

Dalam perkembangannya lingkungan sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi budaya patriarki juga menyertakan keterkaitannya dengan hukum.10 Secara khusus di Indonesia, sejumlah kajian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia mengambil kesimpulan betapa marginalnya posisi perempuan11. Seperti halnya, mengenai Hukum Perkawinan, Hukum Ketenagakerjaan. Berbicara tentang hukum, maka Siti Musdah Mulia mengatakan12:

“Hukum adalah aturan-aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Karena itu, hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat termasuk nilai-nilai adat, tradisi dan agama.”

Namun nyatanya tidaklah demikian yang terjadi dalam perkembangan hukum Indonesia. Nilai kebersamaan justru memudar dengan adanya dominasi nilai patriarki di dalamnya. Selain itu, para feminis juga meyakini bahwa hukum tidak lahir dalam kekosongan begitu saja tanpa adanya pengaruh yang lain, melainkan juga merupakan suatu hasil pergulatan kepentingan dalam berbagai aspek baik itu sosial, budaya, ekonomi dan juga politik, dan meyakini bahwa nilai-nilai dan norma patriarkis juga melandasi bagaimana hukum itu dirumuskan.13 Itu artinya adalah

9 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996) p. 1-3 10 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996) p. 12.

11 Lih. hasil Penelitian Tapi Omas Ibromi, “Wanita dan Hukum Nasional” (1997 ); Siti Musdah Mulia, “Posisi

Perempuan Dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam” (2001); dan Sulistyowati Irianto, “Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum” (2003) ed. Siti Musdah Mulia, Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam dalam Jurnal Perempuan 49, Hukum Kita Sudahkah Melindungi (Jakarta: YJP, 2006) p. 69.

12 Siti Musdah Mulia, “Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam” dalam Jurnal Perempuan 49,

Hukum Kita Sudahkah Melindungi (Jakarta: YJP, 2006) p. 70.

13 R. Valentina Sagala, “Program Legislasi Nasional Pro Perempuan “Sebuah Harapan Ke Depan”,” dalam majalah

(5)

5 bahwa nilai-nilai itu termasuk di dalamnya nilai partriarki yang sudah merasuk dalam hukum yang seharusnya mencerminkan keadilan. Ketika suatu hukum di dominasi dengan adanya budaya partriarki maka keadilan itu diragukan.

Kesadaran akan ketidakadilan kaum perempuan tidak hanya terjadi dalam dunia masyarakat Indonesia. Hal itu juga turut terbawa dalam kehidupan bergereja. Perlakuan perempuan sebagai kaum yang kedua dalam lingkungan gereja tentu tidaklah lepas dari prinsip agama Kristen yakni Alkitab sebagai sumber moral. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa dalam penulisannya, Alkitab itu juga dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal baik dari segi penulis maupun konteks masyarakatnya secara khusus dalam hal ini Perjanjian Lama. Sehingga hukum dalam Alkitab itu sendiri menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Hukum-hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama itu mengatur soal warisan, perkawinan, perceraian, peperangan dsb. Dalam hal ini bagian hukum dalam Perjanjian Lama yang menggelitik pemikiran penyusun adalah mengenai hukum perkawinan yang berada dalam Kitab Ulangan.

II. Rumusan Masalah

Perkawinan dianggap sebagai suatu mandat dari Tuhan. Bahkan dalam Undang-Undang Perkawinan No.2 Tahun 1974 Pasal 1, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.14 Namun, persoalan yang muncul adalah jikalau dalam hubungan sosial kemasyarakatan saja perempuan berada di tempat yang tidak semestinya bagaimana dengan hukum yang mempunyai ikatan yang sah di mata Tuhan.

Dalam Ulangan 22:13-30 diangkat suatu topik tentang hukum perkawinan yang merupakan bagian dari rangkaian Ulangan 12-26. Ulangan 12-26 dikategorikan sebagai inti dari kitab Ulangan sebagai kitab hukum yang diperuntukkan bagi bangsa Israel sebagai modal dasar untuk beretika pasca pembuangan Mesir dan sebagai dasar kehidupan di Tanah Perjanjian nantinya. Namun, hemat penyusun perikop ini mempunyai judul utama Hukum Perkawinan yang sangat

14 Prof. R. Subekti, S. H&R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,

(6)

6 sederhana, karena di dalamnya tidak hanya memuat hukum yang terkait dengan hubungan perkawinan saja tetapi juga memuat hukum yang terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dalam kasus-kasus yang berbeda.

Keganjilan yang ditunjukkan dalam perikop Hukum Perkawinan ini adalah mengenai perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan terkait dengan berbagai bentuk pelanggaran seksual yang terjadi, yang mendorong penyusun untuk melihat lebih dalam lagi. Lebih lanjut, persoalannya akan mengarah pada para pembaca khususnya kaum perempuan yang hidup di masa sekarang, bagaimana ketika mereka sebagai umat Kristiani membaca perikop ini begitu saja? Perbedaan rentang waktu yang panjang juga menjadi pertimbangan. Dugaan awal yang ditunjukkan oleh Cairns adalah bahwa Kodeks Ulangan 22:13-30 ini mempunyai suatu paralel dengan Kodeks Hammurabi yang menimbulkan kesan bahwa penghukuman dalam Israel jauh lebih berat bila dibandingkan dengan Hammurabi15 dan telah menaruh perhatian pada hak-hak

perempuan. Jikalau memang sudah menunjukkan perhatian pada hak-hak perempuan, mala seharusnya tidak ada ketidakadilan hukum. Oleh karena itu, guna menghadirkan kesaksian Alkitab yang konkret dalam kehidupan saat ini bagi para pembaca yang secara khusus ditujukan pada kaum perempuan diperlukan adanya reinterpertasi terhadap teks tersebut, mengingat bahwa konteks penulisan teks Alkitab itu jauh berbeda dengan situasi umat Kristen saat ini yang dapat menumpangtindihkan persepsi para pembacanya. Dalam hal ini Fletcher memunculkan suatu persoalan dengan bertanya: Apakah hukum Taurat masih memegang peranan dalam kehidupan umat Kristen saat ini?16 Berkaitan dengan ini pula Millar mengatakan demikian: 17

“I set out to study Deuteronomy in the hope of gaining some insight into how one might apply the ethical of the Old Testament to the modern world ini which we live. I believe that the text of this remarkable book has provided us with exactly that.”

Berkenaan dengan pentingnya penafsiran ulang terhadap suatu teks, Letty M. Russel mengatakan bahwa Kitab Suci memang memuat begitu banyak prinsip-prinsip moral, pedoman, nilai-nilai namun Kitab Suci tidak memberikan penjabaran yang rinci seperti hal penerapan yang siap

15Dr. I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab Ulangan 2, (Jakarta: BPK GM, 1986) p. 153.

16 V. H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia,(Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990) p. 152.

17 J. Gary Millar, New Studies In Blibical Theology No. 6; Now Choose Life, Theology and Ethics in Deuternomy

(7)

7 pakai.18 Oleh karena itu, Alkitab memerlukan suatu perantara sehingga dapat dihadirkan pada konteks saat ini. Dengan menggunakan hermeneutik feminis maka perikop ini dapat menjadi jembatan bagi para kaum perempuan saat ini ketika mebaca atau pun berhadapan dengan situasi yang terjadi dalam Hukum Perkawinan tersebut dengan melihat konteks sosial dari teks tersebut dan menghubungkannya dalam konteks saat ini. Secara khusus konteksnya adalah Indonesia.

II. 1. Batasan Permasalahan

Agar dalam pembahasannya dapat mencapai sasaran yang diharapkan, maka perlu adanya batasan-batasan dalam penulisannya. Pokok permasalahan yang dilihat adalah bagaimana hukum yang ada mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan dan juga tanpa ikatan perkawinan memerlukan suatu penafsiran baru, agar teks tersebut dapat dihadirkan dan juga diterima pada konteks saat ini. Sebagaimana dengan itu, maka sumber yang digunakan dalam pembahasan pokok permasalahan ini adalah Hukum Perkawinan dalam Ulangan 22:13-30 yang ditafsirkan dengan metode hermeneutik feminis.

II.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusun dalam penulisan ini adalah untuk menggali lebih dalam hukum perkawinan dari kaca mata feminis atas Ulangan 22:13-30. Oleh karena itu, penyusun berharap dapat:

1. Dapat menemukan benang merah sebagai relevansinya bagi konteks masa kini berkenaan dengan hasil interpertasi ulang.

2. Dapat menemukan perlakuan hukum yang adil bagi perempuan.

3. Menemukan jawaban apakah perikop ini merupakan Hukum Perkawinan atau hanya sekedar aturan etika seksual antar laki-laki dan perempuan dan juga melihat hak-hak perempuan di dalamnya.

III. Metode Penulisan

Metode penulisan dari skripsi ini adalah dengan pendekatan literer sebagai metode pengumpulan data dan melakukan pendekatan feminis terhadap perikop sebagai studi eksegetis.

(8)

8 IV. Pemilihan Judul

Atas permasalahan yang akan dibahas dan juga bertolak dari batasan permasalahan, maka penyusun memberi judul dalam skripsi ini adalah:

Hermeneutik Feminis Terhadap Hukum Perkawinan Pada Ulangan 22:13-30

Kalimat judul di atas dengan jelas menggambarkan pokok permasalahan dari skripsi ini. Hukum Perkawinan Ulangan 22 :13-30 adalah teks yang akan ditafsirkan kembali dalam skripsi ini dengan metode hermeneutik feminis. Pemilihan hermeneutik feminis dikarenakan penyusun hendak menyoroti Hukum Perkawinan dalam Ul 22:13-30 ini dari sudut pandang perempuan dalam kaitannya hubungan laki-laki dengan perempuan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki.

V. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Dalam bagian ini penyusun akan membahas tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan penulisan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Pandangan Para Penafsir tentang Ulangan 22:13-30

Dalam bab ini, penyusun memaparkan beberapa pandangan para penafsir mengenai Ulangan 22:13-30 yaitu oleh P. C. Craigie, Tikva Flymer-Kensky, dan Dr. I. J. Cairns.

Bab III Konteks Sosial dari Ulangan 22:13-30

Dalam bab ini, penyusun mendeskripsikan bagaimana konteks sosial dari Ulangan 22:13-30 dengan sebelumnya mendeskripsikan bagaimana konteks umum kitab Ulangan secara utuh. Dalam bab ini akan disertai bagaimana keberadaan perempuan dalam konteks masyarakat dalam Ulangan 22:13-30.

(9)

9 Bab ini membahas tentang hermeneutik feminis dan kemudian dengan bertolak dari itu penyusun akan melakukan penafsiran terhadap Ul 22:13-30.

Bab V Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kita kenali faktor-faktor dan aspek-aspek apa saja yang mempengaruhi terjadinya suatu karya arsitektur kemudian bagaimana kita berkomunikasi dengan

Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki daerah sebagai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diatas, Pemerintah Daerah mengajukan Retribusi Jasa Umum dengan 8

coli pada air laut di pesisir pantai wisata laut Malalayang II Kota Manado saat tidak hujan dan saat hujan apakah sesuai dengan baku mutu air laut untuk

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Hasil: Penelitian mendapatkan adanya perbedaan bermakna kemampuan fagositosis makrofag pada mencit BALB/c dengan diberi stres yang divaksinasi BCG dibandingkan dengan

Pemutihan pulp menggunakan ekstrak kasar lakase dengan bantuan ABTS selama enam jam dan suhu 45°C dapat meningkatkan derajat putih sebesar 2,8 poin.Sedangkan pada kondisi yang

Masalah lainnya adalah kemampuan guru pendidikan jasmani dalam menyajikan Proses Belajar Mengajar (PBM) atletik yang kurang inovasi baik metodenya maupun sarana dan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa dari semen beku sapi perah berpengencer tris sitrat kuning telur diperlakukan dengan 4 metode thawing