• Tidak ada hasil yang ditemukan

SELEKSI KLON-KLON UBIJALAR TOLERAN KEKERINGAN DI KAPAN, KABUPATEN TTS, NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SELEKSI KLON-KLON UBIJALAR TOLERAN KEKERINGAN DI KAPAN, KABUPATEN TTS, NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SELEKSI KLON-KLON UBIJALAR TOLERAN KEKERINGAN DI KAPAN, KABUPATEN TTS, NUSA TENGGARA TIMUR

M. Jusuf, Kartika Nurwiyati dan Evert Hosang Balai Penelitian Kacang-kacangn danUmbi-umbian

ABSTRAK

Toleransi klon ubijalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb ) terhadap cekaman kekeringan diteliti di desa Kapan kecamatan Kapan kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada musim kemarau 2005 dari bulan April sampai September 2005. Penelitian lapang menggunakan rancangan petak terbagi dengan petak utama perlakuan pengairan dan anak petak klon/varietas ubijalar, yang diulang tiga kali. Petak utama adalah dua tingkat pengairan yakni pengairan minimum (PM), lahan diairi dua kali sehari (pagi dan sore) selama 3 hari pertama setelah tanam dan setelah itu pengairan diberikan sekali tiga hari sampai tanaman berumur 1 bulan. Setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan tidak lagi diberikan pengairan, sehingga diharapkan tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode pertumbuhan umbi. Sedangkan perlakuan pengairan yang kedua yaitu pengairan optimum (PO) sama dengan perlakuan pengairan minimum (PM) akan tetapi setelah umur 1 bulan tetap diberikan pengairan 1 kali sebulan sampai tanaman dipanen. Sebagai anak petak adalah 25 klon/varietas ubijalar.Ukuran petak 2 x 5 m dengan jarak tanam 100 x 25 cm. Pupuk yang diberikan adalah pupuk bhokasi dengan dosis 500 kg/ha, tanpa menggunakan pupuk buatan. Pemeliharaan mencakup penyiangan dan pembalikan batang yang dilakukan pada saat tanaman berumur 1 dan 2 bulan, sedangkan pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida tidak dilakukan. Hasil umbi dan indeks toleransi cekaman (STI), kehilangan hasil dan indeks kepekaan kekeringan (S) digunakan sebagai tolok ukur. Beberapa karakter kualitatif umbi diamati sebagai data pendukung.

Dari analisis dan telaah toleransi klon ubijalar terhadap kekeringan di desa Kapan terlihat indeks cekaman kekeringan yang tidak terlalu tinggi (0,21), terdapat 8 klon yang teridentifikasi toleran kekeringan dengan nilai STI lebih besar dari 1 dan memiliki hasil umbi lebih dari 30 t/ha. Klon/varietas yang tergolong toleran adalah MSU 63-3, MLG 12709, MLG 12725, BB 97256-9a,BB 97255-5, Sewu, Tamue dan Cangkuang. Selain nilai STI yang tinggi, parameter lainnya adalah indeks kepekaan lingkungan (S). Klon/varietas yang tergolong toleran adalah yang memiliki nilai S yang rendah. Dari 8 klon yang memiliki nilai STI lebih besar dari 1, hanya 5 klon yang memiliki indeks kepekaan lingkungan (S) lebih kecil dari 1 yakni MSU 63-3, MLG 12709, Sewu, Tamue dan Cangkuang. Hasil umbi dari ke lima klon/varietas yang tergolong toleran ini pada kondisi lingkungan normal masing-masingnya adalah 32,4; 31,1; 35,0; 34,3 dan 33,6 t/ha sedangkan pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan masing-masingnya adalah 26,3; 26,4; 32,0; 29,1 dan 29,9 t/ha.Dari hasil penelitian ini disarankan untuk meneliti lebih lanjut konsistensi daya hasil dan adaptasi klon-klon terpilih di berbagai lokasi yang mewakili kondisi kering, guna penentuan dapat tidaknya klon terpilih dilepas sebagai varietas unggul toleran kekeringan.

Kata kunci : Ubi jalar, klon, kekeringan, toleran

PENDAHULUAN

Ubi jalar merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang kaya karbohidrat dan vitamin terutama vitamin A dan C. Ubinya dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku industri, serta daunnya dapat digunakan sebagai sayuran atau makanan ternak. Penanaman ubijalar di lakukan di sawah pada musim kemarau, lahan tadah hujan atau lahan kering, dengan cara monokultur, tumpang sari dengan jagung atau dengan tanaman lain (Dimyati dan Manwan, 1992). Pada penanaman di musim kemarau, tanaman sering mengalami kekeringan, dan penurunan hasil karena cekaman kekeringan dapat mencapai 80%.

(2)

Rata-rata luas panen ubijalar di Nusa Tenggara Timur selama 5 tahun terakhir mengalami penurunan dari 1.523 hektar tahun 1997 menjadi 1.513 hektar di tahun 2002. Hal ini menunjukkan terjadinya pengalihan lahan dari ubijalar untuk komoditas lain. Harga yang fluktuatif dan penggunaannya yang masih terbatas, menyebabkan tanaman ini kurang kompetitif pada lahan subur. Karenanya ubijalar memiliki peluang besar untuk ditanam pada lahan-lahan berkendala, khususnya pada lahan kering, atau lahan sawah berpengairan terbatas pada musim kemarau.

Varietas merupakan salah satu komponen teknologi penting yang mudah diadopsi oleh petani. Penanaman ubijalar yang ditujukan untuk konsumsi lebih menyukai varietas yang rasanya manis, bentuk umbi yang baik, dan kandungan air yang rendah. Sedangkan untuk bahan baku industri diperlukan jenis yang memiliki kandungan pati tinggi dan bentuk umbi yang sesuai seperti : permukaan rata, seragam, kompak, dan letak umbi tidak terlalu dalam dibawah tanah (Dimyati dan Manwan, 1992., Watson et al., 1992).

Dengan tersedianya varietas unggul yang sesuai dengan selera pengguna serta memiliki toleransi yang baik terhadap kekeringan maka ubijalar dapat diusahakan secara komersial dan kehilangan hasil serta biaya produksi dapat ditekan. Pemuliaan tanaman ubijalar yang ditujukan untuk perbaikan toleransi terhadap kekeringan belum secara khusus dilakukan di Indonesia khususnya untuk daerah Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian akan memberikan informasi tentang tersedianya keragaman bahan genetik ubijalar, didapatkannya informasi tentang klon unggul yang toleran terhadap kekeringan yang dapat digunakan dalam program pemuliaan atau penelitian lebih lanjut.

Keragaan Ubijalar pada Lingkungan Kekeringan

Proses fisiologis tanaman sangat dipengaruhi lingkungan, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Cekaman kekeringan dapat terjadi karena terbatasnya ketersediaan air bagi tanaman, yang antara lain disebabkan oleh hilangnya sebagian air oleh proses evapotranspirasi. Hilangnya air akan meningkatkan kohesi tanah sehingga kekuatan lapisan tanah menjadi meningkat, dan ini berpengaruh terhadap system perakaran (Kramer, 1983). Kekeringan dapat mempengaruhi penyerapan air, transpirasi, keseimbangan air, turgor tananaman, pembukaan stomata, pembesaran sel, fotosintesa, metabolisme karbohidrat dan nitrogen, serta beberapa proses metabolisme lainnya. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tanaman yang dimanifestasikan dalam bentuk ukuran sel, organ atau bagian tanaman, rasio akar pucuk, akumulasi bahan tertentu, serta hasil (Kramer, 1980). Hasil utama ubijalar berupa umbi yang terletak didalam tanah. Oleh karena itu keadaan tanah, terutama kelengasan tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan umbi fase pembentukan umbi. Aerase tanah dan kepadatan tanah sangat berpengaruh terhadap distribusi bahan kering dan pertumbuhan umbi (Watanabe, 1979). Hal ini disebabkan umbi lebih sensitif terhadap lingkungan tanah yang jelek dibandingkan akar. Keadaan kering dapat menghambat diferensiasi dan pembesaran umbi serta distribusi bahan kering umbi, sehingga menyebabkan turunnya berat umbi, karena sebagian fotosintat ditranslokasi ke umbi yang berbentuk akar atau ke bagian lain. Menurut Tsuno (1980), pada kondisi kering dan tanah kompak, pertumbuhan umbi ubijalar akan terhambat karena meningkatnya proses lignifikasi.

Dilaporkan oleh Ekanayeke et al., (1990) bahwa hasil umbi utama (layak jual) pada ubijalar sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pengairan. Pada keadaan kering, hasil umbi segar berkisar antara 0 hingga 1,1 Kg m-2 atau berkurang sebesar 23-28 persen dibandingkan

keadaan pengairan normal. Penambahan air akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah akar total, jumlah umbi utama, berat total umbi, berat umbi utama, berat segar daun, berat total tanaman, serta nisbah akar pucuk. Kandungan bahan kering umbi memiliki korelasi yang negative terhadap penambahan air, yang menunjukkan bahwa penambahan air menyebabkan peningkatan kadar air pada umbi.

METODOLOGI Pelaksanaan Lapang

(3)

Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi yaitu di Desa Euneontes/Kapan Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur pada musim kemarau 2004 yaitu pada bulan Mei sampai Oktober 2005. Penelitian dirancang dalam percobaan petak terbagi, yang diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah dua tingkat pengairan:

P0 = Pengairan Minimum.

Lahan diairi dua kali sehari (pagi dan sore) selama 3 hari pertama setelah tanam dan setelah itu pengairan diberikan sekali tiga hari sampai tanaman berumur satu bulan. Setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan tidak lagi diberikan pengairan, sehingga diharapkan tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode pertumbuhan umbi. P1 = Pengairan Optimum.

Lahan diairi dua kali sehari (pagi dan sore) selama 3 hari pertama setelah tanam dan setelah itu pengairan diberikan sekali tiga hari sampai tanaman berumur satu bulan. Setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan pengairan diberikan sekali sebulan sampai panen, sehingga diharapkan tanaman tumbuh dalam kondisi normal.

Sebagai anak petak digunakan 20 klon di setiap lokasi. Ukuran petak 2 x 5 m dengan jarak tanam 100 x 25 cm. Pupuk yang diberikan adalah pupuk bhokasi dengan dosis 25 Kg/ulangan (lokasi) atau setara dengan 500 Kg/ha, tanpa menggunakan pupuk buatan. Pemeliharaan mencakup penyiangan dan pembalikan batang yang dilakukan pada saat tanaman berumur 1 dan 2 bulan, sedangkan pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida tidak dilakukan.

Pengamatan toleransi terhadap kekeringan dilakukan berdasarkan parameter presentase tingkat kelayuan yang diamati saat tanaman berumur 6, 8, 10 dan 12 minggu setelah tanam. Sedangkan pengamatan lainnya mencakup, berat dan jumlah umbi besar dan kecil per plot, skor serangan hama / penyakit utama, indeks panen, bahan kering umbi, warna kulit dan daging umbi, dan kelengasan tanah.

Penilaian Ketahanan/Toleransi Terhadap Kekeringan

Perbaikan tanaman untuk toleransinya terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan identifikasi klon yang beradaptasi pada lingkungan tercekam kekeringan atau mengembangkan varietas yang memiliki adaptasi luas, atau dengan pendekatan fisiogenetik (Quizenberry, 1982).

Cara penilaian tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada umumnya menggunakan tingkat kehilangan hasil sebagai dasar penilaian, diantaranya dengan menghitung selisih hasil di lingkungan berpengairan normal dan hasil di lingkungan kering (Blum, 1980). Fischer dan Maurer (1978) menggunakan indeks kepekaan kekeringan (S) untuk mengukur ketahanan terhadap cekaman yang didasarkan pada tingkat kehilangan hasil pada kondisi tercekam dibandingkan pada kondisi optium. Nilai indeks yang rendah berarti toleran terhadap kekeringan dan nilai indeks yang besar menunjukkan kepekaan terhadap kekeringan.

Rosielle dan Hamblin (1981) menggunakan parameter hasil di lingkungan normal, hasil di lingkungan berkendala (stress), selisih hasil di kedua lingkungan tersebut (toleransi), dan hasil rata-rata di kedua lingkungan tersebut untuk mendapatkan varietas unggul yang adaptif pada lingkungan berkendala dan memiliki produktivitas rata-rata lintas lingkungan yang tinggi. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan produktivitas rata-rata atau berdasarkan toleransi tergantung besarnya ragam genetik pada kedua lingkungan tersebut. Jika ragam genetik pada kondisi berkendala lebih rendah dari ragam genetik normal maka seleksi berdasarkan toleransi akan menurunkan produktivitas rata-rata, sedangkan seleksi untuk produktivitas rata-rata akan meningkatkan hasil baik di lingkungan berkendala maupun di lingkungan normal.

Toleransi dihitung berdasarkan tingkat kehilangan hasil dibandingkan keadaan normal mengikuti cara yang digunakan oleh Blum,1980; Rosielle dan Hamblin, 1981), serta menghitung indeks kepekaannya terhadap kekeringan ( S ).

Parameter yang digunakan adalah :

HI = Hasil pada lingkungan berpengairan normal. HO = Hasil pada lingkungan kekeringan.

PH = Persentase penurunan hasil. HR = Hasil rata-rata di kedua lingkungan

(4)

Dengan parameter tersebut dapat dihitung: PH = {( HI – HO ) /HI } x 100%

HR = ( HI - HO) /2

Indeks kepekaan terhadap cekaman kekeringan ( S ) dihitung dengan metode Fischer dan Maurer (1978) :

S = (1- Yid/Yip)/D D = (1-Y.d/Y.p)

Dimana : Yid = Hasil pada lingkungan kekeringan

Y.d = Hasil rata-rata pada lingkungan kekeringan Yip = Hasil pada lingkungan normal

Y.p = Hasil rata-rata pada lingkungan normal D = Indeks kekeringan

Fernandez, 1992 menggunakan Stress Tolerance Index (STI) atau Indek Toleransi Cekaman untuk memilih genotipe yang memiliki hasil tinggi dan potensial toleran cekaman. STI mempertimbangkan potensi hasil pada kondisi lingkungan optimum, hasil pada kondisi tercekam dan intensitas cekaman. Nilai STI dihitung dengan rumus:

STI = ( Yp x Ys )/( Yp)2

Yp = Potensi hasil pada kondisi optimum Ys = Hasil pada kondisi cekaman

Yp = Rata rata hasil pada kondisi optimum Ys = Rata rata hasil pada kondisi cekaman

Semakin besar nilai STI dari suatu genotipe, semakin besar toleransi dan potensi hasilnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Penyebaran Hasil

Rata rata hasil umbi dari 25 klon/varietas yang diuji di desa Kapan Kecamatan Kapan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa tenggara Timur masing-masingnya adalah 25,55 t/ha pada kondisi normal dan 20,15 t/ha pada kondisi cekaman kekeringan (Tabel 1). Data tersebut menunjukkan hasil umbi di Kapan tergolong tinggi baik pada kondisi normal dan tercekam kekeringan. Pada kondisi normal (pengairan optimum = PO) terdapat 10 klon (40%) yang memiliki hasil umbi diatas 30 t/ha, 10 klon (40%) memiliki kisaran hasil 20,1-30,0 t/ha dan 5 klon/varietas (20%) memiliki hasil umbi kurang dari 10 t/ha. Pada kondisi cekaman kekeringan (pengairan minimum = PM) (PM) terdapat 1 klon (4%) yang memiliki hasil umbi diatas 30 t/ha, 14 klon (56%) memiliki kisaran hasil 20,1-30,0 t/ha dan 7 klon/varietas (28%) memiliki kisaran hasil umbi 10,1-20,0 t/ha 3 klon/varietas (12%) memiliki hasil umbi kurang dari 10 t/ha.

Tabel 1 : Produksi umbi, kehilangan hasil, nilai indeks toleran cekaman (STI) dan indeks Kepekaan ekeringan (S) Klon-klon ubijalar pada seleksi kekeringan di Desa Kapan, Kecamatan Kapan, kabupaten Timor Tengah Selatan, MK 2005.

No Klon/ Produksi t/ha Kehilangan Indeks Indeks

plot Varietas Kondisi Kondisi Rata- Hasil Toleransi Kepekaan Normal Cekaman rata (%) Cekaman Kekeringan

kekeringan (STI) (S)

1 MSU 63-3 32,4 26,3 29,20 18,8 1,31 0,89

2 MLG 12709 31,1 26,4 28,66 15,1 1,26 0,71

3 MLG 12722 12,3 6,5 8,91 47,2 0,12 2,24

(5)

5 AB 94065-5 28,0 21,1 24,31 24,6 0,91 1,17 6 AB 95007-2 23,5 20,1 21,76 14,5 0,73 0,68 7 BB 96609-7 20,6 18,5 19,52 9,7 0,58 0,46 8 BB 97256-9a 32,2 21,3 26,22 33,8 1,05 1,60 9 BB 97089-12 21,1 18,3 19,68 13,3 0,59 0,63 10 BB 97255-5 35,3 21,9 27,82 38,0 1,19 1,80 11 BB 97256-9 31,2 16,2 22,46 48,1 0,77 2,28 12 MSU 99032-1 12,3 7,4 9,56 39,8 0,14 1,89 13 MSU 99051-1 20,4 16,3 18,23 19,6 0,51 0,94 14 MSU 99008-16 29,8 28,5 29,11 4,4 1,30 0,21 15 Jago 28,2 23,1 25,52 17,7 1,00 0,85 16 Sewu 35,0 32,0 33,48 8,6 1,72 0,41 17 Kidal 27,6 16,3 21,21 40,9 0,69 1,94 18 Sukuh 26,4 22,2 24,25 15,9 0,90 0,75 19 Tamue 34,3 29,1 31,58 15,2 1,53 0,71 20 Musan 10,2 9,7 9,95 3,9 0,15 0,21 21 Beniazuma 30,2 21,3 25,32 29,5 0,98 1,40 22 Muara Takus 13,0 12,2 12,61 5,4 0,24 0,27 23 Cangkuang 33,6 29,9 31,70 11,0 1,54 0,52 24 Helaleke Lama 24,8 22,3 23,48 10,1 0,84 0,48 25 Lokal setempat 12,9 12,4 12,64 3,1 0,24 0,16 Jumlah 638,7 503,8 - 513,1 21,50 24,38 Rata-rata 25,55 20,153 - 20.524 0,860 0,975 SI 0,211 - - - -

-Toleransi Terhadap Kekeringan

Untuk mengetahui toleransi kekeringan dari masing-masing klon digunakan 3 parameter yaitu indeks toleransi cekaman (STI), kehilangan hasil dan indeks kepekaan kekeringan (S).

Indeks Toleransi Cekaman (STI) yang diperoleh di desa Woro berkisar antara 0,12 hingga 1,72. Dari 25 klon/varietas yang diuji di desa Woro terdapat 10 klon memiliki nilai STI lebih dari 1,0 yaitu Ubi kala dan Beniazuma. Klon yang memiliki nilai STI yang tinggi berarti toleran terhadap kekeringan, sebaliknya klon yang memiliki nilai STI yang rendah menunjukkan kepekaannya terhadap kekeringan (Fischer dan Maurer, 1978). Dua klon yang tergolong toleran menurut metode ini yaitu Beniazuma dan Ubi kala dengan nilai STI masing masingnya 0,87 dan 0,84 dengan produksi umbi pada kondisi normal masing masingnya 11,60 dan 8,47 t/ha dan pada kondisi cekaman kekeringan masing masing 10,0 dan 7,13 t/ha (Tabel 1). Tingkat kehilangan hasil akibat kekeringan berkisar antara 3,1- 48,1%. Sebagian besar klon (40%) memiliki kehilangan hasil antara 10% hingga 20 %, hanya 8 klon (32%) dengan tingkat kehilangan hasil dibawah 12% yaitu BB 96609-7, MSU 99008-16, Sewu, Musan, Muara Takus, Cangkuang, Helaleke Lama dan varietas lokal setempat. Dari 8 klon dengan kehilangan hasil kurang dari 12% hanya dan varietas Cangkuang dan Sewu serta klon MSU 99008-16 yang memiliki rata-rata hasil umbi yang cukup tinggi masing-masingnya 31,70; 33,48 dan 29,11 t/ha. Kehilangan hasil yang rendah menunjukkan toleran terhadap kekeringan dan sebaliknya kehilangan hasil yang tinggi berarti tidak toleran kekeringan. Jadi dalam hal ini klon yang toleran

(6)

adalah Sewu dan MSU 99008-16 karena memiliki tingkat kehilangan hasil yang paling rendah dan hasil yang tinggi.

Indeks kepekaan kekeringan (S) yang diperoleh berkisar antara 0,16 hingga 2,28. Dari 25 klon yang diuji hanya 7 klon yang memiliki nilai indeks kepekaan kekeringan (S) kecil dari 0,5 yaitu MSU 99008-16, Sewu, Musan, Muara Takus,,Helaleke Lama dan lokal setempat (Tabel 1). Dari ke tujuh klon/varietas yang memiliki nilai S yang rendah (<0,5) hanya 3 klon yang memiliki rataan hasil umbi diatas 20 t/ha yaitu MSU 99008-16 (29,11 t/ha), Sewu ( 33,48 t/ha) dan Helaleke Lama (23,48 t/ha). Nilai S yang rendah berarti toleran terhadap kekeringan, sebaliknya nilai S yang tinggi menunjukkan kepekaannya terhadap kekeringan (Fischer dan Maurer, 1978). Dari kenyataan tersebut diatas klon yang tergolong memiliki produksi tinggi dan toleran kekeringan menurut metode ini menurut metode ini antara lain MSU 99008-16, Sewu dan Helaleke Lama.

Penilaian dengan menggunakan indeks toleransi cekaman (STI), kehilangan hasil dan indeks kepekaan kekeringan (S) memberikan hasil yang hampir sama di dalam menilai toleransi suatu klon terhadap cekaman kekeringan, terutama pada urutan 10% terendah (klon-klon yang tergolong toleran). Hal ini dikarenakan ketiganya menggunakan selisih hasil pada kedua kondisi tersebut sebagai dasar penilaian. Perbedaan urutan pada klon-klon tertentu. Dengan menggunakan kriteria di atas dapat diperoleh kon-klon yang tergolong toleran terhadap kekeringan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perbaikan toleransi klon ubijalar terhadap kekeringan. Menurut Clarke et al. (1992) indeks kepekaan (S) tidak dapat membedakan antara klon yang toleran dengan potensial hasil tinggi atau rendah, sehingga seleksi untuk indeks kepekaan akan menurunkan potensial hasil pada kondisi normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Clarke et al. (1992).

KESIMPULAN

Dari analisis dan telaah toleransi klon ubijalar terhadap kekeringan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Indeks cekaman lingkungan di desa Kapan dengan 0,21 tergolong indeks cekaman sedang.

2. Dengan menggunakan parameter kehilangan hasil terdapat 10 klon/varietas yang memiliki persentase kehilangan hasil kurang dari 15% yaitu AB 95007-2, BB 96609-7, BB 97089-12, MSU 99008-16, Sewu, Musan, Muara Takus, Cangkuang, Helaleke Lama dan lokal.

3. Dengan menggunakan parameter indeks toleransi cekaman (STI) terdapat 10 klon/varietas yang memiliki nilai STI lebih besar dari 1 yaitu: persentase kehilangan hasil kurang dari 15% yaitu MSU 63-3, MLG 12709, MLG 12725, BB 97256a, BB 97255, MSU 99008-16, Tamue, Jago, Sewu, Cangkuang.

4. Dengan menggunakan parameter indeks kepekaan kekeringan (S) terdapat 6 klon/varietas yang memiliki nilai S kurang dari 0,5 yaitu: MSU 99008-16, Sewu, Musan, Muara Takus, Cangkuang dan lokal setempat.

5. Dengan menggunakan parameter seleksi gabungan dari ketiga parameter (kehilangan hasil, indeks toleransi cekaman dan indeks kepekaan kekeringan) terdapat 3 klon yang teridenifikasi toleran kekeringan. Ketiga klon/varietas tersebut memiliki rata-rata hasil umbi sekitar 30 t/ha baik pada kondisi normal dan cekaman kekeringan yaitu MSU 9908-16 varietas Sewu dan Cangkuang.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Balittan Malang. 1990. Teknologi untuk meningkatkan hasil ubijalar. Seri Pengembangan No. 02/02/90.

Blum, A. 1980. Breeding and Selection for Adaptation to Stress; Genetic Improvement of Adaptation. P. 450-452. In : Turner, N. C., and P. J. Kramer. Adaptation of plants to Water and High Termperature Stress. John Willey & Sons, Inc. New York.

---. 1998. Plant Breeding for stress Environments. CRC Pres. Inc. Florida. 233 p.

Dimyati, A., and I. Manwan. 1992. National Coordinated Research Program: Cassava and Sweetpotato. CRIFC-AGRD, Bogor.

Ekanayake, I. J., P. Malagamba, and D. J. Midnore. 1990. Effect of water stress on yield of sweet potatoes, p.520-528. In : Howeler, R. H. (Eds.). Proc. Of the Eight Symp. of the Inter. Soc. For Tropical Root Crops. CIAT. Thailand.

Fernandez, G.C.J. 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. Hlm.257-270. Dalam C.G. Kuo (Ed.): Adaptation of Food Crops to Temperature and Water Stress. Proceeding of an Int. Symp. AVRDC-Inst. of Botany, Taiwan.

Fischer, R. A., and R. Maurer. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivar: I. Grain yield response. Aust. J. Agric. Res. 29:897-912.

Harahap, Z. A., A. Dimyati, S. Moeljopawiro, dan T. S. Silitonga. 1993. Keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan dan perbaikan genetic tanaman. Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993, p.23.

Jusuf. M and Peter. D. 2002. Breeding and selection of sweet potato varieties for human food and pig feed in Papua. Research Report of CIP-ACIAR-RILET research report. 65p.

Levitt, J. 1872. Responses of Plants to Enviromental Stress. Academic Perss, New York. P.697. Kramer, P. J. 1980. Drought, Stress and the Origin of Adaptation. In : Turner, N. C., and P. J.

Kramer. Adaptation of plants Water and High Temperature Stress. John Willey and Sons, Inc. New York.

Rosielle, A. A., and J. Hamblin. 1981. Theoretical aspects of selection for yield in stress and non stress environments. Crop Sci. 21:943-946.

Sammons, D. J., D. B. Peters and T. Hymowitz. 1980. Screening soybeans for tolerance to moisture stress: a field procedure. Filed Crops Res. 3:321-335.

Saxena, N. P. 1987. Screening for adaptation to drought: case studies with chickpea and pigeon pea, p.63-76. In Adaptation of chickpea and pigeonpea to abotic stresses. ICRISAT, India.

Tsuno, Y. 1980. Sweet potato; Nutrient Physiology and Cultivation. Inter. Potash Inst. Switzerland.

Watanabe, K. 1979. Agronomic studies on the excessive vegetative growth mechanism of sweet potato (Ipomoea batatas Lam). J. Cent. Agric. Exp. Stn. 28:87-94.

(8)

Watson, G. A., A. Dimyati, A. H. Malian, Bahagiawati, and J. Wargiono. 1992. Sweet Potato Production, Utilization, and Marketing in Commercial Centers of Production in Java, Indonesia. CRIFC-AGRD and International Potato Center. Bogor.

Gambar

Tabel   1   :   Produksi   umbi,   kehilangan   hasil,     nilai   indeks   toleran   cekaman   (STI)   dan  indeks Kepekaan ekeringan (S) Klon-klon ubijalar pada seleksi kekeringan  di Desa  Kapan, Kecamatan Kapan, kabupaten Timor Tengah Selatan, MK 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum pembelajaran JiTT berbantuan website cukup membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir lancar, berpikir luwes, elaborasi, dan evaluasi yang

Apabila penyedia jasa yang merasa keberatan atas Penetapan dan Pengumuman Pemenang ini, maka diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan kepada ULP Kabupaten Ogan Ilir

Dengan demikian hipotesis kedua diterima atau terbukti kebenarannya.(4) Disiplin kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai kantor Pos Bo- yolali, maka

Bahwa yang dimaksud dengan pihak lain adalah para pihak yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau

[r]

AN.. Bahwa Muhammad Bahri mengakui ide mengikuti tender pengadaan LCD berasal dari dirinya, dan selanjutnya menawarkan kerjasama dengan Terlapor II. Dalam hal ini

4.3 Proses Pembentukan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) sebagai bagian dari pengembangan organisasi angkatan Udara

6) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran (seperti yang tercantum dalam indikator ketercapaian kompetensi)