• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DI WILAYAH PERBATASAN DALAM MELINDUNGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DI WILAYAH PERBATASAN DALAM MELINDUNGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DI WILAYAH PERBATASAN DALAM MELINDUNGI

WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI (Studi Di Wilayah Hukum Perbatasan Kalbar- Serawak Malaysia)

Oleh :

MUHAMMAD HENDRA PUTRA, S.H. NPM.A21213090

ABSTRACT

This thesis discusses the role of local authorities in border areas to protect Indonesian citizens who were deported (Study On Jurisdiction Border Kalbar- Sarawak Malaysia). research using legal research methods sociological juridical conclusion, that Based on the analysis of data and information that has been done, it can be seen a few things, first: Pattern handling citizen who was deported by the local authorities in the border region is coordinative that involve several regional work units ( SKPD) to form Task Force (Task Force) to handle the deportan. However, in practice have not shown the maximum performance due to lack of coordination between SKPD SKPD and limited role in addressing the deportan. Second: All local governments (provincial, district, or city) in four areas of research, has formed provisions (decision governor, regent or mayor) is the legal basis for the Task Force in coordinating team handles citizens who are deported. Forms of protection of the rights of deportan in deportation proceedings, not defined in the regulation, but the rights are protected deportan of obligations or Main Tasks and function of each SKPD in the Task Force team which handles citizens who are deported. Third: the constraints faced by local governments in the process of handling citizens who are deported are mostly citizen or deported migrant workers is not a resident in their respective local governments. This led to difficulties in budget allocation through the budget that should be reserved for residents of each area. Some SKPD revealed that the operating costs of handling the deportan can not be supported by every SKPD budget attached to tupoksinya. Besides the local government of origin deportan not all have concern for the residents of the area to provide assistance. In the case of facilities, until now the local government has not been providing shelter for the deportan. In terms of deportan, many who want to return to work in Malaysia, but did not have immigration documents because most passports taken by the Malaysian authorities. The condition is often utilized certain parties to send them back to Malaysia by way illegal.

(2)

ABSTRAK

Tesis ini membahas peran pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat di wilayah perbatasan dalam melindungi warga negara indonesia yang dideportasi (Studi Di Wilayah Hukum Perbatasan Kalbar- Serawak Malaysia). penelitian menggunakan metode penelitian hukum yuridis sosiologis diperoleh kesimpulan, bahwa Pola Penanganan Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat Diwilayah Perbatasan Kalbar-Sarawak Malaysia Dalam Melindungi WNI Yang Di Deportasi, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan payung hukum kebijakan melalui Kementerian Luar Negeri, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelayanan Warga di Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap buruh migran Indonesia di luar negeri yang mengalami masalah, termasuk masalah deportasi. Pola penanganan perlindungan diatur secara lebih khusus dengan beberapa peraturan, yakni Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TK-PTKIB), Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebagai panduan pelaksanaan perlindungan di daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota di daerah entry point (wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia), transit dan daerah asal TKI kemudian membentuk Satgas secara lintas sektoral dengan tugas operasional untuk menangani penerimaan dan pemulangan TKIB dan PMBS dari Malaysia. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang menjadi entry point para deportan, menjadi pihak yang paling berperan dalam melakukan penanganan perlindungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola penanganan WNI yang dideportasi oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan, bersifat koordinatif dengan melibatkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada setiap provinsi atau kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menangani para deportan. Di dalam Satgas ditunjuk satu instansi yang menjadi koordinator dalam pelaksanaan penanganan WNI yang dideportasi. Namun demikian pelaksanaan koordinasi diantara SKPD yang tergabung dalam Satgas belum memperlihatkan kinerja yang maksimal karena kurangnya koordinasi diantara SKPD. Seperti yang berlaku pada Tim Satgas di Sumatera Utara dimana Pemerintah Daerah Provinsi Sumut hanya sebatas memfasilitasi pembentukan tim melalui Keputusan Gubernur. Sementara itu, pelaksanaan penanganan pemberangkatan dan pemulangan TKI dilakukan oleh BP3TKI (yang berkedudukan sebagai Sekretaris Tim) berkoordinasi dengan instansi lainnya. Demikian juga di provinsi lain, ada beberapa SKPD yang merasa telah melakukan banyak hal dalam penanganan para deportan, namun instansi lain merasa kurang berperan dalam tim Satgas.

(3)

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia mempunyai tugas, fungsi dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional (National Interest) serta untuk mewujudkan tujuan nasional (National Goal) yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.1 Serta Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Fungsi pemerintahan pada umumnya berupa penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan perlindungan masyarakat serta pembangunan dan pengembangan.2 Tugas dan kewajiban pemerintah adalah membuat regulasi tentang pelayanan umum, pengembangan sumber daya produktif, melindungi ketentraman dan ketertiban masyarakat, pelestarian nilai-nilai sosio-kultural, kesatuan dan persatuan nasional, pengembangan kehidupan demokrasi, pencapaian keadilan dan pemerataan, pelestarian lingkungan hidup, penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mendukung pembangunan nasional dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan menjaga tegak, lestari serta utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.3

Salah satu tugas dari Pemerintah Republik Indonesia adalah melindungi warga negaranya.4 Dalam hal perlindungan warga negara, Pemerintah Republik Indonesia tidak hanya melindungi warga negara yang ada di dalam negeri, tetapi juga melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting, baik sebagai pelaku maupun tujuan pembangunan. Dengan

1

Tujuan Pemerintah RI yang tercantum dalam alenia 4 Pembukaan Undang Undang Dasar 1945

2

Dikutip dari dari situs http://202.46.68.53/idm/buku/to_Pak_Masrur.doc.Pada tanggal 8 Desember 2017. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan umum oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Dr. Sodjuangon Situmorang, M.Si.

3

(4)

peranan dan kedudukan seperti ini, maka diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Berpijak pada situasi dan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dan mengingat akan pentingnya peranan dan kedudukan tenaga kerja dalam pembangunan nasional, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Dampak dari krisis perekonomian yang terjadi di Indonesia berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan menyempitnya lapangan pekerjaan, sedangkan pada sisi lain jumlah angkatan kerja terus meningkat. Meningkatnya angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan menjadi persoalan yang sangat rumit dipecahkan. Dampak dari hal tersebut menjadikan faktor kriminogen timbulnya berbagai macam kejahatan antara lain kejahatan terhadap nyawa, tubuh, harta benda, dan kesusilaan.

Salah satu bentuk kejahatan yang timbul berkaitan persoalan ketenagakerjaan adalah tertipunya tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Persoalan tertipunya tenaga kerja dapat terjadi sejak saat rekruting maupun pada tahap pelaksanaan perjanjian kerja. Pada umumnya pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin mendesak membuat rnereka mau melakukan apa saja untuk bertahan hidup, dari kondisi ini banyak dimanfaatkan sekelompok orang untuk mencari keuntungan, berupa pengiriman tenaga kerja secara illegal. sehingga mereka terjerat pada persoalan-persoalan hukum, untuk menghindari hal tersebut mereka terpaksa mencari perlindungan pada broker-broker tenaga kerja yang mau mempekerjakan walaupun dengan upah yang sangat rendah dan tidak mendapat perlindungan hukum. Bahkan tenaga kerja dieksploitasi habis-habisan dan tejadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, fenomena ini merupakan pelanggaran hukum dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pada umumnya yang menjadi korban adalah kaum wanita.

Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai trafficking atau perdagangan manusia, kejahatan semacam ini tidak saja terjadi di wilayah hukum Negara Indonesia, tetapi

(5)

juga dapat terjadi pada wilayah negara lain, terutama negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia dan yang menjadi korban adalah warga negara Indonesia. Terkait dengan peristiwa tersebut sudah sepantasnya pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah harus selalu siap apabila negara tetangga setiap saat melakukan deportasi terhadap WNI. Kesiapan ini selalu dituntut karena upaya pemerintah negara tetangga untuk mendeportasi WNI tidak akan berhenti sepanjang masih terdapat WNI ilegal di negara tetangga tersebut. Hal ini didasarkan pada sejarah hubungan antara negara Indonesia dengan negara-negara tetangga di wilayah perbatasan, dimana terjadi migrasi penduduk Indonesia ke negara-negara tetangga baik secara legal maupun ilegal untuk berbagai tujuan.

Peristiwa yang menjadi catatan khusus dalam hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia misalnya adalah peristiwa Nunukan pada tahun 2002 yang dapat disebut sebagai tragedi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Tragedi Nunukan dipicu dari ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi pemberlakuan Akta Imigresen 1154/2002 yang memaksa sekitar 400.000 buruh migran Indonesia tak berdokumen dideportasi. Nunukan sebagai wilayah di ujung utara Indonesia dan berbatasan langsung dengan Tawau, Sabah, Malaysia Timur secara tibatiba harus menerima eksodus massal sekitar 350.000 buruh migran deportan dari Sabah. Dengan kapasitas pemerintahan setingkat kabupaten (bahkan sebelumnya hanya sebuah kota kecamatan) tentu saja Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan kewalahan untuk mengantisipasinya. Pada sisi lain, pemerintah pusat menganggap bahwa masalah tersebut adalah tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Daerah Nunukan.

Kondisi tersebut yang menyebabkan penelantaran yang berakibat fatal: paling tidak 85 deportan meninggal dan ribuan lainnya mengalami kelaparan dan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Tiga tahun setelah peristiwa Nunukan, yaitu tepatnya pada tahun 2005 Pemerintah Malaysia kembali meminta para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal segera meninggalkan negaranya. Hal tersebut terkait dengan berakhirnya masa amnesti (pengampunan) yang diberikan Pemerintah Malaysia kepada para imigran gelap tersebut pada 31 Januari 2005.4 Mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan meninggalkan Malaysia bisa dihukum lima tahun penjara atau dikenai denda sebelum dideportasikan. Awalnya, amnesti bagi tenaga kerja ilegal dijadwalkan akan berakhir 31 Desember 2004, namun diperpanjang selama sebulan karena khawatir dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Indonesia dan negara-negara lain yang pada

4

(6)

saat itu dilanda gempa dan gelombang tsunami (26 Desember 2006). Meskipun tenggat waktu telah berakhir, namun belum ada tanda-tanda persiapan yang serius dari Pemerintah Indonesia. Menurut informasi dari beberapa pejabat pada waktu itu mengatakan bahwa amnesti bagi WNI yang bermasalah diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan. Selama ini Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia menganggap bahwa deportasi merupakan satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah buruh migran tak berdokumen di Malaysia. Dalam pelaksanaannya, deportasi ini meninggalkan persoalan yang tidak terselesaikan.

Setiap kali rencana deportasi dikemukakan, selalu muncul ketegangan hubungan diplomasi antara Indonesia dan Malaysia. Deportasi juga berpotensi atas terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Rencana pendeportasian WNI dari Malaysia kembali muncul di penghujung tahun 2013 tepatnya setelah Hari Raya Idul Fitri. Kabar ini dapat dilihat melalui berbagai media, diantaranya adalah pernyataan yang mengutip pejabat KBRI di Kuala Lumpur, Amiruddin Pandjaitan, bahwa Pemerintah Malaysia segera mendeportasi 60 WNI setelah hari Idul Fitri sebab petugas imigrasi Malaysia baru mulai bekerja seminggu setelah lebaran karena sebagian besar petugas mengambil cuti lebaran. “Mereka (WNI) kini ditahan sementara di kantor imigrasi. Pemerintah Malaysia akan membantu mendeportasi dengan segera setelah lebaran nanti”. Ke-60 WNI itu ditangkap petugas Imigrasi Malaysia setelah secara ilegal meninggalkan Malaysia menuju Indonesia dengan menggunakan kapal. “Jadi Pemerintah Malaysia, atau Imigrasi Malaysia tidak akan menggunakan prosedur normal dengan mengadili kemudian menahan mereka karena meninggalkan Malaysia secara ilegal. Jadi ini bantuan Pemerintah Malaysia. Setelah Idul Fitri, mereka akan segera dideportasi,” ungkap Amirudin. Selain itu, pejabat sementara pasukan gerakan marine (PGM) pelabuhan Klang, Nordin Osman mengatakan, 60 penumpang itu tidak mempunyai dokumen perjalanan (paspor) yang sah. Mereka terdiri dari 36 laki-laki, 17 perempuan berumur di bawah 45 tahun dan delapan kanak-kanak berusia antara satu bulan hingga empat tahun.

Memasuki tahun 2014, tepatnya di pertengahan bulan Februari, kembali tersiar kabar bahwa Pemerintah Malaysia akan menggelar operasi besar-besaran merazia pekerja asing ilegal.

5

Rencana ini patut dikhawatirkan, karena sedikitnya terdapat 2,2 juta TKI bekerja di Malaysia, dimana 1 juta diantaranya berstatus ilegal.

5 Kompas, 17 Februari 2014, “Antisipasi Nasib TKI, Malaysia Akan Gelar Razia Pekerja Asing

(7)

Kemudian Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, menghimbau pemerintah tidak hanya mengantisipasi deportasi besar-besaran, tetapi juga mencegah pelanggaran HAM dan penyelesaian hak-hak korban.6 Menurut Rieke, rencana Pemerintah Malaysia dalam merazia TKI ilegal akan menimbulkan masalah besar karena sedikitnya terdapat 70.000 anak TKI di Malaysia Timur. Mereka hidup dengan akses pendidikan minim dan rentan terhadap pelanggaran HAM di areal terpencil. Rieke meminta pemerintah mengantisipasi anak-anak tersebut menjadi korban pelanggaran HAM karena harus kabur ke hutan mengikuti orangtua mereka bersembunyi dari razia.

Himbauan untuk memperhatikan hak-hak TKI ilegal yang akan dideportasi dari Malaysia juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, yang meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan langkah antisipasi razia agar tidak melanggar hak asasi manusia para TKI (ilegal).7 Berdasarkan pengalaman tahun 2013-2014, ribuan TKI merana saat proses deportasi massal pekerja ilegal. Ketidaksiapan pemerintah menyebabkan ribuan TKI menumpuk di Nunukan, Kalimantan Timur. Lebih lanjut Anis mengatakan bahwa pemerintah harus lebih serius menghadapi razia terhadap pekerja asing ilegal di Malaysia pada saat ini. Beliau menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan kembali gugus tugas khusus penanganan deportasi tahun 2004 yang beranggotakan berbagai kementerian untuk menyiapkan penerimaan TKI ilegal yang dideportasi.

Persoalan deportasi muncul sebagai akibat dari ketidakcakapan Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran. Besarnya biaya penempatan yang harus ditanggung calon buruh migran Indonesia membuat mereka memilih cara ilegal untuk masuk ke negara tujuan seperti Malaysia misalnya. Selama pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan krisis kesejahteraan dan penyediaan lapangan kerja di dalam negeri, nampaknya mencegah upaya migrasi tenaga produktif ke Malaysia merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Ada beberapa alasan19, pertama, Hak untuk tinggal dan bekerja dimanapun di muka bumi adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dihargai. Kedua, secara geografis letak Indonesia dan Malaysia sangat berdekatan, akses untuk dapat keluar masuk masingmasing negara terhitung sangat mudah dilakukan. Ketiga, permintaan tenaga kerja murah untuk bekerja di Malaysia masih sangat tinggi.

6

Kompas, 18 Februari 2014, Penuhi Hak TKI Ilegal, Malaysia Mengabaikan Deklarasi ASEAN, hlm. 18

7

(8)

Adapun Faktor lain terjadinya deportasi terhadap WNI oleh negara tetangga seperti Malaysia menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Barat, M. Ridwan adalah akibat masalah keimigrasian. "Ada yang sudah bekerja dengan izin resmi namun tidak pulang ke Indonesia sewaktu masa kontraknya habis".8 M. Ridwan menyebutkan bahwa Disnakertrans Kalimantan Barat mencatat hingga September 2015 sebanyak 1.796 Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermasalah terutama dari Malaysia telah dideportasi. WNI pria lebih mendominasi yakni 1.413 orang dan wanita 383 orang. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding tahun 2014 yakni 2.068 orang yang terdiri dari 1.659 pria dan 409 wanita. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa menjelang Idul Fitri terjadi peningkatan WNI yang dideportasi melalui Kalimantan Barat dibanding bulan sebelumnya.

Sumber data lain yaitu yang berasal dari Kantor Imigrasi Entikong menyebutkan, pada bulan Maret 2015 Batas (PPLB) Entikong.21 Akumulasi WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui PPLB Entikong pada tahun 2015 mencapai 535 orang. WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui PPLB Entikong tahun sebelumnya 1.482 orang. Selain itu, tahun 2014 terdapat 21 WNI dideportasi dari Brunei Darussalam melalui PPLB Entikong. Kepala Kantor Imigrasi Entikong Zulkifli,SH mengatakan bahwa ”Imigrasi hanya meneliti apakah mereka warga Indonesia atau tidak. Pemulangan ke daerah asal bukan kewenangan imigrasi,”9

. Pertanyaan yang dapat dikemukakan kemudian adalah bagaimana penanganan selanjutnya terhadap WNI yang dideportasi tersebut setelah selesai menjalani pemeriksaan di kantor Imigrasi. Anggota DPRD Kalimantan Barat Daerah Syarif Ishak Almutahar, mengatakan, WNI yang dideportasi dan terlantar itu berpotensi dimanfaatkan penyalur tenaga kerja ilegal di Entikong.10 Mereka akan mencoba merekrut dan memasukkan deportan kembali ke Malaysia melalui jalur tidak resmi atau yang sering disebut ”jalan tikus”.

Bahwa penyebab terjadinya deportasi terhadap WNI di wilayah perbatasan tidak hanya disebabkan adanya WNI yang ingin bekerja di negara tetangga dengan tujuan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Faktor politik dapat juga menyebabkan deportasi terhadap WNI. Menghadapi rencana pemulangan WNI oleh negara tetangga maka beberapa program jangka pendek harus dilakukan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah debarkasi (daerah

8

1.796 WNI Dideportasi dari Malaysia, dikutip dari http://www.kapanlagi.com/h/0000252115 -html

9

Ibd

10

(9)

kedatangan atau daerah penerima) maupun pemerintah daerah asal harus berkoordinasi, membiayai, dan tidak saling melempar tanggung jawab dalam pemulangan WNI yang dideportasi. Adanya akumulasi deportan yang masif di beberapa titik transit juga akan terjadi penelantaran dan potensi kerawanan sosial dan pelanggaran HAM.

Dasar hukum dalam penanganan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dideportasi, yaitu Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 221/Kesos/2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bermasalah di Luar Negeri. Ketentuan ini dibentuk dengan pertimbangan berbagai hal, antara lain bahwa secara geografis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak Malaysia Timur memiliki banyak akses lintas perbatasan, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terjadinya arus keluar masuk TKI secara ilegal yang pada gilirannya mendapat perlakuan yang kurang tepat di luar negeri.

Akhirnya Pemerintah Malaysia melakukan deportasi terhadap WNI (TKI) bermasalah melalui wilayah perbatasan. Melihat kenyataan ini maka diperlukan upaya penanggulangan, penempatan dan perlindungan terhadap TKI bermasalah yang akan dipulangkan melalui pintu perbatasan Kalimantan Barat. Upaya ini harus dilakukan secara sinergi,terarah, tepat sasaran dan terkoordinir dengan melibatkan satuan kerja perangkat daerah/instansi/sektor terkait di Kalimantan Barat.

Permasalahan

Kedala-kendala apa yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses penanganan WNI yang dideportasi?

Pembahasan

Adapun kedala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses penanganan WNI yang dideportasi ialah Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah saling terpenuhinya kebutuhan kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatifnya dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang Malaysia, beberapa hal yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI), sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI yang bekerja di Malaysia mengalami

(10)

berbagai macam permasalahan yang berdampak pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara.

Semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) di empat wilayah penelitian, sudah membentuk ketentuan yang menjadi dasar hukum dalam penanganan WNI yang dideportasi. Ketentuan yang dibuat pada umumnya hanya merupakan dasar hukum bagi tim koordinasi ataupun satuan tugas yang bekerja untuk penanganan WNI yang dideportasi, dimana WNI yang dideportasi ini dapat dikategorikan sebagai WNI bermasalah atau TKI bermasalah. Lebih lanjut, di dalam ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah daerah hanya memuat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh setiap SKPD. Ketentuan yang telah dibentuk tidak secara tegas memuat hak-hak para deportan pada proses deportasi. Namun jika diteliti lebih dalam tentang tupoksi masing-masing SKPD, maka akan diketahui hak-hak apa saja yang dapat diperoleh oleh para deportan seperti kewajiban SKPD untuk memberikan kebutuhan tempat penampungan, permakanan, transportasi pemulangan ke daerah asal, ataupun pelayanan kesehatan bagi para deportan. Berdasarkan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap SKPD di dalam tim Satgas, maka hak-hak inilah yang dapat dituntut oleh para deportan pada saat proses penanganan deportasi kepada pemerintah daerah. Hak-hak tersebut tidak lain adalah bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia dalam melindungi WNI yang dideportasi. Pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan para deportan sesuai dengan tugas pokok masing-masing SKPD sebagaimana telah dituangkan dalam ketentuan (keputusan gubernur atau bupati atau walikota).

Pemenuhan hak-hak kepada para deportan yang diberikan oleh pemerintah daerah tidak terlepas dari berbagai kendala, yaitu:

1. Kendala terbesar adalah terkait kewenangan penanganan dan perlindungan bagi para deportan itu sendiri yang dialami di setiap daerah, dimana sebagian besar WNI atau TKI yang dideportasi adalah bukan merupakan warga di pemerintah daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam alokasi anggaran melalui APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi warga daerah masing-masing. Alokasi dana ini menjadi masalah tersendiri karena berbagai bentuk penanganan ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena biasanya deportasi terjadi secara masal.

2. Dalam hal pemulangan yang tidak hanya membutuhkan biaya besar tetapi juga membutuhkan koordinasi yang intens terutama dengan pemerintah daerah asal, yang belum tentu memiliki kepedulian, apalagi pemulangan hanya sampai di provinsi,

(11)

sementara pelaksanaan koordinasi sebenarnya sangat diperlukan hingga ke daerah asal para deportan. Sistem pembiayaan yang bersifat reimburse menimbulkan beban bagi beberapa instansi karena harus menyiapkan dana talangan yang tidak dapat dialokasikan dalam anggaran instansi yang bersangkutan. Sementara itu, beberapa SKPD mengungkapkan bahwa biaya operasional penanganan para deportan belum dapat didukung oleh anggaran setiap SKPD yang melekat pada tupoksinya. Selain itu, pemerintah daerah yang menerima deportan juga belum mempunyai kerjasama dengan pemerintah daerah asal para deportan, sehingga pemerintah daerah di entry point merasakan beban dalam hal pembiayaan bagi pemulangan para deportan ke daerah asalnya.

3. Pemerintah daerah belum dapat menyediakan tempat penampungan khusus bagi para deportan. Pada saat ini, tempat penampungan yang ada hanya memakai gedung yang bukan diperuntukkan bagi tempat penampungan (seperti rumah dinas atau tempat yang dipinjamkan oleh pihak ketiga) dan prasarana dan fasilitas yang tersedia belum memberikan perlindungan khusus seperti kepada kaum perempuan dalam hal penyediaan tempat penampungan, maupun keterbatasan tenaga ahli seperti tenaga kesehatan.

4. Sedangkan dari sisi deportan, sebenarnya banyak diantara mereka yang ingin kembali bekerja di Malaysia, namun mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sebagian besar paspor para deportan diambil oleh aparat Malaysia. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu (diistilahkan dengan ”tekong”) untuk mengirim para deportan kembali bekerja ke Malaysia dengan cara ilegal.

Sebagai data tambahan mengenai bagaimana peran instansi Pemerintah daerah yang bekerja di Malaysia, peneliti mengambil coantoh di Johar Baru Malayasia, dalam kaitannya dengan perlindungan WNI yang dideportasi adalah sebagai berikut:

a. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru (KJRI-JB) Malaysia Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan dengan Bidang Imigrasi, dari Bidang Konsuler, dan Bidang Pensosbud KJRI-JB dengan tujuan untuk membahas permasalahan-permasalahan TKI khususnya di Johor Bahru, maka diketahui bahwa pihak KJRI-JB telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terkait permasalahan TKI di Malaysia, yaitu sebagai berikut:

(12)

menerapkan standar gaji sesuai dengan kontrak kerja (minimal RM 481). Majikan dan TKI bersama-sama menandatangani kontrak kerja di depan pejabat Konsuler. Apabila diketahui majikan tidak mentaati kontrak kerja yang telah disepakati, maka pejabat Konsuler dapat melaporkan ke Mahkamah Perburuhan untuk diproses peradilan.

2) Konsuler melakukan blacklist bagi majikan dan agen yang tidak mentaati aturan yang telah ditetapkan. Pemberlakuan blacklist tersebut juga disampaikan ke seluruh Perwakilan RI di Malaysia.

3) KJRI-JB melakukan Welcoming Programme. Program ini dimaksudkan untuk mengadakan penyuluhan terhadap TKI yang baru bekerja di Malaysia. Kegiatan ini bekerjasama antara KJRI-JB dengan perusahaan yang mempekerjakan TKI tersebut. 4) KJRI-JB telah membuat call centre, sms centre untuk memfasilitasi para TKI apabila

ada permasalahan dapat menghubungi via telepon atau SMS yang nomornya telah ditentukan.

5) KJRI-JB telah membuat shelter atau tempat penampungan sementara yang cukup baik bagi TKI yang bermasalah.

6) KJRI-JB telah membuat brosur/leaflet mengenai cara aman bekerja di Malaysia. Meskipun upaya telah dilakukan namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan berbagai kendala yang dialami dalam melakukan perlindungan terhadap TKI di malaysia, yakni sebagai berikut:

1) KJRI-JB:

a) Pemerintah Malaysia belum meratifikasi konvensi Hak-hak Sipol dan Ekosob, tidak tunduk pada Viena Convention 1962, dan memiliki Internal Security Act (ISA), sehingga saat melakukan penangkapan tidak ada kewajiban Pemerintah Malaysia untuk memberitahukan kepada Perwakilan RI di Malaysia. Banyak kasus-kasus penangkapan TKI tidak dilaporkan kepada KJRI-JB, sehingga KJRI-JB tidak dapat memberikan pelayanan dan perlindungan hukum terhadap TKI. Kondisi demikian sangat menyulitkan bagi KJRI-JB dalam mengklarifikasi jenis kesalahan yang dilakukan oleh para TKI.

b) Kebijakan petugas penegak hukum Malaysia yang memberlakukan “kebijakan wilayah” artinya TKI yang sedang bepergian keluar wilayah, dianggap “berada di wilayah yang

(13)

salah”.

c) Pemerintah Malaysia memberikan bonus atau peningkatan karir bagi para petugas yang dapat menangkap pendatang haram.

d) Banyak majikan yang “nakal” dalam arti mempekerjakan TKI tanpa dokumen yang sah, sehingga bisa leluasa mempekerjakan TKI dengan upah yang dibawah standar (RM.481). Kepada majikan seperti ini Pemerintah Malaysia tidak memberikan sanksi apapun.

e) Banyak TKI yang menjadi korban salah tangkap oleh Polisi, Imigrasi, maupun RELA (Relawan Rakyat Malaysia). Hal ini terjadi karena saat dilakukan razia banyak TKI tidak mampu menunjukkan dokumen yang sah, karena dokumen asli dipegang oleh majikan. Di lain pihak majikan TKI tersebut enggan untuk menjelaskan permasalahan dan membawa dokumen asli kepada pihak berwajib. Selain itu ada beberapa WNI yang ditangkap karena dicurigai sebagai TKI bermasalah karena berpenampilan kurang meyakinkan. Permasalahan yang terbanyak pada TKI adalah mereka tidak memiliki dokumen yang sah, baik untuk tinggal maupun untuk bekerja di Malaysia.

2) Satgas Deportasi KJRI-JB:

a) Jumlah staf KJRI-JB yang kurang memadai, sehingga pengecekan dan wawancara terhadap WNI/TKI-B yang akan dipulangkan dilakukan sore hari setelah selesai pekerjaan di KJRI-JB.

b) WNI/TKI-B yang dideportasi belum dapat diberikan SPLP sehingga ketentuan sebagaimana di dalam UU No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian belum dapat dilaksanakan.

c) Depoh Transit Pasir Gudang (DTPG) Johor kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas yang tersedia sangat minim sekali dan tidak layak huni sehingga perlu didukung fasilitas terutama makanan, pakaian, kasur, peralatan MCK, dan sebagainya bagi WNI/TKI-B yang akan dipulangkan ke Indonesia.

d) Pemerintah Malaysia tidak pernah melaporkan kepada KJRI-JB apabila melakukan penangkapan terhadap WNI. Demikian juga sulit memperoleh data jenis pelanggaran terhadap WNI/TKI-B yang akan dideportasi.

(14)

yang mempekerjakan WNI/TKI-B tanpa ijin kerja.

f) Dana perlindungan TKI di KJRI-JB masih kurang. anggaran yang disediakan oleh BNP2TKI dihentikan dan diserahkan kepada Satker (Kementerian Luar Negeri RI). Tahun anggaran 2010, KJRI-JB terpaksa mempergunakan dana kas besi untuk menangani WNI/TKI-B yang ditempatkan di Shelter (penampungan sementara di lingkungan KJRI-JB).

KJRI-JB memiliki empat wilayah akreditasi diantaranya Johor, Malaka, Pahang, dan Negeri Sembilan. Pemerintah Malaysia telah mengeluarkan kebijakan satu pintu untuk pemulangan (deportasi) WNI/TKI-B dari seluruh Semenanjung Malaysia melalui Pelabuhan Pasir Gudang Johor dengan membangun Depoh Imigrasi Pasir Gudang. Terkonsentrasinya proses deportasi dalam satu wilayah menyebabkan terjadinya penumpukan jumlah WNI/TKI-B yang akan dideportasi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari KBRI-KL, diketahui bahwa jumlah TKI yang bekerja di Malaysia sebanyak 953.685 orang, dengan perincian bekerja di ladang 336.848 orang, bekerja sebagai pembantu rumah tangga 203.359 orang, bekerja di konstruksi 179.122 orang, bekerja di kilang 114.634 orang, pekerja pelayanan 39.847 orang, dan pekerja di pertanian 79.875 orang.

Jumlah WNI/TKI-B yang ada di penampungan sementara (shelter) setiap tahunnya mengalami kenaikan. Tahun 2011 sebanyak 659 orang, tahun 2012 sebanyak 744 orang, tahun 2013 sebanyak 727 orang, dan tahun 2014 sebanyak 1.042 orang. Tahun 2015 sampai sebanyak 709 orang dewasa dan 19 orang bayi/anak-anak. WNI/TKI-B ditampung di 2 (dua) tempat: Pertama, di shelter untuk WNI/TKI-B yang masih atau sedang mengalami/dalam proses penyelesaian masalah di Malaysia. Kedua, di Rumah Kita yang merupakan bantuan kemanusiaan dari CINB Malaysia untuk menempatkan WNI/TKI-B yang sudah selesai permasalahannya di Malaysia, namun masih menunggu untuk proses pemulangannya.

(15)

Kesimpulan

Kedala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses penanganan WNI yang dideportasi ialah Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah saling terpenuhinya kebutuhan kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatifnya dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang Malaysia, beberapa hal yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI), sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI yang bekerja di Malaysia mengalami berbagai macam permasalahan yang berdampak pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara.

(16)

Daftar Pustaka

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-PelitaIV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Abdul Khakim, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Alexander Seran, 1999, Moral Politik Hukum, Obor, Jakarta.

Asikin, Zaenal, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ateng Syafrudin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Tarsito, Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, 2007, Kabupaten Sambas Dalam Angka Tahun 2007,

Sambas.

Budiono, Abdul Rachmad, 1995, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Cetakan I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, tanpa tahun, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta.

Gunarto Suhardi, 2002, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atmajaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah–masalah ini serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam, tergantung kepada kepribadian invidu yang bersangkutan. Pada saat ini orang yang telah menjalani

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisa lebih lanjut mengenai pengaruh rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba dan

pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa smp dalam matematika melalui pendekatan advokasi dengan penyajian masalah open-ended.. Contextual

pengobatan eksim kering secara herbal alami ~ Solusi terbaik untuk Anda yang saat ini sedang menderita penyakit gatal seperti di selangkangan, gatal kurap gatal

Penelitian yang menggunakan pendekatan sosio-antropologis ini dengan teori konstruksi masyarakat atas mitos dan tradisi, dan berlatar relasi agama dan budaya lokal, telah

Konsep zero runoff system (ZROS) dikaji untuk diterapkan melalui penentuan arah aliran berdasarkan peta topografi, penentuan curah hujan harian maksimum, perancangan saluran

01 BADAN PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH. Sub Unit Organisasi

Return on investment adalah biaya Fixed Capital yang kembali pertahun atau tingkat keimtungan yang dapat dihasilkan dari tingkat investasi yang