• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF PENYELESAIAN PERJANJIAN BATAS MARITIM ANTARA INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF PENYELESAIAN PERJANJIAN BATAS MARITIM ANTARA INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA*"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF PENYELESAIAN PERJANJIAN

BATAS MARITIM ANTARA INDONESIA DENGAN

NEGARA TETANGGA*

Oleh: Direktorat Perjanjian Polkamwil Departemen Luar Negeri

Pendahuluan (2) Jika letak geografis negara tersebut

berhadapan atau berdampingan dengan nengara-negara lain dan jika jarak an tara pantai negara-negara tersebut menimbulkan situasi tumpang tindih klaim maksimum atas salah satu atau semua zona maritim, maka batas terluar zona maritim tersebut harus ditetapkan melalui peranjian perbatasan antara negara-negara terkait. Dalam hal ini penetapan batas terluar zona maritim tunduk pada rejim delimitasi batas maritim (maritime boundaries delimitation) menurut pasal 15 (laut teritorial), pasal74 (ZEE) dan pasal83 (landas kontinen). 1. Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang

Hukum Laut tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985. maka salah satu prioritas utama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dalam rangka implementasi Konvensi tersebut adalah penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga. Selain diamanatkan oleh Konvensi tsb, Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga mengatur tentang perlunya secara jelas menetapkan batas-batas wilayah perairan Indonesia dan 3. zona maritim lainnya, termasuk batas-batas yang berkaitan dengan negara-negara tetangga. 2. Berdasarkan letak geografisnya, pada dasarnya batas-batas terluar zona maritim suatu negara ditetapkan berdasarkan dua kemungkinan: (1) Jika letak geografis negara tersebut tidak

berhadapan atau tidak berdampingan dengan negara-negara lain maka batas terluar zona maritimnya adalah titik terluar dan Iebar maksimum yang diakui oleh Konvensi, yaitu 12 mil untuk laut teritorial (pasal 4 ), 24 mil untuk zona tambahan (pasal 33), 20 mil untuk ZEE dan landas kontinen (pasal 57 dan 76 ayat 1 ), dan

4.

dalam kondisi tertentu 350 untuk landas kontinen (pasal 76 ayat 6). Dalam hukum laut, klaim terhadap Iebar maksimum ini sering. disebut dengan entitlement.

Karena kedekatannya dengan negara-negara tetangga, penetapan batas terluar zona maritim Indonesia pada umumnya harus dilakukan berdasarkan pentetapan melalui perjanjian perbatasan maritim dengan 1 0 negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Australia, Filipina, Palau, Vietnam, Thailand, India, dan Timor Leste.

Namun, pada daerah-daerah tertentu penetapan batas maritim dapat dilakukan berdasarkan klaim maksimum (entitlement) seperti di Samudra India khususnya perairan disebelah Selatan Pulau Jawa dan Sumatera, dan di Samudra Pasifik khususnya di sebelah Utara Pulau Irian Jaya.

Jenis-jenis perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga mencakup perbatasan: (1) Wilayah darat dengan Malaysia, Papua

Nugini, dan Timor Leste;

(2)

(2) Laut tentorial dengan Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Timor Leste;

(3) Landas Kontinen (hak-hak berdaulat) dengan Malaysia,Australia, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Timor Leste; (4) Zona Ekonomi Eksklusif (hak-hak

berdaulat) dengan Malaysia, Filipina, Australia, India, Thailand, Vietnam, dan Timor Leste;

5. Di Laut Gina Selatan, Indonesia juga akan memiliki perbatasan landas kontinen dan ZEE dengan negara yang akan menjadi pemilik Kepulauan Spratly. Sampai saat ini masih belum diketahui negara pemiliknya karena belum terselesaikannya masalah klaim tumpang tindih antar beberapa negara terhadap kepulauan tsb.

6. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 juga menetapkan zona tambahan (continuous zone)

yang lebamya tidak lebih dan 24 millaut namun, berbeda dengan zona-zona lainnya, tidak mengatur apakah negara-negara yang berhadapan atau berdampingan perlu membuat batas zona ini jika jaraknya kurang dan 48 mil laut. Dilihat dan kebutuhan dan praktik negara saat ini mungkin dinilai belum perlu menetapkan batas zona tambahan ini namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dikemudian hari kebutuhan 9· akan kepastian status perairan ini dalam rangka penegakan hukum menjadi semakin penting sehingga penetapan batasnya menjadi mutlak.

Prinsip-prinsip Hukum Perbatasan Maritim 7. Penetapan garis batas maritim bukan

merupakan tindakan hukum sepihak (unilateral) dan suatu negara (sekalipun berdaulat) melainkan tindakan hukum antar dua negara atau lebih yang dituangkan dalam suatu

pe~anjian perbatasan. Hal ini merupakan prinsip utama dari hukum internasional tentang perbatasan yang telah dijabarkan baik dalam Konvensi-konvensi Hukum Laut maupun jurisprudensi peradilan internasional.

8. Beberapa pasal dalam UNCLOS 1982 merujuk adanya suatu Perjanjian sebagai dasar keabsahan dan suatu garis batas maritim, yaitu:

( 1 ) Atticle 15: Delimitation of the territorial sea between States with opposite or adjacent coasts :

Where the coasts of two states are opposite or adjacent to each other; neither of the two States is entitled failing agreement between them to the contrarj to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in

a

way which is at variance therewith.

(2) Article 83 and [74 (1)]: Delimitation of the

continental shelf [the exclusive economic zone] between States with opposite or adjacent coasts

The delimitation of of the continental shelf [the exclusive economic zone] between States with opposite or adjacent coasts shall be effected ggreement on the basis of international law, as referred to in atticle 38 of the Statute of the International Gault of Justice,, in order to achieve an equitable solution.

Jurisprudensi Peradilan lnternasional juga menganut prinsip ini seperti tercermin antara lain pada:

(1) Keputusan ICJ tgl 18 Desember 1951 (Fisheries Case):

"Delimitasi batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara pantai yang dinyatakan dalam hukum nasionalnya. Keabsahan delimitasi bagi negara lain didasarkan pada hukum internasional." (2) Keputusan ICJ dalam North Sea

Continental Shelf 1969:

"Delimitation to be effected by agreement in accordance with equitable principles".

(3) Keputusan ICJ dalam Kasus Gulf Of Maine 1984:

"Delimitasi batas maritim harus dilakukan dengan pe~anjian antara para pihak. jika hal tersebut tidak mungkin, perlu diupayakan penyelesaian melalui pihak ketiga. Delimitasi tersebut barus didasarkan pada

(3)

equitable criteria & practical method to ensure an equitable result".

10. Undang-Undang Nasonal Indonesia juga memuat beberapa aturan tentang batas maritim yang pada intinya adalah perlunya pentepan garis batas dituangkan melalui suatu perjanjian intemasional.

(1) Undang-Undang No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pada pasal10 mengatur bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut territorial an tara Indonesia dengan negara tetangga adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dan titik-titik terdekat pada garis pangkal dan mana Iebar laut territorial masing-masing negara diukur.

(2) Undang-Undang No.5 tahun 1983 tentang ZEEI pada pasal3 mengatur bahwa apabila ZEEI tumpang tindih dengan ZEE negara lain maka batas ZEEI ditetapkan melalui persetujuan dengan negara itu.

(3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia pada pasal 3 mengatur bahwa dalam hallandas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penerapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.

Border Diplomacy

11. Dalam kerangka pelakasanan politik luar negeri maka saat ini, Indonesia dalam kerangka border diplomacy telah dan masih terus melanjutkan upaya penetapan batas maritim dan penegasan batas darat dengan negara-negara tetangga, termasuk penetapan batas-batas terluar zona maritim Indonesia berdasarkan klaim maksimal (entitlement). Mengingat bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 telah membedakan jenis rejim maritim dan bahkan mengembangkan rejim baru yaitu ZEE, maka wilayah-wilayah yang perlu ditetapkan batas maritimnya semakin bertambah. Dengan berlakunya Konvensi ini maka zona-zona yang perlu ditetapkan batasnya tidak lagi mencakup zona landas kontinen dan laut teritorial tetapi

juga meliputi ZEE dan, dalam hal tertentu, batas terluar landas kontinen yang lebamya lebih dari 200 mil.

12. Dalam rangka penetapan batas-batas wilayahnya, Indonesia telah menyelesaikan titik-titik garis pangkalnya yang dituangkan melalui PP No. 38 Tahun 2002. Sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, garis pangkal ini merupakan dasar bagi penetapan garis perbatasan dengan negara-negara tetangga. 13. Seperti lazimnya dalam setiap proses

perundingan penetapan perbatasan antara negara, faktor-faktor yang mempengaruhi upaya menetapkan batas-batas wilayah Indonesia dengan negara-negara tetangga, antara lain dapat berupa faktor politis, politis-juridis, ekonomis, atau semata-mata faktor teknis perundingan. Faktor politis misalnya pernah sarat mewarnai penetapan batas maritim antara Australia dan Indonesia karena keterkaitan isuTimorTimurdi dalamnya. Faktor ekonomis mungkin sangat mempengaruhi perundingan batas maritim antara Indonesia dengan Vietnam di Laut Natuna. Faktor politis-juridis dan sekaligus ekonomis sangat

mewarnai proses penetapan batas maritim di Laut Sulawesi dengan Malaysia paska kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. Faktor lain seperti uself-interesr Malaysia misalnya sangat mendominasi perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Di wilayah/ perairan lain, proses penetapannya secara umum hanya dipengaruhi oleh faktor teknis perundingan, antara lain, masalah prioritas negara-negara terkait tentang perlunya segera dilakukan penetapan batas maritim, atau jadwal dan modus perundingan yang masih perlu ditetapkan. Tertundanya penetapan batas maritim Indonesia dengan Palau, misalnya, lebih banyak disebabkan karena kesulitan komunikasi diplomatik kedua negara karena masing-masing tidak memiliki perwakilan diplomatik. Penetapan batas maritim dengan Timor Leste juga akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang lebih kompleks yang akan mencakup saling keterkaitan antara penetapan batas bilateral dengan penetapan "trijunction points" antara Indonesia-Australia-Timor Leste. Selain itu, rumitnya konfigurasi geografis di sebelah Utara Pulau Timor anatara lain dengan faktor lokasi Okusi yang terpisah dan Timor Leste sedikit banyak akan memberikan kendala

(4)

tertentu dalam penetapan batas maritim di wilayah tersebut.

14. Karena berbagai faktor tersebut di atas maka pada umumnya proses perundingan penetapan perbatasan akan berlangsung lama dan membutuhkan suatu proses serta mekanisme yang berkesinambungan. Perundingan Indonesia dengan Vietnam tentang batas landas kontinen misalnya membutuhkan waktu lebih dari 25 tahun. Namun demikian sebagian batas laut ditetapkan dalam 16 pe~anjian perbatasan dan dengan mencermati wilayah laut nasional yang sangat luas ini (5,8 juta km persegi), sesungguhnya tercapainya 16 perjanjian tentang garis batas maritim mencerminkan komitmen jelas bagi ·pelaksanaan Border

Diplomacy Indonesia dalam rangka

memberikan bingkai hukum yang pasti terhadap NKRI sesuai dengan prinsip hukum Negara Kepulauan (Nusantara). Berbagai segmen yang belum tuntas telah masuk dalam proses dan agenda perundingan.

15. Border Diplomacy yang saat ini sedang digalakkan oleh Departemen Luar Negeri dititikberatkan pada upaya-upaya:

(1) Konsolidasi posisi Rl untuk semua zona maritime

(2) Membuat skala prioritas perundingan, pertama dengan Malaysia (batas darat dan laut), Singapura (batas lautwilayah), Filipina (batas ZEE dan LK), Timor-Leste (batas darat), Palau (batas ZEE) dan Masalah FIR; kedua adalah perundingan dengan Timor Leste (batas laut wilayah, ZEE, LK) India (batas Thailand (batas ZEE), dan Vietnam (batas ZEE).

(3) Penyesuaian titik-titik dasar untuk garis pangkal

(4) Mempertimbangkan untuk mengeluarkan peta laut NKRI sebagai unilateral klaim yang tidak rigid.

Perkembangan Perundingan Batas Maritim lndonesia·Malaysia

16. Perundingan batas dengan Malaysia berjalan a lot. Persoalan mendasar adalah klaim sepihak Malaysia bahwa batas landas kontinen yang telah disepakati kedua negara untuk kawasan Selat Malaka dan Laut China Selatan pada 27

Oktober 1969 dinyatakan bebagai batas ZEE, atau difungsikan sebagai single line. Posisi ini telah disampaikan dalam bentuk dekiarasi pada saat meratifikasi UNCLOS 1982 pada tanggal 14 Oktober 1996 yang memuat:

"In accordance with article 310 of the United Nations Convention on the Law of the Sea, the Government of Malaysia makes the following declarations: ...

The Malaysian Government interprets article

7 4 and article 83 to the effect that in the absence of agreement on the delimitation of the exclusive ecnomic zone or continental she if or other maritime zones, for an equitable solution to be achieved, the bowidary shalf be the median line, namely a line every point of which

is

equidistant from the nearest points of the baselines from which the breadth of the territorial sea of Malaysia and of such other States

is

measured.

Malaysia

is

also of the view that in accordance with the provisions of the Convention, namely article 56 and article

76,

of the maritime area

is

less

{than} or to

a

distance of 200 nautical miles from the baselines, the boundary for the continental shelf and the exclusive economic zone shall be on the

same

line ("identical").

17. Dalam perundingan dengan Malaysia, Deklarasi ini telah ditolak oleh Indonesia karena bertentangan dengan UNCLOS 1982. Menu rut pasal 310 UNCLOS 1982, deklarasi hanya diperbolehkan with a view, inter alia, to the

harmonization of its

laws

and regulations with the provisions of this Convention, provided that such declarations or statements do not purport to exclude or to modify the legal effect of the provisions of this Convention in their application to that State.

18. Di samping itu Peta unilateral Malaysia tahun 1979 merupakan kendala utama dan proses perundingan Indonesia-Malaysia. Keterikatan Malaysia terhadap Peta 1979 sebagai produk legislatif nasionalnya telah "menyandera" posisi berunding Malaysia sehingga tidak leluasa lagi bernegosiasi secara lazim dengan menggunakan parameter hukum internasionaf. Dengan Peta 1979, di kawasan Laut Sulawesi Malaysia telah mengklaim secara unilateral kawasan yang sangat luas dengan mengabaikan cara-cara penarikan garis batas

(5)

menurut hukum internasional dan tanpa memperhatikan kepentingan Indonesia, dan bahkan Filipina. Peta ini merupakan akar masalah dan munculnya insiden blok Ambalat karena blok ini merupakan bag ian dari wilayah yang secara sepihak masuk dalam klaim peta Malaysia tersebut.

19. Pada pasca kasus Sipadan dan Ligitan, Indonesia dan Malaysia telah melakukan beberapa pertemuan delimitasi batas maritim yang dimulai pada bulan Juli 2004, yang merupakan pertemuan pertama setelah sekitar 30 tahun. Pertemuan Juli 2004 tidak menghasiikan suatu kesepakatan substantif akibat perbedaan posisi yang sulit dijembatani. Malaysia tetap pada posisinya tentang single line. Sikap ini bertentangan dengan kesepakatan kedua Menlu pada Sidang ke 7

Joint

Commission

for Bilateral Cooperation di Kuala Lumpur bulan Februari 2002 di mana telah dicapai kesepakatan bahwa kedua negara setuju delimitasi batas ZEE di Selat Malaka dan delimitasi ZEE di tempat lainnya yaitu Laut China Selatan dan Laut Sulawesi. Indonesia secara tegas menolak posisi Malaysia tersebut, karena berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 Landas Kontinen dan ZEE diatur oleh dua rezim hukum yang berbeda, sehingga batas Landas Kontinen dan ZEE tidak selalu single line.

20. Namun demikian dan perspektif kepentingan nasional, pertemuan bilateral bulan Juli 2004 menghasilkan beberapa hal positif, yaitu: a. Disepakatinya suatu agenda perundingan

yang mencakup semua kawasan yang perlu didelimitasi;

b. Malaysia menyadari bahwa Indonesia menghendaki pendekatan yang komprehensif dalam penyelesaian seluruh batas maritim dengan Malaysia;

c. Malaysia juga mengetahui bahwa tanpa penetapan batas ZEE di Selat Malaka dan Laut China Selatan maka perundingan batas landas kontinen di Laut Sulawesi yang kaya akan sumber daya minyak dan gas bumi tidak akan berjalan.

21. lsu mengenai batas maritim Indonesia -Malaysia di Laut Sulawesi telah mencuat akhir-akhir ini, antara lain karena munculnya kasus Ambalat yang melibatkan kekuatan militer di

wilayah tumpag tindih. Sejak insiden Ambalat. perundingan kedua pihak semakin intensif dan telah menyepakati untuk mempercepat proses perundingan dengan mekanisme pertemuan 2 bulan sekali yang dimulai pada Pertemuan Bali bulan Maret 2005 dan dilanjutkan pada bulan Mei 2005. Sampai pada tahap ini telah dicapai suatu tahap di mana kedua delegasi telah saling mengemukakan dan memahami secara jelas posisi hukum masing-masing tentang titik dasar dan garis pangkalnya.

lndonesia-Singapura

22. Pemerintah Indonesia berkeinginan untuk memulai perundingan garis batas wilayah perairan antara Indonesia - Singapura, guna melengkapi pe~anjian garis batas laut wilayah tahun 1973, yaitu di wilayah sebelah Barat dan Timur. Saat ini yang memungkinkan untuk dibicarakan adalah bataslaut wilayah di sebelah barat sejauh sekitar 18 mil. Sedangkan yang di sebelah timur masih harus menunggu penyelesaian sengketa antara Malaysia dan Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh/Pedra Branca di Mahkamah lnternasional.

23. Indonesia telah mendesak kesediaan Singapura untuk membicarakan masalah penetapan batas laut wilayah yang belum ditetapkan tersebut. Singapura telah menyatakan kesediaannya, namun komitmen Singapura untuk merundingkan batas laut kedua negara pada awalnya masih sebatas pernyataan politis dan baru pada tanggal28 Februari 2005 dilakukan perundingan pertama di Singapura yang masih san gat embryonic dari masing-masing delegasi baru melakukan pertukaran pendapat (exchange of views) tentang pengalaman masing-masing dalam proses penetapan perbataaan.

24. Salah satu isu panting dalam masalah penetapan batas kedua negara yaitu ekspor pasir laut ke Singapura. PM Lee Hsien Loong pernah menyatakan bahwa reklamasi Singapura adalah dalam batas perairan nasional Singapura dan tidak akan terpengaruh terhadap batas wilayah. Namun demikian, Singapura tidak pernah menyatakan bahwa Singapura dapat menggunakan hasil reklamasi sebagai titik dasar baru. Perlu dicatat bahwa Pasal 11 UNCLOS memungkinkan suatu

(6)

negara memanfaatkan permanent harbour works sebagai titik dasar, sehingga Indonesia harus tetap mencermati reklamasi Singapura yang sangat berpotensi merugikan Indonesia secara strategis.

lndonesia-Filipina

25. Pembahasan mengenai penetapan batas maritim antara Rl - Filipina telah dilakukan secara intensif dalam dua tahun terakhir dengan perkembangan positif. Forum perundingan bilateral adalah Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) dan Sub Working Group on Delimitation of Common Maritime Boundaries. Batas maritim kedua negara yang perlu ditetapkan adalah batas ZEE dan Landas Kontinen di Laut Sulawesi. Pada Sidang JPWG-MOC di Manila bulan Desember 2003 telah dihasilkan penegasan kembali posisi Filipina yang menyatakan tidak memiliki klaim kewilayahan terhadap Pulau Miangas: Penegasan tersebut merupakan pengulangan dan penegasan sebelumnya yang tertuang dalam suatu protokol dalam perjanjian ekstradisi Rl- Filipina tahun 1976.

26. Dalam perkembangan, pada tanggal 3-5

Agustus 2004 telah diselenggarakan Sidang kedua JPWG-MOC di Jakarta. Selain itu, pada tanggal 5 - 6 November 2004 telah diselenggarakan pertemuan Sub-Working Group Delimitasi di Manila, Filipina. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia telah mengajukan berbagai usulan kepada Filipina tentang prinsip hukum batas maritime yang hendaknya diterapkan, yang telah diakui oleh hukum intemasional. Selanjutnya kedua negara telah sepakatakan melanjutnya pertemuan Sub-Working Group Delimitasi di Indonesia yang semula dijadwalkan pada akhir Desember 2004, namun karena masalah domestik Filipina tentang isu ini, pertemuan lanjutan belum dapat diselenggarakan.

Indonesia-Timor Leste (RDTL)

27. Perundingan penetapan batas antara Rl -RDTL telah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 2001 hingga saat ini dan diharapkan perbatasan darat kedua negara dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Mengenai penetapan batas laut, kedua negara telah

sepakat bahwa perundingan batas laut baru akan dilaksanakan setelah selesainya penetapan batas darat.

Indonesia - Palau

28. Palau merupakan satu-satunya negara tetangga Indonesia dimana kedua negara belum pernah mengadakan pertemuan untuk membahas batas maritim (ZEE dan Landas Kontinen. Dari hasil penjajahan yang telah dilakukan Indonesia, dipastikan bahwa Palau baru bersedia membicarakan mengenai delimitasi batas maritim antara kedua negara setelah dibukanya hubungan diplomatik Rl -Palau. Harus diakui pula bahwa Palau merupakan satu-satunya negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia di mana Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik. Mengingat kedekatan geografis kedua negara, persyaratan yang diajukan Palau tersebut sangat masuk akal karena sebagai negara yang bertetangga, tidak akan terhindari terjadinya interaksi baik antara pemerintah maupun rakyat, sehingga diperlukan hubungan diplomatik yang mapan untuk memfasilitasi hal tersebut. Pada saat ini pembukaan hubungan diplomatik kedua negara masih dalam proses, dan diharapkan persetujuan pembukaan hubungan diplomatik antara kedua negara dapat ditandatangani segera.

29. Secara geografis Republik Palau terletak di sebelah Timur Laut Indonesia. Palau memiliki luas daratan sekitar 458 km2, terdiri dari

pulau-pulau utama dan sekitar 250 pulau-pulau-pulau-pulau kecil. Jumlah penduduk Palau diperkirakan sekitar 20.000 jiwa (tahun 2002), mayoritas (sekitar 70%) tinggal di ibukota Koror yang terletak di Pulau Koror. Penduduk Palau berasal dari etnis Micronesia. Bahasa resmi adatah Bahasa lnggris dan Palau. Palau memiliki GOP US$ 109.5 juta, GOP per kapita US$ 5.482 dan pendapatan per kapita US$ 7.475. Perekonomian Palau utamanya ditopang dari turisme, ekspor sumber daya laut dan pertanian. Palau merdeka pada 1 Oktober 1994, setelah sebelurnnya merupakan salah satu bagian dan US Pacific Trust Territory. Palau adalah Republik Konstitusional dan berasosiasi secara bebas dengan Amerika Serikat dimana AS bertanggungjawab terhadap pertahanan Palau selama 50 tahun.

(7)

30. Dalam perundingan penetapan batas, Palau kemungkinan akan dibantu oleh Amerika Serikat. Hal ini mengingat Pasal 147 (a) Konstitusi Palau mengenai delimitasi yang menyatakan bahwa "The Authority, the United States Government and the Trust Territory Government shall cooperate in the delimitation of the extended fishery zone".

Mekanisme Penyelesaian Perbatasan jika Perundingan tidak berhasil

31. Sumbangan panting lainnya dan Konvensi terhadap perkembangan hukum delimitasi batas maritim ini adalah ditetapkannya kewajiban hukum terhadap setiap negara peserta untuk menyelesaikan perbatasan maritim dengan negara tetangganya. Konvensi tidak memberi ruang kepada suatu negara untuk membiarkan masalah perbatasannya terlunta-lunta dan tidak terselesaikan (pending)

tanpa alasan yang sah. Masalah delimitasi batas maritim ini termasuk dalam kategori masalah yang harus diselesaikan dalam kerangka prosedur memaksa (compulsory procedure) dan mekanisme penyelesaian sengketa Bab XV Konvensi. Oengan prosedur ini maka suatu negara pihak Konvensi tidak dapat secana sepihak menyatakan tidak akan menyelesaikan atau menunda dengan alasan tertentu (kecuali atas kesepakatan kedua pihak) penyelesaian masalah perbatasannya. Jika suatu perundingan penetapan perbatasan mengalami jalan buntu maka para pihak terkait wajib menyelesaikannya melalui mekanisme penyelesaian sengketa Konvensi dimaksud. Dalam hal ini, jika suatu pihak menolak untuk menyelesaikan masalah perbatasannya secara bilateral maka pihak lain dapat meminta agar masalah ini diselesaikan melalui konsiliasi atau pihak ketiga. Diterapkannya prosedur memaksa ini oleh para perumus Konvensi tampaknya didasarkan pada penilaian bahwa terbengkelainya masalah perbatasan dapat mengundang konflik potensial antara negara yang akibatanya dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia.

32. Tahapan penyelesaian sengketa tentang masalah perbatasan jika perundingan telah memasuki jalan buntu oleh Konvensi disusun secara sitematis sbb:

(1) Tukar menukar pandangan (exchange of views)

Perundingan merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh Negara Pihak yang bersengketa bila suatu perselisihan terjadi. Sebagaimana diatur dalam pasal 283 Konvensi, hal ini dilakukan melalui tukar menukar pandangan dalam rangka mencari penyelesaian sengketa tersebut secara damai,

Apabila perundingan delimitasi batas laut tersebut menemui jalan buntu, Negara Pihak tidak serta merta menunda atau bahkan mengakhiri upaya penyelesaiannya. Pasal 283 Konvensi mewajibkan Negara Pihak untuk terus melakukan Exchange of views agar dapat dicapai kesepakatan atas langkah berikutnya dalam rangka mencari mekanisme penyelesaian sengketa secara damai yang lain. Exchange of views lazim dilakukan melalui jalur diplomatik. Oalam kaitan ini kedua pihakjuga dihimbau untuk membuat suatu pengaturan sementara

(provisional measures) jika kesepakatan belum tercapai. Joint Development Zone

misalnya merupakan model pengaturan sementara yang sering digunakan oleh para pihak yang bersengketa.

(2) Konsiliasi

Seandainya para Pihak yang bersengketa gagal dalam bernegosiasi dan kesepakatan mengenai prosedur yang dipilih tidak tercapai, maka salah satu pihak dapat meminta prosedur conciliation atau konsillasi (Pasal 284 Konvensi).

(3) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Batas Laut melalui Badan Peradilan

Apabila mekanisme yang tidak mengikat tidak tercapai, Pasal 286 Konvensi mengatur mekanisme penyelesaian sengketa batas maritim melalui salah satu dari empat badan peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu (1) Mahkamah lnternasional (ICJ); (2) Mahkamah lnternasional untuk Hukum Laut (ITLOS); (3) MahkamahArbitrasi (Annex VII) dan (4) MahkamahArbitrasi Khusus (Annex VIII).

33. Karekteristik prosedur memaksa (compulsory precedures) UNCLOS 1982 tercermin dan adanya kewajiban negara untuk memilih prosedur penyelesaian yang dikehendaki pada

(8)

saat menandatangani atau meratifikasi Konvensi (pasal287) atau setiap waktu setelah itu. Jika pada saat penandatanganan atau ratifikasi suatu negara tidak memilih, seperti halnya Indonesia, maka negara tersebut dianggap memilih Mahkamah Arbitrase berdasarkan Annex VJ I.

34. Mahkamah Arbitrase terdiri dari 5 anggota: masing-masing pihak memilih 1 anggota, dan ketiga anggota lainnya ditentukan kedua pihak bersama. Apabila tidak terdapat kesepakatan atas ketiga anggota tersebut, maka Presiden ITLOS yang menentukan. Para arbitrator tidak harus memiliki keahlian di bidang hukum laut, melainkan dibuka pula peluang untuk keahlian

di bidang teknis lainnya seperti pengelolaan perikanan atau lingkungan hidup. Ada pun jangka waktu pelaksanaan arbitrase dapat memakan waktu hingga 660 hari.

35. Sengketa penetapan batas maritim juga termasuk dalam kategori sengketa yang, jika suatu negara menghendaki, dapat dikecualikan dan mekanisme prosedur memaksa Konvensi sepanjang niat tersebut dinyatakan secara tegas pada saat menandatangani atau meratifikasi Konvensi atau setiap waktu setelah itu (pasal298 1 (a) (i). Indonesia dalam hal ini tidak melakukan pengecualian dimaksud sehingga dalam hal penetapan perbatasan tunduk pada mekanisme prosedur memaksa ini.

(9)

30. Dalam perundingan penetapan batas, Palau kemungkinan akan dibantu oleh Amerika Serikat. Hal ini mengingat Pasal 147 (a) Konstitusi Palau mengenai delimitasi yang menyatakan bahwa "The Authority, the United States Government and the Trust Territory Government shall cooperate in the delimitation of the extended fishery zone".

Mekanisme Penyelesaian Perbatasan jika Perundlngan tidak berhasil

31. Sumbangan penting lainnya dan Konvensi terhadap perkembangan hukum deHmitasi batas maritim ini adalah ditetapkannya kewajiban hukum terhadap setiap negara peserta untuk menyelesaikan perbatasan maritim dengan negara tetangganya. Konvensi tidak memberi ruang kepada suatu negara untuk membiarkan masalah perbatasannya terlunta-lunta dan tidak terselesaikan (pending)

tanpa alasan yang sah. Masalah delimitasi batas maritim ini termasuk dalam kategori masalah yang harus diselesaikan dalam kerangka prosedur memaksa (compulsory procedure) dan mekanisme penyelesaian sengketa Bab XV Konvensi. Dengan prosedur ini maka suatu negara pihak Konvensi tidak dapat secana sepihak menyatakan tidak akan menyelesaikan atau menunda dengan alasan tertentu (kecuali atas kesepakatan kedua pihak) penyelesaian masalah perbatasannya. Jika suatu perundingan penetapan perbatasan mengalami jalan buntu maka para pihak terkait wajib menyelesaikannya melalui mekanisme penyelesaian sengketa Konvensi dimaksud. Dalam hal ini, jika suatu pihak menolak untuk menyelesaikan masalah perbatasannya secara bilateral maka pihak lain dapat meminta agar masalah ini diselesaikan melalui konsiliasi atau pihak ketiga. Diterapkannya prosedur memaksa ini oleh para perumus Konvensi tampaknya didasarkan pada penilaian bahwa terbengkelainya masalah perbatasan dapat mengundang konflik potensial antara negara yang akibatanya dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia.

32. Tahapan penyelesaian sengketa tentang masalah perbatasan jika perundingan telah memasuki jalan buntu oleh Konvensi disusun secara sitematis sbb:

(1) Tukar menukar pandangan (exchange of views)

Perundingan merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh Negara Pihak yang bersengketa bila suatu perselisihan te~adi.

Sebagaimana diatur dalam pasal 283 Konvensi, hal ini dilakukan melalui tukar menukar pandangan dalam rangka mencari penyelesaian sengketa tersebut secara damai,

Apabila perundingan delimitasi batas laut tersebut menemui jalan buntu, Negara Pihak tidak serta merta menunda atau bahkan mengakhiri upaya penyelesaiannya. Pasal 283 Konvensi mewajibkan Negara Pihak untuk terus melakukan Exchange of views agar dapat dicapai kesepakatan atas langkah berikutnya dalam rangka mencari mekanisme penyelesaian sengketa secara damai yang lain. Exchange of views lazim dilakukan melalui jalur diplomatik. Dalam kaitan ini kedua pihakjuga dihimbau untuk membuat suatu pengaturan sementara

(provisional measures) jika kesepakatan belum tercapai. Joint Development Zone

misalnya merupakan model pengaturan sementara yang sering digunakan oleh para pihak yang bersengketa.

(2) Konsiliasi

Seandainya para Pihak yang bersengketa gagal dalam bemegosiasi dan kesepakatan mengenai prosedur yang dipilih tidak tercapai, maka salah satu pihak dapat meminta prosedur conciliation atau konsillasi (Pasal284 Konvensi).

(3) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Batas Laut melalui Badan Peradilan

Apabila mekanisme yang tidak mengikat tidak tercapai, Pasal 286 Konvensi mengatur mekanisme penyelesaian sengketa batas maritim melalui salah satu dari empat badan peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu (1) Mahkamah lnternasional (ICJ); (2) Mahkamah lntemasional untuk Hukum Laut (ITLOS); (3) MahkamahArbitrasi (Annex VII) dan (4) Mahkamah Arbitrasi Khusus (Annex VIII).

33. Karekteristik prosedur memaksa (compulsory precedures) UNCLOS 1982 tercermin dan adanya kewajiban negara untuk memilih prosedur penyelesaian yang dikehendaki pada

(10)

saat menandatangani atau meratifikasi Konvensi (pasal287) atau setiap waktu setelah itu. Jika pada saat penandatanganan atau ratifikasi suatu negara tidak memilih, seperti halnya Indonesia, maka negara tersebut dianggap memilih Mahkamah Arbitrase berdasarkan Annex VII.

34. Mahkamah Arbitrase terdiri dari 5 anggota: masing-masing pihak memilih 1 anggota, dan ketiga anggota lainnya ditentukan kedua pihak bersama. Apabila tidak terdapat kesepakatan atas ketiga anggota tersebut, maka Presiden ITLOS yang menentukan. Para arbitrator tidak harus memiliki keahlian di bidang hukum laut, melainkan dibuka pula peluang untuk keahlian

di bidang teknis lainnya seperti pengelolaan perikanan a tau lingkungan hidup. Adapun jangka waktu pelaksanaan arbitrase dapat memakan waktu hingga 660 han.

35. Sengketa penetapan batas maritim juga termasuk dalam kategori sengketa yang, jika suatu negara menghendaki, dapat dikecualikan dan mekanisme prosedur memaksa Konvensi sepanjang niat tersebut dinyatakan secara tegas pada saat menandatangani atau meratifikasi Konvensi atau setiap waktu setelah itu (pasal 298 1 (a) (i). Indonesia dalam hal ini tidak melakukan pengecualian dimaksud sehingga dalam hal penetapan perbatasan tunduk pada mekanisme prosedur memaksa ini.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga penulis merasa penting menarik permasalahan ini menjadi bahan penelitian di bidang Manajemem Produksi dan Operasional dengan judul “ANALISIS PERHITUNGAN

Dimensi ini lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politik seseorang, dimana dimensi psikologis merupakan perilaku

Kompetensi Pedagogik Guru Agama Islam Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di SMP Islam Sunan Gunung Jati Ngunut dan SMP Islam Al-Fattahiyah Boyolangu..

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pengambilan keputusan masyarakat pada pengobatan tradisional sangkal putung diawali dari masyarakat mengenal pengobatan tradisional

GIS sangat membantu dalam percobaan pertanian pada lahan miring (< 1km) dan memprediksi tentang kehilangan tanah dengan model terdistribusi. Model ini juga mampu

Penyusunan skripsi dengan judul “ Nilai Pendidikan Agama Islam dalam Lirik Lagu pada Album Don’t Make Me Sad Karya Band Letto : Tinjauan Sosiologi Sastra dan

Demikian pengumuman ini dibuat agar para peserta penyedia jasa yang turut mengikuti kegiatan Pengadaan Langsung untuk pekerjaan tersebut dapat manjadi maklum, sejak pengumuman

Sehubungan dengan itu kepada pemenang dimohon agar segera menghubungi Pejabat Pembuat Komitmen Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Buol Tahun Anggaran