• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 2011, hlm, 13 2 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, Jakarta, 1989, hlm, 35.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 2011, hlm, 13 2 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, Jakarta, 1989, hlm, 35."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

Anak merupakan generasi bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam membangun dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Karena itu kualitas yang dimiliki anak-anak tersebut ditentukan oleh adanya proses dan bentuk perlakuan terhadap mereka di dalam pertumbuhan dan perkembangannya saat ini.

Anak dilahirkan kedunia memiliki kebebasan. Kebebasan tersebut mendapatkan pengakuan dari hak asasi manusia, oleh karena itu kebebasan anak dilindungi oleh negara dan hukum tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan oleh siapapun. Anak tetaplah anak yang melekat sifat ketidak mandirian, mereka membutuhkan kasih sayang dan perlindungan terhadap hak-haknya dari orang dewasa. Anak dalam pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan perlindungan dan perhatian dari orang tua, masyarakat, dan negara. Perlindungan terhadap anak merupakan pondasi anak untuk menjadi dewasa menjawab tantangan masa mendatang. 1

Aief Gosita mengatakan bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. 2

Namun kenyataannya tindak pidana anak yang menjadi korban masih sangatlah tinggi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk dengan cara yang salah sekalipun. Akhir-akhir ini telah banyak terjadi kasus tentang kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dimana pelakunya adalah orang dewasa dan kebanyakan dari mereka adalah orang yang dikenal korban. Kekerasan Seksual ini dapat berbentuk pencabulan, pemerkosaan dan pelecehan seksual.

1

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2011, hlm, 13

(2)

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Indonesia mengenai anak yang menjadi korban tindak pidana dalam hal kekerasan seksual yaitu kasus yang terjadi di Salatiga dimana terdakwanya adalah Achirudin Pasila alias Babe Bin Kamarudin yang berumur 38 tahun dan korbannya bernama Fidelnaia Malika Safitri yang berumur 14 tahun, dimana korban masih dibawah umur. Kasus ini terjadi pada hari rabu tanggal 28 Februari 2018 sekitar pukul 12.00 Wib dirumah terdakwa yang terletak di Banyuputih Barat Rt.04 Rw. 13 Kel. Sidorejo Lor Kec. Sidorejo Kota Salatiga , awalnya terdakwa menjadi panitia Popda Voli dilapangan Rumah Sakit DKT Salatiga dan Fidelnaia malika Safitri anak korban ikut main di POPDA tersebut , setelah selesai lomba pada pukul 11.15 Wib Fidelnaia Malika Safitri bilang kepada terdakwa bahwa tidak ada yang menjemputnya dan terdakwa pun menawarkan anak korban untuk mengatra anak korban pulang dengan menggunakan sepeda motor merk Honda CBR 150/h5c02R20M1 M/T No.Pol: H 5591 GK Tahun 2016 warna merah milik tedakwa. Namun di perjalanan terdakwa bilang epada anak korban untuk mampir terlebih dahulu kerumah terdakwa karna saat itu cuaca mau hukan dan sesampainya di rumah terdakwa, terdakwa mulai menjalankan aksinya yaitu melakukan pencabulan terhadap anak korban yang masih di bawah umur.

Atas perbuatan terdakwa Achiruddin Pasila Alias Babe bin Kamarudin (Alm) yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan kekerasan atay ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul” dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar 60.000.000 dengan ketentaun apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.

Melihat salah satu contoh kasus diatas mengenai kekeresaan seksual dalam hal pencabulan terhadap anak yang masih di bawah umur, maka saat ini sangatlah dibutuhkan perlindungan yang lebih terhadap anak khususnya korban kekerasan seksual. Dalam hal anak yang menjadi korban tindak pidana seksual ini harus lah dilindungi oleh hukum. Perlindungan hukum yang bisa dilakukan oleh anak yang menjadi korban tindak pidana salah satunya adalah dalam proses beracara di peradilan. Dalam melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana di dalam proses beracara di peradilan adalah mengacu pada undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang SP2A, Undang-Undang No 35

(3)

Tahun 2014 Tentng Perlindungan Anak, dan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Perempuan Yang Berhadapan Denga Hukum (jika korban adalah perempuan).

Jika diperhatikan sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 yang berbunyi “sistem peradilan pidana anak merupakan seluruh proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahapan penyidikan sampai dengan tahapan pembimbingan setelah menjalani pidana”, maka dapat diketahui bahwa sistem peradilan peradilan pidana anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 adalah sistem mengenai proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum.

Khusus untuk perlindungan hukum terhadap anak, negara memberikan perhatian dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Perubahan tersebut adalah untuk mempertegas tentang pentingnya pemberatan sanksi pidana dan juga denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak untuk memberikan efek jera, serta untuk mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali secara fisik, psikis dan juga sosial anak sebagai korban dan atau anak sebagai pelaku kejahatan sebagai langkah antisipatif supaya anak sebagai korban atau sebagai pelaku tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian hari.3

Untuk membahas mengenai perlindungan anak yang menjadi korban tindak pidana dalam proses beracar di peradilan dalam halnya pemeriksaan di persidangan, perlu untuk diketahui yang dimaksud dengan anak, anak yang berhadapan dengan hukum, serta hak dan kewajiban saksi (anak saksi).

Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termaksud anak yang masih di dalam kandungan.

Pengertian Anak yang berhadapan dengan hukum yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sisten Peradilan Pidana Anak, menurut Pasal 1 angka 2 , terdiri atas:4

3Ibid, hal; 46.

(4)

1. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4);

2. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum beurumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyedikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang dipengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/ atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5).

Dalam melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana dalam proses beracara di peradilan dalam hal pemeriksaan di persidangan, perlu di perhatikannya hak-hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum.. Bismar siregar juga mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum anak belum dibebani kewajiban. 5

Arief gosita juga mengatakan bahwa tehadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum ada beberapa hak-hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya secar bersama-sama, yaitu: 6

1. Sebelum Persidangan. a. Sebagai Korban:

1). Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan fisik, mental, dan sosialnya.

2). Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif). 3). Hak untuk mendapatkan perlindungan tehadap tindakan-tindakan

yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial, dan siapa saja (berbagai ancaman, penganiayaan, pemerasan misalnya).

5 Bismar Siregar, Hukum Dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal;35.

(5)

4). Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo.

5). Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai pelapor, saksi/korban.

b. Sebagai Saksi:

1). Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka, tanpa mempersulit para pelapor.

2). Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja yang karena kesaksiannya (berbagai ancaman, penganiayaan misalnya).

3). Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan (transport).

2. Selama Persidangan. a. Sebagai korban.

1). Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai saksi/korban (transport/penyuluhan).

2). Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenaitata cara persdiangan dan kasusnya.

3). Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya).

4). Hak untuk menyatakan pendapat.

5). Hak untuk mengganti kerugian atas kerugian, penderitannya. 6). Hak untuk memohon persidngan tertutup.

(6)

1). Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai aksi (transport, penyuluhan).

2). Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya.

3). Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam, ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya).

4). Hak untuk mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi. 3. Setelah Persidangan.

a. Sebagai korban.

1). Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial.

2). Hak atas pelayanan dibidang mental, fisik, dan sosial. b. Sebagai saksi.

1). Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial.

Di dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur mengenai hak-hak anak dalam proses peradilan , yaitu sebagai berikut:7

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. dipisahkan dari orang dewasa;

c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. melakukan kegiatan rekreasional

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

7

(7)

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. memperoleh advokasi sosial;

l. memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n. memperoleh pendidikan;

o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain memperhatikan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan, untuk melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana juga haruslah meperhatikan asas-asas sistem peradilan pidana anak. Untuk menerapkan sistem peradilan pidana anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 telah memberikn beberapa petunjuk sebagaimana yang telah terdapat didalam Pasal 2 dan Pasal 5.

Pasal 2 dan penjelasannya menentukan bahwa sistem peradilan idana anak dilaksanakan berdasarkan asas berikut:

a. pelindungan;

b. keadilan;

c. nondiskriminasi;

d. kepentingan terbaik bagi Anak;

e. penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;

g. pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. proporsional;

i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan

j. penghindaran pembalasan.

(8)

1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama

proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah d. menjalani pidana atau tindakan.

3. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf

a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Perlindungan anak dalam sisitem peradilan, selain memperhatikan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Anak, juga harus memperhatikan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, hal ini juga harus diperhatikan dalam melindungi anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual dalam hal pencabulan.

Menurut Pasal 2 Perma No. 3 tahun 2017 memuat asas yang wajib dilakukan hakim saat mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum yaitu:

“Hakim mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum berdasarkan asas:

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

b. Non diskriminasi

c. Kesetaraan gender

d. Persamaan di depan hukum

e. Keadilan

(9)

g. Kepastian hukum.”

Dan juga terdapat 4 larangan bagi hakim saat memeriksa perempuan yang berharapan dengan hukum. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 5 :

“Dalam pemeriksaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Hakim tidak boleh:

a. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan,

menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum.

b. Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan

kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.

c. Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar

belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.

d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.”

Hal ini bertujuan agar dalam proses persidangan tidak adanya diskriminasi perempuan yang terjadi selama proses peradilan, karena jika adanya diskriminasi dalam proses peradilan akan menimbulkan ketidak adilan bagi anak korban sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual, ketidakadilan tersebut akan berdampak pada penanganan perkara di pengadilan menjadi kurang optimal dalam memberikan perlindungan dan keadilan seperti korban perkosaan seringkali diperiksa oleh hakim dan penegak hukum lain mengenai riwayat seksual (masih perawan atau tidak), pakaian apa yang dikenakan, gaya apa yang dilakukan pelaku, dan sebagainya. Maka dari itu pentinglah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum juga di perhatikan dalam melindungi anak sebagai korban tindak pidana dalam proses peradilan.

(10)

Proses peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan dalam menjalankan putusan pengadilan dilembaga pemasyarakatan anak wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khususnya atau setidaknya mengetahui tentang masalah anak. Perlakuan selama proses peradilan pidana anak harus memperhatikan prisnsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabak anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan , dan bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi rendah. Untuk itu di usahakan agar penegak hukum tidak hanya ahli dalam bidang ilmu hukum akan tetapi terutama jujur dan bijaksana aserta mempunyai pandangan yang luas dan mendalam tentang kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan manusia serta masyarakatnya.8

Karena pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental fisik, sosial dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan peradilan yang asing baginya. Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya yang menimbulkan kerugian mental, fisik.9

Melihat dari beberapa urain yang sudah dijelaskan diatas penulis tertarik untuk menulis suatu penelitian hukum yang berjudul “Perlindungan Hukum Dalalm

Proses Beracara Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan di Pengadilan Negeri Salatiga (Studi Kasus Putusan Perakara Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt)” dimana penulis akan meneliti bagaimana perlindungan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum di Pengadilan Negeri Salatiga terkait putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt yang dimana perkara dalam putusan tersebut adalah melibatkan anak dibawah umur yang bernama Fidelnaia Malika Safitri yang masih berusia 14 tahun sebagai korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh Achiruddin Pasila Als. Babe Bin Kamarudin yang berusia 38 tahun.

8 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1983, hal; 71.

9 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal; 2.

(11)

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis dapat menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang didapatkan anak sebagai korban tindak pidana dalam proses beracara di persidangan Pengadilan Negeri Salatiga dalam Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt?

C. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang di dapatkan terhadap anak sebagai korban tindak pidana Pencabulan dalam proses beracara di Pengadilan Negeri Salatiga dalam Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt.

D. Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan akademis dan informasi bagi pembacadi bidang hukum pada umumnya, juga dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum pidana.

2. Manfaat praktis.

a. Memberikan informasi dan menjadikan masukan bagi para penegak hukum dalam melindungi anak sebagai korban tindak pidana dan memberikan efek jera terhadap pelaku.

b. Memberikan kontribusi kepada masyarakat luas khususnya para orang tua, guru, pelajar, dan remaja, agar lebih berhati-hati, sehingga diharapkan kedepannya tidak ada lagi kasus tindak pidana anak yang menjadi korban khususnya dalam kejahatan seksual, karena hal ini akan merusak mental anak jika yang menjadi korban.

(12)

Menurut Peter Mahmud penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi .10 Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis empiris. Dipilihnya jenis penelitian hukum empiris karena penelitian ini dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.11

2. Teknik Pengumpulan Data.

Pada penelitian hukum ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dengan cara wawancara dengan:

1. Ketua Majelis Hakim Ibu Yesi Akhista S.H di Pengadilan Negeri Salatiga

2. Jaksa Penuntut Umum Ibu Dewi Purwati S.H di Kejaksaan Negeri Salatiga.

b. Sumber data sekunder yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya.

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal;35. 11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal., 13.

(13)

5. Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum

6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). 7. Putusan Pengadilan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt.

8. Jurnal-jurnal hukum, pandangan ahli hukum atau doktrin, skripsi dan makalah yang berhubungan dengan kasus yang dibahas dalam skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Efek antimikoba yang dihasilkan dari asap cair “waa sagu” selama proses pengasapan ikan tuna dimana selain pemanas dan pengeringan, ternyata yang paling utama yakni adanya

Cibeyawak 6.48 Cipondok S.Cipasanggrahan 5.46 Cipasaparan Cipondok 1.39 Cisero S.

Akan tetapi, kita juga tidak bisa menjamin, bahwa dalam situasi ini, kelas menengah pun kemudian terkena dampak karena kondisi ekonomi yang tidak menentu.. Itu artinya, infodemi

Melakukan aktivitas pekerjaan dalam postur kerja berdiri yang statis dan diikuti dengan postur tangan yang tidak ergonomis pada bahu dilakukan dalam jangka waktu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan ditinjau dari parameter lingkungan, mengetahui fitoplankton yang melimpah dan mengtahui hubungan antara

Teman-Teman Teknik Informatika Universitas Muria Kudus, yang sudah memberikan masukan dan nasehat untuk menyelesaikan skripsi ini dan proses akhir laporan skripsi, serta

Faktor 1 (Produk) merupakan faktor pertama yang dipertimbangkan konsumen dalam keputusan pembelian di Banaran 9 Coffee and Tea Colomadu dengan persentase varians

tabaci pada kondisi viruliferous (masa akuisisi 48 jam) dengan jumlah sekitar 20–30 ekor dalam satu kotak yang disungkup kain kasa dapat digunakan sebagai metode penularan massal