• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 4 Pariwisata Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 4 Pariwisata Sulawesi Utara"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 4

Pariwisata Sulawesi Utara

L

atar Belakang Kebijakan Pariwisata Sulawesi Utara

Industri pariwisata suatu wilayah sering dikaitkan dengan sektor swasta sebagai investor dan pemerintah sebagai regulator (Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy, 1985). Dalam kaitan ini, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten membuat beberapa kebijakan di bidang pariwisata dengan maksud meningkatkan aktivitas pariwisata di daerah tersebut. Provinsi Sulawesi Utara sejak awal mencanangkan daerah ini sebagai obyek wisata yang berwawasan lingkungan. Pemerintah daerah datang dengan slogan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan atau

Sustainable Tourism Development. Pemerintah secara sengaja menawarkan konsep ini dengan maksud menjaga kontinuitas dan menumbuhkan kemandirian sosial, ekonomi, lingkungan ekologis, budaya dan teknologi.

Lebih lanjut, konsep pembangunan pariwisata menyentuh sektor pendidikan yang mengarah pada pembelajaran komunitas tentang pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan harapan komunitas lokal akan berpartisipasi dalam kepariwisataan saat ini hingga masa yang akan datang. Selama ini kepariwisataan di Sulawesi Utara lebih mengandalkan rasa pesona masyarakat terhadap keindahan alam dan laut. Disamping itu pemerintah membuat kebijakan yang bersifat crash program di bidang MICE baik tingkat nasional maupun internasional, sehingga publisitas Sulawesi Utara mencapai tingkat nasional maupun internasional. Salah satu kelemahan kebijakan pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara adalah kekurangan payung hukum karena belum ada Perda Pariwisata padahal dasar keabsahan dari kebijakan adalah hukum.

(2)

Dalam kaitan dengan upaya pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara, aspek hukum sebagai dasar keabsahan kebijakan sangat diperlukan. Sejauh ini, dasar kebijakan pengembangan pariwisata mengacu pada Undang Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, bersama Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, serta Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 53 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara yakni sebagai institusi yang menangani urusan kebudayaan dan pariwisata. Selain itupula karena umumnya daerah wisata kita terletak di sekitar Kawasan Hutan, maka ada aturan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang juga harus dipatuhi. Salah satu hambatan yang sangat mendasar adalah belum adanya peraturan daerah Pariwisata karena belum disahkannya peraturan daerah RTRW. Tanpa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah tidak memiliki dasar untuk melakukan penataan ruang wilayah (lihat gambar 4.1). Selain itu, ada hambatan koordinasi yang tumpang tindih antar sektor. Lokasi Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional sehingga otomatis menjadi berada di bawah pengawasan Departemen Kehutanan. Ketika Daerah ingin mengambil inisiatif dalam upaya pengembangan pariwisata melalui pembangunan infrastruktur akan mengalami hambatan karena masih adanya kewenangan pusat yang belum diserahkan ke daerah.

Pentingnya Tata Ruang bagi Pengembangan Pariwisata

Industri pariwisata suatu wilayah sering dikaitkan dengan sektor swasta sebagai investor dan pemerintah sebagai regulator (Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy, 1985). Kebijakan Pemerintah sangat berperan mendorong perkembangan pariwisata. Dalam kaitan ini, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten 58 

(3)

membuat berbagai kebijakan yang menjadi arah pengembangan sektor pariwisata dan sekaligus meningkatkan aktivitas pariwisata di daerah tersebut. Masih sering terjadi sektor pariwisata hanyalah pilihan yang sekunder di beberapa daerah dan mereka yang terlibat di sana dianggap sebagai orang buangan. Sejak awal para pengambil kebijakan sadar pengembangan pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara harus melibatkan swasta dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini hanya menempatkan diri sebagai regulator. Namun masalah yang masih menggantung adalah peraturan daerah tentang Tata Ruang Provinsi Sulawesi Utara yang masih dalam pembahasan tahun ini di DPR. Sebenarnya peraturan tentang tata ruang ini sangat penting bagi perencanaan pembangunan pariwisata. Tanpa peraturan tata ruang yang jelas, pembangunan pariwisata menjadi tidak terarah dan dapat menghancurkan pariwisata itu sendiri. Masalah lain berkaitan dengan alih fungsi lahan, namun telah diselesaikan setelah presentasi Gubernur di Kementrian Kehutanan tahun ini.

Tata Ruang adalah grand design tata guna tanah termasuk peruntukan bagi pengembangan pariwisata. Tata Ruang tersebut biasanya disusun oleh konsultan pariwisata yang diyakini mampu mengangkat brand image yang khas dari suatu daerah/kawasan pariwisata, Dalam rangka membangun image tersebut, grand design pariwisata biasanya dirancang untuk program kerja 5 tahun ke depan. Dengan demikian, Tata Ruang adalah payung hukum perencanaan fisik dan dapat sampai pada site plan (rencana tapak). Untuk itu dibutuhkan RPJMD sebagai payung hukum penyediaan dana pembangunan untuk satu tahun anggaran atau multi years apabila karena berbagai alasan program tersebut tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran. Dengan kata lain, penting bagi Provinsi Sulawesi Utara membuat grand design, mapping, dan Tata Ruang untuk menata pengembangan pariwisata lokal.

(4)

pariwisata daerah termasuk icon atau brand image sebagai ciri khas daerah yang tidak ditemukan di tempat lain. Dengan adanya

mapping dana dapat dialokasikan secara tepat.

Pada awalnya, pariwisata Provinsi Sulawesi Utara hanya mengandalkan alam pegunungan, danau, dan kebudayaan lokal sebagai obyek pariwisata utama namun kurang peminatnya. Wisata di Sulawesi Utara baru mulai menggeliat waktu keindahan alam bawah laut dan keunikan flora, fauna daerah ini ditawarkan kepada parawisatawan. Pada saat wisatawan mulai berminat ke Sulawesi Utara, sebagian besar masyarakat lokal belum terlibat dalam kegiatan pariwisata. Mereka baru terlibat setelah mulai muncul banyak wisatawan backpackers. Kebijakan pariwisata sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan kalangan masyarakat di sekitar obyek wisata. Misalnya, dalam kebijakan konservasi pemerintah justeru membuat aturan yang ketat dan pemerintah tidak melihat pihak lain sebagai mitra tetapi sebagai pesaing. Konflik kemudian berkembang antara masyarakat dengan pemerintah atau antara masyarakat dengan investor, maupun antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Implikasinya pemerintah hampir tidak pernah merancang alokasi anggaran untuk memperbaiki infrastruktur di kawasan wisata atau pun alokasi anggaran untuk pengembangan kapasitas masyarakat di sekitar lokasi obyek wisata. Pariwisata berkembang sendiri di tengah miskinnya kebijakan Pemerintah. Beruntunglah ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian terhadap pekestarian lingkungan, yang secara tidak langsung juga pada pengembangan pariwisata. Upaya pengembangan pariwisata bersifat multi-sektoral dan mempunyai dampak pengganda (multiplier effects) yang luas. Oleh karena itu pengembangan pariwisata sebagai sebuah industri menjadi penting (Meyer, 2006). Sebagai usaha industri, ada tuntutan agar pelaksanaan kegiatan pariwisata harus melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan dan pengembangan yang baik dan berkelanjutan.

(5)

P

erencanaan Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara

Perencanaan pembangunan pariwisata (Lihat Gambar 4.1) harus merujuk pada Undang Undang No 10 Tahun 2009. Menurut undang-undang tersebut, pengembangan pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapuskan kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam lingkungan dan sumberdaya. Di samping itupula, pengembangan pariwisata juga diharapkan akan melestarikan dan juga memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta pada tanah air, memperkokoh jati diri, dan kesatuan bangsa, serta memperkuat persahabatan antar daerah dan bangsa. Dalam hal ini, kebijakan pariwisata daerah tidak boleh bertentangan dengan undang undang tersebut.

Hingga saat ini Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara secara intensif terus melakukan koordinasi dengan Kabupaten/Kota membuat mapping icon pariwisata/brand image

di 15 Kabupaten/Kota sebagai berikut: 1. Kota Manado (Diving di Bunaken); 2. Kota Tomohon (Paket Agrowisata di desa Rurukan); 3. Kota Bitung (Pengembangan Resort dan diving di Pulau Lembeh, Tangkoko, Kungkungan); 4. Kota Kotamobagu (places of interest). seperti Makam Raja-Raja); 5. Kabupaten Minahasa (Keindahan alam Danau Tondano); 6. Kabupaten Minahasa Utara (places of interest warisan budata Waruga Sawangan); 7. Kabupaten Minahasa Selatan (Keindahan Pantai Moinit dan kuliner Dodol); 8. Kabupaten Minahasa Tenggara (Keindahan Pantai Lakban dan diving pada pulau pulau disekitarnya dan produksi Buah Salak); 9. Kabupaten Kepulauan Sangihe (Pesona Gunung Api di Bawah Laut Mahangetang); 10. Kabupaten Kepulauan Talaud (Atraksi tahunan Manee di Pulau Intata); 11. Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Keunikan Pulau Mahoro dan pulau Makalehi); 12. Kabupaten Bolaang Mongondow ( Keanekaragaman hayati fauna dan flora di Hutan

(6)

Bagan 4.1 Skema Pemikiran

Kebijakan Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara

Kebijakan Konservasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) RPJMD SULUT

Rencana Tata Ruang Provinsi

Rencana Tata Ruang RPJMD

Kabupaten/Kota

Masterplan Pariwisata Sulut (Grand Design)

Rencana Pengembangan Kerjasama Provinsi Kabupaten/Kota ‐ Penyamaan Persepsi Kebijakan ‐ Perimbangan Keuangan Dana Pembangunan Kendala Pembangunan : ‐ Masalah Kemiskinan ‐ Kurangnya Kemampuan Masyarakat (Ketrampilan, bahasa) ‐ Permodalan ‐ Konflik     Pembangunan Pariwisata ‐ Penanggulangan Kemiskinan ‐ Konservasi /Pelestarian Lingkungan ‐ Pengembangan Kapasitas Masyarakat ‐ Pengembangan Infrastruktur : Listrik, Air, Jalan, dan talud pengaman pantai. ‐ Pengembangan fasilitas masyarakat : Sekolah, Puskesmas,Telekomunikasi.  Dana Swasta  Program Pembangunan Pola Public, Private Partnership APBN, APBD Prov, APBD Kab./Kota, PNPM Mandiri Perkotaan dan Pedesaan. Kebijakan Perijinan : - Peruntukan Ruang, - IMB, - AMDAL

.

Kebijakan Pembangunan Infrastruktur 62 

(7)

Lindung Nani Wartabone); 13. Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Pesona Wisata Danau Mooat); 14. Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Pesona wisata Pulau Bongkil dan Makam Raja Bolangitang di Kaidipang); 15. Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Pesona Pantai Dami dan Taman Burung Maleo). Secara umum, kepariwisataan Sulawesi Utara dapat mengusung konsep/ image Wisata Air karena di semua kabupaten/kota memiliki air sebagai daya tarik wisatanya.

Hasil mapping tersebut kemudian tertuang dalam dokumen RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) karena DPR belum membahasnya menjadi Perda. Keterlambatan tersebut menghambat pemerintah dalam membuat rencana pengembangan pariwisata. Memang pemerintah tidak dapat melangkah jika Perda belum disahkan. Pemerintah tidak mungkin membuat kebijakan program pengembangan kepariwisataan tanpa acuan formal.

Walaupun demikian

pemerintah daerah telah menggunakan

Grand Design

pariwisata yang belum menjadi Perda dalam perencanaan

dan alokasi program dengan berpedoman pada kekhususan

wilayah destinasi pariwisata. RIPPDA ini boleh dianggap

Grand Design

pariwisata yang mengakomodir kekhususan

pariwisata di daerah, alokasi dana dan manajemen yang

saling terintegrasi. Manajemen yang dimaksud meliputi

transportasi udara, darat, dan laut, pengendalian sumber

daya alam dan lingkungan, pengembangan

coastal area

dan

marine habitat

dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip

pariwisata yang berbasis lingkungan (

ecotourism

), sehingga

selayaknya masuk dalam RPJMD dan RPJPD.

Perencanaan juga menjadi lebih sulit dilakukan karena lemahnya basis data tentang pariwisata Sulut. Masing-masing kantor pemerintah penyedia data kepariwisataan seperti Biro Statistik, Imigrasi, Perum Angkasa Pura atau Pelindo melakukan

(8)

proses pendataan dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, data mengenai jumlah turis yang datang ke Sulawesi Utara dari luar negeri yang tercatat di kantor Imigrasi berbeda dengan Perum Angkasa Pura karena turis asing yang dicatat kantor Imigrasi hanyalah turis dari Singapura yang datang langsung ke bandara Sam Ratulangi sedangkan turis asing yang datang ke Manado via Makassar dan Jakarta atau Denpasar tidak tercatat karena dianggap penumpang domestik yang tidak melewati pintu imigrasi.

Kerjasama antar Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/

Kota

Sulawesi Utara telah diakui sebagai salah satu dari lima destinasi unggulan di Indonesia dan salah satu dari 10 destinasi penyelenggara MICE (meeting, incentive, convention, exhibition). Ini merupakan hasil yang spektakuler dalam jangka waktu 6 tahun terakhir dibandingkan dengan Bali yang harus menunggu selama seratus tahun. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Kuntag dalam proses FGD2. Langkah ini sangat menolong pengembangan

pariwisata di Sulawesi Utara. Memang sempat terjadi penurunan kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulawesi Utara pasca WOC dan Sail Bunaken tahun 2009. Hal ini karena beberapa faktor antara lain obyek wisata yang belum ditata dengan rapih, perhatian Pemerintah Daerah yang kurang, minat swasta lokal masih kecil terhadap pengembangan pariwisata, dan kurangnya

event yang digelar di Sulawesi Utara.

Keadaan ini berubah setelah tahun 2010. Objek wisata di Sulawesi Utara terus berkembang dari 545 objek pada tahun 2010 menjadi 634 objek pada tahun 2011. Gambaran ini menunjukkan pengembangan destinasi pariwisata di Sulawesi Utara mengalami peningkatan sebagai akibat daerah ini sebagai salah satu dari destinasi MICE dan destinasi pariwisata unggulan di Indonesia.       

2

Proses FGD dilakukan pada 18 Maret 2011 di Kantor Bappeda Provinsi Sulawesi Utara

(9)

Demikian pula dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara juga meningkat yaitu, pada tahun 2008 berjumlah 32.760 orang dan di tahun 2009 menjadi 495.000. Hal ini karena pemerintah daerah menyelenggarakan event internasional seperti World Ocean Conference dan CTI Summit dan Sail Bunaken. Namun pada tahun 2010 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara menurun menjadi 20.045 sehingga kebijakan untuk selalu mempertahankan hadirnya event-event penting yang berskala internasional dipandang perlu disamping upaya mengembangkan pengelolaan dari objek-objek wisata yang menjadi ikon di 15 Kabupaten/Kota.

Selama ini pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara harus diakui lebih bertumpu pada kebijakan provinsi, sementara pada level Kabupaten/Kota masih kurang mendapat perhatian. Hanya Kota Tomohon, boleh disebut sebagai salah satu kota di Sulawesi Utara yang giat melakukan TFF (Tomohon Flower Festival), terlepas dengan segala kekurangannya, kota ini berhasil menarik wisatawan. Kegiatan TFF masih terkesan sebagai kegiatan proyek, dan ini bisa dilihat dari sebagian besar bunga yang dihadirkan pada event tersebut bukan hasil kegiatan budidaya masyarakat lokal. Walaupun demikian maka upaya pemerintah mempromosikan dan memasarkan pariwisata dipandang telah banyak memberikan peluang bagi pengembangan pariwisata di Tomohon itu sendiri.

Sama halnya, Kota Manado juga menggagas konsep Kota Pariwisata Dunia 2010, namun sampai sekarang belum terwujud. Pada tahun 2011, Walikota Manado memunculkan slogan Kota Manado sebagai model Ekowisata. Konsep ini masih kurang jelas karena tidak mempunyai landasan konseptual yang kuat dan mendasar. Bagaimana mungkin kota Manado yang sudah mengarah kepada kota jasa diubah menjadi kota model ekowisata. Manado lebih masuk akal berkembang sebagai waterfront city dari pada sebagai model kota ekowisata.

(10)

Kerjasama pengembangan pariwisata antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih perlu ditingkatkan. Provinsi Sulawesi Utara berupaya menjadi pintu gerbang Asia Pasifik, dan untuk itu perlu ditunjang oleh kebijakan pariwisata pada aras kabupaten dan kota. Misalnya, kebijakan Kota Bitung akan lebih banyak mengarah juga kepada sektor pendukung seperti marine, fisheries, dan coastal oriented. Sedangkan Kota dan kabupaten lain disekitarnya seperti kota Tondano dapat mengembangkan sayur-sayuran untuk dijual di daerah Sulawesi Utara, dan sebagai pintu Gerbang Asia Pasifik langsung diekspor ke luar negeri. Demikian pula dengan Tomohon sebagai kota bunga dapat mengembangkan pertanian khusus tanaman bunga agar menjadi objek wisata sebagaimana terjadi di wilayah “winery” kota Adelaide Australia, disamping memanfaatkan kebijakan pintu gerbang Asia Pasifik tersebut untuk memperdagangkan bunga-bunga lokal yang sudah dikemas menjadi produk wisata yang menarik sampai tingkat internasional.

Demikian juga kerjasama antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat di bidang pariwisata masih perlu ditingkatkan. Hal ini karena alokasi khusus dana pariwisata untuk provinsi masih sangat kecil. Sebagai contoh, kebijakan dari Departemen Kehutanan yang menjadikan wilayah Arakan, Bunaken dan sekitarnya sebagai Taman Nasional memberikan kontribusi yang cukup besar ke pusat, namun masyarakat lokal masih belum merasakan manfaat maksimal pengelolaan kawasan tersebut. Meskipun sudah ada undang-undang otonomi daerah, namun pengelolaan wilayah terkadang masih saja bersifat sentralistik. Koordinasi juga penting dalam rangka menjalankan fungsi kontrol dalam hal kesehatan dan pelanggaran hukum. Oleh karena itu dalam menjalankan kebijakan pariwisata, berbagai lembaga di pemerintahan perlu dilibatkan misalnya, Dinas Kesehatan, Kepolisian, dsb. serta masyarakat. Sebagai contoh, peningkatan angka pengidap HIV-AIDS di Sulawesi Utara perlu diwaspadai. 66 

(11)

Lebih jauh, praktek-praktek pelanggaran hukum yang sering dikaitkan dengan pariwisata seperti masalah penggunaan narkoba dan trafficking serta pelacuran juga penting diperhatikan.

Masalah Anggaran Pariwisata dan Sumberdaya Manusia

Dana APBD Sulawesi Utara tahun anggaran 2011 untuk pariwisata sangat terbatas, hanya sekitar 2% dari total dana APBD tahun ini yang dialokasikan untuk pengembangan sektor kebudayaan dan pariwisata. Beberapa key informants dalam diskusi kelompok setuju seluruh Kabupaten/Kota perlu membuat anggaran dana pengembangan pariwisata yang nantinya akan dipakai bagi upaya pembangunan pariwisata di masing-masing kabupaten/kota sesuai prioritas dan kebutuhan. Oleh karena itu perlu komitmen anggaran masing-masing SKPD untuk satu pengembangan minimal satu destinasi setiap daerah setiap tahunnya (lihat gambar 4.1). Belum adanya peraturan daerah tentang Pariwisata dan Tata Ruangnya sehingga masih belum teralokasikan anggaran pengembangan pariwisata.

Investasi bagi pengembangan infrastruktur pendukung akses wisatawan ke daerah-daerah tujuan wisata oleh pemerintah masih terbatas. Misalnya keberadaan fasilitas dermaga yang dimiliki pulau Bunaken juga sudah tua berusia kurang lebih 15 tahun dan kurang terpelihara. Terminal pemberangkatan dan kedatangan juga masih harus menempel di lahan reklamasi Kuala Jengki, muara sungai Tondano dan di kawasan reklamasi Megamas. Hal ini tidak seindah promosi pariwisata Bunaken sebagai daerah tujuan wisata bahari kelas dunia.

Walaupun demikian, ternyata masih ada dana-dana program pengentasan kemiskinan yang berasal dari pemerintah pusat maupun dari perusahaan. Dana dari pemerintah pusat dalam bentuk dana PNPM pedesaan dan perkotaan cukup membantu memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Program-program pemerintah seperti ini meskipun juga tidak secara langsung

(12)

dimaksudkan untuk mendukung pengembangan pariwisata akan membantu pembenahan lingkungan. Dengan lingkungan yang baik di daerah-daerah yang potensial dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata akan membantu meningkatkan kepuasan para wisatawan yang datang ke wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, antara lain adalah dukungan dana PNPM untuk pembangunan fasilitas air bersih di daerah Kimabajo. Disamping dana pemerintah, saat ini pemerintah juga mengeluarkan aturan agar perusahaan dapat menyisihkan 10% keuntungannya sebagai dana CSR (Corporate Social Responsibility).

Secara umum ketersediaan sumberdaya manusia yang siap menerima pariwisata dan pengetahuan masyarakat luas tentang pariwisata sudah cukup tinggi. Rata-rata tingkat pendidikan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pariwisata hingga sekolah menengah atas (SMA). Namun demikian kesadaran masyarakat tentang pentingnya kepariwisataan ternyata masih rendah. Sebagai contoh masyarakat seringkali tidak menyadari pentingnya lingkungan sebagai daya dukung pariwisata. Hal ini nampak dari masih banyaknya orang membuang sampah di sembarang tempat meskipun sudah ada Perda Kota Manado tahun 2009 tentang kebersihan kota Manado. Kesalahan juga terletak pada lemahnya pengawasan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat terhadap pelaksanaan Perda itu sendiri dan sanksi yang kurang tegas bagi mereka yang melanggar.

Lebih jauh tanpa dukungan dari pemerintah dalam bentuk bimbingan-bimbingan usaha, maka sulit bagi masyarakat untuk berinisiatif membuka usaha sendiri. Mereka seringkali merasa kekurangan dana dan tidak cukup percaya diri membuka usaha karena takut rugi. Meskipun dari hasil penelitian ini ada juga cerita sukses seorang pengusaha lokal yang membangun usaha penginapannya di Bunaken. Dari FGD dengan masyarakat lokal di Bunaken terungkap cerita bahwa hanya Bapak Laurens Caroles memutuskan untuk memulai usahanya sendiri. Meskipun banyak 68 

(13)

dari para tetangganya menjual tanah mereka kepada para investor

resort, Bapak Laurens tidak mengikuti jejak mereka. Bapak Laurens membuka kamar di pinggir sebuah resort dan bekerja sama dengan resort tersebut dalam mengoperasikan usahanya. Dari hasil sewa kamar-kamar tersebut, sebulan dia bisa menerima penghasilan sebesar Rp. 400 juta. Dari sini nampak bahwa sebenarnya diperlukan upaya-upaya dari pemerintah untuk mendorong terbentuknya atmosfer usaha.

Tantangan lain pada pengembangan pariwisata di Sulut adalah masalah etika moral dalam masyarakat. Masyarakat sering mengkaitkan antara aktivitas seks dengan pariwisata. Dalam sebuah training yang dilakukan Komisi AIDS ada kelompok pebisnis mucikari yang menanyakan pada instruktur tentang perlunya upaya penambahan “stock” untuk menyambut event

internasional WOC. Hal ini menjadi polemik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, maka masalah kesehatan dan pariwisata juga perlu diatur dan diwaspadai dalam rangka mengembangkan pariwisata daerah Sulut.

Kendala dalam Sinkronisasi Kebijakan dan Implementasi

Mimpi menjadikan pariwisata Sulawesi Utara seperti Bali atau Yogyakarta, bukan saja menjadi pemikiran dan visi kalangan akademisi dan birokrat tapi juga menjadi impian hampir seluruh masyarakat. Namun dalam pengembangannya pemerintah berperan sebagai lokomotif pembangunan yang menarik yang nantinya dapat melibatkan swasta. Hampir tidak mungkin pengembangan pariwisata dimonopoli pemerintah karena keterbatasan sumberdaya yang handal dan ketrampilan. Pihak swasta biasanya lebih cekatan dan fleksibel ketika beraktivitas dalam upaya pengembangan sektor pariwisata. Namun masalah pengembangan pariwisata di daerah jauh lebih rumit. Faktor budaya masyarakat yang hanya menunggu “suntikan dana” dari

(14)

pemerintah menjadi masalah tersendiri. Perilaku seperti ini perlu diubah menjadi masyarakat yang proaktif, cerdas dan kreatif dalam mengembangkan daerahnya dan memajukan pariwisatanya. Tanggung jawab pemerintah daerah adalah merancang program dan kegiatan pembangunan dengan dukungan penuh masyarakat sebagai stakeholder. Faktor struktur masih tetap menjadi ranah dan kewenangan dari pemerintah daerah yang selalu memerlukan pembenahan.

Sebagian besar birokrat mempunyai kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pariwisata di Sulawesi Utara. Hal ini karena rata-rata pendidikan para birokrat adalah strata dua. Secara umum mereka sadar tentang arah kebijakan pembangunan, mempunyai antusiasme yang tinggi membangun daerah, dan rasa ingin bersaing dengan wilayah lain di Indonesia. Pemahaman tentang pentingnya pariwisata semakin kuat di kalangan birokrat karena gubernur sendiri yang mempromosikan Sulawesi Utara sebagai destinasi pariwisata di masa depan. Namun demikian ada gejala kebijakan yang tidak berjalan atau “non policy enforcement”. Sering terjadi kebijakan dalam aras provinsi tidak sinkron dengan kebijakan pada aras kabupaten/kota. Sebagai dampak dari penerapan otonomi daerah, banyak pemerintah kabupaten/kota merasa tidak membutuhkan pemerintah provinsi. Hal ini mungkin karena dana pengembangan pariwisata berada di daerah dan bukan provinsi. Oleh karena itu provinsi bisa merancang tapi tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan dana. Pemerintah provinsi hanya bisa menawarkan program pengembangan tapi tidak mempunyai kekuatan memaksa pemerintah kabupaten/kota menjalankannya.

Seandainya sinkronisasi dan sinergitas bisa berjalan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka program pengembangan pariwisata akan berjalan mulus dan lebih efisien karena pemerintah pada aras provinsi menjadi koordinator pengembangan pariwisata beberapa daerah kabupaten dan kota.

(15)

Semua daerah perlu bekerja sama mengesampingkan kepentingan mereka masing-masing dan fokus pada upaya mewujudkan visi pengembangan kepariwisataan Sulawesi Utara secara menyeluruh agar mampu berkiprah di tingkat nasional dan internasional.

Kebijakan Infrastruktur

Pengembangan kepariwisataan di Sulawesi Utara tidak mungkin berhasil tanpa dukungan pembangunan infrastruktur yaitu akses jalan ke obyek wisata. Masih banyaknya obyek wisata yang sulit dijangkau karena keterbatasan jalan. Hal ini menjadi keluhan para wisatawan, karena mereka harus menempuh waktu yang lebih lama dalam kondisi jalan yang rusak.Salah satu masalah lain adalah beberapa lokasi obyek wisata berada di Kabupaten yang fasilitas jalannya kurang baik. Contohnya di Kabupaten Minahasa yang letaknya bersebelahan dengan Kota Manado yang mempunyai lebih dari empat air terjun, bahkan dua diantaranya berada pada sungai Maruasey yang sering digunakan untuk lomba penelusuran sungai dengan perahu karet, namun akses ke lokasi tidak mudah. Oleh karena itu, tanpa tuntunan akan sulit bagi wisatawan untuk sampai ke lokasi. Fasilitas jalan misalnya dan pembangunan fisik obyek wisata menjadi masalah karena alokasi dana APBN untuk pembangunan infrastruktur baik oleh provinsi maupun kabupaten/kota masih sedikit.

Selain masalah aksesibilitas, maka sarana angkutan dan transportasi yang ada belum memenuhi standar seperti yang diharapkan para wisatawan. Fasilitas pelabuhan laut masih sederhana sehingga belum bisa mengakomodir kapal-kapal pesiar yang besar padahal ada beberapa obyek wisata berada di beberapa pulau kecil disekitar Bunaken, misalnya di Selat Lembeh, dan Siau (pulau Makalehi). Selain itu, ketersediaan air bersih di lokasi obyek wisata juga menjadi masalah. Di beberapa daerah seperti di pulau Bunaken, Siladen dan Bangka air bersih masih menjadi barang mewah.

(16)

Memang ada beberapa daerah yang mengalami masalah air pada musim kemarau namun ada juga daerah mempunyai air melimpah tapi belum dibangun prasarana penampungan air. Misalnya di lokasi obyek wisata Tangkoko dan Bukit Kasih. Masalah lain adalah pemeliharaan obyek wisata di daerah. Banyak obyek wisata yang akhirnya tidak terurus karena tidak ada dana pemeliharaan. Misalnya fasilitas di Taman Laut Bunaken, Wale Papateupan di Remboken pinggir danau Tondano, ataupun air terjun Kali di Pineleng. Selain itu ada juga masyarakat sekitar obyek wisata yang tanpa sengaja ikut mencemari lingkungan sekitar obyek wisata. Masih ada kebiasaan masyarakat membuang sampah rumah tangga sembarangan yang mengotori obyek wisata. Hal ini karena kesadaran dan rasa memiliki masyarakat di sekitar obyek wisata masih rendah. Khusus tentang masalah sampah sudah ada ide melibatkan swasta dalam pengelolaan sampah di beberapa kota namun hingga sekarang ide ini belum terwujud. Barangkali pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan LSM melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya kebersihan bagi pengembangan pariwisata di daerah mereka masing-masing.

Dalam upaya memperbaiki berbagai masalah di atas semua elemen pembuat kebijakan, baik pada aras provinsi maupun pada aras kabupaten/kota perlu mengikis arah kecenderungan orientasi pengembangan yang terjadi secara parsial (sepotong-sepotong). Konflik kepentingan di antara masing-masing wilayah juga perlu dihindari untuk mewujudkan pembangunan infrastuktur yang baik, memenuhi standar sekaligus memenuhi harapan konsumen dan wisatawan. Konflik kepentingan ini sering terjadi dalam penataan ruang di perbatasan kabupaten/kota misalnya antara Manado dan Minahasa. Kabupaten Minahasa ingin melanjutkan reklamasi pantai seperti Manado, tetapi tidak menyadari bahwa wilayahnya perlu tetap dilestarikan,atau konflik kepentingan antara provinsi dengan kota Manado dalam pengelolaan Bunaken

(17)

atau dalam pengelolaan pembuangan air kotor kota. Demikian juga ketidakserasian dalam penganggaran, sehingga berakibat mulainya suatu program tidak komplementer dengan program lainnya baik dari sisi tata ruang maupun dari segi volume dan waktu pelaksanaan.

Kebijakan Perijinan

Salah satu hal yang penting di dalam pengembangan kepariwisataan adalah penciptaan iklim investasi yang ramah kepada para pengusaha. Sering obyek wisata tidak berkembang karena hambatan kelembagaan yang diciptakan pemerintah daerah baik sengaja maupun tanpa sengaja. Kebijakan perijinan adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan secara serius. Memang untuk mendirikan sebuah usaha di sektor pariwisata pemerintah menetapkan beberapa ijin yang harus dipenuhi pengusaha. Misalnya, untuk mengurus ijin mendirikan sebuah hotel, pengusaha paling tidak harus mengurus lima ijin. Jenis ijin yang harus didapat adalah ijin Lokasi dari kantor dinas Tata Ruang, Ijin Mendirikan bangunan dari Dinas Tata Kota, Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari kantor Badan Pengelola Lingkungan, Ijin Usaha dari dinas Perdagangan dan Industri, serta Ijin Berusaha dari Dinas Perdagangan dan Industri, dan Ijin Tempat Usaha dari Dinas Pariwisata. Jika melihat mata rantai ijin yang cukup panjang maka sudah dipastikan akan memakan waktu dan biaya. Melihat hal itu sudah ada beberapa pemerintah daerah telah melakukan perbaikan pelayanan dengan ijin satu atap. Hal ini sudah di lakukan di Provinsi Sulut.

Namun sejalan dengan tumbuh kembangnya investasi di industry pariwisata, muncul masalah lain terkait kelestarian lingkungan hidup. Pemerintah Kota Manado mengusung konsep Kota Model Ekowisata diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus peluang bagi pengembangan kepariwisataan yang berbasis kepada lingkungan (ecotourism). Pemerintah kota Manado menggagas

(18)

konsep ekowisata setelah melihat kecenderungan perubahan permintaan produk wisata dari pariwisata massal menuju pariwisata minat khusus (mass tourism to special interest tourism). Perubahan ini merupakan kesempatan baik bagi pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan atau ekowisata/ecotourism

dimana pembangunan kepariwisataan tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian alam. Perijinan yang diberikan pemerintah seharusnya tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian alam.

Dengan demikian kita semua berharap investasi di sektor pariwisata selain dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat lokal, harus tetap memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kelestariannya. Polemik dalam pemberian ijin sehubungan dengan pembangunan sarana dan usaha jasa pariwisata masih menjadi hal yang harus disikapi dengan serius oleh semua pihak. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bukan merupakan ijin bagi suatu kegiatan atau industri melainkan suatu kajian ilmiah mengenai dampak suatu kegiatan industri bagi lingkungan hidup. AMDAL sendiri menjadi rekomendasi penting bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam pemberian ijin suatu usaha pariwisata. Disamping AMDAL, pemberian ijin bangunan dan ijin tempat usaha juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Secara formal AMDAL memang menjadi kewajiban membuka usaha namun dalam praktek sering analisis AMDAL dibuat asal-asalan dan baru menjadi masalah di kemudian hari.Misalnya ijin dari pemda Kabupaten Minahasa terhadap reklamasi di pantai Malalayang yang berlokasi pada tempat penyelenggaraan penyelaman massal yang telah memecahkan rekor MURI pada waktu pelaksanaan Sail Bunaken, sehingga kebijakan ini juga bersifat kontra produktif dengan promosi upaya pelestarian lingkungan yang telah dilakukan.

(19)

Kebijakan Pelibatan Masyarakat dan Swasta dalam

Ekowisata

Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunan yang diarahkan pada kontinuitas dan upaya menumbuhkan kemandirian. Salah satu tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) adalah prinsip berkelanjutan antara pembangunan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan ekologis. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan upaya pelestarian lingkungan, isu pembangunan yang berorientasi pada masyarakat setempat (community based development) mulai di ekspose dan digalakkan menjadi salah satu isu kritis pembangunan berkelanjutan dimana pelestarian lingkungan menjadi penting. Dalam kaitan dengan pengembangan pariwisata lingkungan menjadi salah satu aspek yang mendapat perhatian. Lingkungan yang terpelihara merangsang minat wisatawan berkunjung ke Sulawesi Utara. Pemerintah daerah telah menerapkan program pembangunan yang berkelanjutan. Misalnya Program Pembangunan Wilayah Pesisir yang dikelola Dinas Perikanan Provinsi, serta pembangunan talud penahan ombak di beberapa lokasi pulau termasuk pantai Malalayang yang sekarang ini dibangun oleh Balai Wilayah Sungai Sulawesi Utara agar sebelum digunakan masyarakat untuk berekreasi di hari libur memerlukan penataan dari Pemerintah Kota Manado. Penataan perlu agar kegiatan rekreasi tetap berjalan, tetapi pemandangan ke arah laut tidak tertutup kios-kios yang dapat dimanfaatkan menjadi tempat usaha yang tertata, sehingga tidak memacetkan lalu lintas, disamping fungsinya sebagai talud pemecah ombak.

Walaupun demikian aktivitas pariwisata berpotensi merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dari akibat aktivitas industri pariwisata telah mengundang perhatian dan memicu reaksi keras berbagai pihak baik dalam dan luar negeri khususnya dari para pencinta lingkungan. Menjawab seruan tersebut perlu ada kerjasama pemerintah, stakeholder dan

(20)

masyarakat yang menjadi sebagai basis pelaksanaan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat setempat menjaga dan menciptakan iklim pariwisata yang ramah lingkungan dilakukan pemerintah melalui pembinaan, sosialisasi, pelatihan/training dan sebagainya. Contohnya, pembinaan pemanfaatan pantai yang mempunyai tumbuhan mangrove oleh Dinas Kehutanan dan Balai Taman Nasional, kemudian pelatihan pemanfaatan sirip ikan sebagai barang souvenir oleh Dinas Perikanan bekerjasama dengan LSM setempat, ataupun pembangunan infrastruktur pedesaan yang letaknya di kawasan pesisir melalui PNPM (Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan) di pedesaan dan perkotaan yang juga selalu telah melibatkan konsultan dan masyarakat setempat. Pengembangan pariwisata berbasis lingkungan membutuhkan dana yang cukup besar karena didalamnya juga termasuk biaya rehabilitasi terhadap lingkungan yang sudah terlanjur rusak atau tercemar.

Dalam kasus Sulawesi Utara, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 10 milyar untuk program pelestarian lingkungan diberbagai lokasi seperti dalam mengukur tingkat pencemaran air Sungai Tondano yang melewati beberapa kota sebelum bermuara di laut atau pembangunan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) modern di beberapa kota, serta pengelolaan air buangan di kota Manado. Pelibatan dunia swasta dalam kegiatan usaha pariwisata ditunjang oleh kemudahan bagi mereka menguasai tanah untuk usaha. Kepemilikan tanah untuk kegiatan pariwisata secara ideal memperhatikan konsep zonasi untuk menjaga kelestarian alam. Tidak semua lahan dapat dijadikan area industri/bisnis karena berpotensi untuk merusak keseimbangan ekosistem setempat. Dalam hal ini, pemberian ijin untuk memiliki tanah bagi kegiatan industri pariwisata harus melalui kajian yang matang dari berbagai aspek dan dampak yang akan ditimbulkannya tidak hanya bagi lingkungan alam melainkan sosial budaya setempat. Pemerintah telah menetapkan wilayah kawasan reklamasi dan sekitarnya

(21)

sebagai zona usaha. Pada umumnya tanah-tanah tersebut terletak di daerah yang cepat berkembang seperti di pinggir jalan protokol ataupun di kompleks reklamasi, harus diolah pembuangan air kotornya sehingga tidak berpotensi merusak lingkungan.

Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah di atas adalah dalam rangka usaha preservasi dan konservasi terhadap lingkungan. Strategi pokok program pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan dilakukan pemerintah untuk memenuhi tuntutan internasional yaitu penerapan global code of ethic for tourism yang antara lain menekankan pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya alam dan budaya (General Assembly of the WTO, 1999)). Dalam hal ini pengembangan kepariwisataan perlu diarahkan dalam konsep manajemen sumber daya budaya yang tepat, untuk menjaga adanya upaya keseimbangan antara pengembangan pariwisata dan pelestarian lingkungan sehingga dapat berkembang dan memberi manfaat yang bersifat jangka panjang. Faktor yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemberdayaan tenaga kerja lokal dalam investasi swasta di sektor pariwisata.Walaupun dari tahun ke tahun pengangguran semakin meningkat tapi tidak semua bisa terserap dalam sektor pariwisata karena ketrampilan yang dibutuhkan berbeda. Pada umumnya tenaga kerja lokal tamatan sekolah menengah umum dan sedikit yang tamat dari sekolah pariwisata. Hingga saat ini hanya ada empat sekolah tinggi pariwisata di Sulawesi Utara yang tidak mampu memenuhi permintaan hotel dan dunia pariwisata yang tumbuh begitu cepat. Sampai saat ini pemerintah belum melakukan pelatihan, dan kursus, sehingga tidak bisa mewajibkan perusahaan merekrut tenaga kerja lokal. Perusahan masih merekrut tenaga dari luar untuk ketrampilan khusus yang tidak bisa disediakan pasar tenaga kerja lokal.

Dalam menjawab tantangan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia bidang kebudayaan dan pariwisata di

(22)

Sulawesi Utara, penguatan daya saing (competitiveness) adalah kunci keberhasilan yang harus diwujudkan dan menjadi dasar pijakan. Menurut data statistik, angka pengangguran sampai bulan Februari 2011 mencapai 98.232 orang dengan prosentase sebesar 9,19%. Sementara itu, data penduduk menurut lapangan pekerjaan utama di sektor jasa tahun 2011 mencapai angka 182.111. Berdasarkan pada gambaran tersebut, maka diperlukan strategi dan kebijakan pembangunan yang bersifat taktis dan agresif untuk lebih mampu mendorong percepatan dan upaya peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja lokal Sulawesi Utara karena daerah ini memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan di masa mendatang. Adapun sebagai bagian dari upaya peningkatan peran dan kapasitas masyarakat lokal serta peningkatan perekonomian masyarakat dari sektor pariwisata dipandang perlunya kebijakan membeli dan menjual produk-produk lokal di kawasan wisata. Sebagai contoh desa Kinilow di Kota Tomohon yang menjual berbagai macam souvenir/kerajinan tangan masyarakat setempat, desa Pulutan Kabupaten Minahasa yang terkenal sebagai sentra kerajinan keramik, kawasan wisata kuliner tradisional khas Manado di sepanjang jalan Wakeke, produk kacang goyang dan kopi dari kabupaten Bolaang Mongondow, dan sebagainya.

Pengembangan strategi promosi dan pemasaran juga harus terus dilakukan mengingat Sulawesi Utara masih kurang dalam hal packaging atau mengemas suatu objek dan daya tarik wisata ataupun suatu produk dari usaha jasa pariwisata menjadi sesuatu yang menarik dan bernilai jual kepada wisatawan. Disamping

packaging perlu juga pencitraan budaya daerah melalui legenda, cerita rakyat, hikayat kuno dan sebagainya untuk dipresentasikan/ disampaikan secara lisan dan tertulis di destinasi. Selama ini yang ada hanyalah penyampaian langsung dari pemandu wisata/guide, dan masih sangat kurang cerita atau legenda dibuat atau dipasang di objek wisata sebagai bahan informasi yang dapat dibaca oleh 78 

(23)

wisatawan. Contoh strategi marketing lainnya misalnya wisatawan yang mengunjungi Gunung Mahawu di Tomohon diharuskan memakai kain khas daerah setempat di pinggang (payus) sebelum naik ke Gunung Mahawu untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan (legenda setempat). Bentuk kreasi lain juga dapat diciptakan apabila wisatawan mengunjungi Kabupaten Minahasa harus mengunjungi suatu tempat dimana di tempat tersebut wisatawan mengenakan baju adat Minahasa dan mengabadikan moment tersebut dalam sebuah foto. Foto tersebut dicetak dengan bingkai dan diberikan kepada wisatawan dan tentunya ada charge tertentu untuk hal seperti itu. Apabila pengemasan daya tarik wisata dilakukan dengan menarik, dapat dipastikan wisatawan tidak akan keberatan untuk mengeluarkan uang dan bahkan merasa puas dan terkesan dengan pengalaman yang diperolehnya.

Trend pariwisata saat ini dimana wisatawan tidak lagi ingin berkunjung tempat-tempat keramaian atau gedung-gedung bertingkat melainkan ingin menyaksikan kehidupan masyarakat setempat seperti ingin merasakan pengalaman bertani, memetik buah atau panen, memasak kue tradisional, belajar tarian Maengket atau Kabasaran dan sebagainya merupakan peluang bagi pengembangan paket-paket wisata seperti : “A week stay with Minahasan people”, “Tour memetik Kelapa”, “Experiencing Cooking Nasi Jaha with Us” dan sebagainya yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Hal-hal seperti itulah yang dapat menarik minat wisatawan untuk datang dan berkunjung ke Sulawesi Utara. Pengemasan dan pemasaran produk-produk lokal menjadi produk yang menarik dan siap dijual di tingkat daerah, nasional bahkan untuk diekspor ke luar negeri perlu terus dikembangkan dengan inovasi dan kreativitas yang disesuaikan dengan tuntutan pasar tanpa meninggalkan keaslian produk lokal Sulawesi Utara. Kawasan-kawasan wisata perlu menyediakan

(24)

harga terjangkau dan bersaing. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan oleh intansi yang berwenang seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan dapat bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Dalam menjawab tantangan globalisasi, pengembangan strategi promosi dan pemasaran pariwisata juga perlu terus

meng-upgrade diri dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Meminjam istilah seorang praktisi dan pemerhati pariwisata sekaligus IT Konsultan bapak Jono Lesmana dalam International Training on Ecotourism for Pacific Islands Countries 2011 di Jogjakarta, bahwa pemanfaatan ICT dapat memberikan benefit pada Low Cost Marketing /pemasaran dengan biaya rendah, promosi/iklan, kesempatan yang sama diberi bagi

stakeholder/equal opportunity to stakeholders, kompetisi sehat/

good competition, pasar yang lebih luas/wider market to reach, mudah dicapai atau diakses oleh pasar/easy to reach by market, dan peningkatan kesadaran terhadap teknologi/ technology awareness.

Akhirnya, dengan hasil identifikasi berbagai permasalahan dalam kepariwisataan maka diharapkan semua pihak dapat segera mengambil langkah tegas terhadap peluang untuk pengembangan pariwisata bagi Sulawesi Utara terbuka luas. Pergeseran peran pemerintah dan peran penggagas sampai pelaksana program menjadi fasilitator dan mediator proses pembangunan menjadi titik tolak bagi pembagian peran yang seimbang dan proporsional antar semua stakeholder dalam mencapai proses pembangunan kepariwisataan di Sulawesi Utara. Diharapkan dengan adanya optimalisasi peranan antar semua stakeholder terkait, sehingga perlahan namun pasti permasalahan dalam dunia pariwisata dapat teratasi. Banyaknya unsur-unsur pendukung dengan adanya teori-teori pariwisata seperti “pemberdayaan masyarakat lokal” atau

community based tourism, pembangunan pariwisata yang berkelanjutan atau sustainable development, dan pengentasan

(25)

kemiskinan melalui pariwisata, ecotourism, sampai pada teori birokrasi sosial rasional Max Weber yang mempercayai birokrasi dapat bergerak sendiri, karena didukung oleh sifat dan ciri khas masyarakat Sulawesi Utara yang terbuka terhadap perkembangan, memiliki keunggulan keindahan alam terutama alam bawah laut, tingkat pendidikan di atas rata-rata, posisi pada urutan kedua IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Nasional sesudah Jakarta, Non Korup Provinsi (Wajar Tanpa Pengecualian), Provinsi Terbaik dalam “Good Governance”, dipimpin oleh seorang Gubernur yang memiliki kualitas, berpengalaman dengan sederetan penghargaan nasional dan internasional adalah modal dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata ke depan. Satu hal perlu ditekankan adalah budaya pariwisata yang harus ditumbuhkan dari lingkungan paling rendah sampai pada tingkat birokrasi untuk mencapai visi pembangunan pariwisata yang dicita-citakan bersama.

(26)

Gambar 4.1 Kampung Bunaken

Gambar 4.2

Keanekaragaman hayati Bunaken

Gambar

Gambar 4.1    Kampung Bunaken

Referensi

Dokumen terkait

Adapun maksud penulis melaksanakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi mengenai penggunaan celebrity endorser Boyband Smash pada Clothing

 Analisis yang dilakukan pada sektor bidang usaha yang paling sesuai dengan nama jenis perusahaan yaitu sektor bongkar muat atau stevedoring..  Kegiatan operasional hanya

Setelah tanaman mencapai ketinggian yang sudah ditentukan, kemudian dilakukan perlakuan percobaan terhadap tanaman dalam bilik gas yang meliputi perlakuan pemaparan

Menciptakan sebuah bentuk usaha di bidang penjualan pakaian, hal tersebut berawal dari penciptaan sebuah merek pada suatu produk dengan mencantumkan nama

1) Melakukan pengamatan atau observasi secara visual atau langsung di lingkungan objek lokasi yang akan dibangun di daerah kuningan. 2) Melakukan pengamatan terhadap

Jadi, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui terbentuknya komposit antara Ca dan Ni melalui analisis data hasil pengukuran difraksi sinar-X, dan

pengesahan, lembar pernyataan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar / tabel / lampiran serta ringkasan), spasi antara sub bab dengan sub bab yang lain 1 spasi,

Pasal 9 ayat 4b Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 4a, atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa