• Tidak ada hasil yang ditemukan

RMK BAB 13

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RMK BAB 13"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

4 Mei 2017 4 Mei 2017 DIPLOMA III PERPAJAKAN

DIPLOMA III PERPAJAKAN RMK Bab XIII

RMK Bab XIII

Tata Cara Perhitungan PPN dan PPnBM & Penyusutan SPT Masa PPN dan PPnBM Tata Cara Perhitungan PPN dan PPnBM & Penyusutan SPT Masa PPN dan PPnBM

Oleh : Oleh : Kelompok 6 Kelompok 6 I

I Kadek Kadek Budhyasa Budhyasa 2828 Cokorda

Cokorda Gede Gede Budha Budha Hary Hary Baskara Baskara 0202 I

I Nyoman Nyoman Satria Satria Wiradarma Wiradarma 1111 I

I Komang Komang Edo Edo Indra Indra Yoga Yoga 3232 Mechteldis

Mechteldis Qimanto Qimanto Kushin Kushin Ryu Ryu 4040

Program Diploma III Program Diploma III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana Universitas Udayana

2017 2017

(2)
(3)

13.1

13.1 PPN PPN Keluaran Keluaran Atas Atas Penjualan Penjualan ke ke PKP, PKP, Pemerintah, dan Pemerintah, dan ke ke bonded bonded zone zone areaarea Pajak Keluaran (PK) adalah :

Pajak Keluaran (PK) adalah : Pajak

Pajak keluaran keluaran adalah adalah PPN PPN yang yang dipungut dipungut ketika ketika PKP PKP menjual menjual produknya,produknya, sedangkan

sedangkan pajak pajak masukan adalah masukan adalah PPN PPN yang dibayar yang dibayar ketika PKP ketika PKP membeli, memperoleh, membeli, memperoleh, atauatau membuat produknya.

membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10  persen.

 persen.

Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu,  pajak

 pajak keluaran keluaran dan dan pajak pajak masukan. masukan. Dalam Dalam hal hal ini, ini, subjek subjek pajak pajak yang yang dimaksud dimaksud adalahadalah  pengusaha

 pengusaha kena kena pajak pajak (PKP) (PKP) yang yang melakukan melakukan transaksi transaksi jual jual beli beli barang. barang. Artinya, Artinya, PKPPKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau  pengurang

 pengurang pajak. pajak. Menjadi Menjadi kredit kredit atau atau pengurang pengurang pajak pajak karena karena sebelumnya sebelumnya sang sang PKP PKP telahtelah dikenai tarif pajak yang sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual dikenai tarif pajak yang sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.

olehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.

Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga  bulan

 bulan setelah setelah masa masa pajak pajak berakhir berakhir sehingga sehingga PKP PKP memiliki memiliki waktu waktu yang yang cukup cukup leluasa leluasa untukuntuk melakukan pengkreditan pajaknya.

melakukan pengkreditan pajaknya.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Pajak (JKP), ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. Contoh :

Contoh :

PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut : PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut : Harga

Harga Jual Jual Komputer Komputer 10.000.00010.000.000 PPN

PPN 1.000.000 1.000.000 (+)(+)

Harga

Harga Jual Jual Komputer Komputer dan dan PPN PPN 11.000.00011.000.000

Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC. Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC.

a)

a) PPN Keluaran atas Penjualan ke PKPPPN Keluaran atas Penjualan ke PKP

Khusus PPN Keluaran pada akhir bulan dilakukan kompensasi dengan PPN Khusus PPN Keluaran pada akhir bulan dilakukan kompensasi dengan PPN Masukan dan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) yang berkaitan dengan usaha atau Masukan dan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) yang berkaitan dengan usaha atau  barang

 barang modal. modal. Apabila Apabila jumlah jumlah PPN PPN Keluaran Keluaran lebih lebih besar besar dari dari PPN PPN Masukan, Masukan, makamaka selisihnya disebut PPN kurang bayar (PPN-KB) yang harus dilunasi paling lambat 15 selisihnya disebut PPN kurang bayar (PPN-KB) yang harus dilunasi paling lambat 15  bulan

 bulan takwin takwin berikutnya. berikutnya. Sedangkan Sedangkan apabila apabila PPN PPN Keluaran Keluaran lebih lebih kecil kecil dari dari PPNPPN Masukan, maka selisihnya disebut PPN lebih bayar (PPN-LB) yang dapat direstitusikan Masukan, maka selisihnya disebut PPN lebih bayar (PPN-LB) yang dapat direstitusikan atau dikreditkan dengan PPN-KB bulan berikutnya. Khusus PPn-BM tidak dapat atau dikreditkan dengan PPN-KB bulan berikutnya. Khusus PPn-BM tidak dapat dikreditkan tetapi harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya dikreditkan tetapi harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya  bersama-sama dengan Surat Setoran Pajak (SSP) PPN Kurang Bayar.

 bersama-sama dengan Surat Setoran Pajak (SSP) PPN Kurang Bayar. Contoh 1: Penjualan Tunai dan Kredit

(4)

PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: 100 krat kecap ABCmenjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: 100 krat kecap ABCmenjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: 100

100 krat krat kecap kecap ABC ABC Rp.5.000.000Rp.5.000.000 200

200 krat krat sambal sambal ABC ABC Rp.6.000.000Rp.6.000.000 Jumlah

Jumlah harga harga jual jual Rp.11.000.000Rp.11.000.000 PPN

PPN 10% 10% x x Rp. Rp. 11.000.000 11.000.000 Rp.1.100.000Rp.1.100.000 Total

Total Faktur Faktur Rp.12.100.000Rp.12.100.000 Jurnal Penjualan Tunai

Jurnal Penjualan Tunai Kas Kas Rp. Rp. 12.100.00012.100.000 Penjualan Penjualan Rp. Rp. 11.000.00011.000.000 PPN PPN Keluaran Keluaran Rp. Rp. 1.100.0001.100.000 Jurnal Penjualan Kredit

Jurnal Penjualan Kredit Piutang

Piutang Dagang Dagang Rp. Rp. 12.100.00012.100.000 Penjualan

Penjualan Rp. Rp. 11.000.00011.000.000 PPN

PPN Keluaran Keluaran Rp. Rp. 1.100.0001.100.000

Contoh 2: Penjualan dengan Pembayaran Sebagian Contoh 2: Penjualan dengan Pembayaran Sebagian

PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian sebagai PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian sebagai  berikut:

 berikut: 100

100 krat krat kecap kecap ABC ABC Rp. Rp. 5.000.0005.000.000 200

200 krat krat sambal sambal ABC ABC Rp. Rp. 6.000.0006.000.000 Jumlah

Jumlah harga harga jual jual Rp. Rp. 11.000.00011.000.000 PPN

PPN 10% 10% x x Rp. Rp. 11.000.000 11.000.000 Rp. Rp. 1.100.0001.100.000 Total

Total Faktur Faktur Rp. Rp. 12.100.00012.100.000 Dibayar

Dibayar tunai tunai Rp. Rp. 4.000.0004.000.000 Sisa

Sisa tagihan tagihan Rp. Rp. 8.100.0008.100.000 Jurnal Pembayaran Sebagian:

Jurnal Pembayaran Sebagian: Kas

Kas Rp. Rp. 4.000.0004.000.000 Piutang

Piutang Dagang Dagang Rp.8.100.000Rp.8.100.000

Penjualan Rp.11.000.000

Penjualan Rp.11.000.000

PPN

PPN Keluaran Keluaran Rp. Rp. 1.100.0001.100.000

Contoh 3: Penjualan atas Barang Mewah Contoh 3: Penjualan atas Barang Mewah

PKP PT.ABC menjual barang dagang kepada PT.Matahar sebagai berikut: PKP PT.ABC menjual barang dagang kepada PT.Matahar sebagai berikut:

(5)

100

100 krat krat kecap kecap ABC ABC Rp. Rp. 5.000.0005.000.000 200

200 krat krat sambal sambal ABC ABC Rp. Rp. 6.000.0006.000.000 Jumlah

Jumlah harga harga jual jual Rp. Rp. 11.000.00011.000.000 PPN

PPN 10% 10% x x Rp.11.000.000 Rp.11.000.000 Rp. Rp. 1.100.0001.100.000 PPn-BM

PPn-BM 20% 20% x x Rp.11.000.000 Rp.11.000.000 Rp. 2.200.000Rp. 2.200.000 Total

Total Faktur Faktur Rp. Rp. 14.300.00014.300.000 Jurnal Penjualan Kredit:

Jurnal Penjualan Kredit: Piutang

Piutang dagang dagang Rp. Rp. 14.300.00014.300.000 Penjualan Penjualan Rp. Rp. 11.000.00011.000.000 PPn PPn Keluaran Keluaran Rp. Rp. 1.100.0001.100.000 Hutang Hutang PPn-BM PPn-BM Rp. Rp. 2.200.0002.200.000 b)

b) PPN Keluaran Atas Penjualan ke PemerintahPPN Keluaran Atas Penjualan ke Pemerintah

Contoh : Penjualan kepada Pemungut PPN dan PPh 22 (Instansi Pemerintah) Contoh : Penjualan kepada Pemungut PPN dan PPh 22 (Instansi Pemerintah)

PT. Bunda Cemerlang menjual alat tulis kantor kepada Pemda TK 2 Tangeran dengan PT. Bunda Cemerlang menjual alat tulis kantor kepada Pemda TK 2 Tangeran dengan  perincian sebagai berikut:

 perincian sebagai berikut: Kertas

Kertas HVS HVS 200 200 rim rim Rp. Rp. 4.000.0004.000.000 Tinta

Tinta Printer Printer 10 10 Unit Unit Rp. Rp. 5.000.0005.000.000 Jumlah

Jumlah Harga Harga Rp. Rp. 9.000.0009.000.000 PPN

PPN 10% 10% x x Rp Rp 9.000.000 9.000.000 Rp. Rp. 900.000900.000 Jumlah

Jumlah Faktur Faktur Rp. Rp. 9.900.0009.900.000 Dipungut PPN dan PPh 22 oleh Perum Pegadaian

Dipungut PPN dan PPh 22 oleh Perum Pegadaian PPh

PPh Pasal Pasal 22: 22: (1.5% (1.5% x x Rp. Rp. 9.000.000) 9.000.000) Rp.135.000Rp.135.000 PPN

PPN 10% 10% x x Rp.9.000.000 Rp.9.000.000 Rp.900.000Rp.900.000 Jumlah

Jumlah Pungutan Pungutan Rp. Rp. 1.035.0001.035.000 Jumlah

Jumlah Pembayaran Pembayaran yang yang diterima diterima Rp. Rp. 8.865.0008.865.000 Jurnal

(6)

Kas Rp. 8.865.000

Uang muka PPh Pasal 22 Rp. 135.000

PPn Keluaran Rp. 900.000

Penjualan Rp.9.000.000

PPN Keluaran Rp. 900.000

c) PPN Keluaran Atas Penjualan ke Bonded Zone Area

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 47/KMK.01/1987

TENTANG

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN/PEMASUKAN/ PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK DARI/KE/DI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM DAN PULAU- PULAU DISEKITARNYA YANG DINYATAKAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

 bahwa dipandang perlu menetapkan pengaturan secara khusus tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone) dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara  Nomor 3262);

(7)

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3287);

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone) (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 30, Tambahan Lembaran  Negara Nomor 3334);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1978 tentang Tata Cara  pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah

Bonded Warehouse;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1978 tentang Tata Cara  pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah usaha

Bonded Warehouse di daerah industri Pulau Batam;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah Usaha Bonded Warehouse;

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1984 tentang Penambahan Wilayah Kerja daerah industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse.

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN/PEMASUKAN/ PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK DARI/KE/DI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM DAN PULAU-PULAU DISEKITARNYA YANG DINYATAKAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE)

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

a. Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah daerah industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan yang  berlaku;

(8)

 b. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1983.

Pasal 2

(1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat  belum dianggap sebagai impor.

(2) Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terhutang pajak.

Pasal 3

(1) Pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat keluar daerah pabean merupakan ekspor.

(2) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

(3) Pajak yang telah dibayar atas pembelian dan impor Barang Kena Pajak dan Penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Pasal 4

(1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat adalah penyerahan dalam negeri dan bukan merupakan ekspor

(2) Atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhutang pajak sesuai Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. (3) Pengusaha didalam Kawasan Berikat yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak

dapat diberikan penangguhan pembayaran pajak atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Tata cara penangguhan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

(1) Pengeluaran Barang Kena Pajak yang berasal dari luar negeri dari Kawasan Berikat kedalam daerah pabean Indonesia dianggap sebagai impor.

(2) Atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas impor.

(3) Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).

(4) Disamping dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga atas pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah mengalami proses pengolahan di Kawasan Berikat ke dalam Daerah Pabean Indonesia Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib mengenakan pajak atas  penyerahan Barang Kena Pajak dalam negeri sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

(9)

(5) Pajak yang dipungut atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan Pajak Keluaran bagi Pengusaha di Kawasan Berikat.

Pasal 6

(1) Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di Kawasan Berikat tidak terhutang pajak.

(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat, Pengusaha dapat memilih dikenakan pajak.

(3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha atas  penyerahan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat

dikreditkan. Pasal 7

Pengusaha Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pasal 8

(1) Atas impor atau penyerahan, yang dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 1987 dan yang merupakan :

a. Pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak terhutang pajak;

 b. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat kedalam daerah pabean Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) tidak terhutang pajak.

(2) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memilih dikenakan pajak.

(3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh dikreditkan sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikreditkan.

(4) Kekurangan/kelebihan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) dapat dibetulkan dengan cara memasukkan/mengoreksi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

(5) Kekurangan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (4) harus dibayar tanpa dikenakan sanksi perpajakan.

Pasal 9

(10)

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 1987.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan  penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

 pada tanggal 26 Januari 1987 MENTERI KEUANGAN, ttd

RADIUS PRAWIRO

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, maka sejak tanggal 20 Agustus 2007 Batam merupakan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hingga tujuh puluh tahun ke depan. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai. Oleh karena itu, sejak 20 Agustus 2007 semestinya sudah tidak ada lagi pungutan PPN dan PPn.BM. Di pihak lain, saat ini masih berlaku Peraturan Pemerintah  Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kemudahan berupa PPN dan/atau PPn.BM tidak dipungut terbatas hanya atas impor dan/atau penyerahan BKP kepada PKP sepanjang BKP tersebut digunakan untuk menghasilkan BKP yang diekspor.

Sebelum memberikan pendapat mengenai kebijakan yang tepat yang sebaiknya diterapkan di Batam, ada baiknya kita lihat kronologis perlakuan PPN dan PPn.BM.

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Indonesia pertama kali berlandaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mulai  berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1985. Seiring dengan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah Usaha Bonded Warehouse, maka Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 tanggal 26 Januari 1987 menetapkan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran/Pemasukan/Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari/ke/di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan Pulau-pulau di Sekitarnya yang Dinyatakan Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone).

(11)

Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut diatur bahwa Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah daerah industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemasukan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat belum dianggap sebagai impor, sehingga tidak terutang PPN dan PPn.BM. Sebaliknya, pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat keluar daerah pabean merupakan ekspor, sehingga dikenakan tarif 0% dan pajak yang telah dibayar atas pembelian dan impor Barang Kena Pajak dan Penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Hal-hal lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini adalah:

Pemasukan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat adalah penyerahan dalam negeri dan bukan merupakan ekspor, sehingga terutang PPN dan/atau PPn.BM.

Pengusaha didalam Kawasan Berikat yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dapat diberikan penangguhan pembayaran pajak atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak tersebut di atas.

Pengeluaran Barang Kena Pajak yang berasal dari luar negeri dari Kawasan Berikat ke dalam daerah pabean Indonesia dianggap sebagai impor, sehingga dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang merupakan Pajak Masukan.

Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di Kawasan Berikat tidak terhutang  pajak.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat, Pengusaha dapat memilih dikenakan pajak.

Keputusan Menteri Keuangan ini disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994 tanggal 7 November 1994.

Pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1998 Tentang Perlakuan PPN dan PPn.BM di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah dalam rangka mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional. Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam adalah Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang  berlaku.

Berdasarkan PP yang ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1998 ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas :

a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor;

 b. impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor;

(12)

c. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang dieskpor; dan

d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Pengusaha sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan  pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam selain yang disebutkan di atas, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Seharusnya PP 39 Tahun 1998 tersebut mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 9 Maret 1998, tetapi Pemerintah menunda pemberlakuannya bahkan sampai lima (5) kali. Pertama kali dengan mengeluarkan PP 45 Tahun 2000 yang menunda hingga tanggal 1 Januari 2001. Kemudian dengan alasan bahwa dalam rangka mempersiapkan status Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, terbitlah PP 13 Tahun 2001 yang menunda kembali sampai dengan tanggal 31 Desember 2001. Sebelum tahun 2001 berakhir, kembali Pemerintah mengeluarkan PP 85 Tahun 2001 yang menunda berlakunya PP 39 Tahun 1998 sampai dengan 30 Juni 2002. Lagi-lagi Pemerintah menerbitkan PP 40 Tahun 2002 untuk menunda yang keempat kalinya sampai dengan tanggal 31 Maret 2003. Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Pemerintah mengeluarkan PP 20 Tahun 2003 dengan melakukan penundaan lagi  berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1998 hingga tanggal 31 Desember 2003.

Sebagai pelaksanaan dari PP 39 Tahun 1998, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 192/KMK.04/1998 yang juga secara resmi mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 sebagaiman telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994. Berhubung PP 39 Tahun 1998 mengalami penundaan  beberapa kali, maka Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-764/PJ./2001 tanggal 31 Desember 2001 yang menegaskan bahwa dalam periode penundaan tersebut perlakuan PPN di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam berlaku ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 sebagaiman telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994.

Pada tanggal 31 Desember 2003 Pemerintah akhirnya mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Dengan mencabut PP 39 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa dalam rangka menunjang ekspor, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor

Impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor.

(13)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau impor Barang Kena Pajak selain yang dimaksud di atas dan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di/ke/dari Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pengenaannya dilakukan secara bertahap, yaitu:

1. Untuk tahap pertama, terhitung mulai 1 Januari 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak  berupa:

a. Kendaraan Bermotor, berupa segala jenis kendaraan bermotor baik beroda 2 (dua) atau lebih;  b. Rokok dan hasil tembakau lainnya; dan

c. Minuman yang beralkohol.

2. Untuk tahap kedua, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang-barang elektronik, berupa segala jenis barang elektronik yang menggunakan tenaga baterai maupun listrik.

3. Untuk tahap selanjutnya, penetapan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah selain Barang Kena Pajak sebagaiaman dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas, dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama setiap 6 (enam) bulan.

Pada tanggal 19 Juli 2005 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Dengan perubahan PP ini, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Impor Barang Kena Pajak selain untuk menghasilkan BKP yang diekspor dan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di/ke Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang pengenaannya dilakukan secara bertahap yang tahapannya adalah:

1. Untuk tahap pertama terhitung mulai tanggal 1 Januari 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan atas:

impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa :

§ kendaraan bermotor, berupa segala jenis kendaraan bermotor baik beroda 2 (dua) atau lebih § rokok dan hasil tembakau lainnya; dan

§ minuman yang beralkohol.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri pulau Batam. 2. Untuk tahap kedua, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena

(14)

Pajak berupa barang barang elektronik, berupa segala jenis barang elektronik yang menggunakan tenaga baterai maupun listrik.

3. Untuk tahap selanjutnya, penetapan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah selain Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama setiap 6 (enam) bulan.

Dalam perkembangan selanjutnya tidak pernah dilakukan penambahan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor

dan/atau penyerahannya di/ke/dari Kawasan Batam. Kesimpulan:

Dengan berubahnya status Batam yang semula sebagai Kawasan Berikat menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, sudah semestinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang baru yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.

13.2 PPN Masukan yang Dapat Dikreditkan, Perhitungan Kembali PPN Masukan

Pajak pertambahan nilai

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh  pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip

dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau  produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam  perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan.

Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10%. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

(15)

 Karakteristik

Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas  pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.

Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi. Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.

Menghindari pengenaan pajak berganda.

Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

 Perkecualian

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

 Barang tidak kena PPN

Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:

1. Minyak mentah. 2. Gas bumi.

3. Panas bumi. 4. Pasir dan kerikil.

5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.

6. Bijih timah,  bijih  besi,  bijih emas,  bijih tembaga,  bijih nikel,  bijih  perak,  dan bijih  bauksit.

Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi: Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:

1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih. 2. Gilingan.

3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak. 4. Beras pecah.

(16)

Segala jenis  jagung,  seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau  berondong jagung, dalam bentuk:

1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.

2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.

3. Menir ( groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran. Sagu, dalam bentuk:

1. Empulur sagu.

2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.

Segala jenis kedelai,  seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.

Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk: 1. Garam meja.

2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar  NaCl 94,7%.

Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,  dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.

 Jasa tidak kena PPN

Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:

1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. 2. Jasa dokter hewan.

3. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi. 4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.

5. Jasa paramedis dan perawat.

6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,  dan sanatorium.

Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi: 1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.

2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial. 3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.

(17)

5. Jasa pemakaman, termasuk  krematorium.

6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.

7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.

Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).

Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:

1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat  berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak

(perjanjian), serta anjak piutang.

2. Jasa asuransi, tidak termasuk  broker asuransi. 3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.

Jasa di bidang keagamaan, meliputi: 1. Jasa pelayanan rumah ibadah.

2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah. 3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.

Jasa di bidang pendidikan, meliputi:

1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah,  seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.

2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.

Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.

Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi,  baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan  bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.

Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi: 1. Jasa tenaga kerja.

2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak  bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.

(18)

Jasa di bidang perhotelan, meliputi:

1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap. 2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan,

motel, losmen, dan hostel.

Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti  pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP),  Nomor

Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

 Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam)  jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat

mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah: 1. adanya penyerahan;

2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);

3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);

4.  penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;

5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap  barang yang dihasilkan.

Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi: 1.  penyerahan hak karena suatu perjanjian;

2.  pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing; 3.  penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4.  pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

5.  penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;

6.  penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke caban g atau sebaliknya; 7.  penyerahan secara konsinyasi.

Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: 1.  penyerahan kepada Makelar;

(19)

3.  penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak;

4.  penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau  pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak

atas barang kena pajak.

Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk: 1.  barang berwujud dan bergerak;

2.  barang berwujud dan tidak bergerak;

3.  barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia.

Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil  perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang

hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.

Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.

Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN 1984 sebagai berikut:

Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan atau tidak melakukan usaha.

Badan dapat terdiri dari

1. PT, CV, Perseroan lainnya; 2. BUMN/BUMD;

3. Firma, Kongsi, Koperasi; 4. Dana Pensiun;

(20)

6. Yayasan;

7. Ormas, orsospol, organisasi lainnya; 8. Lembaga;

9. Bentuk Usaha lainnya; 10. Bentuk Badan Lainnya.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah Pengusaha Kena Pajak

1. Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.

2. Bentuk Kerja sama Operasi. Bukan Pengusaha Kena Pajak

1. Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).

2. Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean.

3. Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya. 4. Jasa di bidang perhotelan.

 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.

Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut: 1. untuk PPN Barang adalah harga jual; 2. untuk PPN Jasa adalah penggantian; 3. untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;

4. untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP;

5. untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;

6. untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.

Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.

(21)

1. untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor;

2. untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; 3. untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual

adalah harga pasar wajar;

4. untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.

 Saat dan Tempat Pajak Terutang

Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.

Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang  berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak,

PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.

Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.

 Tarif dan Menghitung PPN

Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.

Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.

Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas  pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa  pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak

maupun pembayaran

Menghitung PPN Pajak Masukan

Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara  barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk

(22)

memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga  jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan

sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.

Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:

1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya;

2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;

3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;

4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya; 5. menerapkan pemungutan sekali.

Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000 yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.

Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.

Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dengan beberapa contoh.

 Mengkredit Pajak Masukan

Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak  berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai  bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya  pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk

memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi  persyaratan.

Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:

1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan;

2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan;

(23)

3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan.

Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma Penghitungan

Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP. Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus dibayar kembali.

Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP. Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan

Pemungutan pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka dalam pembukuan.

Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib  pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan,

modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung  pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan

atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.

Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun metode penilaian persediaan dan sebagainya.

Yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut adalah:

1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma  penghitungan;

2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran

(24)

tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan  pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan

dengan menggunakan Norma Penghitungan.

4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut:

1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran;

2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran.

Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran  bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan

BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan, sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP  pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.

 Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan

Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan  Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau  penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan  pengkreditan.

Baik Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Penggunaan Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping memudahkan wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk dapat kompensasi, restitusi dan hak-hak lainnya.

(25)

Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar  pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan  pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif  proporsional dan progresif.

Dengan diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM  bersama-sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang menggantikan PPn sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor

Sebagai pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang, maka diberlakukan  pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan tingkat keadilan vertikalnya maka diterapkan tarif proporsional yang progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan maksimal 50% dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%, kelompok dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%.

Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan  bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya. Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun  pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut

Bea Masuk.

13.3 PPN Membangun Sendiri

 Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri

Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

 Definisi Kegiatan Membangun Sendiri

Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sehingga kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang kita rencanakan atau lakukan itu termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

(26)

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain”.

Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria sebagai berikut:

a.Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau  baja

 b.Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha c.Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila memenuhi definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas.

Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan secara pribadi, baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang dibangun itu untuk ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak, apakah termasuk kedalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atasnya? Jika hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan rumah pribadi diatas dapat memenuhi definisi kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena  pembangunan rumah yang dilakukan dalam kasus ini tidak berkaitan dengan kegiatan usaha serta untuk dimanfaatkan atau digunakan sebagai keperluan pribadi, namun untuk menentukan apakah terhadap pembangunan rumah tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita tidak cukup hanya dengan melihat definisi saja, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah  bangunan yang kita bangun (dalam kasus ini rumah) itu memenuhi kriteria bangunan yang diatur

dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika memang kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu sesuai dengan  penjelasan definisi serta kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Setelah memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri, mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.

 Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur  bahwa:

1. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

(27)

2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari  jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak

termasuk harga perolehan tanah.

 Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri

Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri adalah sebagai berikut :

Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri:

Contoh:

Pada Bulan Desember 2012 Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp 200.000.000,  pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor dan pekerja  bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas  pembangunan rumah tersebut?

Jawab:

Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah:

= 10% X DPP

= 10% X(20% X Total biaya Pembangunan)

= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)

Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah = 10% X 20% X Rp 250.000.000

= Rp 5.000.000

Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam rangka  pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

PPN = Tarif x DPP

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan

(28)

163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.

 Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa: 1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.

2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

 Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa: * Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya

*Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

*Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan  penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

*Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom  NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan

tersebut.

*Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai  berikut :

(29)

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat  bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

 b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri

*Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat  bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

 b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

*Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang  pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan

membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

*membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

*Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan  Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

(30)

 Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

1.Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan  bangunan tersebut;

2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan  pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung  jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan  bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

5.Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.

6. Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri. 7.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

8.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan

Referensi

Dokumen terkait

Kuantitas atau Jumlah Pengusaha Kena Pajak yang Terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Belawan. Jumlah pengusaha kena pajak yang terdaftar pada kantor

Pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

wilayah kerjanya mencakup tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. 2.) Melaporkan tempat usaha menjadi pengusaha kena pajak pada kantor Direktorat Jenderal

Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari